You are on page 1of 53

ANIMAL PRODUCTION, 2007, hlm. 1 8 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.

56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Pengaruh Suplementasi Pakan Lokal terhadap Produktivitas Induk Kambing Bligon Bunting Tua yang Dipelihara di Padang Sabana Timor Barat
(Effects of Local Feed Supplementation on the Performance of Bligon Goat Does at the End of Gestation Reared in West Timor Savannah)
A. E. Manu1 , E. Baliarti2 , S. Keman2 , F. U. Datta 1
1 2

Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana, Kupang Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRACT: The research was conducted in Lili savanna, West Timor. The aims were to study the effects of local feed supplementation on performances of Bligon does at late gestation period reared in West Timor savanna during dry season Fifteen Bligon does at late gestation period were used for ten weeks. Does were randomly divided into 3 groups of treatment, namely R0 = control; R1 = R0 + 1% supplementation; and R2 = R0 + 2% supplementation. Results showed that average daily gain, kids birth weight, colostrum Ig and body condition scores of group R2 (62.5 g, 2.42 kg, 94.8 mg/ml; 2.36, respectivelly) were significantly higher than group R0 (-7.19 g, 1.73 kg, 43 mg/ml ; 2.36, respectively), but were not significantly different from group R1 (51.79 g, 2.25 kg, 71.2 mg/ml ; 3.24, respectively). Blood components (PVC, leukocyte, erythrocyte, Hb, glucose, protein and urea) at the begining of the experiment were similar among groups, however they were significant different (P<0.01) between R2 and R1, R2 and R0, and R1 and R0. The differences in the number of erythrocyte between R1 and R0 were not significant (P>0.05). In conclusion, the performance and health status of Bligon does at late gestation period reared at West Timor savanna during dry season can be increased by local feed supplementation. Key Words: performance, gestation does, supplement local feed, savanna, dry season

Pendahuluan
Ternak kambing di Timor Barat adalah digembalakan di padang sabana. Pulau Timor dipengaruhi angin muson yang dicirikan dengan musim hujan yang pendek (3-4 bulan) dan musim kemarau yang panjang (8-9 bulan) sehingga beriklim semi arid. Pengaruh musim ini berakibat sangat berfluktuatifnya persediaan pakan di sabana. Seperti daerah semi arid lainnya pada musim hujan, hijauan berlimpah sedangkan pada musim kemarau sedikit sekali tersedia (Bhatta et al., 2004; Safari et al., 2005). Aoetpah (2002) melaporkan di musim hujan sabana Timor mempunyai kapasitas tampung (KT) 4,8 UT/ha, PK 10-12%,NDF 34-48,00% dan produksi bahan kering (PBK) 2,23-3,39 ton/ha. Di akhir musim kemarau (Oktober- November) PBK 0,46-0,71 ton/ha, KT 0,54 UT/ha, PK 2,67% dan serat kasar menjadi 80%. Akibatnya kinerja ternak di saat hijauan cukup lebih baik dari pada musim kemarau saat hijauan kurang tersedia (Tuah et al., 2000). Distribusi kelahiran kambing di Timor terbanyak terjadi di akhir musim kemarau karena perkawinan dan konsepsi banyak terjadi di musim hujan dan awal

kemarau saat pakan cukup tersedia. Bobot lahir di musim kemarau jauh lebih rendah, akibatnya memasuki musim hujan anak kambing ini banyak mengalami kematian dan dapat mencapai 50% (Budisantoso, 1995). Tingginya kematian di musim hujan diduga disebabkan selama masa bunting induk kekurangan pakan di bulan-bulan musim kemarau, sehingga dilahirkan dalam kondisi lemah, seperti tercermin pada bobot lahir yang rendah. Pada kondisi lemah ternak akan mudah terserang penyakit dan parasit. Pada keadaan seperti ini Poore dan Luginbuhl (2002) menyarankan suplementasi pakan lokal untuk memaksimalkan fermentasi dan sintesis mikroba rumen dan nutrien yang lolos ke usus halus untuk periode yang tinggi kebutuhan nutrien seperti akhir kebuntingan. Teknologi yang tepat untuk itu adalah urea mollases multinutriens blok (UMMB). Teknologi UMMB telah digunakan di negara beriklim semi arid di Asia dan Afrika (Misra et al., 2006). Di Timor tidak ada mollases karena itu dapat dicarikan pengganti yang tersedia dan mempunyai nilai nutrien yang hampir sama yaitu gula air. Sumber energi pada mollases yang berupa NFE

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 1 - 8

adalah 85,70%, sedangkan pada gula air dilaporkan oleh Anonimous (2001) sebesar 86,03%. Berdasarkan sumber energi dari molasses dan gula air yang hampir sama yaitu 85,70% dan 86,03% maka gula air dapat menggantikan molasses. Gula air adalah nira hasil sadapan pohon lontar (Borassus sundaicus) yang dimasak. Hal yang sama dilaporkan oleh Arias et al. (2005) yang menggantikan molasses dengan buah Pitaya (Stenocereus griseus). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suplementasi pakan lokal terhadap kinerja induk kambing Bligon bunting tua yang digembalakan di sabana Timor pada musim kemarau.

Metode Penelitian
Lokasi dan Materi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di stasiun kebun percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat Kupang yang memiliki sabana sebagai tempat penggembalaan seluas 40 ha. Penelitian berlangsung pada puncak musim kemarau yaitu pada bulan Oktober sampai awal Desember 2005. Sebanyak 15 ekor ternak betina Bligon yang sedang bunting tua (8 minggu sebelum beranak) dengan rata-rata bobot badan awal 25,04 kg digunakan dalam penelitian ini. Induk-induk bunting ini mulai dipersiapkan sejak bulan Juli 2005, dan pernah beranak minimal 3 kali. Agar umur kebuntingan seragam maka pada masa persiapan ternak disinkronisasi estrus dengan menggunakan PGF2.

Metode Penelitian
Sebelum penelitian dimulai ternak diberi obat cacing serta diadaptasikan selama 2 minggu dengan suplemen dan kondisi kandang. Lima belas ekor induk kambing diacak menjadi tiga kelompok perlakuan sebagai berikut : 1. R0 = Induk digembalakan sepanjang siang hari (kontrol) 2. R1 = R0 + induk mendapat suplemen sebanyak 1 % dari bobot badan (atas dasar bahan kering) 3. R2 = R0 + induk mendapat suplemen sebanyak 2 % dari bobot badan (atas dasar bahan kering) Setiap perlakuan terdiri atas 5 ekor induk. Pakan suplemen diberikan di dalam kandang, sepanjang pagi sampai sore hari (pukul 17.00) ternak digembalakan dan malam hari dikandangkan. Ternak penelitian

digembalakan bersama-sama. Selain ternak penelitian, di sabana ini digembalakan juga ternak lain yang berada di stasiun ini sehingga total ternak yang digembalakan adalah 74,99 UT. Suplemen diberikan sesuai dengan perlakuan, dan jumlahnya sesuai untuk keperluan sehari serta harus habis dikonsumsi. Selama dikandangkan setiap induk ditempatkan pada kandang individu. Susunan dan komposisi kimia suplemen serta hijauan tertera pada Tabel 1. Adapun peubah yang diukur meliputi: 1. Bobot lahir anak (g) 2. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) induk selama bunting (setiap 2 minggu g/ekor/hari) 3. Kapasitas tampung, produksi dan kualitas hijauan sabana 4. Skor kondisi tubuh (SKT) induk (setiap 2 minggu sekali selama suplementasi) 5. Tingkat kesehatan induk dari profil darah dan metabolit darah (di awal dan akhir penelitian) 6. Konsentrasi imunoglogulin (Ig) total pada kolostrum induk Penimbangan induk untuk parameter PBBH dan SKT dilakukan setiap 2 minggu sekali. Evaluasi tingkat kesehatan induk dilakukan dengan melihat profil darah yaitu packet cell volume (PCV), hemoglobin (Hb), sel darah merah (SDM), dan sel darah putih (SDP). Selain itu, pengaruh suplemen yang diamati adalah metabolit darah yaitu total protein darah (TPP), dan glukosa darah. Darah diambil dari vena jugularis pada pagi hari sebelum digembalakan dengan venojec dan spuit multi fungsi, untuk metabolit darah sebanyak 3 cc dan profil darah sebanyak 10 cc. Darah diambil sebelum dilakukan periode pemberian suplemen dan pada akhir penelitian menjelang beranak. Sesaat setelah induk beranak diambil sampel kolostrum sebanyak 20 ml untuk dihitung konsentrasi Ig. Metode pemeriksaan darah dan Ig yang digunakan berdasarkan petunjuk dari Mitruka dan Rawnsley (1981). Bobot lahir diperoleh dari penimbangan anak kambing yang baru lahir dalam waktu kurang dari 24 jam. Skor tubuh induk dinilai dari penilai netral diluar tim peneliti sesuai petunjuk Santucci et al. (1991) dengan skor sebagai berikut: Skor 1, bila tulang pada daerah rusuk, pantat dan paha kelihatan sangat menonjol. Skor 2, apabila tulang rusuk yang menonjol kurang dari tiga, daerah rusuk, pantat dan paha terlihat tipis. Skor 3, untuk kondisi kurus tetapi tidak ada lagi tulang rusuk yang menonjol keluar. Skor 4, kondisi tubuh sedang, daerah rusuk, pantat dan paha terlihat sudah berisi. Skor 5, untuk

Pengaruh Suplementasi Pakan (Manu et al.)

kondisi gemuk, induk terlihat bulat berisi, daerah perut, dan paha padat penuh dengan daging. Pada saat sampel hijauan di sabana diambil dan dianalisis, juga dilakukan pengukuran kapasitas tampung sabana, dengan metode Halls et al. Dalam Susetyo (1980) yaitu dengan menggunakan bingkai kuadrat berukuran 1 X 1 m2 sebagai titik pengamatan. Sabana dibagi dalam 8 petak dengan luas yang sama dan penempatan bingkai kuadrat dilakukan dengan menggunakan bilangan teracak di setiap petak. Sebanyak 8 titik pengamatan untuk masing-masing petak sehingga didapati 64 titik pengamatan. Hijauan dari 64 titik pengamatan dikomposit kemudian dikeringkan dan diambil sampel sebanyak 10% untuk dianalisis, hasilnya seperti pada Tabel 1. Pada saat ini juga dihitung produksi hijauan sabana, pemanenan pada setiap titik pengamatan dilakukan dengan memotong hijauan setinggi 5 cm dari tanah dan dirataratakan dari 64 titik selanjutnya dihitung produksi BK per hektar. Kapasitas tampung diukur dengan asumsi konsumsi BK 6,29 kg/UT/hari. Data dari produksi BK/ha kemudian dihitung untuk luasan 40 ha.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan bobot badan induk sebagai kelompok. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis ragam dan pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Astuti, 1980).

Timor (Aoetpah, 2002; Kleden, 2002; Riwu Kaho, 2003). Jika mengharapkan pakan yang berasal dari sabana saja maka jelas tidak mencukupi kebutuhan induk yang bunting tua, dengan PK hijauan hanya 2,71% dan sudah dalam keadaan kering dan tua. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim, wilayah Timor Barat (lokasi penelitian) termasuk dalam tipe iklim agak kering atau semi arid. Kondisi ini berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan air tanah untuk proses fisiologis tanaman. Besarnya hasil fotosintesis netto pada tanaman berhubungan erat dengan ketersediaan air di daerah perakaran termasuk hijauan yang terdapat dalam hamparan sabana. Gejala yang sudah lazim terjadi adalah kekurangan air selama musim kemarau bagi pertumbuhan rumput. Di samping terjadi kekurangan air selama musim kemarau juga terjadi peningkatan suhu yang mengakibatkan peningkatan laju proses fotosintesis dan menurun setelah mencapai titik optimum. Keadaan ini bermuara pada menurunnya kualitas rumput yang ditandai dengan menurunnya kandungan protein kasar dan meningkatnya dinding sel, sehingga hijauan yang ada mempunyai kecernaan yang rendah. Penurunan kandungan protein kasar akan berpengaruh terhadap penurunan total konsumsi hijauan yang bermuara pada penurunan bobot badan. Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa pertimbangan suplementasi pakan di padang penggembalaan tropis pada musim kemarau adalah sama pertimbangannya dengan suplementasi pada penggunaan jerami limbah pertanian.

Bobot Lahir Anak

Hasil dan Pembahasan


Keadaan Sabana Lokasi Penggembalaan pada Saat Penelitian
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan pada puncak musim kemarau, didapatkan hasil bahwa pada bulan Oktober-Nopember produksi dan kualitas hijauan sabana berada pada titik terendah (Aoetpah, 2002; Kleden, 2002). Hasil pengamatan menunjukkan pada saat ini produksi hijauan adalah 0,61 ton/ha sehingga kapasitas tampung sabana adalah 0,33 UT/ha. Luas keseluruhan sabana adalah 40 ha sehingga produksi hijauan sabana pada saat penelitian adalah 24,40 ton/40 ha, dengan demikian sabana hanya mampu menampung 50,59 UT. Ternak yang merumput pada sabana sebanyak 74,99 UT sehingga terjadi kelebihan 24,40 UT yang digembalakan. Keadaan kelebihan penggembalaan pada puncak kemarau seperti ini terjadi di semua tempat di sabana

Bobot lahir tertera pada Tabel 2. Bobot lahir merupakan salah satu peubah yang berpengaruh terhadap cepatnya laju pertumbuhan seekor ternak. Bobot lahir seekor ternak selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga sangat dipengaruhi oleh mutu pakan yang dikonsumsi induk selama bunting. Bobot lahir anak tertinggi adalah pada kelompok R2 diikuti R1 dan terakhir R0. Antara R2-R1 dan R1-R0 berbeda sangat nyata (P<0,01) tetapi antara R2-R1 tidak berbeda nyata (P>0,05). Fase akhir kebuntingan atau waktu penelitian berada pada musim kemarau saat pakan di sabana berada pada jumlah dan kualitas yang paling rendah. Bobot lahir anak kelompok R0 paling rendah. Hal ini disebabkan oleh pakan induk yang hanya berasal dari hijauan sabana yang berada pada titik terendah kuantitas dan kualitasnya, sehingga ternak pada kelompok R0 mengalami kekurangan nutrien untuk fetus yang bertumbuh pesat. Suplementasi memberi tambahan TDN 140,71 g pada

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 1 - 8

Tabel 1. Bahan penyusun dan komposisi kimia suplemen dan hijauan Suplemen Bahan Penyusun (% dari BK) Urea Gula air Labu kuning Tepung putak Bungkil kelapa Mineral mix Garam dapur 3 35 15 15 20 10 2 Komposisi Kimia (%) Bahan Kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Ca P TDN* 76,94 15,50 3,83 11,76 45,05 16,21 3,44 0,89 56,28 Hijauan Sabana Komposisi Kimia (%) Bahan Kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar BETN Abu Ca P NDF ADF TDN* 80,41 2,71 1,16 39,22 42,11 13,92 1,22 0,58 89,48 51,14 73,81

* dihitung berdasarkan rumus Hartadi et al. (1980)

R1 dan 281,42 g pada R2, dan tambahan PK dari suplemen pada R1 sebesar 38,745 dan 77,49 g pada R2. Kebutuhan TDN dan PK induk bunting adalah 397 g dan 82 g, dilihat dari sumbangan suplemen jelas belum mencukupi kebutuhan tetapi diharapkan kekurangannya dapat diperoleh induk dari hijauan selama digembalakan. Pada fase bunting tua metabolisme fetus meningkat sebesar 70%, sehingga induk meningkatkan metabolic rate menjadi diatas 50% (Faulkner, 1983). Untuk keperluan fetus mendapat nutrien dari sirkulasi induk. Untuk sintesis sel tubuh nutrien utama yang diperlukan adalah glukosa dan asam-asam amino. Kedua substrat ini pada sirkulasi induk berasal dari glukosa dan TPP darah induk. Setelah suplementasi kedua substrat ini meningkat. pada kelompok R0, R1 dan R2 sebesar 8,05%, 59,51% dan 93,47% (glukosa), TPP R0 turun 3,86%, R1 naik 12,70% dan R2 40,00%, meskipun TPP R0 turun tetapi masih berada dalam kisaran normal TPP kambing. Kelompok R2 telah melampaui TPP normal kambing yaitu 5,9-7,8 g/dl. Hal ini mungkin disebabkan karena pada fase ini selain untuk sintesis sel-sel fetus, TPP juga merupakan substrat utama untuk imunoglobulin kolostrum. Menurut Mitruka dan Rawnsley (1981) pada fase kebuntingan nilai TPP biasanya naik untuk keperluan fetus dan produk kebuntingan lainnya. Pada penelitian lain didapatkan bahwa sapi laktasi yang digembalakan di musim kemarau dan disuplementasi dengan UMMB, konsumsi BK selama penggembalaan naik dan berbeda nyata (P<0,05) dibanding kontrol. Naiknya konsumsi BK hijauan dilaporkan oleh Mancini et al. (1997) karena naiknya total kecernaan nutrien (protein dan TDN) serta kecernaan ADF dan NDF. Kecepatan aliran pakan di

saluran pencernaan naik sebesar 12% dan proporsi NH3 dan VFA cairan rumen lebih tinggi pada 2 perlakuan yang menggunakan UMMB dibanding kontrol.

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), Skor Kondisi Tubuh (SKT) dan Imunoglobulin Kolostrum Induk
Pertambahan bobot badan induk menunjukkan tingkat kecukupan nutrisi induk. PBB induk bunting bukan saja dari sintesis sel-sel tubuh induk tetapi juga karena pertumbuhan Fetus. Dari pembahasan pada poin 2 kalau diperhatikan suplai nutrien yang berasal dari suplemen pada perlakuan R2 adalah dua kali lebih tinggi dari perlakuan R1, tetapi kalau dilihat PBBH R2 dan R1 (62,50 g vs 51,79 g) tidak berbeda nyata demikian juga dengan bobot lahir anak (2,25 kg vs 2,44 kg). Pada masa kebuntingan akhir selain pertumbuhan fetus dan induk, kolostrum sudah mulai disintesis. Salah satu komponen kolostrum adalah antibodi atau immunoglobulin (Ig). Meskipun pada penelitian ini tidak diukur produksi kolostrum tetapi jumlah Ig diukur dan diperoleh hasil Ig kolostrum pada R0 43,00 mg/ml, R1 71,20 mg/ml dan R2 94,80 mg/ml. Jadi sumbangan nutrien yang lebih tinggi pada R2 dibanding R1 lebih banyak dipakai untuk sintesis Ig. Patut diduga bahwa produksi kolostrum R2 lebih tinggi daripada R1 dan terendah pada R0, karena Budiarti (2006) melaporkan bahwa induk sapi bunting 8 bulan yang kualitas pakannya ditingkatkan produksi kolostrum meningkat seiring dengan peningkatan protein dan TDN pakan. Jumlah Ig total pada kolostrum induk tertinggi adalah pada perlakuan R2 diikuti oleh R1 dan terakhir

Pengaruh Suplementasi Pakan (Manu et al.)

Tabel 2. Rata-rata bobot lahir anak, PBBH induk, konsumsi BK di sabana dan skor kondisi tubuh (SKT) induk serta metabolit darah awal dan akhir penelitian Variabel Bobot lahir (kg) PBBH induk (g) BB induk awal kebuntingan (kg) BB induk awal penelitian (kg) BB induk akhir penelitian (kg) Skor kondisi induk Ig total kolostrum (mg/ml) Metabolit darah awal penelitian TPP (protein plasma) (g/dl) Glukosa darah (mg/dl) Metabolit darah akhir penelitian TPP (g/dl) Glukosa darah (mg/dl) R0 1,73a -7,14a 24,50 24,80 24,40 2,36a 43,00a 6,22a 47,20a 5,98a 51,00a Perlakuan R1 2,25b 51,79b 26,00 26,20 29,10 3,24b 71,20b 6,30a 49,40a 7,10b 78,80b R2 2,44b 62,50b 24,30 24,40 27,90 3,68b 94,80c 6,50a 49,00a 9,10c 94,80c

Ket: Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01), Kadar normal TPP 5,90 7,80 g/dl, Glukosa 43,00 100,00 mg/dl (Mitruka & Rawnsley, 1981)

R0. Perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah Ig total kolostrum, antara R2-R0, R2-R1 dan R1R0 berbeda sangat nyata (P<0,01) . Immunoglobulin pada darah merupakan bagian dari TPP yang sintesisnya meningkat menjelang beranak, sehingga kadar TPP pada induk bunting meningkat sesuai dengan bertambahnya umur kebuntingan. Induk dengan konsumsi nutrien yang tinggi akan mempunyai metabolit di dalam darah yang tinggi pula. Perlakuan R2 mempunyai nilai TPP tertinggi diikuti R1 dan terendah R0. Dengan demikian, Ig sebagai fraksi dari TPP yang diserap kelenjar susu pada saat sintesis kolostrum akan lebih tinggi pada R2 diikuti R1 dan terakhir R0. Pertambahan bobot badan perlakuan R0 menurun sebesar 7,19 g/hari. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrien hanya berasal dari konsumsi hijauan sabana yang berada pada titik terendah produksi dan kualitasnya. Pada saat nutrien yang dibutuhkan oleh fetus dan kelenjar mammae tidak terpenuhi dari nutrisi induk, maka secara fisiologis organ yang metabolismenya paling tinggi akan diprioritaskan. Pada keadaan ini depot energi dan protein tubuh dibongkar untuk memenuhi kebutuhan (Bearden dan Fuquay,1997). Akibat dari banyaknya sel tubuh induk yang dibongkar maka bobot badan dan SKT induk menurun. Kristianto (2002) melaporkan bahwa induk kambing bunting tua yang diberi pakan dengan PK lebih tinggi mempunyai PBBH yang lebih tinggi

daripada yang diberi pakan dengan PK lebih rendah. Hal ini mungkin yang menyebabkan PBBH R1 dan R2 lebih tinggi dari R0 karena nutrien yang lebih banyak tersedia. Hasil penelitian lain melaporkan bahwa pakan dengan tingkat nutrien yang tinggi menghasilkan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik (Tripathi et al., 2001). Ternak yang digembalakan pada pastur di daerah semi arid di India menunjukkan hal yang sama yaitu turunnya BB dan SKT di musim kemarau. Sebaliknya pada ternak yang diberi UMMB, BB dan SKT meningkat (Misra et al., 2006). Suplementasi dengan hijauan pohon sumber protein pada kambing yang digembalakan pada musim kemarau menunjukkan hal yang sama (Faftine et al.,1998). Penelitian lain melaporkan bahwa suplementasi dengan konsentrat, urea-molasses, urea-mineral blok dapat memperbaiki performans induk yang digembalakan (Gekara et al., 2001). Bobot badan induk menjelang beranak perlakuan R1 naik sebesar 11,50% dibanding awal penelitian dan R2 naik sebesar 14,40%. Bila dihitung kenaikan BB selama bunting (Juli-Desember) R1 sebesar 3,1 kg dan R2 sebesar 3,6 kg. Selama penelitian R1 naik 2,9 kg atau sebesar 93,55%, R2 naik 3,5 kg atau sebesar 97,22%. Hal ini sesuai dengan Bearden dan Fuquay (1997) yang menyatakan bahwa kenaikan BB selama bunting sebesar 70% berada pada masa periode kebuntingan akhir.

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 1 - 8

Tingkat Kesehatan Induk


Tingkat kesehatan induk dilihat dari pemeriksaan komponen profil darah. Semua komponen masih berada pada kisaran normal seperti yang dikemukakan

Mitruka dan Rawnsley (1981) pada Tabel 3. Pada awal penelitian, nilai semua komponen relatif sama dan tidak berbeda nyata (P>0,05). Setelah pemberian suplemen maka terlihat bahwa suplementasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap profil darah.

Tabel 3. Komponen profil darah induk kambing awal dan akhir penelitian Komponen Awal Penelitian Akhir Penelitian Darah R0 R1 R2 R0 R1 R2 a a a a b Hb (g/dl) 9,70 9,98 9,80 9,10 11,12 13,22c 6 3 a a a a a SDM (10 /mm ) 12,09 12,15 12,38 13,25 14,27 18,12b 3 3 a a a a b SDP (10 /mm ) 8,06 8,10 8,00 6,52 10,20 12,46c a a a a b PCV (%) 26,68 26,48 26,30 27,06 30,76 36,22c
Superscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Kisaran Normal 9,20-14,20 12,00-20,30 3,70-14,00 25,60-36,80

Nilai SDM R2 meningkat dalam jumlah yang cukup besar dan berbeda sangat nyata (P<0,01) dari R1 dan R0 tetapi antara R1 - R0 tidak berbeda nyata (P>0,05). Hal ini diduga karena pada R1 ketersediaan nutrien untuk sintesis komponen darah masih lebih rendah dari kebutuhan induk bunting sebab menurut Mitruka dan Rawnsley (1981) nilai SDM dipengaruhi oleh konsumsi protein. Menurut Swenson (1977) PCV akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur kebuntingan, tetapi nilai PCV yang lebih rendah karena kurangnya nutrisi terutama protein. Hal ini diduga yang menyebabkan nilai PCV R0 terendah dan diikuti R1 dan tertinggi R2. Nilai SDP dan Hb sejalan dengan nilai yang lain yaitu tidak berbeda di awal penelitian dan di akhir penelitian R2 tertinggi (dan berbeda sangat nyata dengan R0) diikuti R1 (berbeda sangat nyata dengan R0) dan terakhir R0. Kedua komponen ini masih berada dalam batas normal. Nilai komponen darah sangat ditentukan oleh nutrien yang diperoleh sebab Swenson (1977) menyatakan bahwa SDP dan Hb akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur kebuntingan tetapi nutrisi yang kurang akan menyebabkan rendahnya nilai SDP dan Hb. Berarti suplementasi berpengaruh terhadap kesehatan induk dan menyebabkan kesehatan induk lebih baik.

