You are on page 1of 111

I.

PENDAHULUAN Untuk dapat dipahami oleh para mahasiswa bahwa mata kuliah Pendidikan Agama Islam, hanya diberikan atau didapat dalam satu semester dengan bobot 2 sks, dengan menggunakan empat belas kali tatap muka. Setelah itu, hingga selesai kuliah tidak akan ada lagi, kecuali belajar sendiri. Oleh karena itu, suatu yang sangat sulit bagi pengajar untuk menentukan materi apa yang tepat harus diberikan, dengan asumsi bahwa para mahasiswa telah mempunyai pengetahuan tentang ajaran Islam. Buku ini hanya memuat atau membahas materi pokok yang ada dalam ajaran Islam. Pernyataan yang dikemukakan oleh Dr. Kamaruddin Hidayat di bawah ini sangat membantu para mahasiswa untuk memahami bagaimana caranya mempelajari dan memahami ajaran Islam di Perguruan Tinggi. Membicarakan problem studi Islam di perguruan tinggi, setidaknya terdapat sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bersama: adakah Islam dikaji sebagai obyek keilmuan sebagaimana disiplin ilmu yang lain, ataukah Islam dijadikan rujukan pandangan hidup ataupun akidah untuk mempelajari dan menjalani kehidupan? yang ideal mestinya kedua aspek itu terintegrasikan menjadi satu pendekatan yang utuh sekalipun pada prakteknya banyak kendala yang harus diselesaikan karena setiap pilihan yang diambil akan berimplikasi pada metodelogi serta target akhir yang hendak dicapainya. Jika lembaga perguruan tinggi didefenisikan sebagai lembaga riset keilmuan, maka pilihan pertama akan lebih dahulu dikedepankan. Dan ini yang biasa dilakukan diperguruan tinggi Barat. Hampir semua universitas bergensi di wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat semuanya mulai memperkenalkan Islamic Studies sekalipun diantara mereka ada yang lebih senang memperggunakan istilah Middle Eastern Studies, yang di dalamnya terdapat studi keislaman. Alasan mereka adalah bahwa Islam dipandang sebagai fenomena budaya dan fenomena sejarah sehingga sebagai obyek kajian ilmiah 1

siapa saja bisa melakukan studi Islam sekalipun bukan orang muslim. Oleh karenanya banyak buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh para ilmuwan Barat yang secara akademis memiliki bobot yang tinggi. Lalu, bagaimana sebaiknya kebijakan dan strategi pendidikan Islam di perguruan tinggi? Di sini terdapat dua kata yang memiliki konotasi berbeda. Pertama, kata pendidikan dan kedua, perguruan tinggi. Selama ini wacana keilmuan di perguruan tinggi lebih ditekankan pada pendekatan pengajaran ilmiah, sedangkan istilah pendidikan lebih ditekankan pada jenjang sekolah di tingkat bawah. Tentu saja aspek pendidikan dan pendidikan agama tidak bisa dipisah- pisahkan, sekalipun dari sisi metode penyampaian dan berbagai asumsinya yang berkait memang berbeda. Dengan demikian, pengajar agama Islam di perguruan tinggi dituntut berijtihad menemukan metode yang tepat, bagaimana Islam diajarkan sebagai obyek kajian ilmiah namun sekaligus mata kuliah Islam juga memiliki tugas pendidikan untuk membantu mahasiswa tumbuh menjadi yang berakhlak mulia, relijius dan memahami dasar-dasar ajaran Islam. Mempertemukan dua tuntutan ini sangat penting mengingat hampir di setiap diskusi dan pengajian selalu saja ada pertanyaan tentang kenapa terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara idealitas ajaran agama yang diyakini benar, hebat dan tinggi, dan di sisi lain realitas perilaku para pemeluknya yang seringkali bertentangan dengan ajaran agamanya. Bahkan sekarang ini klaim yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius kehilangan validitasnya karena ternyata banyak sekali tragedi sosial-politik yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang menyerukan pada perdamaian, pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, kejujuran, amanah dan lain sebagainya dari nilai luhur keagamaan. Kenyataan ini bagaimanapun juga harus menjadi perhatian dan agenda pemikiran pengajar agama di perguruan tinggi karena mahasiswa adalah calon sarjana yang memiliki peluang untuk mendudduki lapisan menengah ke atas dalam masyarakat.

Kesenjangan antara retorika dan ajaran agama yang begitu ideal dan realitas sosial yang menyimpang akhir-akhir ini menjadi sorotan kritik dan keluhan masyarakat sehingga citra dan wibawa agama yang tampilkan oleh ulama dan lembaganya menjadi turun. Sekedar contoh, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Islam itu sangat tinggi, dan karenanya tidak ada yang lebih tinggi darinya. Pernyataan ini seringkali dikemukankan oleh para penceramah untuk menegaskan bahwa Islam itu hebat dan tinggi sehingga bila terjadi penyelewengan dan kezaliman yang dipersalahkan adalah para penganutnya, karena dianggap tidak memahami sekaligus tidak mempraktekkan ajaran agamanya secara benar. Sekilas argumen tersebut memang mudah diterima. Tetapi bila dikritik dan direnungkan, maka akan timbul pertanyaan: jika ajaran Islam itu memang benar, hebat dan tinggi, tetapi ternyata tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu di mana pembuktian kebenaran, kehebatan dan ketinggian ajarannya itu? Dan lagi di mana relevansi kebenaran dan kehebatan ajaran Islam, jika tidak mampu mempengaruhi perilaku pemeluknya? Inilah kira-kira salah satu problem dan tantangan yang perlu oleh pengajar agama terutama di lingkungan perguruan tinggi. Dan tampaknya problem tersebut diakibatkan antara lain oleh adanya oreientasi pendidikan agama yang kurang tepat untuk tidak menyebut keliru. Tiga hal yang bisa dikemukankan sebagai indikator kekeliruan dimaksud ialah: Pertama, pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang ilmu agama. Karena itu tidak aneh kalau di negeri ini sering kita saksikan seseorang yang banyak mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. 1

Kedua, tidak memiliki strategi penyusunan dan pemilihan materimateri pendidikan agama sehingga sering tidak ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan. Kekacauan materi pendidikan agama ini terlebih jelas lagi terlihat pada pemilihan disiplin ilmu fikih yang dianggap sebagai puncak atau inti agama itu sendiri. Disebabkan oleh oreintasi pendidikan agama semacam itu, maka Islam seakan diidentikan dengan paham fikih. Dan beragama yang benar adalah bermazhab fikih yang benar dan yang diakui oleh mayoritas, sehingga siapa saja yang sedikit berbeda dengan mazhab fikih yang dianut mayoritas, maka dituduh menyimpang dari Islam. Alam pikiran semacam ini masih terasa kuat di kalangan para mahasiswa perguruan tinggi Islam, apalagi di perguruan tinggi umum. Ketiga, kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantic dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteknya. Disiplim keilmuan dalam Islam sesungguhnya sudah sangat kuat dan kaya. Dengan begitu, kalau saja pihak pengajar mampu menemukan metode pengajaran yang tepat dengan ditopang oleh penguasaan materi keislaman, maka sesungguhnya pengajaran dan pendidikan Islam menjadi kuliah yang menarik, aktual dan hidup. Kontektualisasi dan reinterpretasi ajaran Islam adalah agenda pemikiran Islam yang selalu diperlukan pada setiap zaman. Pendekatan terhadap Islam yang selama ini lebih bersifat normative deduktif perlu dilengkapi dengan pendekatan induktif histories sehingga mahasiswa bisa mebedakan mana ajaran Islam yang berupa produk sejarah dan hasil ijtihad dan mana yang bersifat normativedoktrinal.

Pertama, mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar. Disini aspek religiusitas dan spiritualitas menjadi sangat penting, sehingga esensi ajaran agama bisa menginternalisasi ke dalam diri pribadi-pribadi dalam aktivitas kesehariannya. Oreinta ini mengasumsikan mahasiswa sebagai subyek yang aktif sehinggailmu agama disini mirip dengan ilmu beladiri, ilmu olah raga, atau ilmu kesenian, bahwa belajar berarti memahami, menghayati, dan mempraktekan. Dengan kata lain, ilmu agama itu bukanlah ilmu yang hanya menitikberatkan pada teori tanpa aksi, tapi justru teori dan aksi itu adalah hal yang tak terpisahkan. Untuk apa seseorang diajari teori berenang dengan sangat luas dan mendalam, misalnya, sementara dia tidak mencintai dan tidak bisa berenang? Orang yang demikian tetap akan dikatakan sebagai orang tidak bisa berenang, meskipun semua teori tentang berenang sudah dikuasinya. Demikian juga orang yang mempelajari ilmu dan teori-teori keberagamaan secara luas dan mendalam, tapi dalam aksinya tidak menunjukkan relevansi dengan pengetahuannya tersebut, maka orang itu akan dikatakan sebagai orang yang belum bisa beragama. Dalam rangka belajar beragama ini, konon diceritakan bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berbulan-bulan lamanya hanya mengajarkan Surat al-Maun (surat 107) kepada para muridnya. Padahal surat itu hanya terdiri dari tujuh ayat pendekpendek. Ketika muridnya sudah nyaris bosan karena setiap belajar surat itu diulang-ulang, maka Kiai Ahmad Dahlan mengatakan, kita belum bisa pindah ke ayat lain karena kita belum bisa mengamalkan isi surat ini. Kita mengafal keutamaan menolong anak yatim tetapi kita belum pernah melaksanakan, sama halnya kita paham akan ayat itu, Demikianlah, di sini terlihat bahwa Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan para muridnya untuk belajar beragama, bukan belajar tentang agama. Setidaknya terdapat mempelajari Islam. dua pendekatan yang menonjol dalam Kedua, mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Pendekatan kedua ini berkembang sangat pesat di Barat. Para peneliti dan pemikir 1

yang memandang bahwa Islam sebagai pengetahuan memang berbeda samangat dan metodologinya dari mereka yang mendekati Islam sebagai keyakinan yang telah dianutnya secara militan. Dari sudut pandang akademis mungkin saja mereka lebih jauh menguasai Islam dari pada para kaia yang mengajarkan dan mengamalkannya dari lingkungan pasanteren. Dalam hal orientasi pendidikan, kedua pendekatan di atas tampaknya perlu terus mendapat perhatian yang serius, sehingga tidak saja terjadi peningkatan pengamalan religiusitas di kalangan para penganut Islam, melainkan juga terjadi peningkatan keilmuan Islam. Dua pendekatan di atas karenanya mesti menjadi orientasi pendidikan Islam terutama di perguruan tinggi. Dalam hal orientasi pendidikan ini, perlu ditambahkan orientasi lainnya, yaitu upaya gerakan kembali pada Alquran dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan multidisipliner. Karena itu perlu dipertimbangkan tiga aspek berikut ini. Pertama, membebaskan diri kita dari hegomoni makna atas sejarah masa lalu kaum muslim. Ini tidak berarti aspek sejarah Islam ditolak, tetapi bagaimana mensikapi sejarah secara kritis dan apresiatif karena sejarah tetap merupakan salah satu sumber pengetahuan yang harus dikuasai dan terus digali. Namun begitu sejarah jangan sampai memenjarakan kebebasan dan kedinamisan serta kreatifitas kaum muslim. Kedua, membaca dan memahami ayat-ayat Alquran serta menggali konteks social histories yang melatar belakanginya dengan mempertimbangkan berbagai macam gejala cultural, politis dan antropologis. Dengan pendekatan ini diharapkan kita lebih bisa menangkap pesan dasar Alquran dan mengartikulasikan kembali dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Ketiga, menganalisa setiap ayat Alquran yang hendak dijadikan pedoman dalam bertindak dengan menangkap dimensi etisnya, jangan hanya aspek legal-formalnya. Kembali pada Alquran dan al Sunnah pada giliranya kembali pada etika sebagai rujukan hidup kita bermasyarakat dan bernegara. Sebab itu, meskipun di antara kita telah bersama-sama berpegang pada Alquran, tetapi kita masih menemukan perbedaan pendapat soal hukum, maka seseorang yang berpegang pada etika akan tetap menjaga persaudaraan, kehormatan masingmasing dan akan mengutamakan tujuan yang lebih pokok demi kepentingan-kepentingan banyak orang. Sebab, kembali pada Alquran tidak berarti meniadakan perbedaan di antara umat karena perbedaan merupakan dinamika sejarah yang tidak mungkin bisa dihapuskan. Kenyataan adanya sekian banyak mazhab dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang fikih, filsafat, ilmu kalam dan tasawuf kesemuanya itu anak kandung peradaban Islam yang memiliki landasan pemahaman atas Alquran. Catatan akhir, yaitu perlunya menyusun dan memilih kembali materimateri pendidikan agama yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa/mahasiswa. Misalnya, pada semester ke berapa pendidikan Islam diajarkan di perguruan tinggi? Memperhatikan yang terjadi saat ini, pelajaran agama dari mulai tingkat dasar, menengah hingga atas bahkan perguruan tinggi selalu saja masih banyak didominasi oleh materi pelajaran fikih. Padahal semestinya di perguruan tinggi itu para mahasiswa mulai berbicara pada tingkat wawasan yang bertujuan pada peningkatan penalaran yang analitis, komporatif, dan bila perlu melahirkan keputusan-keputusan baru yang bersifat preskriptif bagi tindakan kaum muslim di zaman kini. Kalau tidak, maka aspek ini akan banyak diambil alih oleh kelompokkelompok studi, remaja masjid, dan organisasi-organisasi kemahasiswaan. Pembinaan intelektualitas dan spiritualitas Islam bagi para mahasiswa yang terjadi di luar kampus tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak mahasiswa memperoleh kematangan berpikir, wawasan 1

keislaman dan ketrampilan berorganisasi justru dari kegiatan-kegiatan ekstra di luar kampus. Peran organisasi remaja masjid, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan organisasi lainnya terbukti sangat kontributif dalam menciptakan iklim intelektualitas di kalangan mahasiswa. Tidak aneh karenanya jika terdapat sebagian perguruan tinggi yang memilih calon-calon tenaga pengajar dan pegawai administrasinya yang membawa surat rekomendasi dari lembaga atau organisasi ekstra dan kelompokkelompok belajar mahasiswa. Alasannya karena mereka dinilai lebih matang kepribadiannya, lebih terampil kerjanya, dan lebih dedikatif menjalankan tugasnya. Melalui kelompok-kelompok studi intensif yang digelar dan dikerjakan oleh para aktivis mahasiswa telah mendorong munculnya iklim intelektualitas Islam di kampus-kampus. Belum lagi lembagalembaga swadaya masyarakat yang kini bermunculan sangat banyak. Tentu saja, semua ini perlu diteliti secara ilmiah tentang kebenarannya. Tapi hipotesa sementara demikianlah adanya.

KONSEPSI MANUSIA DALAM ISLAM A. Perbedaan manusia dengan hewan Dalam sejarah pemikiran manusia berbicara tentang masalah manusia suatu hal sangat menarik dan unik. Ketika manusia berusaha untuk mencoba menjawab perbedaan dirinya dengan hewan, maka jawaban sudah dapat dipastikan berbeda-beda sesuai dari sudut pandang cara memahaminya. Namun suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan apakah yang membedakan manusia dengan hewan secara mendasar? Dalam buku Pengantar ke Filsafat Sains, Andi hakim Nasution menyatakan bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak pada kemampuan manusia untuk berpikir dan bernalar, sedangkan kemampuan berpikir dan benalar itu memungkinkan pada manusia, karena itu ia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis mahkluk hidup lainnya, termasuk hewan-hewan yang bentuk tubuhnya sangat dekat dengan manusia, yaitu primata yang primi . Dalam buku Agama dan Manusia, menurut Murtadha Muntahhari menyatakan bahwa perbedaan keduannya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tingkat tujuan mereka. Inilah yang memberikan kelebihan, keunggulan serta membedakannya dirinya dari semua hewan yang lain. Perbedaan yang dinyatakan dari kedua pendapat di atas belum menunjukkan kepada perbedaan yang mendasar, karena aspek bepikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran, bukan sesuatu yang sangat vital bagi manusia apabila ditinjau dari sudut pandang agama. Bukan berati bahwa semua hal yang disebut itu tidak penting, namun dalam ajaran Islam berpikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran merupakan alat bagi manusia untuk memahami eksistensi dirinya, alam dan Tuhan. 1

Berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran sebagaimana yang dinyatakan kedua pendapat tersebut adalah merupakan produk dari essensi yang membedakan manusia secara mendasar dengan hewan. Oleh karena itu, suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan apakah berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran tersebut dapat mempertanggungjawab kan semua perbuatan yang pernah dilakukan manusia di atas dunia ini? Dalam ajaran Islam, berpikir, nalar dan aspek dimensi pengetahuan serta kesadaran yang dikemukakan oleh kedua pendapat di atas, bukanlah sesuatu yang dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatan manusia di akhirat nanti. Karena semua alat-alat tersebut tidak akan berfungsi bersamaan dengan wafatnya seseorang. Jika demikian, apa yang membuat manusia itu dapat berpikir, bernalar dan mempunyai aspek pengetahuan serta mempunyai kesadaran. Dalam Alquran surat 32: 7-9, dinyatakan bahwa Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknuya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah,- kenudaian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (sperma) kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya roh (ciptaanNya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan afhida (fuad); tetapi mereka sedikit sekali bersyukur. Selain dari ayat tersebut di atas dapat dilihat dalam surat 15: 29, 21 : 91, 38: 72, 58: 22, 66:12. 17: 85. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kunci dasar kehidupan dan keberadaan manusia itu adalah ruh, karena ruh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad). Jika dipahami secara filosofis bahwa apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) manusia. Produk dari hasil pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) manusia ini sebagaimana yang disebut pengetahuan bagi manusia.

Al-Quran membedakan secara mendasar pengrtian qalbu dengan alafhida (fuad) dalam surat tersebut di atas. Karena pengertian qalbu yang digunakan dalam Al-Quran banyak hal berbicara tentang persoalan fisik, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut hati dalam bentuk fisik, sementara pengertian al-afhida (fuad) dalam Al-Quran tidak berbicara dalam bentuk fisik, namun dalam hal yang bersifat non fisik, dan tidak tepat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut hati. Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan. Oleh karena itu, ruh yang ada dalam diri manusia ini yang membedakan manusia dengan hewan. Karena ruh tidak akan pernah wafat ketika manusia itu meninggalkan dunia, karena ruh itu akan kembali kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan semua hasil perbuatan yang dilakukan di atas dunia. Sedangkan yang wafat di dalam diri manusia adalah jiwa, sebagaimana diungkap dalam surat 21:35. tiap-tiap yang berjiwa akan menemukan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada kamilah kamu akan dikembalikan. Al-Quran membedakan secara tegas antara ruh dan jiwa, hal ini dapat dilihat di dalam pengertian-pengertian yang dikemukakan dibawah ini : 1. Pengertian Ruh 1

Persoalan ruh adalah persoalan yang amat pelik, sehingga banyak orang beranggapan bahwa soal ruh itu tidak perlu dibicarakan, karena dapat membinggungkan. Sesungguhpun demikian, pada umumnya diakui bahwa ruh adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini, timbul persoalan, jika ruh itu amat penting bagi manusia, bukankah ia harus mengetahuinya? Jika manusia tidak dapat mengetahui sesuatu yang amat penting baginya, bukankah itu berarti bahwa ia gagal memahami dirinya?, dan dalam kondisi manusia gagal memahami dirinya, apakah ia layak diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya? Di pihak lain, ternyata Tuhan seperti yang diajarkan oleh agama meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Kenyataan ini mau tidak mau mengharuskan adanya pengetahuan manusia memahami dirinya, memahami sesuatu yang amat penting bagi dirinya, yaitu ruh. Jika tidak, maka ketentuan Tuhan meminta pertanggungjawaban kepada manusia, menjadi sia-sia dan kehilangan makna. Dilihat dari jurusan ini, maka ketentuan Tuhan untuk minta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, tentu disertai dan didasarkan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk memahami dirinya, memahami segala akibat-akibat perbuatannya, memahami sesuatu yang amat penting baginya, yaitu ruh. Pengetahuan tentang ruh, tentu saja berbeda dengan pengetahuan manusia tentang jasadnya, yang bisa diraba, diukur, ditimbang bahkan difoto. Pengetahuan tentang ruh bersifat spiritual, karena berkaitan dengan medan yang immaterial. Kesulitan memahami ruh ini terlihat dari betapa banyaknya pendapat yang mencoba untuk memberikan penjelasan tentang ruh. Ruh sering dipahami sebagai pusat kehidupan, maka kehidupan ada jika ada ruh, kematian adalah tiadanya ruh.

dan an-nafs adalah searti. Bagi orang Arab, ar-ruh menunjukkan arti laki-laki, sedangkan an-nafs menunjukkan arti perempuan. Menurut Abu Haitham, ruh adalah nafas yang berjalan di seluruh jasad. Jika ruh itu keluar maka manusia tidak akan bernafas. Menurut Ibn Atsir ruh itu dipakai dalam berbagai arti tetapi yang penting umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan ruh itu tercipta kehidupan. Bagi Ibnal-Arabi kata ar-ruh mempunyai banyak arti yaitu (1) al-farh, kegembiraan, (2) Alquran (3) al-amr, perintah atau arahdan (4) an-nafs, jiwa atau keakuan. Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan. Dengan demikian, pengertian ruh menjadi sulit diberikan defenisinya secara tepat, ruh sering disamakan dengan jiwa, dapat juga menunjukkan suatu instansi atau fungsi lebih tinggi dalam fisik manusia, yang tidak jarang dianggap Ilahi, ia juga merupakan orientasi manusia di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin berbicara tentang ruh dalam arti konkrit, maka istilah ini harus dikaitkan dengan seluruh praksis manusiawi yang berlangsung secara sadar atau tidak sadar dalam kebudayaan. 2. Kata Ruh dalam Alquran Dalam Alquran terdapat 21 kata ar ruh, yang tersebut dalam 20 ayat. Kata ar-ruh dalam Alquran dipakai dalam berbagai arti dan konteks. Yang pertama kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-quds seperti yang tersebut dalam surat 2 : 87 dan dilihat juga pada surat 2: 254, 5: 110, 16: 102. Tentang ar-ru al-quds ini ada beberapa pendapat, yang pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-ruh al-quds 1

Kata ruh adalah ar-rih yaitu angin. Oleh karena ituar ruh disebut annafas yaitu nafas atau nyawa. Di samping itu, kata ruh sering juga disebut an-nafs yaitu jiwa. Menurut Abu Bakar al-Anbari kata ar-ruh

itu adalah malikat Jibril. Yang kedua adalah Kitab Injil, yang ketiga adalah ruh yang dapat menghidupakan orang mati dan yang empat adalah ruh Tuhan yang dianugrahkan kepada Nabi Isa as., sebagai penghormatan kepadanya. Pada ayat lain, kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-amin seperti yang disebut pada surat 26: 193. Yang dimaksud dengan ar ruh alamin adalah malaikat Jibril yang terpercaya untuk menyampaikan wahyu kepada rasul-rasul Allah. Selanjutnya Alquran juga menyebutkan kata ruh sebagai sesuatu yang dibawa malaikat dari Allah untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 16: 2 dapat dilihat juga dalam surat 40: 15. Kata ruh sebagai sesuatu dari perintah Allah yang disampaikan malaikat kepada hamba-hamba Tuhan itu adalah mempunyai pengertian wahyu Allah. Lebih jelas lagi adalah keterangan Alquran dalam surat 42: 52. Di smping itu, kata ruh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu yang dihembuskan dari Allah ke dalam diri manusia, dan menjadi bagian dari diri manusia dan selanjutnya Allah juga menjadikan untuknya pendengaran, penglihatan dan hati Alquran menyatakan dalam surat 32: 9, lihat juga dalam surat 38: 72, 15: 29, 66: 12, 21: 91, 58: 22. Dalam Alquran kata ruh, baik dalam pengertian wahyu, Alquran ataupun sesuatu yang dihembuskan Allah ke dalam diri manusia, selalu diberikan keterangan sebagai amr dari Allah. Secara jelas Alquran memberikan jawaban pertanyaan tentang ruh ialah amr Robb, seperti yang dinyatakan dalam surat 17: 85. Jadi, ruh dalam Alquran diartikan secara tegas dan jelas sebagai amr dari Allah. Oleh karena itu, kata kunci untuk memahami ruh itu adalah terletak pada kata amr. Dalam kaitan ini maka penjelasanpenjelasan Alquran tentang amr menjadi sangat penting untuk menyingkap dan memahami ruh itu. Tanpa pemahaman yang lengkap tentang amr ini, maka ruh akan sulit dipahami pengertian nya. Kata amr dalam Alquran dipakai untuk berbagai arti. Yang pertama kata

amr diartikan sebagai perintah. Alquran menyatakan dalam surat 65: 5, dapat dilihat juga dalam surat 7: 77 dan 11: 59. Yang kedua amr diartikan sebagai arah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran surat 54: 12. Yang ketiga amr diartikan sebagai perkara atau urusan, Alquran menyatakan dalam surat 3: 159. Yang empat amr diartikan sebagai hukum, atau aturan Allah pada ciptaan-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 7: 54. Dari ayat-ayat tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa ruh adalah amr dari Allah. Kata kunci dalam Alquran dipakai dalam arti perintah (65: 5), arah (54: 12), perkara, urusan (3: 159) dan hukum atau ketentuan (7: 54). Kata kunci amr berasal dari kata kerja amara yang artinya perintah untuk mengerjakan. Dalam bentuk imarah artinya adalah kepemimpinan. Dengan demikian, maka kata amr artinya adalah pimpinan, perintah, perkara dan urusan. Jadi, kata ruh yang dalam Alquran diberi penjelasan sebagai amr min Allah mempunyai pengertian pimpinan, perintah, perkara dan urusan dari Allah. Fungsinya tidak lain adalah merupakan bimbingan dan petunjuk bagi manusia. Dalam pengertian sebagai pembimbing atau pemberi petunjuk itulah, maka dalam Alquran ruh juga dipakai untuk menyebut nama malaikat, dengan sebutan ar-ruh al-amin, yaitu malaikat Jibril yang bertugas membimbing para rasul menurunkan dan mengajarkan wahyu. Ruh juga diartikan sebagai wahyu yang terkumpul dalam kitab suci sebagai pedoman hidup bagi manusia (42: 52) Lalu, apakah ruh dari Allah yang dihembuskan ke dalam diri manusia itu? Jika direnungkan surat 32: 9 yang mengaitkan ruh ke dalam diri manusia dengan dijadikannya pendengaran, pengelihatan dan alafhida (fuad), maka dapatlah ditarik pengertian bahwa ruh itu adalah pimpinan yang ada dalam diri manusia, yang membimbing pendengaran, pengelihatan dan qalbunya untuk memahami kebenaran. Pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) merupakan instrumentasi rohani yang memungkinkan manusia 1

memahamai pimpinan Allah, sehingga ia dapat mendengar, melihat dan memahami kebenaran sejati (22: 46). Alquran secara tegas menjawab dan menerangkan pertanyaan tentang ruh manusia sebagai amr min Robb dan manusia diberikan pengetahuan sedikit tentangnya dalam surat 17: 85. Jadi, ruh dalam diri manusia adalah bimbingan dan pimpinan dari Allah dalam diri manusia. Pernyataan Alquran bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang ruh, bukan berarti tidak bisa mengetahui sama sekali tentang ruh. Pengetahuan manusia tentang ruh sedikit sekali tentunya jika dibandingkan dengan pengetahuan Allah. Pengetahuan manusia tentang ruh adalah sangat penting karena dengan mengetahuinya, maka manusia dapat mengenali dirinya dan memahami kebenaran, sehingga ia dapat menjauhi perbuatan yang dapat merusak dan merugikan diri sendiri dan menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Pengetahuan tentang ruh tentunya berbeda dengan pengetahuan manusia mengenai bendabenda yang dapat disusun secara ilmiah, berdasarkan data-data yang terkumpul yang dapat diukur, diamati dan dianalisa. Dengan memahami, menyadari dan memasuki diri sendiri, manusia berhubungan dengan eksistensi ruhnya yang ada dalam dirinya sendiri. Jadi, hakekat ruh adalah bimbingan dan pimpinan Allah yang hanya diberikan kepada manusia, yang membedakan manusia dari mahkluk Allah lainnya. Ruh tidak lain adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan.

lainnya menjadi kabur. Dalam studi Filsafat Islam, seperti Ibn Sina menegaskan bahwa ruh dijumbuhkan dengan nafs, sehingga menyulitkan usaha memahami hakekat ruh itu sendiri, mengingat nafs dapat juga berarti diri, atau keakuan. Dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan, peranan ruh sebagai pimpinan dan bimbingan Allah dalam diri manusia itu sangat besar, karena dengan ruh sebagai daya yang bekerja secara spiritual untuk berhubungan dengan prinsip-prinsip kebenaran melalui berpikir terhadap alam sekitar dan selalu ingat kepada kekuasaan Allah, maka arah pembentukan kebudayaan yang rasionalistik materialis seperti yang tampak gejalanya dalam kehidupan modern, akan bergeser ke arah kehidupan kebudayaan yang berdimensi transenden. 3. Pengertian Nafs Menurut Ibn Ishak kata an-nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian. Pengertian pertama seperti dalam ungkapan telah keluar nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan pengertian kedua seperti dalam ungkapan yaitu seseorang telah membunuh dirinya, artinya ia telah menghncurkan seluruh dirinya atau hakikatnya. Bentuk jamak dari kata nafs adalah anfus dan nufus. Menurut Ibn alBari, an-nafs bisa bermakna ruh, dan bisa bermakna hal yang membedakan sesuatu dari yang lain. Menurut Ibn Abbas, dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs, yaitu nafs akal yang bisa membedakan sesuatu, dan nafs ruh yang menjadi unsur kehidupan. Kata an-nafs dan ar-ruh yang berasal dari Alquran telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian nafsu, nafas dan ruh, Kata an-nafs yang seringkali dipergunakan Alquran dan diterjemahkan menjadi jiwa sesungguhnya berarti pribadi atau kekakuan. Ucapan-ucapan seperti an-nafs al-mutmainnah dan an-nafs allawawamah dan an-nafs al-ammarah (yang bisa diterjemahkan menjadi jiwa yang merasa puas dan jiwa yang mengutuk), sebaiknya dapat dipahami sebagai keadaan-keadaan, aspek-aspek, watak1

Hakekat ruh tidak dapat diketahui secara material karena ruh bersifat gaib sehingga tidak dapat ditunjuk subtansinya secara fisik dalam dimensi ruang dan waktu. Kesulitan memahami hakekat ruh oleh karena sifatnya yang gaib membuka perbedaan pemahaman terhadapnya, dan seringkali antara pengertian yang satu dengan yang

watak, atau kecenderungan-kecenderungan dari pribadi manusia. Semua ini dapat dipandang sebagai sifat mental (yang berbeda dari yang fisikal) asalkan akal pikiran tidak dipahami sebagai subtansi yang terpisah. An-nafs dalam pengertian keakuan atau pribadi adalah totalitas diri manusia, Pernyataan aku adalah pernyataan total tentang diri seseorang. Jika seseorang mengatakan aku makan, maka pernyataan aku menunjukkan pada totalitas diri, meskipun yang melakukan makan adalah mulutnya. Oleh karena itu, ia tidak akan mengatakan mulutku makan. Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan pemilikan. Jika seseorang mengatakan aku punya pensil, maka pernyatan aku menyatakan pada totalitas diri, meskipun yang memegang dan menggunakan pensil itu tangannya, dan ia pun tidak akan mengatakan tanganku punya pensil. Jadi pernyataan aku baik dalam kaitan dengan perbuatan atau pemilikan, tidaklah semata-mata menyangkut hal-hal yang fisik saja, tetapi lebih dalam lagi berkaitan dengan hal-hal yang non-fisik. Dalam keakuan (ego) terdapat kesatuan transenden, kesatuan dari keadaan-keadaan dan perbuatanperbuatan, kesatuan dari kualitas-kualitas. Kenyataan menunjukkan bahwa keakuan muncul ketika kesadaran manusia tentang dirinya terbentuk, dan terbentuknya kesadaran tentang diri ini bermula sejak bentuk manusia yang sempurna lahir. Kesadaran tentang diri itu dibentuk oleh berbagai factor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kapasitas berpikir yang terbawa oleh kodranya sebagai ciptaan dan factor eksternal yaitu lingkungan hidup dan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Munculnya kesadaran tentang diri, menempatkan manusia pada posisi obyek dan subyek. Manusia sebagai kesadaran adalah subyek menghadapi dirinya sebagai obyek. Kesadaran muncul sebagai buah dari perenungan terhadap diri sendiri. Dalam kaitan ini, maka nafs yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah nafs dalam pengertian diri, keakuan, bukan dalam pengertian nafsu, nafas dan ruh. Nafs

dalam pengertian diri, keakuan, muncul setelah tahapan jasad, hayat terlampaui, menjadi sebuah eksistensi. 4. Nafs dalam Alquran Dalam Alquran kata nafs terdapat 140 ayat, Sedangkan bentuk jamaknya nufus terdapat dalam 2 ayat, dan dalam bentuk jamak lainnya an-fus terdapat dalam 154 ayat. Alquran menggunakan kata nafs dalam empat pengertian yaitu 1) dalam pengertian nafsu, 2) nafas, 3) jiwa dan 4) diri, keakuan. Nafs dalam pengertian nafsu dinyatakan dalam surat 12:53. Nafs dalam pengertian nafas atau nyawa terdapat dalam surat 3:185. 21:25. 39:42.

