You are on page 1of 52

Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy

MEMAHAMI HAKEKAT AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

BAB I DEFINISI

MEMAHAMI HAKEKAT AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAAH Untuk memahami hakekat ahlu al-sunnah wa al-jamaaah harus diurai terlebih dahulu makna frase ini secara literal. Setelah itu, barulah dilakukan analisa, apakah frase ahlu al-sunnah wa al-jamaah, memiliki makna syariy atau tidak; ataukah ia hanyalah istilah yang digunakan oleh para ulama untuk menunjukkan realitas tertentu; ataukah ada maknamakna lain. Berdasarkan analisa inilah, kita bisa merumuskan definisi ahlu al-sunnah wa al-jamaaah secara jaamian wa maanian; dan di atas definisi ini pula, kita bisa menetapkan siapa yang termasuk ahlu al-sunnah wa aljamaaah, dan siapa yang telah keluar dari gugusan ahlu al-sunnah wa aljamaaah. DEFINISI KATA AHLU Kata Ahlu di Dalam al-Quran Al-Quran menyebut kata al-ahlu di banyak tempat dengan makna beragam. Kata ahlu dengan makna penduduk, penghuni suatu negeri, atau penghuni rumah disebutkan di dalam firman Allah swt;


Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.[TQS Al Baqarah (2):217]


Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.[TQS An Naml (27): 34]


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya (penghuni rumah).[TQS An Nuur (24):27] Kata al-ahlu kadang-kadang disebutkan dengan makna keluarga. Allah swt berfirman;


Tatkala mereka membuka barang-barangnya, mereka menemukan kembali barang-barang (penukaran) mereka, dikembalikan kepada mereka. Mereka berkata: "Wahai ayah kami apa lagi yang kita inginkan. Ini barangbarang kita, dikembalikan kepada kita, dan kami akan dapat memberi makan keluarga kami, dan kami akan dapat memelihara saudara kami, dan kami akan mendapat tambahan sukatan (gandum) seberat beban seekor unta. Itu adalah sukatan yang mudah (bagi raja Mesir)". [TQS Yusuf (12):65]


Dan tidak layak bagi seorang mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah...[TQS An Nisaa (4): 92]


Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadiladilnya."[TQS Huud (11):45] Kata ahlu juga disebut di dalam al-Quran dengan makna isteri. Allah swt berfirman;


Wanita itu berkata: "Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?"[TQS Yusuf (12):25] Kata ahlu juga bermakna kaum yang memiliki keyakinan dan pandangan hidup yang sama. Al-Quran telah menyebut makna semacam ini di banyak tempat, diantaranya adalah;


dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. [TQS Al Insyiqaaq (84):9]


Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). [TQS Al Insyiqaaq (84):13]

Kata ahlu juga dipakai dengan konteks pemilik atau tuan. AlQuran menggunakan kata ahlu dalam konteks semacam ini di dalam surat An Nisaa. Allah swt berfirman;


Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut..[TQS An Nisaa (4): 25] Inilah beberapa pengertian dari kata ahlu yang disebutkan di dalam al-Quran. Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa al-Quran menggunakan kata ahlu dengan beragam makna, diantaranya adalah penduduk suatu negeri, penghuni suatu tempat (bisa rumah, negara, kota, kuburan, surga, dan lain sebagainya), keluarga, isteri, tuan (majikan), kaum yang menganut atau mengikuti keyakinan dan pandangan yang sama. Makna-makna semacam ini juga disebutkan di dalam hadits-hadits shahih1. Definisi Kata Ahlu Menurut Ahli Bahasa Pada dasarnya, para ahli bahasa Arab menggunakan kata ahlu dengan berbagai makna, sama seperti makna-makna yang ditunjukkan oleh al-Quran. Imam al-Raaziy di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan, al-ahlu : ahlu al-rajuli wa ahlu al-daar (al-ahlu: ahlu al-rajul (isteri) atau penghuni (penduduk) rumah atau negeri). Kadang-kadang disebut dengan al-ahlah. Bentuk jamak dari al-ahlu adalah ahlaat, ahalaat, dan ahaal.2 Di dalam Kitab al-Taaariif disebutkan;


Pengikut hawa nafsu adalah ahli kiblat yang aqidah mereka berbeda dengan aqidah yang dipegang oleh pengikut sunnah (ahlu al-sunnah wa aljamaaah). Mereka adalah Jabariyyah, Qadariyyah, Rawaafidl, Khawarij, Muaththalah, dan Musyabbahah. Masing-masing terpecah menjadi 12
1

Sengaja kami tidak menguraikan agar penjelasannya tidak terlalu panjang lebar. Imam Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 31

kelompok (firqah), hingga jumlah mereka menjadi 72. Frase ahlu al-rajul adalah orang yang berkumpul dengannya; dan mereka memiliki nasab, agama, atau yang lain, semacam pabrik, rumah, dan negeri Adapun makna asal dari ahlu al-rajul adalah orang yang (wanita) berkumpul dengan laki-laki itu, dan mereka tinggal bersama di satu tempat; lalu, setelah itu, menikahlah ia dengannya (wanita). Oleh karena itu, dikatakan ahlu baitihi ; sedangkan yang dimaksud adalah orang yang berkumpul dengannya, dan mereka memiliki nasab (garis keturunan), atau seperti yang telah disebutkan. Jika diungkapkan ahlihi, maka yang dimaksud adalah isterinya. Fulan itu ahli untuk ini dan itu, maknanya adalah khaliiq bihi (dia itu pantas (cocok) dengannya).3 Di dalam Kamus al-Muhiith fi al-Lughah dituturkan;

. . . . . . . .
Ahala. Ahlu al-Rajuul : zaujahu (istrinya); al-ta`ahhul : al-tazawwuj (menikah). Orang-orang Arab juga menyebut dengan kata ahlah.....Ahlu al-rajul : akhashsh al-naas bihi (orang-orang yang memiliki hubungan paling khusus dengannya). Jika dikatakan: ahlu al-bait, maka maknanya adalah penghuninya (sukkaanuhu). Ahlu al-Islaam : orang yang memeluk agama Islam. Bentuk jamak dari ahlu adalah ahluun, ahaal, wa ahlaat. Wa makaanu ma`huul wa aahal adalah tempat yang berpenghuni......4 Fairuz Abadiy, di dalam Kamus al-Muhiith menyatakan;

..
Ahlu al-Rajul: asyiratuhu (keluarganya, atau orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya). Bentuk jamaknya adalah ahluun, ahaal, aahaal, dan ahlaat.Ahlu al-amr : wulatuhu (pemimpinnya), dan ahl al-bait: sukkaanuhu (penghuni rumahnya); ahlu al-madzhab (orang yang menganut madzhab itu); ahlu al-rajul : zaujuhu (isterinya); sebagaimana ahlatihi. Ahlu al-nabiy saw, adalah isteri-isterinya, anak-anak perempuannya, dan kerabatnya (Ali bin Abi Thalib ra) atau isteriisterinya5 Khalil bin Ahmad di dalam Kitab al-Ain menyatakan;

:: : . : . : : . : " "
3 4 5

Imam al-Manaawiy, al-Taaariif, juz 1, hal. 105 Al-Shaahib bin Ibaad, al-Muhiith fi al-Lughah, juz 1, hal. 231 Fairuz Abadiy, al-Qaamus al-Muhiith, juz 3, hal. 53

" . : "... :
Ahlu al-rajul: zaujuhu (isterinya), dan orang yang memiliki hubungan paling khusus dengannya). Al-ta`ahhulu : al-tazawwuj (pernikahan). Ahlu al-bait: sukkaanuhu (penghuni). Ahlu al-Islaam: orang yang menganut agama Islam. Dari sinilah, dinyatakan; si fulan ahli dalam hal ini atau hal itu. Allah swt berfirman, Huwa ahlu al-taqwa, wa huwa ahlu almaghfirah. Tersebut di dalam kitab tafsir, bahwa Allah Azza wa Jalla adalah Ahlun. Pasalnya, Dia Ahlun (Dzat yang wajib untuk paling) ditaati, dan tidak boleh diselisihi; dan Dia Allah Dzat Yang paling berhak memberikan ampunan bagi orang yang mentaatiNya. Bentuk plural dari ahlu : ahluun, ahlaat, dan al-ahaaliy (jamaknya jamak).....6 Di dalam Kitab Tahdziib al-Lughah dituturkan sebagai berikut;

: : . : : : : .....
Al-Laits berkata, Ahl al-rajul: imra`atuhu (isterinya). Wa al-ta`ahhul : al-tazawwuj (pernikahan). Ahlu al-rajul: orang yang memiliki hubungan paling khusus dengannya. Ahlu al-bait: sukkaanuhu (penghuninya); ahlu al-Islaam: orang yang menganut agama Islam.....Kata ahlu jika dijamakkan menjadi :ahliin, ahlaat, dan al-ahaaliy (penggabungan bentuk jamak)...7 Imam Bukhari di dalam al-Qamus al-Fiqhiy menyatakan, Ahlu alrajul: atbaauhu wa auliyaa`uhu (pengikut-pengikut dan wali-walinya); Aali al-bait : adalah keluarga Nabi saw.8 Di dalam Kitab al-Mughrib dinyatakan sebagai berikut;

) ( } ( ) { ) ( } "...
(Ahlu) al-rajul adalah isterinya, anaknya, dan orang-orang yang diberinya nafkah. Demikian pula semua saudara laki-laki dan perempuan, paman, anak laki-laki paman, atau anak-anak orang lain yang diberi makan di dalam rumahnya. Dari al-Ghuuriy dan al-Azhariy dituturkan bahwasanya
6 7 8

Khalil bin Ahmad, al-Ain, juz 1, hal. 281. Tahdziib al-Lughah, juz 2, hal. 369. al-Qamus al-Fiqhiy, juz 1, hal. 29.

