You are on page 1of 16

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN KUALITAS AIR


”Penggunaan Bioremediasi dan Aerasi dalam Penanganan Limbah
Cair”

Oleh :

II ILHAM FAOJI
J1A006034

JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2008

1
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kualitas air secara luas dapat diartikan sebagai faktor fisik, kimia,
dan biologi yang mempengaruhi manfaat penggunaan air bagi manusia,
baik langsung maupun tidak langsung. Keperluan budidaya ikan, kualitas
air adalah setiap variabel yang mempengaruhi pengelolaan dan
kelangsungan lingkungan hidup, berkembang biak, dan pertumbuhan
ikan. Variabel ini sangat banyak jumlahnya. Demikian hanya beberapa
saja yang memegang peran penting, khususnya untuk budidaya ikan
(Wardoyo, 1981).
Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor yaitu zat yang terlarut, zat
yang tersuspensi, dan makhluk hidup khususnya jasad renik di dalam air.
Air murni yang tidak mengandung zat terlarut tidak baik untuk
kehidupan ikan, sebaliknya zat yang terlarut ada yang bersifat racun.
Apabila zat yang terlarut, zat yang tersuspensi, dan makhluk hidup dalam
air membuat kualitas air menjadi tidak sesuai untuk kehidupan ikan, air
itu disebut tercemar (Wardoyo, 1981).
Limbah cair pada umumnya merupakan bahan organik yang akan
terdekomposisi. Saat melakukan dekomposisi bahan organik dibutuhkan
sejumlah oksigen yang cukup, sehingga akan mengurangi kandungan
oksigen untuk ikan, karenanya perlu ditambah dengan aerasi. Aerasi
merupakan salah satu cara untuk menambah oksigen terlarut dalam suatu
perairan sehingga konsentrasi oksigen bertambah sampai titik jenuh yang
digunakan oleh ikan untuk melakukan respirasi. Pencemaran yang
disebabkan oleh limbah cair dari industri tidak terlalu berbahaya bagi
kesehatan masyarakat karena tidak terlalu terlibat langsung dalam
perpindahan penyakit. Kandungan bahan organik yang tinggi dapat
bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba, dengan
pasokan makanan yang berlimpah, mikroorganisme akan berkembang
biak dengan cepat dan mereduksi oksigen terlarut yang tidak terdapat
dalam air (Wardoyo, 1981).
Aerasi yang diberikan pada suatu perairan yang tidak terdapat
proses fotosintesis akan sangat berpengaruh terhadap kondisi perairan
tersebut dan ikan yang ada di dalamnya. Adanya aerasi yang diberikan
penurunan oksigen terlarut akibat dari proses respirasi ikan atau
perombakan bahan organik akan segera teratasi. Aerasi diharapkan dapat
mensuplai kebutuhan oksigen untuk dekomposisi dan respirasi ikan.

2
Selain itu dengan menggunakan bahan-bahan seperti starbio dan EM4
diharapkan mempercepat proses dekomposisi.

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk :
1) Mengetahui pengaruh bahan remediasi dalam penanganan
limbah cair.
2) Mengetahui pengaruh aerasi dalam penanganan limbah cair.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Limbah merupakan bahan atau sisa pada suatu kegiatan maupun


proses produksi yang tidak lagi berguna atau bermanfaat bagi pelaku
proses. Menurut Mahida (1981), umumnya limbah yang dibuang akan
berpengaruh pada suatu lingkungan. Limbah yang sulit diuraikan
umumnya limbah organik. Komposisi limbah organik tergantung dari
sumbernya, akan tetapi secara umum limbah organik terdiri atas bahan
organik dan anorganik yang kompleks. Bahan organik yang yang terlarut
dalam suhu limbah yang cukup tinggi mengakibatkan oksigen berkurang