Daftar Pustaka
Anonimous, 2001. Laporan Tahunan. Kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian Nusa Tenggara Timur. Aoetpah, A. 2002. Fluktuasi ketersediaan dan kualitas gizi padang rumput alam di pulau Timor. Journal of Dryland Agriculture Information. 11:32-43. Arias, L., R. Soriano, H. Losada, J. Rivera and J.Cortes, 2005. Multi-nutrien blocks with fresh friut of Pataya (Stenocereus griseus) replacing sugar cane molasses. Livestock Research for Rural Development 17 (4). Bearden, H.J. and J.W. Fuquay, 1997. Applied Animal Reproduction. 4th Ed. Prentice Hall, New Jersey. Bhatta, R., N. Swain, D.L. Verma and N.P. Singh, 2004. Studies on feed intake and nutrien utilization of sheep under two housing system in a semi-arid region of India. Asian-Australasian .Journal of Animal Science. 17(6):814-819. Budiarti, C. 2006. Produksi kolostrum induk sapi PFH yang diberi pakan steaming up dengan kualitas berbeda. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Semarang, 3 Agustus 2006. Program Studi Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Budisantoso, E. 1995. Pertumbuhan pra-sapih anak kambing kacang di pulau Timor. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Kupang 17-18 Nopember 1994. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai Penelitian Ternak Lili, Kupang. Faftine, O., J.P. Muir and E. Massaete, 1998. Dry season supplementation of goats tethered on range supplemented with cowpea or groundnut residues with

Kesimpulan
Hasil disimpulkan bahwa suplementasi pakan lokal di akhir kebuntingan dapat meningkatkan kinerja induk kambing Bligon yang digembalakan di sabana Timor. Suplementasi pakan berpengaruh positif terhadap bobot lahir, kenaikan bobot badan dan skor kondisi tubuh induk.

Pengaruh Suplementasi Pakan (Manu et al.)

or without fresh leucaena leaves. Animal Feed and Technology. 76:1-8. Faulkner, A. 1983. Foetal and Neonatal Metabolism. In: Nutritional Physiology of Farm Animals. J.A.F. Rook and P.C.Thomas (Eds). Longman Inc. New York. Fuah, A. dan R. Priyanto, 1999. Distribusi, produktivitas dan peranan ekonomis ternak kambing terhadap petani peternak di Timor. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai Penelitian Ternak Lili, Kupang. Gekara, O.J., E.C. Prigge, W.B. Bryan, M. Schettini, E.L.Nestor and E.C.Townsend, 2001. Influence of pasture sward height and concentrate supplementation on intake, digestibility, and grazing time of lactating beef cows. Journal of Animal Science. 79:745-752. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, S. Lebdosoekojo, A.D. Tillman, L.C. Kearl dan L.E. Harris, 1980 Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. UGM Press, Yogyakarta. Kristianto, L.K. 2002. Kinerja kambing lokal dara dan induk dengan perbaikan pakan pada fase menjelang bunting dan bunting tua. Tesis. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Kleden, M.M. 2002. Kapasitas tampung padang rumput alam dalam mendukung pengembangan sapi potong di Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Journal of Dryland Agriculture Information. 15:77-85. Mancini, V., P. Lebzein, R. Reinhard and G. Flaaachowsky, 1997. Studies the influence of differently treated molasses/urea mixtures versus soybean meal on parameters of rumen fermentation, duodenal nutrien flow, and in sacco degradation of maize silage and wheat straw in non-lactating dairy cows. Animal Research and Development. 46: Misra, A.K., G.S. Reddy and Y.S. Ramakrishna, 2006. Participatory on-farm evaluation of urea molasses mineral block a supplement to crossbred cows for dry season feeding in rain fed agro ecosystem of India. Livestock Research for Rural Development 18(2): Mitruka, B.M. and H.W. Rawnsley, 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans. 2nd Ed. Year Book Medical Publishers, Inc., Chicago. Preston, T.R. and R.A. Leng, 1987. Matching Ruminant Production System with Available Resources in the Tropic and Sub Tropic. Penambul Book, Armidale. Poore, M.H. and J.M. Luginbuhl, 2002. Improving Meat Goat Nutrition with Forages and Supplementation. Kentucky Ruminant Nutrition. http://www.uky.edu

/Ag/AnimalScience/dairy/ruminantnutrition workshop/ruminant022. Riwu Kaho, L.M. 2003. Studi verifikasi pola peternakan terpadu (Agrosilvopastoral) dengan penekanan pada perbaikan manajemen penyediaan pakan ternak sapi dalam kandang. Journal of Dryland Agriculture Information 19:67-83. Safari, J., D.E. Mushi, L.A. Mtenga, L.O. Eik, G.C. Kifaro, V.R.M. Muhikambele, E.E. Ndemanisho, A.D.M. Machangu, A.A. Kassuku, E.N. Kimbita and M. Ulvund. 2005. A note on growth rates of local goats and their crosses with Norwegian goats at village level in Tanzania. Livestock Research for Rural Development 18 (2). Santucci, P.M.; A. Branca; M. Napoleone; R. Bouche; G. Aumont; F. Poisot; G. Alexandre. 1991. Body condition scoring of goats in extensive condition. In: Goat Nutrition. P. Morand-Fehr (Ed). Pudoc Wageningen. Swenson, M.J. 1977. Dukes Physiology of Domestic Animal. Comstock Publishing. Ithaca, London. Tripathi, M.K., I.S. Agrawal,S.D. Sharma and D.P. Mishra, 2001. Effect of substitution of soybean meal with treated or untreated high glucosinole mustard (Brassica juncea) meal on intake, digestibility, growth performance and body composition of calves. Animal Feed Science and Technology. 94:137-146. Tuah, A.K.,M.K. Buadu, F.Y. Obese and K. Brew, 2000. The performance, potentials and limitations of the West African dwarf goat for meat production in the forest belt of Ghana.http://www.fao.org/WAICENT /FAOInfo/Agricult/AGA/AGAP/FRG/Mulberry/papers/ PDF/Gonzalez.pdf. Kleden, M.M. dan A.E. Manu, 2001. Kapasitas tampung padang rumput alam dalam mendukung pengembangan sapi potong di Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Laporan Penelitian, Fapet-Undana, Kupang. Mangkoewidjojo, S. dan A. Bangun. 1993. Upaya meningkatkan ketahanan ternak terhadap penyakit dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Dalam: Hardjosoebroto dan Daryono (Eds.) Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta. pp. 3-15. Manu, A.E. 2004. Strategi Suplementasi Protein-Energi Pakan Lokal Untuk meningkatan Kinerja Induk dan Menekan Kematian Anak Kambing yang Dipelihara Di Sabana Timor, NTT. Disertasi. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Marawali, H.H. dan T.S. Panjaitan. 1999. Ternak kambing sebagai sumber pendapatan dan kemungkinan pengembangannya di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 1 - 8

Peternakan Lahan Kering. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai Penelitian Ternak Lili, Kupang. Marawali, H.H.; D. Kana Hau; S. Purwaningsih dan A. Bamualim. 1999. Strategis pemberian suplementasi putak terhadap kambing bunting dan induk yang melahirkan yang digembalakan pada siang hari. Laporan Tahunan Sub Balai Penelitian Ternak LiliKupang. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai Penelitian Ternak Lili, Kupang. Musofie, A., N.K. Wardhani S., Widodo W.I., Werdany; S.B. Lestari dan R. Harnowo. 1999. Pengkajian Sistem Usaha Tani Berbasis Kambing di DIY. Laporan Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.

Nurcahyo, W., 2004. Pemeliharaan Kesehatan Ternak Sebagai Pendukung Usaha Peternakan Ruminansia Kecil. Bagian Parasitologi FKH-UGM. Makalah Workshop on Animal Science Small Ruminant Development. 27-28 Januari. Fapet UGM, Yogyakarta. Panjaitan, T.S., E. Budisantoso and A. Bamualim, 2000. Improving growth and reproduction of local goats on dry land in Timor by supplementation with Sesbania grandifloras and palm pith (Corypha gebanga). Proceedings of a Workshop Small Ruminant Production: Recommendations for South East Asia held in Prapat, North Sumatera, Indonesia .

ANIMAL PRODUCTION, 2007, hlm. 9 13 PRODUCTION ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Produk Metabolisme Rumen pada Domba Jantan


( The Rumen Metabolism Product in Male Sheep )
SNO Suwandyastuti
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT : Generally, sheep are capable to cosume the forage about 90 percent of their dry matter requirement. In Indonesia, sheep generally accumulated in low land area, so that the requirement to be supply by dried field grass only. An experiment have been conducted at the Experimental Farm, Faculty of Animal Science, General Soedirman University. Twenty seven male sheep were used in a Completely Randomized Blok Design of three replication. The factors tested were : three levels of dried field grass at: 0, 21.25 and 42.50 percent dry matter of ration. The variables measured were: (1) crude fibre digestion coefficient; (2) Rumen metabolism product: volatile fatty acids, espencially acetate (C2), propionate (C3), butyrate (C4 ), and valerate (C5 ). The digestion trial was carried out by the Total Collection methods and the production of individual volatile fatty acids were determined by chromatography technique. The analysis of covariance shown, that there was no significantly effects of treatment tested upon the crude fibre digestion coefficient (P>0.005), but there were a highly significant effect ( P<0.001) upon the production of acetate ((C2) and propionate (C3). The relationship of ceude fibre digestion coefficient with all of the rumen metabilism product were shown to be same, in cubic form. Based on the crude fibre digestion coefficient and the production of individual volatile fatty acid, it was found that dried fields grass can be used up to 42.50 percent of ration dry matter for male sheep. Key Words : metabolism, forage, grass, sheep

Pendahuluan
Pengembangan peternakan secara ekstensif mungkin tidak dapat dilakukan lagi, terutama di daerah pulau Jawa. Peningkatan produksi ternak ruminansia tidak mungkin tercapai tanpa disertai peningkatan penyediaan hijauan yang kontinyu baik mutu maupun jumlahnya. Ternak domba mampu mengkonsumsi hijauan sekitar 90% dari seluruh kebutuhan bahan keringnya. Namun demikian, ternak domba di Indonesia pada umumnya terakumulasi di daerah lahan kering, sehingga kebutuhan hijauannya hanya terpenuhi dari rumput kering atau bahan limbah pertanian yang kurang bermutu. Seperti halnya ternak ruminansia lain, domba juga mampu mencerna bahan kasar bermutu rendah menjadi sumber energi yang bermanfaat. Rendahnya mutu hijauan dan terjadinya perubahan bentuk fisik akibat proses penuaan dan pengeringan, sangat berpengaruh terhadap proses pencernaan fermentatif di dalam rumen yang selanjutnya akan menentukan jumlah dan komposisi produk metabolisme di dalam rumen. Produk fermentasi dalam rumen dapat langsung dipergunakan untuk proses metabolisme di dalam rumen atau langsung diserap sebagai sumber energi untuk hewan induk semang.
9

Dengan mengetahui jumlah molar masing-masing produk metabolisme di dalam rumen tersebut, dapat diketahui efisiensi penggunaan energi secara keseluruhan, alokasinya untuk proses produksi, serta produk yang dihasilkannya. Produk metabolisme utama di dalam rumen adalah asam lemak atsiri, terutama asetat (C2), propionat (C3), dan butirat (C4).

Metode Penelitian
Materi penelitian
Ransum percobaan terdiri dari : campuran konsentrat, rumput lapangan segar dan kering, serta jerami padi teramoniasi yang disusun menjadi 3 macam ransum percobaan, berdasarkan perbedaan bentuk fisik rumput lapangan, yaitu: rumput segar, rumput kering dan campuran. Berdasarkan komposisi bahan-bahan keringnya, ransum percobaan disusun seperti pada Tabel 1. Kebutuhan bahan kering ransum dihitung secara individual sesuai dengan petunjuk National Research Council (1975), berdasarkan bobot badan awal dan pertambahan bobot badan harian yang diharapkan. Sebagai hewan percobaan dipergunakan 27 ekor domba jantan berumur sekitar 8 bulan yang dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan bobot badan.

10

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 9 - 13

Tabel 1. Susunan bahan makanan ransom percobaan Bahan Makanan Konsentrat Jerami padi amoniasi Rumput segar Rumput kering Ransum Percobaan R2 R3 R1 --- % bahan kering--50,00 50,00 50,00 7,50 7,50 7,50 42,50 21,25 0 0 21,25 42,50

dalam percobaan ini. Sebagai peragam ditetapkan bobot badan awal percobaan. Untuk mengetahui taraf optimal penggunaan rumput kering dalam ransum domba jantan dilakukan uji ortogonal polinomial.

Hasil dan Pembahasan


Hijauan atau bahan kasar yang lain merupakan sumber energi yang potensial bagi ternak ruminansia, termasuk domba. Sekitar 75 persen karbohidrat dalam ransum ruminansia berasal dari hijauan dalam bentuk serat kasar. Besarnya kecernaan serat kasar antara lain dipengaruhi oleh (a) konsumsi bahan kering ransum; (b) komposisi ransum; (c) komposisi kimia bahan makanan; (d) bentuk fisik ransum dan (e) kondisi faali hewan percobaan. Kelima faktor saling berinteraksi yang selanjutnya juga akan mempengaruhi produk fermentasi dalam rumen. Semua ternak herbivora termasuk ruminansia, mempunyai sifat selective grazing, yaitu sifat khas dalam memilih hijauan. Sifat ini sangat kuat pada hewan muda dan akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Merumput merupakan rangkaian proses yang diawali dengan mencium-cium aroma hijauan dan diakhiri dengan mengecap atau merasakan sebagai penentu keputusan dalam proses memilih tersebut (Hafez, 1962). Dalam percobaan ini, aroma dan rasa yang paling disukai domba jatuh pada taraf rumput kering sebesar 21,25%, dimana rumput lapangan merupakan campuran antara rumput kering dengan rumput segar dengan perbandingan yang sama. Disamping ditentukan oleh bau dan rasa, palatabilitas hijauan sangat dipengaruhi oleh jenis dan tekstur hijauan. Hasil penelitian ini membuktikan, bahwa semakin tinggi taraf rumput kering dalam ransum, semakin rendah konsumsinya. Adanya proses pengeringan menyebabkan terjadinya perubahan tekstur hijauan, terutama pada bagian luarnya (Sutardi, 1977). Hal ini diduga yang menyebabkan rumput kering paling sedikit dikonsumsi oleh domba. Semua domba percobaan mempunyai kemampuan yang sama dalam mencerna serat kasar ransum percobaan (P>0,05). Walaupun taraf rumput kering dalam ransum cenderung menurun sejalan dengan konsumsi bahan kering, tetapi perbedaan konsumsi bahan kering ini belum berpengaruh terhadap kecernaan serat kasar. Perkembangan fungsi dan kapasitas rumen pada saat pertumbuhan preruminant sangat ditentukan oleh tatalaksana pemberian makanan serta bentuk dan

Keterangan : R = Taraf penggantian rumput segar dengan rumput kering, atau taraf penggunaan rumput kering dalam ransum percobaan, berturut-turut 0,50 dan 100% BK rumput segar.

Kelompok Bobot (KB) I mempunyai rataan bobot 17,39 + 1,56 kg; KB II dengan bobot 22,33 + 0,79 kg dan KB III dengan bobot 24,70 + 1,40 kg. Masingmasing domba percobaan ditempatkan secara acak dalam pen (kandang) individual, yang merupakan kandang metabolisme yang dimodifikasi.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan metode eksperimental, menggunakan rancangan acak kelompok (Steel dan Ttorrie, 1981). Perlakuan yang diuji coba adalah R1 = 42,50% rumput lapangan segar (RS) dan 0% rumput lapangan kering (RK); R2 = 21,25 persen RS dan 21,25 RK; R3 = 0% RS dan 41,40% RK. Penelitian dilaksanakan selama 17 minggu, terdiri dari 14 minggu percobaan pemberian pakan (feeding trial) dan 3 minggu percobaan pencernaan (digestion trial). Kecernaan serat kasar diukur dengan metode koleksi total (Cole dan Ronning, 1974 ; Annenkov, 1981). Pengukuran serat kasar dilakukan terhadap cuplikan ganda (composite samples) selama percobaan pencernaan (digestion trial). Peubah respon yang diukur dalam percobaan ini : (1) Kecernaan serat kasar; (2) Produk fermentasi rumen, yaitu jumlah molar masing-masing asam lemak atsiri : asetat (C2), propionat (C3), butirat (C4), dan valerat (C5).

Analisis Data
Untuk mengurangi (menghilangkan) pengaruh keragaman kondisi faali hewan percobaan, yang antara lain tercermin dari keragaman bobot badan, maka dilakukan analisis kovariansi, sehingga tidak ada bias

Produk Metabolisme Rumen (Suwandyastuti)

11

komposisi ransum. Ditinjau dari konsumsi bahan kering dan kecernaan serat kasar, domba percobaan dalam penelitian ini hanya berbeda kapasitas rumennya saja, sedangkan perkembangan fungsinya relatif sama. Secara statistik hal ini dibuktikan dari hasil analisis kovariansi, baik dengan peubah penentu bobot badan awal maupun dengan bobot rumen. Kecernaan bahan kering, bahan organik, serat kasar maupun protein sangat berkaitan dengan konsumsi bahan kering. Oleh karena sebagian besar bahan kering ransum terdiri dari karbohidrat, sedangkan karbohidrat dalam ransum ternak ruminansia 75 persennya berasal dari hijauan, maka konsumsi bahan kering pada umumnya mempunyai korelasi positif dengan kecernaan nutrisi hijauan, disamping faktorfaktor lain yang saling berinteraksi.

Sekitar 60-75% karbohidrat ransum dicerna secara fermentatif di dalam rumen, sedangkan sisanya, akan dicerna dalam pencernaan pasca rumen. Sebaliknya, protein kasar hanya sekitar 30% yang dicerna di dalam ransum dan sisanya, yaitu sekitar 70% akan mengalami pencernaan pasca rumen seperti halnya pada hewan monogastik. Pemecahan karbohidrat dalam rumen terjadi melalui dua tahap : (1) pemecahan karbohidrat menjadi glukosa; (2) pemecahan glukosa menjadi piruvat, kemudian diubah menjadi asam lemak atsiri. Masingmasing jenis karbohidrat akan menghasilkan produk fermentasi rumen yang spesifik. Apalagi kecernaan serat kasar dalam rumen cukup tinggi, maka produk yang dihasilkan sebagian besar terdiri dari asetat (C2) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rataan produksi masing-masing asam lemak atsiri pada domba percobaan Kelompok domba I Taraf rumput kering 0,00 21,25 42,50 0,00 21,25 42,50 0,00 21,25 42,50 C2 g 152,00 154,60 115,30 258,00 205,20 123,20 222,70 153,80 133,60 C3 g 97,60 98,40 72,90 143,40 102,60 94,20 78,60 70,70 62,90 iC4 mg 361,70 490,80 449,00 627,20 540,00 499,60 552,80 693,70 421,30 nC4 iC5 g mg 29,00 434,00 34,40 1071,60 22,40 598,70 56,90 830,30 33,40 846,00 25,80 666,10 42,00 745,90 35,00 1187,50 16,70 557,70 nC5 mg 600,40 490,80 449,00 733,20 540,00 691,10 739,30 518,70 492,50

II

III

Dalam percobaan ini, tingkat kecernaan serat kasar tertinggi dicapai pada taraf pemberian rumput kering tertinggi (42,50%). Tingginya kadar air dan halusnya struktur rumput segar, menyebabkan cepatnya laju pergerakan digesta dalam rumen, sehingga karbohidrat ransum, terutama yang terbentuk serat kasar tidak sempat dicerna secara insentif di dalam rumen. Sebaliknya tingginya taraf rumput kering dalam ransum akan memperlambat laju pergerakan digesta dalam rumen dan memperpanjang retention time (waktu tinggal) digesta di dalam rumen. Dengan keadaan demikian, miroba rumen mendapat kesempatan lebih lama untuk mencerna serat kasar ransum. Menurut Cullison (1978), kemampuan ruminansia dalam memanfaatkan serat kasar ransum menjadi sumber energi, sangat tergantung pada jenis, jumlah populasi dan aktivitas mikroba rumen. Beberapa ahli ruminologi berpendapat bahwa mikroorganisme rumen bersifat species spesific, feed spesific dan regional spesific. Terjadinya perbedaan tingkat kecernaan serat

kasar antar domba, kemungkinan besar disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas. Analisis kovariansi terhadap produksi asetat dan produksi propionat menunjukkan bahwa kedua peubah respon tersebut mempunyai pola yang sama, walaupun angkanya sedikit berbeda. Taraf rumput kering dalam ransum percobaan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap produksi asetat maupun propionat. Nisbah antara produksi asetat (C2) dan propionat (C3) biasa dipergunakan sebagai tolok ukur efisiensi alokasi penggunaan energi pada ternak ruminansia. Tingginya nisbah asetat propionat mengakibatkan rendahnya efisiensi penggunaan energi. Lebih-lebih apabila hal ini terjadi pada fase penggemukan. Sebaliknya, produksi asetat yang terlalu rendah pada ruminansia laktasi akan menimbulkan low fat syndrome. Pada Tabel 2 terlihat bahwa produksi asetat relatif lebih tinggi daripada propionat. Namun demikian, nisbahnya masih dalam kisaran yang normal untuk hewan tumbuh.

12

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 9 - 13

Walaupun seringkali diabaikan dalam pendugaan efisiensi penggunaan energi, tetapi mengingat sifatnya yang relatif sama dengan asetat, maka jumlah molar butirat seyogyanya diperhitungkan juga. Apabila jumlah molar propionat yang bersifat ketogenik, maka perlu dilakukan manipulasi produk fermentasi rumen, agar dicapai efisiensi penggunaan energi yang optimal. Jumlah molar masing-masing asam lemak atsiri dalam rumen antara lain dipengaruhi oleh nisbah hijauan konsentrat, taraf konsumsi bahan kering ransum, dan cara pemberiannya (Thomas dan Rook, 1981). Tingginya proporsi hijauan akan menghasilkan asetat yang tinggi, sebaliknya jumlah molar peopionat akan meningkat apabila proporsi konsentrat atau karbohidrat mudah tercerna dalam ransum lebih tinggi daripada serat kasar (Philipson, 1970; Maynard et al., 1979). Serat kasar dalam ransum sebagian besar berasal dari hijauan, sehingga kandungan serat kasar ransum Tabel 3.

beserta kecernaannya berkaitan erat dengan jumlah molar asam lemak atsiri dalam rumen, terutama asetat dan butirat. Hubungan antara kecernaan serat kasar dengan masing-masing molar asam lemak atsiri, bentuk persamaan garisnya dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 nampak jelas, bahwa masing-masing molar asam lemak atsiri mempunyai bentuk pola hubungan yang sama dengan kecernaan serat kasar ransum percobaan. Persamaan garisnya berbentuk kubik, walaupun besarnya koefisien determinasi dan tingkat hubungannya berbeda-beda. Hasil percobaan ini agak berbeda dengan teori maupun hasil percobaan sebelumnya (Sutton, 1980), yaitu produksi atau jumlah molar asetat mempunyai hubungan yang kurat erat dengan tingkat kecernaan serat kasar ransum (R2 : 22,80% dan r : 0,47), sebaliknya tingkat hubungan dengan produksi atau jumlah molar propionat nampaknya tetap normal. Di lain pihak, tidak semua .

Hubungan antara peubah pengamatan produk metabolisme rumen (Y) dengan kecernaan serat kasar (X) Persamaan Garis Y : 28642.9 + 1317X 19.9X2 + 0.1X3 Y : -16366 + 746.5X 11.2X2 + 0.06X3 Y : -117708.2 + 5341X 79.9X2 + 0.4X3 Y : -6144.9 + 281.2X 4.2X2 + 0.02X3 Y : -192154.7 + 8639.8X 128.1X2 + 0.63X3 Y : -107156.7 + 4930.8X 74.7X2 + 0.37X3 R2 (%) 22,80 14,60 37,30 19,50 30,70 25,90 r 0,47 0,38 0,61 0,44 0,55 0,51

Peubah C2 (asetat) C3 (propionat) iC4 (isobutirat) nC4 (n-butirat) iC5 (isovalerat) nC5 (n-valerat)

C2 (asetat) berasal dari produk pencernaan fermentatif serat kasar di dalam rumen. Selain itu bagian besar asetat rumen mungkin diproduksi melalui piruvat dengan dua reaksi umum, yaitu : (1) dekarboksilasi oksidasi yang menghasilkan asetat, CO2 dan H2; (2) fosforilasi (pemecahan fosfor) atau reaksi yang samasama menghasilkan asetat dan format, sedangkan CO2 yang terbentuk direduksi dengan H2 untuk membentuk CH4 (Bryant, 1970). Apabila dikaji dan dihitung secara terinci, sebetulnya sistem biofermentasi di dalam rumen tidak efisien, karena sebagian energi terbuang sebagai panas fermentasi, gas metan dan format, serta masih ada produk fermentasi lain yang tidak terukur, seperti CO2 dan H2. Apabila produk-produk tersebut dapat terukur semua, mungkin sekali akan menghasilkan persamaan regresi yang mantap dan kuat, serta kurva respon asetat yang sejalan dengan kurva kecernaan serat kasar. Sistem biofermentasi dalam rumen dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, apabila pola fermentasi

dapat menghasilkan jumlah molar atau produksi propionat yang tinggi, yaitu sekitar 25-35% total produksi asam lemak atsiri dalam rumen, karena panas yang terbuang sebagai gas metan dapat dikurangi (Preston, 1986). Manipulasi jumlah molar atau produk metabolisme rumen dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi yang paling mudah dan praktis dilakukan yaitu dengan mengatur pola pemberian makanan. Peningkatan frekuensi pemberian makan dapat merubah pola fermentasi melalui 2 jalan: (1) meningkatkan nisbah propionat-butirat; (2) menurunkan jumlah molar atau produksi iso-butirat, valerat dan isovalerat (Bunting et al., 1987).

Kesimpulan
Kecernaan serat kasar mempunyai pola hubungan sama dengan semua produk metabolisme rumen (C2, C3, C4, dan C5). Berdasarkan kecernaan serat kasar dan produksi asam lemak atsiri, menunjukkan bahwa

Produk Metabolisme Rumen (Suwandyastuti)

13

rumput kering dapat dipergunakan sampai 42,50% BK ransum domba jantan.

