You are on page 1of 12

Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Penegakkan hukum di Indonesia selain ditujukan untuk menegakkan keadilan dan ketertiban, juga untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Atas dasar itulah semua masalah sosial di masyarakat yang terkait dengan aspek kejahatan tidak akan lepas dari pemidanaan. Pemidanaan atau disebut juga penjatuhan pidana dalam segala bentuk dan perwujudannya, merupakan proses yang diajukan ke pengadilan yang nantinya terpidana dijatuhi hukuman yang setimpal demi tercapainya keadilan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakat. Mereka yang melakukan tindak kejahatan akan diajukan ke pengadilan untuk kemudian dijatuhi pidana yang setimpal. Mengenai macam pidananya, menurut pasal 10 KUHP, Indonesia mengenal dua macam pidana yaitu: 1. Pidana pokok a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Kurungan d. Denda

2. Pidana tambahan a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Pencabutan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim Jenis pidana yang memegang peran utama saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan atau yang lazim disebut dengan pidana penjara. Pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya pidana penjara, dilaksanakan di belakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana. Mereka dikumpulkan dan bergaul dengan penjahat-penjahat dari berbagai type, manusia yang berbeda asal usulnya. Disana para narapidana akan dibina dan dididik dengan tujuan agar
1

mereka dapat menjadi warga negara yang baik dan berguna, mereka juga akan diajari keterampilan-keterampilan tertentu sebagai bekal mereka ketika terjun di masyarakat dan memulai hidup baru yang lebih baik. Dewasa ini, tepatnya sejak 27 April1964 melalui amanat tertulis Presiden Soekarno yang dibacakan pada konferensi Dinas Para Pejabat Kepenjaraan di Lembang Bandung, Indonesia secara resmi tidak lagi menggunakan istilah penjara dan diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Sebab, pada dasarnya tujuan pidana penjara adalah membina narapidana untuk kemudian dikembalikan lagi ke masyarakat atau istilahnya adalah Pemasyarakatan sehingga tempat untuk membina sekaligus mendidik narapidana untuk menjadi warga negara yang baik pun menyesuaikan menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Menurut konsep pemasyarakatan, pembinaan terhadap narapidana bisa dilakukan di dalam maupun diluar lembaga. Pembinaan narapidana yang dilakukan diluar lembaga diantaranya adalah: 1. Pembebasan Bersyarat 2. Asimilasi 3. Cuti Menjelang Bebas Pembinaan narapidana diluar lembaga pemasyarakatan seperti yang telah disebutkan diatas, menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 adalah termasuk sebagian dari hak-hak narapidana. Artinya, setiap narapidana berhak mendapatkan pembinaan diluar lembaga asalkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara. Adapun untuk penjelasan lebih detailnya, makalah ini hanya akan mengkhususkan pada pembahasan tentang pembebasan bersyarat saja.

Pembebasan Bersyarat A. Pengertian Pengertian pembebasan bersyarat terdapat dalam beberapa ketentuan yang mengatur tentang pembebasan bersayarat, antara lain :
2

Pasal 43 undang-undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pembebasan Pemasyarakatan Bersyarat setelah adalah menjalani proses pembinaan Lembaga 2/3 masa

sekurang-kurangnya

pidananya minimal 9 bulan. Pasal 15 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. Sehingga dapat dipahami bahwa pembebasan bersyarat adalah salah satu metode pembinaan narapidana diluar lembaga pemasyarakatan setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang telah ditetapkan, terkait dengan persyaratan-persyaratan untuk memperoleh hak pembebasan bersyarat akan dijelaskan pada sub bab tersendiri. Pembebasan bersyarat merupakan pembinaan narapidana yang

menitikberatkan pada penyatuan atau peng-integrasian narapidana dengan masyarakat sebelum masa pidananya habis.

B. Tujuan
1. Pembebasan bersyarat diberikan dengan tujuan sebagai pendidikan bagi

terhukum yang diberi kesempatan untuk memperbaiki diri (KUHP pasal 14 huruf a)
2. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada napi dan anak didik

pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan (Permen Hukum dan HAM Republik Indonesia No. M.2.Pk.04-10 Tahun 2007. Tentang Syarat dan tata cara pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Pasal 4 ayat 2)

3. Memberikan

kesempatan

pada

narapidana

dan

anak

didik

pemasyarakatan untuk pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. 4. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

C. Subyek Pembebasan Bersyarat 1. Narapidana atau Napi, yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas); 2. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di lapas anak paling lama sampai berumur 18 tahun; 3. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana lapas anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Namun ada beberapa pengecualian pemberian pembebasan bersyarat yaitu, pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan kepada napi atau anak didik pemasyarakatan yang kemungkinan akan terancam jiwanya, dan napi yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup.