3
sehingga mempengaruhi kehidupan organisme dan menurunkan
viskositas serta tegangan permukaan (Sugiharto, 1987).
Kehidupan makhluk hidup di dalam air tergantung dari
kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal
yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Penyebab utama berkurangnya
oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan yang
mengkonsumsi oksigen. Bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen
dapat menurunkan oksigen terlarut di dalam air dengan cepat, oleh
karena itu penting dilakukan uji terhadap bahan-bahan buangan untuk
mengetahui tingkat pencemaran air dengan uji BOD.
Biochemal Oxigen Demand (BOD) adalah jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk menetralisir atau
menyeimbangkan bahan-bahan buangan (organik). Ketika air melalui
proses biologi secara dekomposisi aerobik. BOD biasanya dihitung dalam
kebutuhan lima hari pada suhu 20 oC. Menurut Voznaya (1983), jumlah
oksigen (mg/l) yang dibutuhkan untuk pross biokimia selama lima hari
disebut BOD5.
Nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang
sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan tersebut.
Konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukan dengan semakin kecilnya sisa
O2 terlarut, maka berarti kandungan bahan-bahan buangan tersebut
membutuhkan oksigen yang tinggi (Fardiaz, 1992). Angka indeks BOD,
apabila tidak dinyatakan secara khusus umumnya mengacu pada angka
standar inkubasi lima hari pada periode/fase proses karbonisasi. Secara
umum, angka BOD yang tinggi menunjukan konsentrasi bahan organik
didalam air yang juga tinggi.
Proses pengolahan dengan mikroorganisme dengan tujuan
mengurangi tingkat keracunan elemen polusi terhadap lingkungan, dapat
mengacu pada proses bioremidiasi. Bioremidiasi adalah proses
pembersihan pencemaran dengan menggunakan mikroorganisme.
Bioremidiasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Tujuan utama
pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi BOD, partikel tercampur
serta membunuh organisme patogen. Selain itu untuk menghilangkan
bahan nutrisi, komponen beracun, serta bahan yang tidak dapat
didegredasi agar konsentrasi yang ada menjadi rendah.
Aerasi merupakan metode pengolahan dalam pengaturan
penyediaan udara pada bak aerasi, dimana bakteri aerob akan memakan
bahan organik didalam air limbah dengan bantuan oksigen. Penyediaan
udara yang lancar dapat mencegah terjadinya pengendapan di dalam bak
aerasi. Adanya endapan mengakibatkan terjadinya penahanan pemberian
oksigen ke dalam sel, dengan demikian mengakibatkan timbulnya situasi

4
bakteri anaerobik. Pemberian oksigen yang cepat melalui jet aerator serta
pemutaran dengan baling-baling untuk mencegah timbulnya gumpalan
akan meningkatkan penyerapan oksigen (Sugiharto, 1987). Kandungan
BOD5 merupakan suatu ukuran atau indeks adanya pencemaran bahan
organik, dimana semakin besar kandungan BOD5 pada suatu perairan,
maka semakin besar pula kandungan bahan organik yang terkandung
didalamnya. Tingginya kandungan BOD5 menyebabkan menurunnya
kandungan oksigen terlarut, bahkan dapat menjadi kondisi anoksik (tanpa
oksigen). Hal ini menyebabkan gangguan bagi kehidupan organisme
akuatik (Fardiaz, 1992).

5
III. MATERI DAN METODA

3.1 Materi
3.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain: bak
plastik, aerasi, buret, statif, gelas ukur, erlenmeyer, pipet tetes, botol
sampel dan aerator.
3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktrikum ini antara lain: EM4,

starbio, MnSO4, KOH-KI, amilum, Na2S2O3, H2SO4, air kolam, dan air

limbah.
3.2 Metode
3.2.1 Cara Kerja
Bak plastik diisi air sebanyak 10 liter yang terdiri dari 8 liter air
kolam dan 2 liter air limbah. Persiapan limbah cair dilakukan 2-3 hari
sebelum praktikum. Kemudian diukur kandungan oksigen terlarut dan