Mavnard, L.A., J.K. Looslie., H.F. Hunts and R.G. Wagner, 1979. Animal Nutrition. 7th Ed. Tata Graw-Hill Publ. Co., Ltd., New Delhi. National Research Concill, 1975. Nutrien Requirement of Sheep. National Academic Press. Washington. Philipson, A.T., 1970. Ruminant Degestion. In: Swenson W.J. Ed. Dukes Physiology of Domestic Animal. Cornell University Press. Ithaca and London. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1981. Principles and Procedures of Statistic. 2nd Ed. Mc Graw-Hill Book Cp. Inc., New York. Sutardi, T., 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Kursus Peternakan Sapi Perah di Kayu Ambon. Lembang BPLPP Ditjen Peternakan FAC. Sutton, J.D., 1980. Digestion and End Product Formation in the Rumen Production Ration. In: Y. Ruckebush aang P. Thivend. Ed. Digestion Physiology and Metabolism in Ruminant. AVI. Publs. Co., Inc., Connecticut. Thomas, P.C. and J.A.F. Rook, 1981. Manipulation of Rumen Fermentation. Recent Development in Ruminant Nutrition. 1 st Publs., Butterworths. London. Boston. Sydney. Wellington. Duban. Torronto.

Daftar Pustaka
Annenkov, B.N., 1981. Methods of determination of the Requirements of Farm Animals for Minerals. In : Samokhin ed. Minerals Nutrition of Animals. V. I. Georgievskii, B.N. Annenkov, V. T.Butterworths, London. Bryant, P.M., 1970. Microbiology of the Rumen. In : Dukes Physuilogy of Domestic Animal. Swenson M. J. ED. Cornell University Press. Ithaca and London. Cole, H.H. and M. Roming, 1974. Animal Aquaculture. The Biology of Domestic Animals and Their Yse by Man. W.H. Freeman e Co., San Fransisco. Gimson, A.F., 1978. Feeds and Feeding. Prentice Hall of India Peivated Ltd. New Delhi. Hales, E.S.E. and T.A. Dyer., 1962. Animal Growth and Nutrition. Lea & Fabiger. Philadelphia. Henderickx, H., J. Martin, L. Baert, 1962. The Use of S-35 in the Study of Rumen Metabolism. Utilization des Traceura. Comp. Rend., 28: 65-81.

ANIMAL PRODUCTION, 2007, hlm. 14 18 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Pengaruh Penambahan Aras Mineral pada Fermentasi Sorghum dengan Ragi Tempe terhadap Kecernaan Nutrien pada Ayam Petelur
(The Effect of Mineral Addition in Fermentation of Sorghum Grain with Tempeh Yeast on Nutrient Digestibility in Layer Chicken)
C.S. Utama, I. Estiningdriati , V. D. Yunianto, W. Murningsih
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang

ABSTRACT : The aim of the research was to study nutrient digestibility of fermented sorghum added with Ramos mineral in layer chicken. The experiment was in vivo using a Completely Randomised Design with 4 treatments. Each treatment has 5 replicates. The feed was given by force feeding method. Results showed that TO, T1, T2, and T3 have no significant effects (P>0.05) on the digestibility of crude protein, fat, and fiber. The digestibility of crude protein was 80.83%; 74.97%; 77.16% and 75.98%; fat: 77.40%; 79.14%; 85.19% and 86.07%; and fiber: 76.74%; 73.10%; 72.57% and 79.52%, for TO, T1, T2, and T3, respectively. In conclusion, addition of Ramos mineral in sorgum grain fermented with tempe yeast resulted in similar crude protein, fat and fat digestibility by layer chicken. Key Words : mineral, sorghum, fermentation, digestibility

Pendahuluan
Sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) merupakan salah satu hasil pertanian dengan produksi rata-rata 6089 ton dari luas panen 3344 ha/tahun di daerah Jawa Tengah (BPS, 1998). Sorghum banyak tumbuh di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur dan belum banyak dimanfaatkan secara maksimal. Tanaman sorghum tumbuh relatif cepat, tahan terhadap kekeringan, ditopang oleh perakaran yang halus dan dapat tumbuh agak dalam di bawah tanah serta dapat dipanen pada umur 120 hari. Kendala yang dihadapi dalam pengunaan biji sorghum sebagai pakan yaitu kandungan taninnya yang dapat menghambat kerja enzim tripsin, lipase, amilase, protease sehingga berpengaruh terhadap kecernaan nutrien. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu pengolahan terhadap biji sorghum sebelum diberikan pada ayam untuk meningkatkan kualitas, diantaranya melalui proses pembuatan tempe sorghum. Pengolahan biji sorghum dilakukan secara fermentasi dengan menggunakan mikroorganisme yang berupa kapang Rhizopus sp kemudian ditambah dengan mineral ramos yang terdiri dari (NH2)2 SO4, urea, NaH2PO4., MgSO4.7 H2O, KCl, FeSO4, dan CaCl2, (Ramos et al., 1983). Sumber nitrogen bukan protein yang ditambahkan dalam media fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ion NH4 dan CO2, selanjutnya NH4 yang terbentuk digunakan oleh kapang untuk proses biokonversi menjadi protein
14

kapang. Terbentuknya biomassa protein kapang dalam proses fermentasi akan meningkatkan kadar protein dan asam amino substrat (Lidya dan Djenar,2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kecernaan nutrien hasil fermentasi sorghum yang ditambah mineral Ramos dengan ragi tempe pada ayam petelur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang aras pemberian mineral Ramos yang tepat pada fermentasi sorghum dengan ragi tempe, yang menghasilkan kecernaan tinggi.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak dan Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang. Materi yang digunakan antara lain 42 ekor ayam petelur afkir strain Lohmann Brown dengan bobot badan 1,65 + 0,05 kg dengan konsumsi pakan perlakuan (tempe sorghum) sebanyak 30 g/ekor/hari, kandang baterai berukuran 30 x 40 x 30 cm untuk percobaan kecernaan, biji sorghum (Sorghum bicolor (L) Moench) sebanyak 25 kg, plastik, ragi tempe merk raprima inokulum tempe PT. Aneka Fermentasi Industri (AFI) Bandung Indonesia, mineral formula Ramos et al. (1983) terdiri dari (NH2)2 SO4, urea, NaH2PO4.7H2O, KCl, FeSO4, dan CaCl2, Adapun

Pengaruh Penambahan Aras Mineral (Utama et al.)

15

formula Ramos yang digunakan pada percobaan dapat dilihat pada Tabel 1. Metode yang digunakan dalam pengukuran kecernaan yaitu dengan cara force feeding (Sibbald, 1983). Pengukuran kecernaan dilakukan dengan metode force feeding yaitu ayam terlebih dahulu dipuasakan selama 24 jam untuk membersihkan saluran pencernaan dari sisa pakan sebelumnya. Pemberian pakan percobaan dilakukan dengan force feeding sebanyak 30 gram per ekor per hari, setelah 2 hari pemberian pakan perlakuan, ayam dipuasakan lagi selama 24 jam. Saat ayam dipuasakan air minum tetap tersedia. Penampungan ekskreta dilakukan selama 3 hari yaitu sejak pakan percobaan diberikan sampai pemuasaan 24 jam yang kedua dengan meletakkan plastik tepat di bawah kandang battery pada masingmasing perlakuan. Ekskreta yang ditampung disemprot dengan HCl 0,2 N yang berfungsi mengikat N agar tidak hilang karena menguap. Ekskreta kemudian

ditimbang bobot basahnya dan dijemur, setelah kering ditimbang untuk mengetahui berat kering udara. Ekskreta yang telah kering digiling dan diambil sampelnya untuk dianalisis kadar protein kasar, lemak kasar dan serat kasar di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP Kecernaan protein kasar, lemak kasar dan serat kasar diukur berdasarkan rumus Scott et al. (1982). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Perlakuan yang diterapkan adalah penambahan formula Ramos untuk T1, T2 dan T3 masing-masing sebanyak 40, 50 dan 60% dari total formula Ramos untuk 1 Kg sorghum serta tanpa penambahan mineral sebagai kontrol (T0). Data hasil penelitian dianalisis menggunakan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh nyata (P<0,05) dengan uji wilayah ganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1980).

Tabel 1. Komposisi mineral ramos pada setiap perlakuan fermentasi 100% Formula Mineral Ramos (T0) 75,00 g (NH2)2SO4 40,00 g Urea 15,00 g NaH2PO4 5,00 g MgSO47 H2O 0,50 g KCL 0,50 g CaCl2 0,75 g FeSO47H2O 40% Formula Mineral Ramos (T1) 30,00 g (NH2)2SO4 16,00 g Urea 6,00 g NaH2PO4 4,10 g MgSO47 H2O 0,20 g KCL 0,20 g CaCl2 0,55 g FeSO47H2O 50% Formula Mineral Ramos (T2) 37,50 g (NH2)2SO4 20,00 g Urea 7,50 g NaH2PO4 5,10 g MgSO47 H2O 0,25 g KCL 0,25 g CaCl2 0,69 g FeSO47H2O 60% Formula Mineral Ramos(T3) 45,00 g (NH2)2SO4 24,00 g Urea 9,00 g NaH2PO4 6,10 g MgSO47 H2O 0,30 g KCL 0,30 g CaCl2 0,82 g FeSO47H2O

1. Kecernaan protein kasar

( konsumsi Protein

Kasar pakan ) ( feses Protein Kasar feses) 100 % konsumsi Protein Kasar pakan 100 %

2. Kecernaan Lemak Kasar

( konsumsi Lemak Kasar pakan) ( feses Lemak Kasar feses)


konsumsi Lemak Kasar pakan

3. Kecernaan serat kasar

( konsumsi Serat Kasar pakan) ( feses Serat Kasar feses) 100 %


konsumsi Serat Kasar pakan

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian pengaruh penambahan aras mineral pada fermentasi sorghum dengan ragi tempe terhadap kecernaan nutrien pada ayam petelur ditampilkan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam

menunjukkan bahwa berpengaruh tidak nyata terhadap kecernaan protein, lemak dan serat kasar.

Kecernaan Protein Kasar


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa berpengaruh tidak nyata (P>0,05) dari penambahan

16

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 14 - 18

aras mineral pada fermentasi sorghum dengan ragi tempe terhadap kecernaan protein kasar. Daya cerna protein diantaranya dipengaruhi oleh persentase protein pakan, komposisi pakan dan bentuk fisik pakan. Kecernaan protein yang sama juga disebabkan kandungan asam-asam amino yang tidak seimbang. Menurut Tilman et al. (1998) daya cerna protein diantaranya dipengaruhi oleh persentase protein pakan, komposisi pakan dan bentuk fisik pakan. Kandungan energi pakan dan bentuk fisik pakan pada perlakuan ini relatif sama, sehingga tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar sedangkan kandungan protein pada masing-masing T0, T1, T2 dan T3 sebesar 7,99; 14,22; 17,52; dan 16,51%. Peningkatan kadar protein ini tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan protein. Perbedaan kadar protein dalam tempe sorghum disebabkan karena proses biokonversi kapang dalam memanfaatkan mineral Ramos yang ada pada tempe sorghum sehingga protein dan asam aminonya dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartanto (1990) yang menyatakan bahwa sumber nitrogen bukan protein (NPN) yang ditambahkan ke dalam media fermentasi akan terurai oleh enzim urease menjadi ion NH4 dan CO2, selanjutnya NH4 yang terbentuk digunakan oleh kapang untuk proses biokonversi menjadi protein kapang. Terbentuknya biomassa protein kapang dalam proses fermentasi akan meningkatkan kadar protein dan asam amino substrat. Sintesis protein di dalam sel membutuhkan mineral Mg2+ sebagai kofaktor dalam proses metabolismenya. Konsumsi pakan yang sama juga dapat mengakibatkan kecernaannya tidak jauh berbeda. Peningkatan kadar protein ini tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan protein. Wahju (1997) menyatakan bahwa kualitas protein pakan tergantung pada keseimbangan asam amino yang terkandung didalamnya. Kandungan asam amino essensial pada T0 , semua dibawah standar sedangkan T1, T2 dan T3 sebagian besar meningkat tapi melebihi kebutuhan yang telah ditetapkan. Asam amino mempunyai sifat sinergis dan antagonis. Sifat antagonis misalnya, dalam keadaan normal kandungan arginin meningkat seiring dengan peningkatan lisin begitu juga antara valin, leusin dan isoleusin sedangkan sifat sinergis yaitu tyrosin dapat menggantikan setengah kebutuhan phenilalanin dan sistin dapat menggantikan setengah kebutuhan metionin, namun pada T1,T2 dan T3 peningkatannya melebihi kebutuhan standar sehingga kandungan asam aminonya tidak seimbang (Tabel 3). Kandungan asam amino yang tidak seimbang dapat menghambat laju

pakan, menekan absorbsi pakan, menurunkan kecernaan dan mengakibatkan konsumsi pakan menjadi rendah. Ketidakseimbangan asam amino ini yang menyebabkan penyerapan pakan perlakuan menjadi sama sehingga tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar.

Kecernaan Lemak Kasar


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan lemak. Kecernaan lemak kasar yang sama disebabkan kandungan lemak kasar yang relatif sama yaitu masing-masing T0, T1, T2 dan T3 sebesar 3,25; 4,25; 4,04; dan 3,93%. Pemberian aras mineral Ramos yang berbeda pada perlakuan, ternyata tidak menyebabkan perubahan pada kandungan lemak kasar. Kandungan lemak kasar yang relatif sama disebabkan pada saat proses fermentasi enzim lipase di dalam ragi tempe tersedia dalam jumlah yang sedikit karena kapang Rhizopus sp merupakan kapang yang potensial dalam memecah substrat yang berasal dari sumber protein sehingga proses pemecahan lemak kasar tidak berjalan secara optimal. Kecernaan lemak kasar juga berkaitan dengan kandungan serat kasar dalam tempe sorghum. Serat kasar pada masing-masing perlakuan relatif sama yaitu 3,19% (T0); 3,41% (T1); 3,95% (T2) dan 3,75% (T3) dan masih dalam kisaran normal yaitu 5 - 7% dalam pakan. Jumlah pakan yang diberikan dan kandungan lemak pakan yang relatif sama mengakibatkan kecernaan lemak kasarnya juga sama. Kandungan serat kasar yang sama tidak mengakibatkan terganggunya absorbsi lemak sehingga kecernaan lemaknyapun relatif sama.

Kecernaan Serat Kasar


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa berpengaruh tidak nyata (P>0,05) dari penambahan aras mineral pada fermentasi sorghum dengan ragi tempe terhadap kecernaan serat kasar. Kecernaan serat kasar yang sama disebabkan karena kandungan serat kasar pakan perlakuan relatif sama yaitu 3,19% (T0); 3,41% (T1); 3,95% (T2) dan 3,75% (T3) serta masih dibawah standar yaitu 5 - 7% dalam pakan. Kandungan serat kasar tempe sorghum cenderung meningkat, hal ini disebabkan oleh adanya miselium pada tempe yang terhitung sebagai serat kasar dalam analisis, namun peningkatan ini, tidak menyebabkan pengaruh yang nyata pada kecernaan serat kasar. Gray (1970) dalam Hartanto (1990) menyatakan bahwa peningkatan serat kasar diakibatkan oleh berkembangnya miselium

Pengaruh Penambahan Aras Mineral (Utama et al.)

17

kapang dan kehilangan sejumlah padatan lainnya. Perkembangan miselium yang semakin banyak didukung dengan nutrien yang ada dalam formula

Ramos sehingga kapang Rhizopus dapat berkembang dengan optimal.

Tabel 2. Kecernaan protein kasar, kecernaan lemak kasar dan kecernaan serat kasar tempe sorghum pada masing-masing perlakuan (%) Perlakuan Protein Kasar T0 T1 T2 T3 80,45 81,71 81,23 83,56 Kecernaan Lemak Kasar 77,40 79,14 85,19 86,07 Serat Kasar 76,74 73,10 72,57 79,52

Tabel 3. Standar kebutuhan asam amino pada ayam petelur dibanding dengan kandungan asam amino tempe sorghum pada masing-masing perlakuan (%) Asam Amino Arginin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Sistin Fenilalanin Tirosin Threonin Valin Standar Kebutuhan 0,85 0,34 0,68 1,32 0,73 0,27 0,78 0,54 0,54 0,68 T0 0,55 0,24 0,51 1,15 0,37 0,22 0,50 0,38 0,37 0,57 T1 0,85 0,38 0,97 1,72 0,68 0,21 0,77 0,33 0,62 0,87 T2 0,94 0,42 1,07 1,96 0,77 0,26 0,87 0,25 0,79 1,03 T3 0,89 0,34 0,98 1,68 0,74 0,24 0,77 0,25 0,66 0,95

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan aras mineral Ramos sampai 60% pada fermentasi biji sorghum dengan ragi tempe, tidak mempengaruhi kecernaan protein kasar, lemak kasar dan serat kasar pada ayam petelur.

Kompiang, I. P., 1993. Prospect of biotechnology on improvement of nutritional quality of feedstuffs. IARD Journal. 15 (4): 86-90. Kumar, R dan M. Singh, 1984. Tanins, their adverse role in ruminant nutrition. Journal of Agriculture and Food Chemisryt. 32 : 447 453. Lidya, B. dan N. S. Djenar, 2000. Dasar Bioproses. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Ramos, V., M. Derajat Ia Torre dan C. Casas Campillo, 1983. Solid State Fermentation of Cassava with Rhizopus oligosporus. In: Production and Feeding of Single Cell Protein. Frante, M. P. dan A. Fiechter (Eds). Applied Sci. Pub. London. Scott, M. L., M. C. Nesheim dan R. I. Young, 1982. Nutrition of the Chicken. 2nd Ed. M. L. Scott and Association. Ithaca, New York.

Daftar Pustaka
Anggorodi, R., 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT Gramedia, Jakarta. Badan Pusat Statistik, 1998. Buletin Ringkas BPS. Agustus 1998. BPS Jakarta-Indonesia [1] : 24-25. Hartanto, R., 1990. Pengaruh jenis kapang dan lama fermentasi terhadap mutu dan daya simpan tempe limbah jamur merang. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

18

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 14 - 18

Sibbald, L.R., 1995. The True Metabolizable Energy of Feed Evaluation. Animal Research Centre, Ottawa. Steel, R.G.D. and J. H. Torrie, 1980. Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. International Student Ed. McGraw-Hill. Kogakusha Ltd. Tokyo.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Lebdosoekodjo, S. Prawirokusumo dan S. Reksohadiprodjo, 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wahju, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke- 4. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 19 23 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Effect of Polyethylene Glycol (PEG) on Blood Parameters of Sheep Given Leucaena Pallida Leaves Base Diet
(Pengaruh Penambahan Polyethylene Glycol (PEG) terhadap Parameter Darah Ternak Domba yang Mendapatkan Ransum Dasar Daun Leucaena Pallida )
Rusdi
Feed and Nutrition Section Faculty of Agriculture, Tadulako University, Palu

ABSTRAK : Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan PEG dalam mengurangi pengaruh negatif dari pemberian daun Leucaena pallida pada ternak domba melalui pengamatan parameter darah. Sebanyak 12 ekor domba ditempatkan secara acak pada dua perlakuan dengan 6 ulangan. Domba diberi pakan dasar daun Leucaena pallida dengan tambahan PEG atau tanpa PEG selama empat minggu melalui automatic feeders. Data parameter darah antar perlakuan dianalisa dengan uji t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PEG secara konsisten meningkatkan kecernaan makanan terkonsumsi dalam saluran pencernaan domba yang ditunjukan dengan meningkatnya konsentrasi urea darah, glukosa darah dan -hydroxybutyrat darah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penambahan PEG ke dalam ransum yang mengandung tannin berpotensi untuk meningkatkan nilai hayati pakan. Kata Kunci : PEG, darah, tannin

Introduction
Leucaena pallida is a leguminous tropical multipurpose tree (MPT), which is resistant to the psyllid (Heteropsylla cubana) attack and it could survive with a periodical defoliation. Leaves and edible stem have crude protein content ranging from 27.50-35.10 g/kg dry matter (DM) (Dalzell et al., 1998), with 0.7 g/kg DM calcium (Ca), 0.48 g/kg DM phosphorus (P) and 0.68 g/kg DM sulfur (S). However, it contains several antinutritional factors (ANFs) that hamper its use as a feedstuff. One of ANFs is condensed tannin (CT) of 9.30 g/kg DM (Dalzell et al., 1998), or even 20 g/kg DM (Rusdi, 2004). Gobius (2001) reported that Leucaena pallida leaves reduced nitrogen balance of sheep as more protein (nitrogen) were voided to the faeces. A similar trend was reported by McNeill et al. (1998), even though they found a higher DM intake compared to the others Leucaena species introduced. An alternative method to possibly enhance microbial adaptation is utilization of complexing agents like polyethylene glycol (PEG). PEG binds more tannin than protein and displaces protein from pre-formed tannin-protein complexes (Mangan, 1988). PEG improves nitrogen degradation in the rumen and then therefore, elevates blood urea (Silanikove et al., 1996). The observation reported here was to evaluate
19

the inclusion of PEG to alleviate the detrimental effects of tannin on sheep receiving Leucaena pallida leaves by evaluating the blood parameters.

Research Methods
Leucaena pallida Leaves
The Leucaena pallida leaves were generated from cultivated pasture in Spring-Summer season. The trees of Leucaena pallida were cut off about 1 meter above the ground and then air dried in an air flow ventilated bunker to reduce water content of 10% or less. The dry materials were stripped to separate leaves from thick stem which were then discarded. Edible leaves (fine stems and leaves) were further coarsely sieved to separate leaf materials from fine stems and then stored in sealed drums until needed.

Animals and Housing


Twelve wether lambs of Border Leicester/ Merino/Dorset cross (27.402.20 kg) of 5 months old were used as experimental animals. The animals were housed in the individual metabolism crates equipped with individual drinkers and feeders. They were fed pangola grass (Digitaria decumbens) hay for 3 days prior to the experimental period when they were fed the experimental diets for 4 weeks. The diets were

20

PRODUCTION ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 19 - 23

placed on the a continuous feeder during experimental period.

Experimental Design and Diets


Twelve animals were randomly allocated to one of two groups of treatments with 6 replicates. The treatments were diets either with or without PEG. Basal diet was dried Leucaena pallida leaves. The leaves were added with protein supplement to stimulate intake. Protein and PEG supplements provided 150 g of crude protein (CP) and 75 g /kg DM of Leucaena pallida leaves, respectively. The diet composition is presented in Table 1. Table 1. Composition of the experimental diets Ingredients Pallida leaf (g) Protein supplements (g): Fish meal PEG (g) +PEG 1020.00 263.60 75.00 -PEG 1020.00 263.60 0

the residue remaining after samples were dried at 65oC for 48 h. Ash and OM were determined by incineration of samples in a muffle furnace at 550oC for about 5 h, the loss in weight represented the OM content. Chemical blood analysis was done by the Pathology Laboratory of School of Veterinary Science, University of Queensland, Australia. Analysis of tannin content of the diets was carried out using the Butanol/HCl method by Dalzell and Kerven (1998), in which pure condensed tannin (CT) of Leucaena pallida was used as a standard. Tannin was categorized into free, protein bound, fibre bound and total tannins; detail of the analysis has been presented by Rusdi (2004). The data were analysed by T-test analyses (Steel and Torrie, 1980).

Results and Discussion


Results
Chemical composition of Leucaena pallida leaves and diets for animals is shown in Table 2. The condensed tannin content of Leucaena pallida leaves was higher than actual diet fed to all sheep. PEG influenced blood parameters by consistently increasing the concentration of blood urea (P<0.01) and blood glucose (P<0.05). PEG also tended to increase the beta-hydroxybutyrate (P>0.05; Table 3). Furthermore, PEG stimulated a higher dry matter intake (P>0.05), and significantly increased liveweight gain (P<0.05).

Sampling Procedures Intake and Liveweight


Adaptation to the new environment was given for 3 days. The next 7 days were allowed for adaptation to the experimental diets. Feed intakes were recorded daily from day 11 to day 17 of collecting period. Feed offered and feed refusals were recorded and sampled each day and later were analyzed for DM and other chemical components. Initial liveweight was recorded using an electronic scale before the sheep were allocated to the treatment groups. The sheep were weighed weekly during the 4-week feeding period just before the morning feeding.

Discussion
Makkar et al. (1995) have demonstrated that PEG was the most effective absorbent to bind tannin and followed by polyvinyl pyrrolidone (PVP) and polyvinyl polypyrrolidone (PVPP). PEG has widely been used to bind and inactivate tannin in plant material fed to animals (McNeill et al., 1998; Landau et al., 2000; Gibious, 2001). The significant findings in the present study demonstrated that PEG elevates the blood urea (Table 3). This finding was supported by Silanikove et al. (1996) who reported that an increase in blood urea as PEG were included in the diet, while Bhatta et al. (2002) reported an elevation of blood urea when PEG were drenched on kids browsing Prosopis cineraria. In contrast, Silanikove et al. (1997) reported that giving PEG to goats to bind dietary tannins from oak leaves has no effects on blood urea levels compared to un-supplemented animals. This contradiction could be due to the efficacy of PEG itself as affected by the .

Blood Sampling
Blood samples were collected from jugular vein at the end of experimental period. Approximately 8 mL of blood was collected onto 10 mL syringes and then transferred into each of two tubes, containing lithium heparin or sodium fluoroxalate. Lithium heparin blood was for urea and -hydroxybutyrate determination and sodium fluoroxalate blood was for glucose analysis. Blood samples were stored at 5oC and directly sent to the laboratory for analysis.