seorang shahabat ra berkata, Ahlu al-rajul : akhashsh al-naas bihi (orang yang memiliki hubungan paling khusus dengannya). Dikatakan pula bahwa; al-ahlu al-mukhtashshu bi syai` (kata ahlu bermakna orang yang memiliki hubungan khusus dengan sesuatu), yakni (karena adanya) hubungan kekerabatan yang bersifat khusus. Dinyatakan pula: kekhususan sesuatu yang dinasabkan (disandarkan) kepada seseorang, dan ia berkunyah (berjuluk) dengannya karena hubungan suami isteri. Ini seperti yang disebut di dalam al-Quran, wa saara bi ahlihi (kemudian ia berjalan di waktu malam dengan keluarganya). Sedangkan ta`ahhala bermakna tazawwuj (pernikahan). Ahlu al-bait : sukkaanuhu (penghuni rumah); ahlu al-islaam : orang yang memeluk agama Islam; ahlu al-Quran : orang yang membacanya dan menegakkan hak-hak al-Quran. Bentuk jamak dari kata al-ahlu adalah al-ahluun dan al-ahaaliy (tanpa ada qiyas). Sedangkan sabda Nabi saw, Man qatala lahu qatiil fa ahluhu baina khiiratain; in ahabbuu qataluu, wa in ahabbuu akhadzuu al-diyat (Siapa saja yang dibunuh oleh seorang pembunuh; keluarganya memiliki dua pilihan; jika mereka ingin balas bunuh, maka mereka berhak meminta hukuman mati; dan jika mereka ingin tidak membunuh, maka mereka berhak mengambil diyatnya...9 Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-Arab mengatakan;

) ( ..... ......
9

Al-Mughrib, juz 1, hal. 87

(Ahala) : al-ahlu; ahlu al-rajul wa ahlu al-daar (keluarga atau penghuni rumah); kadang-kadang juga disebut dengan al-ahlat. Abu al-Thamahaan berkata, Ahlat wudd tabarraitu wuddahum wa ablaituhum fi al-hamd, juhdiy wa naailiy ibnu saidihi (pemilik cinta, yang aku telah merajut cinta mereka, dan aku telah menguji mereka dalam pujian, tenaga dan harapanku anak dari tuannya). Ahlu al-rajul : asyiiratuhu wa dzawuu qurbaahu (keluarga-keluarganya dan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatannya dengannya). Bentuk jamak dari ahlu adalah ahluun, aahaal, ahaal, dan ahallaat. Al-Mukhabbal al-Sadiy berkata, Wa hum ahalaat haula Qais bin Aashim idzaa adlajuu bi al-laili yaduun kautsaran. (Mereka adalah ahli-ahli (keluarga-keluarga) di sekitar Qais bin Aashim, jika mereka berjalan semalam suntuk di suatu malam, mereka meminta air telaga yang segar). Al-Jauhariy bersyair, Wa baldat ma al-ins min aahaalihaa, taraa bihaa al-auhaq min wi`aaluhaa witsaaluhaa, (jamu wiaal ka-qaaim wa qiyaam wa yarwiy al-bait wa baldatin yastannu haaziy aalihaa (Negeri yang tidak dihuni manusia, yang dengannya engkau bisa menyaksikan para pengecut dari pencelaka-pencelakanya. Wiaal adalah bentuk jamak dari waail, seperti halnya qaim dan qiyaam. Sebuah bait syair menuturkan, Negeri yang ahli nujum telah membersihkan penduduknya). Imam Sibawaih berkata, Orang-orang Arab mengatakan ahlaat. Mereka meringankan dan memiripkannya (kata ahlaat) dengan sha`baat; sebab, kata ahlu bentuknya adalah mudzakkar (laki-laki) yang kemudian dimasuki huruf wawu dan nun. Ketika kata ini hendak dijadikan muannats (perempuan), seperti ketika memuannatstskan kata sha`b, maka kata ahlu diperlakukan sebagaimana ketika memuannatskan kata sha`b..... Dituturkan bahwa Imam Sibawaih menyatakan bahwa bentuk jamak dari ahlu adalah ahluun. Khalil ditanya,Mengapa tidak menyukun huruf hanya, dan tidak mengharakahkannya, sebagaimana mereka mengharakahkan araadliin. Ia menjawab, Sebab, kata ahlu berbentuk mudzakkar (laki-laki); lalu ditanyakan, Mengapa mereka tidak mengatakan ahallaat? al-Khalil menjawab, Mereka (orang-orang Arab) memiripkannya dengan aradlaat. Lalu, ia membacakan salah satu bait syair dari al-Mukhabbal al-Sadiy. Ia berkata lagi, Sebagian orang Arab ada yang berpendapat bahwa bentuk jamak dari kata ahlu adalah ahlaat (berdasarkan qiyas), dan al-ahaaliy (menjamakkan bentuk jamak)....Di dalam hadits disebutkan ahlu al-Quran; mereka adalah ahlu al-Allah (keluarganya Allah) dan orang yang memiliki hubungan khusus denganNya; artinya mereka adalah penjaga al-Quran yang hal ini merupakan aktivitas dari kekasih-kekasih Allah, dan orang yang memiliki hubungan khusus denganNya dibandingkan manusia yang lain...Ahlu al-madzhab adalah orang yang menganut madzhab itu; ahlu al-Islaam adalah orang yang menganut agama Islam. Ahlu al-bait : sukkaanuhu (penghuninya); ahlu alrajul : orang yang memiliki hubungan khusus dengan dirinya. Ahlu baitihi saw adalah isteri-isterinya, anak-anak perempuannya, dan kerabatnya; yakni Ali bin Abi Thalib ra; dikatakan juga isteri-isteri Nabi dan laki-laki yang termasuk dalam keluarganya...10 Di dalam Kitab Taaj al-Uruus disebutkan, Ahlu al-rajul: asyiiratuhu wa dzawuu qurbaahu (keluarga-keluarganya dan orang yang memiliki
10

Imam Ibnu Mandzuur, Lisaan al-Arab, juz 11, hal. 28; bab ahala.

kekerabatan dengannya); sebagaimana firman Allah swt, Kirimkanlah seorang penengah dari keluarganya (min ahlihi) dan keluarga isterinya (min ahlihaa).[TQS An Nisaa (4):35] Di sebagian khabar disebutkan, Sesungguhnya Allah swt mempunyai malaikat yang ada di langit ke tujuh; yang tasbihnya berbunyi, Subhaana man yasuuqu al-ahla ila al-ahl (Terpujilah orang yang menggiring keluarga menuju keluarga lain. Ditamsilkan bahwa al-ahlu ila al-ahl (pindahnya suatu keluarga menuju ke keluarga lain) lebih cepat daripada mengalirnya air bah ke menuju tanah datar.....Bentuk jamak dari ahlu adalah ahluun...ahaal...aahaal...ahallaat, dan...ahlaat...Ahlu al-amr: wulaatuhu (pemimpinnya), masalah ini sudah dijelaskan pada bab ulil amri. Al-Ahlu li al-bait: sukkaanuhu (penghuninya). Dari sinilah ada sebutan; ahlu al-quraa: sukkaanuhaa (penghuni kota). Al-Ahlu li al-madzhab: orang yang menganut dan menyakini madzhab tersebut.....11 Inilah makna kata ahlu yang disebutkan di dalam kamus-kamus mutabar. Dari seluruh penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa, kata ahlu memiliki ragam makna tergantung dari kata yang mengikutinya. Misalnya, jika kata ahlu diikuti dengan kata al-amr , maknanya adalah orang yang memiliki kekuasaan atau ulil amriy (penguasa atau pemerintah). Jika kata ahlu dilekatkan dengan keterangan tempat, maka kata ahlu bermakna penghuni (sukkaan); sehingga jika disebut ahlu al-daar (penghuni rumah), ahlu al-balad (penduduk negeri), dan lain sebagainya. Kadang-kadang pula, ia digunakan untuk konteks majaz; misalnya ahlu al-rajul dan ahlu al-bait. Ahlu rajul memiliki konotasi zaujah (isteri), sedangkan ahlu al-bait, adalah isteri dan anak-anak Nabi, dan kerabatnya, Ali ra dan keturunannya. Jika kata ahlu diikuti dengan katakata yang bermakna madzhab, agama, pemikiran; secara otomatis ia bermakna pengikut atau orang yang menganut dan menyakini madzhab, agama, atau pemikiran tertentu. DEFINISI KATA SUNNAH Makna Sunnah Secara Literal Menurut pengertian bahasa (literal), al-sunnah bermakna althariiqah atau al-siirah (jalan atau perjalanan). Imam Ibnu Mandzur di dalam Kitab Lisaan al-Arab menyatakan, Makna asal dari kata al-sunnah adalah al-thariiqah wa al-siirah (jalan dan perjalanan)...al-sunnah: al-thariiqah (jalan), demikian juga dengan kata alsanan..al-sunnah juga bermakna al-thariiqah al-mahmuudah (jalan keutamaan); sehingga dikatakan, si fulan ahlu al-sunnah; maksudnya adalah ahlu al-tariiqah al-mustaqiimah al-mahmuudah (pengikut jalan yang lurus dan utama). Al-Sunnah diambil dari kata al-sanan yang bermakna althariiq (jalan)..al-sunnah bisa juga bermakna al-thabiiah (tabiat)....Pada asalnya, al-sunnah bermakna sunnat al-thariiq; yakni jalan yang dibuat oleh orang-orang yang pertama, lalu jalan itu diikuti (ditempuh) oleh orang-orang yang datang sesudah mereka...12

11 12

Imam al-Zabidiy, Taaj al-Uruus, juz 1, hal. 6857 Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 12, hal. 220

