You are on page 1of 27

Reforma Agraria

Oleh: Karina Anindya Prameswari Sembiring Meliala 110110060400

Diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Agraria

Dosen: Nia Kurniati, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG 2012

DAFTAR ISI

Daftar Isi BAB I BAB II

. PENDAHULUAN ISI

2 3

A. REFORMA AGRARIA

B. KEDUDUKAN KETETAPAN MPR NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG REFORMA AGRARIA BAB III PENUTUP 9 15 18 26

.. ..

LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

Gagasan Reforma Agraria atau lebih dikenal dengan istilah land reform umurnya sudah sangat tua, yaitu lebih dari 2500 tahun. Sejarah telah mencatat bahwa gerakan Land reform pertama kali dipelopori oleh seorang penguasa Yunani Kuno, 594 tahun sebelum masehi. Namun, gerakan land reform yang pertama di dunia itu tidak berhasil dalam arti tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap persoalan agraria. Sekitar tiga puluh tahun kemudian, penguasa Yunani lain, kembali menghidupkan gerakan land reform dengan semboyannya yang terkenal land to the tiller (tanah untuk penggarap), dan kali ini gerakan tersebut mampu membawa perubahan. Sejak saat itulah, gerakan land reform akhirnya juga dilakukan di banyak Negara. Dalam panggung politik nasional Indonesia, gagasan land reform telah mengalami pasang surut. Jauh sebelumnya, para pendiri bangsa menyadari bahwa program pembangunan bangsa tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan masalah-masalah agraria yang kronis. Untuk itu, diperlukan undang-undang agraria baru (pengganti undang-undang kolonial) yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyakdaripada kepentingan sekelompok kecil pemilik modal. Pada tahun 1960, lahirlah undang-undang agraria yang lebih dikenal dengan UUPA 1960. Keluarnya undang-undang itu merupakan momentum penting bagi upaya mewujudkan keadilan agraria di Indonesia. Seiring dengan semangat pembangunan pada masa itu, antara tahun

1960- 1965, gerakan land reform mendominasi panggung politik sekaligus menjadi agenda nasional pembangunan nasional bangsa Indonesia. Pelaksanaan land reform semakin memperoleh tantangan,

utamanya adalah dominannya kekuatan neo-liberalisme. Perusahaanperusahaan multinasional dan lembaga- lembaga keuangan internasional, seperti World Bank, International Monetary Fund, Asian Development Bank, dan pemerintah negara-negara maju secara gencar mengembangkan neo- kolonialisme dengan memaksa negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia untuk mengubah watak negara dalam hubungannya dengan investasi, pasar, serta perdagangan global. Melalui neo- liberalisme, peran negara akan dikurangi sedemikian rupa, termasuk perannya dalam menata sumberdaya alam untuk melindungi sekaligus mengusahakan pemenuhan hak azasi warganya. Padahal agenda land reform merupakan agenda yang membutuhkan sokongan kekuasaan negara untuk membatasi hak-hak istimewa para pemilik tanah luas yang tanahnya akan diredistribusikan atau ditata pemanfaatannya. Reforma Agraria bila diterapkan dengan tepat akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam hubungan kekuasaan. Perubahanperubahan ini dapat menjadi dasar untuk menuju suatu partisipasi lebih luas dari kaum miskin pedesaan dalam pengambilan keputusan pada semua tingkatan, terutama yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan kata lain, Reforma Agraria mempunyai implikasi yang mendasar dan mendalam. Untuk alasan inilah Reforma Agraria biasanya bukan merupakan pilihan kebijakan bagi sejumlah pemerintahan, karena dianggap akan merubah tatanan kekuasaan politik ke arah tatanan politik yang lebih demokratis. Hal ini terjadi di Negara-negara di mana kepentingan-kepentingan anti-pembaruan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan ekonomi politik oleh para litenya yang