Chemical and Statistical Analysis


Feed samples were analyzed for dry matter (DM), ash and organic matter (OM). DM was estimated as

Effect of Polyethylene Glycol (PEG) on Blood (Rusdi)

21

Table 2. Chemical composition (g/kg DM) of the diets Composition Dry matter Organic matter Nitrogen Condensed tannin Free Protein bound Fibre bound Total L. pallida leaves 937 881 40 129 11 10 150 +PEG 942 855 48 74 16 8 98 -PEG 939 865 50 112 12 4 128

Table 3. Blood-urea, blood-glucose and blood--hydroxybutyrate (BHB), dry matter intake (DMI) and live weight gain (LWG) of sheep fed Leucaena pallida basal diets either with or without PEG1) Parameters Urea, mmol/L Glucose, mmol/L BHB, mmol/L DMI. kg/h LWG, g/h
1)

+PEG 12.97a 4.13a 0.35 1.36a 189.39a

-PEG 8.45b 3.15b 0.30 1.33b 133.31b

Probability 0.00 0.05 0.10 0.36 0.04

Superscripts within the same row indicate significant differences

ratio PEG to tannins in feeds as noted above. These ratios depend not only on the level but also on the activity of tannins. The present phenomenon indicated an improvement of protein degradation in the rumen by the action of PEG, as reported that PEG increase rumen concentration of ammonia when sheep were intra-ruminally infused with PEG on Lotus pedunculatus diet (Waghorn et al., 1994), or kids drenched with PEG on Prosopis cineraria diet (Bhatta et al., 2002). Initially, mastication process allows the release of tannin from the plant and simultaneously PEG binds the released free tannin. Additionally, physical process in the rumen allows PEG displace protein-tannin complexes to PEG-tannin complexes, consequently proteins are freely available for the microorganism and further degrade the protein to form ammonia as nitrogen source for microbial protein analysis per se. Since there is a positive relationship between rumen ammonia and blood urea, then the increase in rumen ammonia will be followed by the increase in blood urea after ammonia being transferred to urea by the liver, regarded as a blood urea recycle process in ruminant animals (Hogan, 1996). As nitrogen in the form of ammonia is freely available, thus microorganisms are capable to further digest more carbohydrate components of the diets and released more volatile fatty acids (acetic acid, propionic acid and butyrate acid; VFA), as final

products of rumen fermentation of carbohydrates. Makkar et al. (1995) reported that inclusion of PEG in tannin-containing feeds resulted in an increase in gas production due to elevation in VFA production without many changes in the molar proportion of VFA as a reflection of the increase in digestibility of the feeds. McSweeney et al. (1999) suggested that VFA increased in tannin containing feeds as a response to PEG provides a better indication of fermentable carbohydrate in the rumen. Similarly, Waghorn et al. (1994) found that PEG accelerate fermentation rate and therefore elevate the production of VFA. The pathways of glucose synthesis in which volatile fatty acids, particularly propionate acid is regarded as a main precursor for glucose synthesis through gluconeogenesis pathways (Lehninger, 1982), while hydroxybutyrate is stage of pathways to be used as energy source in which butyrate is a main precursor. Thus, enhancement of these blood parameters in the present results indicated the improvement of carbohydrate fermentation of ingested feed by inclusion of PEG. The findings agree with the previous studies of Makkar et al. (1995) and McSweeney et al. (1999). A plethora studies has been recorded to clearly demonstrate the effectiveness of use PEG in tannincontaining diets to elevate its feeding value. PEG supplementation has been shown to increase voluntary

22

PRODUCTION ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 19 - 23

intake and digestibility of tannin-containing diets, allowing a positive effect on organic matter degradation (Silanikove et al., 2001). Inclusion of PEG in tannin containing forages has been shown to ameliorate its toxicity, increasing intake and body weight in sheep, rats and rabbits (Saarisalo et al., 1999; Smith et al., 2003). So, the ultimate effect of PEG inclusion is to stimulate dry matter intake with subsequent a marked improvement in liveweight gain, which is clearly demonstrated in the current results and also in study of Bhatta et al. (2002).

Landau, S., Silanikove, N., Nitsan, Z., Barkai, D., Baram, H., Provenza, F.D. and Perevolotsky, A., 2000. Short-term changes in eating patterns explain the effects of condensed tannins on feed intake in heifers. Applied Animal Behaviour Science. 69:199-213. Lehninger, A.L., 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publishings, Inc. New York. Makkar, H.P.S., Blummel, M. and Becker, K., 1995. Formation of complexes between polyvinyl pyrrolidonines or polyethylene glycol and tannins, and their implication in gas production and true digestibility in in vitro techniques. British Journal of Nutrition. 73:897-913. Mangan, J.L., 1988. Nutritional effects of tannins in animal feeds. Nutritional Research Review. 1:209-231. McNeill, D.M., Osborne, N., Komolomg, M.K. and Nankervis, D., 1998. Condensed tannins in the genus Leucaena and their nutritional significance for ruminants. In: H.M. Shelton, R.C. Gutteridge, B.F. Mullen and R.A. Bray. Leucaena-Adaptation, Quality and Farming System. Proceedings of a workshop held in Hanoi, Vietnam 9-14 February 1998. pp.205214. McSweeney, C.S., Palmer, B., Bunch, R and Krause, D.O., 1999. In vitro quality assessment of tannin-containing teropical shrub legumes: protein and fibre digestion. Animal Feed Science and Technology. 82:227-241. Rusdi, 2004. In vitro studies of the interaction between selected proteins and condesed tannins. Jurnal Agroland. 11(1):90-96. Saarisalo, E.M., Odenyo, A.A. and Osuji, P.O., 1999. Innoculation with adapted microbes versus addition of polyethylene glycol as methods to alleviate toxicity of Acacia angustissima leaves in sheep. Journal of Agricultural Science (Cambridge). 133:445-454. Silanikove, N., Gilboa, N. and Nitsan, Z., 1997. Interactions among tannins, supplementation and polyethylene glycol in goats given oak leaves: effects on digestion and food intake. Animal Science. 64: 479-483. Silanikove, N., Gilboa, N., Perevolotsky, A. and Nitsan, Z., 1996. Goats fed tannin-containing leaves do not exhibit toxic syndromes. Small Ruminant Research. 58:312-329. Silanikove, N., Nitsan, Z. and Perevolotsky, A., 1994. Effect of polyethylene glycol supplementation on intake and digestion of tannin-containing leaves (Ceratonia siliqua) by sheep. Journal of Agricultural Food and Chemistry. 42: 2844-2847 Silanikove, N., Perevolotsky, A and Provenza, F.D., 2001. Use of tannin-binding chemicals to assay for

Conclusion
Inclusion of PEG in tannin-containing diet consistently improved digestibility of ingested feed in the digestive tracts by enhancing the concentration of urea, glucose and -hydroxybutyrate in the blood, which in turn improved the liveweight gain of the animals. Thus, additional PEG is clearly reduces the inhibitory effect of Leucaena pallida tannins in the digestive tracts and therefore, improves the feeding value of the forage.

References
Bhatta, R., Shinde, A.K., Vaithiyanathan, S.K., Sankhyan and Verma, D.L., 2002. Effect of polyethelene glycol-6000 on nutrient intake, digestion and growth of kids browsing Prosopis cineraria. Animal Feed Science and Technology. 101:45-54. Dalzell, S. A. and Kerven, G. L., 1998. A rapid method for the measurement of Leucaena spp proanthocyanidins by the proanthocyanidin (Butanol/HCl) assay. Journal of the Science of Food and Agriculture. 78: 405-416. Dalzell, S. A., Stewart, J. L., Tolera, A. and McNeill, D. M., 1998. Chemical composition of Leucaena and implications for forage quality. In: H.M. Shelton, R.C. Gutteridge, B.F. Mullen and R.A. Bray (eds.). Leucaena - Adaptation, quality and farming systems, Vol. 86, ACIAR Proceedings, Hanoi, Vietnam, pp. 227-246. Gobius, N.R., 2001. Ameliorating the influence of condensed tannins in ruminants. Master Thesis. School of Land and Food Sciences the University of Queensland, Brisbane. Australia. Hogan, J., 1996. Nutritional needs of rumen microbes. In: Ruminant nutrition and production in the tropics and subtropics. B. Bakrie, J. Hogan, J.B. Liang, A.M.M. Tareque and R.C. Upadhyay (Eds). ACIAR, Canberra, Australia. pp33-46.

Effect of Polyethylene Glycol (PEG) on Blood (Rusdi)

23

tanninsand their negative postingestive effects in ruminants. Animal Feed Science and Technology. 91:69-81. Smith, A.H., Wallig, M.A., Seigler, D.S., Odenyo, A.A., McSweeney, C.S. and Mackie, R.I., 2003. Ameliorating the toxic effects of Acacia angustissima with polyethylene glycol in rats. Animal Feed Science and Technology.106:164-174.

Steel, R.G.D. and Torrie, J.A., 1980. Principles and Procedures of Statistics. New York: McGraw Hill. Waghorn, G.C., Shelton, J.D. and McNabb, W.C., 1994. Effects of condensed tannins in Lotus pedunculatus on its nutritive value for sheep. 1. Non-nitrogenous aspects. Journal of Agricultural Science (Cambridge). 123:99-107.

23

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 24 30 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Keragaman Genetik-Fenotipik dan Hubungan antara Karakter Anatomi-Morfologi-Fisiologi dengan Produksi Bahan Kering Rumput Pakan Hasil Poliploidisasi dalam Kondisi Tercekam Aluminium
(Genetic-Phenotypic Variability and Correlation between Morphology-Anatomy-Physiology Characteristics and Dry Matter Yield of Polyploidized Forage Grasses under Aluminum Stressed Condition)
Syaiful Anwar
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang e-mail: syaifulanwar@telkom.net

ABSTRACT : The study was conducted with the aim to know the genetic-phenotypic variability (heritability value), and correlation between morphology-anatomy-physiology characters and dry matter yield (DMY) of polyploidized forage grasses under aluminum (Al) stressed condition. A total of 16 forage grass genotypes (polyploid and diploid Brachiaria brizantha, Brachiaria decumbens, Setaria sphacelata, Setaria splendida, Panicum muticum, Panicum maximum, Pennisetum purpureum, and Pennisetum purpupoides) were subjected to Al-stressed (16 mM Al2 (SO4 )3). The treatments were allotted to a Randomized Completely Block Design with monofactorial pattern (genotypes) and 5 blocks in each treatment. The morphology-anatomy-physiology characteristics evaluated were plant height, leaf number, tiller number, leaf color, chlorophyll content, stomata number, chloroplast number, leaf nitrate reductase activity, dry matter, wet matter yield, dry matter yield, stress tolerance index and pH media. Results showed the polyploidization increased stress tolerance index of grasses. The genetic-phenotypic variability (heritability value) estimates for all morphology-anatomy-physiology characteristics were high. Most morphology-anatomy-physiology characteristics, except leaf number, chlorophyll content and chloroplast number, had significant correlation to dry matter yield. In conclusion, evaluation on selection progress of dry matter yield of forage grasses can be effectively done by selection for yield of wet matter, plant height, leaf color, branch number, stomata number, leaf nitrate reductase activity, pH media, and dry matter simultaneously. Key Words: selection, genetic-phenotypic variability, forage grass, aluminum stress

Pendahuluan
Seleksi untuk suatu karakter yang diinginkan akan jauh lebih berarti jika karakter tersebut mudah diwariskan. Mudah tidaknya pewarisan suatu karakter dapat diketahui dari besarnya nilai angka pewarisan (h2) yang dapat diduga dengan membandingkan besarnya ragam genetik terhadap ragam fenotipik dari karakter tersebut (Borojevic, 1990). Jadi angka pewarisan merupakan gambaran dari besarnya kontribusi genetik suatu karakter yang akan diwariskan. Ragam genetik yang luas dengan nilai angka pewarisan yang tinggi merupakan salah satu syarat efektifnya program seleksi. Sedangkan penentuan karakter penciri khusus yang berkontribusi nyata terhadap tujuan seleksi adalah sebagai langkah efisiensi suatu kegiatan seleksi. Oleh karena itu, evaluasi kemajuan seleksi sebagai gambaran efektivitas dan efisiensi dari pelaksanaan kegiatan seleksi dalam pemuliaan tanaman sangat perlu dilakukan.
24

Perbaikan ke arah peningkatan dari: (1) sifat toleransi tanaman terhadap lingkungan, (2) efisiensi input produksi, (3) produktivitas dan (4) kualitas hasil; merupakan arah dan sasaran pengembangbiakan tanaman rumput pakan di Indonesia (Anwar, 1994). Seleksi berdasarkan karakter penciri khusus anatomi, morfologi dan fisiologi tanaman serta manipulasi genetik tanaman rumput pakan melalui teknik poliploidisasi telah dilakukan terhadap sejumlah rumput pakan, dalam rangka untuk mendapatkan tanaman yang berkualitas dengan produksi hijauan yang tinggi serta toleran terhadap kondisi agroekologi wilayah yang bersifat masam dengan kelarutan aluminium tinggi (Anwar, 2003; Anwar et al., 2003; Anwar, 2006). Beberapa karakter penciri morfologi-anatomifisiologi toleransi tanaman terhadap aluminium (Al) dan terkait dengan produktivitas menunjukkan bahwa sifat tanaman yang lebih toleran terhadap cekaman aluminium (Al) mampu: (1) mereduksi pertumbuhan akar (Marschner, 1991; Sopandie et al., 1995; Anwar

Keragaman Genetik-Fenotipik (Syaiful Anwar)

25

et al., 2003), (2) mencegah penurunan serapan unsur hara (Kasai et al., 1993, 1995; Kinraide et al., 1994; Sasaki et al., 1995; Huang et al., 1996; Larsen et al., 1998; Maathuis et al., 1998), (3) mencegah perubahan struktur tanaman (Harjadi dan Yahya, 1988); (4) mengakumulasi Al lebih sedikit sehingga toksisitas Al relatif kecil (Sasaki et al., 1994; Delhaize dan Ryan, 1995; Lazof et al., 1994; Sopandie el al., 1995); (5) menginduksi pH risosfir lebih tinggi mendekati pH optimal untuk pertumbuhan tanaman (Miyasaka et al., 1989; Anwar, 2005; Degenhard, 1998); (6) mensintesis senyawa-senyawa asam dikarboksilat seperti malat, oksalat, sitrat, dan fulfat serta senyawa fenil propanoat seperti kaffeat, sebagai pengkelat Al sehingga toksisitasnya menjadi rendah (Ryan et al., 1995 a,b; Sopandie et al., 1995; Ma dan Miyasaka, 1998; dan Ma et al., 1998); (7) meningkatkan aktivitas pompa proton H+-ATPase, yang mengatur keseimbangan ion proton antara di dalam dan di luar plasma membran sel, sehingga terjadi depolarisasi di plasma membran dan secara berantai mempengaruhi aktivitas metabolisme turunannya seperti aktivitas Kchannel dan Ca-transporter yang masing-masing berperan di dalam proses detoksifikasi Al (Kasai et al., 1993, 1995; Kinraide et al., 1994; Sasaki et al., 1995; Huang et al., 1996; Larsen et al., 1998; Maathuis, 1998); (8) mensintesis protein spesifik pada membran (Basu et al., 1994) dan protein tertentu dari ujung akar (Marzuki, 1997), yang tidak ditemukan pada genotipe peka; serta (9) meningkatkan aktivitas enzim tertentu seperti reduktase nitrat (Sopandie et al., 1995; Anwar, 2005). Karakter penciri yang akan dijadikan dasar dalam seleksi harus memenuhi kriteria mempunyai hubungan yang erat, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan hasil. Oleh karena itu, seleksi tanaman terhadap karakter produktivitas (hasil) sebaiknya dilakukan pada karakter penciri yang khusus seperti: (1) respon morfologi, (2) respon anatomi, (3) respon fisiologi atau biokimia dan (4) respon hormonal (Levitt, 1980; Hale dan Orcutt, 1987; Blum, 1988; Fernandez, 1992). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai angka pewarisan, variabilitas genetik dan fenotipik, serta hubungan antara karakter morfologi-fisiologi dengan produksi bahan kering (PBK) tanaman rumput pakan dalam kondisi tercekam aluminium. Kontribusi penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran tentang efektivitas dan efisiensi dari pelaksanaan kegiatan seleksi produktivitas dalam pemuliaan tanaman rumput pakan.

Metode Penelitian
Bibit pols/stek dari 16 rumput pakan (Brachiaria brizantha poliploid, Brachiaria brizantha diploid, Brachiaria decumbens polyploid, Brachiaria decumbens diploid, Setaria sphacelata polyploid, Setaria sphacelata diploid, Setaria splendida polyploid, Setaria splendida diploid, Panicum muticum polyploid, Panicum muticum diploid, Panicum maximum polyploid, Panicum maximum diploid, Pennisetum purpureum polyploid, Pennisetum purpureum diploid, Pennisetum purpupoides polyploid dan Pennisetum purpupoides diploid) ditumbuhkan dalam pot plastik berkapasitas 10 kg dengan perbandingan media tanah:pupuk kandang 3:1. Setelah berumur 4 minggu, dilakukan pemotongan paksa untuk penyeragaman. Selanjutnya, diberikan pupuk dasar untuk pertumbuhan dengan dosis 150 kg N/ha, 150 kg P2O5/ha dan 150 kg K2O/ha. Seminggu setelah potong paksa, tanaman dikondisikan dalam cekaman aluminium (16 mM Al2(SO4)3) melalui penyiraman tiap dua hari sekali sesuai kondisi kapasitas lapang media tanam. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan sebagai kelompok. Pada minggu keenam dilakukan pengamatan terhadap tinggi tanaman (TT), jumlah daun (JD), jumlah anakan (JA), warna daun (WD), kadar klorofil (KK), jumlah stomata (JS), jumlah kloroplas (JK), aktivitas nitrat reduktase (ANR) daun mengacu pada prosedur Guerrero (1982), produksi bahan segar (PBS) hijauan, kadar bahan kering (BK) hijauan, produksi bahan kering (PBK) hijauan sebagai hasil kali dari % BK dengan PBS hijauan, indek derajat toleransi (IDT) tanaman ditentukan dengan rumus Fernandez (1992) dan perubahan pH media tanam ke arah basa. Setelah sebaran data diuji normalitasnya dengan uji Liliforrs (Conover, 1980), dilakukan analisis ragam sebagaimana pada Tabel 1 (Steel dan Torrie, 1995). Tabel 1 dapat diestimasikan nilai-nilai ragam genetik (2g) dan fenotipik (2p) suatu karakter dengan memanipulasi nilai-nilai kuadrat tengah harapan (KTH). Dalam hal ini nilai 2g = (KTR-KTe)/k dan 2p = 2K + 2R + 2e. Untuk menentukan kriteria ragam, digunakan ketentuan dari Anderson dan Bancroft (1952) yang dikutip oleh Pinaria el al. (1995), yaitu ragam luas jika nilai ragam > dua kali standar deviasi, dan ragam sempit jika ragam dua kali standar deviasi. Angka pewarisan dalam arti luas (h2) diduga dengan menggunakan analisis ragam (Allard, 1960; Borojevic, 1990), yaitu sebagai berikut: h2 = 2g / 2p. Nilai duga

26

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 24 - 30

Tabel 1. Analisis ragam rancangan acak kelompok satu faktor Sumber Keragaman Kelompok (K) Rumput (R) Galat (E) Total Derajat Bebas K-1 = 4-1 = 3 R-1 = 16-1 = 15 (R-1)(K-1)=15x3=45 RGn-1=(16x4)-1=63 Kuadrat Tengah (KT) KTK KTR KTe Kuadrat Tengah Harapan (KTH) 2e + r2K 2e + k2R 2 e F Hitung KTK /KTe KTR /KTe

Hasil analisis Persamaan Regresi Berganda secara serempak : Y= 17,307130 + 0,408262 X1** - 0,117539 X2ns + 0,838517 X3* + 6,346875 X4* + 1,242373 X5ns - 5,5833547 X6* + 2,861002 X7ns -2,953395 X8* + 1,058694 X9* - 2,617544 X10* + 0,044767 X11** (r = 0,7577**)
= PBK hijauan (g); = tinggi tanaman (cm); = jumlah daun (helai); = jumlah anakan (bh); = warna daun (skor 0-8); = kadar klorofil (mg/g daun) = jumlah stomata (bh/100m2); = jumlah kloroplas (bh/stomata); X8 = ANR daun ((g NO2-/jam/g daun); X9 = BK hijauan %); X10 = perubahan pH media (ke arah basa); X11 = PBS hijauan (g); r = koefisien korelasi; ** = nyata taraf 1%; * = nyata taraf 5%; ns = tidak nyata taraf 5%;

Keterangan: Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7

angka pewarisan diklasifikasikan menurut Stanfield (1988), yaitu tinggi jika h2 > 50%, sedang jika 20% h2 50%, dan rendah jika h2 < 20%. Derajat keeratan hubungan antar karakter diestimasikan berdasar rumus Singh dan Chaudhary (1979).

Hasil dan Pembahasan


Data hasil indek derajat toleransi (IDT) tanaman terhadap cekaman aluminium tertera pada Tabel 2. Sedangkan nilai-nilai angka pewarisan, ragam fenotipik dan genetik serta kriterianya terdapat pada Tabel 3. Nilai-nilai korelasi antar karakter penciri morfologi-anatomi-fisiologi yang diamati tercantum pada Tabel 4 dan 5. Skor Indek derajat toleransi tanaman diketahui meningkat pada semua jenis rumput poliploid dibandingkan rumput diploidnya (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa poliploidisasi pada rumput pakan menyebabkan adanya penambahan alel pada kromosomnya, sehingga kemampuan toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium menjadi lebih tinggi dibandingkan rumput diploidnya. Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat nilai ragam fenotipik dan genetik yang luas serta angka pewarisan yang tinggi untuk semua karakter morfologi-anatomi-fisiologi yang diamati. Luasnya ragam genetik dalam populasi

tersebut, antara lain disebabkan oleh: (1) populasi yang dievaluasi terdiri dari genotipe-genotipe yang berbeda, sebagian berasal dari genotipe introduksi dan hasil persilangan serta sebagian lainnya berasal dari genotipe lokal dan unggul; dan (2) nilai duga ragam genetik yang diperoleh merupakan ragam genetik total, yang belum dipisahkan dari ragam interaksi: genetik x lingkungan, genetik x musim, dan genetik x lingkungan x musim. Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat dijelaskan bahwa tinggi tanaman (X1), jumlah anakan (X3), warna daun (X4), jumlah stomata (X6), ANR daun (X8), kadar BK hijauan (X9), perubahan pH media ke arah basa (X10), dan PBS hijauan (X11) berperan secara signifikan terhadap produktivitas hijauan rumput pakan (PBK hijauan) dalam kondisi tercekam aluminium. Penentuan karakter yang berkontribusi nyata terbesar sampai terkecil berturut-turut (diukur dari nilai koefisien determinasi=r2) adalah karakter PBS hijauan (r2=0,86), tinggi tanaman (r2=0,53), warna daun (r2=0,15), jumlah anakan (r2 =0,14), jumlah stomata (r2=0,14), aktivitas nitrat reduktase daun (r2=0,10), perubahan pH media ke arah basa (r2=0,06), dan kadar BK hijauan (r2=0,05) (Tabel 4). Berdasarkan kriteria korelasi dan determinasi tersebut serta dengan mempertimbangkan nilai-nilai ragam genetik dan fenotipik yang luas dengan angka

Keragaman Genetik-Fenotipik (Syaiful Anwar)

27

pewarisan yang tinggi, maka karakter PBS hijauan, tinggi tanaman, warna daun, jumlah anakan, jumlah stomata, aktivitas nitrat reduktase daun, perubahan pH media ke arah basa, dan kadar BK hijauan dapat

dijadikan karakter penciri utama seleksi produktivitas tanaman rumput pakan dalam kondisi tercekam aluminium.

Tabel 2. Nilai indek derajat toleransi (IDT) tanaman rumput pakan berdasarkan karakter penciri morofologi-anatomi-fisiologi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Rumput Brachiaria brizantha poliploid Brachiaria brizantha diploid Brachiaria decumbens poliploid Brachiaria decumbens diploid Setaria sphacelata poliploid Setaria sphacelata diploid Setaria splendida poliploid Setaria splendida diploid Panicum muticum poliploid Panicum muticum diploid Panicum maximum poliploid Panicum maximum diploid Pennisetum purpureum poliploid Pennisetum purpureum diploid Pennisetum purpupoides poliploid Pennisetum purpupoides diploid IDT 5,00 4,18 4,88 4,51 3,69 3,49 3,96 3,26 3,97 3,12 4,01 3,12 4,26 3,84 4,00 3,83 Keterangan Sangat Toleran Toleran Sangat Toleran Sangat Toleran Toleran Moderat Toleran Moderat Toleran Moderat Toleran Moderat Toleran Toleran Toleran Toleran

Keterangan: Sangat Toleran 4,51-5,00; Toleran = 3,51-4,50; Moderat = 2,51-3,50; Peka = 1,51-2,50 Sangat Peka 0,00-1,51.

Tabel 3. Keragaman fenotipik dan genetik serta angka pewarisan beberapa karakter produksi dan komponen produksi tanaman rumput pakan hasil poliploidisasi dalam kondisi tercekam aluminium
Karakter Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Daun (helai) Jumlah Anakan (bh) Warna Daun (skor 0-8) Klorofil (mg/g daun) Jumlah Stomata (bh/100m2) Jumlah Kloroplas (bh/stomata) ANR (g NO2-/jam/g daun) BK (%) Perubahan pH Media (ke arah Basa) IDT (skor 0-5) PBS (g) PBK (g) Keragaman Genetik Kriteria (2g 2 g) Luas 1752,08 150,24 Luas 675,74 57,94 Luas 13,01 1,12 Luas 0,72 0,06 Luas 0,10 1,12 Luas 10,44 0,89 Luas 1,03 0,09 Luas 0,11 0,01 Luas 46,17 3,96 Luas 0,01 0,00 0,32 0,03 51159,654386,90 105,63 9,06 Luas Luas Luas Keragaman Fenotipik Kriteria (2p 2p) Luas 1822,77 288,20 Luas 699,39 110,58 Luas 13,62 2,15 Luas 0,73 0,12 Luas 1,29 0,20 Luas 10,83 1,71 Luas 1,20 0,19 Luas 0,12 0,02 Luas 46,44 7,34 Luas 0,02 0,00 0,33 0,05 97595,7815431,25 197,85 31,28 Luas Luas Luas Angka Pewarisan h2 Kriteria 0,96 Tinggi 0,97 Tinggi 0,96 Tinggi 0,98 Tinggi 0,87 Tinggi 0,96 Tinggi 0,86 Tinggi 0,95 Tinggi 0,99 Tinggi 0,68 Tinggi 0,99 0,52 0,53 Tinggi Tinggi Tinggi

28

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 24 - 30

Tabel 4. Hubungan antara karakter komponen produksi dengan produksi bahan kering hijuan pakan rumput hasil poliploidisasi Karakter Pertumbuhan-Produksi 1. Tinggi Tanaman (cm) 2. Jumlah Daun (helai) 3. Jumlah Anakan (bh) 4. Warna Daun (skor 0-8) 5. Klorofil (mg/g daun) 6. Jumlah Stomata (bh/100m2) 7. Jumlah Kloroplas (bh/stomata) 8. ANR (g NO2-/jam/g daun) 9. BK (%) 10.Perubahan pH Media (ke arah basa) 11. IDT (skor 0-5) Rataan Koefisien Regresi 0,41** -0,12ns 0,84 * 6,35 * 1,24ns -5,58 * 2,86ns -2,95 * 1,06 * -2,62 * 0,05** Koefisien Korelasi (r) 0,73** -0,11ns 0,37 * 0,38 * 0,04ns -0,37 * 0,20ns -0,32 * 0,23 * -0,24 * 0,93** Koefisien Determinasi (r2) 0,53** 0,01ns 0,14 * 0,15 * 0,00ns 0,14 * 0,04ns 0,10 * 0,05 * 0,06 * 0,86**

123,427,71 65,724,93 7,700,80 5,600,13 5,730,41 9,970,63 5,930,42 1,010,058 22,900,53 0,270,08 3,950,55

* = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada taraf 1%; ns = tidak nyata pada taraf 5%.