Tentang arti nafs dalam ayat di atas ini, terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyebutnya dalam arti jiwa dan ada pula yang mengartikannya nyawa, nafas, yang menjadi tanda adanya kehidupan pada tubuh manusia. Sayyid Quthb menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan nafs yang mengalami hidup dan mati, setiap nafs akan mati. Sedangkan ar-Razi menjelaskan bahwa kematian itu berkaitan dengan tubuh, karena jiwa atau roh tidak mengalami kematian, dan oleh karena pernyataan nafs berkaitan dengan kematian, maka nafs ini berkaitan dengan tubuh. Sedangkan nafs yang berkaitan dengan kematian tubuh, seperti tersebut dalam ayat ini dapat diartikan dengan nafas, nyawa, karena nyawa merupakan tanda adanya kehidupan, al-hayat. Kematian ditandai dengan lenyapnya nafas, nyawa, kemudian diikuti hilangnya unsur panas, air dan tanah yang berkumpul kembali dengan alam asal kejadian. Nafs dalam pengertian jiwa terdapat daplam surat 89:27-30

Sehubungan dengan nafs dalam ayat di atas ini, yang diartikan jiwa, ar-Razi menjelaskan bahwa pengertian jiwa ini diperoleh karena nafs di sini berkaitan dengan keterangan, dan seperti disebutkan dalam 1

ayat Alquran maka tentu yang dimaksudkan adalah jiwa, ruh, yaitu al-qaib yang memperoleh keterangan dengan memahmi tentang Allah sebagai wajib al-wujud. Sedangkan Zamakhsyari menyatakan nafs dalam ayat ini diartikan jiwa, ruh, yang dimasukan ke dalam diri hamba-hamba Allah. Nafs dalam pengertian diri, keakuan, pribadi dinyatakan dalam surat 6:164.

Realitas manusia adalah realitas pribadi, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan, dan setiap pribadi mempunyai pendapat dan keinginan yang berbeda-beda. Setiap pribadi bertanggungjawab sepenuhnya atas segala apa yang dilakukannya, ia tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Menurut Alquran, setiap pribadi hanya akan memperoleh bagian dari apa yang dilakukannya dinyatakan dalam surat 53:38-41. Oleh karena itu, perbuatan baik pada dasarnya untuk kepentingan dirinya sendiri, demikian pula perbuatan jelek, pada dasarnya akan merugikan dirinya sendiri, Alquran menyatakan dalam surat 41:46. 45:15. Selanjutnya Alquran menegaskan bahwa perbaikan nasib seseorang ditentukan oleh kemampuannya merubah apa yang ada dalam diri pribadinya dinyatakan dalam surat 8:53. 13:11. Dalam hubungan ini, maka kesungguhan diri manusia mempunyai arti yang sangat penting. Allah menjanjikan kepada siapa yang

hasil apa yang dikerjakannya (Alquran 29:6). Keakuan atau nafs adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas hisupnya. B. Akal dan Fungsinya dalam Alquran Akal adalah al-hijr atau an-nuha artinya adalah kecerdasan. Sedangkan kata kerja aqala artinya adalah habasa yaitu mengikat atau menawan. Karena itu, seorang yang menggunakan akalnya, al-aqil adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia mampu mengendalikan diri dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran. Dengan Demikian, akal dapat juga diartikan sebagai suatu potensi rohaniah untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batal, mana yang benar dan mana yang salah. Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Akal, dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi merupakan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya yang dalam Alquran digambarkan memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal adalah potensi gaib yang tidak dipunyai oleh mahkluk lain yang mampu menuntut kepada pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu. Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti, yang pertama, akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada 1

bersungguh-sungguh dalam jalan Allah, akan memperoleh bimbingan Allah, karena Allah selalu bersama-sama dengan orang-orang yang berbuat kebaikan, dinyatakan dalam surat 29:6. Sebagian besar kata nafs dalam Alquran dipakai untuk menunjukkan arti diri, keakuan, Keakuan itu bertanggungjawab atas setiap apa yang diperbuatnya sendiri. Alquran menyatakan dalam surat 53:3841, akan menanggung akibat yang timbul dari apa yang diperbuatnya itu (Alquran 41:46) dan perubahan keadaan hidupnya akan terjadi jika keakauan itu merubah dirinya (Alquran 8:53) Oleh karena itu, melalui kerja yang sungguh-sungguh, keakuan akan mendapatkan

hewan. Dengan akal manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu yang memerlukan pikiran. Yang kedua hakikat akal ialah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Yang ketiga ialah ilmu yang diperoleh dari pengalaman, dan yang keempat adalah pengetahuan tentang akibat segala sesuatu, dan pencegah hawa nafsu. Akal dengan demikian merupakan daya kekuatan untuk memperoleh segala ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan yang ukhrowi. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadist dikatakan :Tidak dijadikan oleh Allah suatu mahkluk yang terlebih mulia padanya dari pada akal. Dalam hadist yang lain dikatakan : Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu-pintu kebajikan dan amal sholeh, maka engkau dekatilah Tuhan dengan akalmu. Oleh karena itu, dalam Alquran dijelaskan bahwa akal mempunyai fungsi untuk memahami kebenaran yang fisik maupun yang metafisik. Dalam Alquran terdapat 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, yaitu aqalu 1 ayat, taqilun 24 ayat, naqiln 1 ayat, yaqilu 1 ayat, dan yaqilun 22 ayat. Penggunaan akal itu antara lain : 1. terdapat 14 ayat dipakai dalam kaitannya dengan keimanan. Dalam surat 2: 76, 75. 11: 51. 21: 67. 28:60. 36:62. 2: 170, 171. 5: 103. 10: 100. 25: 44. 39: 43. 49: 4. 59: 14. 2. terdapat 5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam surat 12: 2. 2: 44. 3: 65. 21: 10. 43: 3 3. terdapat 6 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam surat 2: 73, 242. 6: 32. 29: 35. 30: 28. 26: 28. 4. terdapat 3 ayat berkaitan dengan kehidupan akhirat. Dalam surat 67: 10. 2: 32. 10:16. 5. terdapat 7 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami proses dinamika kehidupan manusia. Dalam surat 22: 46. 12: 109. 11: 51. 8: 22. 36: 68. 10: 10. 24: 61. 6. terdapat 12 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami alam semesta seisinya. Dalam surat 2: 164. 23: 70. 28: 60. 37: 138. 67: 10. 26: 28. 57: 170. 13: 4. 16: 12, 67. 29: 63. 30: 24.

7. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan hukum moral. Dalam surat 6: 151. 8. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan Sholat. Dalam surat 5: 58. Dari 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, maka dapatlah ditarik pengertian bahwa akal dalam Alquran dipakai untuk memahami realitas yang konkrit seperti proses kelahiran manusia dan alam semesta, dan juga realitas gaib, seperti kehidupan neraka, nilainilai moral dan untuk memahami tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat dalam Kitab Suci maupun yang tersirat dalam alam dan manusia, serta kaitannya dengan al-qalb yang mempunyai kemampuan memahami realitas. Menggunakan akal artinya adalah menggunakan kemampuan pemahaman baik dalam kaitannya dengan realitas yang konkrit, maupun realitas spiritual. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran dan realitas spiritual oleh qalbu. Keduanya pikiran dan qalbu merupakan instrumen akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran. Dengan demikian kegiatan akal adalah kesatuan pemikiran dan qalbu dalam usaha memahami kebenaran. Alquran menyatakan dalam surat 3: 190-191. Memikirankan penciptaan alam adalah kegiatan yang berpusat di kepala, sedangkan mengingat Allah, adalah kegiatan yang berpusat di qalbu yang ada dalam dada. Keduanya merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia mapu memasuki dunia kesadaran tertinggi, bersatu dengan kebenaran Ilahi. Kesatuan antara berpikir tentang alam sekitarnya yang berpusat di kepala dan menghayati serta mengingat Allah yang berpusat di qalbu yang ada di dada, dapatlah kiranya disebut sebagai suatu aktivitas kesatuan akal. Jadi, Konsep Tauhid dalam kebudayaan pada tahap pengertian sebagai proses seperti yang digambarkan dalam Alquran surat 3: 190191 di atas adalah kesatuan zikir kepada Allah dan pemikiran tentang 1

ciptaan Allah yang berada di antara bumi dan langit. Kesatuan zikir dan pikir ini, sebagai penjelmaan dari aktivitas orang-orang yang berakal. Kesatuan aktivitas itu dapat digambarkan sebagai berikut : Berzikir ----------------------------- Allah Orang Berakal

Aktualitas berpikir ----------------------------- Ciptaan Allah

Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran bekerja dengan menggunakan pikiran dan qalbu, yang keduanya berhubungan secara organis. Pikiran bekerja untuk memahami dimensi fisik, bersifat material, sedangkan qalbu bekerja untuk

Pikiran

Qalbu

1. Pikiran Berpikir sebagai proses budaya adalah memhami realitas dan melakukan penilaian kritis terhadap pemahaman itu. Di sini terdapat dua hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu pemahaman terhadap realitas dan penilai kritis terhadap pemahaman itu. Meskipun realitasnya sama seringkali terjadi perbedaan pemahaman terhadap realitas itu. Seperti pemahaman terdahap realitas kemiskinan. Dalam melihat kemiskinan terjadi benyak perbedaan dalam memahaminya. Kemiskinan jika dipandang sebagi takdir ketentuan Allah yang mutlak tentunya tidak ada satupun kekuatan dari manusia yang dapat merubahnya kecuali Allah sendiri. Sebaliknya jika kemiskinan itu dipandang sebagai akibat dari adanya sitem kehidupan sosial ekonomi yang timpang maka tentunya dengan upaya keras manusia dapat merubahnya. Sedangkan penilaian kritis atas pemahaman manusia terhadap realitas adalah upaya menggugat keabsahan pemahaman itu, dengan harapan upaya realitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penilaian kritis ini diperlukan kejujuran intelektual, karena seringkali terjadi pemahaman manusia terhadap realitas merupakan opini yang dipengharuhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Opini adalah bukan fakta., bahkan seringkali terjadi opini tentang fakta yang nyata berbeda dengan faktanya sendiri, dan orang menjadi tertarik karena opini 1

memahami dimensi metafisik, besrsifat spiritual. Keduanya dalam pandangan tauhid merupakan kesatuan fungsional bagi kebudayaan. Pengembangan pikiran yang terlepas dari kaitannya dengan qalbu, mengakibatkan manusia hanya memperoleh pengetahuan lahiriahnya saja dari realitas yang ditangkap dan manusia dapat dikuasai hawa nafsunya, singga pikirannya bekerja untuk kepentingan pemuasan hawa nafsu. Sebaliknya qalbu yang berkerja terlepas dari pikiran, membuat seseorang hanya menagkap dimensi spiritual dari realitas yang ada, secara moral ia mempunyai kesadaran yang baik, tetapi penguasaan teknik dan cara menyelesaikan masalahnya seringkali mengalami kemacetan, karena dimensi fisiknya tak kuasa. Hubungan organis pikiran dan qalbu sebagai instrumen akal dapat digambarkan sebagai berikut :

bukan faktanya sehingga tidak terjadi perubahan apa-apa terhadap faktanya itu sendiri, meskipun fakta itu memerlukan perubahan. Berpikir adalah kegiatan yang sepenuhnya bebas. Barangkali tidak ada kebebasan yang penuh bagi manusia kecuali berpikir. Karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang dapat secara effektif melarang atau menghentikan pikiran bekerja. Meskipun fisik manusia disiksa, pikirannya tetap dapat bekerja paling tidak untuk mencari jalan bagaimana cara menghindari siksaan itu, atau bagaimana agar siksaan itu tidak terasa sakit. Pikiran hanya dapat berhenti jika hidup manusia berhenti atau kehilangan kesadaran dirinya. Berpikir dapat dilakukan manusia, dimana pun dan kapan pun. Di samping itu manusia juga bebas untuk memikirkan apa saja, tidak ada yang haram untuk dipikirkan. Kotak-kotak pemikiran terjadi, karena kotak-kotak budaya, terutama yang terjadi dalam proses pendidikan. Pendidikan yang terkotak-kotak akan melahirkan pemikiran yang terkotak-kotak pula dan akibatnya pemahaman terhadap realitas menjadi terkotak-kotak, sehingga realitas tidak dapat sepenuhnya dipandang secara utuh. Kegiatan berpikir adalah kegiatan yang otonom, bahkan berada di luar penilaian etik. Oleh karena itu, orang yang berpikir tentang perampokan tetapi tidak pernah melakukan perbuatan merampok, tidak dapat dituntut secara hukum di muka pengadilan. Demikian juga berpikir tentang kebebasan, bukan berarti pembebasan manusia dari segala ikatan atau norma-norma hukum tertentu. Jika ada yang mengikat berpikir, mungkin itu adalah hukum berpikir dalam pengertian metodologi serta obyek yang dipikirkan. Tidak ada satupun ayat Alquran yang melarang berpikir, bahkan sebaliknya Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berpikir, dinyatakan dalam surat 34: 46.

Dalam Tafsir al-Takhr ar-Razi diterangkan bahwa ada dua hal yang penting dalam ayat ini, yaitu 1) kata wahidah yang mempunyai pengertian tauhid dan 2) kata tatafakaru yang arti berpikirlah. Tauhid adalah salah satu prinsip ajaran Alquran, sedangkan berpikir merupakan sarana untuk memahami dan mengembangkan prinsip ajaran tauhid dalam kehidupan. Prinsip ajaran tauhid ialah bahwa Tuhan adalah Esa, dan Yang Esa itu merupakan sumber semua kehidupan yang ada. Prinsip Tauhid ini bukanlah sekedar suatu keyakinan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang senantiasa harus diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim. Oleh karena itu, berpikir menjadi anjuran yang melekat dalam prinsip tauhid, karena tanpa berpikir ajaran tauhid itu tidak bisa dimengerti, apalagi diterapkan dalam kehidupan. 2. Qalbu Qalbu berasal dari kata qalaba yang bermakna berubah, berpindah atau berbalik. Qalaba mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, qalb jamaknya qulub, artinya hati. Al-Qalb mempunyai dua pengertian, yang pertama dalam pengertian kasar, atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, di dalamnya terdapat rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber kehidupan dan seringkali dinamakan jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif. Qalbu memiliki kemampuan untuk mengetahui essensi segala sesuatu. Al Qalb dalam Alquran menurut Amir al-muminin Ali juga disebut sadr, fuad, lubb dan syagaf. Disebutkan dalam sebagai berikut:

disebut sadr karena ia tempat terbitnya nurul Islam, dinyatakan dalam surat 39: 22. disebut fuad karena menjadi tempat terbitnya makrifat Allah, dinyatakan dalam surat 53: 11. disebut lubb karena menjadi terbitnya tauhid, dinyatakan dalam surat 65: 10. Disebut syagaf karena temapat terbitnya kecintaan makhluk kepada sesamanya, dinyatakan dalam surat 12: 30.

Dalam Alquran terdapat kurang lebih 101 ayat yang memjelaskan tentang kata benda al-qalb atau jamaknya al-qulub. Terbagi dalam beberapa persoalan sebagai berikut: 43 ayat dipakai dalam kaitannya dengan soal-soal keimanan, termasuk di dalam hal ini adalah ketidak berimanan, antara lain kufur, perbuatan dosa, dalam surat 49: 14,7. 9: 117,8,45,64,77,110. 22:32. 7:100,101. 15:12.

7 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi dibalik peristiwa-peristiwakemanusiaan, maupun dalam ayat-ayatNya (tanda-tanda), dinyatakan dalam surat 22:46. 7:179. 47:24. 6:25. 9:8,93,127. 3 ayat dipakai dalam kaitannya dengan akhirat, kehidupan sesudah mati, baik di sorga maupun di neraka, dinyatakan dalam surat 26:88,89. 34:23. 33:10.

2:204,97,7,10,93. 8:24. 33:5. 45:23. 64:11. 26:194. 42:24. 4:155,63. 41:5. 59:10. 3:8,167. 5:41. 6: 46. 83:14. 10:88. 18:14. 16:22. 21:3. 61:5. 22:54. 23:63. 24:50. 58:22. 24 ayat dipakai dalam kaitannya dengan perasaan, baik ketakutan, kegelisaan, kegoncangan, harapan, ketenangan, dinyatakan dalam surat 33:26,5,26,51. 39:45. 79:7,9. 3:15, 159,126,103. 57:27. 24:37. 40:18. 16:106. 5:113. 8:2,10, 11,63. 9:15,60. 23:60. 33:5,26,51. 48:10. 59:14. 20 ayat dipakai dalam kaitan untuk menjelaskan sifat, seperti keteguhan, kesucian, kasar dan keras, serta kesombongan, dinyatakan dalam surat 22:53. 37:84. 40:35. 50:33. 3:159,154. 18:28. 28:10. 2:74,225,118. 6:43. 8:70. 33:54,53,4. 48:12,26. 49:3. 5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk zikir, mengingat kekuasaan Allah, dinyakatan dalam surat 13:28. 50:37. 39:22,23. 57:16.

Jadi, al-qalb dalam pengertian fisik adalah sesuatu yang ada di dalam dada (22: 46) yang sering disebut jantung. Akan tetapi di dalam pengertian non fisik, al-qalb adalah suatu kemampuan untuk memahami kebenaran-kebenaran yang bersifat metafisik, tanda-tanda kekuasan Allah, makna dibalik kejadian kemanusiaan, dalam kehidupan di akhirat nanti. Al-qalb bukan pikiran, karena itu kata al-qalb dalam Alquran tidak pernah dipakai dalam kaitannya dengan pemikiran. Al-qalb sebagai kekuatan yang dapat memahami kebenaran metafisik, ia dalah bagian dari akal, karena itu dala Alquran al-qalb dalam aktivitasnya menggunakan kata kerja yaqiluna biha (22:46). Keduanya (pikiran dan qalbu) tumbuh dari akar yang sama dan masing-masing saling melengkapi. Yang satu menangkap kebenaran sepotong-potong dan yang lain menangkap keseluruhan. Yang satu memusatkan perhatiannya pada kebenaran sementara, dan yang lain dalam aspek kebenaran kekal. C. Kebebasan Akal Akal adalah daya rohani untuk memahami kebenaran, baik kebenaran yang bersifat mutlak maupun kebenaran yang bersifat relatif. Kebenaran mutlak adalah kebenaran Tuhan, yang bercermin melalui tanda-tanda-Nya, yang tersimpan dalam alam ciptaan-Nya dan tersurat dalam firman-firman-Nya, dalam kitab suci. 1

Kebenaran reasltif adalah kebenaran sebagai hasil pemahaman manusia terhadap realitas sekitarnya yang berupa ilmu pengetahuan. Akal sebagai daya rohani pada dasarnya bebas, kebebasannya hampir mutlak, karena tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangi akal bekerja. Akal sebagai daya rohani bersifat ketuhanan, karena pembicaraan tentang akal selalu berhubungan dengan dimensi pikir dan zikir. Akal adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, akal harus digunakan agar ia tidak kehilangan kemanusiaannya. Akal yang tidak berfungsi mengakibatkan manusia jatuh pada kekuasaan hawa nafsu dan berarti kejatuhan manusia, yang digambarkan Alquran lebih sesat dari pada binatang dinyatakan dalam surat 25: 43-44. Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup, sehingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran sejati. Alquran menyatakan dalam surat 45: 23. Seseorang yang menggunkan akal adalah sesorang yang mampu menawan dan mengikat hawa nafsunya, dan hawa nafsu bisa diikat jika qalbu manusia selalu ingat pada kekuasaan Tuhan dinyatakan dalam surat 13: 28. Kebebasan akal merupakan prasyarat bagi kebudayaan, dan kebebasan akal ini dijamin penuh oleh Alquran. Hal ini terbukti tidak ada satu pun ayat dalam Alquran yang melarang manusia untuk menggunakan akalnya, sebaliknya banyak sekali ayat Alquran yang mengajurkan manusia menggunakan akalnya. Sesungguhnya tidak perlu ditakuti adanya kebebasan akal, sebaliknya harus ditakuti adanya ketidakbebasan akal, karena akal yang tidak bebas bekerja, dapat membawa seseorang dikuasai hawa nafsu,karena qalbunya melemah, sehingga ia dapat melupakan adanya kekuasaaan dan kebesaran Allah. Seorang yang dikuasai hawa nafsunya, akan melahirkan perbuatan yang dapat merusak kehidupan.

1. Mekanisme Akal. Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran, baik yang fisik maupun yang metafisik, yang mutlak dan yang relatif, bekerja melalui pikiran dan qalbu manusia. Pikiran untuk memahami yang baik dan yang relatif, sedangkan qalbu untuk memahami yang metafisik dan mutlak. Pikiran dan qalbu berhubungan secara organis dan keduanya bekerja pada batas-batas obyeknya dan pada tahapan dari pertumbuhannya. Batas-batas obyek dibawa oleh kodratnya, sedangkan batas-batas pertumbuhan dipengaruhi oleh proses belajar dan pengalaman hidup. Batas-batas kodrat bersifat tetap, sedangkan batas-batas pertumbuhan bersifat dinamis dan oleh karena proses belajar terus menerus maka batas-batas pertumbuhan itu bergerak dan berkembang, sampai akhirnya pada waktu yang pasti, pada saat kematian tiba, batas pertumbuhan itupun berhenti. 2.. Obyek Pikiran Dalam Alquran terdapat enam belas (16) ayat tentang berpikir, dan dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa yang menjadi obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Dari enam belas (16) ayat itu terbagai sebagai berikut: - Sembilan (9) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan manusia, dinyatakan dalam surat 30: 8. 2: 219, 266. 3: 191. 7: 176, 184. 39: 42. 34: 46. 6: 50. - Enam (6) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan alam ciptaan Tuhan, dinyatakan dalam surat 13: 3. 10:24. 45:13. 16: 11, 69. 3: 191. - Satu (1) ayat menjelaskan tentang pemikiran yang salah, dinyatakan dalam surat 74: 18-26. 1

Secara jelas Alquran menerangkan bahwa abyek pemikiran adalah alam dan manusia serta yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Jika seseorang mencoba memikirkan di luar batas obyeknya, maka bisa mengakibatkan celaka. Contoh kesalahan itu seperti kesimpulan berpikir bahwa Alquran itu adalah sihir dan perkataan manusia pada umumnya dalam surat 74: 18-26. Dalam hubungan dengan pemikiran tentang alam, Alquran mengajurakan kepada manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dalam alam, dinyatakan dalam surat 88:17-20. Dalam hubungan ini, Alquran menjelaskan tentang adanya prinsip-prinsip kebenaran di dalamnya, dinyatakan dalam surat 19: 5, 14: 19. 6:73. Di samping itu, Alquran juga menandaskan adanya ukuran tertentu di dalamnya, dinyatakan dalam surat 25: 2. 54: 49.

yang ada di dalamnya. Melalui pemahaman terhadap prinsip-prinsip kebenaran yang ada dalam alam semesta ini, manusia dapat mengembangkan lebih jauh untuk penyusunan teori-teori dan untuk melakukan percobaan-percobaan. Melalui penyusunan teori dan percobaan-percobaan itu, proses penciptaan kebudayaan dapat dilaksanakan. Sedang pemikiran tentang manusia, Alquran mengajurkan kepada manusia untuk memperhatiakan proses penciptaan dirinya, dinyatakan dalam surat 86: 5-7. Dalam kaitan ini, manusia juga dianjurkan untuk memperhatikan makanannya, dinyatakan dalam surat 80: 24-28. Setelah memperhatikan proses penciptaan dirinya, dan makanannya, maka manusia pun dinjurkan untuk memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu beserta akibatakibatnya, dinyataka dalam surat 30: 9. Pemikiran tentang alam artinya adalah memperhatikan proses penciptaan dalam alam semesta, proses pertumbuhan, perkembangan dan juga kehancuran. Perhatian terhadap proses-proses penciptaan ini sangat penting bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena melalui pemikiran terhadap proses-proses penciptaan itu, ia dapat pula mempraktekkan dalam proses penciptaan alam kebudayaan. Sudah barang tentu kemampuan manusia menciptakan tidak sama dengan Tuhan, bahkan tidak selayaknya dibandingkan dengan Tuhan., karena memang derajat manusia dengan ciptaan Tuhan jauh lebih rendah dari Penciptanya. Akan tetapi pemahaman terdahap proses penciptaan alam semesta ini, mempunyai andil yang besar bagi penciptaan alam kebudayaan, karena penciptaan alam kebudayaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari alam semesta. Penciptaan Alam semesta akan selalu melibatkan dan tergantung pada alam semesta, paling tidak pada bahan yang dipakainya, serta ruang dan waktu, yang memungkinkan proses penciptaan itu berlangsung. Pemikiran terhadapa proses penciptaan dalam alam semesta, dimaksudkan agar manusia memahami prinsip-prinsip kebenaran Ajuran untuk memperhatikan proses kelahiran manusia, makanan serta sejarah merupakan anjuran yang sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup generasi manusia. Memperhatikan proses penciptaan manusia memberikan pengetahuan yang bermanfaat untuk memahami susunan dirinya, sehingga manusia dapat memahami kekuatan-kekuatan yang dimilikinya serta kelemahan-kelemahannya sekaligus untuk merancang kehidupan selanjutnya., dengan programprogram untuk meningkankan kualitas hidup manusia serta merencanakan untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Dengan memperhatikan makanannya, manusia dapat memahami proses kelangsungan hidupnya serta mengatasi problema yang ditimbulkan oleh makanannya, baik yang sudah terserap dalam tubuhnya yang seringkali menimbulkan problem bagi kesehatannya, maupun untuk merencanakan penyediaan makanan yang harus mengikuti jumlah penduduk yang bertambah, sehingga kelangsungan hidup generasi manusia dapat dipertahankan. Selanjutnya pemikiran tentang sejarah, jatuh bangunya suatu bangsa merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan karena melalui pemikiran itu akan diketahui 1

hukum-hukum perkembangan suatu masyarakat yang mengatur dan mempengaruhi proses perubahan masyarakat. Pemikiran terhadap manusia, baik sejak proses penciptaannya, makanannya dan sejarah perjalanan hidupnya, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan, karena kebudayaan pada akhirnya akan ditentukan sepenuhnya oleh kualitas manusianya. Melalui pemahaman histories, akan diperoleh kesadaran tentang perlunya strategi kebudayaan, sehingga kebudayaan sebagai suatu proses dapat diarahkan lebih manusiawi. Obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia dengan segala aspeknya. Dari pemikiran tentang alam dan manusia pada dasarnya diharapkan dapat diperoleh pengetahuan mengenai prinsipprinsip kebenaran, untuk menyusun teori-teori dan percobaanpercobaan, yang kemudian berkembang dalam dunia ilmu alam dan humaniora. Dari dua kubu ilmu itu berkembang menjadi lebih banyak, dengan menekankan pada kajian aspek-aspek tertentu yang lebih terbatas. Kesemuanya itu pada dasarnya mempunyai andil sangat besar bagi pertumbuhan dan kelangsungan kebudayaan suatu bangsa. Prinsip-prinsip kebenaran itu, pada akhirnya berkembang menjadi teori-teori dan perubahan yang terjadi dalam klehidupan alam dan manusia, pada gilirannya akan mengakibatkan adanya perubahan teori-teori. Tidak ada yang mutlak dalam teori-teori, dan teori apapun sebagai hasil pemikiran manusia sepenuhnya bersifat relatif, karena pikiran hanya berkerja dengan memecah realitas dalam fragmenfragmen yang statis. Padahal realitas kehidupan alam dan manusia selalu berubah terus, yang mengharuskan adanya perubahan yang terus menerus. 3. Obyek Qalbu

Dalam Alquran dijelaskan bahwa qalbu (al-qalb) mempunyai kemampuan untuk memahami atau menangkap makna-makna (22: 46 7:179. 47: 24). Selanjutnya Aqlquran menjelaskan bahwa obyek pemahaman qalbu adalah prinsip-prinsip yang mengatur jatuh bangunnya suatu bangsa atau hukum sejarah dan makna-makana yang tersurat dalam Alquran.dinyatakan dalam surat 22: 45-46. Selanjutnya mengenai Alquran sebagai obyek pemahaman qalbu, dijelaskan dalam surat 47: 24. Alquran bagi qalbu tidak hanya sebagai obyek yang dipahami, tetapi juga menjadi obat bagi qalbu yang sakit. Dinyatakan dalam surat 10: 57. Alquran menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr. Dijelaskan dalam surat 38: 1 Alqurqn adalah menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr dan menurut Alquran qalbu akan tenang hanya dengan zikr. Dijelaskan dalam surat 13: 28.