Imam al-Raziy, di dalam Kitab Mukhtaar al-Shihaah, menyatakan; al-sanan :al-thariiqah (jalan). Sedangkan al-sunnah bermakna al-siirah (perjalanan atau kisah)13. Di dalam Kitab al-Taaarif disebutkan, Ibnu al-Kamal berkata, Secara bahasa, al-sunnah bermakna al-thariiqah murdliyyah (jalan yang diridloi)..14 Imam al-Jurjaniy dalam Kitab al-Tariifaat mengatakan, Menurut bahasa, al-sunnah bermakna al-thariqah murdliyyah au ghairu murdliyyah (jalan yang diridloi maupun tidak diridloi).15 Dalam Kitab Bahr al-Muhiith disebutkan, Menurut bahasa, alsunnah bermakna al-thariiqah al-masluukah (jalan yang ditempuh). Pengertian ini berasal dari perkataan orang Arab, Sanantu al-syai`a bi almisann idza amartuhu alaih hatta yu`atstsira fiih sunaan ay tharaaiq (Aku membentuk sesuatu dengan gerinda (alat pengasah), jika aku memerintahkannya untuk membentuk sesuatu, hingga meninggalkan bekas jalan)...Imam al-Khathabiy menyatakan bahwa, makna asal dari sunnah adalah al-thariiqah al-mahmuudah (jalan terpuji). Jika kata ini disebutkan, maka secara otomatis orang akan berpaling kepada makna ini (al-thariiqah al-mahmudah). Kadang-kadang, kata sunnah digunakan tidak dengan makna ini, dengan sebuah batasan (muqayyad); seperti perkataan mereka, Man sanna sunnat sai`ah (siapa saja yang membuat sunnah yang buruk). Menurut kebiasaan ahli bahasa dan hadits, kata sunnah kadang-kadang disebutkan dengan makna wajib dan selain wajib. Adapun menurut kebiasaan fukaha, mereka menyebut sunnah dengan makna (hukum yang) tidak wajib. Sebagian ulama ushul menyebut kata sunnah dengan makna, wajib, sunnah, dan mubah. Kata sunnah kadangkadang disebutkan dengan makna perkara yang bertentangan dengan bidah16. Di dalam Kitab al-Muthalli disebutkan, al-Sunnah menurut bahasa bermakna al-thariiqah atau al-siirah (jalan atau perjalanan)...17 Di dalam Kitab al-Taqriir wa al-Tahbiir dinyatakan, Menurut bahasa, al-sunnah bermakna al-thariiqah al-mutaadah mahmudah kaanat au la wa min tsammah (jalan kebiasaan yang baik, baik ia berkelanjutan maupun tidak).18 Di dalam Kitab al-Qawaathi al-Adillah fi al-Ushuul disebutkan, alSunnah merupakan ungkapan yang bermakna al-siirah (perjalanan)....Sunnah Nabi Mohammad saw adalah al-thariiqah (jalan) yang ditempuh oleh Nabi Mohammad saw.....19

13 14 15 16 17

18

19

Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 317 Imam al-Manawiy, al-Taaarif, juz 1, hal. 415 Imam al-Jurjaniy, al-Tariifaat, juz 1, hal. 161 Bahr al-Muhiith, juz 5, hal. 124. Mohammad bin Abiy al-Fath al-Baaliy al-Hanbaliy Abu Abdullah, alMuthalli, juz 1, hal. 334 Mohammad bin Mohammad bin Mohammad bin Hasan bin Aliy, al-Taqriir wa al-Tahbiir, juz 2, hal. 297 Mohammad Abd al-Jabbaar al-Samaniy, al-Qawaathi al-Adillah fi alUshuul, juz 1, hal. 31

10

Imam al-Juwainiy di dalam Kitab al-Burhaan fi Ushuul al-Fiqh menyatakan, ..Al-sunnah bermakna al-thariiqah (jalan). Kata al-sunnah diambil dari kata al-sanan dan al-istinaan..(jalan).20 Imam Syaukaniy di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, menyatakan, Sunnah memiliki pengertian bahasa dan syariy. Adapun menurut bahasa, sunnah bermakna al-thariiqah al-masluukah (jalan yang ditempuh). Asal kata ini (al-sunnah) berasal dari perkataan orang Arab, Sannantu al-syai` bi al-massan, idza amartuhu alaihi hatta yu`tsiru fiihi; ay thaariqan. Imam al-Khathabiy berkata, Asal dari kata sunnah adalah al-thariiqah almahmuudah (jalan yang mulia)..Ada pula yang menyatakan bahwa sunnah bermakna al-thariiqah al-mutaadah sawaa` kaanat hasanah au sai`ah (jalan kebiasaan, baik ia berujud kebiasaan yang baik maupun yang buruk).21 Di dalam Kitab al-Madkhal disebutkan, Sunnah menurut bahasa bermakna al-thariiqah wa al-siirah (jalan dan perjalanan).22 Imam al-Amidiy di dalam Kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam menyatakan, Menurut bahasa, al-sunnah bermakna al-thariiqah (jalan).23 Di dalam Kitab al-Mahshuul disebutkan pula, Secara literal, alsunnah bermakna al-thariiqah (jalan)..24 Di dalam Kitab al-Ibhaaj dituturkan, al-Sunnah, secara literal bermakna al-thariiqah wa al-siirah (jalan dan perjalan)..25 Imam Sarkhasiy di dalam Kitab Ushul al-Sarkhasiy, Menurut bahasa, al-sunnah bermakna al-thariiqah al-masluukah fi al-diin (jalan yang ditempuh dalam agama)..26 Di dalam Kitab Taaj al-Uruus disebutkan, Menurut bahasa, sunnah bermakna al-siirah hasanah au qabiihah (perjalanan yang baik maupun buruk). Al-Azhariy berkata, al-Sunnah adalah thariiqah al-mahmuudah almustaqiimah (jalan yang utama dan lurus)...al-Sunnah juga bisa bermakna al-thabiiah (tabiat)..27 Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan; menurut pengertian bahasa (literal) al-sunnah bermakna al-thariiqah, al-siirah, maupun althabiiah. Hanya saja, pengertian sunnah yang masyhur dikenal di kalangan orang Arab adalah al-thariiqah (jalan) atau al-siirah (perjalanan). Definisi Al-Sunnah Menurut Syariat Pada perkembangan selanjutnya, kata al-sunnah diadopsi oleh syariat untuk menunjukkan makna tertentu, yaitu, (1) sunnah dalam konteks ibadah tambahan (nafilah), (2) hukum syariat (mandub), dan (3) sunnah dalam konteks perkataan, perbuatan, persetujuan dan perkaraperkara lain yang dinisbahkan kepada Nabi Mohammad saw. Ibnu Rajab menyatakan, Al-sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan
20 21 22 23 24 25 26 27

Imam al-Juwainiy, al-Burhan fi Ushuul al-Fiqh, juz 1, hal. 417 Imam al-Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, juz 1, hal. 67 Abd al-Qadir bin Badraan al-Dimasyqiy, al-Madkhal, juz 1, hal. 199 Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 282 Mohammad bin Umar bin al-Husain al-Raaziy, al-Mahshuul, juz 6, hal. 177 Ali bin Abd al-Kaafiy al-Subkiy, al-Ibhaaj, juz 2, hal. 263 Imam al-Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hl. 113 Imam al-Zabidiy, Taaj al-Uruus, juz 1, hal. 8075

11

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus baik yang berujud itiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan. Itulah al-sunnah yang sempurna. Atas dasar itu, generasi salaf terdahulu tidak menamakan al-sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auzaiy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin Iyadh (wafat th. 187 H). 28 Ibnu Badran dalam Kitab al-Madkhal menyatakan, ...Menurut istilah syariat, al-sunnah adalah ma nuqil an al-nabiy saw, qawlan, au filan, au taqriiran ala fil (semua yang dinukil dari Nabi saw, baik yang berujud perkataan, perbuatan, atau persetujuan atas suatu perbuatan). Ini adalah makna sunnah pada konteks urf khaash (kebiasaan yang lebih khusus) menurut istilah para ulama. Adapun makna sunnah menurut konteks urf aam (kebiasaan umum) adalah maa nuqila an al-Nabiy au an salaf min alshahabah, au al-tabiiin, au ghairihim min al-a`immah al-muqtadiy bihim (semua yang dinukil dari Nabi saw atau kaum salaf dari golongan shahabat, tabiin, atau ulama-ulama lain yang layak untuk diikuti.29 Imam al-Amidiy dalam Kitab al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam menyatakan, Menurut syariat, al-sunnah kadang-kadang disebutkan untuk ibadah nafilah (ibadah sunnah) yang berasal dari Nabi Mohammad saw; kadang-kadang disebutkan untuk dalil-dalil syariat yang bersumber dari Nabi saw, yang tidak berpahala jika dibaca, bukan mukjizat, atau bagian dari mukjizat....Yang termasuk di dalamnya adalah perkataan-perkataan Nabi saw, perbuatan-perbuatan, serta persetujuan-persetujuannya.30 Imam al-Jurjaniy di dalam Kitab al-Tariifaat menyatakan, ..Sedangkan menurut syariat, sunnah adalah jalan yang ditempuh dalam urusan agama tanpa ada penetapan kewajiban..31 Di dalam Kitab Irsyaad al-Fuhuul, Imam Syaukaniy menjelaskan sebagai berikut, Adapun menurut pengertian syariat, atau menurut istilah para ulama ahli syariat, sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi saw. Sunnah kadang-kadang disebutkan dengan makna umum atas wajib dan lain sebagainya menurut ahli bahasa Arab dan hadits. Sedangkan menurut kebiasaan ahli fikih, sunnah bermakna perbuatan yang tidak wajib , dan juga disebutkan dalam konteks perbuatan yang berlawanan dengan bidah; seperti perkataan mereka, si fulan adalah ahlus sunnah. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Faris dalam Fiqh al-Arabiyyah. Para ulama tidak suka perkataan orang yang mengatakan sunnah Abu Bakar dan Umar ra, akan tetapi hendaknya hanya mengatakan sunnat al-Allah dan sunnah RasulNya. Namun, pendapat ini dibantah, karena Nabi saw bersabda, Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafaur rasyidiin al-haadiin, gigitlah ia dengan gigi geraham. Mungkin juga dinyatakan bahwa yang dimaksud Nabi Mohammad saw dengan sunnah di sini adalah jalan (thariqah). Ada pula yang memberikan batasan definitifnya menurut istilah; yakni; semua hal yang sisi eksistensinya (wujudnya) lebih dikuatkan dibandingkan sisi
28

29 30 31

Ibnu Rajab, Jaami al-Uluum wa al-Hikaam, ( tahqiq dan taliq Thariq bin Awadhullah bin Muhammad), cet. II, hal. 495, Daar Ibnul Jauzy, 1420 H Ibnu Badran, al-Madkhal, juz 1, hal. 199 Imam al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz 1, hal. 119 Imam al-Jurjaniy, al-Tariifaat, juz 1, hal. 40