Hasil ini didukung oleh penelitian serupa tentang morfologi-anatomi-fisiologi toleransi tanaman terhadap Al, yang menunjukkan bahwa sifat tanaman yang lebih toleran terhadap cekaman Al mampu: (1) mereduksi pertumbuhan akar (Sopandie et al.,, 1995; Anwar et al., 2003), (2) mencegah penurunan serapan unsur hara (Kasai et al., 1993, 1995; Kinraide et al.,

1994; Sasaki et al., 1995; Huang et al., 1996; Larsen et al., 1998; Maathuis et al., 1998), (3) mencegah perubahan struktur tanaman (Harjadi dan Yahya, 1988); dan (4) meningkatkan aktivitas enzim tertentu seperti nitrat reduktase (Soepandi el al., 1995; Anwar, 2005).

Tabel 5. Hubungan antar sebelas karakter pertumbuhan-produksi yang teramati pada tanaman rumput pakan
Karakter
X1 = Tinggi Tanaman (cm) X2 = Jumlah Daun (helai) X3 = Jumlah Anakan (bh) X4 = Warna Daun (skor 0-8) X5 = Kadar Klorofil (mg/g daun) X6 = Jumlah Stomata (bh/100m2) X7 = Jumlah Kloroplas (bh/stomata ) X8 = ANR (g NO2-/jam/g daun) X9 = BK (%) X10 = Perubahan pH Media (ke arah basa) X11 = PBS (g)

X1
-

X2
-0,53** -

Koefisien Korelari (r) X3 X4


-0,70** 0,90** -0,34** 0,22ns 0,52ns -

X5
0,08ns 0,36** 0,40ns 0,63** -

X6
0,40** -0,70** -0,45** 0,46** 0,24ns -

Karakter
X1 = Tinggi Tanaman (cm) X2 = Jumlah Daun (helai) X3 = Jumlah Anakan (bh) X4 = Warna Daun (skor 0-8) X5 = Kadar Klorofil (mg/g daun) X6 = Jumlah Stomata (bh/100m2) X7 = Jumlah Kloroplas (bh/stomata ) X8 = ANR (g NO2-/jam/g daun) X9 = BK (%) X10 = Perubahan pH Media (ke arah basa) X11 = PBS (g)

X7
0,55** -0,36** -0,25 * 0,28** 0,36** 0,65** -

Koefisien Korelari (r) X8 X9


0,07ns 0,14ns 0,34** 0,63** 0,69** 0,32** 0,61** 0,10ns -0,62** -0,35** 0,51** 0,13ns 0,90** 0,34** 0,14ns -

X10
-0,18ns 0,22ns 0,47** 0,66** 0,46** 0,24ns 0,31 * 0,69** 0,21ns -

X11
0,80** -0,35ns -0,51** -0,20ns 0,10ns 0,27 * 0,35** -0,02ns 0,13ns -0,16ns -

* = nyata pada taraf 5%; ** = nyata pada taraf 1%; ns = tidak nyata pada taraf 5%

Keragaman Genetik-Fenotipik (Syaiful Anwar)

29

Metabolisme toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium bukan merupakan hal yang sederhana, tetapi sangat komplek, sehingga keberadaan karakter PBS hijauan, tinggi tanaman, warna daun, jumlah anakan, jumlah stomata, aktivitas nitrat reduktase daun, perubahan pH media ke arah basa, dan kadar BK hijauan yang mempunyai nilai ragam genetik dan fenotipik luas dengan angka pewarisan yang tinggi serta berkorelasi dan berkontribusi secara nyata terhadap produktivitas tanaman dalam kondisi tercekam aluminium, bukan merupakan karakter penciri yang berdiri sendiri, tetapi didukung oleh karakter lainnya, seperti jumlah daun, jumlah klorofil dan jumlah kloroplas daun. Selain itu, hasil analisis korelasi antar karakter Xi menunjukkan bahwa antar variabel X (X1, X2, X3 , X4, X5, X6, X7, X8, X9 , X10 dan X11, ) tidak bebas satu sama lainnya atau ada kolinearitas antar variabel Xi, sehingga dalam proses seleksi harus dilakukan secara simultan diantara karakter penciri tersebut (Tabel 5).

Anwar, S., 1994. Strategi Pengembangan THMT. Media Majalah Pengembangan Ilmu-Imu Peternakan dan Perikanan II:13-20. Anwar, S., 2003. Toleransi morfologi dan fisiologi tanaman rumput pakan terhadap cekaman aluminium. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 28(1):19-26. Anwar, S., Karno, F. Kusmiyati dan Sumarsono. 2003. Pengembangan Tanaman Rumput Pakan Unggul yang Toleran terhadap Cekaman Aluminium dan Salinitas. Laporan Hibah Bersaing X. Dikti Depdiknas, Jakarta. Anwar, S., 2005. Perbedaan aktivitas spesifik enzim nitrat reduktase asal tanaman rumput pakan (Glycine max (L.) Merryl) yang toleran dan peka terhadap cekaman aluminium. Agromedia 23(2): 71-80. Anwar, S., 2006. Kemajuan seleksi toleransi tanaman rumput pakan terhadap cekaman aluminium. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 31(2):117-123. Basu, A., U.Basu, and G.J. Taylor, 1994. Induction of microsomal membrane protein in root of an aluminumresistant cultivar of Triticum aestivum L. under condition of aluminum stress. Plant Physiology. 104:1007-1013. Blum, A., 1988. Plant Breeding for Stress Environments. CRC Press, Inc., Boca Raton. Borojevic, S. , 1990. Principles and Methods of Plant Breeding. Elsevier. New York. Conover, W.J., 1980. Practical Nonparametric Statistics. 2nd ed. John Wiley and Sons, New York. Degenhardt.,J. P.B. Larsen, SH Howell and L.V. Kochian, 1998. Aluminium resistant in The arabidopsis mutant alr-104 is caused by an aluminium-induced increased in rhisosphere pH. Plant Physiology. 117:19-27. Delhaize, E. and P.R. Ryan, 1995. Aluminum toxicity and tolerance in plants. Plant Physiology. 107:315-321. Fernandez, G.C.J., 1992. Effective selection criteria for assessing plant stress tolerance. In: Adaptation of Food Crops to Temperature and Water Stress. Proceeding of an International Symposium. C.G. Kuo (Ed.). Asian Vegetable Research and Development Center, Taiwan. p.257-270. Guerrero, M.G. 1982. In vitro assays of nitrate reductase activity. In: Techniques in bioproductivity and photosynthesis. J. Coombs and D.O. Hall (Eds.). Pergamon Press Ltd., England. p.125-127. Hale, M.G. and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plant Under Stress. John Wiley and Son Inc., New York. Haryadi, S.S. dan S. Yahya. 1988. Fisiologi Stres Lingkungan. PAU-IPB. Bogor.

Kesimpulan
Karakter-karakter tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah anakan, warna daun, kadar klorofil, jumlah stomata, jumlah kloroplas, aktivitas nitrat reduktase daun, produksi bahan segar hijauan, kadar bahan kering hijauan, produksi bahan kering hijauan dan indek derajat toleransi tanaman serta perubahan pH media tanam ke arah basa mempunyai ragam fenotipik dan genetik yang luas dengan angka pewarisan tinggi. Secara berturut-turut karakter produksi bahan segar hijauan, tinggi tanaman, warna daun, jumlah anakan, jumlah stomata, aktivitas nitrat reduktase daun, perubahan pH media ke arah basa, dan kadar bahan kering hijauan adalah karakter yang paling berpengaruh terhadap produktivitas hijauan rumput pakan dalam kondisi tercekam aluminium dan selalu dapat dipertimbangkan secara simultan dalam program seleksi. Penelitian serupa perlu dilakukan di beberapa lokasi dan musim yang berbeda sehingga besarnya ragam genetik dugaan yang diperoleh dapat dipisahkan dari pengaruh ragam interaksi: genetik x lingkungan, genetik x musim, dan genetik x lingkungan x musim.

Daftar Pustaka
Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Son Inc., New York.

30

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 24 - 30

Huang, J.W., P.M. Pellet, L.A. Papernik dan l.V. Kochian. 1996. Aluminium interaction with voltage dependent calcium transport in plasma membrane vesicle isolated from roots of aluminium-sensitive and resistant wheat cultivars. Plant Physiology. 110:561-569. Kasai, M., M. Sasaki, S. Tanakamaru, Y.Yamamoto, and H. Matsumoto. 1993. Possible involvement of abcisic acid in increases in activities of two vacuolar H+-pumps in barley roots under aluminum stress. Plant Cell Physiology. 34(8):1335-1338. Kasai, M., M. Sasaki, K. Yamasita, Y.Yamamoto, and H.Matsumoto. 1995. Increased of ATP-dependent H+ pump activity of tonoplast of barley roots by aluminum stress: Possible involvement of abscisic acid for theregulation. In : Plant Soil Interactions at Low pH. R.A. Date (Ed.), Kluwer Acad.Publ., Netherland. p.341-344. Kinraide, T.B., R.R. Ryan and L.V. Kochian. 1994. Al+3Ca+3 interaction in aluminum rhizotoxicity. II. Evaluating the Ca+2 displacement hypothesis. Planta 192:104-109. Larsen, PB., J. Degenhardt, Chin-Yin Tai, L.M. Stenzler, S.H. Howell and L.V. Kochian. Aluminium-resistant arabidopsis mutants that exhibit altered patterns of aluminium accumulation and organic acid release from roots. Plant Physiology. 117:9-18. Lazof, D.B., J.G. Goldsmith, T.W. Rufty, and R.W. Linton. 1994. Rapid uptake of aluminum into cells of intact soybean root tips. Plant Physiology. 106:1107-1114. Levitt, J., 1980. Respon of Plant to Environmental Stresses. Vol. II. Water, Radiation, Salt and Other Stress. Academic Press, New York. Ma, J.F., S. Hiradate and H.Matsumoto, 1998. High aluminium resistant in buckwheat. II. Oxalic acid detoxifies aluminium internally. Plant Physiology.117:753-759. Ma, Z. and C. Miyasaka, 1998. Oxalate exudation by taro in response to Al. Plant Physiology. 118:861-865. Maathuis, F.J.M., A.M. Ichida, D. Sanders, and J.I. Schroeder, 1998. Roles of higher plant K+Channels. Plant Physiology. 114:1141-1149. Marschner, H., 1991. Mechanism of adaptation of plants to acid soil. Plant Soil 134: 1-20. .

Miyasaka, S.C., L.V. Kochian, J.E. Shaff and C.D. Foy, 1989. Mechanism of aluminium tolerance in wheat. An investigation of genotypic differences in rhizosphere pH, K+, and H+ transport, and root-cell potentials. Plant Physiology 91:1188-1196. Pinaria, A., A. Baihaki, R. Setiamihardja dan A.A. Dradjat, 1995. Ragam Genetik dan Angka pewarisan Karakterkarakter Biomassa 53 Genotipe Rumput pakan. Zuriat 6(2):88-92. Ryan, P.R., E. Delhaize, and P.J. Randall, 1995a. Malate efflux from root apies and tolerance to aluminium are highly correlated in wheat. Australian Journal of Plant Physiology. 22:531-536. Ryan, P.R., E. Delhaize and PJ.Randall, 1995b. Characterisation of Al-stimulated efflux of malate from the apies of Al-tolerant wheat roots. Planta. 196:103110. Sasaki M., M. Kasai, Y.Yamamoto, and H.Matsumoto, 1994. Comparation of the early response to aluminum stress between tolerant and sensitive wheat cultivars: Root growth, aluminum content and efflux of K+. Journal of Plant Nutrition. 17(7):1275-1288. Sasaki M., M. Kasai, Y.Yamamoto and H.Matsumoto, 1995. Involvement of plasma membrane potential in the tolerance mechanism of plant roots to aluminium toxicity. In : R.A. Date (ed), Plant Soil Interactions at Low pH. Kluwer Acad. Publ., Netherland. p.285-290. Singh, R.K. and B.D. Chaudhary, 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. Kalyani Pub. Ludhiana, New Delhi. Sopandie, D., M. Jusuf, Hamim dan Supiatno, 1995. Fisiologi dan genetik Daya Adaptasi Rumput pakan terhadap Cekaman Kekeringan dan pH Rendah dengan Al Tinggi. Laporan RUT 1.2. DRN PUSPITEK, Jakarta. Stansfield, W.D., 1988. Genetics. McGraw Hill Boook Company, New York. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: Bambang Sumantri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 31 36 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Kecernaan dan Intensitas Warna Kuning Telur Itik Lokal yang Mendapat Pakan Tepung Kepala Udang, Tepung Daun Lamtoro dan Suplementasi L-Carnitin
(Digestibility and Egg Yolk Pigment Intensity of Local Ducks Fed Shrimps Head Meal, Leucaena Leaf Meal and L-Carnitine Supplementation)
T.Widiyastuti, C.H. Prayitno, Sudibya
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT : The experiment was conducted to determine the nutrient digestibility and egg yolk pigment intensity of local ducks which fed shrimps head meal, leucaena leaf meal and L-Carnitine supplement. The experimental method used was a Completely Randomized Design (CRD) with four treatments i.e : R0 (feed with leucaena leaf meal), R1 (feed with 25 ppm L-Carnitine supplement), R2 (feed with 2% shrimps head meal) and R3 (feed with 4% shrimps head meal). A total of 0,20% FeSO4/kg feed were supplemented to all treatments. The results showed that L-Carnitine supplements and fed shrimps head meal (2% and 4%) have no significant effects (P>0,05) on crude fat and crude protein digestibility but have significant (P<0.05) effects on yolk pigment intensity. L-Carnitine supplements resulted in 86,69% crude fat and 90,78% crude protein digestibility). Ducks fed with 4% shrimps head meal (R3) produced eggs with highest yolk pigment intensity (10,55). Key Words : shrimps head meal, L-Carnitine, digestibility, yolk pigment intensity

Pendahuluan
Itik lokal merupakan salah satu jenis ternak penghasil telur dan daging unggas yang potensial di Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan (2002) menyebutkan bahwa produksi telur itik mencapai 167,33 ribu ton dengan tingkat pertumbuhan 6,12% per tahun hampir sama dengan ayam petelur yang mempunyai tingkat pertumbuhan mencapai 7,41%. Jika konsumsi telur secara nasional mencapai 885,17 ribu ton maka tingkat pemenuhan konsumsi protein hewani asal telur yang dapat disumbang oleh itik adalah sebesar 18,90%. Untuk meningkatkan daya dukung itik terhadap kebutuhan telur maka perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas itik. Salah satu faktor yang sangat berperan adalah faktor pakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kualitas pakan dapat memperbaiki produktivitas itik. Kriteria tingginya produktivitas dapat dicerminkan oleh tingginya efektifitas penyerapan nutrien pakan dan performans produksi yang ditampilkan. Kualitas telur menjadi salah satu kriteria yang dewasa ini menjadi perhatian konsumen, dimana telur dengan intensitas warna kuning kemerahan dan kandungan kolesterol yang rendah
31

sangat diminati oleh konsumen seiring dengan kesadaran akan pentingnya pangan yang sehat. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pakan impor, penggunaan pakan lokal perlu dioptimalkan. Salah satu bahan pakan alternatif yang potensial untuk dimanfaatkan adalah daun lamtoro (Leucaena leucochephala). Daun lamtoro memiliki nilai nutrisi yang cukup tinggi yaitu kandungan protein kasar sekitar 25 30% (NAS, 1984) dan sumber karotenoid dan xantofil yang lebih tinggi dibanding jagung kuning yaitu sebesar 888,72 mg/kg BK (Widiyastuti, 2001). Namun pemanfaatan daun lamtoro masih dibatasi oleh adanya senyawa mimosin yang bersifat toksik terutama untuk unggas. Salah satu metode detoksifikasi efektif untuk menurunkan kandungan mimosin adalah penambahan senyawa FeSO4 dalam ransum yang mengandung daun lamtoro. Limbah kepala udang juga merupakan pakan alternatif yang kaya nutrien yaitu mengandung protein 59%, ME sekitar 2516 kkal/kg, kalsium 4,56% dan phosphor 1,78% juga sumber astaxanthin yaitu karotenoid yang potensial untuk pigmentasi. Suplementasi L-Carnitine dapat meningkatkan digestibilitas nutrien pada ternak monogastrik. Dilaporkan bahwa suplementasi L-Carnitine pada babi lepas sapih dapat memperbaiki digestibilitas nutrien,

32

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 31 - 36

memperbaiki konversi pakan (Cho et al., 1998, menurunkan kandungan lemak karkas (Owen et al., 1996). Namun demikian hingga saat ini belum ada informasi mengenai pengunaan L-carnitine pada unggas khususnya itik, sehingga mendorong penulis melakukan penelitian tentang pengaruh L-Carnitine terhadap digestibilitas nutrien pakan itik. Sinergisme antara pemanfaatan daun lamtoro, limbah kepala udang, penambahan FeSO4 dan L-carnitine ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja itik petelur baik ditinjau dari pemanfaatan nutrien dan intensitas warna kuning telur itik dengan pakan yang mengandung tepung daun lamtoro dan limbah kepala Tabel 1. Susunan ransum percobaan Bahan Pakan Jagung giling Dedak padi Tepung ikan Tepung daun lamtoro Tepung kepala udang L-Carnitine Kapur Tepung cangkang telur Mineral mix

udang serta suplementasi L-Carnitin. Diharapkan penelitian ini menjadi salah satu strategi dalam optimalisasi pakan guna pencapaian produktivitas ternak yang optimal.

Metode Penelitian
Materi penelitian adalah 20 ekor itik tegal siap produksi (umur 6 bulan) dengan bobot badan rata-rata 1408,05 g dan pakan disusun seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2 :

R0 R1 R2 R3 -----------------------------(%)----------------------------------53 53 53 53 23 23 23 23 10 10 8 6 10 10 10 10 2 4 0,0025 2,20 2,200 2,20 2,20 1,60 1,600 1,60 1,60 0,20 0,200 0,20 0,20

Tabel 2. Kandungan nutrien ransum percobaan*) Nutrien Protein kasar (%) ME (kkal/kg) Lemak kasar (%) Serat kasar (%) Ca (%) P (%)
*)

R0 16,37 2813,60 4,55 6 1,94 0,95

R1 16,81 2813,60 4,84 7 1,94 1,09

R2 15,06 2801,12 3,90 6 1,92 0,83

R3 25,23 2799,84 4,81 7 1,91 0,94

Keterangan : Hasil analisis laboratorium IBMT (2004)

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu: R0 (pakan mengandung tepung daun lamtoro), R1 (R0 + L-Carnitine 25 ppm), R2 (R0 + 2% kepala udang), R3 (R0 + 4% kepala udang). Semua perlakuan ditambah dengan FeSO4 0,20%. Setiap perlakuan diulang 5 kali. Peubah yang diamati adalah kecernaan protein, kecernaan lemak, intensitas warna kuning telur. Data dianalisis menggunakan analisis ragam dan bila perlakuan berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (Steel dan Torie, 1991).

Tata urutan kerja meliputi: mempersiapkan kandang dan pakan sebelum itik datang, memasang tag pada itik sebagai penanda perlakuan, melakukan masa adaptasi pakan (preliminary) selama 7 hari terakhir masa percobaan, serta mengamati peubah respon

Kecernaan Protein
Kecernaan protein dapat diestimasi dengan menganalisis kadar protein pakan dan feses dengan metode mikro kjeldhal (AOAC, 1984), kemudian menghitung selisih antara kadar protein pakan yang terkonsumsi dengan kadar protein feses.

Kecernaan dan Intensitas Warna (Widiyastuti et al.)

33

Kecernaan protein =

( BKt PKt ) ( BK feses PK feses) 100 %


BKt PKt

warna kuning telur dengan gradasi warna pada Roche Yolk Color Fan selanjutnya dicatat skor yang tertera.

BKt PKt BK feses PK feses

: : : :

Bahan kering terkonsumsi Protein kasar terkonsumsi Bahan kering feses Protein kasar feses

Hasil dan Pembahasan


Kecernaan Lemak Kasar
Sistem evaluasi pakan digunakan untuk menunjukkan nilai nutrisi pakan sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebutuhan nutrisi ternak. Salah satu indikator nilai nutrisi pakan adalah kecernaan lemak. Wiseman (1990) menyebutkan bahwa beberapa variabel yang berpengaruh terhadap variabilitas nilai nutrisi lemak untuk ternak non ruminansia adalah struktur kimia lemak, umur ternak dan metode yang diterapkan dalam evaluasi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa lemak akan digunakan lebih efektif pada kondisi konsumsi yang lebih rendah. Hasil penelitian (Tabel 3) menunjukkan bahwa rataan kecernaan lemak berkisar antara 71,48% sampai dengan 86,69%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan lemak kasar pakan percobaan, meskipun nilai kecernaan tertinggi ditunjukkan pada perlakuan R1 yaitu pakan dengan suplementasi L-Carnitine. Hal ini menunjukkan bahwa L-Carnitine mampu meningkatkan kecernaan lemak pakan, seperti dilaporkan oleh Cho et al. (1998) bahwa suplementasi L-Carnitine dapat meningkatkan digestibilitas nutrient pada ternak monogastrik.

Kecernaan Lemak
Kecernaan lemak dapat diestimasi dengan menganalisis lemak pakan dan lemak feses menurut metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1984). Kemudian menghitung selisih antara lemak pakan yang terkonsumsi dengan lemak feses. Kecernaan Lemak =

( BKt LKt ) ( BK feses LK feses )


Lemak pakan

100 %

BKt LKt BK feses LK feses

: : : :

Bahan kering terkonsumsi Lemak kasar terkonsumsi Bahan kering feses Lemak kasar feses

Intensitas Warna Kuning Telur


Diamati menggunakan alat Roche Yolk Color Fan (skor 1 15). Telur dari masing-masing unit percobaan (5 butir telur per unit percobaan) dipecah dan ditempatkan pada cawan petri. Kemudian dilakukan pengamatan dengan cara mencocokkan

Tabel 3. Kecernaan lemak kasar, protein kasar dan intensitas warna kuning telur itik lokal Perlakuan R0 R1 R2 R3 Kecernaan Lemak Kasar (%) 78,54 86,69 71,48 81,24 Kecernaan Protein Kasar (%) 80,53 90,78 80,31 81,65 Skor Warna Kuning Telur 9,40a 10,30bc 9,63ab 10,55cd

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Dilaporkan bahwa suplementasi L-Carnitine pada babi lepas sapih dapat memperbaiki digestibilitas nutrien, dan memperbaiki konversi pakan. Tidak berpengaruhnya L-Carnitine secara statistik diduga karena level suplementasi yang masih rendah. Kisaran konsumsi pakan berturut-turut dari yang terndah adalah 114,26 g/ekor/hari (R1), 142,54 g/ekor/hari (R0), 144,18 g/ekor/hari (R3), 147,18 g/ekor/hari (R2).

Pakan perlakuan dengan penambahan L-Carnitine menunjukkan tingkat konsumsi terendah dibanding yang lainnya. Konsumsi pakan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terutama R1 vs R2, R3, tetapi kisaran kandungan lemaknya tidak berbeda sehingga konsumsi lemak relatif sama. Kisaran kandungan lemak pakan yang berbeda justru pada perlakuan R2 vs R3 yang menyebabkan konsumsi

34

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 31 - 36

lemak berbeda sangat nyata (P<0,01) yaitu 1,56 g (R2) dan 2,27(R3). Meskipun demikian secara statistik tingkat kecernaan yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Dapat dinyatakan bahwa penambahan L-Carnitine dalam pakan (R1) cenderung meningkatkan efisiensi pakan ditinjau dari tingkat konsumsi dan tingkat kecernaan. Sesuai dengan pendapat Wiseman (1990) bahwa tingkat konsumsi pakan yang lebih rendah akan lebih efektif dalam penggunaan lemak. Level penggunaan L-Carnitine masih perlu ditingkatkan sehingga tingkat kecernaan lemak lebih optimal. Carnitine (betahidroksi gamma -trimetiamonium butirat) atau (CH3)3N + CH2-CH(OH)-CH2-COO telah diketahui secara alami sebagai komponen mirip vitamin yang mempunyai fungsi utama sebagai fasilitator transport asam lemak ke dalam mitokondria untuk menghasilkan energi (ATP) melalui -oksidasi dan phosporilasi oksidatif (Bray dan Brigs, 1980; Muchtadi et al., 1993). Carnitin mempengaruhi penggunaan lemak tanpa mempengaruhi performans pertumbuhan. Hal ini disebabkan L-Carnitine mempengaruhi metabolisme asam lemak melalui pengaturan enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme acetyl CoA dalam siklus kreb.