BOD5 pada awal (0 hari) yaitu sebelum perlakuan, dan 7 hari setelah

perlakuan. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian starbio dengan


aerasi, starbio dengan non aerasi, EM4 dengan aerasi, EM4 dengan non
aerasi, aerasi saja dan non aerasi.
3.2.1 Pengukuran Oksigen Terlarut
Air sempel diambil dengan botol Winkler secara hati-hati agar tidak
ada gelembung air yang masuk ke dalam botol. Kemudian menambahkan

1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml larutan KOH-KI ke dalam botol winkler

yang berisi 250 ml air sampel. Kemudian botol ditutup dan


dihomogenkan sampai terjadi endapan berwarna coklat kemudian

didiamkan sampai mengendap. Kemudian menambahkan H2SO4 pekat

sebanyak 1 ml kemudian botol ditutup lalu dihomogenkan sampai semua

6
endapan menjadi larut dan berwarna coklat kekuningan. Kemudian
mengambil sebanyak 100 ml dengan gelas ukur dan dimasukkan ke
dalam labu erlemeyer, lalu ditambahkan indikator amilum sebamyak 5

tetes dan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N sampi warna larutan

menjadi bening.
Rumus perhitungan :
1000
Kadar oksigen terlarut = x p x q x 8 ml/L
100
keterangan :
p = jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai
q = normalitas larutan Na2S2O3
8 = konstanta O2

3.2.2 Pengukuran BOD


BOD5 diukur dengan menggunakanmetode winkler (APHA, 1985).

Menyiapkan 4 buah botol sample BOD, 2 buah botol untuk masing-


masing sample dan blanko. Untuk 2 botol pertama langsung diukur
oksigen terlarutnya sebagai t = 0, sedang 2 botol lainnya diinkubasi

selama 5 hari pada suhu 200C baru diukur oksigen terlarutnya sebagai t =
5.
Rumus perhitungan :

(A0 – A5) – (S0 – S5) T

BOD5 = mg/L

keterangan :
A0 = oksigen terlarut sampel pada nol hari
A5 = oksigen terlarut sampel pada lima hari
S0 = oksigen terlarut blanko pada nol hari

7
S5 = oksigen terlarut blanko pada lima hari
T = persen perbandingan antara A0 : S0
P = derajat pengenceran

3.3 Waktu dan Tempat


Praktikum dilaksanakan pada tanggal 27, 29 November, dan 10, 15,
17, 22 Desember 2008 pukul 14.00 WIB s/d selesai di Laboratorium
Akuatik Fakultas Sains dan Teknik, Jurusan Perikanan dan Kelautan
UNSOED.

3.4 Analisis Data


Data praktikum yang diperoleh dianalisis dengan cara

membandingkan nilai DO (O2) dan BOD5 yang diperoleh pada setiap

praktikum pada saat sebelum dan setelah perlakuan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

8
4.1 Hasil
Tabel 1. Kandungan oksigen terlarut pada limbah cair yang diberi
bahan remediasi dengan aerasi dan non aerasi
Sebelum sesudah BOD
KEL Perlakuan
total
O DO DO BOD ( O DO DO BOD (
2 5 2 5

0 5 0) 0 5 7)
1 dan Starbio + 7,8 8 0,8 17,46 10,2 11,4 2 10,37 7,09
6 aerasi
2 dan Starbio non 5,1 9,2 3 14,13 9,2 9 0,8 9,9 4,23
7 aerasi
3 dan EM4+Aerasi 7,8 10 1 23,47 9,4 11,4 0,8 12,37 11,11
8
4 dan Em4 non 6,4 8,6 1,2 18,53 8,6 9 0,6 10,35 8,18
9 aerasi
5 Aerasi 5,1 8,6 3,1 11,8 8 10,4 3 8,07 3,73
10 Non aerasi 8 10,4 0,6 26,5 10,8 10,6 2,1 9,38 17,2