12

ketiadaannya (adamihi), meskipun hal itu (tarjih) tidak bisa mencegah adanya kontradiksi. Ada pula yang menyatakan, bahwa sunnah adalah perbuatan yang terus menerus dilaksanakan oleh Rasulullah saw, beserta perbuatan yang ditinggalkannya secara terus-menerus meskipun tanpa ada udzur. Ada pula yang mendefinisikan sunnah dalam konteks ibadah nafilah dan dalam konteks dalil syariat; yakni perkataan, perbuatan, persetujuan yang bersumber dari Nabi saw yang bukan al-Quran. Dan sunnah dalam pengertian inilah yang akan dibahas dalam pembahasan kali ini, dan yang akan dibahas dalam ilmu ini (ushul fikih)....32 Imam Sarkhasiy mengatakan, Menurut kami, secara syariy, makna sunnah adalah apa-apa yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan shahabatnya. Imam Syafiiy berpendapat bahwa penyebutan sunnah hanya mencakup sunnah Rasulullah saw saja. Yang demikian ini dikarenakan Imam Syafiiy berpendapat tidak bolehnya bertaqlid kepada shahabat33. Dan beliau ra berkata, Qiyas harus diutamakan dibandingkan pendapat shahabat. Sebab, yang diikuti adalah hujjah seorang shahabat bukan perbuatan shahabat. Pendapat seorang shahabat kedudukannya sama dengan pendapat orang setelah mereka. Oleh karena itu, yang diikuti adalah hujjah mereka, bukan perbuatan mereka, jika perbuatan dan perkataan mereka itu tidak mencapai derajat ijma (kesepakatan shahabat)...34 Di dalam Kitab Bahr al-Muhiith disebutkan, ..Adapun menurut istilah, sunnah kadang-kadang disebutkan dengan makna apa-apa yang sisi keberadaannya lebih dikuatkan dibandingkan sisi ketiadaannya, namun tidak mencegah adanya kontradiksi diantara keduanya. Sunnah kadangkadang disebutkan dengan makna, apa-apa yang bersumber dari Rasulullah saw, baik perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, persetujuan-persetujuan, dan cita-citanya. Sedangkan yang terakhir ini (cita-cita Nabi saw), tidak disebutkan oleh para ulama ushul. Hanya saja, Imam Syafiiy menggunakannya (sunnah hammiyah) sebagai dalil untuk istidlal...35 Di dalam Kitab al-Muwafiqat, Imam al-Lakhamiy menyatakan, ...Kadang-kadang, sunnah disebutkan dengan makna apa-apa yang dinukil dari Nabi saw, khususnya apa-apa yang tidak dinashkan di dalam alQuran akan tetapi dinashkan oleh Nabi Mohammad saw sendiri, sebagai penjelasan dari al-Quran maupun bukan sebagai penjelasan dari Nabi saw...Sunnah kadang-kadang disebutkan dengan makna semua perkara yang bertentangan dengan bidah...36 Prof. Mahmud Syaltut dalam Kitab al-Islaam, Aqiidah wa Syariiah, menyatakan bahwa sunnah menurut bahasa Arab maknanya adalah althariiqah al-mutaadah hasanah kaanat am sai`ah (jalan yang ditempuh
32 33

34

35 36

Imam Syaukaniy, Irsyaad al-Fuhuul, hal. 33 Barangkali yang dimaksud taqlid di sini adalah menjadikan perkataan dan perbuatan shahabat sebagai sumber hukum. Imam al-Sarkhasiy, Ushuul al-Sarkhasiy, juz 1, hal. 113. Ini berarti, jika perbuatan dan perkataan para shahabat itu mencapai derajat ijma shahabat (kesepakatan shahabat), maka ijma tersebut menjadi dalil syariat. Sedangkan pendapat shahabat bukanlah dalil syariat. Bahr al-Muhiith, juz 5, hal. 124 Imam al-Lakhamiy, al-Muwafiqat, juz 4, hal. 3

13

terus-menerus, apakah jalan itu baik maupun buruk). Ini ditunjukkan dengan sabda Rasulullah saw, Man sanna sunnah hasanah fa lahu ajruha wa ajru man amila biha ila yaum al-qiyamah; wa man sanna sunnah sai`ah fa lahu wizruha wa wizru man amila biha ila yaum al-qiyaamah. Sunnah juga disebutkan di dalam al-Quran di banyak tempat dengan makna al-aadah al-mustamirah (kebiasaan yang terus berlangsung), althariiqah al-mutabiah (jalan yang diikuti). Allah swt berfirman;


Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).[TQS Ali Imron (3):137]


(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu.[TQS Al Israa (18):77]


Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu".[TQS Al Anfaal (8): 38]


Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekalikali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.]TQS Al-Fath (49): 23]37 Masih menurut Prof Mahmud Syaltut, ulama Islam mengutip kata ini (sunnah) dari al-Quran dan bahasa Arab dan menggunakannya dengan makna yang lebih khusus dibandingkan makna bahasanya; yaitu jalan terpuji yang ditempuh secara terus menerus (al-thariiqah al-mahmuudah al-mutaadah) dalam urusan agama ; atau --dengan ungkapan lain-- dalam urusan-urusan berbentuk praktis yang sesuai dengan (perilaku) Nabi saw dan shahabatnya, dan juga sejalan dengan perintah-perintah al-Quran, dan sesuai dengan makna-makna yang dijelaskan al-Quran dan sumbersumbernya....Kesimpulannya, pada asalnya, kata sunnah hanya digunakan dalam konteks bahasa saja, dan makna-makna tersebut disebutkan di dalam al-Quran. Selanjutnya, kaum Muslimin menggunakan kata tersebut dengan makna jalan (al-thariqah) yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan shahabatnya. Makna semacam ini kemudian menjadi masyhur di masa-masa awal Islam, sebagaimana masyhurnya kata bidah yang bermakna jalan lain yang tidak ditempuh oleh Rasulullah saw dan shahabatnya.38 Kata sunnah, selanjutnya diadopsi oleh ulama ushul dengan makna lain, yakni semua yang diriwayatkan dari Nabi Mohammad saw, baik yang berujud perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan persetujuanpersetujuannya. Dengan makna ini, maka, sunnah dikenal menjadi
37 38

Prof Mahmud Syaltut, al-Islaam, Aqiidah wa Syariiah, hal. 499 Ibid, hal. 501

14

sumber hukum syariat kedua, yang darinya para ulama menggali hukumhukum syariat (istinbath), seperti halnya mereka menggali hukum dari alQuran; dan sekaligus menjadi rujukan para ulama dalam memahami makna-makna al-Quran. Dari sinilah muncul perkataan para ulama, ushul syariat itu adalah al-kitab dan al-sunnah39. Masih menurut Prof Mahmud Syaltut, kata sunnah juga dipakai oleh ulama fikih dengan makna al-shifat al-syariyyah (ketetapan syariat) untuk suatu perbuatan yang tuntutan pengerjaannya tidak pasti. Artinya, seseorang akan diberi pahala jika mengerjakan perbuatan itu, dan tidak akan disiksa jika meninggalkannya.40 Dari seluruh penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa, kata sunnah pada konteks awalnya hanya digunakan dalam konteks bahasa saja. Al-Quran telah menggunakan makna semacam ini dibeberapa tempat. Hanya saja, kata sunnah akhirnya digunakan dengan makna yang lebih khusus dibandingkan makna bahasanya. Akibatnya, jika kata sunnah disebut, secara otomatis orang akan memaknainya dengan jalan yang ditempuh oleh Nabi Mohammad saw dan para shahabatnya. DEFINISI KATA AL-JAMAAH Makna Jamaah Secara Literal Imam al-Raziy, di dalam Kamus Mukhtaar al-Shihaah menyatakan, Jamaa al-syai`a al-mutafarriq (mengumpulkan sesuatu yang terpisahpisah); fajtamaa, wa baabuhu qathaa. Wa tajamma al-qaum : ijtamauu min hunaa wa hunaa (mereka berkumpul dari sana sini). Al-jam : ism li jamaaat al-naas (kata benda untuk menunjukkan sekumpulan manusia). Kata al-jam jika dijamakkan adalah jumuu...al-jam juga bermakna aldaqal (kurma yang paling buruk). Kata jam juga bermakna Muzdalifah, karena manusia sering berkumpul di sana....al-jamii, adalah untuk memperkuat, jika dikatakan, jaa`uu jamiian, ay kulluhum (mereka datang seluruhnya). Al-Jamii juga diartikan lawan dari al-mutafarriq (berpecah belah). Al-jamii juga bermakna al-jaisy (pasukan). Al-jamii juga bermakna al-hayy al-mujtami (kampung yang bersatu)...41 Di dalam Kitab Mujam Lughat al-Fuqaha` disebutkan, Aljamaaah : al-adiid min al-naas (sejumlah manusia (sekelompok manusia))...42 Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, al-jam ism li jamaat al-insaan (kata al-jam adalah kata benda yang menunjukkan pengertian sekelompok manusia). Kata al-jamu adalah bentuk mashdar....Bentuk jamaknya adalah jumuu. Sedangkan kata aljamaaah, al-jamii, al-majmi, wa al-majmaah sama seperti kata aljamu. Orang-orang Arab kadang-kadang menggunakan kata-kata ini pada selain manusia, hingga mereka menyatakan jamaaat al-syajar (sekelompok pepohonan), wa jamaaat al-nabaat (sekelompok tumbuhan). Abdullah bin Muslim membaca hatta ablagha majmi al-bahrain, wa huwa naadir ka al-masyriq wa al-maghrib (hingga ia sampai di pertemuan dua laut, seperti kata al-masyriq wa al-maghrib ( namun penggunaan kata
39 40 41 42

Ibid, hal. 501 Ibid, hal. 503 Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 110-111 Mujam Lughat al-Fuqaha`, juz 3, hal. 228

15

majmi sangat jarang)....wa qaum jamii mujtamiuun (orang-orang yang berkumpul). Sedangkan kata al-majma menjadi ism (nama) untuk manusia dan tempat di mana manusia berkumpul.. Amr jaami yajmau alnaas..(urusan bersama yang mengumpulkan manusia)...misalnya seperti perang dan sebagainya...43 Definisi Jamaah Menurut Istilah Menurut istilah, jamaah bisa bermakna hizb, thaifah44, firqah, ushbah45 (kelompok yang kuat), rahth, fi`aam, zumar, dan sebagainya46 (kelompok atau golongan). Al-Quran dan hadits menggunakan istilahistilah ini, hizb, thaifah, firqah, rahth, dan sebagainya untuk menunjukkan makna kelompok (group). Kata fi`ah, disebutkan di beberapa tempat, di antaranya di dalam surat al-Baqarah.


"Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.[TQS Al Baqarah (2): 249]47 Kata hizb juga disitir al-Quran di banyak tempat, di antaranya adalah sebagai berikut.


Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). [TQS Al Mukminuun (23):53]48 Kata firqah disebutkan sekali di dalam al-Quran, yakni di dalam surat Baraa`ah (9) ayat 122. Allah swt berfirman;


Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.[TQS At Taubah (9):122]49
43

44 45 46 47

48

49

Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa alMuhiith al-Adzam, juz 1, hal. 120-121 al-Manawiy, al-Taaariif, juz 1, hal. 487 al-Manawiy, al-Taaariif, juz 1, hal. 515 al-Jiyaaniy, al-Alfaadz al-Mu`talifah, juz 1, hal. 162 Lihat juga pada surat ke 3: 13; 8:16; 8:45; 18:43; 28:81; 8:19; 8: 48; 4:88. Lihat juga pada surat ke 5:56; 30:32; 58:19; 59:22; 35:6; 18:12; dan lain-lain. Lihat bentuk pecahnya, fariiq di dalam surat ke 2:75; 2:100; 2:101; 3:23; 4:77; 9:117; 16:54; 23:109; dan lain-lain.

16

Jamaah dengan konotasi al-ushbah juga disebutkan di beberapa tempat dalam al-Quran; diantaranya di dalam surat An Nur)24):11;


Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga..[TQS An Nuur (24):11]50 Kata rahth, disebutkan juga di dalam Al-Quran, yakni di dalam surat An Naml.


Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan.[TQS An Naml (27): 48] Al-rahth adalah jamaah al-insaan duuna asyar (sekelompok orang yang jumlahnya kurang dari 10). Kata rahth juga disebutkan di dalam hadits shahih; diantaranya sebuah riwayat yang dituturkan Imam Bukhari dari Anas bin Malik ra.


Ada tiga orang mendatangi rumah-rumah isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadahnya Nabi Mohammad saw..[HR. Imam Bukhari] Kata zumar juga digunakan al-Quran untuk menunjukkan makna sekelompok manusia (jamaaat al-insaan).


Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombongrombongan...[TQS Az Zumar (39): 71] Sebagian ulama lain berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan aljamaah adalah para shahabat ra serta orang yang mengikuti mereka hingga hari akhir.51 Namun, ada pula yang berpendapat bahwa al-jamaah yang disebutkan dalam hadits-hadits mengenai kewajiban mengikatkan diri dalam al-jamaah adalah para shahabat ra saja, bukan selain mereka52. Kata jamaah juga digunakan dalam konteks jamaat almuslimin, yakni seluruh kaum Muslim yang hidup di bawah kepemimpinan seorang imam atau khalifah. Pendapat ini dianggap kuat oleh Imam Thabariy, ketika beliau menjelaskan makna al-jamaah yang terdapat dalam hadits tentang luzuum al-jamaaah (kewajiban mengikatkan diri dengan jamaaah). Di dalam sebuah hadits shahih, dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda;

50 51

52

Lihat pula pada surat ke 12:8; 12:14: 28:76 Lihat pada catatan pinggir dari Kitab Takhriij al-Aqiidh al-Thahawiyyah karya Imam al-Thahawiy, pentahqiq : Nashiruddin al-Albaniy, juz 1, hal. 70. Tuhfat al-Ahwadziy, juz 5, hal. 456

17


Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari aljamaaah, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah. Barangsiapa menyerang umatku, memukul umatku yang baik dan yang fajir, dan ia tidak menghindarkan orang Mukminnya, dan tidak membebaskan orang yang memiliki perjanjian dengan umatku, maka ia bukan golonganku. Dan siapa saja berperang di bawah panji ashabiyyah, menyeru kepada ashabiyyah, atau marah karena ashabiyyah, kemudian ia terbunuh, maka matinya adalah mati jahiliyyah. [HR. Imam Nasaaiy] Imam Sanadiy, di dalam Kitab Syarh al-Sunan al-Nasaaiy, menyatakan, wa faaraqa al-jamaaah , maksudnya adalah jamaaah almuslimiin yang terhimpun di bawah seorang imam.53 Di dalam sebuah hadits shahih dituturkan, bahwasanya Nabi saw bersabda;


Siapa saja yang mendatangi kalian -- sedangkan urusan kalian telah terkumpul di atas seorang laki-laki-- hendak memecah tongkat kalian, atau memecahbelah jamaah kalian, maka bunuhlah dia.[HR. Imam Muslim] Imam Muslim juga menuturkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;


Siapa saja yang keluar dari ketaatan, dan memisahkan diri dari jamaah, maka matinya seperti mati jahiliyyah. Barangsiapa berperang di bawah panji jahiliyyah, atau marah karena ashabiyyah, atau menyeru kepada ashabiyyah, atau menolong karena ashabiyyah, lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah. Dan siapa saja yang menyerang umatku, memukul umat yang baik maupun yang berbuat dosa, dan ia tidak menghindarkan orang Mukminnya, dan tidak membebaskan orang yang memiliki perjanjian, maka orang tersebut bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk bagian dari dirinya.[HR. Imam Muslim]
53

Lihat penjelasan Imam al-Sanadiy dalam Kitab Syarh al-Sunan al-Nasaaiy, hadits no. 4045.

18

Imam Muslim juga menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;


Barangsiapa melihat dari amirnya sesuatu yang dibencinya, hendaknya ia bersabar. Sesungguhnya, siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal, lalu ia mati, maka matinya mati jahiliyyah.[HR. Imam Muslim] Imam Bukhari dan Muslim juga menuturkan sebuah riwayat dari Hudzaifah al-Yamaniy ra, bahwasanya ia berkata;


Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau saw mengenai keburukan, karena khawatir keburukan itu akan menimpaku. Aku bertanya, Ya Rasulullah, sesungguhnya, kami dahulu berada di masa jahiliyyah dan keburukan. Lalu, Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Lantas, apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan? Nabi saw menjawab, Ya. Saya bertanya lagi,Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan? Nabi saw menjawab, Ya, dan di dalamnya terdapat dakhan (kotoran). Aku bertanya, Apa kotorannya? Beliau menjawab, Kaum yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku; yang mana kamu mengenal mereka, dan kamu akan mengingkari. Aku bertanya lagi, Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan lagi? Nabi saw menjawab, Ya, orangorang yang mengajak ke pintu-pintu neraka. Siapa saja yang menerima ajakan mereka menuju pintu-pintu neraka, mereka akan melemparkannya ke dalam neraka. Aku bertanya lagi, Ya Rasulullah, beritahukanlah sifatsifat mereka kepada kami. Nabi saw menjawab, Mereka memiliki kulit yang sama dengan kita, dan berbicara dengan bahasa-bahasa kita. Aku bertanya lagi, Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika hal itu menimpaku? Nabi saw menjawab, Tetapilah jamaat al-Muslimiin dan imam mereka. Aku bertanya, Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam. Nabi saw bersabda, Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

19

Ibnu Bathal, di dalam Syarh al-Bukhari li Ibn al-Bathal menyatakan, Imam Thabariy berkata, Ahli ilmu berbeda pendapat dalam memaknai perintah Nabi saw untuk mengikatkan diri dengan jamaah dan larangan beliau dari firqah, serta sifat al-jamaah yang beliau saw perintahkan untuk menetapinya. Sebagian kaum berpendapat, Ini adalah perkara wajib dan fardlu, sedangkan jamaah yang Nabi saw perintahkan kepada kaum Muslim untuk menetapinya adalah al-sawaad al-adzam (mayoritas kaum Muslim). Mereka berpendapat, Semua hal yang disepakati oleh mayoritas umat Islam dari urusan agama mereka, maka kesepakatan itu adalah kewajiban dan fardlu yang tetap, yang tak seorang Muslim pun boleh menyelisihinya, sama saja apakah ia menyelisihi salah satu hukum dari hukum-hukum yang telah disepakati oleh mereka, atau menyelisihi imam yang mengurusi urusan mereka maupun kekuasan mereka..Dituturkan bahwa orang yang menyatakan pendapat ini (seperti); dituturkan dari Ibnu Sirin ra, bahwasanya ia berkata, Ketika Utsman terbunuh, aku mendatangi Abu Masud al-Anshoriy, lalu aku bertanya kepadanya tentang fitnah. Ia menjawab, Tetaplah kamu di dalam jamaah, sesungguhnya Allah tidak menjadikan umat Mohammad bersepakat dalam kesesatan. Jamaah adalah tali Allah; dan orang yang tidak suka menjadi bagian dari jamaah, lebih baik daripada orang yang mencintai firqah (perpecahan). Mereka juga berhujjah dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Auzaiy, bahwasanya ia berkata,Telah meriwayatkan kepada saya, Qatadah, dari Anas bin Malik; bahwasanya Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya, Bani Israel terpecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu kelompok, yakni, al-jamaah. Mutamar bin Sulaiman meriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata, Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya, Allah tidak mengumpulkan umatku dalam kesesatan selama-lamanya, dan Tangan Allah di atas al-Jamaah. Maka ikutilah mayoritas kaum Muslim, sesungguhnya, siapa saja yang menyendiri (menyimpang), maka ia akan menyendiri di neraka. Masih menurut Ibnu Bathal, ..Sedangkan yang lain berpendapat, Al-jamaah yang Nabi memerintahkan untuk menetapinya adalah jamaah aimmah al-ulamaa (sekelompok para pemuka ulama). Alasannya, karena Allah telah menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhlukNya, dan kepada merekalah masyarakat awam menyelesaikan urusan-urusan agamanya, dan umat senantiasa mengikuti mereka. Mereka adalah makna dari sabda Rasulullah saw , Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan (menjadikan sepakat) umatku dalam kesesatan. Disebutkan bahwa ulama yang berpendapat seperti ini adalah; dituturkan dari al-Musayyab bin Rafi, bahwasanya ia berkata, Adalah para shahabat, jika datang kepada mereka suatu perkara yang tidak ada di dalam al-Quran dan Sunnah, mereka menyebut perkara itu dengan shawaafiy al-amr. Lalu, mereka menyelesaikan perkara itu menurut pendapat para ulama. Jika pendapat mereka telah menjadi kesepakatan, maka pendapat itu adalah kebenaran (haq). Abdullah bin Mubarak pernah ditanya tentang aljamaaah yang harus dijadikan sebagai teladan; lalu ia menjawab, Abu Bakar dan Umar... Ibnu Bathal menyatakan, Sedangkan yang lain berkata, al-Jamaah yang Rasulullah saw perintahkan untuk menetapinya adalah jamaah para