Kecernaan Protein Kasar


Kecernaan protein menunjukkan banyaknya protein yang dapat dicerna oleh ternak dan merupakan indikator bioavalability nutrien pakan yang sangat penting. Rataan nilai kecernaan protein pakan percobaan berkisar antara 80,13 sampai dengan 90,78% dengan nilai kecernaan tertinggi pada perlakuan R1 (Tabel 3). Wahju (1997) menyatakan bahwa protein yang terdapat dalam pakan tidak dapat dicerna seluruhnya, terutama oleh unggas. Protein kasar dalam kebanyakan bahan pakan yang dipergunakan dalam pakan unggas mempunyai daya cerna antara 75 sampai dengan 90%. Selanjutnya Montgomery et al. (1983) menyatakan bahwa protein dalam keadaan natif tidak mudah dicerna, sedangkan protein yang struktur alaminya telah rusak (misalnya denaturasi panas), dipukul-pukul (denaturasi permukaan) atau transformasi kimia (oleh asam dalam lambung) lebih mudah dicerna karena ikatan-ikatan peptidanya menjadi lebih mudah untuk dihidrolisis oleh enzim sistem pencernaan menjadi komponen asam-asam amino. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kecernaan protein kasar, meskipun nilai tertinggi

ditunjukkan pada pakan perlakuan R1. Hal ini disebabkan konsumsi protein yang tidak berbeda nyata yaitu berkisar antara 19,202 sampai dengan 23,334 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan protein untuk itik petelur dengan bobot rata-rata 1408,05 g adalah 23,06 g/ekor/hari. Konsumsi protein terendah (meskipun tidak nyata) ditunjukkan pada perlakuan R1. Berdasarkan tingkat konsumsi pakan rata-rata sebesar 137,04 g/ekor/hari maka seharusnya kandungan protein dalam pakan minimal 16,80% yang terpenuhi pada perlakuan R1. Torun (1988) menyatakan besarnya konsumsi protein sangat dipengaruhi oleh konsumsi energi. Konsumsi energi akan berpengaruh terhadap neraca nitrogen, terutama jika konsumsi protein mendekati atau dibawah level kebutuhan. Ini akan mempengaruhi mempengaruhi laju oksidasi dari asam amino tertentu. Tingkat kecernaan protein yang relatif lebih tinggi pada pakan R1 dipengaruhi oleh tingkat kecernaan lemak yang tinggi pula. Seperti dinyatakan oleh Torun (1988) bahwa karbohidrat dan lemak meningkatkan metabolisme nitrogen dan asam amino, tetapi karbohidrat mempunyai aktivitas yang spesifik sehingga membuat karbohidrat lebih efektif daripada lemak dalam meningkatkan konsumsi protein. Cyr et al. (1991) menyatakan bahwa L-Carnitine juga berperan dalam mengatur enzim seperti pyruvat karboksilase dan rantai cabang enzim asam keto dehydrogenase. Meningkatnya oksidasi asam lemak dapat mencapai level acetyl CoA mitokondrial, enzim pyruvat karboksilase tergantung pada acetyl CoA yang dapat mensuplai rantai karbon untuk biosintesis asam amino.

Intensitas Warna Kuning Telur


Deposisi karotenoid pada jaringan tubuh menunjukkan kinerja tubu yang baik. Pada individu yang sehat maka tingkat deposisi karotenoid akan lebih tinggi, sehingga dapat digunakan untuk menduga tingkat kesehatan ternak. Disamping itu intensitas warna yang tinggi pada produk ternak unggas (telur maupun karkas) lebih disukai oleh konsumen. Deposisi karotenoid pada jaringan sangat tergantung pada bioavailability karotenoid yang dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik yaitu jenis, molekular linkage, jumlah karotenoid dalam pakan, matriks tempat karotenoid dikorporasikan, modifikasi absorpsi, status nutrisi ternak, faktor genetik, hubungan dengan inang dan interaksi diantara faktor-faktor tersebut. Untuk tipe karotenoid, Torrisen (2000) menyatakan bahwa konsumsi karotenoid untuk pigmentasi pada

Kecernaan dan Intensitas Warna (Widiyastuti et al.)

35

produk ternak biasanya berbentuk hydroxy- atau ketocarotenoid. Daun lamtoro mengandung karotenoid dalam bentuk hydroxyl-, seperti dinyatakan oleh Garcia et al. (1996), daun lamtoro mengandung karotenoid yaitu Xanthophyll 753.00 mg/kg BK, lutein 543,00 mg/kg Bk, Zeaxanthin 128,00 mg/kg BK, Carotene 237,50 mg/kg BK. Kepala udang mengandung karotenoid dalam bentuk hydroxyl- dan keto yaitu Astaxanthin (3,3-dihydroxy-4,4-diketo-catrotene) yang merupa- kan karotenoid merah alami terbanyak dan banyak dijumpai pada hewan laut seperti udang dan ikan salmond. Hasil penelitian menunjukkan rataan skor 9,4 sampai dengan 10,55 (diukur menggunakan Roche Yolk Colour Fan) (Tabel 3). Skor ini menunjukkan intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Prabowo (2001) yang menggunakan tepung daun eceng gondok hingga 10% dengan skor warna kuning telur berkisar antara 2 sampai dengan 7. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap intensitas warna kuning telur itik, dengan nilai tertinggi pada perlakuan R3 yaitu 10,55. Hal ini disebabkan karena udang serta sejenisnya mengandung kadar karotenoid yang cukup tinggi yaitu astaxanthin dan ascene yang potensial untuk pigmentasi (Torrisen, 2003). Disamping itu kepala udang diduga juga mengandung carnitin, hal ini terungkap bahwa secara umum ingredient pakan hewani mempunyai kandungan carnitine lebih tinggi dibanding pangan nabati (Owen et al., 1997). Hasil uji lanjut dengan

uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa perlakuan R0 berbeda nyata dengan perlakuan R1, R3 (P<0,05), hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan L-Carnitine dan tepung udang pada pakan dapat meningkatkan intensitas warna kuning telur itik. Pakan R0 mengandung sumber pigmen yang paling rendah yaitu hanya dari tepung daun lamtoro dibanding pakan lain terutama R2 dan R3 yang mengandung sumber pigmen asal daun lamtoro dan tepung kepala udang. Penambahan L-Carnitine dalam pakan (R1) mampu meningkatkan intensitas warna kuning telur yang berbeda tidak nyata dengan R2 dan R3. Hal ini menunjukkan bahwa L-Carnitine berfungsi dalam membantu transport asam lemak ke dalam mitokondria, hal yang sama terjadi pada karotenoid yang merupakan salah satu nutrien yang larut lemak dengan tipe pencernaan dan absorpsi yang sama. Seperti dikemukakan oleh Muchtadi et al. (1993) bahwa setelah bahan pakan sumber vitamin A dan karotenoid terkonsumsi, maka sesampainya di lambung vitamin maupun karotenoid akan dilepaskan oleh kerja enzim pepsin di dalam lambung dan oleh enzim-enzim proteolitik yang terdapat pada usus bagian atas. Selanjutnya karotenoid dan turunanturunan vitamin A akan terkumpul dalam globulaglobula lemak yang terdispersi di dalam usus bagian atas. Vitamin A dalam bentuk emulsi lemak tersebut selanjutnya dihidrolisis oleh berbagai enzim esterase dalam pankreas, akan membebaskan karotenoid dan vitamin A. Disamping itu trigliserida, fosfolipid, dan ester - ester kolesterol

Tabel 3. Kecernaan lemak kasar, protein kasar dan intensitas warna kuning telur itik lokal Perlakuan R0 R1 R2 R3 Kecernaan Lemak Kasar (%) 78,54 86,69 71,48 81,24 Kecernaan Protein Kasar (%) 80,53 90,78 80,31 81,65 Skor Warna Kuning Telur 9,40a 10,30bc 9,63ab 10,55cd

Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

juga mengalami hidrolisis. Partikel-partikel teremulsi yang terbentuk, mula-mula berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein di sekitar mikrofil sel-sel epitel usus dan kemudian diserap. Perlakuan pakan yang mengandung tepung kepala udang 2% (R2) dan 4% (R3) menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hal ini jelas menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah karotenoid yang

terkandung dalam pakan akan menghasilkan tingkat intensitas warna kuning telur yang lebih tinggi.

Kesimpulan
Suplementasi L-Carnitine dalam pakan mempunyai pengaruh yang sama dengan penambahan kepala udang 2 dan 4% terhadap kecernaan lemak

36

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 31 - 36

kasar dan protein kasar, dan deposisi karotenoid pada kuning telur itik tegal. Penambahan kepala udang 4% menghasilkan warna kuning telur sebanding dengan penambahan L-Carnitine 25 ppm.

NAS, 1984. Leucaena : Promissing Forage and Tree Crop for the Tropics. Second Edition. National Academy of Sciences. Washington. Owen, K.Q., J.L. Nelssen, R.D. Goodband, T.L. Weeden and S.A Blum, 1996. Effects of L-Carnitine and soybean oil growth performance and body composition of early-weaned pigs. Journal of Animal Science 74:1612 1619. Owen, K.Q., I.H. Kim and C.S. Kim, 1997. The role of Lcarnitine in swine nutrition and metabolism. Korean Journal of Animal Nutrition and Feeding 21(1):4158. Prabowo, A., 2001. Evaluasi kecernaan protein in vitro, kelarutan dan berat molekul protein serta kandungan asam amino eceng gondok dan penggunaannya dalam pakan itik petelur. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie, 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Torrisen, O.J., 2000. Dietary Delivery of Carotenoids. In: Antioxidant in Muscle Foods; Nutritional Strategis to Improve Quality. E.A. Decker, C. Faustman, C.J. Lopez-Bote (Eds). Wiley Interscience. New York. Torun, B., 1988. Energi Nutrient Interactions. Bodwell, C.E and J.W. Erdman, Jr. (Eds) Institute of Food Technologists. Basic Symposium Series. Chicago, Illinois. Wahju, J., 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. University Press. Yogyakarta. Gadjah Mada

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Program Semique V atas dana yang diberikan sehingga penelitian dapat terlaksana dengan baik.

Daftar Pustaka
AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. W. Harwitz (Ed). Benjamin Franklin Station. Washington DC. Bray, D.L. and G.M. Briggs, 1980. Carnitine. In : R. Goodhart and M. Shills eds. Modern Nutritions in Health and Diseases. Lea and Febiger. Philadelphia, PA. pp. 291 293. Cho, W.T., J.H. Kim, I.K. Han, K.N. Heo and J. Odle, 1998. Effects of l-carnitine with differents lysine levels on growth and nutrient digestibility in pig weaned at 21 days of age. Asian-Australasian Journal of Animal Science 12: 799 805. Cyr, D.M., S.G. Egan, C.M. Brini and G.C. Tremblay, 1991. On the mecchanism of inhibition of gluconeogenesis and ureagenesis by sodium benzoat. Biochemistry and Pharmacology. 42 : 645. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2002. Statistik Pertanian 2002. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Jakarta. Montgomery, R., R.L. Dryer, T.W. Conway and A.A. Spector, 1983. Biokimia. Jilid I Edisi ke-4. Terjemahan: Ismadi, M. 1993. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan, 1993. Metabolisme Zat Gizi. Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia Jilid II. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. .

Widiyastuti, T., 2001. Detoksifikasi daun lamtoro (Leucena leucocephala) secara fisik dan kimia serta pemanfaatannya sebagai sumber pigmentasi dalam ransum ayam broiler. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wiseman, J., 1990. Variability in The Nutritive Value of Fats for Non-Ruminants. In: Feedstuff Evaluation. Wiseman, J. and D.J.A. Cole (Eds). Butterworths. London

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 37 40 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Penggunaan Vitamin E dalam Pakan terhadap Fertilitas, Daya Tetas dan Bobot Tetas Telur Ayam Kampung
(The Effect of Vitamin E Supplementation in Ration Containing Manhadden Fish Oil and Kernel Palm Oil on Fertility, Hatchability and Hatch Weight of Native Chickens Eggs)
N. Iriyanti1 , Zuprizal 2 , T. Yuwanta2 , dan S. Keman 2
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto1 Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2

ABSTRACT : The aim of this research was to know the effect of vitamin E supplementation in the ration containing manhadden fish oil and kernel palm oil on fertility, hatchability and hatch weight of native chicken egg. The research was done in Experimental Sub-station Faculty of Animal Sciences UNSOED, Purwokerto. The experiment was conducted from April to November 2005. Material used in this experiment was 48 chicken females (pullets) of 22 weeks old which reared intensively up to 48 weeks old and 20 cockerels as semen sources for artificial insemination. A Completely Randomized Design with 6 replicates for each treatment was used. Rations were formulated as follow: R0 = Control / basal feed + Vitamin E 0 mg/kg in feed; R1 = basal feed + Vitamin E 10 mg/kg in feed; R2 = basal feed + Vitamin E 20 mg/kg in feed; R3 = basal feed + Vitamin E 30 mg/kg in feed. Results indicated that the used of vitamin E of 30 mg/kg in feed containing 5% manhadden fish oil and 5% kernel palm oil improved chicken fertility by 76.69% to 87.07%. However, treatments has no significant (P>0.05) effects on hatchability and hatch weight. Key Words : vitamin E, fertility, hatchability, hatch weight

Pendahuluan
Tolak ukur keberhasilan usaha pembibitan ayam terutama tingginya fertilitas, daya tetas telur dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Kualitas telur yang baik akan menghasilkan daya tetas dan kualitas tetas yang tinggi. Terdapat hubungan antara kualitas telur dengan kualitas anak ayam, disamping itu daya tetas ditentukan oleh nutrien yang dikonsumsi induk. (Tri-Yuwanta, 1997). Nutrien konsumsi induk sangat ditentukan oleh jumlah serta macam pakan yang diberikan. Pakan yang berkualitas antara lain berasal dari pakan yang mengandung asam lemak essensial terutama asam lemak rantai panjang yang mengandung omega 3 (asam linolenat), omega 6 (linoleat) dan omega 9 (asam oleat). Asam linoleat (18:23) dan asam oleat (18:13) terdapat pada minyak nabati (kedele, rapeseed) dan kacang, sedangkan asam lemak Eikosapentaenoat (EPA/20:53) dan dokosaheksaenoat (DHA/ 22:63) banyak terdapat pada minyak ikan. Peningkatan kebutuhan asam lemak akan berakibat terhadap peningkatan kebutuhan vitamin E, disamping vitamin E sebagai antioksidan juga untuk meningkatkan fertilitas. Asam lemak tidak jenuh mudah pecah menjadi peroksida-peroksida oleh
37

molekul oksigen. Peroksida tidak akan terjadi apabila ada vitamin E. Vitamin E merupakan sumber antioksidan yang berasal dari pakan induknya melalui kuning telur. Komposisi pakan induk merupakan penentu utama pembentukan sistem antioksidan pada anak ayam selama embriyogenesis dan pertumbuhan awal setelah menetas (Surai et al., 1999). Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh penggunaan vitamin E dalam pakan yang mengandung minyak ikan lemuru dan minyak kelapa sawit terhadap fertilitas, daya tetas dan bobot tetas ayam kampung.

Metode Penelitian
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam kampung betina sebanyak 48 ekor umur 22 minggu yang dipelihara secara intensif sampai umur 48 minggu dan ayam kampung jantan 20 ekor umur 48 minggu, diambil semennya untuk perkawinan secara inseminasi, tiap perlakuan digunakan lima ekor pejantan.

Kandang dan Perlengkapan


Kandang pullet yang digunakan kandang individual dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 33 cm

38

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 37 - 40

dan tinggi 25 cm, masing-masing dilengkapi dengan tempat air minum dari plastik, tempat pakan dari bambu yang dimodifikasi. Perlengkapan kandang antara lain : thermometer dinding, higrometer, timbangan pakan, alat semprot, spuit, baki plastik, alat kebersihan. Mesin Tetas merk Cemani.

Ransum Perlakuan
Bahan pakan perlakuan terdiri atas minyak ikan lemuru (PT. Fisindo Muncar, Banyuwangi), minyak kelapa sawit (PT. Inti Boga Sejahtera Jakarta), L.Lysin HCl (PT. Cheil Samsung Indonesia), methionin, tepung ikan dan bungkil kedele (PT. Comfeed, Cirebon), Top Mix (PT. Medion), vitamin E Tocopherine (PT. SOHO Industri Pharmasi, Jakarta), dan dedak padi dan jagung (Tirta Kencana Poultry Shop). Susunan ransum perlakuan disusun Tabel 1. Susunan ransum penelitian Bahan pakan (%) Vitamin E (mg/kg pakan) Minyak ikan lemuru Minyak kelapa sawit Jagung giling Dedak padi halus Bungkil kedele Tepung ikan Tepung batu kapur Garam (NaCl) D,L Metionin L-Lisin HCl Top Mix Onggok Kulit kedele Total Komposisi nutrien: Protein (%) Energi Metabolis (kcal/kg) Lemak (%) Serat kasar (%) 1 Ca (%) 1 P Available (%) 1 Metionin (%) 1 Lisin (%) R0 0,00 5,00 5,00 41,00 25,00 10,00 6,00 2,00 0,40 0,10 0,10 0,40 2,50 2,50 100,00 R0 15,16 3044,63 5,94 2,40 2,67 0,75 1,40 0,89

berdasarkan hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNSOED serta NRC (1984). Susunan ransum selengkapnya tertera pada Tabel 1. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Fertilitas (%), diperoleh dengan cara telur dikumpulkan selama satu minggu, kemudian dimasukkan ke dalam mesin tetas. Penetasan dilakukan sebanyak 10 kali penetasan Peneropongan telur dilakukan pada hari ke 4 dan 17 penetasan. Perhitungan fertilitas (Tri-Yuwanta, 1993)
Fertilitas = Jumlah telur yang fertil 100 % Jumlah telur yang ditetaskan

Daya Tetas diperoleh dengan cara :

Daya Tetas =

Jumlah telur yang menetas 100 % Jumlah telur yang fertil

Ayam betina R1 R2 10,00 20,00 5,00 5,00 5,00 5,00 41,00 41,00 25,00 25,00 10,00 10,00 6,00 6,00 2,00 2,00 0,40 0,40 0,10 0,10 0,10 0,10 0,40 0,40 2,50 2,50 2,50 2,50 100,00 100,00 R1 R2 15,84 15,65 3093,28 3011,17 5,63 5,84 3,37 3,62 2,67 2,67 0,75 0,75 1,40 1,40 0,89 0,89

R3 30,00 5,00 5,00 41,00 25,00 10,00 6,00 2,00 0,40 0,10 0,10 0,40 2,50 2,50 100,00 R3 15,75 3086,02 5,65 3,50 2,67 0,75 1,40 0,89

R0 0,00 5,00 5,00 36,00 36,00 6,00 4,00 2,00 0,40 0,10 0,10 0,40 2,50 2,50 100,00 R0 12,60 3034 6,88 6,39 1,20 0,81 0,40 0,75

Ayam jantan R1 R2 10,00 20,00 5,00 5,00 5,00 5,00 36,00 36,00 36,00 36,00 6,00 6,00 4,00 4,00 2,00 2,00 0,40 0,40 0,10 0,10 0,10 0,10 0,40 0,40 2,50 2,50 2,50 2,50 100,00 100,00 R1 R2 12,24 12,93 3034 3034 6,88 6,88 6,39 6,39 1,20 1,20 0,81 0,81 0,40 0,40 0,75 0,75

R3 30,00 5,00 5,00 36,00 36,00 6,00 4,00 2,00 0,40 0,10 0,10 0,40 2,50 2,50 100,00 R3 12,64 3034 6,88 6,39 1,20 0,81 0,40 0,75

Ket : Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNSOED (2005) 1 Hasil perhitungan dengan Tabel NRC (1994)

Penggunaan Vitamin E (Iriyanti et al.)

39

Bobot Tetas anak ayam yang baru menetas dan telah kering bulunya langsung ditimbang serta diberi tanda atau tag nomor pada sayapnya.

Analisis Data
Percobaan dilakukan dengan metode eksperimen in vivo. Percobaan menggunakan rancangan berupa Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan terdiri 4 macam ransum, setiap perlakuan diulang 6 kali. Data dianalisis dengan analisis ragam dan uji Duncan (Gill, 1978; Steel and Torrie, 1981).

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas tersaji pada Tabel 2. Hasil analisis variansi perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap daya tetas dan bobot tetas, tetapi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap fertilitas. Berdasarkan Uji Duncan ternyata perlakuan R 2 (penambahan vitamin E sebanyak 20 mg/kg pakan) dan perlakuan R3 (penambahan vitamin E sebanyak 30 mg/kg pakan) sangat nyata meningkatkan fertilitas dibandingkan dengan perlakuan kontrol (R0) dan perlakuan R1. Hal berarti bahwa penambahan vitamin E sebanyak 20-30 mg/kg pakan mampu berperan sebagai vitamin antisterilitas dan dapat meningkatkan fertilitas telur tetas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Djawadun (2001) yang melaporkan bahwa lama pencampuran dan penambahan Vitamin E Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap profil telur tetas R0 Fertilitas (%) Daya Tetas (%) Bobot Tetas (g) 76,69 72,02
a a

berpengaruh terhadap produksi, fertilitas dan daya tetas telur itik. Fertilitas telur dipengaruhi berbagai faktor antara lain: pakan, suhu kandang, spermatozoa abnormalitas, motilitas spermatozoa. Semen yang digunakan untuk IB dapat dievaluasi tergantung pada jumlah sel spermatozoa dan jumlah optimal spermatozoa per induk (Bagley, 1995). Fertilitas telur unggas dapat meningkat apabila semen dari beberapa pejantan dicampur, dan evaluasinya dapat dilihat dari fertilitas telur (Tri-Yuwanta, 1992). Telur yang diproduksi setelah puncak produksi akan terjadi penurunan fertilitas dan daya tetas (Christensen, 1991). Fertilitas juga dipengaruhi oleh jenis ayam seperti yang dilaporkan oleh Nataamijaya et al. (2006) bahwa pengaruh pemberian vitamin E terhadap fertilitas ayam kampung (75,57 + 2,01%) berbeda sangat nyata dengan fertilitas ayam sentul (37,26 + 12,84%) dan fertilitas ayam arab (58,01 + 10,50 %). Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap daya tetas dan bobot tetas telur ayam kampung. Hal ini berarti bahwa vitamin E sampai level 30 mg/kg pakan tidak menurunkan maupun meningkatkan bobot tetas. Bobot tetas hasil penelitian berkisar antara 28,24 29,36 g, hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Nataamijaya et al. (2006) bahwa bobot tetas ayam Kampung dengan pemberian vitamin E berkisar 26,58+0,56g; bobot tetas ayam Sentul 25,81+0,63 g; dan bobot tetas ayam Arab sebesar 27,55+1,82 g. Flohe et al. (2005) menyatakan bahwa vitamin E sangat essensial untuk reproduksi, apabila digunakan secara rutin sebagai suplemen dapat meningkatkan

R1 78,94 73,31
b a

R2 80,45 63,00
b a

R3 87,07 74,11
b a

Signifikansi ** ns ns

29,02 a

28,24 a

29,16 a

29,36 a

Keterangan : ns = non significant/tidak nyata (P>0,05), ), ** = very significant (P< 0,01), Superskrip yang sama dalam baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05) R0 = Kontrol / ransum basal R1 = ransum basal + Vitamin E 10 mg/kg pakan R2 = ransum basal + Vitamin E 20 mg/kg pakan R3 = ransum basal + Vitamin E 30 mg/kg pakan

pertumbuhan dan menjaga perkembangan zigot. Menurut Tri-Yuwanta (1993) menyatakan bahwa daya tetas dipengaruhi oleh faktor endogen yaitu kualitas telur, kandungan mikro mineral dan pakan induk, serta faktor eksogen: lama penyimpanan telur sebelum

ditetaskan, temperatur penyimpanan, kondisi mesin tetas dan manajemen penetasan. Vitamin E juga merupakan mikronutrien yang sangat penting atau essensial untuk reproduksi, untuk perkembangan fetus pada tikus, dan apabila digunakan

40

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 37 - 40

secara rutin sebagai supplemen dapat meningkatkan pertumbuhan pada ternak. Vitamin E mampu mempertahankan dari kerusakan spermatogenesis pada ternak jantan dan menjaga perkembangan zigot pada ternak betina. Pada sistem reproduksi, vitamin E berfungsi sebagai antioksidan bersama-sama dengan mineral selenium. McDowell (1991) menyatakan bahwa defisiensi vitamin E dapat menyebabkan sterilitas yang permanen, menurunkan daya tetas, meningkatkan kematian pada embryo setelah hari ke-4 masa inkubasi.

Insemination of Poultry. Poultry Science Association, Inc. USA. Djawadun, 2001. Pengaruh sex ratio dan rasio lama pencampuran dengan level vitamin E dalam ransum terhadap produksi dan reproduksi itik turi. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Gill, J.L., 1978. Design and Analysis Experiment in The Animal and Medical Science. Vol 2. The Iowa State University of Florida, Gaine Ville, Florida. McDowell Lee Russell, 1991. Vitamin In Animal Nutrition. Academic Press. Tokyo. Nataamijaya, A.G., Arnesto, and S.N. Jarmani, 2006. Reproduction performance of female local chickens breeds under vitamin E supplementation. Animal Production. 8(2): 78-82. NRC., 1994. Nutrien Requirement of Poultry. The 9th Ed.National Academic Press, Washington D.C.,USA. Steel , R.G.D. and J.H. Torrie, 1981. Principles and Procedures of Statistics. Mc Graw-Hill Book. London. Surai, P. F., R.C. Noble, and B.K. Speake, 1999. Relationship between vitamin E content and susceptibility to lipid oxidation in tissues of the newly hatched chick. British Poultry Science. 40: 406-410. Tri-Yuwanta, 1992. Konservasi in vitro sperma kalkun: pengaruh penggantian plasma seminal pada penyimpanan 4C selama 6 jam terhadap fertilitas telur. Buletin Peternakan. Edisi Khusus, hal 14. Tri-Yuwanta, 1993. Perencanaan dan tatalaksana pembibitan unggas. Inseminasi buatan pada unggas. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Tri-Yuwanta, 1997. Hubungan Nilai Gravitasi Spesifik telur terhadap kualitas dan daya tetas telur ayam kampung. Buletin Peternakan 21 (2): 88-95.

Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan kombinasi 5,00% minyak ikan lemuru dan 5,00% minyak kelapa sawit serta ditambah dengan vitamin E sebesar 30 mg/kg dalam ransum ayam kampung ternyata dapat meningkatkan fertilitas dari 76,69% menjadi 87,07%. Namun perlakuan tidak mempengaruhi daya tetas dan bobot tetas telur ayam kampung.

Ucapan Terimakasih
Melalui tulisan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Pimpinan Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi melalui Proyek Hibah Bersaing XII atas dana yang diberikan.

Daftar Pustaka
Bagley, L.G., 1995. Risk and benefits of the stud farm. Proceeding First International Symposium on the Artificial Insemination of Poultry (Eds: M.R.Bakst and G.J. Wishart) Poultry Science Association, Inc. USA. p.66. Christensen, L.V., 1991. Diluents, dilution and storage of poultry semen for six hours. Proceeding First International Symposium on the Artificial

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 41 44 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Efek Antigen Laktat Dehidrogenase Spesifik dari Berbagai Tipe Domba Prolifik terhadap Respon Hematologis Antibodi pada Ayam
(Effect of Specific Lactate Dehydrogenase Antigen from Sheep with Different Prolific Type on Hematology and Antibody Responses of Chicken)
M.Y. Sumaryadi1, Prayitno1, dan W. Manalu2
1 2

Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRACT : Maternal serum of thirty nine ewes were used to study hematological and antibody responses of chicken injected with antigen protein of specific LDH obtained from sheep with different littersizes (prolific type). The prolific type of ewes was determined base on littersize (LS), which were low ( 1 LS 1.5), medium ( 1.5 < LS 2.0), and high (LS > 2.0). There were ten ewes carrying specific LDH protein. The number of animals of low, medium, and high prolific-type ewes was 3, 5, and 2 heads, respectively. The serum was used to produce antigen and injected to chicken to promote antibody production of anti LDH. The results of research showed that different prolific-type has no significant (P>0.05) effects on hematological and antibody titer of chicken. However, hematological status of chicken injected with specific LDH antigen was significantly (P<0.05) higher than control. It can be concluded that production of specific protein anti LDH can be done in layer by injection of antigen from ewes. Product of specific protein anti LDH of prolific ewes still needs field test for its accuracy for selection of ewes with different prolific type. Key Words: hematology, antibody, LDH, ewes

Pendahuluan
Kemajuan dibidang imunologi, secara aplikasi dapat digunakan baik sebagai alat deteksi dini untuk penyakit, ovulasi, kebuntingan atau studi genetik pada ternak dengan menggunakan produk antibodi (Murray, 1989). Antibodi yang dihasilkan oleh hewan berbedabeda sesuai dengan antigen yang masuk, antibodi ini hanya akan bereaksi dengan antigen yang digunakan sebagai pemicu. Prinsip ini dapat diterapkan dalam dunia peternakan yaitu untuk menyeleksi secara dini terhadap pemilihan bibit unggul, termasuk tingkat prolifikasi ternak domba. Penelitian ini menggunakan media ayam petelur (unggas) dan antigen yang diberikan berupa antigen spesifik anti LDH domba dari berbagai tingkat prolifikasi. Ayam mempunyai potensi digunakan sebagai media memproduksi antibodi yang mempunyai kespesifikan terhadap antigen yang berasal dari mamalia dibandingkan menggunakan media sesama mamalia, karena secara taksonomi (filogenik) antara ayam dan mamalia mempunyai hubungan kekerabatan jauh (Marqquard 2000). Serum ayam mengandung tiga imunoglobin penting yaitu IgA, IgG dan IgM. Mekanisme deposisi IgG dalam telur hampir sama dengan transfer IgG
41

melalui plasenta pada mamalia (Rose dan Olson, 1981). Percobaan sebelumnya telah dilaporkan, bahwa ayam dapat diimunisasi dengan berbagai macam antigen termasuk bovin serum albumin (BSA) (Ermeling et al., 1992; Li et al., 1998a), albumin serum manusia (Rose dan Oslon, 1981), proteoglikan (Li et al., 1998b), lipopolisakarida (Sunwoo et al., 1996). Selanjutnya dilaporkan, bahwa bila ayam diimunisasi dengan berbagai macam antigen, ternyata dapat menginduksi produksi IgG spesifik terhadap antigen yang diinduksikan. Secara fisika-kimia IgG pada ayam berbeda dengan IgG pada mamalia terutama ukuran molekulnya (Otani et al., 1990). Pembuatan IgG pada ayam merupakanm metode yang relatif murah dan ekonomis dalam upaya memproduksi antibodi poliklonal (Akita dan Nakai, 1998). Dengan demikian, jika antigen spesifik anti LDH domba diinjeksikan pada ayam tentunya akan menimbulkan respon imunologi pada tubuh ayam tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Tizzard (1988), bahwa bila antigen diinjeksikan pada hewan maka akan terbentuk antibodi yang dapat bereaksi dengan antigen tersebut. Namun masalahnya bagaimana tingkat respon penyuntikan antigen spesifik anti LDH domba yang berasal dari berbagai tipe prolifikasi pembawa gen tunggal FecJF( Fecundity

42

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 41 - 44

java) terhadap perubahan hematologis dan pembentukan antibodi pada ayam perlu dikaji dalam penelitian ini. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penyuntikan antigen spesifik anti LDH domba dari berbagai tingkat prolifikasi terhadap respon hematologis dan pembentukan antibodi pada ayam petelur.

yang diperoleh dikeringkan dengan freeze dryer. Selanjutnya, kristal protein LDH spesifik yang diperoleh digunakan sebagai antigen untuk produksi antibodi anti LDH domba pada ayam petelur Isa Brown umur 50 minggu.

Produksi Antibodi anti LDH Domba


Dua puluh empat ekor ayam digunakan dalam percobaan ini. Ayam percobaan dikelompokkan menjadi empat kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol, kelompok produksi antibodi anti LDH domba prolifik rendah, kelompok produksi antibodi anti LDH domba proifik sedang, dan kelompok produksi antibodi anti LDH domba prolifik tinggi. Selanjutnya dilakukan imunisasi terhadap ayam percobaan sesuai kelompok perlakuan.

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan secara laboratoris, dengan menggunakan serum dari 39 ekor domba yang terdiri dari serum domba tipe prolifikasi rendah dengan jumlah anak sekelahiran (JAS) 1 1,5 ( 1 JAS 1,5), tipe prolifik sedang 1,5 2,0 ( 1,5 < JAS 2,0), dan prolifik tinggi dengan rata-rata (JAS > 2,0).

Identifikasi Pola Protein LDH Spesifik


Protein serum dari 39 ekor domba diisolasi proteinnya dengan kromatografi gel kolom penyaringan (filtrasi) menggunakan Sphadex G-70. Protein enzim LDH dalam gel kolom dielusi dengan buffer posfat 0,01M pH 8,2 dengan kecepatan alir 5 ml per 6 menit. Eluat dari kolom ditampung dalam tabung pengumpul fraksi dan keseluruhan diperoleh 50 tabung. Selanjutnya, masing-masing tabung fraksi ditentukan aktifitas LDH-nya dengan metode Wuryastuti (1991). Masing-masing tabung fraksi yang menunjukkan adanya aktifitas LDH dikumpulkan menjadi satu dan selanjutnya dikeringkan dengan pengeringan beku (freeze dryer). Serbuk LDH yang diperoleh dilarutkan dengan 0,2 ml aguades dan selanjutnya protein spesifik LDH dipisahkan dengan poliakrilamid gel elektroforesis. Dari 39 ekor domba prolifik ditemukan protein LDH spesifik sebanyak 10 ekor yang terdiri dari prolifik rendah 3 ekor, prolifik sedang 5 ekor, dan prolifik tinggi 2 ekor.

Prosedur Imunisasi Antigen Protein LDH Spesifik pada Ayam Petelur


Sebanyak 2 mg kristal protein LDH spesifik domba dari masing-masing tipe prolifikasi dilarutkan dalam 0,5 ml NaCl fisiologis 0,8 persen, kemudian dicampur dengan 0,5 ml freunt adjuvant complete. Selanjutnya diinjeksikan pada bagian dada (otot pectoralis) ayam petelur Isa Brown umur 50 minggu. Setelah 2 minggu terhitung dari imunisasi pertama dilakukan booster dengan menggunakan 2 mg protein spesifik LDH dalam 0,5 ml NaCL fisiologis 0,8 % ditambah 0,5 ml freunt adjuvant incomplete. Injeksi antigen dilakukan pada bagian yang sama saat imunisasi pertama. Setelah satu bulan terhitung dari imunisasi I ayam diambil sampel darahnya, kemudian pengambilan sampel darah dilakukan setiap 2 minggu sampai dengan 3 bulan dari imunisasi I. Semua sampel serum yang diperoleh dilakukan pengujian hematologis (jumlah sel darah putih non limfosit, limfosit, sel darah merah dan kadar hemoglobin), uji serologik, dan titer antibodinya. Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati dilakukan analisis variansi (Steel dan Torrie, 1981).

Pembuatan Antigen (Protein LDH Spesifik)


Sepuluh ekor induk domba yang memiliki pola protein LDH spesifik masing-masing untuk tipe prolifikasi rendah, sedang, dan tinggi adalah 3, 5, dan 2 ekor digunakan dalam percobaan ini untuk membuat antigen. Pita protein LDH spesifik pada gel poliakrilamid dari masing-masing tipe prolifikasi dipotong kemudian gel dihancurkan dalam aquades. Protein LDH yang telah larut dalam aquades diendapkan dengan larutan Tri Chloro Acetic Acid ( TCA) 10% dan dilanjutkan sentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Pelet

Hasil dan Pembahasan


Hasil analisis terhadap kondisi hematologis dan titer antibodi ayam yang diimunisasi antigen protein LDH spesifik dari masing-masing domba prolifik seperti tertera pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa antigen protein LDH spesifik dari berbagai tipe prolifikasi domba berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap

Efek Antigen Laktat (Sumaryadi et al.)

43

kondisi hematologis ayam. Kondisi hematologis ayam yang diimunisasi antigen protein LDH spesifik dari berbagai tipe prolifikasi domba berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok ayam kontrol. Ini berarti bahwa proses imunisasi cenderung berpengaruh ke pembentukan humoral IgG anti LDH bukan pada prolifrasi sel (Tizzard, 1988; Bellanti, 1993). Di samping itu, sesuai dengan fungsi hematologis dari sel darah, baik sebagai transpoter nutrien maupun oksigen, serta sebagai homeostater dan pertahanan tubuh terhadap

infiltrasi zat asing maupun mikroorganisme, sehingga proses imunisasi meningkatkan limfosit, sel darah merah maupun hemoglobin (Bone, 1979; Ganong, 1995), sedangkan sel darah putih non limfosit menurun. Hasil pengujian serologi kespesifikan produk antibodi yang dihasilkan terhadap antigen (LDH) dari berbagai domba tipe prolifik ternyata titer antibodi (Tabel 1), kadar IgG anti LDH domba dan profil pembentukan antibodi, seperti terlihat pada Gambar 1.

Tabel 1. Rataan hasil analisis hematologis serta titer antibodi yang diinjeksi antigen LDH spesifik dari masing-masing tipe prolifikasi domba
Kondisi Hematologis Sel darah putih non limfosit (%) Limfosit (%) Sel darah merah (juta/mm3) Hemoglobin (g/100cc) Titer antibodi (unit/ml Serum)
a,b)

Kontrol 86,08a 13,92a 6,61a 7,10a 0,92a

Antigen LDH Domba Prolifik Rendah Sedang 71,76b 71,29b b 28,24 28,71b b 8,85 8,83b b 7,88 7,99b b 2,89 2,91b

Tinggi 70,87b 29,13b 8,83b 8,43b 3,01b

Superskrip yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Konsentrasi IgG (unit)


105.4 106.1 103.8

100

50

0
Kelompok Ayam yang Diinjeksi LDH Prolifik Rendah Kelompok Ayam yang Diinjeksi LDH Prolifik Sedang Kelompok Ayam yang Diinjeksi LDH Prolifik Tinggi

Gambar 1. Konsentrasi IgG anti LDH pada serum Ayam yang diimunisasi protein LDH domba prolifik

44

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 41 - 44

Berdasarkan Gambar 1 maka ayam dapat digunakan sebagai media pembentukan antibodi dari antigen domba dengan kespesifikan yang tinggi. Serum ayam mengandung tiga imunoglobin penting yaitu IgA, IgG dan IgM. Protein imunoglobulin ini dapat berikatan (mengenal) dengan antigen spesifik, sedangkan antibodi terbesar yang terdapat dalam serum ayam adalah IgG (Rose dan Olson, 1981). Jika ayam diimunisasi dengan berbagai macam antigen akan menginduksi produksi IgG spesifik terhadap antigen yang diinduksikan. Secara fisika-kimia IgG pada ayam berbeda dengan IgG pada mamalia terutama ukuran molekulnya (Otani et al., 1991). Hasil penelitian sebelumnya dilaporkan, bahwa ayam dapat diimunisasi dengan berbagai macam antigen termasuk bovin serum albumin (BSA) (Ermeling et al., 1992), Li et al., 1998a), albumin serum manusia (Rose dan Oslon, 1981), proteoglikan (Li et al., 1998b), lipopolisakarida (Sunwoo et al., 1996). Berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi hematologis (sel darah putih non limfosit, limfosit, sel darah merah, dan hemoglobin), ternyata proses imunisasi lebih cenderung mempengaruhi humoral pembentuk antibodi dibandingkan terhadap proliferasi sel. Namun imnunisasi dengan penyuntikan antigen protein LDH spesifik dari domba prolifik lebih mempengaruhi fungsi sel-sel darah yang berperan dalam pertahanan tubuh dari infiltrasi benda asing. Ini berarti, penyuntikan antigen LDH sangat mempengaruhi terjadinya sintesis antibodi anti LDH spesifik domba di dalam tubuh ayam. Hal ini tercermin pula dari titer antibodi yang dihasilkan pada ayam yang diimunisasi antigen LDH spesifik domba lebih tinggi daripada kelompok perlakuan kontrol.

14.39/SK/RUT/2005. Ucapan yang sama disampaikan kepada Kelompok Tani Ternak Domba Amanat Bukateja, Pubalingga yang telah membantu fasilitas dalam pelaksanaan penelitian.

Daftar Pustaka
Akita, E.M. and Nakai, S., 1998. Imunoglobulin from egg yolk : Isolation and purification. Journal of Food Science. 57: 629-634. Bellanti, J.A., 1993. Immunology III. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Bone, J.F., 1979. Animal Anatomy and Physiology. Reston Publishing Company Inc. Reston. Virginia. Eemerling, B.L., Steffen, E.K., Fish, R.E. and Hoak. R.R., 1992. Evaluation subcutaneous chamber as an alternatif to conventional methods of antibody production in chicken. Laboratory Animal Science. 2: 402-407. Ganong, W.F., 1995. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Li., X., Nakano, T., Sunwoo, H.H., Paek, B.H., Chae H.S. and Sim, J.S., 1998a. Effect of egg and yolk weight on yolk antibody (IgY) production in laying chicken. Poultry Science. 77: 266-270. Li., X., Nakano, T., Sunwoo, H.H., Chae H.S. and Sim, J.S., 1998b. Production of chicken egg yolk antibody (IgY) again bovine proteoglicant. Canadian Journal of Animal Science. 78: 287-291. Marquardt, R.R., 2000. Control of Intestinal Deseases in Pigs by Feeding Spesific Chicken Egg Antibodies. In: Egg Nutrition and Biotechnology. J.S. Sim, S. Nakai and W. Guenter (Eds). CABI-International, Toronto, Canada. Murray, M-Y., 1989. Applications of Monoclonal Antibodies in Animal Health and Production. In: Animal Biotechnology. Pergamon Press. Canada. pp.21-34. Otani, H., Matsumoto, K., Saeki, A. and Hosono, A., 1991. Comparative Studies of Properties of Hen Egg Yolk IgY and Rabbit Serum IgG Antibodies. Lekensmittel, Wissenschaft und Technologie. 24: 152-158. Rose, M.E. and Orlans, E., 1981. Immunoglobulin in the egg embryo and young chick. Development and Comparative. 5: 15-20. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1981. Principle and Procedures of Statistics. McGraw Hill Book. Co. Inc. New York. Sunwoo, H.H., Nakano, T., Dnou, W.T. and Sim, J.S., 1996. Imune Response in Chicken against lipopolysaccharide of Eschericia coli and Salmonella typhimurium. Poultry Science. 75: 342-345. Tizzard, I.R., 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerbit Angkasa. Bandung. hal 7-49. Wuryastuti, H., 1991. Teknik Pemeriksaan Darah pada Mamalia. Yogyakarta. hal 63-64.

Kesimpulan
Hasil penelitian disimpulkan bahwa pembuatan produksi antibodi anti LDH domba pada ayam dengan menggunakan antigen protein spesifik LDH dari masing-masing tipe prolifikasi telah berhasil dilakukan pada ayam. Namun demikian, produk kristal antibodi anti LDH dari domba prolifik pada ayam masih perlu uji akurasi di lapangan untuk seleksi calon induk prolifik rendah, sedang maupun tinggi.

Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Proyek Riset Unggulan Terpadu (RUT) X.3 atas penyediaan dana penelitian dengan surat Perjanjian nomor:

45

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 41 - 44

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 46 49 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Pengaruh Aras Glycerol terhadap Motilitas dan Fertilitas Spermatozoa Ayam Kampung yang Dibekukan dengan Nitrogen Cair
(Effect of Glycerol Levels on the Motility and Fertility of Kampung Chicken Spermatozoa Frozen in Liquid Nitrogen)
D.M. Saleh dan Sugiyatno
Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

ABSTRACT: The use of various levels of glycerol as a cryoprotective agent for freezing kampung chicken semen was examined with respect to intravaginal insemination. There was a significant (P<0.05) effect of various levels of glycerol (4, 8, 12 and 16 %) on motile spermatozoa, but there was no significant effect on fertility. It was concluded that the use of glycerol for preservation of kampung chicken semen in liquid nitrogen gave satisfactory cryopreservative results on motility of thawed kampung chicken spermatozoa, but failed to produce fertile eggs. Key Words: glycerol, kampung chicken, semen, fertility, motility, liquid nitrogen

Pendahuluan
Dalam ilmu reproduksi, mengawinkan ternak dapat dilakukan secara kawin alam atau kawin buatan atau inseminasi buatan (IB). Pada umumnya ternak ayam kawin secara alamiah, tanpa bantuan manusia. Dengan perkawinan alam ini ternyata diperlukan pejantan yang banyak. Selain itu banyak betina yang subur dikawini oleh pejantan yang kuat atau dominan tapi kualitas spermanya rendah, sehingga fertilitasnya rendah, disamping itu penyebaran penyakit oleh pejantan akan cepat menyebar pula. Namun dengan IB kelemahan-kelemahan tersebut bisa diatasi. Selain itu, dengan IB dapat mengawinkan pejantan yang tidak bisa mengawini karena cacat, atau memang tidak bisa kawin secara alam. Jadi kawin silang seperti ayam hutan dan ayam kampung dengan IB bisa dilaksanakan dengan mudah. IB pada ayam dengan menggunakan sperma segar, atau sperma segar yang diencerkan sudah banyak dilakukan, umumnya pada perusahaan ayam yang besar dan dikelola secara komersial. Namun inseminasi dengan menggunakan sperma beku belum banyak diaplikasikan secara luas, karena keberhasilan atau tingkat fertilitasnya masih rendah dibawah hasil kawin alam ataupun masih dibawah hasil inseminasi dengan menggunakan semen segar atau Liquid semen (Donoghue dan Wishart, 2000). Sperma cair yang digunakan untuk inseminasi hanya tahan beberapa jam atau hari saja, sedangkan sperma beku waktu penggunaannya cukup lama hingga puluhan tahun. Dalam proses pembekuan dan thawing
46

spermatozoa akan banyak mengalami kerusakan atau kematian. Oleh karena itu, untuk menanggulangi akibat dari kerusakan atau kematian selama pembekuan dan thawing sperma perlu ditambah dengan cryoprotectant yang baik. Salah satu cryoprotectant yang sudah banyak digunakan dan bekerja baik seperti pada pembekuan semen sapi dan kerbau yaitu glycerol. Banyak peneliti menyatakan bahwa pada pembekuan sperma ayam, glycerol terbukti dapat bekerja dengan baik, menjaga atau melindungi spermatozoa dari kerusakan. Namun, disayangkan ayam betina yang diinseminasi secara intravagina dengan sperma berglycerol tidak menghasilkan fertilisas yang baik, bahkan sama sekali tidak terjadi fertilisasi, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada inseminasi melalui intrauterine atau intramagma. Sifat contraceptive ini masih diperdebatkan. Bagi yang kontra pun hingga kini belum bisa mengungkapkan mekanisme atau aksi contraceptive dari glycerol itu. Penelitian ini dirancang untuk membuktikan atau mengkaji pemakaian glycerol yang digunakan dalam pembekuan sperma ayam terhadap motilitas dan kemampuan spermatozoa dalam membuahi.

Metode Penelitian
Materi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kandang percobaan yang berlokasi di Bobosan Timur no 3 dan Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi, Fakultas

Pengaruh Aras Glycerol (Saleh dan Sugiyatno)

47

Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Hewan percobaan yang digunakan terdiri dari 8 ekor ayam kampung jantan umur sekitar 12 18 bulan, dan 40 ekor ayam betina ISA brown umur 45 minggu. Semua ternak ayam ditempatkan dalam kandang individu. Air minum diberikan ad libitum, dan pakan yang diberikan untuk ayam jantan terdiri dari konsentrat jagung dan dedak dengan perbandingan 1:2:5 sebanyak 150 g/ekor/hari yang mengandung ME 2250 kcal /kg, dan protein 12,50%, pakan untuk ayam petelur terdiri dari konsentrat, jagung dan dedak dengan perbandingan 3:4:3 sebanyak 120 gram/ekor/ hari yang mengandung ME 2795 kcal/kg dan protein 18%. Bahan yang digunakan terdiri dari sperma ayam kampung, pengencer Tris-kuning telur dengan komposisi pengencer : 3,028 g Tris (hydroxymethyl) aminomethan, 1,675 g asam sitrat, 12,5 g D (-) fruktosa, 27,90 g raffinosa, 100,000 iu penisilin-G, 50 mg streptomycin sulfat ad 100 ml aquabidestilata (Saleh, 2004). Bahan lain yang digunakan adalah kuning telur ayam ras, glycerol dan nitrogen cair. Peralatan yang digunakan meliputi, timbangan mikro, tabung reaksi, gelar ukur, tabung koleksi sperma, Fluke thermocouple thermometer, straw 0,5 ml, syringe, hemositometer, obyek glass, cover glass, gunting, mikroskop, styrofoam dan kontainer.

Cara Penelitian
Setiap pejantan diambil spermanya sebanyak 3 kali dengan interval 3 hari. Pengambilan sperma menggunakan teknik massage yang dikembangkan oleh Burrows dan Quinn (1937). Sperma yang dikeluarkan ditampung dalam tabung berskala kemudian segera dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan volume, warna dan kekentalan. Pemeriksaan mikroskopis meliputi pemeriksaan gerak massa, gerak progresif individu, konsentrasi, persentase hidup dan morfologi spermatozoa. Setelah dievaluasi, sperma segar dari masingmasing individu ayam jantan yang dinyatakan baik atau memenuhi persyaratan untuk pembekuan, segera dicampur menjadi satu tabung (pooled sperma segar), kemudian dibagi ke dalam 4 tabung atau 4 kelompok perlakuan yakni : T1 = Tris - kuning telur + 4 persen glycerol T2 = Tris - kuning telur + 8 persen glycerol T3 = Tris - kuning telur +12 persen glycerol

T4 = Tris - kuning telur + 16 persen glycerol Setelah itu setiap tabung tersebut segera diencerkan dengan masing-masing pengencer secara perlahan dan merata dengan perbandingan 1:1 (v/v) tidak lama kemudian ditambah lagi pengencer hingga sesuai dengan perhitungan yang menghendaki setiap dosis IB mengandung sekitar 300 juta spermatozoa dalam straw volume 0,5 ml. Pelaksanaan penyimpanan sperma segar, pencampuran sperma dan pengencer dilakukan pada temperatur yang sama, yaitu sekitar 5oC). Empat puluh lima menit kemudian (waktu equilibrasi) sperma + pengencer dikemas kedalam straw yang sudah diberi label sesuai dengan perlakuan, dan ditutup dengan sealing powder setelah itu strawstraw tersebut dibiarkan sekitar 5 menit didalam air es yang bersuhu sekitar 4 5 oC. Pembekuan dilakukan dengan cara menempatkan straw yang telah berisi sperma 17 cm di atas permukaan nitrogen cair selama 21 menit dari + 5oC hingga 47,20oC (-2,48 oC/menit) di dalam Styrofoam yang ditutup rapat, selanjutnya straw ditempatkan 3 cm di atas permukaan nitrogen cair selama 7 menit, dari 47,20oC hingga 145oC (-13,9oC/menit). Setelah itu straw dimasukkan ke dalam nitrogen cair dan disimpan di dalam kontainer. Pada hari berikutnya sperma beku diperiksa dan siap untuk diinseminasikan. Untuk mengetahui motilitas, dua straw sperma beku dari setiap perlakuan di thawing terlebih dahulu, dengan cara mengangin-anginkan straw atau dibiarkan dalam suatu tempat pada tempatur ruang, selama 3-4 menit, kemudian diamati dibawah mikroskop 10 x 40. Untuk menguji fertilitas, setiap satu straw sperma beku yang telah dithawing diinseminasikan secara intravagina ke setiap ayam betina sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan, pada sore hari sekitar pk 15.00. Koleksi telur mulai hari kedua hingga hari ke delapan setelah inseminasi. Setiap 5 hari telur-telur tersebut dimasukkan ke dalam mesin tetas. Pada hari ketujuh setelah masuk mesin tetas, seluruh telur di teropong (candling). Telur dinyatakan fertil apabila dalam pemeriksaan nampak embrio, kecil hitam bergerak-gerak, atau nempel pada cangkang telur atau telur nampak banyak pembuluh darah kemerahmerahan. Bagi telur yang daya tunasnya meragukan, maka telur tersebut dipecah, untuk lebih memastikan ada perkembangan embrio apa tidak. Bila tidak nampak ada perkembangan embrio atau kalau dipecah kuning telurnya masih utuh, maka telur tersebut dikatagorikan tidak tertunas. Untuk menghitung fertilitas yaitu jumlah telur yang fertile (tertunas) dibagi dengan jumlah telur yang ditetaskan kali seratus

48

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 46 - 49

persen. Perhitungan fertilitas antar dilakukan pada peneluran hari ke 2 8.

perlakuan

Analisis data
Untuk mengetahui pengaruh aras glycerol, data dianalisis dengan analisis ragam Rancangan Acak Lengkap pola searah, dengan sepuluh ekor ayam betina (n = 10 ) sebagai ulangan. Perbedaan rerata antar perlakuan diuji dengan uji beda nyata jujur (Steel dan Torrie, 1993).