memonopoli penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria (tanah dan sumber daya alam lainnya) yang luas. Selain itu, juga terjadi di negara-negara di mana tekanan-tekanan dari kalangan masyarakat sipiltermasuk organisasi dan gerakan petanikepada pemerintah tidak terlalu kuat untuk mendorong terjadinya Reforma Agraria. Berbagai alasan untuk diadakannya program Reforma Agraria sangatlah kuat. Dari segi sosial misalnya, hanya dengan menguasai tanahlah para petani miskin pedesaan bisa memperbaiki kehidupan mereka dengan menyediakan pangan bagi mereka sendiri, yang terkadang memiliki surplus untuk dijual. Dengan demikian, Reforma Agraria merupakan sarana penting untuk menjamin hak atas pangan Masalah agraria bukanlah persoalan yang sederhana tetapi merupakan persoalan yang sangat berat dan kompleks sehingga menjadi masalah pokok bagi Indonesia. Masalah agraria pada hakekatnya adalah masalah politik. Siapa menguasai sumber- sumber agraria, dia menguasai ekonomi. Siapa penguasai ekonomi, pada gilirannya dia menguasai politik. Negara agraris ini sedang yang mentransformasikan dirinya menjadi negara industri yang kuat. Di lain pihak, memang sudah ada Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) yang merupakan induk dari segala peraturan keagrariaan untuk mengatasi persoalan agraria. Akan tetapi, pada kenyataannya, UUPA 1960 ternyata tidak mampu menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi persoalan agraria karena politik hukum yang berlaku sering bertentangan atau malah menghilangkan makna dan isi yang terkandung di dalam UUPA 1960.

BAB II ISI

A. Reforma Agraria Pembaruan Agraria merupakan salah satu cara untuk meninjau masalah-masalah agraria yang berkembang di dalamnya secara utuh tidak hanya di Indonesia, baik pada tingkat kebijakan, operasionalisasi, ataupun hanya sekedar retorikasangat tergantung dari sistem ekonomi politik dan watak rejim pemerintah yang berkuasa. Ketika dunia memasuki dekade Pembangunanisme

(Developmentalism) di tahun 1960-1970, tampak bahwa ide dasar pembaruan agraria dengan redistribusi tanah yang menyeluruh sebagai dasarnya, mulai ditinggalkan untuk diganti dengan modernisasi pertanian. Salah satunya yang terkenal adalah program Revolusi Hijau. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui bersama, ternyata program itu banyak menuai kegagalan kaum miskin Lahirnya Tap No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam merupakan sebuah dorongan untuk mereformasi struktur sosial politik di tengah perubahan politik Indonesia yang memunculkan harapan baru dengan semangat keterbukaannya, usaha-usaha penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia sedikitnya mulai berjalan utamanya untuk mengatasi persoalan agraria, yang terlihat dari meluasnya disparitas (kesenjangan) pendapatan dan tingkat hidup antara kaum kaya di satu pihak dengan

Pembaruan agraria sering disalahartikan sebagai land reform dengan pengertian sempitnya redistribusi (pembagian) tanah. Padahal land reformdengan pengertian yang lebih luasadalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi, dan struktur pelayanan pendukung. Dengan kata lain, pembaruan agraria (agrarian reform) adalah upaya perubahan atau perombakan sosial yang dilakukan secara sadar guna mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan lebih merata bagi pengembangan pertanian sehingga mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia yang mayoritas hidupnya didasarkan pada sumber agraria. Jadi, pada dasarnya, pembaruan agraria juga merupakan upaya pembaruan sosial. Gagasan reform by leverage merupakan terobosan baru dengan tujuan membebaskan rakyat dari belenggu struktural yang tidak adil sekaligus sebagai kekuatan penyeimbang dan pengontrol negara, memang harus terus dielaborasi secara kritis dan komprehensif. Reforma Agraria merupakan strategi penting dalam menjamin hak atas pangan, karena Reforma Agraria menjamin kepastian akan hak atas tanah, suatu sarana terpenting dalam menghasilkan pangan. Melalui kepemilikan atas tanah inilah, para petani kecil, kaum tunakisma dan buruh tani, yang telah berubah menjadi pemilik tanah, akan lebih terdorong untuk meningkatkan produksi pertaniannya, baik untuk konsumsi keluarga atau pasar. Bila ditinjau dari sudut hak asasi manusia, program Reforma Agraria yang menjamin hak atas pangan menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan terbesar pada saat ini adalah makin dominannya kekuatan pasar bebas, yang antara lain tercermin dari penolakan kelompok ini terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bagi kelompok ini, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah tidak relevan dan idealistis. Hanya hak-hak sipil dan politik yang merupakan hak asasi manusia sejati.

