You are on page 1of 3

PENGERTIAN KEPRIBADIAN ISLAM Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun, artinya, orang

atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam As Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid I halaman 5, menyatakan bahwa kepribadian atau syakhshiyyah seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah). Tinggi rendah identitas atau jati diri seseorang tergantung dari kemampuan berpikirnya dan tingkah laku atau aktivitas hidupnya. Secara nyata bisa kita amati di sekeliling kita. Dalam suatu lingkungan masyarakat, bangsa atau negara muncul orang-orang tertentu yang menjadi pemimpin dan penggerak massa. Mereka mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam bidang pemikiran dan pemecahan problema masyarakat. Pemikiran yang mereka lontarkan berkembang, diterima dan menggerakkan tiap-tiap pribadi yang mengikutinya. Aktivitas dan programprogramnya mempengaruhi aktivitas kehidupan orang banyak. Orang-orang seperti ini tidak selalu dari kalangan bangsawan atau memiliki harta kekayaan yang berlimpah. Mahatma Gandhi misalnya, mampu menggerakkan bangsa India dengan kesederhanaannya. Thalut, memimpin Bani Israil untuk membebaskan diri dari kezhaliman bangsa penjajah, tanpa mempunyai kekayaan. Allah SWT mengabadikan fakta sejarah ini dalam firman-Nya: "Nabi mereka menyatakan kepada mereka (Bani Israil): 'Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu'. Mereka menjawab: 'Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?'. Nabi (mereka) berkata: 'Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa'. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui'." (QS Al Baqarah:247). Kita jumpai pula di masyarakat adanya orang-orang yang hanya menjadi beban, bahkan menjadi sampah masyarakat. Mereka tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri, apalagi memecahkan masalah masyarakat. Di antara dua contoh ekstrim di atas; ada orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, tetapi tidak mampu atau tidak mau memecahkan problema orang lain. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menggeluti kesenangannya sendiri. Orang-orang demikian tidak banyak berpikir dan bekerja kecuali untuk dirinya. Hati mereka terpisah dari masyarakat. Posisi seseorang di suatu masyarakat tergantung dari seberapa tinggi kualitas hubungan (nilai interaksi) dirinya dengan anggota masyarakat yang lain. Kualitas hubungan itu berupa nilai aktivitas (amal) yang terjadi yang melibatkan dirinya dengan orang-orang lain. Nilai aktivitas yang dirasakan oleh pribadi-pribadi terkait tersebut menimbulkan tanggapan, dan sampai taraf tertentu berupa suatu pengakuan terhadap orang tersebut apakah dia orang besar, berpengaruh, orang biasa-biasa saja atau orang kecil. Apakah dia orang alim, atau orang jahil. Apakah dia orang dermawan, orang yang sedang-sedang saja, atau orang bakhil/pelit. Apakah dia orang kuat, sedang atau lemah. Apakah dia orang yang pemberani atau penakut (pengecut). Apakah dia orang yang adil atau zhalim. Apakah dia orang yang amanah (terpercaya) atau khianat