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan oksigen terlarut pada
perlakuan menggunakan aerasi adalah 5,1 ppm sebelum perlakuan. Nilai
oksigen terlarut yang didapat setelah perlakuan adalah 8 dengan
menggunakan aerasi.
Perubahan nilai oksigen terlarut berdasarkan tingkat pengenceran dengan
perlakuan non aerasi menunjukkan bahwa semakin rendah konsentrasi
limbah, maka cenderung tinggi nilai oksigen terlarutnya. Pengenceran
akan mempengaruhi kandungan oksigen terlarut. Sistem aerasi
menyebabkan perubahan kandungan nilai oksigen yang cukup besar
karena gelembung aerasi menghasilkan gelembung oksigen. Oleh karena
itu, limbah cair yang diberi perlakuan aerasi mempunyai kandungan
oksigen terlarut dan BOD lebih besar dibandingkan dengan limbah cair
yang tidak diberi aerasi.
Menurut Alaert dan Santika (1987) oksigen terlarut adalah kadar oksigen
yang terikat dalam air dan berasal dari proses fotosintesis, difusi, dan
aliran air. Kemampuan air untuk membersihkan pencemar secara ilmiah
tergantung dari cukup tidaknya oksigen terlarut. Pada praktikum ini
variabel kimia diukur adalah oksigen terlarut.
Nilai DO0 atau Demand Oxigen sebelum perlakuan adalah adalah 8,6 ppm
dan nilai DO5 yang didapat adalah sebesar 3,1 ppm. Sedangkan sesudah
perlakuan nilai DO0 berubah menjadi 10,4 ppm dan nilai DO5 nya
menjadi 3 ppm. Nilai BOD5 pada pengukuran 0 didaptkan nilai sebesar

9
11,8 dan untuk penguran 7 hari nilai BOD5 yang didapat adalah 8,07 ppm.
Dengan total nilai BOD yang didapat adalah sebesar 3,73ppm.

Fluktuasi oksigen terlarut di suatu perairan selain dipengaruhi oleh


perubahan temperatur dapat pula oleh aktivitas fotosintesis dari
tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Menurut Shcworbel (1974) bahwa
nilai oksigen terlarut di perairan tidak lebih dari 8 ppm.

Grafik 1. Perbandingan O2 Sebelum dengan BOD Total

Oksigen terlarut berperan dalam proses metabolisme akuatik. Sumber


oksigen badan air antara lain proses difusi oksigen dari udara melalui
permukaan air dan proses asimilasi tumbuhan air (Welch, 1952). Oksigen
terlarut dalam air sangat penting untuk respirasi dan salah satu
komponen utama untuk mengoksidasi nutrient yang masuk ke dalam air
yang sedikit kurang baik bagi kehidupan organisme. Nilai dari oksigen
terlarut dalam suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun
musiman. Kebutuhan organisme air terhadap oksigen tetap bervariasi
tergantung jenis stadia dan aktivitasnya (Wardoyo, 1981).

Nilai BOD total yang didapat dengan perlakuan aerasi mendapatkan nilai

10
sebesar 3,73 ppm. Nilai BOD total ini paling tinggi didapatkan dengan
perlakuan menggunakan EM4 + aerasi. Sedangkan nilai BOD total
terendah didapat dengan menggunakan perlakuan menggunakan aerasi
saja yaitu 3, 73.

Grafik 2. Perbandingan O2 Sesudah dengan BOD Total

Kadar oksigen terlarut dalam air dapat digunakan sebagai indikator


perairan. Jika kadar oksigen terlarut rendah, maka perairan tersebut
mengalami pembusukan atau tidak seimbangnya lingkungan dan hal ini
berpengaruh terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Kandungan
oksigen terlarut 3-5 ppm pada umumnya tidak produktif, 5-7 ppm artinya
produktif, dan diatas 7 ppm artinya sangat produktif (Odum, 1971).
Suhu air dapat mempengaruhi kelarutan oksigen sehingga menghalangi
laju pertumbuhan. Mason (1990) menyatakan bahwa pada suhu tinggi
menyebabkan laju respirasi tinggi dan aktifitas makan tinggi sehingga
pertumbuhan lambat.