Land Reform (pembaruan agraria) adalah redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah dan harus didukung program penunjang, seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya. Kemudian, lewat pembaruan agraria ini pemerintah harus menerapkan 10 aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya jika memang pemerintah ingin melaksanakan pembaruan agraria sejati, yakni: 1. Mandat Konstitusional 2. Hukum Agraria dan Penegakannya 3. Organisasi Pelaksana 4. Sistem Administrasi Agraria 5. Peradilan 6. Desain Rencana dan Evaluasi 7. Pendidikan dan Latihan 8. Pembiayaan 9. Pemerintahan Lokal 10. Keterlibatan Penuh Organisasi Rakyat. Reforma Agraria merupakan suatu strategi pembangunan atau perubahan sosial yang lebih kuat, karena menekankan pentingnya pengembangan ekonomi domestik terlebih dahulu. edistribusi tanah adalah keharusan dalam memasuki setiap sistem ekonomi modern. Tanpa redistribusi tanah, ekonomi modern yang dihasilkan bersifat cacat, pincang dan tidak bisa berjalan sebagaimana diharapkan. Konflik kelaskelas sosial akan semakin tajam dan tidak terselesaikan. Tidak akan ada tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi; demikian pula tidak ada tabungan masyarakat karena mayoritas penduduk desa hidup dalam

subsistensi dan hanya sanggup membelanjakan sebatas kebutuhan hidup yang paling primer.

B. Kedudukan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Reforma Agraria Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan dan Pengelolaan pemanfaatan Sumberdaya tanah Alam yang yang pada pokoknya dengan mengamanatkan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan (landreform) berkeadilan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Tidak dapat dipungkiri kedepan dalam tataran pelaksanaannya akan terjadi benturan kepentingan antara Pemerintah dengan masyarakat. Kini desakan bagi dilakukannya pembaruan agraria atau lebih dikenal dengan reformasi agraria, atau reforma agraria, adalah sangat kuat. Konflik agraria yang sebagaimana digambarkan di atas sebenarnya merefleksikan merosotnya keadilan agraria. Reforma agraria dengan demikian dimaksudkan untuk mencegah dan mengatasi persoalan ketidakadilan agraria serta konflik-konflik tersebut. Atau dengan kata lain mengarahkan kebijakan pertanahan dari yang imparsial dan memihak pemodal (kapitalistik) ke arah yang lebih prorakyat dan propetani/kaum marginal. Disinilah letak pentingnya Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tersebut. Reforma agraria pada prinsipnya adalah landreform dalam pengertian redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah. Dalam konteks ini maka landreform dapat menjadi instrumen yang sangat ampuh untuk mengatasi kemiskinan, mendorong pembangunan ekonomi, pelestarian lingkungan, dan sebagainya.

Konflik-konflik agrarian bersifat vertikal, yaitu antara masyarakat dan pemerintah (perusahaan milik negara) dan swasta. Salah satu yang menonjol adalah kasus klaim atas tanah perkebunan ataupun pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Adapun konflik yang horizontal misalnya kepemilikan sertifikat tanah ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat atas sebidang tanah. Yang paling mencuat beberapa tahun terakhir tentu saja konflik horizontal antara masyarakat (adat atau transmigran) dan perusahaan. Konsorsium Pembaruan Agraria menacatat bahwa sepanjang 1970-2001 ada terjadi sengketa agraria sebanyak 1.753 kasus yang meliputi 10,9 juta hektar dengan korban 1,2 juta keluarga. Sepanjang tahun 2011 terjadi 163 konflik pertanahan dengan korban 22 jiwa sementara pada 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan 3 korban jiwa. Rincian konflik agraria di tahun 2011 adalah sebagai berikut: 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 8 kasus di sektor pertambangan, dan 1 kasus di sektor tambak atau pesisir. Redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah ini penting dan strategis. Apalagi pada kenyataannya sebagaimana yang ditemukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada data-data di BPN bahwa ada hanya 0,2 penduduk Indonesia yang menguasai 56% aset nasional dimana 87% di antaranya berupa tanah. Sementara itu ada 7,2 juta hektar tanah milik swasta yang dibiarkan terlantar, padahal konon 85% petani tidak bertanah atau tidak memiliki lahan. Ketimpangan kepemilikan tanah atau lahan ini sungguh harus segera diselesaikan sesegera mungkin manakala kita sebagai bangsa tidak menginginkan untuk kembali terjerembab dalam serangkaian konflik agraria yang berkepanjangan dan tak berkesudahan itu. Konflik-konflik atau sengketa-sengketa tersebut akarnya pastilah multidimensional: bukan hanya hukum, melainkan juga politik pertanahan,

10

ledakan jumlah penduduk, kemiskinan, faktor budaya, dan sebagainya. Secara hukum kita mencatat bahwa sistem peraturan perundangundangan tentang agraria dan sumber daya alam saling tumpah tindih dan bertentangan. Padahal pengelolaan sumber daya agraria dan alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan mutlak harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi, dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik. Tap MPR No IX/MPR/2001 ini dimaksudkan untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pembaruan pemilikan, agraria dan mencakup pemanfaatan suatu sumber proses daya yang agraria,