Yang menjadi obyek qalbu adalah sejarah dan Alquran. Dalam sejarah terkandung peristiwa jatuh bangunnya bsuatu bangsa dan peristiwa-peristiwa tentang perubahan-perubahan yang mendasar, yang merubah wajah kehidupan manusia secara drastis. Sesungguhnya dibalik peristiwa-peristiwa sejarah itu, terkandung suatu hukum yang mengatur proses perubahan masyarakat. Hukumhukum itu berlaku pasti dan tidak berubah., dijelaskan dalam surat 35: 43. Sedangkan dalam memahami Alquran, seseorang kan memperoleh wawasan batin yang akan menuntunya ke jalan yang benar dan lurus. Alquran memberikan pedoman dan tuntunan moral bagi kehidupan manusia. Dijelaskan dalam surat 17: 9 Pikiran dan qalbu dalam pandangan tauhid adalah merupakan kesatuan mekanisme akal, keduanya merupakan sarana untuk 1

memahami kebenaran. Sebagai kesatuan antara keduanya sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang, pemisahan keduanya akan mengakibatkan seseorang tidak dapat memahami realitas secara utuh. Strategi pembentukan kebudayaan adalah didasarkan pada kesatuan pikiran dan qalbu dalam perbuatan. Pikiran bekerja untuk menyusun konsep, membuat rencana kerja dan merumuskan tujuan-tujuan atau hasil yang hendak dicapainya, sedangkan qalbu bekerja untuk memberikan wawasan batin, sehingga realitas kebudayaan itu tetap

berada dalam kerangka moral dan untuk tujuan-tujuan moral, sebagai manifestasi dari perpanjangan kuasa Ilahi. D. Hakekat Manusia Berbicara tentang hakekat manusia pada dasarnya membicarakan tentang pokok soal yang bersifat radikal, yaitu berusaha menemukan akar pengertian tentang manusia, yang mungkin saja melewati batasbatas pengertian yang hanya menekankan pada salah satu aspek kehidupannya, seperti yang terdapat dalam kajian berbagai disiplin ilmu, umpamanya antropologi, sosiologi, dan psikologi. Hakekat manusia adalah sesuatu yang amat vital yang menentukan kehidupannya di tengah kancah perubahan masyarakat. Dengan demikian, pencarian tentang hakekat manusia tidak bisa hanya terpaku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandang serba materi (materialisme) yang menetapkan materi sebagai unsur pokok yang menentukan kehuidupan manusia. Sebaliknya dalam pandangan serba ruh (spiritualisme) menetapkan rohaniah sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia. Pandangan yang melacak unsur pokok pada asal mula adanya manusia dapat mengakibatkan terbaikan aspek dinamik dalam realitas kehidupan.

Di samping itu, pencarian tentanh hakekat manusia tidaklah cukup hanya berhenti pada pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada dalam dirinya ataupun pada apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Hakekat manusia tidak tergantung oleh keadaan-keadaan dari luar, hal itu semata-mata tergantung pada nilai yang diberikannya pada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, perbedaan sosial, bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok. Satu-satunya persoalan adalah kecenderungan sikap yang terdalam pada jiwa, dan prinsip yang terdalam ini tidak dapat dihancurkan. Untuk itu diperlukan suatu sandaran pemikiran yang lebih mendasar, guna memahami dan menentukan hakekat manusia itu, suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih mendasar, suatu sandaran yang berada pada tingkat lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia. Sandaran yang lebih kuat dan jauh lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia itu, tidak lain adalah firmanfirman Tuhan (wahyu Ilahi). Sandaran wahyu ini kiranya sangat diperlukan, karena keterbatasan pemikiran manusia untuk memahami hakekat dirinya, mengingatkan manusia secara individual tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dirinya, ia lahir dari suatu proses yang berada di luar kekuasaan dirinya, ia adalah sebuah ciptaan belaka. Dengan sandaran kepada wahyu Ilahi yang tersurat dalam kitab suci dalam hal ini adalah Alquran, maka manusia diharapkan dapat memahami hakikat dirinya melalui petunjuk Tuhan yang menciptakannya. Pengetahuan yang paling lengkap dan benar tentang sebuah ciptaan adalah yang datang dari Penciptanya, karena dialah yang paling tahu tentang makna-makna dan keberadaan sebuah ciptaan. Alquran tentang Hakikat Manusia Alquran menegaskan bahwa yang dilihat pada manusia tidak lain hanyalah amal perbuatannya, atau pekerjaannya, dinyatakan dalam 1

surat 9: 195. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa apa yang dikerjakan manusia adalah yang menentukan eksistensinya, baik dihadapan Tuhan, Rasul-Nya maupun bagi orang-orang yang beriman. Pekerjaan atau tindakan manusia merupakan perwujudan sepenuhnya dari dirinya, mewakili citra dirinya dan menjadi ukuran untuk menilai dirinya. Alquran menyatakan dalam surat 39: 39-40. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan dalam kaitannya dengan realitas sosial, dimana dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat perbedaan tingkat kehidupan, yang tercermin dalam berbagai kedudukan sosial sesorang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Dalam kaitan ini, Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berbuat sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, ini berarti Alquran di samping mengakui adanya perbedaan tingkat kedudukan sosial seseorang, juga menyatakan bahwa setiap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat itu menuntut suatu kualitas perbuatan yang sesuai dengan kedudukannya. Pada ayat lain Alquran menyatakan dalam surat 17: 84. Ayat ini menjelaskan kaitannya perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan masyarakat terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kemampuan perempuan untuk melahirkan anak, atau oleh perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan kebudayaan, seperti seorang arsitek yang dapat merancang suatu konstruksi bangunan yang berbeda dengan seorang ekonom yang hanya mampu merancang suatu bidang kegiatan ekonomi. Anjuran Alquran untuk berbuat sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat mencelakakan diri sendiri. Seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya, bahkan nyaris jatuh total, dan hal ini sering disebabkan oleh ketidaktahuan atas kemampuannya atau memaksakan diri untuk

berbuat di luar kemampuannya. Selanjut nya Alquran mengatakan dalam surat 11:7. 18:17,30. 67: 2. Ayat ini sekali lagi menegaskan betapa pentingnya arti amal bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena kehidupan ini sesungguhnya menjadi kancah manusia diuji amal perbuatannya. Lulus tidaknya dalam ujian ini, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas amal perbuatannya. Selanjutnya Alquran menyatakan dalam surat 41: 40. Dalam hubungan dengan ujian terhadap amal perbuatan manusia, Alquran menegaskan adanya kebebasan untuk berbuat. Tanpa adanya kebebasan tentunya ujian terhadap amal perbuatan itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia pada hakikatnya manusia sendiri yang sepenuhnya menentukan, dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikitpun di dalamnya, karena jika ada campur tangan Tuhan dalam amal perbuatan manusia, maka tentunya amal perbuatan itu tidak hanya menjadi ujian bagi manusia itu sendiri. Di atas kebebasan itu, diletakkan tanggung jawab agar kebebasan itu tidak berarti kesewenang-wenangan atas amal perbuatan manusia, Alquran menyatakan dalam surat 24: 23-25. Bentuk pertanggung jawaban itu adalah balasan yang setimpal dan adil sesuai dengan kualitas amal perbuatan manusia, yang akan diberikan Tuhan kepada manusia yang diuji amal perbuatannya. Kebebasan itu tidaklah dapat dipisahkan dengan tanggung jawab, dengan kata lain kebebasan amal perbuatan manusia itu tidak dapat dipisahkan dengan nilai moral yang memberikan penghargaan tinggi terhadap adanya tanggung jawab, dinyatakan dalam surat 18: 110. Ayat ini menegaskan posisi Alquran yang berpihak untuk menegakkan hukum moral, sehingga Tuhan hanya dapat ditemui dengan sarana amal perbuatan yang baik. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya dapat dilakukan dengan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai moral.

Amal ialah al-fi-il artinya pekerjaan atau al-mihnah artinya pengabdian. Kadang-kadang dibedakan antara amal dan Itimal, amal dikatakan sebagai aktivitas yang tidak terkait dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan itimal adalah aktifitas yang terkait dengan kepentingan diri sendiri. Menurut Ibn Atsir jika kata amal yang berkedudukan sebagai fiil dibaca ammala maka bermakna walla artinya menguasai atau menjadikan sesuatu. Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi dikatakan bahwa apa yang disebut amal mempunyai dua bagian, yaitu 1) amal al-qalb yaitu pekerjaan qalbu, seperti berpikir, berkehendak dan membenci, dan 2) amal aljawarih, yaitu pekerjaan dari anggota tubuh manusia

bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fil alardhi). Pandangan tauhid Alquran dalam konsep antropologi adalah terletak dalam pandangannya atas kesatuan manusia dalam diri yang disebut Alquran dengan kata nafs, kesatuan diri dari unsur-unsur jasad, hayat, ruh. Kesatuan diri itu terjelma dalam amal perbuatan, amal perbuatan nyata yang merupakan wujud dari kesatuan kedudukan manusia sebagai hamba Allah (abd Allah) yang bertugas menciptakan kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fil al-ardhi). Manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah (abd Allah) adalah ketaatan dan kepatuhannya yang ikhlas atas perintah-perintah Allah, kepada hukum-hukum Allah yang mengatur semua ciptaan-Nya, yang menjadi sunnah Allah, dan ketulusannya beribadah kepada-Nya, yang secara formal diatur dalam kehidupan keagamaan. Sedangkan manifestasi amal perbuatan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Amal dalam kaitannya dengan kebudayaan adalah merupakan lapangan kegiatan yang amat luas. Hakikat manusia adalah amalnya, karyanya, dan dalam karyanya terjelam nilai-nilai kemanusiaannya. Manusia menampakkan dirinya secara nyata dalam karyanya, dalam wujud kebudayaan. Kebudayaan sebagai penjelmaan kesatuan eksistensi diri manusia hamba Allah (abd Allah) adalah karya nyata dari manusia sebagai kalifah Allah di muka bumi. Dalam karyanya, totalitas diri (jasad, hayat, dan ruh) manusia menyatu secara nyata dan dinamis. Melalui karyanya, kualitas kemanusiaan akan dilihat oleh Allah dan utusan-Nya serta orang-orang yang beriman dalam surat 9: 105. Hanya melalui karyanya yang baik, diri manusia akan dapat menemui Tuhannya dalam surat 18: 110.

yang nampak dalam gerak atau diam. Jadi, amal pada dasarnya dapat dipandang dari dua tahap yaitu tahap gagasan (pemikiran dan kesadaran) dan tahap gerak tubuh yang melahirkan tindakan konkrit dalam realitas kehidupan. Kesatuan dari gagasan dan tindakan dalam realitas kehidupan dapat dipandang sebagai proses pembentukan suatu kebudayaan. Pada tahap kesatuan gagasan dan aktualitasnya terdapat kaitaan dengan nilai etik. Oleh karena itu, tindakan yang tidak didasarkan pada kesadaran berpikir sesungguhnya tidak dapat dinilai secara etik. Dari ayat-ayat tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan Alquran, amal perbuatanlah yang menentukan arti hidup manusia, baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Pada amal perbuatan manusia inilah terletak hakikat manusia, bukan pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasadnya hayat, ruh. Amal dalam pandangan Alquran mempunyai arti yang amat luas, yang menyakut berbagai aspek kehidupan manusia di dunia ini dan bukan semata-mata kegiatan peribadatan formal seperti yang diatur dalam kehidupan keagamaan. Amal dalam hubungan ini adalah merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs) kesatuan jasad, hayat ruh, yang menjelma menjadi perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (abd Allah) yang

maka siapakah penguasa di balik iradah dan kemampuan insan yang terbatas ini. Pada tahap ini, bukan saja naluri yang bergolak tetapi otak dan logika mulai main untuk membentuk pengertian dan mengambil kesimpulan tentang adanya Tuhan. Demikianlah fitrah manusia bergolak mencari dan merindukan Tuhan, mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan sampai ke tingkat yang lebih tinggi berupa penggunaan akal. KONSEPSI TUHAN DALAM ISLAM Ketika seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah tanda tanya dalam hatinya sendiri tentang banyak hal, di dalam lubuk hati yang terdalam, memancar kecenderungan untuk ingin tahu berbagai rahasia yang masih merupakan misteri yang terselubung. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, dari mana saya ini, mengapa saya tiba-tiba ada, hendak kemana saya. Dari arus pertanyaan yang mengalir dalam bisikan lubuk yang terdalam, terdapat suatu cetusan yang mempertanyakan tentang Penguasa tertinggi alam raya ini yang harus dijawab. Ketika pandangan diarahkan ke lazuardi biru, maka hatipun bergetar, siapa yang menata langit dan membangunnya sedemikian kekar dan indah. Ketika malam kelam, langit dihiasi dengan cahaya bintang, mengalirlah perasaan romantis mengagumkan. Tetapi di balik kekaguman akan romantika itu, hati mencoba menelusuri siapa Dia yang menempatkan letak-letak bintang yang begitu permai, serasi dan memukau. Tatkala seseorang beranjak lebih dewasa dan mengenyam lebih banyak pengalaman, maka kecenderungan untuk ingin tahu itu lebih keras lagi. Nampak kian banyak misteri yang terselubung di balik kehidupan ini. Banyak keinginan tidak selamanya terpenuhi. Sebaliknya banyak kejadian yang mendadak tak diduga sebelumnya, Boleh jadi fitrah ini sekali-kali tertutup kabut kegelapan sehingga nampak manusia tidak mau tahu siapa penciptanya, namun kekuatan fitrah ini tidak dapat dihapuskan samasekali. Dia sewaktu-waktu muncul kepermukaan lautan kesadaran memanifestasikan kecenderungannya merindukan Tuhannya yang begitu lembut. Pengertian dan pemahaman manusia tentang Tuhan akan memberikan corak kepada perilaku dalam hidup beragama dan berbangsa. Kedangkalan dan kekeliruan dalam memahami konsep ketuhanan akan membawa akibat pula kepada kehidupan beragama dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengertian yang lebih mendasar, agar dapat dibedakan secara filosofis. Dalam ajaran Islam, pemahaman tentang Tuhan ini berawal dari pernyataan umat Islam tentang dua kalimah syahadat, yang pernah diungkap ketika seseorang menyatakan dirinya Islam. Karena itu, setiap umat Islam sangat perlu memahami dua kalimah syahadat secara filosofis, karena semua persoalan aktivitas kehidupan umat Islam tidak dapat dilepaskan dari dua kalimah Syahadat ini.. A. Makna Dua Kalimah Syahadat Dua kalimah syahadat merupakan pernyataan dasar seseorang untuk masuk ke dalam Islam. Dalam ajaran Islam, pernyataan ini diucapkan ketika seseorang sudah sampai masa baliq (kedewasaan) dengan tanda, bagi laki-laki apabila telah mengalami mimpi mengeluarkan 1

sperma (mani) dari kemaluannya, sedangkan bagi wanita apabila telah mengalami haid (cairan darah) dari kemaluannya. Menurut medis kedewasaan seseorang secara biologis diperkirakan, bagi lakilaki pada umur + antara 12 15 tahun dan bagi wanita + antara 9 13 tahun apabila dalam pertumbuhan biologis yang sehat. Ketika seseorang telah mengalami kedewasaan sebagaimana diungkap di atas, maka peran orang tua untuk mengajarkan dua

dipuja atau di sembah karena melebihi kekuatan alam dan menguasai aktivitas manusia) Dalam bahasa Arab, kata Tuhan dinyatakan dengan kata rabbun yang artinya pembimbing atau ilaahun yang artinya gerakan atau dorongan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tuhan diartikan sesuatu yang diyakini dipuja disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. kalimah syhadat tersebut, sebagai suatu pernyataan untuk menyatakan bahwa seseorang telah berada (masuk) dalam Islam. Ini bukan berarti bahwa sebelum seseorang itu dewasa tidak diajarkan dua kalimah syahadat tersebut, jika seseorang berasal dari keluarga Islam. Dua kalimah syahadat ini perlu dipahami oleh siapapun yang telah masuk dalam Islam, karena kalimah syahadat ini merupakan titik tolak awal dalam memahami Allah. Dalam memahami dua kalimah syahadat ini, tidak cukup hanya mengetahui arti dari kalimah tersebut tanpa menganalisanya lebih lanjut, ada beberapa pertanyaan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas dasar keyakinan seseorang. Pertama, mengapa kata illah dinyatakan di dalam kalimah syahadat tersebut? Kedua, mengapa kalimah syahadat itu tidak langsung saja menyatakan kata Allah? Ketiga Mengapa hanaya nama Rasul Muhammmad Saw saja yang dinyatakan dalam kalimah syahadat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian illah dalam dua kalimah syahadat ini, yang sering kata illah diterjemahakan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata Tuhan. 1. Pengertian Tentang Tuhan Dalam bahasa Inggris kata Tuhan disebut God, antara lain diartikan dengan the creator and ruller of the univers (pencipta dan penguasa alam semesta) atau any being regarded as or worshipped as happing power over nature and control over human affairs (sesuatu yang Kata Tuhan merupakan bahasa yang digunakan oleh bangsa Indonesia untuk mengungkapkan sesuatu yang diyakini dipuja dan disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. Asal usul kata Tuhan ini, hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti, dari mana kata tersebut berasal. Namun setiap bangsa Indonesia sudah dapat memahami apa yang dimaksud kata Tuhan tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah memberikan pengertian Tuhan (Al Ilah) ialah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri dihadapannya, takun dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah kita berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa Tuhan itu dapat berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Ini berarti bahwa sesuatu yang diyakini oleh manusia apapun bentuknya, jika menjadi suatu yang dipentingkan, maka telah menjadikan sesuatu itu Tuhan. Oleh karena itu, jika diambil suatu kesimpulan, maka tidak ada manusia di atas dunia ini yang tidak mempunyai Tuhan. Namun persepsi setiap manusia memungkin kan terjadinya tanggapan dan pandangan tentang Tuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tahap pemikirannya. 2. Prosees Pemahaman Tentang Tuhan 1

Dalam literature sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yang berarti suatu teori yang menyatakan adanya sebuah proses dari suatu keyakinan yang amat sederhana hingga meningkat menjadi lebih sempurna. Menurut teori Evolusionisme dalam proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan ini adalah sebagai berikut: 1. Dinamisme Kata dinamisme berasal dari kata dinamo, yang berarti bergerak atau bangkit. Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif, telah mengakui adanya suatu kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda itu mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan apa pula berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda-benda itu disebut dengan nama yang berbeda -beda pada setiap tempat, seperti mana dari yang lainnya, dianggap mempunyai Mana yang hebat. Contohnya, pohon-pohon yang besarnya melebihi pohon yang besar lainnya, maka pohon itu mempunyai Mana yang hebat pula. Orang yang usia, kekuatan dan keberaniannya luar biasa juga dianggap mempunyai Mana yang luar biasa. Benda-benda yang mempunyai Mana yang lebih dan yang lainnya disebut fetesy atau jimat (melanesia), Tuah (melayu), Syakti (India) dan Kami dalam bahasa Jepang.. Mana adalah kekuatan yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera dan oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun Mana itu tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya. Sesuatu yang mempunyai kekuatan dari yang lainnya, dianggap mempunyai Mana yang hebat. Contohnya, pohon-pohon yang besarnya melebihi pohon yang besar lainnya, maka pohon itu mempunyai Mana yang hebat pula. Orang yang usia, kekuatan dan keberaniannya luar biasa juga dianggap mempunyai Mana yang luar biasa. Benda-benda yang mempunyai Mana yang lebih dan yang lainnya disebut fetesy atau jimat.

Untuk memperoleh ketenangan hidup dan agar terhindar dari gangguan Mana yang lain yang membahayakan, manusia harus .berusaha mengumpulkan Mana sebanyak-banyaknya. Orng yang memliki Mana yang lebih dari orang lain, biasanya dijadikan tokoh, Dukun-dukun, tukang sihir dan sejenis dengannya, akan menjadi sanjungan dalam masyarakat rimitif. Dia akan dikunjungi oleh orang-orang untuk berobat, meminta advis dan minta bendabenda tertentu sebagai jimat. 2. Animisme Animisme berasal dari kata yang berarti jiwa dan roh. Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, apakah benda itu mati atau hidup, mempunyai roh (roh dalam uraian ini tidak sama dengan pengertian roh dalam Islam). Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang akatif sekalipun bendanya hidup, mempunyai rasa senang dan rasa tidk senang serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh itu akan senang apabila keutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan nya ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut haruslah diusahakan untuk memenuhi atau menyediakan kebutuhankebutuhannya. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh itu. Benda-benda yang ditakuti rohnya ialah benda yang dianggap mempunyai kekuatan atau Mana yang hebat. Jika menurut nasehat dukun, suatu roh harus mendapatkan perlakuan tertentu, kemudian seseorang tidak melaksanakannya, maka ia akan dihantui oleh perasaan was-was dan takut. Jika menurut dukun, roh A pada hari Jumat Kliwon, misalnya memerlukan sajian nasi kuning, maka seseorang tidak dapat membantah kecuali menurutinya. Jika dukun menasehati cukup dengan air putih, maka cukuplah dengan air putih saja. 1

Pada masyarakat primitif, roh nenek moyang, benda-benda, binatangbinatang dan pohon-pohon yang dipandang mempunyai roh, akan disanjung, dihormati dan disembah agar dapat menolong dan membantunya. Ikatan manusia dengan hal-hal tersebut di atas

Sedangkan dalam agama Hindu trimurti adalah Brhama, Syiwa, dan Wisnu. Di samping trimurti, dikenal pula adanya konsep tritunggal (trinitas) pada agama kristen yang diartikan Tuhan itu ialah Allah baik lahir maupun batinnya amat kuat. Itulah sebabnya pada masayarakat ini terjadi penyembahan-penyembahan terhadap patung, pohon besar, binatang tertentu, laut apai dan lain-lain. 3. Politteisme Kepercayaan yang disebut dinamisme yang sebenarnya bersamaan dengan kepercayaan animisme, lama-lama dinyatakan tidak memberi kepuasan, mengingat terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan pujaan mereka. Roh yang lebih dari yang lain itu kemudian disebut dewa. Dewa itu mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya. Nama atau sebutan dewa-dewa tersebut berbeda-beda pada masing-masing bangsa. Dewa cahaya, di Babilonia disebut Syam, di Mesir disebut Ra dan di dalam agama Weda disebut dewa Indra, sementara di Jerman disebut Thor atau Donnar. Dalam kepercayaan semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat. Lambat laun, dianggap hanya ada satu dewa yang mempunyai kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada dibawahnya tetap mempunyai pengaruh. Pada agama weda misalnya, ada tiga, dewa Indra, dewa Mitra dan dewa Worouna yang masing-masing membidangi alam, cahaya dan ketertiban alam. Ketiga dewa tersebut membawahi dewa lainnya seperti Ani (api), Soma ( minuman), Pertiwi (bumi) dan lain sebagainya. Kepercayaan terhadap tiga dewa senior tersebut dikenal dengan istilah trimurti (tiga sembahan). Bapak, Yesus dan Roh Kudus. Ketiga Tuhan itu adalah satu jua adanya. 4. Henoteisme Perkembangan dari politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendikiawan dari satu masyarakat. Oleh karena itu, dari dewa-dewa yang diakui, diadakan seleksi karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Mesti ada satu yang melebihi yang lainnya. Di dalam agama Yunani kuno misalnya, dewa Zeus sudah tentu lebih dimuliakan dari dewa-dewa dibahwanya. Dalam proses waktu, kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih defenitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui ada satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun masih mengakui Tuhan (ilah) dari bangsa lain. Bangsa Yahudi yang ada di Mesi, meskipun telah mengakui Elohim sebagai Tuhannya, namun masih mengakui Ra sebagai Dewa bangsa Mesir. Kepercayaan semacam ini yaitu satu Tuhan untuk satu Bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional). 5. Monoteisme Mernurut teori evolusi perkembangan terakhir dari proses pemahaman ketuhanan ini adalah monoteisme. Kata mono dalam bahasa Yunani diartikan satu, dan teisme dalam bahasaYunani disebut Theus diartikan Tuhan. Jadi monoteisme dapat diberi pengertian keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Ada bermacam-macam bentuk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut :

Monoteisme Praktis adalah suatu keyakinan yang tidak mengingkari dewa-dewa lain, tapi hanya satu Tuhan saja yang diarah dan dipuja. Monoteisme Spekulatif adalah suastu keyakinan yang terbentuk karena bermacam-macam gambaran Dewa-dewa lebur menjadi satu gambaran, yang akhirnya dianggap sebagai satu-satunya Dewa. Monoteisme Teoritis adalah suatu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tapi dalam prakteknya lebih dari satu Tuhan Monoteisme Murni adalah suatu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa baik dalam jumlah, sifat dan perbuatan. Tuhan memiliki sifat satu-satunya, tidak ada duanya. Tiap sifat yang ditemukan pada alam, bukan sifat Tuhan. Tiap bentuk dan rupa yang ditemukandalam alam (termasuk dalam alamimajinasi pikiran manusia), bukan bentuk dan rupa Tuhan

manusia (huddal lin-nas) dalam surat 2: 185 dan berbagai julukan lain yang senanda di dalam ayat-ayat yang lain. Perkataan Allah adalah nama Tuhan yang sesungguhnya, lebih dari 2500 kali disebutkan di dalam Alquran (Tidak terhitung dengan kata ar-Rabb, ar-Rahman). Dalam bahasa Alquran kata Tuhan disebut ilah, kata ilah diungkap dalam Alquran sebanyak 113 kali dalam bentuk tunggal (ilaahun), dalm bentuk ganda (munthanna, ilaahaini) dan dalam bentuk banyak atau jamak (aalihatun). dengan rincian: 80 kali disebutilaha, ilahin, ilahun dalam surat 2:133,163,255. 3:2,6,18,18. 4:87. 6: 102,106. 7:158. 9:31,129. 10:90. 11:14. 13:30. 16:2. 20:8, 14, 98. 21:25,87. 23:116. 27:26. 28:70,88. 35:3 37:35. 39:6. 40:3,62. 59:22,23. 64:13. 73:9. 3:62. 5:73. 7:59,65,73,85. 11:50,61,84. 23:23,32, 91,91. 28:38,38. 38:65. 40:37. 114:3. 2:163. 4:171. 5:73. 6:19,46. 14:52. 16: 22,51. 18:110. 20:88. 21:29, 108 22:34. 27:60,61 ,62,63, 64. 28:71,72. 41:6. 43:84,84, 52:43. - 2 kali dinyatakan ilahahu, dalam surat 25:43. 45:23 - 2 kali disebut ilahaka,ilahikadalam surat 2:133. 20:97 - 10 kali diungkap ilahakum, ilahukum dalam surat 37:4. 2:163. 16:22. 18:110. 20:88,98. 21:108. 22:43 29:46. 41: - 16 kali disebut ilahan dalam surat 2:133. 7:138, 140. 9:31. 15:96. 17:22,39. 18:14. 23:117. 25:68. 26:29,213. 28:88. 38:5. 50:26. 51:51. 2 kali disebut ilahiyin dalam surat 5:116. 16:51 1 kali disebut ilahuna dalam surat 29: 46 Ungkap ayat-ayat Alquran di atas, memberikan pengertian bahwa kata Tuhan atau ilah mempunyai arti yang beraneka-ragam. Ada yang bersifat fisik (Raja, penguasa, dan yang lain-lain yang 1

Monoteisme murni jika di-Indonesiakan dapat disebut dengan Keesaan Tuhan. Islam mengistilahakannya dengan Tauhid (mengesakan). Tuhan Yang Maha Esa itu tidak mungkin ditemukan oleh pikiran manusia, hanya mungkin dihayati dengan hati. Satusatunya yang menganut monoteisme murni diantara filsafat dan agama-agama di dunia sekarang, hanyalah Islam. Islam menyakini Monoteisme murni bukan produk pikiran atau hasil perkembangan pikiran, tapi adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Esa sendiri melalui Utusan-Nya. Dengan demikian ujud keyakinan seperti ini sangant berlawanan dengan teori ilmu. 3. Tuhan dalam Al Quran Menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema-tema Pokok Alquran menyatakan bahwa Alquran adalah sebuah dokumen untuk ummat manusia. Bahkan kitab ini sendiri menamakan dirinya petunjuk bagi

dipatuhi dan dipuja) dan ada yang bersifat abstrak (hawa nafsu, kepentingan pribadi yang dipatuhi dan dipuja).

Suatu yang dilema bagi bahasa Indonesia untuk menyatakan suatu keyakinannya menyebut nama Tuhan, karena tidak ada kata lain yang tepat untuk meyatakan keyakinan kepada Sang Pencipta, namun konotasi yang dimaksudkan sudah dapat dipahami bahwa arti kata Tuhan itu adalah sebagaimana yang diungkap dalam kamus Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang diyakini dipuji disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. Sementara Bahasa Alquran sangat membedakan kata ilah dengan kata Allah. Karena itu kata ilah ini diungkap dalam Alquran untuk menunjuk kan sesuatu keyakinan yang salah, yang berlawan dengan suatu keyakinan yang benar, Sebagaimana diungkap perbedaan tersebut dalam surat 45:23. Yang diterjemahkan sebagai berikut : Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya (keinginan-keinginan) sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan Ilmu-Nya dan dalam surat 25:43, diungkap dengan nada yang sama Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Alquran membedakan keyakinan manusia menggunakan kata ilah, karena konotasi kata ilah membawa suatu keyakinan yang salah, sedangkan keyakianan dengan menggunakan kata Allah, adalah suatu keyakinan yang benar karena Allah memberikan namaNya sendiri adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat 3:62. 38:65. 47:19. diterjemahkan sebagai berikut : Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

Katakanlah (ya Muhammad): Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan, dan sekali-kalitidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah Yang Maha Esa dan Maha mengalakan. Maka Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mumin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu. Alquran memberitahukan pula bahwa ajaran tentang Allah diberikan juga kepada para Rasul sebelum Muhammad, dinyatakan dalam surat 11:84. 5:72 dan Allah menyatakan diriNya sendiri itu adalah Esa, dikemukan dalam surat 29:46. 20:98. 38:4, dan Allah menyatakan diriNya tidak dapat dilihat dengan mata diungkap dalam surat 6:103. Alquran menyatakan nama Allah dengan kata ilahu wahid, dan ilahukum ilahu wahid, ilahan wahidan (Tuhan Yang Satu, Tuhan kamu Tuhan Yang Satu, Tuhan Yang Satu) - Kata ilahu wahid dalam surat 2:163. 4:171. 5:73. 6:19. 14:52. 16:22,51. 18:110. 21:108. 22: 34. 41:6. - Kata ilahukum ilahu wahid dalam surat 37:4. 2:163. 16:22. 18:110. 21:108. 22:43. 29:46. 41:6 - Kata ilahan wahidan dalam surat 2:133. 9:31. 38:5. Permasalahan muncul dalam kehidupan beragama adalah dalam memberi pengertian nama Allah diartikan sama dengan kata Tuhan dalam bahasa Indonesia, sementara kata ilah diartikan juga dengan kata Tuhan dalam bahasa Indonesia atau bahasa lain. Disinilah letak kekuatiran umat Islam selama ini dalam menggunakan kata Tuhan untuk nama Allah. Karena konotasi kata Tuhan sebagaimana telah diungkap di atas, dalam pengertian Alquran mempunyai arti yang beraneka-ragam. Dengan mengemukan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut informasi Alquran bahwa sebutan yang benar bagi Tuhan yang 1

sesungguhnya adalah sebutan ALLAH, dan kemahaesaan Allah tidak melalui suatu teori evolusi melainkan wahyu yang dating dari Allah sendiri. Ini berarti jika wahyu Allah itu diturunkan sejak Rasul Adam, maka konsep tauhid itu telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi ini. Esa menurut Alquran adalah esa yang benar benar esa, yang tidak berasal dari bagian-bagian dan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian. Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap gerak dan tindakan dan ucapannya. Konsep kalimat La ilaaha illah Allah yang bersumber dari Alquran memang pentunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal ini dapat kelihatan dalam sikap dan praktek menjalani kehidupan, maka perlu dipertegas dengan suatu pemahaman terhadap dua kalimah syahadat itu sendiri. 4 . Makna Kalimah Syahadat dalam Realitas Kehidupan Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata makna dinyatakan dengan kata maksud atau arti. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan kata makna adalah arti dari suatu pemahaman dengan sudut pandang Islam dan pendekatan filosofis dari kalimat syahadat yang dikaitkan dengan realitas kehidupan manusia. Kalimat Syahadat di atas, untuk mendapatkan asuatu makna diperlukan suatu analisa, agar dapat dipahami dengan jelas makna yang tepat. Dari kalimat syahadat tersebut ada dua hal yang sangat perlu dipertanyakan, mengapa kata (ILLAH) termasuk dalam kalimah syahadat dan mengapa hanya nama nabi Muhammad SAW saja yang termasuk dalam kalimat tesebut.