D. Dasar Pertimbangan Keputusan Pemberian Pembebasan Bersyarat Untuk mendapatkan keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat, jugadidasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain:
1. Sifat tindak pidana yang dilakukan; 2. Pribadi dan riwayat hidup (latar belakang kehidupan) Narapidana; 3. Kelakuan narapidana selama pembinaan; 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia

dibebaskan;
4

5. Penerimaan masyarakat dimana ia akan bertempat tinggal. (Chazawi, A. 2002)

E. Syarat-syarat pemberian pembebasan Bersyarat Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan di atas, Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat jika sudah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, minimal telah menjalani sembilan bulan masa Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Jadi Narapidana memiliki hak mendapatkan Pemberian Pembebasan Bersyarat apabila ia dijatuhi hukuman pidana dengan masa sedikitnya 1 ( satu ) tahun lebih 2 ( dua ) bulan dan berkelakuan baik selama ada pada masa Pembinaan dalam LAPAS. Persyaratan Substantif yang harus dipenuhi oleh Narapidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 adalah: a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana b. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif c. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan

Narapidana yang bersangkutan e. berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir f. masa pidana yang telah dijalani adalah 2/3 dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 dari masa pidananya tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan ) bulan.
5

Ada pula yang dinamakan persyaratan administratif untuk dipenuhi oleh Narapidana. Persyaratan yang dimaksud meliputi: a. kutipan Putusan hakim ( ekstrak vonis ) b. laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan c. surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana

pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana yang bersangkutan d. salinan register F ( daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana selama menjalani masa pidana ) dari Kepala LAPAS atau RUTAN e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti Grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau RUTAN f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana, seprti pihak keluarga, sekolah, Instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya Lurah atau Kepala desa g. bagi Narapidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan: (1) surat jaminan dari Kedutaan Besar/ Konsulat negara orang asing yang bersangkutan bahwa Narapidana tidak melarikan diri atau menaati syarat-syarat selama menjalani Pembebasan Bersyarat (2) surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat

mengenai status keimigrasian yang bersangkutan. Menurut ketentuan pasal 15 (2) KUHP, setiap pemberian

pembebsanbersyarat harus disertai pemetapan masa percobaan dan syarat-syarat yangharus dipenuhi selama masa percobaan. Lama masa percoban sama
6

dengansisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun,demikian ketentuan Pasal 15 ayat (3) KUHP. Sedangkan syarat-syarat yangharus dipenuhi selama masa percobaan dapat berupa syarat umum yangdapat pula ditambah dengan syarat khusus (Rubal, M. 1997) Syarat umum adalah berisi keharusan bagi Napi selama masa percobaan, tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan tercela lainnya (Pasal 15 ayat (1)). Perbuatan tercela tidak hanya dalam lingkup perbuatan pidana, artinya pengertiannya lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang di tempat pelacuran atau ditempat hiburan malam seperti diskotek, atau bergaul dengan para penjahat, para preman dan lain sebagainya Sedangkan syarat khusus adalah segala ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah agamanya (pasal 15 ayat 2). (Chazawi, A. 2002) Pemberian Pelepasan Bersyarat dapat dicabut. Jaksa tempat beradanya Napi dapat memerintahkan untuk mencabut hak tersebut dan napi dapat ditahan kembali dengan alasan untuk kepentingan umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa ia dalam masa percobaan telah melanggar syarat dalam surat lepasnya (pasal 15 ayat (3)).

F. Tata Cara Pemberian Pembebasan Bersyarat Berdasarkan PERMEN HUKUM DAN HAM No M.2.PK.04-10 Tahun 2007, dalamPasal 11, menerangkan bahwa tata cara untuk pemberian Pembebasan Bersyarat adalah :
1. Tim

Pengawas Pemasyarakatan (TPP) atau TPP Rutan setelah pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan

mendengar

perkembangan pembinaan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan

pemberian pembebasan Bersyarat kepada kepala Lapas atau Kepala Rutan;


2. Apabila Kepala Lapas atau Kepala Rutan menyetujui usul TPP Lapas

atau TPP Rutan selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat, dengan tembusan kepala Direktur Jendral Pemasyarakatan;
3. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM memutuskan untuk

menolak atau menyetujui usulan Pembebasan Bersyarat, setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat;
4. Apabila Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM menolak tentang

usulan Pembebasan bersyarat, maka dalam jangka waktu paling lama 14(empat belas hari) sejak diterimanya usul tersebut, memeritahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lapas atau kepala Rutan;
5. Apabila Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM menerima tentang

usulan Pembebasan bersyarat, maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas hari) sejak diterimanya usul tersebut, meneruskan usul tersebut kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan;
6. Apabila

Direktur

Jenderal

Pemasyaraktan

menolak

tentang

usul

Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka waktu paling lama 14 (empatbelas hari) sejak tanggal penetapan, memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lapas atau kepala Rutan;
7. Apabila

Direktur Jenderal Pemasyaraktan menerima tentang usul Bersyarat, maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan

Pembebasan

menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat.

G. Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)

Di Indonesia, Tim Pengamat Pemasyarakatan bertugas melaksanakan sidang yang bertujuan untuk :
1. Menyusun rencana program bimbingan tahap awal, lanjutan dan akhir

2. Membahas kasus klien tertentu guna menentukan program bimbingan 3. Menyampaikan rencanprogram kepada Kepala Balai Bispa (sekarang Bapas) 4. Mengadakan penilaian pelaksanaan program bimbingan.

Susunan keanggotaan Tim Pengamat Pemasyarakatan terdiri dari: 1. Pembimbing kemasyarakatan


2. Pejabat struktural yang ditunjuk 3. Pembimbing kemasyarakatan sukarela, badan sosial atau organisasi

kemasyarakatan 4. Para ahli yang diperlukan (Petunjuk Pelaksanaan-Petunjuk Teknis Menteri Kehakiman RI)

H. Indikator keberhasilan dan kegagalan pembebasan bersyarat

Indikator

keberhasilan

pembebasan

bersyarat

menurut

Cohen

(1995)),

pembebasan bersyarat yang berhasil bila mana klien pembebasan bersyarat sedikitnya selama 2 (dua) tahun masa pembebasan bersyaratnya tidak melakukan pelanggaran atau kejahatan. Sedangkan menurut Evans (1968), klien pembebasan bersyarat setelah bebas dari penjara dan menjalankan masa pembebasan bersyaratnya telah mendapat pekerjaan yang layak dan penghasilan yang baik akan dapat menjaga keseimbangan antara penghasilan yang diperoleh pembebasan bersyarat melakukan kejahatan lagi. Adapun indikator kegagalan pembebasan bersyarat yang juga menurut Cohen (1995), pembebasan bersyarat yang gagal adalah residivis, yaitu klien pembebasan
9

dengan

kebutuhan, baik barang maupun jasa. Kondisi seperti itu akan dapat mencegah klien

bersyarat yang kembali ke lapas untuk menjalani hukuman karena melakukan tindakan kejahatan baru setelah bebas pada masa pembebasan bersyarat, sedangkan menurut Evans (1968) klien pembebasan bersyarat dalam menjalani masa pembebasan bersyarat tidak memiliki pekerjaan yang layak dan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini mendorong klien untuk melakukan kejahatan lagi. Pelanggaran pembebasan bersyarat dibagi menjadi 2 jenis, yakni pelanggaran minor dan mayor. Pelanggaran minor adalah pelanggaran aturan pembebasan bersyarat seperti meninggalkan tempat tinggal/pergi keluar kota, mengendarai kendaraan tanpa SIM dan tidak melapor ke Bapas setiap Bulannya. Sedangkan pelanggaran mayor adalah melakukan tindak kejahatan. Berikut adalah faktor penyebab kegagalan pembebasan bersyarat yang digunakan Burgess : 1. Jenis kejahatan 2. Jumlah teman dalam tindak kejahatan yang disangkakan 3. Kebangsaan/suku bangsa dari ayah narapidana 4. Status orang tua 5. Status perkawinan narapidana 6. Pelanggaran pertama, pelanggaran tidak sering, pelanggaran sering, kejahatan professional
7. Jenis sosial seperti gangster/gelandangan

8. Tempat kejadian perkara


9. Ukuran masyarakat (desa/kota)

10. Jenis ketetanggaan 11. Peduduk atau bukan penduduk ketika ditangkap 12. Pernyataan hakim persidangan

10

13. Komitmen untuk tidak menerima sumpah 14. Lamanya hukuman


15. Bulan/lamanya hukuman sebelum pembebasan bersyarat

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, A. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta. Pt. Raja Grafindo Persada. RubaI, M. 1997. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Malang. IKIP Malang. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995. Tentang

Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1999. Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2006. Tentang perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun1999. Tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

11

SK Menteri Kehakiman No. M.02.PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

12

You might also like