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, penggunaan dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Arah kebijakannya adalah: a. melakukan sinkronisasi b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat c. Menyelesaikan konflik-konflik agraria sebagaimana yang tersebut di atas d. Memperkuat kelembagaan dan kewenangan pelaksana pembaruan agraria pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka

Dalam UUPA No 5 tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria, bahwa

11

yang disebut dengan agraria adalah segala sesuatu yang berbada di permukaan tanah, bawah tanah dan ruang angkasa. Mekanisme peraturan yang mengatur tentang objek agraria tersebut telah melahirkan berbagai tumpang tindih peraturan dan juga subjek pelaksana nya. Semisal UU Pertamnbangan yang bertentangan dengan UU Lingkungan hidup, UU kehutanan, UU perkebunan, UU Penanaman Modal Asing dan lainnya. Dalam kapasitas saya sebagai anggota Komisi II DPR RI yang bermitra dengan BPN, Joyo Winoto kepala BPN menyampaikan saat ini terdapat 516 peraturan perundangan yang tumpang tindih. 516 peraturan yang tumpang tindih tersebut hanya yang berhubungan dengan internal BPN, jumlah itu tentu akan bertambah jika di hubungkan dengan tumpang tindih nya peraturan di BPN dengan UU sektoral lainnya seperti di kehutanan, perkebunan, pertanian, pertambangan, lingkungan hidup dan lainnya. Inti dari TAP MPR No IX tahun 2001 tersebut sebenarnya adalah amanat untuk melakukan singkronisasi terhadap peraturan perundangan yang berhubungan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam agar sepenuhnya dikelola demi kemakmuran rakyat. Dalam TAP MPR No IX Tahun 2011 pasal 6 menyebutkan arah kebijakan pembaruan agraria adalah: a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

12

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi. f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program

pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi. Sedangkan arah pengelolaan sumber daya alam di jelaskan pada pasal berikutnya yaitu: a. Melakukan pengkajian ulang yang terhadap berkaitan berbagai dengan peraturan pengelolaan

perundang-undangan

sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prSinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional. c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat

13

mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis

sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut. e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang

didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional. UU No 12 Tahun 2011 telah menempatkan kembali Ketetapan MPR sebagai sumber hukum formal dan dalam tata urut peraturan perundangan maka kinilah waktunya ketetapan ini diimplementasikan dalam aksi yang kongrit. Singkatnya landreform perlu dilakukan dengan berdasarkan pada Tap MPR No IX/MPR/2001, UU No 5 tahun 1960 tentang PDPA, dan PP No 245 Tahun 1961

14

BAB III PENUTUP Kesimpulan Reforma Agraria merupakan agenda pembangunan yang utama, terutama di negara Dunia Ketiga yang masyarakatnya sebagian besar adalah agraris. Dengan demikian, perhatian utama adalah bagaimana mentransformasikan struktur agraria yang timpang akibat warisan kolonialisme ke arah struktur agraria yang adil dan sanggup memberikan surplus bagi transformasi ke sistem industri. Penyelesaian atau tuntasnya masalah agraria ini akan sangat menentukan dalam langkah kelas pengembangan berikutnya. Akan tetapi karena Reforma Agraria ini akan mempunyai akibat-akibat yang merugikan, khususnya bagi penguasa di pedesaan maupun secara nasional, maka hal ini menjadi tidak mudah; terutama bila kemudian berkait dengan sistem politik dan sistem ekonomi makro. Reforma Agraria juga merupakan strategi pokok bila ingin mengubah hubungan-hubungan kekuasaan secara mendasar. Artinya, Reforma Agraria dapat menjadi pilar dari terbentuknya sistem demokrasi yang lebih kuat. Dengan adanya pemerataan tanah, akibat dilaksanakannya program land reform, maka jumlah orang yang memiliki akses terhadap tanah sebagai faktor produksi utama semakin banyak. Akses terhadap tanah yang relatif merata ini merupakan dasar bagi terbentuknya suatu partisipasi politik yang lebih luas dan kuat. Hanya mereka yang secara ekonomis hidupnya lebih stabil yang akan dapat menentukan keputusan-keputusan politik dengan lebih baik dan terlibat