Jika kalimat syahadat diterjemahkan maka artinya sebagai berikut aku bersaksi/menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammmad adalah utusan Allah. Terjemahan tersebut sangat popular didengar, namun jika dipahami secara mendasar maka kalimat tersebut merupakan kalimat penolakan dan sekaligus kalimat penerimaan, dengan pengertian bahwa kita menolak sesuatu yang tidak kita inginkan dan kita menerima sesuatu yang kita inginkan. Persoalannya sedikit rumit karena kita berbicara masuk dalam wilayah keyakinan. Kata (LA) dalam kalimat syahadat, jika dianalisa dalam bahasa Arab disebut LA NAHIYAH DAN LA NAFIYAH, artinya jangan sekalikali dan tidak ada sama sekali kedua pengertian ini dapat digunakan dalam memahami ungkapan dua kalimah syahadat tersebut. Kata (ILAH) dalam kalimat syahadat diartikan sebagai Tuhan, didalam bahasa Al Quran maupun bahasa Arab pengertian (ILAH) diartikan sesuatu yang diyakini selain Allah. Namun dalam bahasa Indonesia kata Tuhan, jika dianalisa secara semantic mempunyai arti yang berabeka ragam, tidak semua manusia mempunyai persepsi yang sama. Disinilah letak persoalannya mengapa setiap manusia mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dari analisa pengertian diatas dari sudut pandang lkeyakinan Islam, mka kalimat (LA ILAHA ILA ALLAH) dapat diarti sebagai berikutjangan sekalikali mengakui ada Tuhan kecuali Allah dan atau tidak ada sama sekali mengakui Tuhan kecuali Allah. Jika pengertian yang dimaksud demikian, maka sebagai seorang muslim yang telah menyatakan ungkapan tersebut, berarti tidak ada lagi di dalam dirinya untuk mengakui sesuatu kekuatan kecuali Allah. Namun dalam realitas kehidupan sebagai seorang muslim, pengakuan seperti diungkap tersebut belum menjadi sebuah komitmen, baru hanya dibibir. Penomena ini dapat dilihat dalam keseharian kita.

Jika dipahami dari pendekatan filosofis, ketika seseorang telah menyatakan kalimat (LA ILLA ILA ALLAH) ini berarti pengakuan seseorang muslim terhadap dirinya bahwa tidak ada lagi Tuhan di 1

dalam dirinya, yang ada hanya ALLAH, namun bukan berarti bahwa di luar dirinya, Tuhan tidak ada atau hilang. Dengan pengertian lain, jika kita mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di dalam diri kita, bukan berarti sesuatu itu tidak ada di luar diri kita. Inilah yang dimaksudkan kalimat (LA ILAHA ILA ALLAH), dalam pemahaman sesorang muslim. Suatu pertanyaan untuk memperjelas analisa dalam memahami Kalimat Syahadat tersebut adalah mengapa kata ILLA ini termasuk dalam kalimat Syahadat? Pertanyaan mengapa dalam pendekatan keilmuan memerlukan jawaban yang menggunakan landasan dan argumentasi yang jelas. Landasan pertama adalah Al Quran dalam surat 109: 1-6 dan 2: 256, serta 10: 99 yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Katakanlah!: Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pula akan menyembah apa yang aku sembah, aku bukan penyembah apa yang kalian sembah, kalian bukan pula penyembah apa yang aku sembah, untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku pula Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab jelas jalan yang benar dari jalan yang salah, Barang siapa yang ingkar kepada thaqut, hanya yang beriman kepada Allah, berate ia berpegang kepada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah maha mendengar dan Mengetahui Dan kalaulah Tuhanmu menghendaki, tentulah akan beriman semua orang yang ada dimuka bumi ini seluruhnya, Apakah kamu hendak memaksa orang supaya mereka beriman semuanya Landasan kedua Hadist Rasullah SAW yang diterjemahkan sebagai berikut :

Setiap anak yang dilahirkan membawa fitrahnya, apakah bapaknya Yahudi ataukah nasrani ataukah majuzi (hadist diriwayatkan oleh Buchari dan Muslim). Dari landasan di atas, ada dua hal yang paling dasar yang perlu dipahami : 1. Allah memberitahukan kepada manusia bahwa ada Tuhan lain selain Allah yang akan dipahami oleh manusia 2. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih yang terbaik buat manusia Dalam realitas kehidupan bahwa keanekaragaman yang ada bukan diciptakan oleh manusia justru Allah yang menghendaki. Kenyataan ini tidak dapat diingkari oleh manusia apapun bentuknya, oleh karena itu perbedaan, kebebasan atau kemerdekaan adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada setiap manusia. Perbedaan, kebebasan atau kemerdekaan dalam segala hal kehidupan yang diberikan Allah kepada manusia, merupakan sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, namun Allah menghendaki perbedaan, kebebasan atau kemerdekaaan yang memiliki nilai-nilai kemanusia. Dalam arti bahwa perbedaaan, kebebasan atau kemerdekaaan yang mengindahkan aturan tata karma yang telah disepakati dalam kehidupan manusia walaupun tidak tertulis. Perbedaan tersebut bukan perbedaan dalam arti fisik, karena perbedaaan dalam bentuk ini merupakan kodrat yang memang sudah berbeda. Perbedaan dalam bentuk ini semua manusia telah sepakat mengakui, namun perbedaaan dalam psikologis belum tentu dapat diakui oleh semua manusia, seperti perbedaaan pandangan, pendapat dan berpikir serta perbedaan dalam memilih agama. Al Quran mengajarkan kepada manusia untuk memberikan penyadaran bahwa 1

perbedaan itu harus diakui adanya, dan bukan diartikan suatu permusuhan.

1. Pengertian Penciptaan Penciptaan adalah suatu proses mewujudkan gagasan dalam kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa terlibat dalam proses penciptaan , antara lain menciptakan gedung-gedung yang berlomba makin tinggi seakan-akan ingin mecakar langit, membangun jalan layang untuk mengatasi kemacetan karena semakin banyaknya kenderaan-kenderaan yang harus diproduksi, menciptakan konsep-konsep pembangunan yang baru sesuai dengan perubahan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia, dan seterusnya. Manusia selalu ingin yang baru, menggantikan yang lama, yang dirasa sudah usang. Keinginan memasuki pengalaman yang baru atau kebaruan, telah mendorong manusia untuk memasuki medan penciptaan yang tak pernah mandek, dan dengan kemampuan kreatifnya ia menjelajahi bahkan menghadirkan bayangan hari depan ke kekinian. Analisis literer menunjukkan bahwa kata penciptaan mengandung beberapa bagian atau komponen yaitu adanya pencipta atau pelaku penciptaan, adanya bahan atau material yang dipakai, cara atau metodae penciptaan, transformasi dan model khusus dari hasil akhir atau penggunaannya. Proses penciptaan bermula dari adanya pencipta yang memikirkan sesuatu hal. Sesuatu hal itu difikirkan menjadi suatu konsep berupa gugusan ide yang meliputi bentuk atau model, konstruksi, ukuran kekuatan atau kapasitas serta tujuan atau hasil yang ingin dicapainya. Setelah konsep itu jelas, dengan kekuatan tenaga yang dimiliki, kemudian proses penciptaan itu dimulai dalam ruang dan waktu tertentu, dengan menggunakan bahan tertentu pula sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan, maka jadilah suatu wujud baru, bentuk baru dari sesuatu yang sebelum tidak ada.

Konsepsi Penciptaan Alam Semesta 1

Nyatalah bahwa dalam kehidupan ini, tidak ada sesuatu yang terjadi dengan sendirinya atau kebetulan. Kualitas suatu kejadian atau produk sepenuhnya ditentukan oleh kualitas penciptanya. Oleh karena itu, kualitas ciptaan manusia jauh lebih rendah daripada 1

ciptaan Tuhan. Dalam setiap ciptaan Tuhan terdapat di dalamnya mekanisme control yang bekerja secara otomatis untuk memperbaiki atau menggantikan kerusakan yang terjadi. Sebaliknya dalam ciptaan manusia tidak terdapat di dalamnya mekanisme control yang bekerja secara otomatis, untuk melakukan perbaikan atau penggantian sesuatu yang rusak. Akibatnya manusia harus selalu awas terhadap hasil ciptaannya, mengontrolnya terus-menerus agar tidk mencelakakan dirinya, karena kelalian akan fatal akibatnya. Kenyataan tidak adanya mekanisme control bagi ciptaan manusia menyebabkan adanya ketergantungan yang penuh kepadanya, dab akibatnya akan sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Jika moralitas manusia rendah, maka ilmu dan teknologi srta wujud kebudayaan lainnya sebagainya produk manusia, tidak mustahil akan mengakibatkan bencana, karena digunakan bukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Demikian juga sebaliknya, jika moralitas manusia kuat, maka ilmu dan teknologi akan meyemaikan harapan dan kesejahteraaan bagi kehidupan bersama. Dengan demikian, penciptaan bagi manusia merupakan tanggung jawab moral. Dalam setiap upaya penciptaan selalu terkandung di dalamnya tujuan. Penciptaan yang mempunyai tujuan-tujuan yang bertentangan dengan moralitas atau kemanusian pada hakekatnya merupakan upaya penghancuran, penghancuran terhadap eksistensi manusia sendiri.Sebaliknya, penciptaan yang didasarkan moralitas dan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan pada hakikatnya adalah upaya peneguhan, peneguhan eksistensi manusia. Eksistensi manusia makin teguh oleh aktivitas penciptaannya. Sesungguhnya penciptaan adalah suatu aktivitas yang sangat menentukan bagi adanya eksistensi. Eksistensi Tuhan sepenuhnya melekat pada penciptaaan, karenanya dalam ciptaan Tuhan termuat eksistensi dari Tuhan. Kesempurnaan dan keteraturan srta keseimbangan yang terkandung dalam ciptaaan Tuhan adalah merupakan wujud kesempurnaan Tuhan.

Penciptaan bagi manusia adalah aktivitas yang menentukan eksistensinya di dunia ini. Kemampuan penciptaan yang dimilikinya merupakan anugrah Tuhan yang paling berharga bagi kehidupannya. Tantang dan perubahan yang terus-menerus terjadi dalam kehidupannya mengharuskan manusia memberikan jawaban dan jawaban itu sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari kemampuannya menciptakan, menciptakan sesuatu dri sesuatu yang ada mendahuluinya. 2. Penciptaan Dalam Al-Quran Dalam al-Quran dinyatakan bahwa Allahlah yang Pencipta semua yang ada ini. - Allah adalah al-Khaliq. Al-Quran mengatakan dalam surat arRad (13:16) : Katakanlah:Siapakah Tuhan langit dan bumi? Jawabnya Allah. Katakanlah: Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindung dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri? Katakanlah: Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap-gulita dan terang-benderang, apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaanNya sehingga kedua ciptaaan itu serupa menurut pandangan mereka? Katakanlah: Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. - Penciptaan semua yang ada ini langit dan bumi seisinya menurut al-Quran berlangsung dalam waktu tertentu. Al-Quran mengatakan dalam surat al-Araf ayat 54, dan dapat dilihat juga dalam surat 10 :3, 11: 7, 25: 59, 32: 4, 57:4, 50: 38.

- Penciptaan itu bermula dari air. Al-Quran mengatakan dalam surat 21: 30, 11: 7, dan dapat dilihat juga dalam surat 41: 11-12. - Penciptaan itu tidaklah sia-sia, tanpa manfaat ataupun makna. Penciptaan itu sama sekali bukan main-main. Al-Quran mengatakan dalam surat 21: 16, dan dapat dilihat juga dalam surat 44: 38-39. - Bagi manusia, penciptaan semua itu hendaknya menjadikan ia ingat terhadap kekuasaan Allah dan tunduk pada hukum-hukumNya. Al-Quran menyatakan dalam surat 10: 3. - Selanjutnya al-Quran menegaskan bahwa dalam penciptaan semua yang ada itu, terdapat ayat-ayat yaitu tanda-tanda kebesaran Allah, yang hendaknya menjadi bahan renungan dan pemikiran manusia. Al-Quran menyatakan dalam surat 2: 164. Pengungkapan Al quran tentang Penciptaan Alam Semesta dalam bentuk kata : 1. KHALIQ - Kata khaliq ini sebanyak 13 kali yang tersebar dalam 9 surat. 11: 7, 10 : 3, 25: 59, 32: 4, 57:4, 50: 38. 41: 9,10,11,12. 65:12. 51:47. 21:30. 2. BAD Kata Bad ini sebanyak 4 kali dalam 4 surat, 2 : 117, 6:101, 46:9. 57: 27. 3. FATHIR Kata Fathir ini 20 kali dalam 17 sura. 6:14,79. 11:51. 12:101. 14:10. 17:51. 20:72. 21:56. 30:30. 35:1. 36:22 .39:46. 42:11. 43:27

3 Proses Penciptaan Alam Semesta Membicarakan proses penciptaan alam semesta, bukan berarti Allah menciptakan sesuatu berhadapan hadapan satu dengan yang lainnya , seperti manusia melakukan suatu perbuatan. Jangan dibayangkan seperti itu, sulit bagi manusia untuk memahami manakala kita masih meletakan posisi serperti apa yang dilakukan oleh manusia. Al Quran memberikan informasi tentang bagaimana alam ini diciptakan dalam surat 11 : 7 dengan arti : Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah Arsy-Nya di atas (al-ma) air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekkah) sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati, niscaya orang-orangyang kafir itu akan berkata ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata - Ayat ini yang senada dengan ayat tersebut diatas 7 : 54,. 10 : 3, 25: 59, 32: 4, 57:4, 50: 38. 41: 9,10,11,12. 65:12. 51:47. 21:30. Dari ayat-ayat di atas ini, pernyataan senada tentang proses penciptaan alam semesta. Terjemahan yang diungkap tentang kalimat Wahuwal lazi khalaqas samawati wal ardhi fi sittati ayyam wa kana arsy alal ma diartikan dalam terjemahan al Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enan masa dan arsy Nya di atas air.

Semetara itu dalam pengertian lain kalimat Wahuwal lazi khalaqas samawati wal ardhi fi sittati ayyam wa kana arsy alal ma diartikan atau diterjemahakan Dan Dialah yang menciptakan ruang alam (al sama) dan materi (al ardhi) dalam enan masa dan arsy Nya di atas al ma.

Yang dimaksud dengan pengertian arsy adalah singgasana atau kekuasaan yang dimiliki Allah, berada di atas al ma. Dalam terjemahan yang dipahami selama ini al ma ini diartikan dengan kata air, sementara dalam bahasa ilmu pengetahuan alam atau fisika, kimia kata al ma diartikan sop kosmos atau zat alir. Kata al-sama, yang lazim diartikan dengan kata langit harus dipahami sebagai ruang alam yang di dalamnya terdapat galaksigalaksi, bintang-bintang dan lainnya. Hal ini untuk menghidari konsep yang keliru tentang pengertian langit yang dipahami sebagai bola super raksasa yang mewadahi seluruh ruang alam. Sedangkan kata al-ardh yang biasa diartikan dengan kata bumi di sini lebih tepat dipahami dengan materi, yaitu bakal bumi, yang sudah ada sesaat setelah Allah menciptakan jagat raya.. Karena menurut penelitian ilmuwan, bumi baru terbentuk sekitar 4,5 miliyar tahun yang lalu di sekitar matahari, dan tanah di bumi kita ini baru terjadi sekitar 3 miliyar tahun yang lalu sebagai kerak di atas magma. Demikian pula dengan al ma lebih tepat diartikan dengan zat alir atau sop kosmos ketimbang dengan kata air. Sementara air terdiri dari atom oksigen dan atom-atom hydrogen dalam fase penciptaan alam belum dapat berbentuk dan isi alam ketika itu merupakan radiasi dan materi yang ada pada suhu yang sangat tinggi itu wujudnya lain daripada air yang ada sekarang ini. Dari informasi tentang ayat-ayat proses penciptaan alam semesta tersebut ada tiga bentuk kata yang erat kaitannya dengan proses penciptaan alam tersebut adalah kahlq, bad, dan fathr, tidak ditemukan redaksi ayat dengan penjelasan yang tegas. Apakah alam semesta ini diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketidakadaan. Jadi ketiga bentuk kata itu hanya menjelaskan bahwa Allah Pencipta alam semesta tanpa menyebutkan dari ada atau tiada. Kemudian proses berikutnya, seperti yang digambarkan dalam surat al-biya/20:30, ruang alam (al-sama) dan materi (al-ardh) sebelum dipisahkan Allah adalah sesuatu yang padu. Jadi alam semesta ketika

itu merupakan satu kumpulan . kata kunci yang mengarahkan untuk disimpulkan demikian, ialah kata ratq dan fatq. Kata ratq menunjukkan alam semesta pada awal penciptaannya. Sedangkan kata fatq menunjukkan pula tentang proses penciptaannya lebih lanjut. Perlu dipertanyakan, bagaimana bentuk kesatuan sesuatu yang padu (ratq) itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, memang dirasakan amat sulit, karena al Quran tidak memberikan petunjuk-petunjuk ke arah itu. Kesimpulan sementara hanya dapat dikatakan bahwa sebelum terjadi ruang alam (al-sama) dan materi (al-ardh) seperti sekarang, alam semesta merupakan satu kesatuan yang bersifat padu. Rangkaian proses berikutnya, setelah terjadi pemisahan oleh Allah alam semesta mengalami proses transisi fase membentuk dukhan. Hal ini diperoleh dari pernyataan surat Fushshilat 41:11 yang berbunyi artinya : Kemudian Allah menuju penciptaan ruang alam (al-sama), yang ketika itu penuh embunan Kata Dukhan dalam al Quran hanya ditemukan dua kali. Memuatnya satu kali dalam surat Fushshilat 41:11 dan satu lagi dalam surat aldukhan/ 44 :10. Akan tetapi kata dukhan yang terdapat dalam surat dukhan, tidak berbicara tentang proses penciptaan alam semesta seperti dalam surat Fushshilat. Sehubungan dengan tidak adanya al Quran menjelaskan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kata Dukhan, karena itu beberapa referensi berusaha menafsirkan kata ini. Bucaille memahami kata ini sebagai asap yang terdiri dari stratum ( lapisan) gas dengan berbagai-bagai yang kecil yang mungkin memasuki tahap keadaan keras atau cair dan dalam suhu rendah atau tinggi. Ibn Kasir menafsirkan dengan sejenis uap air. Ada juga yang melukiskan kehalusan dan keringan sifat dukhan.

Supaya tidak terjadi kekeliruan dalam menangkap maksud kata dukhan yang dihunbungakan dengan proses penciptaan alam semesta, maka seharusnya kata ini dipahami dengan hasil temuan sains yang telah terandalkan kebenarannya secara emperis. Agar tidak menjadi suatu kesalahan bagi yang mengatakan bahwa ruang alam (al-sama) berasal dari materi sejenis dukhan. Bukan pulah menunjukkan materi asal dari ruang alam (al-sama) akan tetapi ia menjelaskan tentang bentuk alam semesta ketika berlangsung fase awal penciptaannya. Hal ini perkuat dengan hasil temuan ilmuwan bahwa pada suatu ketika dalam penciptaan terjadnya ekspansi yang sdangat cepat sehingga timbul kondensasi di mana energi berubah menjadi materi. Sebagaimana dukhan al quran juga menunjukkan bahwa zat alir atau sop kosmos (al-ma) telah ada sebagai salah satu konisi terwujudnya alam semesta. Dengan kata lain, sebelum alam semesta terbentuk sekarang ia mengalami bentuk atau sifat semacam zat alir atau sop kosmos. Jadi, seperti yang telah disinggu sebelumnya, pembicaraan al-ma (zat alir) dalam surat Hud/ 11:7 erat kaitanya dengan proses penciptaan alam semesta, sedang surat albaiya/21:30 menjelaskan al-ma (air) sangat dibutuhkan dalam kehidupan atau dari air diciptakan sekalian makhluk hidup. Surat al biya ini diperkuat dalam surat al- Nur/ 24:45 bahwa Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kata al-ma dalam al quran dapat diartikan sebagai zat alir secara umum . zat ini mempunyai wujud yang berbeda ketika alam semesta dalam proses penciptaan, dan ia juga merupakan syarat mutlak untuk terjadinya kehidupan. Kemudian daoam al quran berturut-turut disebut bahwa alam semesta diciptakan selama enam masa (tahap) atau priode. Secara

global dalam surat hud/ 11:7, 32:4, 41:9-12, 10:3, 7:54, 25:59, 50:38, 57:4,. Enam tahap tau priode tersebut bukanlah menunjukkan uruturutandalam penciptaan al-sama (ruang alam) dan al-ardh (materi) serta lainnya, tetapi ia harus dipandang sebagai tahapan atau priode penciptaan alam semesta secara keseluruhan dalam waktu yang sama. Kata yaum dengan jamaknya ayyam (tahapan atau priode) dalam al quran bukanlah dimaksud batasan waktu antara terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari seperti hari di bumi. Menurut kalam arab dan kebanyakan ayat-ayat al quran, kata ini dipakaikan kepada suatu masa atau periode (juzmin al-zaman) yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatnya secara pasti kecuali Allah.. Jika diterjemahkan satu hari sama dengan hari dunia sekarang ini tentu tidak logis dan ia juga bertentasngan dengan ayat-ayat al quran yang lain. Yang dimaksudkan tidak logis adalah satu hari yang dimasudkan dalam al quran tidak sama dengan satu hari yang dirasakan oleh manusia saat sekarang sebagaimana yang diungkap oleh al quran dalam surat 22 : 47, 32, 5, 70 :4 Dan mereka meminta kepada mu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Allah adalah seribu tahun dari tahuntahun yang kamu hitung(22:47) Dia mengatur urusan dari langit (ruang alam) ke bumi (materi) kemudian urusan itu naik kepada-NYa dalam saatu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitungan mu(32:5)

Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (70:4) Dalam ayat-ayat di atas dikatakan satu hari sama kadarnya dengan seribu tahun dan lima puluh ribu tahun menurut perhitungan hari di bumi. Jadi kata seribu dan lima puluh ribu tahun menunjukkan betapa panjangnya waktu itu dan ini merupakan pernyataan simbolik, yang 1

diungkap oleh Allah. Hal ini dapat dibukti ketika seorang yang telah pulang pergi ke orbit bulan tinggal berapa lama di orbit bulan , mereka mengatakan hanya sebentar saja. Adapun proses penciptaan alam semesta selanjutnya, yaitu Allah melengkapinya dengan menciptakan hokum-hukum tertentu, yang disebut dengan sunnahtullah. Hal ini dipahami dari percakapan simbolik antara Allah di satu pihak dan ruang alam ( al-sama) dan materi (al-ardh) di pihak lain. Penafsiran ini ditopang sejumlah ayat seperti 17:77, 33:62, 35:43, 48:23, 36: 38-40, 6:96. Hasil penelitian ayat-ayat ini seutuhnya menunjukkan bahwa hokum-hukum alamyang telah ditetapkan Allah tersebut tidak akan pernah berubah dan menyimpang. Alam semesta tunduk kepada hokum-hukum rangan Allah tersebut. Dengan istilah lain, gerakan dan edaran ruang alam(al-sama) dan materi (al-ardh) serasi dan sejalan, tidak saling bertentangan, ibarat tubuh yang satu. Demikianlah proses penciptaan alam semesta yang dirangkai dari isyarat-isyarat yang disinyalkan al quran. Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa proses penciptaan alam semesta sebagai hasil bacaan terhadap kitab alam dapat dilihat dari hasil observasi sains kealaman. Tidak cukup dengan ungkapan ayat-ayat yang ada di dalam al quran tanpa ada tinjauan dari ilmu pengetahuan yang bersifat kealaman. Dalam kejadian penciptaan itu, alam semesta seisinya, terdapat di dalamnya tanda-tanda kebesaran Allah, yang menjadi obyek pemikiran manusia. Melalui pemikiran terhadap alam sekitar itu, manusia memperoleh kesadaran pengetahuan untuk menyusun konsep-konsep dan berusaha mewujudkan konsep-konsep itu dalam realitas kehidupan masyarakat untuk mencapai kemakmuran bersama. Dan realitas semua usaha manusia untuk mengatasi persoalan yang dihadapi sebagai upaya untuk meningkatkan kehidupannya adalah kebudayaan.

Dalam hubungan ini, penciptaan alam semesta seisinya tidaklah siasia, bahkan merupakan dasar bagi upaya pembentukan kebudayaan. Dari hubungan dengan alam yang ada di sekitar hidup manusia itu, manusia menempuh proses belajar, dan pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar memahami alam sekitar selanjutnya tumbuh berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tingkat intelektual. Olaeh karena itu, realitas kebudayaan sepenuhnya dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembangan intelektual. Sebagai khalifatullah di muka bumi, manusia mengolah dan membentuk apa yang ada dalam alam semesta ini, menjadi bentuk baru berupa alam kebudayaaan. Dalam proses pembentukan itu manusia harus selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran yang terkandung dalam penciptaan alam dan ingat atas batas-batas wewenang yang diterimanya dari Allah sebagai khalifatullah, sehingga manusia bisa mendapatkan manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia bersama.

AL-QURAN, SUNNAH RASUL DAN IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM A. SISTEMATIKA SUMBER AJARAN ISLAM Berpedoman dari surat an-Nisa ayat 59, para ahli sepakat bahwa sumber ajaran Islam yang utama ialah : 1

1. al-Quran 2. as-Sunnah Kesepakatan ini diperkokoh dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: Aku tinggalkan pada kalian dua pedoman hidup, yang siapa berpegang kepadanya selamatlah dia. Pedoman itu ialah Kitabullah dan Sunnahku. Dalam kesempatan lain, ketika Muaz bin Jabal akan berangkat ke Yaman sebagai Duta, Nabi bertanya kepada Muaz: Hai Muaz, jika umat bertanya padamu tentang sesuatu masalah, dalil apa yang engkau gunakan? Maka Muaz menjawab: dengan al-Quran Nabi bertanya:Jika tidak terdapat dalam al-Quran, bagaimana? Maka Muaz menjawab:dengan sunnahmu Nabi bertanya:Jika tak ada dalam sunnahku dan al-Quran? Maka Muaz menjawab: dengan ijithadku Berpedoman pada Sunnah Rasul ini, maka para ahli hukum Islam (Ahli fiqih) menambah sumber ajaran Islam yang ketiga yaitu Ijtihad. Dengan tiga ajaran Islam ini, terutama ijtihad memberi kesempatan bagi ulama-ulama zaman klasik untuk membuat Islam berkembang secara pesat, baik dari segi populasinya maupun dari aspek perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan /teknolgi, sampai memasuki priode abad XIII Masehi. Namun memasuki abad XIV Masehi, gejala kemunduran mulai tampak. Hal ini disebabkan sumber utama al-Quran dan sunnah mulai kurang mendapat analisis, sementara ijtihadnya lebih menonjol. Dampaknya mentalitas umat melemah dan ketahanan umat turut ambruk. Ketika bangsa Tartar dari Cina menyerbu Bagdad, aparat kerajaan dan umat tak siap menghadapinya, yang berakhir jatuhnya kekahalifahan Abbasiyah di Timur Tengah, sedang bersamaan dengan itu pula bangsa Eropa menyerbu Cordoba yang menjadi pusat

kerajaan Islam di Barat, yang berhasil merontokkan sisa kekhalifahan Bani Umaiyah di belahan Barat. Suasana itu membuat para ahli fiqih periode berikutnya berfikir ulang tentang penggunaan ijtihad. Persyaratan ijithad dipersulit, sehingga orang tak berani lagi untuk berijtihad. Dikukuhkanlah sebagai sumber ajaran Islam berikutnya. Selain al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu : 3. Ijma ulama, yaitu kesepakatan para ulama tentang suatu masalah 4. Qiyas, yaitu dlil yang diambil berdsarkan kasus yang hampir sama/mirip dengan asbabul nuzul (kasus yang menyebabkan turunnya ayat al-Quran) atau asbabul wurud (kasus yang meyebabkan keluarnya Sunnah Rasul) Selain sumber yang empat itu, ada sumber lain yang tidak menjadi kesepakatan par ulama, seperti istihsan yaitu mengambil dalil dari berbagai macam ide pemecahan yang ada lalu dipilih yang terbaik. Di samping itu ada maslahat mursalah yaitu mengambil dalil dengan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ijma, qiyas, istihsan dan maslahat mursalah dan lainnya, sebenarnya merupakan penjabaran dari ijtihad. Tetapi karena dipersulitnya persyaratan ijitihad, orang tak berani lagi berijtihad dan semua persoalan yang tak ditemukan pemecahannya dari ayatal-Quran atau Sunnah Rasul, orang lalu bertanya kepada ulama. Pengetahuan ulama yang sangat terbatas, memberi dampak lahirnya

faham dikotomi, yaitu pemilahan urusan dunia dan urusan agama. Urusan agama ditanyakan pada ulama, sedang masalah ilmu pengetahuan, teknologi politik dan kemasyarakatan menjadi bahasan para pakar. Akibatnya ulama dengan ajaran Islamnya terpojok pada satu sudut yang sempit, sementara bidang ilmu pengetahuan dn teknologi dianggap bukan kajian Islam.