11
12
V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1) Proses dekomposisi bahan organik lebih cepat dengan
menggunakan bahan remediasi.
2) Adanya aerasi, kebutuhan oksigen untuk melakukan degredasi
bahan organik lebih tercukupi.
3) Perlakuan yang paling baik digunakan untuk dekomposisi adalah
pada perlakuan Starbio dengan aerasi yang menghasilkan banyak
gelembung sehingga menyebabkan penambahan oksigen.

5.2 Saran
Sebaiknya dalam melakukan pengamatan penanganan limbah cair
menggunakan bahan bioremediasi dan aerasi lebih terkontrol lagi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Alaert G. dan S. S. Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional


Surabaya, Indonesia.

APHA. 1985. Standard Method for Exmination of Water and Waste Water. 12th
edition, American Public Healt Asssociation Inc, New York.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Mahida. 1981. Pencemaran air dan Penanganan Air Limbah. Kanisius,


Yogyakarta.

Mason, C.F. 1990. Biology of Fresh WaterPollution. Longman Inc, New York.

Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B Sounders Company,


Philadelphia.

Riyadi, S. 1984. Pencemaran Air Dasar-dasar Pokok Penanggulangannya.


Karya Anda, Surabaya.

Schworbel. 1974. Enfishing in De Limnologie. -6 Auh-. Gustau Fis Vegas,


Stuttgart.

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI Press. Jakarta.

Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Evaluasi Pertanian dan
Perikanan. Training Analisa Dampak Lingkungan, PPLH-UNDD-
PSL, IPB Bogor.

Welch, P. S. 1952. Limnology. Mc Graw Hill Book Company. New York,


Toronto, London.

Winarno, F.G dan Srikandi Fardiaz. 1984. Polusi dan Analisa Air.
Department Teknologi Hasil Pertanian. IPB, Bogor.

Voznaya. 1983. Kualitas Air. Penebar Swadaya: Yogyakarta.

Lampiran

14
Tabel 1. Kandungan oksigen terlarut pada limbah cair yang diberi
bahan remediasi dengan aerasi dan non aerasi
Sebelum sesudah BOD
KEL Perlakuan
total
O DO DO BOD (0 O DO DO BOD (7)
2 5 2 5

0 5 ) 0 5
1 dan Starbio + 7,8 8 0,8 17,46 10,2 11,4 2 10,37 7,09
6 aerasi
2 dan Starbio non 5,1 9,2 3 14,13 9,2 9 0,8 9,9 4,23
7 aerasi
3 dan EM4+Aerasi 7,8 10 1 23,47 9,4 11,4 0,8 12,37 11,11
8
4 dan Em4 non 6,4 8,6 1,2 18,53 8,6 9 0,6 10,35 8,18
9 aerasi
5 Aerasi 5,1 8,6 3,1 11,8 8 10,4 3 8,07 3,73
10 Non aerasi 8 10,4 0,6 26,5 10,8 10,6 2,1 9,38 17,2

BOD =

Ket : A0 = DO0 S0 = Blanko0 P = 30% = 0,3

A5 = DO5 S5 = Blanko5 T = 1-P = 1-


0,3 = 0,7
• Blanko BOD0 :

Blanko DO0 = 11,4

Blanko DO5 = 8,6


• Blanko BOD5 :

Blanko DO0 = 11

Blanko DO5 = 10,4

BOD5 (0) (Sebelum) =

15
= 11,8 mg/L

BOD5 (Sesudah) = P = 80% = 0,8

= T = 1-P = 1-0,8 = 0,2

=
= 9,1 mg/L

16

You might also like