Hasil dan Pembahasan


Hasil evaluasi pada pooled sperma segar ayam kampung sebagai berikut: rataan motilitas spermatozoa sebesar 77,14 4,87%, spermatozoa hidup 86,00 1,20%, konsentrasi spermatozoa 3,51 0,18 milyar per ml dan spermatozoa abnormal 8,50 1,30%. Konsentrasi spermatozoa yang diperoleh tidak jauh berbeda dari yang dilaporkan Saleh (2004), yang mengatakan bahwa konsentrasi semen ayam lokal di Philippine adalah 3-4 milyar/ml. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Nataamijaya et al. (2005) yaitu 1,800,39 milyar/ ml. Abnormalitas spermatozoa ayam kampung (6,50 0,90%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Nataamijaya et al. (4,97 1,42%). Menurut banyak peneliti abnormalitas yang lebih dari 20% biasanya jarang digunakan untuk inseminasi buatan. Perbedaan-perbedaan pada kualitas semen dari berbagai hasil penelitian di atas, dimungkinkan karena banyak faktor seperti bobot ayam, umur, frekuensi penampungan, jumlah sampel penelitian, waktu dan juga pakan. Secara keseluruhan kualitas semen yang dipakai dalam penelitian ini baik, memenuhi syarat untuk inseminasi. Pengaruh aras glycerol terhadap motilitas semen beku dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan motilitas dan fertilitas semen beku Perlakuan Motilitas Fertilitas (%) (%) T1 (4% glycerol) T2 (8% glycerol) T3(12% glycerol T4(16% glycerol)
a,b,

38,004,47 a 48,002,74
b

0 0 0 0

50,006,32 b 52,004,47
b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05.

Motilitas spermatozoa setelah semen beku dithawing untuk masing-masing perlakuan T1 , T2, T3 dan T4 adalah 38,00 4,47 ; 48,00 2,74; 50,00 6,32 dan 52,00 4,47%, secara berurutan. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Nilai rataan motilitas terendah diperoleh dari semen dengan 4% glycerol (38,004,47%), dan nilai ini berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan motilitas dari ketiga perlakuan lainnya. Nilai rataan motilitas tertinggi diperoleh dari perlakuan T4, dengan level glycerol 16% (52,00 4,47%). Nilai rataan motilitas tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan nilai rataan motilitas dari perlakuan T2 dan T3 (48,00 2,74 dan 52,00 4,47 )%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Saleh (2004) penggunaan glycerol 3,50 hingga 10,50% menghasilkan motilitas spermatozoa yang baik sekitar 40%, dan juga mendukung penelitian Westfall dan Harris (1975) penggunaan glycerol level 8 sampai 16% menghasilkan motilitas spermatozoa yang lebih baik daripada motilitas spermatozoa yang menggunakan glycerol dibawah 8 persen atau di atas 16 persen. Rendahnya angka motilitas spermatozoa pada perlakuan semen yang diberi 4% glycerol setelah dibekukan dan dithawing ini menunjukkan bahwa penggunaan 4% glycerol tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi spermatozoa sewaktu pembekuan dan saat thawing, sehingga dampaknya kristal-kristal es yang terbentuk lebih banyak, akibatnya membran sel, lebih banyak pada organelorganel spermatozoa, khususnya mitokondria yang rusak, sehingga proses oksidasi terhambat, metabolisme terhambat dan ATP atau energi yang terbentuk juga terhambat. Fertilitas telur yang dikoleksi dari hari peneluran kedua hingga ke-8 setelah inseminasi dapat dilihat pada Tabel 1. Rataan fertilitas dari keempat perlakuan level glycerol tidak menghasilkan telur fertil. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya antara lain Brown dan Harris (1963), Neville et al. (1971), Mitchell dan Buckland (1976) bahwa glycerol dengan konsentrasi di atas 2% dalam volume semen dan pengencer berakibat negatif pada fertilitas, sedangkan pada semen ayam yang mengandung glycerol lebih dari 5% baik pada semen segar ataupun semen yang dibekukan, diinseminasikan melalui intra-vagina gagal menghasilkan telur yang fertile, tetapi tidak pada inseminasi melalui intrauterine atau intramagma. Bila dilihat dari penilaian motilitas seperti yang telah diuraikan di atas, semestinya spermatozoa hasil

Pengaruh Aras Glycerol (Saleh dan Sugiyatno)

49

penelitian ini dapat menghasilkan telur yang dibuahi atau fertil. Namun kenyataannya spermatozoa yang diberi perlakuan glycerol baik dalam bentuk cair ataupun dibekukan bila diinseminasikan via intravagina tidak menghasilkan telur fertil yang memuaskan, bahkan bisa nol. Aksi contraceptive glycerol dalam vagina ini sampai sekarang masih diperdebatkan (Hammerstedt dan Graham, 1992). Untuk meminimalkan dampak glycerol terhadap fertilitas beberapa peneliti seperti Tajima et al. (1989); Buss (1993) mencoba membuang glycerol pada semen beku setelah dithawing melalui waktu dialisis 120 menit hingga kandungan residu glycerol sekitar 0,2 0,3% dan hasilnya di atas 60 persen telur yang dikoleksi hingga 10 hari dibuahi atau fertil.

Hammerstedt and J.K. Graham, 1992. Cryopreservation of poultry sperm : The enigma of glycerol. Cryobiology. 29: 26-38. Mitchell, R.L. and R.B. Buckland, 1976. Fertility of frozen chicken semen after intravaginal and intrauterine inseminations using various concentrations and equilibration times of dimethylsulfoxide and a range of freezing and thawing rates. Poultry Science. 55: 21952200. Nataamijaya, A.G., A. Sutisna dan Sri Rejeki, 2005. Kuantitas dan kualitas semen ayam kampung dan arab yang mendapat supplemen vitamin E (-tocopherol). Animal Production. 7 (2): 74 80. Neville, W.J., J.W. Macpherson and B. Reinhart, 1971. The Contraceptive action of glycerol in chickens. Poultry Science. 50: 1411-1415. Saleh, D.M., 2004. Optimization of Semen Processing and Cryopreservation Techniques in Philippine Native Roosters (Gallus gallus domesticus L). Dissertation. Institute of Animal Science, University of the Philippines Los Banos, Philippines. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1993. Principle and Procedures of Statistics. Terjemahan: Sumantri B., Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tajima, A., E.F. Graham, and D.M. Hawkins, 1989. Estimation of the relative freezing ability of frozen chicken spermatozoa using heterospermic competition method. Journal of Reproduction and Fertility. 85: 1-5. Westfall, F.D. and G.C. Harris Jr., 1975. The ability of Cryopreservatives to prevent motility loss and freezethawed damage to acrosome of chicken spermatozoa. Cryobiology. 12: 89-92.

Kesimpulan
Penambahan glycerol 8 dan 16 persen dalam pengencer Tris-kuning telur dapat digunakan untuk pembekuan sperma ayam, mengingat angka motilitas sperma beku setelah dithawing cukup tinggi, namun demikian tingginya angka motilitas tersebut bukan jaminan keberhasilan suatu inseminasi.

Daftar Pustaka
Brown, J.E. and G.C. Harris, 1963. The Influence of glycerol equilibration time on the metabolism, motility and fertility of frozen chicken spermatozoa. Poultry Science. 42: 377-380. Buss, E.G., 1993. Cryopreservation of rooster semen. Poultry Science. 72: 944-954. Donoghue, A.M. and G.J. Wishart, 2000. Storage of poultry semen. Journal of Animal Reproduction Science. 62: 213-232.

ANIMAL PRODUCTION, Januari 2007, hlm. 50 53 ISSN 1411 2027 Terakreditasi No.56/DIKTI/Kep/2005

Vol. 9 No.1

Manfaat Lesitin Nabati pada Preservasi dan Kriopreservasi Semen : Suatu Kajian Pustaka
(The Effect of Phyto-Lecithin on Preservation and Cryopreservation of Semen: A Review)
A.S. Aku1 , N. Sandiah1 , P.D. Sadsoeitoeboen2 , R. Amin3 , Herdis4
1 2

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Manokwari, Irian Jaya Barat 3 Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Ambon 4 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta

ABSTRACT : Artificial insemination represents one of technologies in livestock reproduction that can be applied to cattle, sheep, goats and other livestock. Application of livestock reproduction technology includes artificial insemination to increase reproductive efficiency. Semen processing is one critical phase in an artificial insemination program. The use of animal origin ingredient for semen extenders, such as egg yolk and milk, presents a risk of microbial contamination, which lead to the search for alternatives. To increase standard of quality, researchers exploits phyto-lesitin for semen extender and the results showed no significant differences in motility, viability, and acrosomal status of spermatozoa with phyto-lesitin extender when compared to tris-egg yolk-containing extenders. Key Words : Phyto-Lechitin, preservation, cryopreservation, semen

Pendahuluan
Lesitin adalah nama komersil dan populer untuk campuran phospolipid. Kata lecithin berasal dari bahasa Yunani lekithos yang berarti kuning telur dan mulai terkenal setelah Gobley pada tahun 1846 berhasil memisahkan fraksi lesitin dari kuning telur. Menurut Soy center (2005) istilah lecithin mempunyai dua maksud yang berbeda. Beberapa ahli kimia, ahli biokimia, dan apoteker memberikan makna lesitin sebagai bagian dari phosphatide murni, yaitu fosfatidil kolin dan dalam industri makanan lebih diartikan sebagai campuran phospholipid yang lebih kompleks. Lebih lanjut dinyatakan bahwa lesitin adalah campuran fosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang meliputi fosfatidil kolin, fosfatidil etanolamin, fosfatidil inositol yang merupakan penentu mutu dan khasiatnya serta merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman. Kata lesitin mengalami perluasan makna dengan ditemukannya lesitin dari tumbuhan (nabati), hewan dan produk hewan lain khususnya susu serta bagian dari tubuh manusia. Lesitin hewan umumnya diperoleh dari kuning telur dan susu sedangkan lesitin nabati dapat diperoleh dalam kacang kedelai, kacang tanah, jagung, gandum dan bunga matahari. Menurut Aires et al. (2003) lesitin yang berasal dari kacang kedelai merupakan pilihan yang tepat untuk sumber lesitin bahan pengencer semen dimasa datang.
50

Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi ilmiah dan populer tentang perkembangan dan pemanfaatan lesitin nabati sebagai bahan pengencer semen dalam rangka peningkatan kualitas semen cair dan semen beku.

Penggunaan Lesitin pada Berbagai Kebutuhan


Secara alamiah lesitin ditemukan pada kacang kedele 1,48 3,08%, kacang tanah 1,11%, hati anak sapi 0,85%, gandum 0,61%, makanan dari gandum 0,65%, telur 0,39% dan 4,00-6,00% pada otak manusia. Lesitin nabati tidak mengandung kolesterol sedangkan yang berasal dari hewan termasuk manusia mengandung kolesterol. Lesitin digunakan untuk produksi mentega, kosmetik, campuran coklat dan obat-obatan (Kayu dan Allison, 1981 dalam Soy center, 2005). Pusat Kesehatan Universitas Utara Malaysia (2005), melaporkan bahwa produksi lesitin komersil (untuk manusia) seperti biolesitin, lesitin E mengandung bahan aktif lesitin yang berfungsi melindungi dari penyakit kardiovaskular, mencegah penurunan daya ingatan, penyakit sistem saraf dan depresi, serta menjaga kesehatan kulit dan rambut dan akan meningkatkan HDL kolesterol, terutama untuk membantu efisiensi transport lemak dan meningkatkan komunikasi antar sel. Pada proses preservasi dan kriopreservasi semen, kuning telur dan susu telah lama digunakan sebagai

Manfaat Lesitin Nabati (Aku et al.)

51

komponen penting dalam bahan pengencer sebagai sumber lipoprotein dan lesitin (Toelihere, 1985). Pemanfaatan lesitin sebagai salah satu komponen penting untuk preservasi dan kriopreservasi semen didasarkan pada berbagai hasil studi yang menunjukkan bahwa umumnya membran plasma sel hewan dan manusia mengandung lesitin sebagai salah satu komponen phospolipid penyusunnya. Pada membran plasma sel mamalia, lesitin merupakan salah satu penyusun yang penting, larut dalam air dan juga lemak, membantu lipid bergerak keluar masuk melintasi membran sel yang mengandungi lipid. Lesitin dibentuk oleh ikatan kolin, fosfat dan gliserol pada bagian kepala yang bersifat hidrofilik (polar) dengan dua ekor yang tersusun dari dua asam lemak yang bersifat hidrofobik (Campbell et al., 2002). Menurut White (1993) komponen utama dari phospolipid spermatozoa ejakulasi pada manusia, babi, sapi, ayam, anjing, monyet dan domba, mengandung lesitin (fosfatidil choline), fosfatidil ethanolamine, fosfatidil serine, inositol, fosfatidil choline, fosfatidil ethanolamine, spingomyeline dan cardiolipin.

Penurunan motilitas disebabkan karena selama proses preservasi dan kriopreservasi semen terjadi kerusakan integritas membran plasma sehingga menurunkan motilitas spermatozoa dan daya hidup spermatozoa. Menurut Werdhany et al. (2000) dan Rizal et al. (2003), secara fisiologis terdapat hubungan antara motilitas dan keutuhan membran plasma serta daya hidup spermatozoa. Kerusakan membran plasma akan menyebabkan hilangnya enzim-enzim yang diperlukan dalam proses metabolisme sehingga tidak dihasilkan energi, motilitas menjadi rendah serta daya hidup dan keutuhan tudung akrosom menjadi rendah. Salisbury dan VenDemark (1985), menyatakan bahwa kerusakan spermatazoa antara lain bentuk ekor dan bagian tengah melingkari kepala sehingga spermatozoa tidak motil, kehilangan enzim intraseluler, kehilangan lipoprotein yang melindungi membran plasma spermatozoa, lemak berfosfor akan hilang dari spermatozoa, metabolisme terhenti dan sel spermatozoa mengalami kematian.

Peranan Lesitin dalam Kriopreservasi Semen

Preservasi

dan

Prinsip Dasar Perservasi dan Kriopreservasi Semen


Telah diketahui bahwa aktivitas metabolisme dan motilitas spermatozoa berjalan normal pada suhu tubuh, namun semakin meningkat dengan semakin meningkatnya suhu diatas suhu tubuh. Kondisi ini akan menyebabkan umur spermatozoa menjadi lebih pendek. Preservasi semen dilakukan untuk menekan laju metabolisme spermatozoa sehingga umur spermatozoa dapat dipertahankan selama beberapa hari sampai saat digunakan untuk inseminasi buatan (IB). Untuk menekan metabolisme spermatozoa dapat dilakukan dengan cara menurunkan temperatur tempat penyimpanan spermatozoa. Kondisi ini juga berlaku pada proses kriopreservasi semen khususnya pada saat ekuilibrasi semen sebelum dibekukan dalam nitrogen cair (Salisbury dan VanDemark, 1985). Sekalipun demikian akibat pendinginan yang terlalu cepat akan terjadi kerusakan spermatozoa yang disebabkan cekaman dingin (cold shock). Cekaman dingin menyebabkan gangguan terhadap motilitas dan metabolisme serta kehilangan fosfolipid dan kation pada spermatozoa (Maxwell dan Watson, 1996). Ciri yang paling nyata pada spermatozoa yang mengalami cekaman dingin adalah hilangnya motilitas atau daya gerak yang tidak akan diperoleh kembali sekalipun semen dihangatkan sampai pada suhu tubuh.

Menurut Toelihere (1985) untuk mengurangi kerusakan spermatozoa akibat cekaman dingin semen harus ditambahkan bahan pelindung sebelum didinginkan pada suhu 5oC. Bahan pelindung spermatozoa selama penyimpanan dalam suhu dingin adalah lesitin. Sumber lesitin utama yang telah lama digunakan untuk preservasi dan kriopreservasi semen adalah kuning telur dan susu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa untuk mempertahankan kualitas semen pada proses perservasi semen pada mamalia minimal dibutuhkan 20% kandungan telur dalam setiap 100 ml bahan pengencer. Sekalipun demikian, beberapa studi melaporkan penggunaan kuning telur dan susu sebagai sumber lesitin untuk mencegah efek dari cekaman dingin mengandung resiko terjadinya kontaminasi mikoorganisme yang membahayakan spermatozoa dan saluran reproduksi betina. Bousseau et al. (1998) membandingkan berbagai jenis pengencer dengan sumber lipoprotein dan lesitin yang berbeda melaporkan bahwa bahan pengencer yang menggunakan kuning telur dan susu mengandung bakteri dan mycoplasma sebanyak 60 CFU/ml sedangkan yang menggunakan lipoprotein dan lesitin nabati tidak ditemukan adanya mikroorganisme yang membahayakan baik bagi spermatozoa maupun saluran reproduksi sapi betina. Froning (1998) melaporkan bahwa telur ayam mengandung Salmonella typhimurium sebanyak 67.09 CFU/cm. Selain itu

52

ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 1, 2007 : 50 - 53

penggunaan kuning telur dan susu juga memberikan kekeruhan pada bahan pengencer semen dalam proses pengamatan dibawah mikroskop saat evaluasi kualitas semen. Untuk mengurangi terjadinya kontaminasi mikroorganisme pada semen sehingga membahayakan spermatozoa dan saluran reproduksi betina, telah dikembangkan bahan pengencer siap pakai dalam bentuk kemasan dengan sumber lesitin kacang kedele. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada kacang kedele yang belum maupun yang sudah mengalami penyulingan memiliki kandungan phospolipid antara lain fosfatidil choline 17,50% dan 23,00%, fosfatidil ethanolamine 15,00% dan 20,00%, glikolipid 13-16%, phospolipid lainnya 14 - 18% dan trigliserida 2-4% (Shurtleff dan Aoyagi, 2004). Bahan pengencer semen dengan sumber lesitin kacang kedele yang siap pakai antara lain Andromed produksi Minitb Germany dan Bioexcell produksi IMV, LAygle France (Aires et al., 2003). Bahan pengencer semen dengan sumber lesitin kuning telur adalah Triladyl, Biladyl, Biochipos plus (Rothe, 2003, Janet et al., 2005; Gil et al., 2003; Minitub Germany, 2005) sedangkan Laichipos menggunakan lesitin yang bersumber dari kuning telur dan susu dengan komposisi tertentu secara bersamaan (Gil et al., 2003), dan secara komersil telah diperdagangkan dalam bentuk kemasan siap pakai. Rothe (2003), melaporkan bahwa pengencer AndroMed dan Bioxcell menghasilkan kualitas spermatozoa semen beku setelah thawing yang lebih baik dibandingkan dengan pengencer Biochipos Plus. Pengencer Bioxcell menghasilkan rata-rata motilitas spermatozoa domba Coriedale lebih tinggi setelah thawing dibandingkan dengan pengencer sususkim dan kuning telur (Gil et al., 2003), dan pengencer AndroMed menghasilkan rata-rata kualitas semen beku domba garut lebih baik dibandingkan dengan pengencer tris-kuning telur (Aku et al., 2005). Menurut Situmorang (2002), penambahan 0.5 mM phospolipid (fosfatidil choline) pada pengencer tris dengan 10 dan 20% kuning telur mampu mempertahankan kualitas semen cair sapi sampai hari ketujuh. Penggunaan Lesitin nabati sebanyak 1352 mg/100 ml mampu meningkatkan rata-rata persentase motilitas spermatozoa hidup, membran plasma utuh (MPU) dan tudung akrosom utuh (TAU) semen beku domba garut setelah pengenceran, ekuilibrasi dan setelah thawing dibandingkan penggunaan 1104 mg/100 lesitin nabati (Aku, 2005). Sekalipun secara molekuler belum banyak dilaporkan mekanisme kerja lesitin dalam mem-

pertahankan kualitas spermatozoa, namun beberapa laporan menyatakan bahwa lesitin pada pengencer akan berikatan dengan membran plasma (menyelimuti membran plasma) sehingga mempertahankan konsentrasi kalsium saat pendinginan (White, 1993, Toelihere, 1985). Menurut Campbell et al. (2002) jika fosfolipid (termasuk lesitin) ditambahkan ke dalam air, molekulmolekul tersebut mengumpul dengan sendirinya dan akan membentuk agregat yang melindungi bagian hidrofobiknya, dimana pada permukaan sel fosfolipid tersusun dalam suatu bilayer (lapisan ganda) yang berhubungan langsung dengan lingkungan air dibagian dalam dan bagian luar sel dan membentuk suatu batasan antara sel dengan lingkungan eksternalnya. Mekanisme tersebut yang kira-kira mampu menjelaskan peranan lesitin dalam mempertahankan dan melindungi integritas selubung lipoprotein spermatozoa dan melindunginya dari cekaman dingin selama proses pengolahan dan penyiapan semen pada suhu dingin, sehingga rata-rata kualitas spermatozoa dapat dipertahankan.

Kesimpulan
Lesitin nabati mengurangi efek cekaman dingin serta mencegah kontaminasi mikroorganisme pada spermatozoa dan saluran reproduksi betina.

Daftar Pustaka
Aires V.A., K.D. Hinsch, F.M. Schloesser, F.M. Schloesser, K. Bogner, S.M. Schloesser, E. Hinsch, 2003. In vitro and in vivo comparison of egg yolk-based and soybean lechitin based extenders for cryopreservation of bovine semen. Theriogenology. 60(2):269-279. Aku S.A., Saili T., M. Rizal, Herdis, B. Purwantara, M.R. Toelihere, 2005. Cryopreservation of Garut ram semen using lechitin-based extender. In Proceedings International Asia Link Symposium: Reproductive Biotechnology for Improving Animal Breeding in Southeast Asia. Bali 19-20 August. Pp 175-177. Aku S.A., 2005. Preservasi dan kriopreservasi semen domba garut (Ovis aries) dalam berbagai konsentrasi bahan pengencer berbasis lesitin nabati. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Hal. 48. Bousseau S., J.P. Brillard, B.M. -Le Guiene, B. Guiene, A. Camus, M. Lechat, 1998. Comparison of bacteriological qualitics of various egg yolk sources and the in vitro and in vivo fertilizing potential of bovine semen frozen in egg yolk or lecithin-based diluents. Theriogenology:50:699-706.

Manfaat Lesitin Nabati (Aku et al.)

53

Campbell N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2002. Biologi. Ed ke-5. Jilid I. Erlangga: Jakarta. Hal. 72-73. Froning G.W. 1998. Recent advances in egg products research and development. Paper presented at the University of California egg processing workshop reverside and modesto on June 2-3. University of California. 14 hlm. Gil J., M. Rodriquez-Irazoqui, N. Lundeheim, L. Soderquist, H. Rodriquez-Martinez, 2003. Fertility of ram semen frozen in Bioxcell and used for cervical artificial insemination. Theriogenology. 59:1157-1170

European AI Vets Meeting Cattle Session; Budapest (Hungary).14-23. Salisbury G.W., N.L. VenDemark, 1985. Fisiologi reproduksi dan inseminasi buatan pada sapi. Terjemahan. R. Djanuar. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta. Hlm. 520-563. Shurtleff W., A. Aoyagi, 2004. Soyfoods Center : A chapter from the unpublished manuscript, history of soybeans and soyfoods: 1100 B.C. to the 1980s. Lafayette, California. Situmorang P. 2002. The effect of inclusion of exogenous phospholipid in tris diluent containing a different level of egg yolk on the viability of bull spermatozoa. JITV. 7 (3): 181-187. Soyfoods Center. 2005. History of Soy Lecithin. In : The worlds leading souces of Information on soyfoods. www.the soy daily TM. 1-2. 27-09-2005. Toelihere M.R. 1985. Inseminasi buatan pada ternak. Angkasa. Bandung. Werdhany I.W., M.R. Toelihere, I. Supriatna, I.K. Sutama. 2000. Efek pemberian berbagai konsentrasi tokoferol sebagai antioksidan dalam pengencer trissitrat terhadap motilitas dan keutuhan membran plasma spermatozoa kambing Peranakan Etawah (PE). Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. 244-252. White I.G. 1993. Lipid and calcium uptake of sperm in relation to cold shock and preservation: A review. Reproduction and Fertility Development. 5:639-658.

Janett F., S. Keo, H. Bollwein, M. Hassig, R. Thun, 2005. Comparison AndroMed, Bioxcell and Triladyl extender for cryopreservation of bull semen. Abstract. Schweiz Arch Tierheilk 147:62. Maxwell W.M.C., P.F. Watson. 1996. Recent progress in the preservation of ram semen. Animal Reproduction. Science. 42 :55-65. Minitub Germany, 2005. Bovine artificial insemination. www.mintibe.de. Pusat Kesehatan Universiti Utara Malasya. 2005. Lesitin. Rabu. 22 Juni 2005. Rizal M., M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, B. Purwantara, P. Situmorang. 2003. Kualitas semen beku domba garut dalam berbagai konsentrasi gliserol. JITV 7(3):194199. Rothe N.H.I., 2003. Insemination of cryopreserved bull semen portions with sperm numbers after dilution with two egg yolk-free extenders. In Proceeding:

You might also like