You are on page 1of 4

Kebudayaan sebagai Praksis, Proses dan Konteks

Rahmad Efendi*
*

Mahasiswa Departemen Antropologi FISIP Unpad, Jalan Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21, Jawa Barat. Email : bocahbuana@yahoo.co.id.

Clifford Geertz (1973), mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai : (1) Suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka. (2) Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui tersbut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. (3) Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi. Geertz melihat kebudayaan adalah sistem simbol, karena itu proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasi. Simbol-simbol yang menunjukkan suatu kebudayaan dilihat sebagai wahana dari konsepsi, dan kebudayaanlah yang memberikan unsur intelektual dalam proses sosial. Kebudayaan memberikan pedoman bagi tindakan didalamnya, karena menyediakan model dari apa yang dipandang sebagai realitas, dan polapola bagi perilaku sehingga memasuki ruang tindakan sosial. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja menurut Venn (2003), Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Dengan kata lain, Geertz kurang memperhatikan budaya sebagai kenyataan dinamis. Banyak kritik dialamatkan kepada analisis intrepretatif kebudayaan. Kritik tersebut antara lain bahwa analisis kebudayaan itu hanya menjelaskan sedikit, sempit, eksklusif, dan meyimpang dari kehidupan nyata yang luas. Analisis kebudayaan gampang terjebak ke dalam kualitas estetika, dan cenderung gamang pada isu survival atau isu kekuasaan yang mendunia akhir-akhir ini (Yusuf, 2008) Menurut Asad (1983 dalam Alam, 2003), salah seorang pengeritik Geertz, kelemahan utama pendekatan Geertz disebabkan oleh definisinya tentang kebudayaan

sebagai sesuatu totalitas arti yang bersifat apriori (seolah-olah diterima jadi dari generasi sebelumnya), yang sama sekali dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan dan efekefeknya. Akibatnya, terwujudlah dalam pendekatan Geertz sistem kebudayaan dan realitas sosial . Dengan jurang pemisah antara Geertz

kata lain, pendekatan

yang demikian menggambarkan hubungan antara simbol-simbol kebudayaan dan kehidupan sosial sebagai suatu hubungan satu arah di mana simbol-simbol kebudayaan

yang menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Apa sesunggguhnya yang dimaksudkan Asad dengan pembentukan kekuasaan dan efek-efeknya? Menurut Venn (2003), hal tersebut berarti bahwa kita bukan hanya memperhatikan pertanyaan ala Geertz: Orang setempat memberikan makna apa?, tetapi juga pertanyaan Mengapa orang tertentu memberikan makna seperti itu? Kelihatannya proses pemberian makna tidak terlepas dari dinamika kekuasaan dalam realitas sosial. Kita sebagai pemberi makna dipengaruhi oleh apa yang terjadi di masyarakat. Itu berarti, makna atau pemberian makna selalu berhubungan dengan realitas sosial dan kekuasaan. Makna dapat berubah kalau realitas sosial dan hubungan kekuasaan berubah. Makna bukan hanya sesuatu yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya atau dari Tuhan, tetapi makna juga dipengaruhi dan dibentuk oleh manusia secara aktif dalam konteks sosial yang penuh dengan kekuasaan. Asad mengatakan bahwa kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan kekuasaan. Pelaku memiliki kekuasaan dan kepentingan, dan dia akan memberikan makna dan bertindak secara strategis dalam praksis. Pada saat yang bersamaan ada kekuasaan diluar kemampuan si individu, misalnya kekuasaan politik, militer dan ekonomis di level nasional dan internasional (Venn, 2003). Dalam teori antropologi masa kini, Bachtiar Alam (2006) menyatakan bahwa kesadaran subyektif (kesadaran pelaku terhadap tindakannya) mendapat posisi yang sangat penting dalam teori praksis (theory of practice) yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (1977; cf. Jenkins 1992 dalam Alam 2006). Konsep praksis (practice) Bourdieu dibedakan dari konsep tindakan (action) yang merupakan salah satu konstruk teoritis utama sosiologi Weber, yang diwariskan dalam berbagai pendekatan antropologis, antara lain pendekatan interpretatif Geertz (1973 dalam Alam 2006). Berbeda dengan konsep tindakan yang dalam tradisi sosiologi Weber (yang cenderung dilihat sebagai pencerminan ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si pelaku) konsep praksis menekankan adanya hubungan

timbal balik antara si pelaku dan struktur obyektif atau kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam bentuk simbolik (Bourdieu 1977 dalam Alam 2006). Konsep praksis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan apa yang oleh Bourdieu disebut sebagai struktur obyektif yang mencakup juga kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang diwariskan dari generasi ke generasi (Bourdieu 1977 dalam Alam 2006). Bourdieu menggambarkan hubungan timbal balik di antara keduanya sebagai (1) struktur obyektif direproduksi secara terus menerus dalam praksis para pelakunya yang berada dalam kondisi historis tertentu, (2) dalam proses tersebut para

pelaku mengartikulasikan dan mengapropriasi simbol-simbol budaya yang terdapat dalam struktur obyektif sebagai tindakan strategis dalam konteks sosial tertentu, (3) sehingga proses timbal balik secara terus menerus antara praksis dan struktur obyektif dapat menghasilkan baik perubahan maupun konstinuitas. Kebudayaan dalam arti ini merupakan suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan yang dimiliki si pelaku.

Kesimpulan: Implikasi utama dari konsep praksis bagi konsep kebudayaan ialah bahwa simbolsimbol yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang mempunyai kepentingan tertentu. Kebudayaan dalam arti ini bukan semata-mata merupakan sekumpulan pengetahuan yang diwariskan atau dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang dibentuk, suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan si pelaku. Dilihat dari teori praksis seperti ini, hubungan saling membentuk dan mempengaruhi antara pelaku dan kebudayaan merupakan hubungan dialektis antara subjek dan struktur objektif. Praksis para pelaku tidak sepenuhnya bebas dari struktur objektif, tetapi praksis juga dapat merubah struktur objektif (Alam, 2006). Implikasi lainnya dari konsep kebudayaan demikian adalah bahwa kebudayaan sebagai senantiasa terwujud sebagai proses; proses interaksi timbal balik antara si pelaku dan simbol-simbol budaya dalam upaya si pelaku untuk mengartikulasikan dan

mengapropriasikan simbol-simbol tersebut demi kepentingannya. Terakhir, kebudayaan yang terwujud sebagai praksis dan proses, akan juga berfungsi sebagai konteks bagi

tindakan si pelaku. Kebudayaan dalam arti konteks seperti ini menawarkan sejumlah konsepsi yang menjadi bahan pertimbangan si pelaku dalam menentukan tindakannya (Alam, 1997).

Literatur Alam, Bachtiar.(1997). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Jurnal Antropologi Indonesia, 1997/98, No. 54. Alam, Bachtiar.(2006). Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol. 30, No. 2. Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Veen, C.V.D. (2003). Mentransformasikan Budaya. LINTAS : Jurnal Forum Dialog (FORLOG) Antarkita Sulawesi Selatan. "Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial. Edisi 1, Maret 2003. Yusuf, Andi Muhammad. (2008). Sejarah Teori Antropologi II : Review Pembahasan Materi. Tugas Mata Kuliah Jurusan Antropologi Sosial FISIP Universitas Hasanuddin Makassar.

You might also like