B. AYAT-AYAT AL-QURAN YANG QATHI DAN ZHANNI DALLALAH DN KEDUDUKANNYA SEBAGAI SUMBER HUKUM 1. Ayat-ayat al-Quran dari Segi Sumbernya Ayat-ayat al-Quran bila ditinjau dari segi datangnya dn dinukilnya dari Rasul SAW kepada kita semuanya adlah pasti (qathi). Artinya dapat dipastikan bahwa setiap ayat yang dibaca adalah hakekat nash al-Quran yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan disampaikan oleh Rasul SAW kepada umatnya tanpa perubahan atau penggantian. Ketika turun kepadanya sebauh surat, atau suatu ayat kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, dibacakan kepada mereka, dan ditulis oleh juru tulis wahyunya. Bahkan di antara sahabatnya ada yang menulisnya untuk dirinya sendiri. Di antara mereka banyak yang menghafal dan membacanya pada setiap waktu. Pada waktu Rasul SAW wafat, ayat al-Quran telah ditadwinkan (dibukukan) menurut kebiasaan pentadwinan orang Arab. Ayat-ayat tersebut juga telah dihafal oleh sebagian besar umat Islam. Abu Bakar al-Shidiq telah mengumpulkan al-Quran dengan perantaraan Zaid bin Tsabit dan sebagian sahabat yang dikenal hafalannya. Penulisannya menurut pentadwinan tersebut dan dihimpun satu sama lain menurut urutan yang pernah dibacakan oleh Rasul SAW kepadanya dan kepada para sahabat pada masa hidupnya. Himpunan ini, termasuk apa yang dihafal oleh para Huffaz, menjadi tempat kembali umat Islam dalam menerima al-Quran dan meriwayatkannya. Pemeliharaan himpunan ini telah dilakukan oleh Abu Bakar pada masa hidupnya dan pada masa Umar, himpunan ini ditulis ulang 4 kitab dan aslinya ditinggalkan kepada anak perempuannya, yaitu Hafshah, ummil muminin. Ketika Utsman menjadi khalifah, himpunan al-Quran diambil dari Hafshah dan dinaskahkan dengan perantaraan Zaid bin Tsabit. Dengan dibantu beberapa tokoh besar Muhajirin dan Anshor, naskah ditulis menjadi beberapa naskah dan dikirm ke berbagai kota umat

Islam. Dengan demikian Abu Bakar telah memelihara hasil pentadwinan ayat al-Quran, sehingga tidak sedikitpun ada yang hilang. Sedang Utsman menyatukan umat Islam pada suatu himpunan dari hasil pentadwinan tersebut dan menyebar luaskan pada umat Islam, sehingga terdapat dalam al-Quran adalah benar bersumber dari Allah. Aspek-aspek tersebut akan lebih meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah masyarakat yang relatif mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia, atau Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup ditengah-tengah kaum yang oleh beliau sendiri dilukiskan sebagai Kami adalah masyarakat yang ummi. Aspek yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, aspek keindahan dan ketelitian redaksinya. Tidak mudah menguraikan hal ini, khususnya bagi yang tidak memahami dan memiliki rasa bahasa Araby, karena keindahan diperoleh melalui perasaan dan bukan melalui nalar. Namun demikian ada satu dua hal yang berkaitan dengan al-Quran yang dapat membantu pemahaman aspek pertama ini. Seperti diketahui, sering kali al-Quran turun secara spontan, untuk menjawab pertanyaan atau mengontari peristiwa, misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakekat Ruh. Pertanyaan ini dijawab secara langsung dan tentunya spontanitas tersebut tidak memberi peluang untuk berfikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah apalagi teliti. Namun demikian setelah al-Quran diturunkan dan dilakukan analisis tentangredaksi-redaksinya, ditemukan hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbanagan yang sangat serasi antara kata kata yang digunakannya dengan maknanya. Diantara keseimbanagan tersebut, yang dapat disimpulkan secara sangat singkat adalah sebagai berikut : a. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan anatominya. 1

Al-hayah (hidup) dan al-Mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali, Al-nafu (menfaat) dan al-madhararah (mudarat), masingmasing seanyak 50 kali, Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyiat (keburukan), masingmasing sebanyak 167 kali.

ayat 38, dan ats Tsur ayat 34. Apabila ad suatu kalam yang tidak mungkin manusia mendatangkan tandingannya, serta manusia gagal dalam menghadapi tantangan tersebut sepanjang sejarah, maka hal tersebut membuktikan bahwa kalam tersebut berasal dari Allah. Segala sesuatu yang bersumber dari Allah tidak mungkin ada yang mampu menghadapi tantangannya. J. Sarwar dalam bukunya Muhammad the Holy Prophet menceritakan kehidupan Lubaid ibnu Rabiah, seorang yang terkenal karena kepekaan kata-katanya, kefasihan lidahnya, dan kekuatan syairnya. Pada waktu Lubaid mendengar Nabi Muhammad SAW melancarkan tantang tersebut terhadap masyarakatnya, Lubaid membuat beberapa buah syair untuk menjawab tantangan yang didengarnya. Kemudian syair itu digantungkan di pintu Kabah, suatu keistimewaan yang tidak di dapat kecuali oleh sekelompok kecil penyair terkenal bangsa Arab. Pada waktu salah seorang kaum muslimin melihat hal yang diperbuat Lubaid dan bangkitlah semangat kehormatannya. Dia menulis beberapa ayat al-Quran, kemudian digantungkan di samping syairnya Lubaid. Pada hari berikutnya Lubaid lewat pintu Kabah dan pada waktu itu dia belum masuk Islam. Dia begitu terpesona oleh ayat-ayat tersebut, sehingga ia berteriak dengan kerasnya: demi Allah, ini bukan kata-kata manusia dan saya termasuk orang yang menyerahkan diri. Akhirnya pada tahun 9 H, Lubaid masuk Islam.

b. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya. Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati jiwanya), masingmasing sebanyak 17 kali, Al-Quran, al-Wahyu, dan al-Islam (al-Quran,Wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali, Aaqal dan an-nur (akal dan cahaya), masing-masing sebanyak 46 kali.

Kedua, adanya tantangan yang tegas yang diajukan al-Quran kepada seluruh umat manusia sejak abad ke 7, khususnya terhadap setiap manusia yang mengingkari kerisalahan al-Quran. Dengan kalimat yang tegas, al-Quran menyatakan dalam surat al-Isra ayat 88 : Katalah: sesungguhnya jika manusia dn jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. Dan dalam surat al-Baqarah ayat 23: Dan jika kamu tetap dlam keraguan tentang al-Quran yang kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu surat saja yang semisal al-Quran itu dan ajaklah penolong-penolong selain Allah, jika kamu memang benar. Tantang yang dikemukakan al-Quran terhadap manusia yang ragu akan kebenarnnya terdapat juga dalam surat Hud ayat 13-14, unus

Dalam sejarah banyak contoh-contoh lain tentang orang-orang yang berusaha untuk menjawab tantangan ini, tetapi mereka gagal dalam usahanya. Diantaranya ialah: Musallamah al Kadzab, Thulailah bin Khuwalid al Asdi, An Nadhr bin ar Rawandi, Abul Thayyib al Mutanabbi, dan Abul Ala al Maari. Merupakan hal yang tidak diragukan lagi, bahwa bangsa Arab yang dalam sejarah dikenal tidak ada bandingannya dalam kebalighan dan ilmu bayannya, ternyata terpaksa tunduk terhadap al-Quran dan mengakui secara jujur ketidak mampuan mereka untuk membuat suatu karya yang 1

menyamai al-Quran walau satu ayatpun. Hal ini merupakan kebenaran al-Quran sebagai wahyu Allah. Ketiga, adalah pemberitaan gaibnya, misalnya kisah Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 yang menyatakan : Badan Firaun akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut. Tidak seorangpun mengetahui haltersebut, karena hal itu terjadi sekitar 1200 tahun S.M. Pada tahun 1896 ahli purbakala yang bernama Loret menemukan mumi di lembah Raja-raja Luxor Mesir. Berdasarkan data-data sejarah terbukti bahwa mumi tersebut adalah Firaun yang bernama Maniptah dan pernah mengajar Nabi Musa A.S Pada tanggal 8 juli 1908 Elliot Smith mendapat izin dari pemerintahan Mesir untuk membuka pembalut mumi tersebut. Pada saat itu ditemukan satu jasad utuh, seperti yang diberitakan al-Quran melalui Nabi yang Ummiy. Setiap orang yang berkunjung ke Meseum Kairo, akan dapat melihat mumi Firaun tersebut. Ramalan selanjutnya yang termuat dalam al-Quran adalah pernyatan tentang kekalahan pasukan Romawi oleh pasukan Persia yang terdapat dalam surat Rum ayat 1-6. Pada waktu terjadi peperangan antara Persia dan Romawi, pada suku bangsa di pusat ibu kota jazirah Arab, yaitu Mekkah, terjadi pula peristiwa serupa. Di kota tersebut terdapat orang-orang majusi Persia, penyembah matahari dan apai, dn orang Romawi yang beriman kepada al-Masih, serta nabi-nabi dan wahyu Allah. Orang-orang Islam dan orang-orang Romawi mengharapkan kekalahan orang kapir Mekkah dan orang Persia, sebab mereka penyembah benda-benda materi. Dengan demikian pertarungan yang terjadi antara orang Persia dan Romawi, menjadi lambang pertarungan yang terjadi antara orng Islam dengan orang musyrikin Mekkah. Pada waktu Persia berhasil mengalahakan Romawi pada tahun 616 dan berhasil menguasai seluruh wilayah sebelah timur negara Romawi, orang-orang musyrikin mendapat kesempatan untuk

menghina kaum Muslimin dengan mengatakan:Saudara kami berhasil mengalahkan saudaramu. Demikian pula yang akan kami lakukan kepadamu, jika kamu tidak mau mengikuti kami dan meninggalkan agama yang baru. Dalam keadaan yang menyakitkan itu, kaum Muslimin di Mekkah sedang dalam kondisi yang paling lemah dan paling buruk dalam segi materi, kemudian turun firman Allah surat Rum ayat 1-6 ini. Beberapa tahun kemudian, Heraklius dari Romawi membuat suatu rencana untuk mengalahkan Persia. Heraklius tahu bahwa kekuatan angkatan laut Persia lemah. Oleh karena itu dia menyiapkan kapal-kapal untuk menyerang Persia dari belakang. Menghadapi serangan yang mendadak, psukan Persia tidak mampu bertahan dan lari bercerai-berai. Setelah menang dalam dua peperangan yaitu Armenia dan Asia Kecil, Heraklius melakukan peperangan yang lain melawan Persia pada tahun 623, 624 dan 625. Akibat peperangan tersebut, pasukan Persia menarik diri dari seluruh tanah Romawi dan Heraklius berada pada pusat yang memungkinkan untuk menembus ke jantung kekaisaran Persia. Akhirnya perng yang terakhir terjadi pada bulan Desember 627 di sepanjang sungai Dajah. Dalam situasiyang demikian buruk, Persia tidak mungkin dapat melanjutkan peperangan melawan Romawi. Oleh karena itu akhirnya Kavadh II putera Kisra Chorous meminta damai dan mengusulkan pengnduran diri pasukan Persia dari tanah Romawi. Pada bulan maret tahun 628 M, Heraklius kembali ke Konstatinopel dengan pesta-pesta besar-besaran. Dengan demikian benarlah apa yang diramalkan al-Quran tentang kemenangan Romawi. Keempat, isyarat-isyarat ilmiahnya. Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam al-Quran misalnya tentang penciptaan alam raya. Al-Quran menyajikan suatu inti landsan tentang kejadian dan terciptanya alam raya. Dinyatakan dalam surat al-Anbiyaa ayat 30:

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya adalahsuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dalam surat Fussilat ayat 11: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih berupa gas, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datang lah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan sesuka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab: Kami datang dengan suka hati. Kalau dipelajari teori Gamow tentang terciptanya alam raya, nampaknya ada persamaan dengan kedua ayat tersebut di atas. Teori Gamow menyatakan bahwa alam raya ini merupakan satu kesatuan yang volumenya sangat kecil sekali. Karena adanya kepadatan massa yang tinggi, maka terjadi ledakan yang maha dahsyat. Hal ini menyebabkan massa yang ada terurai menjadi bagian-bagian yang paling elementer, yakni proton dan elektron. Bagian-bagian inilah yang selanjutnya sangat berperan dalam pembentukan zat-zat kimia yang lain. Kecenderungan ini didorong oleh adanya temperatur yang sangat tinggi yang timbul sebagai akibat adanya kepadatan yang luar biasa sebelumnya. Sebenarnya letak persesuaian antara teori Gamow dengan al-Quran bukan hanya di situ saja. Gamow menyatakan bahwa ledakan tersebut terjadi segera setelah massa tersebut tersumbat. Al-Quran dalam hal ini menyebutkan dengan kalimat kata fa di awal kata tersebut, sebagaimana penggunaannya dalam bahasa Arab, berarti kemudian. Akan tetapi berbeda dengan kata tsumma yang juga berarti kemudian. Kata fa menunjukkan keberuntutan peristiwa secara langsung. Sedangkan kata tsumma menunjukkan keberuntutan peristiwa, tetapi ada selang waktu untuk menuju ke peristiwa selanjutnya. Dengan demikian, ledakan yang terjadi menutut al-Quran adalah langsung setelah terjadinya penempatan massa yang sangat tinggi.

Tujuh tahun kemudian (1929), seorang ilmiawan astrofisika Amerika Serikat bernama Edwin B. Hubble, berdasarkan pengmatannya terhadap galaksi-galaksi di alam raya ini berekspansi (berkembang) menurut model matematika seperti apa yang ditemukan Einstein dan Friedman. Dengan demikian Hublle telah membuktikan bahwa alam raya benar-benar berkembang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hasil penemuan para ilmiawan di atas membawa keharuan pada diri umat Islam, sebab hasil penemuan itu membuktikan kebesaran alQuran sebagai wahy Allah. Al-Quran memang telah menyatakan bahwa alam raya ini terus menerus berkembang, sebagaimana yang dinyatakan dalam surat adz Dzariyat ayat 47: Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami, dan sesngguhnya Kami telah meluaskannya. Ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa di antara semua bendabenda di alam raya terjadi gaya tarik menarik, sehingga dengan berkembangnya alam raya berakibat tercapainya keseimbangan di antara seluruh benda-benda di alam raya. Dengan kata lain, menciptakan hukum keseimbangan di antara benda-benda tersebut, sehingga kestabilan orbit akan tetap terpelihara dan sekaligus meniadakan tumbukan di antara benda-benda di alam raya. Menurut Newton, kondisi ini tercapai karena adanya keharmonisan antara gerak revolusi dengan gaya tarik menarik di antara benda-benda atau planet-planet di alam raya.

Dalam hal ini al-Quran telah jauh mendahului penemuan Newton. Al-Quran yang diturunkan pada abad ke 7 telah mengungkapkan dalam surat ar-Rahman ayat 7 bahwa Allah meluaskan alam raya bukan sia-sia, tetapi untuk menciptakan keseimbangan di antara benda-benda angkasa, sehingga tidak terjadi saling tumbuk antara yang satu dengan yang lainnya. Semua aspek tersebut menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan al-Quran adalah benarbenar bersumber dari Allah. Dengan demikian manusia yakin serta secara tulus mau mengamalkan petunjuk-petunjukNya. Hanya 1

sayang, para peneliti alam jaga raya ini pada umumnya adalah orangorang non Islam, sementara umat Islam sampai saat ini masih sangat kurang minatnya untuk meneliti. 2. Ayat-ayat Al-Quran dari segi Penunjukkan (Dalalah) Ayat-ayat al-Quran bila ditinjau dari aspek dalalahnya atas hukumhukum yang dikandungnya, dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Ayat-ayat qothI dalalahnya atau yang muhkam b. Ayat-ayat Zhonni dalalahnya atau yang mutasyabih Ada dua macam dalalah tersebut dijelaskan Allah dalam surat Ali Imran ayat 7. Ayat-ayat QathI dalalahnya ialah ayat yang menunjukkan pada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima tawil dan tidak ada tempat bagi pemahaman arti yang lain itu, seperti firman Allah dalam surat anNisa ayat 12 : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Ayat ini penunjuknya pasti, artinya bagian suami dalam keadaan tidak punya anak adalah seperdua, tidak lebih dan tidak kurang. Serta seperti firman Allah dalam soal menindak laki-laki dan perempuan yang berzina dalam surat an-Nur ayat 2: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera. Ayat ini penunjuknya pasti juga, artinya had zina adalah seratus kali dera, tidak lebih dan tidak kurang. Ayat-ayat al-Quran yang disampaikan dalam bentuk yang muhkam, penunjukkannya terhadap hukum adalah pasti (qathi dalalah). Tidak mungkin dipahami dari maksud yang lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang berbeda-beda. Hukum yang ditunjuk secara pasti berlaku universal dan tidak mengalami perubahan walaupun waktu dan tempat sudah berubah.

Penunjukkan yang pasti berlaku dalam bidang akidah seperti keesaaan Allah dan ibadah pokok seperti keharusan shalat, serta dalam hal baik dan buruk yang tidak akan mengalami perubahan seperti keharusan berbuat baik kepada orang tua. Ayat-ayat yang Zhonni dalalahnya ialah ayat yang menunjukkan pada makna yang memungkinkan ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asal (lugowi) kepada makna yang lain. Adanya kemungkinan berbagai pemahaman dapat disebabkan oleh dua hal: pertama, lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama, misalnya lafaz quru dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Lafaz quru dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid. Sedang nash menunjukkan bahwa wanita-wanita yang ditalak menahan diri atau menunggu tiga kali quru. Oleh karena itu ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Hal ini berarti tidak pasti dalalahnya pada satu makna dari dua makna tersebut. Oleh karena itu para mujtahidin berselisih pendapat apakah iddah wanita yang ditalak tiga kali haid atau tiga kali suci. Penjelasan yang bersifat Zhonni umumnya berlaku dalam bidang muamalat dalam arti luas, yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. Karena kehidupan masyarakat selalu berkembang, maka penerapan hukum akan mengalami perubahan. Dalam bidang inilah berlaku kaidah: Perubahan hukum berdasarkan perubahan waktu dan tempat dan berlaku pula padanya reformulasi bila keadaan menghendaki, misalnya poligami pada suatu waktu dan tempat dinyatakan boleh bahkan harus, serta pada waktu dan tempat lain dapat dinyatakan dilarang. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa masalah qathI dn zhonni bermuara pada sejumlah argumentasi yang maknanya 1

disepakati oleh ulama (mujmaalyah), sehingga tidak mungkin lagi timbul makna yang lain kecuali makna yang telah disepakati. C. Kualitas Sunnah Rasul / Hadist. Dikalangan umat Islam, kata Sunnah Rasul kurang populer dibanding dengan hadist, padahal nabi menyebutkan kata Sunnahku. Dilihat dari sudut bahasa, keduanya mempunyai arti yang sama. Sunnah Rasul ialah apa yang diperbuat, atau dikatakan atau sikap yang ditunjukkan oleh Rasul tentang sesuatu hal atau masalah. Sunnah ini dapat kita kenal melalaui ucapan para sahabat yang dicatat oleh generasi tabiit-tabiin yang dipelopori oleh Buchari dan Muslim. Sedang hadist ialah ucapan para sahabat tentang apa yang diperbuat atau dikatakan atau sikap yang ditunjukkan oleh Rasul tentang sesuatu hal atau masalah. Hadist ini juga dikenal melalui catatan yang diangkat oleh para tabiit-tabiin. Perbedaannya terletak pada rangkaian peristiwa untuk menilai apakah ungkapan tentang apa yang diperbuat, dikatakan atau sikap Rasul itu bernilai sunnah atau hadist, dapat dianalisa dari apakah ungkapan itu ada rantaian peristiwa atau ungkapan lepas. Jika ada rangkaian peristiwanya (yang dlam istilah ilmu hadist asbabul wurud), maka ungkapan itu dapat disebut sebagai sunnah Rasul. Tetapi jika ungkapan itu merupakan kalimat lepas, maka ia disebut hadist. Oleh karena itu sunnah Rasul lebih banyak dapat diikuti dari bukubuku tentang kisah kehidupan Rasul. Sedangkan hadist dapat dipelajari dari kitab-kitab hadist yang telah disusun oleh para ulama hadist yang dipelopori oleh Buchari dan Muslim. Namun harus dicermati bahwa dalam kitab-kitab hadist itu juga terdapat ungkapan tentang Rsul yang bersifat ungkapan lepas atau yang ada untaian peristiwanya. Disinilah diperlukan ketelitian dn kejelian. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sunnah Rasul lebih tinggi kualitasnya dibanding dengan hadist. Bagi para ahli hadist,

pembahasan tentang kualitas hadist, digolongkan sebagai hadist maqbul dan mardud. Yang dimaksud dengan hadist maqbul menurut bahasa adalah yang diterima. Yang dimaksud dengan hadist mardud menurut bahasa adalah yang ditolak atau yang tidak diterima. Dengan demikian hadist maqbul adalah hadist yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujjah (sumber hukum) atau dalil, yakni dapat dijadikan pedoman dan panduan pengamalan syariat, dapat dijadikan alat istinbath (penetapan) dan bayan (penjelasan) terhadap al-Quran. Sedangkan hadist mardud adalah hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah. Berpedoman pada jumlah perawi, hadist terbagi pada 2 macam, yaitu Hadist mutawatir dan hadist ahad. Hadist mutawatir tergolong sebagai hadist yang maqbul, sedang hadist ahad ada yang maqbul dan ada yang mardud. a. Hadist mutawatir, yaitu hadist yang didasarkan pada pancaindra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut adat, bersepakat untuk mengabarkan berita itu dengan dusta. Syarat hadist mutawatir adalah sebagai berikut :

1) Pemberitaan hadist yang disampaikan oleh para perawi harus berdasarkan tanggapan pancaindra, baik indra penglihatan maupun pendengaran. Apabila pemberitaan itu hasil pemikiran semta-mata atau hasil rangkuman analisis dari suatu peristiwa ke peristiwa yang lain, atau hasil istinbath dari satu dalil lain, maka berita tersebut bukanlah hadist mutawatir. 2) Banyaknya perawi sampai pada jumlah beberapa orang, yang menurut adat, mustahil mereka bermufakat dusta. Jumlah perawi adalah relatif dan tidak ada batas tertentu. Yang dipersyaratkan 1

3) adalah adanya kesan bahwa pada pemberitaan tersebut, dari segi jumlah pemberitaannya, tidak mungkin bersepakat dusta. Menurut Abu Thayib 4 orang, Ash-hab al SyafiI 5 orang dan ulama lain 20 orang atau 40 orang. 4) Adanya keseimbangan jumlah perawi di awal sanad, di pertengahan dan selanjutnyanya dalam bilangan mutawatir. Para ulama dan seluruh umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadist mutawatir memberi faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk diterima bulat-bulat, hingga membawa pada keyakinan yang qathi. Hadist mutawatir derajatnyasangat tinggi, hampir seimbang dengan al-Quran dalam hal qathI wurudnya. Hadist mutawatir dengan syarat di atas sulit ditemukan. Bahkan ada ulama yang mengatakan, bahwa hadist mutawatir lafzhi hampir tidak ada. Bila ada ulama berpendapat, bahwa terdapat hadist mutawatir, maka hal itu karena menggunkan syarat yang tidak maksimal seperti di atas dan tidak berdasarkan jumlah perari pada sanad yang eksplisit pada kitab-kitab hadist, namun menggunkan informasi dan qarinah lain, bahwa jumlah sumber beritanya mutawatir. Hadist mutawatir tidak diteliti lagi keadilan dankualitas perawi, karena jumlah perawi sudah menjadi jaminan tidak adanya persepakatan dusta. Hadist mutawatir tidak menjadi obyek pembicaraan ilmu hadist dari segi maqbul dan mardud. Pembicaraan kualitas hadist berlaku di lingkungan hadist ahad. b. Hadist Ahad, adalah hadist yang para perawinya tidak sampai pada jumlah perawi hadist mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir, dan tidak sampai derajat mutawatir. Hadist ahad terbagi menjadi : (a) Hadist Shahih, (b) Hadist Hasan dan (c) Hadist Dhaif. Hadist Shahih dan Hadist Hasan nilainya maqbul sedangkan Hadist Dhaif nilainya mardud.

1. Hadist Shahih, adalah hadist yang diriwatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak berilat, dan tidak janggal, Menurut pengertian di atas, suatu hadist dinilai shahih apabila memenuhi syarat : - Perawinya bersifat adil - Perawinya sempurna ingatan atau kedhabithan - Sanadnya bersambung - Matannya marfu(bahasanya halus) - Tidak ada illat atau cacat - Tidak janggal 2. Hadist Hasan, adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan. Hadist Hasan hampir sama dengan Hadist Shahih. Perbedaanya hanya dalam soal kedhabithan perawi. Hadist Shahih perawinya sempurna ingatannya, sedang Hadist Hasan perawinya tidak sempurna ingatannya. 3. Hadist Dhaif, adalah hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadist Shahih dan Hadist Hasan. Hadist Dhaif bermacam-macam dan kedhaifannya bertingkat-tingkat, tergantung dari jumlah keguguran syarat Hadist Shahih dan Hadist Hasan, baik mengenai perawi, sanad maupun matannya. Para ulama sepakat, bahwa hadist dhaif tidak boleh digunakan sebagai dalil dalam menentukan hokum. Namun demikian mereka berbeda pendpat tentang penggunaannya dalam fadhailulamal (keutamaan-keutamaan amal) baik yang berhubungan dengan targhib (memberi dorongan untuk melakukan yang baik) maupun tarhib (menimbulkan rasa benci terhadap perbuatan jelek). Imam Buchari dan Imam Muslim sependapat untuk tidak menggunakan hadist dhaif dlam bidang apapun, termasuk dalam masalah fardhailulamal. 1

Mereka berpendapat demikian karena lebih aman dari kemungkinan seseorang menghubungkan sesuatu perkataan atau perbuatan kepada Nabi SAW, padahal Nabi tidak mengatakan atau melaksanakannya. Hal itu mengakibatkan terkena ancaman masuk neraka, karena berdusta kepada Nabi SAW, sebagaimana sabdanya: Barangsiapa menceritakan sesuatu hal dariku, padahal ia tahu bahwa itu bukan ucapanku, maka orang itu termasuk golongan pendusta (riwayat Buchari dan Muslim). Dalam sebuah hadist yang mutawatir Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang berdusta atas namuku dengan sengaja, maka hendaklah menyediakan tempat duduknya dari apai neraka. Imam Nawawi sebagai ahli hadist dan ahli fiqih berbeda pendapat dengan Imam Buchari dan Muslim, karena ia membolehkan menggunakan hadist dhaif dalam fardhuilul amal, selama hadist itu bukan hadist maudhu(palsu). Ada catatan khusus dari Imam nawawi, yakni penggunaan hadist dhaif hanya boleh untuk menerangkan keutamaan amal yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadist lain yang shahih atau setidak-tidaknya Hadist Hasan. Imam Ibnu Hajar berpendapat sama dengan Imam Nawawi dan beberapa orang ahli hadist dan fiqih, hanya beliau menetapkan beberapa persyaratan, antara lain : 1) Kedhaifan hadist itu tidak terlalu jelek, seperti perawinya bukan orang yang suka dusta, dituduh dusta, atau sering keliru dalam meriwayatkan hadist. 2) Keutamaan perbuatan yang dijeskan hadist dhaif sudah tercakup dalam keterangan atau adil lain baik al-Quran maupun hadist, yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatn yang sama sekali tidak memiliki dasar. 3) Tatkala menggunakan hadist dhaif tidak boleh meyakinkan bahwa perbuatan itu pernah dilaksanakan atau dikatakan oleh Rasulullah SAW, supaya terhindar dari menghubungkan

sesuatu perbuatan atau perkataan Rasulullah yang tidak dilakukannya. Akhir-akhir ini dikenal istilah hadist Israiliyat yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang Israel yang mengaku mendengar nya dari Nabi. Maksud utamanya adalah untuk lebih mengagung kan bani Israil. Hadist-hadist ini termasuk hadist mardud. Cara pertama menetukan keshahihan hadist dengan menggunakan kaidah keshahihan hadist, disebut metode Tash-hih. Metode dan cara ini digunakan para perawi waktu menyeleksi dan menyaring hadist untuk keperluan penulisan hadist. Mereka menerima ribuan bahkan ratusan ribu hadist dan dihafal lengkap dengan sanadnya, kemudian diteliti keadaan matan, perawi dan sanadnya. Setelah yakin akan kemurnian hadist, baru hadist ditulis dalam Kitab Hadist. Cara kedua mengetahui kualitas hadist adalah dengan menggunakan petunjuk dari hal-hal yang dapat menunjukkan kualitas hadist. Di antara petunjuk yang dapat menunjukkan pemahaman tentang kualitas hadist adalah jenis Kitab hadist, penjelasan Kitab Syarah, atau penggunaan hadist oleh para ahli dalam cabang ilmu agama

Islam. Metode atau cara tersebut dinamakan metode Itibar, yaitu mencari dan mendapatkan petunjuk untuk mengetahui kualitas hadist. D. FUNGSI SUNNAH RASUL/HADIST DALAM SYARIAT ISLAM Al-Quran adalah sumber ajaran yang pertama dan As-Sunnah adalah sumber yang kedua setelah al-Quran. Seorang muslim tidak bisa hanya menggunkan al-Quran saja, karena ia juga harus percaya kepada sunnah sebagai sumber ajaran. Hal itu karena kandungan alQuran masih bersifat global dan perlu perincian yang oprasional. Keharusan menggunakan Sunnah banyak diungkapkan al-Quran dalam surat Muhammad ayat 33 : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul dan janganlah kamu merusakkan amal-amalanmu. 1

Taat kepada Allah mengikuti perintah yang tercantum dalam alQuran dan taat kepada Rasul adalah mengikuti sunnahnya. Oleh karena itu orang yang beriman hanya merujukkan pandangan hidupnya kepadaq al-Quran dan Sunnah Rasul. Al-Quran dan Sunnah merupakan rujukan yang pasti dan tetap bagi segala macam perselisihan yang timbul di kalangan umat Islam, sehingga perselisihan tidak melahirkan pertentangan dan permusuhan sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 59 : Hai orang-orang yang beriman, taailah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (alQuran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Pada ayat di atas tampak dengan jelas bahwa rujukan untuk menyelesaikan perselisihan pendapat adalah kembali kepada sumber, yaitu al-Quran dan Sunnah. Di samping itu Sunnah merupakan rujukan perilaku yang dikehendaki al-Quran, sehingga apa yang diinginkan al-Quran dapat dilihat dari apa yang dilakukan Rasul. Oleh karena itu, belaiu menjadi teladan yang nyata bagi seluruh kaum muslimin, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatngan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah. Sunnah sebagai sumber kedua bagi ajaran Islam, menerangkan segala yang dikehendaki al-Quran. Menurut Ahlu al-Rayi (ahli fikir), suatu ayat-ayat al-Quran yang khas penunjukkannya tidak memerlukan lagi penjelasan hadist. Ahlu-Hadist berpendapat, bahwa segala Hadist Shahih harus dipandang menjelaskan al-Quran, mentakhshiskan umum al-Quran, atau membatasi kemutlakan al-Quran. Dari

pendapat para ulama tentang fungsi hadist sebagai dasar hukum Islam dan fungsi hadist sebagai penjelasan dan interpretasi terhadap alQuran, dapat dirumuskan beberapa fungsi hadist sebagai berikut : a. Memperkuat apa yang diterngkan al-Quran, misalnya hadist Nabi SAW tentang melihat bulan untuk berpuasa ramadhan: berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya(H.R. Bukhari dan Muslim) b. Menerangkan apa yang tidak mudah diketahui (tersembunyi pengertianya), misalnya hadist Nabi SAW: Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (H.R. Bukhari dan Muslim) c. Mengganti suatu hukum atau memperjelas. Al Baqarah ayat 180menyatakan: Tetaplah atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu, bapa dan karib kerabatnya secara maruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertqwa. Nabi menyatakan tidak ada wasiat bagi ahli waris. Jika ayat tersebut menyuruh berwasiat kepada orang tua, padahal orang tua itu termasuk ahli waris, maka hadist yang menyatakan tak ada wasiat bagi ahli waris, memberimakna bahwa dalam wasiat yang ditinggalkan pada orang tua atau kerabat itu, tidak mengatur bagian tambahan atau pengurangan hak orng tua tersebut. Di sisi lain, ayat ini memerintahkan memberi wasiat tanpa batas. Batasan wasiat ditentukan dalam Sunnah, yaitu ketika Saad bin Abi Waqas ingin berwasiat dengan 2/3 dari kekayaannya, oleh Rasululllah dilarang. Kemudian ia mengajukan lagi dengan 1/2 nya, tetapi beliau menolaknya juga. Akhirnya ia mengajukan lagi dengan 1/3 dari kekayaannya, dan Rasulullah mengizinkan dengan kata-katanya sebagai berikut : Ya sepertiga, sepertiga itu banyak atau besar. Sebab seandainya kamu meningglkan ahli warismu dlam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada kamu meningglkan mereka 1

dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain (Bukhari dan Muslim). d. Memberi keterangan secara luas pada sesuatu yang diterangkan secara ringkas oleh al-Quran, dalam surat atTaubah ayat 118: Dan atas tiga orang yang tidak mau pergi, yang tinggal di tempat tidak turut pergi ke medan perang. Kisah yang dimaksud oleh ayat ini dijelaskan panjang lebar oleh hadist yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-NasaI dan Inbu Majah sebab Nabi SAW mencegah orang lain berbicara dengan ketiga orang tersebut. e. Mewujudkan sesuatu hukum yang tidak tersebut dalam alQuran, seperti : mengaharamkan pernikahan mereka yang sepersusuan, mengingatkan hadist: Haram lantaran radha f. (sesusuan) apa yang harm lataran nasab (keturunan) (H.R. Ahmad dan Abu Daud) g. Mengkhususkan sesuatu dari umum ayat, misalnya, Allah mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi (alMaidah ayat 3). Dalam hal ini ada hadist yang mengecualikannya, yaitu : Dihalalkan bagi kamu dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang. Sedang dua macam darah adalah hati dan limpa (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sunnah/ hadist merupakan sumber ajaran Islam setelah al-Quran dan umat Islam harus mengikuti sebagaimana harus mengikuti al-Quran. Allah mewajibkan umat Islam mengikuti dan mentaati Rasul SAW, yakni dengan melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Hasyr ayat 7: Dan apa yang didatangkan Rasul ambil olehmu, dan apa yang dicegah Rasul hentikan olehmu.