20

shahabat yang telah menegakkan agama Islam setelah wafatnya Nabi saw; hingga akhirnya mereka mampu mendirikan pilar-pilarnya serta membangun pasak-pasak dan balai-balai Islam... Ibnu Bathal menjelaskan, Sedangkan ulama lain berpendapat, alJamaah yang Rasulullah memerintahkan untuk menetapinya adalah jamaah ahlu al-Islam (jamaah al-Muslim) selama mereka telah bersepakat dalam suatu perkara, maka penganut agama Islam wajib untuk mengikutinya. Jika ada yang menyelesihi mereka, maka orang-orang tersebut tidak berada di dalam jamaah.. Lalu, mana pendapat yang paling tepat dalam masalah ini? Ibnu Bathal melanjutkan, Imam al-Thabariy menyatakan; yang benar dalam masalah ini adalah, sesungguhnya Nabi saw memerintahkan untuk mengikatkan diri dengan imam dari jamaah al-Muslimin, dan beliau melarang memisahkan diri dari mereka dalam perkara yang telah mereka sepakati untuk menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya (kepada imam atau khalifah). Siapa saja yang memisahkan dari jamaah semacam ini, maka ia menyalahi baiatnya dan menanggalkan janjinya setelah perkara itu menjadi kewajibannya. Nabi saw bersabda, Siapa saja yang mendatangi umatku untuk memecahbelah jamaah mereka, maka penggallah lehernya tanpa memandang siapa dirinya.54 Imam al-Sanadiy juga mengartikan al-jamaah yang kaum Muslim tidak boleh memisahkan diri darinya, dengan; jamaah kaum Muslim yang bersatu dibawah kepemimpinan seorang imam atau khalifah55. Imam Abu Mohammad Abd al-Rahman bin Ismaaiil (Abu Syammah al-Syafiiy) rahimahullah (wafat th. 665 H) menyatakan, Perintah untuk berpegang kepada jamaah, maksudnya ialah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya; walaupun yang melaksanakan sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Sebab, kebenaran itu apa yang dikerjakan oleh jamaah yang pertama; yaitu yang dilaksanakan Rasulullah saw dan para shahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan) sesudah mereka.56 KESIMPULAN Para ulama telah berbeda pendapat dalam memaknai kata aljamaah yang kaum Muslim wajib untuk mengikatkan diri dengannya. Diantara mereka ada yang mengartikan jamaah dengan para shahabat ra saja, bukan yang lain. Sedangkan yang lain mengartikan jamaah dengan para ulama yang dijadikan rujukan oleh umat. Ada pula yang mengartikannya dengan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan cara yang ihsan hingga hari kiamat. Sebagian ulama lain mengartikan al-jamaah dengan sawad al-adzam (kelompok mayoritas). Imam Thabariy berpendapat bahwa al-jamaah yang wajib diikuti oleh kaum Muslim, dan mereka dilarang memisahkan diri darinya adalah jamaat al-Muslim yang dipimpin oleh seorang imam atau khalifah.
54

55 56

Ibnu Bathal, Syarh al-Shahih al-Bukhari li Ibn al-Bathal, juz 19, hal. 40-41. Lihat juga al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Baariy, juz 20, hal. 89; Tuhfat al-Ahwadziy, juz 5, hal. 456 Syarh Sunan al-Nasaaiy, juz 5, hal. 434 Lihat Syarh al-Aqiidah al-Thahaawiyah, juz 1, hal. 308

21

DEFINISI AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAAH Berdasarkan seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa, istilah ahlu al-sunnah wa al-jamaah adalah istilah khusus untuk menyebut orang yang senantiasa berada di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi saw dan para shahabatnya, baik dalam persoalan keyakinan, perkataan, dan perbuatan; dan mereka hidup bersama (berjamaaah) dalam kepemimpinan seorang imam atau khalifah. Inilah definisi ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang dimaksud oleh hadits-hadits shahih. Definisi ini memang harus dibiarkan longgar atau umum, dikarenakan tidak adanya nash-nash yang memberikan batasan lebih khusus terhadap makna ahlu al-sunnah wa aljamaaah, kecuali sekedar orang yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi saw dan para shahabat, dan hidup bersama dalam kepemimpinan seorang imam (khalifah). Di dalam hadits-hadits shahih dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda;

: . : .
Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan; dan kaum Nashraniy terpecah menjadi 72 golongan. Sedangkan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para shahabat bertanya, Siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah saw menjawab, Mereka yang mengikuti jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya. [HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah]. Imam Ibnu Majah menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;


Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan; satu masuk ke dalam surga, sedangkan 70 golongan lainnya masuk ke dalam neraka. Nashraniy akan terpecah menjadi 72 golongan. Tujuh puluh satu golongan masuk ke dalam neraka, satu masuk surga. Demi Dzat Yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, sungguh, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu golongan masuk ke dalam surga, sedangkan 72 golongan lainnya masuk ke dalam neraka. Para shahabat bertanya, Ya Rasulullah, siapa mereka? Nabi menjawab, Al-jamaaah. [HR. Imam Ibnu Majah, di dalam Sunan Ibnu Majah] Imam Ibnu Majah juga menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;

22


Bani Israel terpecah menjadi 71 golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan, yakni al-jamaaah.[HR. Ibnu Majah] Imam Sanadiy menyatakan; yang dimaksud dengan al-jamaaah di dalam hadits ini adalah orang-orang yang sejalan dengan jamaaah shahabat, dan mengambil prinsip-prinsip aqidah mereka, dan berpegang teguh dengan pendapat mereka.57 Imam Hakim di dalam Kitab al-Mustadrak menuturkan sebuah hadits bahwasanya beliau saw pernah ditanya tentang al-firqah al-naajiyah (kelompok yang selamat), beliau saw menjawab, Mereka yang mengikuti jalan yang aku dan para shahabatku berada di atasnya58. Ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 170, al-Ibadliy di dalam Himyaan al-Zaad menyatakan, Ayat ini melarang orang yang mampu berijtihad melakukan taqlid; atau melarang orang yang mampu melakukan kajian dan tarjih bertaqlid kepada suatu pendapat, dan meninggalkan pengkajian dan tarjih, padahal ia mampu melakukan tarjih. Mengikuti alQuran dan sunnah bukanlah taqlid. Dan ketahuilah bahwa yang haq (benar) adalah al-Quran, Sunnah, dan atsar yang tidak menyalahi keduanya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka ia adalah al-jamaah wa al-sawad al-adzam, walaupun seorang diri... Lalu beliau mengutip pendapat dari Imam Syaraniy, Imam al-Syaraniy berkata, Sofyan alTsauriy berkata, Yang dimaksud dengan al-sawad al-adzam adalah orang yang termasuk golongan ahlus sunnah wal jamaaah, meskipun ia seorang diri...59 Di dalam Kitab al-Wajiiz fi Aqiidah al-Salaf al-Shaalih (Ahlu alSunnah wa al-Jamaaah) disebutkan, Maka, ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi saw, shahabatnya, dan orang-orang yang menempuh jalan mereka dalam keyakinan (itiqad), perkataan, dan perbuatan; dan mereka adalah orangorang yang beristiqamah (teguh) untuk selalu mengikuti (sunnah) dan menjauhi bidah; dan mereka tetap menang dan ditolong hingga hari kiamat karena ketaatan mereka terhadap petunjuk dan penyelisihan mereka terhadap kesesatan...Pendapat terpilih dalam memahami ahlu alsunnah wa al-jamaaah adalah, mereka adalah firqah (kelompok) yang Nabi saw telah menjanjikan kepada mereka keselamatan diantara firqah-firqah yang lain. Sumbu putar sifat ini berada di atas ketaatan terhadap sunnah, dan kesesuaiannya dengan apa yang dijelaskan oleh sunnah, baik dalam persoalan keyakinan, ibadah, petunjuk, perilaku, akhlak, serta keterikatan dengan jamaah al-Muslimiin. Oleh karena itu, definisi ahlu al-sunnah wa al-jamaaah tidak akan keluar dari definisi salaf. Kita telah memahami bahwa salaf adalah orang-orang yang mengamalkan kitab dan berpegang teguh dengan sunnah. Maka, salaf adalah ahlu al-sunnah yang dimaksud oleh Nabi saw. Sedangkan ahlu al-sunnah adalah salaf al-shaalih dan
57 58

59

Imam Sanadiy, Syarh Sunan Ibnu Majah, hadits no. 3983 Al-Mustadrak juz 1, hal. 128, 129. al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di dalam Takhriij al-Kasyaaf (hal. 63), isnad hadits ini hasan. al-Ibadliy, Himyaan al-Zaad, juz 2, hal. 145

23

orang-orang yang berjalan di atas manhaj (metode) mereka. Dan ini adalah makna yang lebih khusus untuk ahlu al-sunnah wa al-jamaaah; sehingga dikeluarkan dari makna ini, semua kelompok bidah, ahlu alahwaa (pemuja hawa nafsu), semacam Khawarij, Jahmiyyah, Qadariyyah, Mutazilah, Murjiah, Rafidlah..dan ahli bidah lain yang mengikuti jalan mereka.60 Berdasarkan definisi ini; seseorang terkategori dan termasuk di dalam kelompok ahlu sunnah wa al-jamaah, jika dirinya selalu berjalan di atas al-Quran, Sunnah, serta atsar yang tidak bertentangan dengan keduanya, meskipun seorang diri. Hanya saja, definisi yang terlalu longgar seperti ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya telah menyimpang dari manhaj Nabi saw (telah keluar dari al-jamaaah) untuk mengaku-ngaku dan mengklaim dirinya tetap sebagai bagian dari ahlu alsunnah wa al-jamaaah, thaifah manshurah dan ghuraba; padahal, metodologi dan prinsip-prinsip aqidah mereka telah menyimpang dari manhaj yang digariskan oleh Nabi saw (sunnah). Untuk mengatasi masalah ini, paraulama kaum Muslim berfikir keras untuk menggariskan metodologi berfikir dan istinbath, serta prinsip-prinsip aqidah yang ditempuh oleh Nabi saw dan para shahabat (manhaj ahlu al-sunnah wa al-jamaaah) yang lebih praktis dan rinci.