(menyeleweng). Apakah dia orang jujur atau suka menipu. Apakah dia pahlawan pembela kebenaran atau gembong kejahatan. Oleh karena itu, terbentuknya tingkat kepribadian seseorang di dalam masyarakat berkaitan dengan nilai aktivitas yang dia lakukan dalam berinteraksi dengan pribadi-pribadi anggota masyarakat yang lain. Yang menjadi masalah sekarang adalah, apa sesungguhnya yang menentukan nilai aktivitas atau amal perbuatan yang ia lakukan?. Jelaslah, bahwa pembentuk kepribadian dan ukuran-ukuran penilaian suatu kepribadian bukanlah harta seseorang, bentuk rupanya, badannya atau hal-hal fisik lain yang hanya merupakan asesori atau menjadi kulit-kulit luar suatu kepribadian, melainkan isi dalam diri seseorang, yakni cara berpikirnya dan sikap jiwanya. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa syakhshiyyah Islamiyyah atau kepribadian Islam adalah perpaduan antara cara berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyyah Islamiyyah) yang terdapat dalam diri seorang muslim. Seorang muslim bisa dikatakan memiliki cara berfikir yang Islami (aqliyyah Islamiyyah) manakala ia sudah bertekad untuk memikirkan segala sesuatu dan setiap problema yang dihadapinya dengan cara pandang dan cara-cara pemecahan Islam. Ia hanya bertekad hanya akan menggunakan kaca mata Islam. Seorang muslim bisa dikatakan memiliki sikap jiwa Islami (nafsiyyah Islamiyyah) manakala dia telah bertekad untuk membimbing dan memenuhi segala keinginan hawa nafsunya dengan caracara pemuasan Islam. Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah beriman salah seorang di anatara kalian hngga ia membimbing hawa nafsunya selalu mengikuti apa (Islam) yang kubawa ini" (HR. Imam Nawawi). Dengan demikian seorang muslim baru dikatakan memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) manakala ia telah bertekad dalam hatinya untuk selalu memiliki aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Seorang muslim tidak mungkin bertekad seperti itu manakala belum memahami dan memiliki aqidah Islamiyyah secara benar. Aqidah Islamiyyah yang tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, Al Qur'an dan kitab-kitab-Nya yang lain, Nabi Muhammad Saw. dan para Rasul-Nya yang lain, hari kiamat, dan qadla-qadarNyaadalah pemikiran yang paling mendasar yang akan menjadi standar bagi seluruh pemikiranpemikiran lain yang diproses oleh akal seorang muslim. Oleh karena itu, memperoleh aqidah Islamiyyah ini harus melalui proses berfikir. Imam As Syafi'i r.a. dalam Fiqhul Akbar mengatakan bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir tentang dirinya dan alam semesta ini hingga mendapatkan kesimpulan bahwa Allah adalah Rabbul'alamin (Pencipta dan Pemelihara sekalian alam). Pencapaian aqidah melalui proses berfikir, meneliti, dan mengamati adalah aqidah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal seorang muslim. Aqidah yang diperoleh melalui warisan semata atau sekedar hafalan rukun iman seperti yang diajarkan kepada murid sekolah dasar tidak akan menghunjam kuat pada hati seseorang, tidak menjadi mafahim atau pandangan hidup baginya, dan tidak menentukan pola berpikir maupun pola sikap dan jiwanya. Oleh karena itu, jika ingin menghasilkan kepribadian Islam yang unggul maka harus diintroduksikan kepada kaum muslimin aqidah Islam yang diperoleh melalui proses berfikir ini sehingga akan terbentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemajuan dan kebangkitan dalam cara berpikir dan dalam pengendalian diri.

Program kematangan kepribadian dari tanggal 05-11 Desember 2008

1. Mengontrol diri sendiri baik segala kelebihan maupun kekurangan 2. Sopan Santundalam berbicara dan bertingkah laku 3. Hidup sehat 4. Qanaah/menerima apa adanya 5. Mengontrol emosi dan bersabar di saat mendapat kekecewaan 6. Makan teratur 7. Dapat menyesuaikan diri di linhkungan keluarga dan masyarakat 8. Berpakaian rapi

Program kematangan kepribadian dari tanggal 12-18 Desember 2008

1. Menerima emosi manusia 2. disiplin terhadap diri sendiri 3. Mengorbankan kepentingan pribadi semi kepentingan bersama 4. Slalu berfikiran positif

Program kematangan kepribadian dari tanggal 19-25 Desember 2008

1. Bersifat hangat terhadap orang lain 2. Berhati-hati dalam mengerjakan tugas 3. Peduli terhadap lingkungan sekitar 4. Menjaga kebersihan 5. Terampil dalam mengerjakan tugas Sebelumnya saya belum mempunyai kepribadian yang matang, Tetapi setelah saya mendapatkan tugas individu ini, Alhamdulillah saya mempunyai kematangan kepribadian yang semakin meningkat, walaupun pada awalnya saya belum bisa melaksanakannya dengan baik, tetapi karna semangat dan kesabaran saya untuk bisa berubah dan membentuk karakter ini, Alhamdulillah saya bisa melaksanakannya dengan baik.

You might also like