15

dalam masalah-masalah politik pedesaan maupun nasional. Jadi, dengan adanya Reforma Agraria, partisipasi politik akan jauh lebih berkembang di pedesaan dan pengambilan keputusan politik nasional akan lebih mencerminkan kepentingan mayoritas penduduk. Ditinjau dari segi ekonomi, Reforma Agraria adalah sarana penting untuk mengurangi kemiskinan. Sebagaimana pengalaman sejarah Jepang paska perang, Korea Selatan dan Taiwan, redistribusi tanah dapat menghasilkan peningkatan pendapatan yang tersebar secara merata sehingga sejalan dengan tujuan-tujuan pertumbuhan ekonomi dan penghapusan kemiskinan. Tentu saja tantangan-tantangan yang berasal dari paham neoliberalisme dan perangkat-perangkat operasionalnya, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), merupakan realitas ekonomi politik yang mesti dihadapi. Namun bagaimanapun juga, hak- hak warga negara dan kedaulatan bangsa adalah yang utama dan pertama dalam pergaulan internasional. Kita harus memperhatikan bagaimana negara-negara Eropa Barat, Jepang dan Amerika Serikat melindungi dan memenuhi kepentingan rakyatnya ketika berhadapan dengan kepentingan dunia luar. Jepang bahkan -hak para petaninya dalam masalah liberalisasi produk pertanian. Strategi untuk memperkuat tingkat penguasaan masyarakat

terhadap faktor-faktor produksi (termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam lainnya) adalah melalui program Reforma Agraria. Dapat disimpulkan bahwa Reforma Agraria adalah jalan utama yang perlu ditempuh bila kita hendak menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk hak atas pangan. Pemenuhan hakhak asasi manusia ini tidak lain dan tidak bukan merupakan kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial. Dengan demikian, tuntutan atas perlunya Reforma Agraria di Indonesia adalah tuntutan yang

16

konstitusional bila ditempatkan dalam konteks kewajiban negara untuk mengusahakan keadilan sosial. Reforma Agraria juga merupakan tuntutan universal jika ditempatkan dalam konteks pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana yang telah diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemerintah dapat mengimplementasikan maksud dan tujuan Tap MPR tersebut. Namun demikian tetap mempertimbangkan beberapa langkah agar reformasi agrarian dapat terlaksana, yakni 1. Kemauan Politik Pemerintah yang kuat 2. Dukungan Teknis bagi Modal dan Produksi 3. Membuka Akses Pasar kepada Petani 4. Penguatan kelembagaan Pengelola Reforma Agraria.

17

LAMPIRAN-LAMPIRAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; b. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosialekonomi rakyat serta kerusakan sumberdaya alam; c. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;

18

d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; e. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik; f. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan; g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25E, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2001;

19

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Memperhatikan : 1. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 5/MPR/2001 tentang Jadwal Acara Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001; 2. Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001 yang membahas Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Putusan Rapat Paripurna ke-7 Tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN Menetapkan : KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM. Pasal 1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Pasal 2 Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

20

pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 3 Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pasal 4 Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat Pasal 5 Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. rakyat, terutama melalui peningkatan sumberdaya manusia Indonesia; kualitas

e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan; h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya

21

setempat; i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam; j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; l melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Pasal 6 (1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin

22

terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflikkonflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi. f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional. c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut. e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

23

f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional. Pasal 7 Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti. Pasal 8 Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 9 Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 2001

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,

24

WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,

P E N G E S A H A N PANITIA AD HOC II BADAN PEKERJA MPR PADA RAPAT KE-74 PANITIA AD HOC II BP MPR TANGGAL 19 OKTOBER 2001 Ketua,RAMBE KAMARULZAMAN, M. Sc. Wakil Ketua,SABAM SIRAIT Wakil Ketua,Ny. Hj. AISYAH AMINY, S.H. Sekretaris,Prof. Dr. Ir. MUHAMMADI S.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Menuju Keadilan Agraria, 70 Tahun Gunawan Wiradi, Bandung : Yayasan Akatiga, 2002 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Materi Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Ketetapan MPR RI dan Keputusan MPR RI), 2006 3. Nurjihadi Muhammad, http://jihadnp34.blogspot.com/2012/02/reforma-agraria-indonesiaantara-wacana.htm diakses pada hari Rabu tanggal 22 Agustus 2012. 4. Tumpak Winmark Hutabarat http://www.analisadaily.com/news/read/2012/07/20/63905/mengapa _harus_reforma_agraria/#.UAz2hWG0DfJ diakses pada hari Rabu tanggal 22 Agustus 2012. 5. Noer Fauzi, Petani dan Penguasa : Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia,-- Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 1999

26

27

You might also like