60

Abdullah bin Abd al-Hamiid al-Atsariy, al-Wajiiz Shaalih, juz 1, hal. 25 29.

fi Aqiidah al-Salaf al-

24

BAB II PERKEMBANGAN ISTILAH AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMAAAH

Penyempitan Makna Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaaah Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ahlu al-sunnah wa aljamaaah mengalami penyempitan makna. Penyempitan ini disebabkan karena perbedaan pendapat dalam menderivasikan dan memformulasikan lebih lanjut metodologi berfikir dan prinsip aqidah yang diyakini Nabi dan para shahabat ke dalam lingkup yang lebih rinci. Dari sinilah akhirnya mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal; meskipun perbedaan tersebut tidaklah menyentuh aspek-aspek yang bersifat mendasar (yang bisa berkonsekuensi iman dan kufur). Misalnya, ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah berbeda pendapat dalam menafsirkan Sifat Allah swt. Imam Maturidiy, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa Tuhan bersifat immateri (memiliki Dzat tetapi tidak berbeda dengan materi dunia yang dibatasi oleh waktu dan ruang). Allah tidak Bersifat kecuali dengan Sifatsifat Immateri. Atas dasar itu, ayat-ayat al-Quran yang menunjukkan penyerupaan (mutasyabihat) dengan diriNya, harus ditakwilkan. Menurut beliau, Yad al-Allah (Tangan Allah) harus ditakwilkan dengan kekuasaan Allah; Wajh al-Allah (Wajah Allah) diartikan dengan Rahmat Allah, dan sebagainya. Pendirian seperti ini tentu saja berbeda dengan pandangan Imam Asyariy dan Imam Thahawiy. Imam Asyariy berpandangan bahwa Dzat Allah swt berbeda dengan makhlukNya. Oleh karena, jika di al-Quran disebutkan Wajh al-Allah, Yad al-Allah, dan sebagainya, maka semua itu (Wajah dan Tangan Allah) tidak boleh disamakan dengan makhluk. Perkara-perkara semacam ini wajib diyakini menurut makna dzahirnya, dan tidak boleh ditanyakan kaifiyyahnya (tata caranya). Seorang Mukmin wajib menyakini istiwaNya Allah di Arsy, namun ia tidak boleh menanyakan bagaimana tatacara bersemayam Allah. Keduanya juga berbeda pendapat dalam menerangkan perbuatan manusia, dan relasi antara kehendak manusia dan Kehendak Allah. Imam al-Asyariy mengenalkan apa yang disebut dengan kasb al-ikhtiyaariy, sedangkan Imam Maturidiy mengenalkan prinsip manusia memiliki kebebasan (free will) dalam berbuat; dan lain sebagainya. Walaupun begitu, keduanya sepakat menolak paham Mutazilah dn Jabariyyah, serta menyakini bahwa Allah swt suci dari kekurangan dan kelemahan, dan keduanya tetap menisbahkan pendirian dan pemikirannya kepada ahlu al-sunnah wa al-jamaaah. Demikianlah, akhirnya maknaahlu al-sunnah wa al-jamaaah menyempit dan dinisbahkan kepada ulama-ulama tertentu yang menggali metodologi berfikir dan pemikiran-pemikiran yang diyakini bersumber dari Nabi saw dan para shahabat. Akibatnya, ada yang menisbahkan ahlu alsunnah wa al-jamaaah kepada Imam Asyariy dan Maturidiy; sehingga, menurut mereka, orang yang termasuk ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah orang-orang yang mengikuti metodologi berfikir dan prinsip aqidah

25

yang digali oleh Imam Asyariy dan Maturidiy. Ada pula yang menisbakan ahlu al-sunnah wa al-jamaaah kepada pemikiran Imam Thahawiy; sehingga mereka menyatakan, ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah pengikut pemikiran-pemikiran yang ditetapkan oleh Imam Thahawiy. Ada pula yang menisbahkannya kepada Imam Bazdawiy, Juwainiy, Ghazaliy, dan lain sebagainya. Namun, ada pula yang menisbahkan ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah pengikut pemikiran-pemikiran yang digariskan oleh ulama ahli al-hadits. Kelahiran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaaah Dalam Telusur Historis Upaya-upaya untuk mempertahankan aqidah umat Islam dari penyimpangan sudah dilakukan sejak masa para shahabat, terutama setelah fitnah menyebar luas di tengah-tengah kaum Muslim. Di masa Ali bin Abi Thalib ra, misalnya, beliau pernah mengutus Ibnu Abbas ra untuk meluruskan pandangan ekstrim kaum Khawarij terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim; dimana kelompok ini (Khawarij) berpandangan bahwa, Utsman, pasukan perang Jamal, Ali ra, Muawiyyah dan orang-orang yang menerima tahkim, telah keluar dari Islam, dan halal darahnya. Mereka juga berpendapat mengenai wajibnya memisahkan diri dari penguasa lalim61. Di dalam Kitab al-Mustadrak, Imam Hakim mengetengahkan sebuah riwayat yang menuturkan diskusi antara Ibnu Abbas ra dengan kaum Khawarij. Setelah diskusi tersebut, dua ribu orang Khawarij dilaporkan kembali kepada pemahaman yang lurus62. Di dalam Taariikh al-Khulafaa dituturkan; kaum Khawarij yang masih tetap dalam pendiriannya pergi ke daerah Nahrawan, dan mengganggu keamanan. Ali ra pun segera memerangi mereka. Peristiwa ini terjadi pada tahun 38 Hijrah, dan dikenal dengan Perang Nahrawan.63

61

62

63

Abu Manshur al-Baghdadiy, Al-Fard bain al-Firaq, hal. 45; Imam Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, juz 1, hal. 114-128 Kaum Khawarij berpandangan bahwa Ali ra telah keluar dari Islam dan halal darahnya dikarenakan tiga hal. Pertama, Ali ra telah bertahkim kepada manusia tentang urusan agama. Kedua, Ali ra telah memerangi namun tidak memperbolehkan menawan dan merampas harta orang yang ikut serta dalam peperangan. Ketiga, Ali ra menghapuskan gelar Amirul Mukminin dari dirinya, sehingga menurut kaum Khawarij, Ali ra adalah Amir al-Kaafiriin. Namun, tiga persoalan ini berhasil dijelaskan oleh Ibnu Abbas ra dengan penjelasan yang memuaskan, sehingga 2000 orang Khawarij kembali ke pangkuan al-Jamaaah. [Imam al-Haakim, Al-Mustadrak, juz 2, hal. 150; lihat pula Majma al-Zawaaid, juz 6, hal. 249. Imam Hakim juga menyatakan bahwa beberapa fragmen dari peristiwa tersebut (diskusi antara Ibnu Abbas ra dengan kaum Khawarij) diriwayatkan oleh Imam alThabarniy dan Imam Ahmad, dengan isnad yang shahih. Para pembaca budiman bisa melihat kisah diskusi antara Ibnu Abbas ra dengan Khawarij. Lihat juga Imam al-Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa, hal. 138] Imam Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa, hal. 138

26

Di samping itu, muncul pula kelompok Rafidlah64 yang menyebarkan pemikiran-pemikiran tentang imamah (kepemimpinan). Mereka menyakini bahwa kekhilafahan adalah hak sepenuhnya Ali ra dan keturunannya berdasarkan penunjukkan Nabi saw. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Ustman, serta mengkafirkan ketiganya dan orang-orang yang turut membaiat dan mengikutinya. Dari persengketaan ini, lahirlah kelompok Sunni dan Syiah. Munculnya kelompok Syiah dan Khawarij, berakibat munculnya kelompok baru di tengah-tengah kaum Muslim, yakni Murjiah. Aliran ini muncul akibat terpecahnya pengikut Ali bin Abi Thalib menjadi Syiah dan Khawarij, pasca peristiwa tahkim (arbitrasi). Kelompok ini tidak menyukai kelompok-kelompok (Syiah dan Khawarij) yang saling mengkafirkan satu dengan yang lain. Kelompok Murjiah berusaha tidak memihak kedua pihak yang bersengketa tersebut dan menyerahkan keputusannya kepada Allah swt. Oleh karena itu, mereka dinamakan Murjiah. Mereka mengatakan, Suatu dosa tidak membahayakan selama ada iman, sebagaimana ketaatan tidak berguna selama ada kekafiran. Menurut mereka, amal tidaklah termasuk bagian dari iman, serta iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang.65 Fitnah semakin melebar dan mengoyak-ngoyak kaum Muslim, ketika di tengah-tengah mereka muncul kelompok Qadariyyah yang mengusung prinsip-prinsip kebebasan dalam berbuat. Paham ini muncul di akhir-akhir masa shahabat66. Kelompok ini menolak dikaitkannya perbuatan dengan
64