Yang dimaksud dengan mengikuti Rasul SAW, atau melaksana kan perintahnya dan meninggalkan larangannya adalah dengan mengikuti Sunnahnya atau hadistnya, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya. Wajibnya mengikuti Rasul SAW berlaku bagi semua umat, serta untuk seluruh masa dan tempat. E. RUANG LINGKUP IJTIHAD Ijtihad adalah usaha yang bersungguh-sungguh dalam mempergunakan daya fikir untuk memahami ayat-al-Quran dan Sunnah yang penunjukanmaupun kebenaran materinya zhanni, serta memecahkan permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-

Quran dan Sunnah. Mahmud Syaltut menyatakan, bahwa ijtihad mencakup dua pengertian yaitu : a. Penggunaan fikiran untuk menemukan suatu hukum yang tidak ditentukan secra eksplisit dalam al-Quran dan Sunnah. b. Penggunan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat atau Sunnah. Ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad dan kaumnya berdasarkan pada wahyu Allah. Kegiatan yang mereka lakukan adalah memahami dan meneliti makna al-Quran, sehingga petunjuk Allah dapat diketahui secara tepat guna. Dalam melakukan ijtihad, harus berpedoman pada prinsip-prinsip wahyu Allah, yakni al-Quran menurut Sunnah Rasul. Ijitihad yang tidak bersadasrkan pada pirinsip al-Quran jelas tidak akan membawa ke arah perbaikan nasib umat Islam. Ikatan-ikatan yang membelenggu alam fikiran selama ini, harus ditinggalkan dan kelapang dadaan pelaku ijtihad sangat diperlukan. Buku-buku lain yang ada, kedudukannya hanya sebagai pembantu. Jika tepat tentunya dapat dipakai dan kalau ternyata tidak sesuai dengan prinsip al-Quran menurut Sunnah Rasul harus 1

dibuang. Ada pun dasar keharusan berijtihad antara lain terdapat pada surat an-Nisa ayat 59. Pengertian-pengertian al-Quran yang didasarkan atas buku-buku yang ditulis oleh manusia, perlu diteliti kebenaranya dan sikap subyektif atau pengaruh budaya tertentu harus dijauhkan. Seorang mujtahid yang berijtihad dalam rangka popularisasi atau mendapatkan imbalan jasa, serta memperoleh posisi dan kedudukan, dapat berakibat mencelakakan nasib umat Islam dan bangsa. Tujuan yang ingin dicapai dalam berijtihad adalah mengerti dan memahami nilai-nilai yang obyektif dari Allah. Seorang mujahid harus jujur dalam melakukan ijtihadnya,. Kalau ada tanggapan yang dinilai lebih obyektif harus diakui secara jujur. Tidak perlu seorang mujahid merasa sangsi untuk mencabut, atau meralat kesalahannya. Pengertian tentang keIslamannya yang ada selama ini harus dikaji. Buku-buku standar yang dipergunakan khususnya terjemahan alQuran bukan mutlak sifatnya. Dengan demikian apabila ada pemahaman mengenai al-Quranyang tidak sama dengan yang ada, harus diperhatikan dan dipelajari dengan baik. Ukuran salah benar tentang keislaman bukan berdasarkan keyakinan mayoritas pendapat yang dijadikan standar. Justru merombak alam fikiran yang mayoritas tetapi tidak benar, inilah yang menjadi tujuan ijtihad. Apabila tidak demikian, maka namanya bukan ijtihad melainkan ittiba. Resiko sebagai seorang mujtahid akan mendapat tantangan dari berbagai pihak, yang telah mantap dengan ajaranajaran yang ada. Tantangan yang paling berat adalah dari para cendikiawan atau ulama yang telah berkarat dengan fanatisme madzab. Semua peristiwa yang terjadi di dunia pasti ada aturannya dari Allah. Aturan Allah telah ditemukan secara qauliyah dalam al-Quran dan secara kauniyah pada alam semesta. Ketentuan Allah ini dapat ditemukan pada tiga kemungkinan yaitu :

a. Dalam lafad al-Quran sesuai dengan yang disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut ketentuan yang tersurat dalam alQuran. b. Tidak ditemukan secara harfiah dalam lafad al-Quran, tetapi dapat ditemukan melalui makna yang tersirat dari lafad yang disebut dalam al-Quran. c. Tidak dapat ditemukan baik dari lafad maupun dari makna tersirat yang ada dalam al-Quran, tetapi dapat ditemukan dalam realitas pada ciptaan-Nya. Untuk mengetahui ketentuan Allah dalam bentuk pertama, cukup dengan memperhatikan apa yang tersurat dalam al-Quran dan penjelasan-penjelasan dalam Sunnah. Dalam hal ini peranan ijtihad tidak berarti. Tetapi dalam memahami ketentuan dalam bentuk kedua dan ketiga sangat diperlukan ijtihad. Untuk mengetahui ketentuan Allah yang tersirat di balik suatu lafad, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan ijtihad. Daya nalar yang kuat sangat diperlukan, guna mengetahui hakekat dan makna yang terkandung pada suatu lafad al-Quran, sehingga memungkinkan menerapkan ketentuan yang berlaku dalam lafad tersebut pada kejadian lain yang timbul dari ungkapan itu. Bentuk ajaran yang tersirat adalah ajaran yang tidak jelas secara harfiah. Usaha yang sungguh-sungguh sangat diperlukan untuk menggalinya, kemudian memformulasikannya dalam suatu ajaran. Walaupun ajaran atau ketentuan tersebut kelihatannya ditemukan oleh para ulama yang melakukan ijtihad, tetapi pada hakekatnya hal itu merupakan penggalian ajaran Allah yang tersirat dibalik lafad yang nyata. Apabila ajaran-ajaran yang ditetapkan Allah dalam al-Quran dianalisa, maka dapat difahami bahwa pada prinsipnya Allah menetapkan suatu ajaran adalah untuk kemaslahantan manusia, baik dalam bentuk manfaat maupun menghindari kerusakan. Hakekat dari 1

tujuan ajaran tersebut dapat dijadikan dasar para mujtahid dalam menetapkan suatu ketentuan. Oleh karena itu, apabila ada suatu kejadian terdapat maslahat yang bersifat umum dan tidak ada dalail ayat al-Quran dan sunnah yang bertentangan dengan kejadian itu, maka para mujtahid dapat menetapkan hukumnya. Usaha penemuan hokum dengan cara semacam itu disebut dengan maslahat mussalah. 1. Ruang Lingkup Ijtihad Pada prinsipnya ijtihad dipergunakan dalam menetapkan suatu ajaran, apabila dalam masalah tersebut tidak terdapat aturan-aturan secara tegas. Di samping itu ijtihad dapat pula digunakan untuk hal-hal yang sudah diatur oleh ayat dlam pengaturannya tidak secara pasti. Dengan demikian ijtihad dapat digunakan dalam dua hal : a. Dalam masalah yang sudah diatur oleh nash, tetapi dalilnya atau penunjukkan dalilnya bersifat zhanni, yaitu mengandung unsure keraguan dan kesamaran, baik berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya, maka dalam hal ini terdapat ruang untuk berijtihad. Keraguan itu bisa dating dari arah sanad dan rawi sebuah hadist, sehingga harus diteliti terlebih dahulu mengenai kelayakan mereka satu persatu dalam periwayatannya, sebelum dapat ditetapkan apakah hadist yang mereka riwayatkan bisa dijadikan dalil atau tidak. Adakalanya pula, suatu hadist telah diyakini ke-shahih-an sumbernya, namun susunan kata-katanya ataupun materinya masih menimbulkan keraguan dan ketidakpastian dlam memahami makna dan tujuannya. Mungkin pula bersama ayat itu terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat dijadikan dalil. Bentuk memberi kemungkinan untuk melakukan ijtihad. Dalam hal ini peranan ijtihad adalah untuk menemukan alternatif-alternatif. Pendapat yang timbul tidak akan bertentangan dengan dalil, karena dalil tidak memberikan petunjuk yang pasti.

b. Dalam masalah yang tidak ada ketentuannya sama sekali. Untuk hal ini para ulama menetapkan suatu ketentuan baru yang tidak bertentangan dengan ketentuan ayat yang sudah ada, karena memang ayatnya belum ada. Kemungkinan lain lahir ketentuan ulama kemudian yang berbeda dengan ketentuan ulama sebelumnya. Hal ini tidak perlu dipersoalkan, karena masing-masing mempunyai kekuatan yang sama. Pengembangan dan perbedaan pendapatan dalam Islam merupakan suatu yang dibenarkan. Dalam hal yang tidak ada dalilnya, tetapi dapat dikaitkan dengan lafad yang ada pada ayat dalam bentuk ketentuan yang tersirat, maka ijtihad dapat digunakan sebagaimana yang berlaku pada bentuk di atas, selama hasil ijtihad tidak bertentangan dengan

ketentuan harfiah dalam ayat. Perbedaan pemahaman dengan ulama sebelumnya tidak menjadi masalah dan hal ini menunjukkan adanya pengembangan pemikiran ajaran Islam. Mengenai masalah yang sepenuhnya bersifat duniawi atau teknis, semua ulama sepakat tentang digunakanya ruya atau penalaran untuk mengatur dan menanganinya, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman serata kemajuan ilmu pengetahuan. Misalnya, hal-hal yang menyakut sistem dan peralatan pertanian, pengangkutan, komunikasi, peperangan, kedoktoran, dan sebagainya. Dalam hal ini Nabi SAW pernah bersabda: Kalian lebih mengetahui daripada aku mengenai urusan-urusan duniamu. Demikian pula jika tidak dijumpai ayat apapun mengenai suatu masalah, maka dalam hal ini terbuka pula kesempatan seluasnya untuk berijtihad dalam mencari hukumnya. Sebaliknya tidak ada ijtihad dalam masalah yang sudah ditunjukkan secara jelas oleh dalil qathi. Berdasarkan hal itu, apabila suatu keterangan telah diyakini sumbernya dari firman Allah atau Sunnah Rasulullah SAW dan telah diyakini makna dan sasaran yang ditujunya, maka tidak ada lagi ijtihad padanya.Termasuk dalam hal ini, ketetapan-ketetapan 1

syariat yang telahmenjadi kesepakatan umum para ulama besar terdahulu maupun yang kemudian, seperti kewajiban lima shalat fardhu dalam sehari-semalam, wanita-wanita yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungan kekeluargaan terentu, kadar bagian hartawarisan bagi masing-masing ahli waris, diharamkannya memakan daging babi, dan diharamkannya minuman khamar. 2. Metode Ijtihad Berijtihad dalam bidang-bidang yang tidak disebutkan dalam alQuran dan Sunnah ditempuh dengan berbagai cara di antaranya qiyas atau analogi dan memelihara kepentingan hidup manusia, yaitu menarik manfaat dan menolak mudarat dalam kehidupan manusia. Qiyas salah satu metode ijtihad telah dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW yaitu ketika beliau ditanya tentang hokum seorang suami yang dalam keadaan berpuasa mencium isterinya, batal puasanya atau tidak. Beliau balik bertanya, apakah berkumur membatalkan puasa atau tidak. Jika berkumur tidak membatalkan puasa, maka mencium isteri di siang bulan Ramadhan juga tidak membatalkan puasa. Meskipun sabda Nabi adalah Sunnah yang dapat menunjukkan adanya ketentuan hokum yang berdiri sendiri, namun cara Nabi memberikan jawaban tersebut dapat menunjukkan salah satu cara berijtihad yaitu dengan jalan qiyas. Adapun macam-macam metode ijtihad, antara lain : a. Menetapkan hokum yang sama sekali tidak disebut dalam ayat dengan pertimbangan demikepentingan hidup manusia, menarik manfaat dan menghindarkan mudarat. Misalnya, keharusan mencatat pernikahan, atau peraturan lalu lintas dan lain-lain. Metode ini disebut maslahat mursalat (mempertimbangkan kepentingan hidup manusia dan lepas dari ketentuan yang ada).

b. Menetapkan sesuatu demi kebaikan yang lebih. Metode ini disebut metoe istihsan, umpama: memindahkan tanah waqaf yang terkena rencana jalan. c. Menggunkan dalil yang ada, sampai terdapat dalil yang mengubahnya. Metode ini disebut metode istishhab, contoh: segala macam makanan yang tidak ada dalil yang mengharamkannya, boleh (mubah) dimakan. d. Menggunkan kebiasan yang berlaku (adat istiadat) dalam suatu masyarakat, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam. Metode ini disebut urf.

3. Langkah-langkah dalam Berijtihad Sebagaimana yang dikemukakan Mahmud Syaltut, bahwa wawasan yang menjadi sasaran dalam berijtihad adalah memecahkan permasalahan yang tidak termaktub dalam al-Quran dan memberikan penafsiran al-Quran dan Sunnah, sehingga kesimpulannya menjadi jelas. Demikian pula pendapat Muhammad Abduh. Kalau umat Nabi Muhammad SAW tidak berpegang teguh pada al-Quran san Sunnah Rasulullah niscaya akan sesat. Demikian mafhum dari sabda Rasulullah:Taraktu fikum amraini, lan tandhilu maa in tamassaktum bihimaa Kitabllahi wa sunnata Rasulih(Saya meninggalkan dua warisan untuk kalian. Selama kalian berpegang pada keduanya niscaya tidak akan sesat. Keduanya itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulnya). Yang menjadi permasalahan bagi umat Islam ialah, al-Quran yang menjadi standar utama kurang dikuasai. Dalam memahami al-Quran umumnya mereka terikat dengan terjemahan yang ada dari terjemahan itulah umat Islam Indonesia memahami al-Quran. Kalau terjemahan al-Quran yang ada dijadikan standar, maka pembaharuan tidak akan terwujud dan ijtihad yang dihasilkan akan sama dengan masa-masa yang lalu. Oleh karena itu langkah pertama dalam 1

melakukan ijtihad adalah mengadakan reinterpretasi makna alQuran. Terjemahan al-Quran yang ada sekarang merupakan terjemahan yang didasarakan atas terjemahan harfiah bahasa Arab dan sudah terpengaruh oleh mazhab tertentu, bahkan mungkin kena pengaruh pola piker non Islam. Untuk itu langkah awal yang perlu dilakukan ialah restudy al-Quran atau mempelajari ulang pemahaman al-Quran, dengan melibatkan segenap oaring yang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Apabila yang ahli bahasa saja yang dilibatkan, maka pemahamannya akan menjadi verbalistis. Dalam rangka restudi al-Quran menurut Sunnah Rasul, harus dipersiapkan pedoman-pedoman. Dalam hal ini ilmu apa yang harus dimiliki dan sarana apa yang harus dikuasai. Berikut ini dikemukakan beberapa syarat antara lain : a. Memahami bahsa al-Quran dalam berbagai seginya, antara lain bentuk kata, kalimat, dan kesusastraan. Teori bahasa al-Quran harus dipergunakan dengan sungguh-sungguh, agar memperoleh kesimpulan yang tepat. Berbagai kemungkinan arti perlu diperhatikan, misalnya: 1). Nabi yang Ummi, mengandung beberapa pengertian yaitu: a. Ummi artinya buta huruf. Dengan demikian Nabiyil Ummiy adalah Nabi yang buta huruf atau tidak bisa menulis dan membaca. b. Ummi dapat pula arti sejenis umat atau bangsa. Dengan demikian Nabiyil Ummiy berarti Nabi pemersatu umat dan atau padat pula berarti Nabi yang ditulis pada suatu umat yang tidak mengetahui tentang al-Kitab (wahyu Allah) 2). Kalimat dalam berbagai jenisnya harus difahami dan diperhatikan, misalnya Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Dilihat dari jenisnya Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Adalah kalimat pernyataan (introjunction). Oleh karena itu pengertian

Bismillaahir Rahmaanir rahiim. Diartikan dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, agaknya terlalu dangkal. Untuk mendapatkan pengertian Bismillah yang lebih mantap, silahkan Anda mengadakan penelitian dan berijtihad secara tepat. 3). Bahasa pengandaian yang dinyatakan dalam bahsa biasa seperti sapi dapat berarti sapi dalam arti yang sesungguhnya dan dapat pula berarti berwatak sapi. Pengetahuan mengenai bahsa yang mutasyaabih (berbentuk tasbih), harus benar-

benar diperhitungkan dan diperhatikan. Apabila salah dalam memahami bahasa, maka salah pul;a memahami makna. b. Memperhatikan teori makna atau ilmu tafsir. Sebagaimana dikemukakan pada pembahasaan bahasa al-Quran, bahwa berbagai pengertian al-Quran harus dikemukakan. Dengan sendirinya pengertian yang hanya berdasarkan bahasa tidak akan menjernihkan makna. Oleh karena itu teori makna atau ilmu tafsir (hermeneutika) harus dikuasai. Pada awal pembahasan, telah dikemukakan bahwa al=Quran adalah satu ilmu. Sebagai suatu ilmu, untuk memahaminya diperlukan ilmu penunjang, antara lain ilmu tafsir. Pengkajian ilmu tafsir harus ditunjang denagn teori ilmu yang mencakup metodologi, simantik, analitika dan obyektivitas. Tanpa memperhatikan ilmu tafsir dan teori ilmu , ijtihad yang dihasilkan akan keliru. Untuk itu perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Orang yang berijtihad harus bertaqwa, dalam arti bertuhan Allah dan beriman pada al-Quran dengan mencontoh Sunnah Rasul. Dengan demikian istilah penafsiran menurut saya, menurut ulama x dan lain-lain harus dijauhkan. 2) Dalam berijtihad harus memperhatikan, bahwa al-Quran tersusun secara sistematik. Dengan demikian 1

menghubungkan ayat yang satu dengan ayat atau surat lainnya merupakan suatu keharusan. Mujtahid harus menyatakan ayat ini menurut surat ini artinya adalah begini, atau menurut hadist pengertiannya demikian. 3) Dalam menganalisis kebenaran suatu gagasan harus didasarkan pada data yang konkrit. Apabila mengungkap 4) gagasan nur harus ditunjukkan Sunnah Rasulnya dan kalau dzulumat tunjukkan pula pembuktian yang bertolak belakang dengan Sunnah Rasul. Dengan demikian asbaabun Nuzul alQuran harus dipelajari. Kitab-kitab wahyu Allah sifatnya menjawab tantangan zaman dan tantangan zaman harus dijawab dengan analisis wahyu. 5) Pengertian yang didasarkan atas bahasa, metodologi, sistematika serta analitika harus dicocokan dengan pola atau contoh yang pernah dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Kalau ternyata cocok dengan Sunnah Rasul, maka kesimpulannya adalah benar dan jika tidak sesuai, maka kesimpulannya perlu ditinjau ulang. Langkah-langkah yang disebut di atas, maka memahami bahasa orang Arab tidak mutlak, karena bahasa al-Quran bukan bahasa Arab. AlQuran bukan kalamul Arab, tetapi kalamulah (bahasa Allah). Namun demikian karena bahasa al-Quran adalah serumpum dengan bahasa Arab, maka memahami bahasa Arab yang diajarkan di sekolahsekolah atau madrasah merupakan salah satu bahan pembantu. Demikian pula halnya dengan buku-buku lain yang ditulis saintis yang berkembang dewasa ini, baik dalam bidang pasti alam maupun social budaya. Hal itu jelas akan berpengaruh pada fikiran manusia yang mempelajarinya. Buku-buku yang berbahasa Arab banyak berpengaruh pada kalangan yang berpendidikan pesantren, sedangkan buku-buku yang ditulis para saintis banyak berpengaruh pada kalangan yang berpendidikan umum. Sasaran yang utama dan pertama dalam berijtihad adalah memahami nilai-nilai yang obyektif ilmiah berdasarkan al-Quran menurut

Sunnah Rasul. Nilai-nilai ilmiah yang dikembangkan oleh para ulama atau para sarjana perlu dikaji ulang. Semuanya dinyatakan benar, kalau memang sesuai dengan al-Quran menurut Sunnah Rasul, sebaliknya dinyatakan salah apabila bertentangan. Gelar utama, professor atau sarjana bukanlah merupakan jaminan untuk mengukur nilai keilmiahan seseorang menurut konsep al-Quran. Dengan demikian siapapun orangnya dan berpendidikan apapun patut didengar dan ditanggapi, apabila model berpikirnya benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan Allah menurut Sunnah RasulNya. Dalam hubungannya dengan mensukseskan pembangunan di bidang keislaman, hendaknya perhatian dipusatkan pada perombakan alam fikiran. Pertentangan atau perbedaan pendapat dalam masalahmasalah yang bersifat praktis hendaknya dihindari. Kalau tanggapan sudah benar dan tepat, maka sikap atau tingkah laku akan tepat yang otomatis tujuan yang diharapkan Allah yaitu hasanah fid dunyaa wal akhirat akan tercapai. 4. Perbedaan Pendapat Hasil Ijtihad Ijtihad merupakan penggunaan daya fikir dan aqal dalam memahami ayat al-Quran dan Sunnah yang penunjukkan maupun kebenaran materinya zhanni, serta dalam memecahkan permasalahan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu hasil ijtihad merupakan penalaran seseorang atau beberapa orang. Karena kemampuan menalar seseorang terbatas, maka kebenaran hasil ijtihad sifatnya relatif, sehingga memungkinkan adanya perbedaan hasil ijtihad seseorang dengan ijtihad orang lain. Islam bukan saja mentolerir perbedaan hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa perbedaan hasil ijtihad akan membawa kelapangan satu rahmat bagi umat, sebagaimana sabda Rasul SAW.: Perbedaan pendapat di kalangan umat akan membawa rahmat. Beberap[a sebab yang menimbulkan perbedaan hasil ijtihad ialah : 1

a. Pengertian Kata (Lafazh Ayat/ Hadist) Dalam bahasa Arab, ada lafazh yang berbentuk majaz, dan ada pula yang pengertiannya dipengaruhi adat setempat. Misalnya pertama: Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu(An-Nisa ayat 22). Kata nikah dapat berarti akad dan dapat pula berarti bersetubuh. Imam Hanafi memilih arti bersetubuh, oleh karena itu ia berpendapat haram ayahnya menikahi isteri anaknya . Imam SyafeI memilih arti akad, sehingga ia berpendapat persetubuhan lewat zina tidak menyebabkan wanita yang dizina ayahnya haram dinikahi. Kedua, Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya, dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang , atau dibuang dari negeri (tempat kediaman) (Al-Maidah ayat 33). Kata atau dibuang (awyufaw) pada ayat ini mengandung dua arti,: hakiki dan majazi. Arti hakikinya ialah mereka dikeluarkan dari negeri mereka ke negeri lain, sedangkan arti majazinya ialah : mereka dimasukkan ke dalam penjara, Imam Abu Hanifah memilih arti kata majazi yaitu penjara, sedang Imam SyafeI memilih arti hakiki yaitu diusir atau dibuang ke negeri lain. b. Kaidah Ushul Fiqh Pertama, sebagian orang memandang shighat amar atau arah perintah menunjuk pada wajib, sebagaian menunjuk pada Sunnah., dan sebagian lagi menunjuk pada mubah. Berdasarkan hal ini, para mujtahid berbeda pendapat dalam memahami hadist nabi :Jadikanlah akhir shalatmu shalat witir, Shighat amar pada hadist ini, menurut Imam Hanafi menunjuk pada wajib. Imam Syafii memandang pada sunnah. Oleh karan itu menurut Iman Syafii, hokum shalat witir adalah sunnah.

Kedua, sebagian orang memandang nahi atau larangan menunjuk pada haram dan sebagian lain menunjuk pada makruh. Berdasarkan hal ini, mereka berbeda pendapat dalam memahami sebuah hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang memakan binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar. Imam Syafii memandang nahi pada hadist ini menunjuk pada

haram. Oleh karena itu menurut Imam Syafii, memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar adalah haram. Sedang Imam Malik memandang nahi pada hadist ini menunjuk pada makruh. Oleh karena itu, menurut Imam malik, memakan binatang buas yang bertaring dan burung bercakar adalah makruh. c. Status Hadist Hadsit yang dianggap kuat oleh sebagian orang dianggap lemah oleh sebagian orang lain, atau suatu hadist sampai kepada satu mujtahid, tetapi tidak sampai kepada mujtahid yang lain, dan sebagiannya. Misal, sebuah hadist mengatakan:tidak ada wudhu bagi orang yang tidak membaca bismillah. Imam ahmad menjadikan hadist ini sebagai hujah tentang wajibnya membaca bismillah bagi siapa pun yang akan berwudhu. Sementara itu, Imam mujtahid yang lain memandanag hadist ini lemah. d. Ketentuan Hukum Ayat Bersifat Taabbudi (ubudiyah) atau Taaqquli (masuk akal) Misal, mencuci bejana yang dijilat anjing harus dengan tanah atau dapat diganti dengan yang lain misalnya karbol atau deterjen, Dapatkah kedua hal ini dianggap sebagi pengganti tanah? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian besar ulama berpendapat, mencuci bejana bekas jilatan anjing dengan selain tanah tidak sah, sebab perintah tentang hal tersebut bersifat taabbudi. Dengan demikian harus dengan tanah. Sebagian kecil ulama berpendapat, 1

mencuci bejana bekas jilatan anjing dengan karbol dan semisalnya adalah sah, sebab perintah itu adalah mencuci dengan tanah bersifat taaqquli mengingat tujuan perintah itu adalah terwujudnya kebersihan, sedangkan dalam hal membasmi kuman-kuman akibat jilatan anjing, fungsi karbol dan semacamnya melebihi tanah. e. Qiyas Misal, menurut Syafii, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang tidak mengeyangkan atau bukan makanan pokok tidak dikenai zakat, sebab wajibnya zakat atas tumbu-tumbuhan dan tanam-tanaman adalah mengenyangkan atau makanan pokok sedang menurut Imam Hanafi, wajibnya zakat atas tumbuh-tumbuhan dan tanaman-tanaman adalah karena hal tiu pontensial untuk menunjang kehidupan dan perekonomian umat manusia. Oleh karena itu menurut Imam Hanafi, cengkeh, pala, kopi, the, kopra, penile, anggrek dan lain-lainnya dikenai zakat. Dengan demikian, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang wajar. Oleh karena itu, sesuai dengan penegasan hadist Nabi tentang keberadaan perbedaan, hendaknya hal itu dijadikan sebagai rahmat yang akan membawa kelapangan dan kemudahan bagi umat, serta jangan dibesar-besarkan, sebab akan berakibat retaknya ukhuwah Islamiyah. Prinsip-prinsip perbedaan ini dipengaang teguh oleh Imam-mujtahid terdahulu. Mereka saling toleran atau tasamuh, menghormati, dan menghargai pendapat orang lain. Oleh karena itu muncul ucapan popular mereka: Bila pendapatkami salah, kemungkinan mengandung kesalahan dan bila pendapat selain kami salah, kemungkianan mengandung kebenaran. Mereka menyadari betapapun kuatnya hasil ijtihad mereka, tetap tidak dapat menggugurkan hasil ijtihad yang lain, betapapun lemah hasil yang lain. Hal ini sejalan dengan kaidah:Ijtihad tidak dapat digugut atau digugurkan oleh ijtihad yang lain. Dari kaidah ini dapat dipahami, satu ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain.

5. Re-Orientasi Ijtihad Sejak di bawah cengkraman penjajah, alam fikiran umat Islam banyak yang telah terpengaruh oleh penjajah. Kelihaian dan kelicikan para penjajah mampu membelokkan dan menggeser alam fikiran bangsa yang dijajahnya. Pengaruh penjajah Barat (Eropa) terhadap negara-negara yang mengaku beragama Islam, tidak mustahil berpengaruh terhadap cara berfikir umat Islam. Ajaran Yahudi Zionisme dan Diasporanya yang telah mewarnai alam fikiran Barat sejak masa sebelum Masehi, berpengaruh pula pada umat Islam. Buku-buku yang ditulis para cendekiawan Yahudi dengan bungkus al-Quran menjadi makanan yang lezat bagi umat Islam yang bodoh dengan al-Quran. Kebodohan orang Islam tentanmg al-Qur;an banyak diwarnai oleh alam fikiran Yahudi atau fikiran lainnya. Dalam memahami al-Quran perlu diketahui bahayanya orang melakukan perujukan kepada al-Quran semata-mata secara tekstual, dengan tidak memperhatikan kondisi, situasi, dan latar belakanga turunnya suatu ayat. Pada akhir abad ke sembilan belas Syeik Muhammad Abduh menyatakan, hendaknya kita berhati-hati membaca buku-buku tafsir yang ditulis pada alam dan tingkah intelektual umat di zaman kita sekarang. Beliau dengan berani menganjurkan, agar kita langsung membaca al-Quran. Atau dengan kata lain, beliau mengimbau para ulama untuk membikin tafsir sendiri. Hanya beliau memperingatkan, untuk dapat berbuat demikian seseorang harus menguasai ilmu bahasa yang memadai, pengetahuan yang utuh mengenai sejarah Nabi, termasuk situasi kultural pada zaman itu, asbab alnuzul atausebab-sebab diturunkannya ayat-ayat, dan sejarah umat manusia. Di antara para ahli hokum Islam atau fuqaha, terdapat consensus untuk membagi hukum Islam menjadi dua katagori yaitu hokum yang berhubungan dengan ibadah murni dan hokum yang berhubungan 1

dengan kemasyarakatan. Dalam hal katagori pertama, hampir tidak terdapat campur tangan bagi penalaran. Sedang dalam hal hokum yang termasuk katagori kedua, terbuka kesempatan bagi pemikiran atau penalaran intelektual dalam mencari cara pelaksanan, dengan kepentingan masyarakat dan prinsip keadilan sebagai dasar pertimbangan dan tolak ukur utama. Sementara itu kepentingan masyarakat dan pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dapat berubah dan berbeda karena perbedaan zaman, lingkungan, situasi dan budaya. Mengenai hukun yang bertalian dengan kemasyarakatan. Al-Izz Abdussalam, seorang ahli hokum terkemuka dari golongan mazhab Imam syafii menyatakan bahwa semua usaha hendaknya difokuskan pada kepentingan masyaraka, baik kepentingan duniawi maupun ukhrawi. Bagi Allah tidak masalah apakah hamba-Nya beribadah atau tidak. Ia tidak beruntung dari ketaatan mereka yang taat dan tidak dirugikan oleh perbuatan mereka yang bermaksiat. Ibn Qayyim Al-Jauziyah Ibn Habib Al-Anshari, seorang murid kesayangan Imam Abu Hanifah dan yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Yusuf, berpendirian bahwa arak sekalipun, kalau dahulu dasarnya adat dan adat tersebut kemudian telah berubah, maka gugur pula hokum yang terkandung di dalam ayat itu. Penpadat para Imam mazhab yang selama ini telah baku di kalangan umat Islam, nampaknya masih banyak kekurangannya. Penafsiran alQuran yang ada, perlu ditinjau kembali. Reinterpretasi atau penafsiran kembali dan pengkajian tentang Islam harus diperbaharui. Beberapa ulama menghimbau agar umat Islam melakukan neo-ijtihad atau pembaharuan dalam berijtihad, demikian Ahmad Khan dari Pakistan, Mohammad Abdul Wahhab dari Saudi Arabia, dan lainlainnya. Murid-murid mereka bertebaran di seluruh pelosok dunia, bahkan sampai ke Indonesia. Namun kemauan yang demikian luhurnya, karena masih adanya kefanatikan mazhab menyebabkan usaha tersebut nampaknya belum berhasil dan tantangan demi tantangan banyak dihadapi. Ajaran Islam harus dikembalikan dan

bersandarkan al-Quran dan Sunnah. Ijtihad yang dilakukan para Imam-imam mazhab pada masa lalu perlu ditinjau kembali. Ijtihad mereka pada masanya dianggap cocok, namun beliau tentu cocok untuk masa kini. Untuk itu setiap generasi memerlukan mujtahid. Memahami al-Quran dan Sunnah yang hanya didasarkan atas pengertian yang sempit, membuat keduanya

sebagai benda-benda mati. Adapun bentuk ijtihad yang diperlukan sekarang adalah : a. Ijtihad selektif yaitu memilih salah satu pendapat yang diyakini paling kuat di antara pendapat-pendapat yang ada. Cara melakukan ijtihad ini adalah dengan mengadakan studi komparatif di antara pendapat-pendapat yang ada, dengan memilih dalil-dalil ijtihad yang dijadikan dasar pendapat tersebut. Selanjutnya memilih pendapat yang paling kuat dalilnya, berdasarkan alat ukur yang dipergunakan dalam mentarjih atau menguatkan yaitu : 1) Pendapat tersebut lebih banyak merealisir maksud syariat Islam, memberikan kemaslahatan, dan menghindarkan kerusakan manusia. 2) Pendapat tersebut lebih memberikan kemudaaan, sesuai dengan kemudahaan yang diberikan syariat Islam. 3) Pendapat tersebut lebih banyak memberikan rahmat kepada manusia. 4) Pendapat tersebut lebih sesuai dengan kehidupan manusia pada masa sekarang. Dalam hal ini ada beberapa factor yang mendorong perlu dilakukannya ijtihad selektif yaitu : 1). Perubahan politik, ekonomi, social dan budaya pada abad ini merupakan perubahan yang laur biasa. Perubahan tersebut menuntut para ulama untuk meninjau pendapat lama yang 1

dirsakan tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi baru, kemudian memilih pendapat yang paling kuat. 2). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Pada masa kini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut memberi pembentukan terhadap pengetahuan lama dan menjadi alat untuk menemukan pengetahuan yang benar, yang sebelumnya tidak diketahui. Disamping itu, perkembangan tersebut juga membekali para ulama masa kini dengan suatu kemampuan untuk menetapkan apakah pendapat ulama masa lalu yang diwarisinya masih relevan atau tidak. 3) Ijtihad kreatif, yaitu menetapkan ketentuan baru terhadap suatu masalah, di mana ketentuan tersebut belum pernah dikemukakan para ulama terhadulu, baik masalah tersebut baru atau lama. Dalam hal ini adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam suatu masalah menunjukkan bahwa masalah tersebut memberikan bermacam-macam interpretasi sehingga tidak menutup kemungkinan adanya pendapat baru yang sebelumnya belum pernah dikemukakan ulama.

HIKMAH IBADAH DALAM ISLAM Hampir 2000 tahun yang lalu Plutarchus, seorang ahli sejarah berbangsa Yunani mengatakan, bahwa mungkin kita menjumpai kotakota tanpa benteng, raja-raja, kekayaan, sastra maupun teater-teater, tetapi tidak ada satu kotapun tanpa tempat ibadah atau penduduknya tidak melakukan ibadah. Pernyataan Pluctarchus itu amat penting artinya, sebab dengan pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa kerinduan untuk berhubungan dengan Tuhan merupakan pembawaan kodrat jiwa manusia, serta tumbuh dari dalam jiwa manusia sendiri. Tetapi suatu kenyataan bahwa temp[at-tempat ibadah yang terdapat di manamana menunjukkan adanya keanekaragaman tentang siapa yang dituju dengan ibadah tersebut dan bagaimana cara melaksanakannya. Hal ini membuktikan, bahwa keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber, melainkan dari banyak sumber, yaitu manusia yang beraneka macam kecenderungan jiwa dan cakrawala pemikirannya. Dari segi ini dapat diketahui betapa pentingnya Allah mengutus rasulrasulNya, yaitu untuk mengarahkan pembawaan kodrat jiwa manusia, agar dapat menunjukkan ibadahnya kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam seluruhnya. Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang terahkirdan al-Quran sebagai kitab Allah yang terahkir, memberikan penegasan-penegasan yang amat jelas, bahwa hanya Allah saja Tuhan yang berhak disembah. Banyak ayat al-Ouran yang memberi penegasan demikian. Ruh ajaran Islam adalah Tauhid, meng-esakan Tuhan secara mutlak. Islam 1

menjadi persaksian, bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, sebagai salah satu sendi ajaran Islam. Dalam Al Quran antara lain : surat Al Fatihah ayat 5 mengajarkan, bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan diminta pertolongan. surat An-Nisa ayat 36 memerintahkan , agar orang menyembah hanya kepada Allah dan jangan ada sesuatupun yang disekutukan kepada Allah. Surat An-Nahl ayat 36 menegaskan, bahwa ajakan beribadah hanya ditujukan kepada Allah merupakan inti ajaran para Rasul.

Islam mengharamkan binatang yang disembelih dengan maksud dan tujuan untuk saji-sajian berhala dan sebagainya. Kerbau yang disembelih dengan tujuan untuk ditanam kepalanya, untuk menjadi saji-sajian bagi makhkluk halus, ketika akan mulai membangun gedung, termasuk sembelihan yang haram dan perbuatan itu

Mempersekutukan seseuatu kepada Allah dinamakan syirik. AlQuran menyatakan dalam berbagai surat dan ayat antara lain : Surat An-Nisa ayat 48 menegaskan, bahwa syirik adalah perbuatan dosa terbesar yang tidak akan memperoleh ampunan Allah. Surat An-Nisa ayat 116 ditegaskan, bahwa orang yang berbuat syirik adalah orang sesat jauh dari Allah tidak akan memberi ampun atas dosa syirik itu. Surat Al-Araf ayat 194 dijelaskan, bahwa selain Allah, semua yang ada di alam ini adalah makhluk-makhluk seperti manusia juga, yang tidak berhak disembah.

Manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang utama disbanding dengan makhluk-makhluk Allah lainnya. Oleh karena itu apabila ia menyembah kepada selain Allah, atau menyembah kepada sesama makhluk Allah, minsalnya malaikat, jin, manusia, binatang, benda-benda langit, kayu, batu, dan roh-roh berarti menurunkan derajat kemanusiannya yang diberi tempat demikian tinggi oleh Allah.

termasuk syirik. Sedemikian keras Islam mengajarkan, agar jangan sampai orang terjerumus dalam kemusyrikan. Hal itu untuk menjaga keselamatan manusia, agar jangan sampai dimurkai Allah karena menyekutukan Allah dan menyinggung keesaannya. Manusia dalam sejarahnya telah merusak ajaran agama. Yang menyebabkan rusaknya agama adalah orang-orang agama sendiri, yaitu para pejabat keagamaan. Merekalah yang mempunyai konsepsi, bahwa jarak antara manusia dengan Tuhan adalah jauh. Untuk memanjatkan doa kepada Tuhan, manusia awam tidak dapat secara langsung, tetapi harus dengan perantara mereka. Hanya kaum ahli agama dapat langsung mendekatkan diri kepada Tuhan. Berdasarkan konsepsi serupa itu, para ahli agama menentukan berbagai macam syarat dan ikatan-ikatan ibadah. Mereka menentukan temapt khusus untuk beribadah, serta menentukan perantara dan upacara yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran terhadap cara-cara yang telah ditentukan mengakibatkan ibadah tidak sah dan tidak dapat diterima Tuhan. Untuk melakukan ibadah diperlukan berbagai macam syarat sajian dan sekedar uang untuk para perantara yang memonopoli urusan keagamaan. Membaca kitab suci menjadi wewenang mereka saja dan demikian pula membaca doa. Kalau dipelajari sejarah agama-agama di dunia, akan dijumpai adanya lembaga karyawan agama yang antara lain berfungsi sebagai perantara manusia awam untuk beribadah kepada Tuhan. Sejarah reformasi dunia Kristen yang dipelopori oleh Martin Luther, motif yang amat menonjol adalah protes terhadap monopoli para ahli agama dalam dunia khatolik. Islam mengembalikan ajaran agama yang murni berasal dari wahyu. Hubungan manusia dengan Tuhan 1

tidak perlu dengan perantara apa dan siapapun. Ibadah dapat dilaksanakan di tempat manapun dan tanpa upacara-upacara di depan para ahli agama. Khusus mengenai tempat melakukan ibadah, Islam mengajarkan bahwa bumi Allah adalah masjid bagi kaum muslimin. Dalam hubungan ini hadist Nabi riwayat Bukhaari-Muslim mengatakan: Bumi ini dijadikan Allah untukku sebagai masjid dan alat bersuci siapapun yang menjumpai waktu shalat, hendaklah ia mengerjakan di mana ia berada Satu-satunya tempat yang dikhususkan untuk melakukan ibadah dengan nilai tinggi adalah baitullah di Mekkah dan daerah sekitarnya untuk melakukan ibadah haji. Di samping itu Islam membebaskan manusia dari ikatan sistem perantara. Al-Quran dalam berbagai ayat : Surat Al Baqarah ayat 186 mengajarkan, bahwa Allah dekat kepada hamba-hambaNya, akan dikabulkan-Nya permohonan orang yang berdoa kepada-Nya, serta orang supaya memenuhi ajakan-Nya dan beriman kepada-Nya, agar senantiasa berada di atas kebenaran. Surat Al Qaf ayat 16 menegaskan, bahwa Allah amat dekat kepada manusia, lebih dekat dari urat lehernya.

tepat, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat, kemudian memanjatkan doa yang pokoknya memohon kepada Allah, jika hal yang dilakukan akan mendatangkan kebaikan dalam kehidupan dunia dan kebaikan di akhirat, dapat dimudahkan jalannya. Tetapi jika sebaliknya, mohon dijauhkan dari yang diinginkan dan mohon diberikan ganti yang lebih baik. Demikian Allah mendidik hati nurani manusia untuk merasakan, bahwa Allah benar-benardekat dan selalu beserta dengan manusia di manapun ia berada. Tetapi hal ini tidak berarti manusia dan Tuhan dapat bersatu, seperti keyakinan para penganut aliran pantheisme. Islam tidak mengajarkan manuggaling kawula gusti. Tuhan tidak pernah menjelma pada manusia dan manusia dituntut untuk mempunyai sebagian sifat-sifat Ketuhanan. A. PRINSIP-PRINSIP IBADAH 1. Ada Perintah dan Ketentuan Dalam melakukan ibadah kepada Allah, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan, bahkan sebaliknya manusia sangat terikat pada ketenuan-ketentuan yang diberikan Allah dan Rasulnya. Dalam bidang muamalah atau keduniaan terdapat kelonggaran yang demikian luas bagi manusia, sesuai dengan kaedah fiqhiyyah yang menyatakan hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkan. Berlainan halnya dengan bidang ibadah, karena terdapat ketentuan manusia, sesuai dengan bunyi kaedah fiqhiyyah Hukum pokok terhadap ibadah adalah bathal (tidak boleh dikerjakan), kecuali ada dalil yang memerintahkan. Untuk ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji dengan jelas terdapat perintah dan ketentuan dalam al-Quran. KemudianRasul sebagai figure yang menerima berbagai perintah ibadah, yang tentu saja sebagai pihak yang paling tahu mengenai isi dan maksud perintah, 1

Islam mengajarkan bahwa hubungan dengan Allah dengan manusia amat dekat, mengajarkan pula bahwa manusia adalah makhluk Allah yang terhormat dan mempunyai kedudukan yang utama di antara makhluk-makhluk Allah yang lain. Oleh karena itu untuk berhubungan dengan Allah, tidak menentukan perantara apa dan siapapun juga. Nabi mengajarkan juga, apanila seseorang menghadapi masalah penting dalam hidupnya di dunia dan memerlukan keputusan yang

selanjutnya memberikan petunjuk kepada umat tentang bagaimana cara melaksanakannya. Petunjuk Rasul ada yang diberikan dalam bentuk fiil atau perbuatan dan ada yang berbentuk qauli atau ucapan. Ibadah shalat ditegaskan kewajibannya antara lain melalui firma Allah daqlam surat al-Ankabut ayat 45 :Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Setelah itu Rasulullah membuat ketentuan-ketentuan, antara lain mengenai perincian waktu pelaksanaan, macam-macam, syarat-syarat, dan rukunnya. Beliau bersabda : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku melaksanakan shalat. Ibadah puasa diwajibkan melalui firman Allah dalam surat alBaqarah ayat 183 : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. Waktu untuk melaksanakan ibadah puasa juga ditetapkan Allah, yaitu pada setiap bulan Ramadhan, sebagaimana tersebut dalam surat al-Baqarah ayat 185 : Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan ramadhan, bahwa yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjukbagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu barang siapa di antara kamuhadir di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Adapun ketentuan tentang syarat puasa, yang menentukan puasa sunnah dan lain sebagainya ditentukan oleh Rasul. Ibadah zakat, ketentuan kewajiban zakat dijelaskan Allah dalam alQuran dalam surat Taubah ayat 103: Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka. Ada delapan golongan (ashnaf delapan) penerima zakat, yang ditentukan dalam surat Taubah ayat 60: Sesungguhnya zakatzakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam

perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Ketentua waktu membayar zakat, kreteria orang yang diwajibkan membayar zakat, kadar yang harus dikeluarkan, jenis-jenis barang yang dikenai zakat dan lain-lainnya, dijelaskan oleh Rasul. Ibadah haji diwajibkan berdasarkan firman Allah dalam surat alBaqarah ayat 194: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Ketentuan ibadah haji hanya diwajibkan atas orangorang yang kuat fisiknya, sehat mentalnya, dan cukup keuangannya untuk pergi dan pulang, diketentuan dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 97: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Sedangkan ketentuan mengenai bagaimana cara mengerjakan haji, seperti thawaf, saI, melontarkan jumrah, wuquf, dan hal-hal yang menjelaskan pantangan dalam menunaikan ibadah haji, pakaian yang dipakai ketika berhaji dan lainlainnya, dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya: Ambilah olehmu dari aku cara cara melaksnakan ibadah haji. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa seluruh ibadah yang diwajibkan memiliki dasar-dasar yang kuat. Ibadah-ibadah sunnat, seperti shalat sunnat dan puasa sunnat juga demikian halnya. Dengan demikian jelaslah, dalam bidang ibadah terdapat satu prinsip, bahwa ibadah yang sah dan boleh dilakukan adalah ibadah yang memang terdapat perintah dan ketentuan dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. 2. Meniadakan Kesukaran Keseluruhan ibadah dalam syariat Islam tidak ada yang menyukarkan dan memberatkan mukallaf atau orang yang dikenai kewajiban, apabila yang tidak mungkin dilaksanakan. Semua ibadah berada dalam batas-batas kewajiban dan sejalan dengan kadar 1

kesanggupan manusia. Prinsip kedua ini diterangkan Allah dalam alQuran surat al-Baqarah ayat 185: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Perintah mengerjakan shalat fardhu, walaupun diwajibkan dalam jumlah lima kali dalam satu hari satu malam, tidak sampai mengakibatkan timbulnya kesukaran bagi orang yang mengerjakan. Seorang karyawan tidak mungkin terganggu pekerjaannya dengan meluangkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mengerjakan shalat. Seorang pedagang tidak akan merugi dan kehilangan pendapatan, karena mengerjakan shalat. Bahkan seorang pengemudi jarak jauh tidak akan terganggu perkerjaannya membawa penumpang, apabila ia mengerjakan shalat. Apalagi ajaran Islam memberikan ruskshah atau keringanan kepada mereka untuk mengerjakan shalat secara jama atau menggabungkan dua shalat pada satu waktu. Demikian juga halnya dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibadah puasa yang mewajibkan manusia menahan makan, minum, dan seks sejak terbit matahari sampai terbenamnya matahari. Pada umumnya tidak menimbulkan kesukaran bagi orang yang melakukan puasa, apalagi dengan disunanatkan makan sahur. Dalam hal ini Rasulullah bahkan mengatakan, bahwa berpuasa itu mendatangkan kesehatan dan sabda tersebut telah dibuktikan kebenarannya oleh ilmu kedokteran. Dalam hal zakat, kadar harta yang wajib dikeluarkan zakatnya oleh muzakki atau orang yang berzakat rata-rata hanya 2,5 % dari harta yang diperoleh. Ibadah zakat tidak menyebabkan timbulnya kesukaran bagi muzakki dan tidak akan mengakibatkan menjadi miskin atau jatuh pailit. Allah menjanjikan untuk mereka yang berzakat ibarat menanam satu biji yang akan memunculkan 7 cabang dantiap cabang akan membuahkan 100 biji dalam surat al-Baqarah ayat 261. Dalam kenyataan, mereka yang rajin dan tertib menunaikan ibadah zakat, justru mendapat rezki yang lebih melimpah dan memperoleh banyak kemudahaan.

Dalam bidang haji, tidak adanya kesukaran lebih jelas lagi, karena yang terkena kewajiban untuk mengerjakan haji hanya orang-orang yang memiliki tingkat kemampuan sedemikian rupa, sehingga tidak ada kesukaran berati bagi mereka dalam pelaksanaannya. 3. Tidak Banyak yang dibebankan Prinsip yang ketiga ini mempunyai hubungan dengan prinsip yang kedua di atas, karena apabila banyak yang dibebankan, tentu akan berakibat timbulnya kesukaran. Yang dimaksud dengan prinsip tidak banyak yang dibebankan adalah bahwa pembebanan dalam syariat Islam jika dibandingkan dengan waktu dan keadaan, sesungguhnya tidak dapat dikatakan banyak. Yang mendasari prinsip ini adalah firman Allah surat al-Maidah ayat 101: hai orang-orang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Quran itu sedang diturunkan, nicaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampunan lagi Maha Penyayang. Berdasarkan ayat ini dapat disimpulkan, bahwa Allah memandang telah memadai hukum-hukum yang diterangkan, dalam pengertian Allah tidak berkehendak untuk memperbanyak hukum, karena hal ini akan menyusahkan hamba-hamba-Nya. Apabila waktu yang diperlukan untuk mengerjakan satu kali shalat diperkirakan 12 menit, maka untuk mengerjakan limaka kali shalat membutuhkan selama satu jam. Oleh karena itu waktu yang diperlukan untuk mengerjakan shalat hanya satu jam dari 24 jam sehari yang dianugrahkan Allah kepada umat manusia. Demikian juga dengan ibadah puasa hanya satu bulan dari 12 bulan, sedangkan ibadah zakat hanya 2,5 % atau 1/40 dari perolehan, dan haji ibadah haji hanya satu kali dalam seumur hidup bagi orang yang mampu. 1

Secara umum dapat dimukakan, bahwa ajaran Islam yang berkaitan dengan ibadah disyaratkan setelah peristiwa hijrah. Hal ini erat sekali kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran yang turun setelah hijrah, yaitu mayoritas berisi ayat-ayat hukum. Di antara ayat-ayat hukum tersebut berkaitan dengan ibadah. Namun demikian sebagian ibadah telah disyaratkan sebelum peristiwa hijrah, misalnya shalat. Para ulama berpendapat, bahwa shalat pada mulanya disyaratkan hanya dua rakaat waktu pagi dan waktu sore, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah surat al-Makminuun ayat 55: Dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi. Shalat lima waktu diwajibkan sesudah peristiwa miraj. Ibadah thaharah disyaratkan sejalan dengan pensyaratan shalat, karena thaharah merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat. Allah telah mewajibkan kepada muslimin berpuasa satu bulan penuh pada bulan Ramadhan setiap tahunnya. Puasa diwajibkan kepada kaum muslimin pada tahun 2 hijrah. Setiap umat beragama mempunyai tempat-tempat tertentu yang dipergunakan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang-orang Arab sebelum Islam mempunyai tempat ibadah, yaitu Baitul Haram yang didirikan oleh nenek moyang mereka, nabi Ibrahim a.s dan nabi Ismail a.s. Oleh karena itu telah ada tradisi bangsa Arab untuk melaksanakan haji sejak zaman nabi Ibrahim dan nabi Ismail sampai datangmnya Muhammad yang diutus Allah menjadi Rasul. Ibadah haji yang dilakukan orang-orang Arab kemudian berubah dan tidak lagi sesuai dengan apa yang diajarakan nabi Ibrahim. Mereka telah mempersekutukan Allah dengan berhala yang mereka letakan di samping Baitullah, di Safa, dan Marwa, yang mereka anggap sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka tidak lagi mengagungkan nama Allah, tetapi telah mengagungkan nama selain Allah. Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasuldan bertugas meluruskan kembali agama yang dibawa nabi Ibrahim dan mengajar manusia untuk tunduk dan patuh menjalankan perintah Allah serta menghacurkan syirik, Allah tetap menetapkan Baitullah sebagai 1

tempat untuk menjalankan haji dan umrah. Ibadah haji difardukan pada tahun 6 hijarah. Pada waktu itu nabi Muhammada pergi ke Baitullah untuk menjalankan umrah, tetapi terhalang oleh musuh. Pada tahun 7 hijarah nabi pergi lagi melaksanakan umrah. Pada tahun 9 hijarah Abu Bakar pergi melaksanakan haji bersama kaum muslimin. Nabi Muhammad pergi haji bersama seluruh kaum muslimin pada tahun 10 hijrah yang dikenal dengan haji Wada. Islam memandang zakat adlah ibadah yang sangat penting dan wajib dilaksanakan sama halnya dengan shalat. Al-Quran menyebut shalat dalam 82 ayat, sedang zakat 31 ayat, dan 22 ayat diantaranya menyebutkan shalat dan zakat sedcara beriringan. Hal ini menunjukkan, bahwa mengeluarakan zakat sama pentingnya dengan ibadah shalat. Perintah ibadah dalam ajaran Islam telah ditetapkan dalam nash dan bersifat tetap. Ibadah tidak terpengaruh oleh perkembangan masa dan perbedaan tempat, serta wajib diikuti tanpa harus terlebih dahulu menyelidiki makna dan maksudnya. Masalah ibadah merupakan sesuatu yang tidak ada imbangannya dalam hukum positif. Hukum positif tidak membahas hubungan makhluk dengan Tuhannya atau hubungan micro cosmos dengan macro cosmos. Dalam Islam masalah ibadah mendapat perhatian yang sangat khusus dan penting. Ibadah merupakan hakikat dan tujuan hidup manusia, seperti yang dijelaskan Allah dalam al-Quran surat az-Zariyat ayat 56: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahku. Menyembah Allah SWT bearti memusatkan penyembahan kepada Allah semata-mata, tidak ada yang disembah dan tempat mengabdikan diri kecuali kepada Allah saja.Pengabdian berarti penyerahan diri secara mutlak dan kepatuhan sepenuhnya secara lahiriah dan batiniah kepada kehendak ilahi. Hal itu dilakukan dengan kesadaran, baik sebagai perseorangan maupun secara berkelompok. 1

Oleh karena itu, semua kegiatan manusia baik yang bercorak ubudiah maupun muamalat harus dikerjakan dalam rangka pengabdian kepada Allah dan mencari keredlaannya. Suatu pekerjaan bernialai ibadah sangat tergantung dari niatnya. Suatu bantuan yang diberikan kepada seseorang betapapun kecilnya bantuan itu, tetapi dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mengaharapkan ridla Allah, maka menjadilah bantuan itu sebagai ibadah. Walaupun pekerjaan yang dilakukan itu adalah shalat, kalau dikerjakan hanya karena mengharap pujian dari manusia, maka shalatr itu tidak mendapat nilai ibadah. Oleh karena itu adanya ibadah yang diajarkan dalam Islam tidak berarti harus menjauhi hidup duniawi. Islam melarang manusia untuk melakukan uzlah yaitu menjauhkan diri dari gejolak masyarakat. Tetapi Islam menuntutagar kehidupan manusia dapat harmonis dan seimbang, seperti dinyatakan dalam al-Quran surat al-Qashash ayat 77 : Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan nasibmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Islam mengajarakan bahwa kehidupan duniawi bukanlah tujuan. Demikian pula hasil kegiatan di muka bumi bukanlah tujuan yang hakiki. Keridlaan Allah yang memungkinkan tercapainya hidup dan kehidupan duniawi yaitu kehidupan ukhrawi, yang puncak kebahagiannya terletak dalam pertemuan dengan Allah merupakan arti ibadah sebagai tujuan hidup. Suatu kehidupan yang bertujuan ibadah, akan memberikan ketenangan hidaup dan kerja. Apapun corak lapangan hidupnya akan selalu membawa ketenangan jiwa para pelakunya sebagai tanda syukur nikmat. Syukur nikmat bearti pula tetap bekerja meningkatkan prestasi dengan harpan akan datangnya hari depan yang lebih cerah dan lebih indah. Selain itu seorang yang bekerja atau menjalankan tugas sehari-hari dengan niat ibadah, maka segala pekerjaanya selalu

dalam batas-batas keredlaan Allah, sehingga jauh dari segala kecurangan dan hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu orang yang kerjanya bernialai ibadah akan membawa kebaikan dan keberuntungan tidak hanya bagi kehidupan pribadinya, tetapi juga bagi kehidupan bersama di masyarakat. Sebaliknya apabila suatu kehidupan tidak bertujuan ibadah, maka seseorang akan mudah mengalami putus asa. Hidupnya di dunia ibarat sebuah perahu yang tengah berlayar di samudera luas, yang dipermainkan gelombang laut tanpa kemudi dan jangkar serta tidak punya pedoman. Ia akan mudah hanyut bahkan tenggelam. Oleh karena itu orang tidak mengetahui tujuan hidup, dalam pekerjaanya akan mudah terlibat dalam kecurangan dan kejahatan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ibadah dalam Islam merupakan sarana untuk menyatakan syukur kepada Allah, yang telah memberikan kurnia kepada manusia dengan berbagai nikmat yang berkaitan penciptaan phisik dan psikis atau dalam bentuk penyediaan segala kebutuhan umat manusia yang beraneka ragam jumlah, jenis, dan rasanya. Manusia diciptakan Allah yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Betapa besarnya nikmat dan kurnia yang diterima manusia tak seorangpun yang mampu menghitungnya. Oleh sebab itu sudah selayaknya manusia bersyukur dan berbakti kepada Pencipta Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa, dengan melakukan ibadah dengan tertib sesuai dengan tuntunan yang telah diberikan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia dalam penciptaan dijelaskan Allah dalam surat at-Tiin ayat 4: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Sedangkan dalam surat al-Isra ayat 70: Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anbak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezeki dari yang 1

baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kurnia yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah kami ciptakan. Manusia diciptakan Allah bukan hanya sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawaban. Manusia diciptakan Allah di dunia untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah. Wujud pengabdian tersebut adalah dalam bentuk semua amal perbuatan yang berhubungan dengan nilai atau pelaksanaan amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardl, yaitu untuk memakmurkan bumi dan segala isinya. Membuat kemakmuran di bumi merupakan tugas utama manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat yang diredhoi Allah. Karena begitu berat dan ulianya tugas yang diberikan kepada manusia, maka manusia diciptakan Allah dalam bentuk konstruksi yang sangat serasi dan bagus. Oleh sebab itu manusia harus mempertanggung jawabkan semua amanah yang dipegangnya. Dalam hal ini Allah menegaskan dalam beberapa surat al-Mukminuun ayat 110: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main(saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami. Dalam surat Bayyinah ayat 5 :Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Allah Maha Mengetahui tentang kejadian dan tugas manusia, maka Allah memerintahkan kepada manusia supaya tetap berkomunikasi dengan Allah. Dengan ibadah komunikasi antara Pencipta dengan makhluknya akan selalu terjaga. Terjaganya komunikasi anatara manusia dengan Tuhan menyebabkan hidup akan terpelihara dari dosa. Orang seperti inilah yang dicita-citakan Islam, yang disebut dengan prediket taqwa. Hal ini pulalahyang menjadi hakekat ibadah dalam ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan al-Quran dalam surat

Di samping itu ibadah juga merupakan pernyataan syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniai manusia dengan berbagai nikmat yang tiada terhingga, sehingga jumlah dan macamnya tak mungkin dapat dihitung oleh manusia, baik dari segi penciptaan fisik manusia yang begitu sempurna maupun dalam penyediaan segala kebuthan hidup manusia. Dengan demikian makin jelas, bahwa tujuan ibadah di samping menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan., juga merupakan cara untuk menyatakan syukur kepada Tuhan atas segala nikmat dan rahmat yang diberikan kepada manusia. B. Macam Ibadah Macam ibadah ditentukan berdasarkan sudut pandang yang dipergunakan unutk menilainya 1. Secara umum ibadah dikelompokkan menjadi : a. Ibadah aammah atau ibadah qhairu mahdllah (non ritual) yaitu semua perbuatan positif yang dilakukan dengan niat baik dan semata-mata keridlaan Allah. Teknis pelaksanaan ibadah ini secara operasional diserahkan kepada orang yang akan melakukannya, dengan memperhatiakan situasi dan kondisinya. Dalam istilah lain dapat dikatakan seluruh amalan yang dizinkan Allah. b. Ibadah Khasshah atau ibadah mahdllah (ritual), yaitu segala kegiatan yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash alQuran dan as-Sunnah. Ibadah dalam artian khusus ini tidak menerima perubahan baik berupa penambahan ataupun pengurangan, misalnya shalat. Shalat dalam ajaran Islam biasanya digolongkan dalam ibadah khusus, karena itu cara melaksanakannya termasuk jumlah rakaatnya tidak dibenarkan 1

al-Baqarah ayat 21 : Hai manusia, sembahalah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa.

untuk ditambah atau dikurangi. Jika terdapat penambahan atau pengurangan, maka hal itu dinamakan bidah, yaitu mengadaada. 2. Ditinjau dari sudut pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu : a. Ibadah Jasmaniah Ruhiyah, yaitu ibadah yang dalam pelaksanaannya memerlukan kegiatan phisik, disertai jiwa yang tulus atau ikhlas kepada Allah. Contohnya adalah shalat yang terdiri beberapa perbuatan dan perkataan dengan disertai kekhusyuan. Kegiatan shalat memerlukan gerak anggota badan, ucapan tertentu dan keikhlasan. Tanpa hal itu semua, shalat yang dilakukan dianggap tidak sah. b. Ibadah Jasmaniah Ruhiyah Maaliyah, yaitu ibadah yang pelaksanaannya memerlukan kekuatan phisik, mental yang membaja, dan materi. Contohnya adalah ibadah haji, haji dalam Islam hanya diwajibkan kepada orang yang mempunyai kemampuan (istithaah). Kemampuan meliputi kemampuan phisik, mental, dan harta. Kekuatan phisik diperlukan bagi mereka yang ingin melalkukan ibadah haji. Phisik yang lemah menyebabkan orang tidak mampu melaksanakan ibadah haji dengan baik dan sempurna. Tanpa kesiapan mental, manusia tidak akan sanggup untuk melakukan haji dengan baik. Di samping itu tanpa materi, terutama bagi mereka yang jauh dari mekkah, ibadah haji tidak dapat dilakukan. 3. Ditinjau dari sudut kepentingannya, ibadah dibedakan menjadi dua kelompok yaitu : a. Ibadah Fardy, yaitu ibadah yang manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melakukan saja dan tidak ada hubungannya dengan orang lain. Contohnya adalah shalat dan shaum merupakan ibadah yang berhubungan langsung antara manusia dengan Allah. Orang yang melakukan shalat

diharapkan dapat menjaga dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Di samping itu orang yang puasa diharapkan dapat benar-benar menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah. Kedua nilai itu tidak akan diperoleh orang lain, kecuali orang itu yang melakukannya sendiri. b. Ibadah IjtimaI, yaitu ibadah yang manfaatnya di samping dirasakan oleh orang melakukan juga dapat dirasakan oleh orang yang lain. Contohnya adalah ibadah zakat, dalam ajaran Islam mengajarkan, bahwa zakat merupakan upaya untuk membersihkan harta seseorang dan sekaligus dapat berfungsi sosial, yaitu untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dengan si miskin atau orang yang tidak mampu. Yaitu antara zakki dengan mustahiq. Dengan mengeluarkan zakat berarti ikut meringankan beban orang lain, artinya sembari beribadah orang lain dapat merasakan manfaatnya. 4. Dilihat dari sudut waktu pelaksanaannya, dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : ibadah

4.1 Ibadah Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaannya sangat terikat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan Allah atau RasulNya. Apabila dilaksanakan di luar waktunya, maka nilainya menjadai tidak ada atau menjadi tidak sah. Mislnya ibadah shalat, setiap shalat mempunyai waktu tertentu, artinya setiap shalat harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Orang yang akan mendirikan shalat harus mengetahui, bahwa pada saat ini telah masuk waktu shalat yang didirikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 103 : Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. Kalau diperhatikan penjelasan hadist yang berkaitan dengan waktu shalat, misalnya dzuhur adalah mulai dari tergelincir matahari sampai dengan bayang-bayang sama panjangnya dengan benda yang didirikan dengan tegak lurus. Hadist Nabi menyatakan: 1

Dari jabir bin Abdullah, bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril a.s. lalu Jibril berkata kepadanya: Berdirilah, lalu shalatlah. Kemudian Nabi shalat dzuhur ketika matahari sudah tergelincir. Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jibril a.s. mengimami aku di Baitullah dua kali. Lalu ibnu Abbas menyebutkan seperti hadist Jibril, tetapi ia berkata di dalam hadist itu: dan Nabi shalat yang kedua kalinya ketika bayangan tiap-tiap sesuatu menjadi sama. Imam Tarmidzi berkata: Hadist ini hasan. Masalah timbul ketiaka perkembangan teknologi dan transportasi meningkat. Timbul pertanyaan. A. Bagaimana orang shalat di kutub yang matahari terbitnya 6 bulan sekali?. B. Bagaimana shalat dipesawat ruang angkasa yang mataharinya terlihat setiap 5 menit. Untuk pertanyaan B. sudah ada jawabannya dari ulama Mekkah ketika putra mahkota Saudi ikut terbang ke angkasa, maka ia yang menyuruh shalat mengikuti shalat di Mekkah. Apakah jawaban itu juga dapat digunakan untuk mereka yang tinggal di kutub? Jika ini dignakan, maka waktu shalat bagi orang di Eropa juga harus mengikuti shalat di Mekkah atau di daerah tropis di bawahnya. Demikian juga hal nya dengan ibadah puasa Ramadhan. 4.2. Ibadah Ghairu Muwaqat, yaitu ibadah yang waktu pelaksanaanya tidak tergantung dengan waktu-waktu tertentu, artinya selama diizinkan Allah, maka hal itu dapat dilakukan. Misalnya untuk bertasbih dan zikir kepada Allah, hal itu dapat dilakukan kapan saja. Begitu juga untuk bersedekah tidak ditentukan waktunya. Hanya waktu-waktu yang diutamakan

5. Dilihat dari sudut status hukumnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian yaitu : 5.1. Ibadah wajib, yaitu ibadah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim dam muslimah. Apabila tidak dikerjakan, maka yang bersangkutan akan mendapat dosa, misalnya shalat, puasa dan zakat. 5.2. Ibadah Sunnah, yaitu ibadah yang sebiknya dilaksanakan. Apabila dilaksanakan yang bersangkutan mendapat ganjaran dan apabila tidak dilaksanakan yang bersangkutan tidak mendapatkan dosa, misalnya shalat rawatib dan dhuha. C. TUJUAN DAN HIKMAH IBADAH Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh fil Ardhi dengan missi memimpin, mengelola, memakmurkan, dan memelihara keselamatan alam semesta. Untuk kepentingan tersebut Allah menurunkan Agama Islam, agar dengan berpegang pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan maksud Allah. Dengan tugas dan fungsi serta tanggung jawab manusia seperti tersebut di atas, Allah menjadi manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi dimuliakan. Manusia terdiri dari dua unsure, yaitu unsure jasmani dan unsure rohani. Kedua unsure tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dan pembinaan yang seimbnag, Unsur jasmani bersifat materi, kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seeperti sandang, pangan dan papan, Sedang unsure rohani bersifat immateri, oleh karena itu kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, sepertti ajaran akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistic atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan immateri, maka ia kan menjadi immaterialistik atau spiritualistic. 1

tentu saja ada, misalnya sadaqah sangat afdhal apabila dilakukan pada bulan Ramadhan seperti yang dijelaskan hadist Nabi: diriwayatkan dari Anas katanya, ketika Rasulullah ditanya kapankah waktu yang paling baik/ paling afdhal melakukan sedeqah. Jawab Rasulullah: sedeqah di bulan Ramadhan. (H.R. at-Tarmizi).

Manusia mengalami dua bentuk kehidupan, yaitu kehidupan pertama di dunia dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di dunia adalah sementara yang sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi atau kekal. Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan bagaimana nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia akhirat dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat. Allah menjadikan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawab, melainkan diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada kehendak Allah dan Ia akan meminta pertanggung jawaan manusia. Hal ii dapat difahami dalam firman Allah dalam surat al-Mukminuun ayat 110: Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Islam adalah agama Rahmatan Lil alamin atau rahman bagi seluruh alam.Oleh karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada segenapperintah dan larangan Allah. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih hatinya dan baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan. Pada hakekatnya hal itu merupakan tujuan agama Islam. Ibadah dalam Islam merupakan wasilah atau perantara dan sama sekali bukan qhayah atau tujuan. Oleh karena itu Islam rahbanah dan bukan pula agama yang mengajarkan untuk berlebih-lebihan mengajarkan ibadah. Adapun tujuan ibadah secara rinci adalah : 1. Untuk membina rohani

Ibadah yang terdapat dalam syariat Islam, yaitu shalat, puasa, zakat dan haji, selain untuk menyatakan ketaqwaan kepada Allah, juga bertujuan untuk menjadaikan rohani manusia senantiasa tidak lupa pada Allah, bahkan supaya senantiasa dekat dengan Allah. Perasaan dekat dengan Allah akan mempertajam kebersihan jiwa, sehingga dapat mencegah hawa nafsu untuk melanggar nilai-nilai Ketuhanan dan hokum yang berlaku dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia. Dalam shalat terdapat dialog antara manusia dengan Allah. Dalam keadaan berhadapan dengan Allah, manusia memuja kemahabesaran dan kemahasucian Allah, menyerahkan diri kepada Allah, memohon supaya dilindungi dari godaan syaitan, memohon ampunan dari dosa yang telah dilakukan, memohon supaya diberi petunjuk ke jalan yang benar serta dijauhkan dari kesesatan dan berbagai perbuatan yang tidak senonoh dan lain-lain sebagainya. Ringkasnya dalam dialog dengan Allah, seseorang memohon kiranya Allah membersihkan rohaninya. Jika seseorang melakukan shalat lima kali dalam sehari semalam denagan penuh keikhlasan menyampaikan permohonan tersebut, diiringi dengan upaya yang sungguh-sungguh ke arah itu, maka rohaninya menjadi bersih dan ia akan terjauh dari perbuatanperbuatan buruk dan jahat. Dalam melaksanakan puasa seseorang diwajibkan menahan hawa nafsu makan, minum, dan seks. Di samping itu ia juga harus menahan rasa amarah, keinginan memaki orang, bertengkar, dan perbuatanperbuatan kurang baik lainnya. Pembinaan jasmani dan rohani bersatu dalam usaha membersihkan jiwa manusia. Dalam bulan Ramadhan orang diajurkan pula untuk banyak mendirikan shalat dan membaca al-Quran. Semuanya itu membawa orang pada keadaan dekat dengan Allah. Pembinaan yang seperti ini disempurnakan dengan pernyataan kasih saying kepada para dhuafa atau anggota masyarakat yang lemah kedudukan ekonominya dengan mengeluarkan zakat fitrah. 1

Dalam mengerjakan kewajiaban menunaikan ibadah haji adalah orang yang berkunjung ke Baitullah (rumah Allah) dalam arti rumah peribadatan yang pertama didirikan atas perintah Allah di dunia. Sebagaimana halnya dalam mendirikan shalat, orang yang mengerjakan haji juga merasa dekat sekali dengan Allah. Bacaanbacaan yang diucapkan pada waktu mengerjakan haji juga merupakan dialog antara manusia dengan Allah.Ibadah haji merupakan usaha pembersihan rohani disertai dengan pembinaan jasmani dalam bentuk pakaian, makanan dan tempat tinggal yang sangat sederhana. Selama mengerjakan ibadah haji perbuatan-perbuatan tidak baik harus dijauhi dan ditinggalkan. Dalam ibadah haji terdapat pula latihan mempertajam rasa persaudaraan antara sesama manusia, karena dalam ibadah haji tiada perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin dan antara orang yang berkedudukan tinggi dengan orangberkedudukan rendah. Dalam hal kewajiban membayar zakat, walaupun ia mengambil bentuk penyerahan sebagian harta yang diperoleh untuk menolong fakir miskin dan orang-orang yang sedang berada dalam kesusahan hidup, tetapi juga merupakan upaya pembinaan rohani. Dalam hal ini rohani manusia dididik untuk menjauhkan kerakusan dan ketamakan pada harta benda, serta diarahkan untuk mempunyai perasaan kasih, murah hati, dan suka menolong anggota masyarakat yang berada damlam kekurangan. Dengan demikian akan terbina pula rasa persaudaraan. 2. Untuk Membina Akhlak Akhlak atau budi perkerti luhur merupakan suatu hal yang sangat

sebagai agamamu, maka hiasilah agama itu dengan akhlak yang mulia dan hati yang pemurah. Di samping itu Allah mengakui, bahwa Rasulullah adalah orang yang memiliki akhlak yang luhur dan mulia. Berbagai ibadah dalam Islam yang telah diwajibkan Allah kepada umat manusia, juga bertujuan untuk membina akhlak manusia, Ibadah shalat sangat erat kaitanya dengan upaya pembinaan akhlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45: Sesungguhnya shalat itu mencegah orang dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Oleh karena itu, melaksanakan shalat dengan tertib, teratur, khusyu dan dilandsasi dengan nilai yang tulus karena Allah, akan dapat membentengi orang dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia. Shalat yang tidak mampu menghindarikan dari perbuatan-perbuatan tercela dan sia-sia adalah shalat yang memiliki nilai rendah. Shalat yang seperti itu selama telah dipenuhi syarat dan rukunnya tetap sah hukumnya, hanya saja belum berhasil mendekatkan pelakunya dengan Allah, sehingga belum dapat menghilangkan perbuatanperbuatan yang tidak dibenarkan Allah. Demikian pentingnya kedudukan shalat dalam kaitanya dengan soal akhlak, sehinggga Rasulullah secara agak terperinci mengaitkan dengan sifat-sifat rendah dari pada Allah, tidak sombong, mengasihi orang miskin dan lain-lainnya melalui sebuah hadist qudsy sebagai berikut : Shalat yang kuterima adalah shalat yang menjadikan pelakuknya berendah diri di hadapan kebesaran-Ku, tidak berkeras menentang perintah-Ku, melainkan senantiasa ingat kepada-Ku dan menaruh kasih saying kepada kaum fakir miskin, orang terlantar dalam perjalanan, wanita yang ditinggal mati suaminya, dan orang yang ditimpa kesusahan.

penting dalam kehidupan masyarakat, bahkan ia merupakan factor penentu kebaikan dan ketentraman suatu masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran jika hal itu banyak disinggung Allah dalam al-Quran. Selain itu, Rasulullah sendiri menyatakan bahwa diutusnya beliau ke dunia adalah untuk menyempurnakan pedoman dan ajaran akhlak. Rasulullah pernah mengatakan, bahwa Allah telah menetapkan Islam

Shalat yang dapat membuat pelakunya terjauh dari macam-macam sifat negatif adalah shalat yang dilakukan dengan penuh keikhlasan. Orang yang khusyu dalam mendirikan shalat dijamin Allah akan memperoleh keberuntungan. Zakat yang merupakan suatu tindakan memberikan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat atau orang lain, sebagaimana halnya dengan ibadah-ibadah lainnya juga berkaitan dengan upaya pembinaan akhlak. Menurut firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103: Ambilah zakat dari sebagaian harta mereka, denagan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikannya.Jiwa pelaku zakat yang telah terbina akan melahirkan akhlak yang baik. Ibadah puasa, sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran dalam surat al-Baqarah ayat 183 menjelaskan eratnya kaitan puasa dengan pembinaan akhlak karena yang hendak dituju dengan ibadah puasa adalah terciptanya manusia yang bertaqwa, yakni manusia yang senantiasa mentaati perintah dan larangan Allah, manusia yang senantiasa melalkukan perbuatan baik dan menjauhiperbuatan buruk dan jahat, sebagaimana diungkap dalam hadist Rasulullah: Dari Abu Huraurah r.a. berkat, Rasulullah SAW bersbda: Apabila salah seorang di antara kamu sekalian itu berpuasa, maka janganlah berkata kotor dan janganlah ribut-ribut. Jika ada seseorang mencaci maki atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata: sesungguhnya saya sedang berpuasa:. Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasululllah SAW bersabda: Barangsiapa tidak mau meningglkan kata-kata bohong dan selalu memperbuatnya, maka Allah tidak memperdulikan puasanya itu dimana ia telah susah payah meningglkan makan dan minum. Puasa yang dapat menghindarkan pelakunya dari bermacam-macam akhlak yang buruk adalah puasa yang dilakukan dengan menahan sedemikian rupa nafsumakan, minum dan seks, serta menghentikan kerja inderawi dari hal-hal yang bersifat negatif.

Dalam ibadah haji juga terkandung tujuan pembinaan akhlak. Ketika orang melaksanakan ibadah haji, seluruh akhlak buruk dan jahat harus ditinggalkan. Larangan ini bermaksud agar orang meningglkan akhlak yang seperti itu dan suka melakukan akhlak yang baik, sehingga benar-benar menjadi kebiasaan dalam kehidupan seharihari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 197: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Ketika melaksanakan ibadah haji orang berdoa supaya ibadah hajinya mabruur atau diterima Allah. Di antara indikasi ke mabruuran haji adalah terjadi perubahan sikap dan tingkah laku seseorang setelah kembali dari melaksanakan ibadah haji, ke arah peningkatan akhlak yang lebih baik. Umat Islam melaksanakan berbagai ibadah adalah karena diperintahkan oleh Allah. Kerana manusia mempunyai kecenderungan untuk taat dan tidak taat, maka Allah mengiringi perintah-perintahnya dengan sangsi atau ancaman yang berlaku di akhirat. Namun demikian ibadah dalam Islam bukan dimaksudkan untuk menyembah Allah, karena Allah adalah Maha Besar, Maha Kaya, Maha Perkasa dan Maha segala-galanya, serta disembah atau tidak disembah Allah tetap dalam keMahaannya. Ibadah disyariatkan semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri, yaitu agar manusia menjadi muttaqin, manusia yang senantuasa mematuhi Allah dalam bidang apapun. Oleh karena itu, manusia harus berusaha supaya dapat dekat ke haribaan Allah atau taqarryb ilallah. Adapun jalan yang efektif ke arah itu adalah dengan tertib dan khusyu melakukan ibadah. Apabila terdapat banyak orang yang bertaqwa di lingkungan masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakatyang baik. Dari masyarakat yang baik insyah 1

Allah akan lahir generasi baru yang baik, yang akan melanjutkan tugas-tugas kekhalifahan manusia. Faktor-factor keikhlasan sangat besar pengaruhnya bagi tercapainya tujuan ibadah. Keikhlasan adalah perbuatan jiw, yaitu sikap jiwa ketika melaksanakan ibadah yang tidak dipengaruhi oleh motivasimotivasi lain, kecuali motivasi karena Allah semata-mata. Allah berfirman dalam surat al-Bayyinah ayat 5: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mengabdi kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)agama dengan lurus. Melaksanakan ibadah dengan tingkat keikhlasan yang tinggi, memungkinkan dapat beribadah dengan kekhusyu;kan yang dalam. Seharusnya setiap orang berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai kualitas ibadah seperti ini, karena ibadah seperti inilah yang dapat menyampaikan seseorang pada tujuan ibadah yang luhur dan mulia. 3. Memelihara Keseimbangan Unsur Rohani dan Jsmani Pada uraian-uraian di atas telah disebutkan bahwa Islam memandang manusia sesuai dengan hakekatnya. Ajaran-ajaran Islam ditujukan untuk umat manusia, agar memperoleh pedoman yang menjamin kebahagian dan kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani, serta perorangan maupun

harus memperoleh temapat secara seimbang. Al Quran dalam surat al-Baqarah ayat 201 mengajarkan, agar manusia mohon kepada Tuhan untuk diberi kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat serta dipelihara dari siksa neraka. Dan al-Quran dalam surat al-qashash ayat 77 mengajarkan, agar manusia mencari perkampungan akhirat dalampemberian Tuhan, tetapi jangan melupakan hidup di dunia. Hadist Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr menceritakan bahwa pada suatu hari Rasululllah dating di rumah Abdullah untuk menanjakan berita orang yang mengatakan, bahwa waktu Abdullah habis untuk beribadah, malam harinya untuk mengerjakan shalat dan siangnya untuk berpuasa. Setelah Abdullah membenarkan berita itu, maka Rasul bersabda: janganlah kau lakukan demikian, shalat, tidur, puasa dan berbukalah kamu; jasadmu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; matamu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; tamutamumu mempunyai hak yang wajib kau penuhi; keluarga juga mempunyai hak yang wajib kau penuhi; mungkin umurmu akan panjang, cukuplah kau berpuasa tiga hari tiap-tiap bulan; setiap kebaikan diberi pahala sepuluh kali lipat, dengan demikian, puasa tiga hari tiap-tiap bulan itu seperti puasa sepanjang masa. Abdullah merasa amat ringan berpuasatiga hari tiap-tiap bulan itu, dikatakannya kepada Nabi bahwa ia mmasih kuat lebi dari itu, maka Nabi bersabda:Kalau begitu puasalah tiga hari tiap-tiap minggu. Abdullah masih merasa ringan, dikatakannya pula kepada Nabi bahwa ia masih kuat lebih dari itu, maka Nabi bersabda:Kalau begitu puasalah seperti puasa Nabi Daud. Ditanyakannya bagaimana puasa Nabi Daud itu, oleh Nabi dijawab:Setengah panjang masa artinya sehari puasa dan sehari berbuka. Berdasar ayat al-Quran dan hadist Nabi tersebut dapat diperoleh kepastian bahwa pelaksanaan ibadah dalam Islam tidak boleh sampai mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menyangkut kebutuhan jasmaniah dan duniawiah. 1

kemasyarakatan. Manusia merupakan kesatuan unsure rohani dan jasmani. Manusia hidup memerlukan hasil potensi alam. Manusia hidup memerlukan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan dilakukan dengan iman yang bersebdi tauhid mutlak dan ibadah yang ihklas sesuai dengan tuntutan yang diberikan. Islam mengajarkan bahwa manusia yang berunsur jasmani dan rohani, yang hidup di dunia menuju akhirat, masing-masing unsur

Islam mengajarkan agar manusia tidak perlu mengurangi sifat-sifat kodrat kemanusiaannya, manusia perlu bekerja untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, serta manusia supaya bekerja untuk memajukan dan meningkatkan kehidupan di dunia. Yang harus menjadi pokok perhatian adalah jangan sampai usaha keduniaan melalikan orang dari hubungan dengan Allah, Tuhan yang memberikan hidup. Jangan sampai usaha memenuhi kebutuhan jasmani melalikan usaha memenuhi kebutuhan ruhaniah. Keinginan memperoleh kesenangan hidup di dunia jangan sampai mendesak kebutuhan membekali diri untuk hidup kekal di akhirat. Orang jangan sampai lupa kepada Allah, karena ia akan lupa hakekat dirinya dan hakekat wujudnya. Dalam hubungan ini, alQuran surat Al-Hasyr ayat 18-19 memperingatkan orang-orang beriman, hendaklah bertaqwa kepada Allah. Masing-masing supaya memeriksa perbekalan apakah yang telah disiapkan untuk menghadapi kehidupan di masa depan, kehendaklah bertaqwa kepada Allah, sungguh Allah Maha mengetahui segala sesuatu yang dilakukan. Jangan hendaknya seperti orang-orang yangb lupa kepada Allah, karena akan melupakan mereka terhadap diri mereka sendiri. Orang-orang yang lupa kepada Allah adalah orang-orang yang fasik. Prinsip-prinsip yang diuraikan di atas berkaitan dengan kondisi fisik dan psikis manusia, sehingga syariat ibadah dapat diterima akal, serta, mudah dimengerti dan dilaksanakan. Allah sebagai Pencipta manusia, MahaMengetahui keadaan manusia. Oleh karena itu, dalam pembebanan ibadah keapada manusia, kelihatan sekali bahwa factorfaktor kesanggupan hamba, naluriyahnya, keadaan kesehatannya, dan juga kesempatannya turut dipertimbangkan.

ARDI WINATA Dosen UNIVERSITAS DARMA PERSADA


JAKARTA

PENGANTAR
PEMAHAMAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI

DAFTAR ISI
PENGANTAR ...... i DAFTAR ISI .... ii I. PENDAHULUAN ........... 1 II. KONSEPSI MANUSIA DALAM ISLAM ....... 9 Perbedaan Manusia dengan Hewan ... 9

1. Pengertian Ruh ........ . 2. Ruh dalam Alquran ........ 3. Pengertian Nafs ........... 4. Nafs dalam Alquran ........

12 13 17 19

B. Akal dan Fungsinya dalam Alquran .......... 21 1. Pikiran .......... 25 2. Qalbu ........ 27 C. Kebebasan Akal ...... 1. Mekanisme Akal .... 2. Obyek Pikiran ... 3. Obyek Qalbu .. Hakikat Manusia ..... 36 Alquran tentang Hakikat Manusia ... 37 .. KONSEPSI TUHAN DALAM ISLAM .. 42 A. Makna Kalimah Syahadat .... . 43 1. Pengertian Tentang Tuhan ....... 44 2. Proses Pemahaman Tentang Tuhan ... 45 3. Tuhan dalam Al Quran ........... 50 4. Makna Dua Kalimah Syuahadat Dalam Realitas Kehidupan ........ 54 IV. Konsepsi Penciptaan Aalam semesta 29 30 31 34

C. Kualiatas Sunnah Rasul/Hadist .... 71 D. Fungsi Sunnah Rasul /Hadist dalam Syariat Islam .... 77 E. Ijtihad .. 80 1. Ruang Lingkup Ijtihad ... 83 2. Metode Ijtihad .... 85 3. Langkah-langkah dalam berijtihad ..... 87 4. Perbedaan Pendapat Hasil Ijtihad ... 91 5. Re-orientasi IjtihaHikmah Ibadah .. 94 VI. Hikmah Ibadah Dalam Islam .. 99 A. Prinsip-Prinsip Ibadah .. 99 Ada perintah dan ketentuan ...... 103 Meniadakan kesukaran ... 105 3. Tidak Banyak yang dibebankan ..... 107 B. Macam Ibadah . 113

1. 2.

1. 2. 3.

C. Tujuan dan Hikmah Ibadah ........... 117 Untuk membina Rohani ..... 119 Untuk membina Akhlak .... 121 Memelihara keseimbangan ....... 125

Pengertian Penciptaan ..... Penciptaan Dalam Al Quran .. Proses Penciptaan Alam semesta .... nah Rasul dan Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam .... 59 A. Sistematika Sumber Ajaran Islam ... 59 B. Ayat-ayat al-Quran yang Qathi dan Zhanni Dalalah Dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum .... 61 1. Ayat-ayat al-Quran dari segi Sumbernya .. 61 2. Ayat-ayat al-Quran dari segi Penunjukkan .. 69

1. 2. 3.

nikmatnya keapada Rasulullah Muhammad SAW. Yang terlah membuka fikiran manusia untuk menuntun kepada jalan yang benar. Buku yanag berjudul Pengantar Pemahaman Islam di Perguruan Tingggi ini disusun untuk memenuhi tuntutan literature para mahasiswa. Sebagai buku pegangan, satu sisi tentunya diharapkan mahasiswa dapat lebih aktif mengkaji dan mendiskusikan materi perkuliahan. Sisi lain tenaga pengajar sebagai pembimbing materi perkuliahan ini, diharapkan lebih berperan selaku manajer kelas. Dengan pola seperti ini diharapkan mahasiswa dapat belajar secara aktif dan mandiri, agar proses belajar mengajar berjalan secara efektif. Sesuai dengan uraian buku ini yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap sesuatu apapun bentuknya merupakan sunnatullah, apalagi memahami sumber keyakinan manusia itu sendiri yaitu agama. Karena tiu suatu pemahaman memerlukan suatu proses yang tidak pernah berhenti.Semoga buku ini dapat memberi wawasan kepad para pembaca. Jika ada saran dan kritik akan kami sambut dengan senang hati demi tercapainya kualitas yang lebih bermutu. Semoga Allah SWT selalu melindungi hamba-hambanya dan melimpahkan rahmatnya kepada kita semua, terutama kepada hambaNya yang menempatkan segala aktivitasnya sebagai karya ibadah. H. Ardi Winata KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, segala puja dan puji serta syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Benar, yang telah memberikan rahmat dan 1

DAFTAR PUSTAKA

1.

9.

15.

Departemen Agama , Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta, 1990 2. Murtadha Mutahhari, Manusia dan Agama, Perspektif Al-Quran Tentang Manusia dan Agama, Pentej. Haidar Bagir, Mizan, Bandung , 1984 3. Ibrahim Madkur, al-Mujam al-falsafi. Kairo: al-Haiah al-Amah li Syuun al-Mutabi al-Amiriyah, 1979 4. Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Dalam Islam.(terj) Ali Auda, Taufik Ismail, Gunawan Muhammad, Tintamas, Jakarta, 1966 5. Al Ghazali,Ihyaulum ad-Din, Jilid 3. Singapura: Sulaiman MarI, tanpa tahun 6. C.A. Van Peursen, Tubuh-Jiwa-Roh, Terjemahan K. Bertens, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983. 7. Fakhr ad-Din Muhammad ar Razi, Tafsir al-fakhr ar-Razi, Cetakan ke 3. Bairut: Dar al-fikr, 1985. 8. Ibn Manzur.Lisan al-Arab. Mesir: Dar al-Misriyah li at-Talif wa at-Tarjamah, Jilid 7, 1968. Ibn. Sina. An-Najat. Cair: Mustafa al-Babi al-Halabi. 1938. 10. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia, Jakarta, 1982. 11. Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran, Cbibliotheca Islamic, Chicago, 1980. 12. _____________, Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989 13. Jean Paul Sarte, The Transcendence of the Ego, terjemahan Forrest William, New York, 1957. 14. Syyid Qutub, Fi az-Zilal al-Quran, Bairut: Ahya al-Taras alArab 1967. Ernst Cassier, An Essay on Man, New York 1956. 16. Ahmad Muhammad Al-Hufy, Min Akhlaqin Nabi, (terj) Bulan Bintang, Jakarta, 1987 1

23.

17. HA. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung 1990. 18. Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Studi Krisis Atas Hadist Nabi : Antara Pemahaman Tektual dan Kontektual, Mizan Bnadung, 1996. 19. Zakiah Daradjat, Shalat menjadikan Hidup Bermakna, CV. Rohama, Jakarta, 2000. 20. _____________, Zakat Pembersih Harta dan Jiwa, VC. Rohama, Jakarta, 1996 21. _____________, Dasar-DasarAgama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996 22. Muhammad Husein Haikal, Hayatu Muhammad,(terj.) Pustaka Jaya, Jakarta, 1980 Hamka, Pelajaran Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. 24. Kamaruddin Hidayat, Agama dan Masa Depan, Paramadina, Jakarta, 1998 25. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, Pustaka, Bnadung, 1981. 26. Fazlur Rahman, Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989 27. Abu Hasan/Nuruddin Muhammad Ibnul Hady Samady, Shahih Bukhary, Dar Ihya al Kutuil Arabiyah, Mesir, Kairo, 1966 28. Moh. Ali As-Shabuny, At-Tibyaan fil ulumil Qur;an, Dar alIrsyad, Bairut, 1974. 29. Baiquni, Achamad, Konsep-konsep Kosmologi Dalam Al Quran, Makalah Paramadina, Serie KKA 28/THN III/1989. 30. _______________, Filsafat Fisika dan Al Quran,Umul Quran. No.4 Januari-Maret 1990. 31. _______________, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Sumbangan HUT Ke 70 Prof. Dr. H.M. Rasyidi. 32. _______________,Teropong Islam terhadap Ilmu Pengetahuan, Ramadhani, Solo, 1989. 33. _______________, Sains dan Teknologi dalam Islam, Makalah Pesantren Teknologi, Muhammadiyah, Janusri 1992,

34. _______________, Alam Ghaib Punya Hukum Sendiri, Pelita, 18 Maret 1991. 35. Bucaille, Maurice, Bibel, Quran dan sains Moren, Terj. M. Rasyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1978. 36. ______________, Asal Usul Manusia menurut Bibel, al-quran, sains. Terj. Rahmani Astuti, Mizan, Bandung 1986. 37. Abi al Qasim Muhammad Ibn Umar al Zamakhsyari-alKhawarismi, Al Kasysyaf 38. Mansur ibn, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Misriyah Li-at-Talip wa at Tarjamah, Jilid 7 1968.

RIWAYAT HIDUP Drs. Ardi Winata dilahirkan di Curup Propinsi Bengkulu pada tanggal 16 Juni 1957, dari keluarga pedagang berasal dari Danau Maninjau Sumatra Barat. Pendidikan SDN 3 Curup, tamat tahun 1970 dan pernah menempuh Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Curup hingga kelas 2, kemudian pindah ke Pesantren di Thawalib Padang Panjang selama 2 tahun, dan Kuliahtul Ulum El Islamiyah Thawalib Padang Panjang selama 3 tahun, kemudian melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin tahun 1978 menyelesaikan serjana muda 1981 dan melanjutkan tingkat doktoral Jurusan Aqidah dan Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Selesai pada tahun 1986. Sejak tahun 1986 menjadi asisten dosen Dr.H. Zaghlul Jusuf, SH di Universitas As-Syafiyah dan Akademi Gizi, Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti. Menjadi dosen tetap Universitas Darma Persada ini sejak tahun 1988 hingga sekarang mengasuh mata kuliah Agama Islam. Buku ini dibuat dengan judul Pengantar Pemahaman Islam di Perguruan Tinggi, untuk mempermudah pemberian materi kuliah. Pada tahun 1990 menunaikan ibadah haji yang dibiayai oleh Alm. Ir. Bambang Suryo Sunindar, Dekan Fakultas Teknologi Kelautan. Atas nama Universitas Darma Persada. Allah menitipkan satu orang istri dan tiga orang anak, dua laki-laki satu orang perempuan. Ketiga anak saya ini masih dalam proses pendidikan. Demikian sekilas profil untuk memudahkan berkomunikasi.

PENGANTAR
PEMAHAMAN ISLAM DI PERGURUAN TINGGI

ARDI WINATA
1

You might also like