65

66

Nama Rafidlah berasal dari ucapan Imam Zaid bin Ali ketika orang-orang Syiah menolak pendapat dan kepemimpinan beliau. Pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, sebagian firqah Syiah (yang bermukim di Kufah) berpendapat bahwa kekhilafahan harus diserahkan kepada keturunan Fathimah tanpa membedakan keturunan Hasan bin Ali maupun Husein bin Ali. Namun, Imam Zaid bin Ali (Syiah Zaidiyyah) berkata, Ali bin Abi Thalib adalah shahabat yang paling utama. Namun, karena pertimbangan kemashlahatan dan kaedah agama, yaitu untuk memadamkan fitnah dan mempertautkan hati masyarakat, maka khilafah diserahkan kepada Abu Bakar.. Imam Zaid juga berkata, Saya tidak mengatakan keduanya (Abu Bakar dan Umar) melainkan yang baik-baik. Dan saya tidak mendengar ayah saya mengatakan sesuatu tentang keduanya kecuali mereka adalah orang yang baik. Sesungguhnya saya keluar dari Bani Umayyah karena mereka memerangi kakek saya, Husein. Ketika kelompok Syiah mengetahui sikap Zaid seperti itu, mereka memisahkan diri dari Zaid bin Ali ra. Mereka menolak pendapat dan kepemimpinannya, hingga Imam Zaid berkata kepada mereka, Rafadltumuuniy (kamu menolak saya). Sejak saat itulah mereka disebut sebagai kaum Rafidlah. [al-Farq bain al-Firaaq, hal. 25; dan al-Milal wa al Nihal, juz 1, hal. 155] Imam Syahrastaniy, al-Milal wan Nihal, hal. hal 139, Wasathiyyah Ahl alSunnah, hal 294-295. Imam Syahrastaniy, al-Farq bain al-Firaq, juz 1, hal. 15. Di dalam kitab al-Farq bain al-Firaq disebutkan bahwa para shahabat akhir, seperti Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abdullah ibn Ubaiy, Uqbah bin Aamir al-Juhaniy ra, telah berpesan kepada orang-orang setelah mereka agar tidak memberi salam kepada mereka, tidak mensholatkan jenazah mereka, dan tidak

27

takdir Allah swt. Dengan kata lain, perbuatan manusia adalah independent dan tidak ada kaitannya dengan takdir Allah swt di zaman azali. Oleh karena itu, kelompok Qadariyyah menolak takdir dan ilmu Allah di jaman azali. Ahli sejarah berpendapat; pengusung paham Qadariyyah adalah Mabad bin Abdullah al-Juhaniy al-Bashri. Namun, ia akhirnya dihukum mati dan disalib pada masa Abdul Malik bin Marwan karena ajaranajarannya yang dianggap telah menyimpang dari jalan yang lurus67. Hanya saja, paham Qadariyyah masih terus bertahan dan dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya hingga saat ini. Anthithesis dari paham Qadariyyah adalah Jahmiyyah. Paham ini menyakini bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt. Allah-lah Sang Pencipta kehendak (free will) pada diri manusia, dan manusia berada dalam keadaan dipaksa (determinis). Kelompok ini meniadakan istithaah (kemampuan) manusia dalam melakukan perbuatan. Paham ini dicetuskan pertama kali oleh Jahm bin Shofwan (w. 745 M). Jahm bin Shofwan juga berpendirian bahwa Sifat-Sifat Allah yang terdapat di dalam al-Quran harus ditakwilkan, jika Sifat-Sifat itu bukan DzatNya. Menurutnya, Sifat-Sifat tersebut telah berpotensi mentasybihkan Allah dengan makhluknya, oleh karena harus ditakwilkan. Jahm bin Shofwan juga berpendapat bahwa alQuran adalah makhluk yang diciptakan Allah swt. Ia juga berpandangan bahwa Allah swt tidak bisa dilihat di hari kiamat; surga dan neraka bersifat fana (tidak kekal) sesudah masing-masing penghuninya masuk ke dalamnya, yakni sesudah penghuninya merasakan kenikmatan surga, dan penghuni neraka merasakan siksaan neraka. Sebab, menurutnya, mustahil kita membayangkan adanya suatu gerakan yang tidak ada titik akhirnya, semustahil kita membayangkan adanya suatu gerakan yang tidak mempunyai titik permulaan.68 Tidak terhenti di sini saja, di tengah-tengah kaum Muslim juga muncul kelompok Mutazilah, yang mengusung ide-ide al-manzilah bain almanzilatain. Beberapa pemikiran kelompok ini sejalan dengan kelompok Qadariyyah; misalnya, berkaitan dengan doktrin doktrin istithaah manusia. Seperti Qadariyyah, kelompok Mutazilah juga menyakini manusia sebagai sang pencipta kehendak dan perbuatannya. Kelompok ini juga menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Kelompok Mutazilah dicetuskan pertama kali oleh Washil bin Atha, dan dinamakan demikian karena ia memisahkan diri dari halaqahnya Imam Hasan al-Bashriy. Kelompok Mutazilah menyebut dirinya ahl al-adl wa al-tauhid (penganut paham keadilan dan tauhid). Disebut demikian karena, mereka mensucikan Allah dari pendapat lawan-lawan mereka yang menyatakan bahwa Allah telah menakdirkan
67

68

mengunjungi mereka yang sakit. [ibid, juz 1, hal. 15] Lihat, Ibn al-Atsir, al-Kaamil fi al-Taarikh, juz 4, hal. 189. Sepeninggal Mabad, Ghailan al-Dimasyqiy kembali mempropagandakan paham Qadariyyah, dan kembali membahas persoalan istithaah manusia dan takdir Allah. Menurut laporan sejarah, Ghailan pernah mengirim surat kepada Umar bin Abdul Aziz, untuk mengajaknya menganut doktrindoktrinnya mengenai keadilan. Namun, Umar bin Abdul Aziz berhasil mematahkan argumentasi Ghailan lewat lisan Imam al-Auzaiy, seorang fakih yang berasal dari Syam. [Lihat Abu Zahrah, Taariikh al-Madzaahib alIslaamiyyah, juz 1, hal. 129] Ahmad Amin, Fajr al-Islaam, juz 1, hal. 343

28

manusia melakukan maksiyat, kemudian menyiksanya karena kemaksiyatannya itu. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan perbuatannya, dan oleh karena itu manusia mendapatkan siksa. Menurut mereka inilah keadilan Allah. Mereka juga menyebut sebagai penganut paham tauhid, karena mereka menafikan Sifat-Sifat Allah, dan menganggap sikap seperti ini sebagai bentuk pentauhidan kepada Allah69. Lahirnya kelompok-kelompok di atas, terutama Mutazilah dan Jabariyyah di tengah-tengah kaum Muslim, telah mendorong ulama-ulama Islam untuk menyelamatkan aqidah umat dari penyimpanganpenyimpangan. Kemudian, muncullah dua Imam besar pembela aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaaah, yakni Imam Abu Hasan al-Asyariy (w.324 H), dan Imam Abu Manshur al-Maturidiy (w. 333 H). Keduanya berhasil mengetengahkan kembali metodologi berfikir dan prinsip-prinsip aqidah yang diyakini oleh Rasulullah saw dan shahabat. Sebab, menurut keduanya, metodologi berfikir dan prinsip aqidah Rasulullah saw dan shahabat inilah yang seharusnya menjadi pegangan seluruh kaum Muslim, bukan metodologi berfikir dan prinsip aqidah yang lahir dari filsafat Yunani. Oleh karena itu, keduanya berusaha keras memformulasikan metodologi
69

Dr Amir al-Najjar, al-Khawarij: Aqidatan wa Fikran wal Falsafatan, 1990, Daar al-Maaarif, Kairo, Mesir. Pandangan lain yang dianut oleh kelompok Mutazilah adalah al-hasan al-qabh al-aqlain (predikat terpuji dan tercelanya perbuatan ditentukan oleh akal). Menurut mereka, akal mampu menetapkan baik dan buruknya suatu perbuatan, dan sanggup pula mengetahui hukum Allah swt yang baik dan yang buruk. Mutazilah membangun pandangan-pandangan keagamaan mereka dari konsepsi makrifat Allah melalui akal, bukan naql. Kelompok ini memahami bahwa iman adalah tashdiq dan amal, dan orang-orang yang melakukan dosa besar dan mati sebelum bertaubat berada di antara dua tempat (manzilah bain al-manzilatain). Mereka juga menyakini bahwa Allah tidak memerintahkan kepada manusia kecuali hal-hal yang disukaiNya, dan tidak melarang kecuali hal-hal yang dibenciNya. Allah menghendaki kebaikan dan tidak menghendaki keburukan. Sifat qidam dan wahdaniyyah hanya khusus milik Allah swt. Oleh karena itu, mereka menolak Sfat-Sfat Maaaniy, sehingga tidak terjadi taaddud al-qudama (berbilangnya yang Qadim, atau terdapat banyak Qadim). Mutazilah juga menyakini; Allah wajib memenuhi Janji dan AncamanNya, mengutus Rasul untuk hambaNya, membantu mereka dengan mukjizat, serta memelihara yang baik dan yang terbaik (al-shalah wa al-ashlah) bagi makhluk-makhlukNya. Mutazilah juga berkeyakinan; Allah tidak bisa dilihat di hari kiamat. Mereka mengingkari syafaat bagi pelaku dosa besar, mewajibkan amar makruf nahi anil mungkar, serta menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Quran maupun sunnah. Abu Hasan al-Khayyath al-Mutaziliy mengatakan, Tidak seorangpun berhak menyandang sebutan seorang Mutaziliy kalau di dalam dirinya belum terhimpun keyakinan yang terdapat dalam al-Ushul alKhamsah. (lima asas), yakni al-tauhid (pengesaan), wa al-wad wa al-waiid (janji dan ancaman), al-manzilah bain al-manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), dan amar makruf. Mereka juga berpendapatr bahwa salah satu dari dua pihak yang terlibat dalam Perang Jamal (perang antara Ummul Mukminin Aisyah ra dengan Ali ra dan pengikut-pengikutnya) dan orang yang terlibat dalam Perang Shiffin, salah satunya masuk ke dalam neraka.

29

berfikir dan prinsip-prinsip aqidah ahlu al-sunnah wa al-jamaaah (jalan yang ditempuh Nabi dan Shahabat), untuk menangkis paham-paham Mutazilah dan Jabariyyah. Dengan demikian, prinsip-prinsip aqidah Imam Asyariy dan Imam Maturidiy sebenarnya juga merupakan prinsip aqidah yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan shahabatnya. Tidaklah heran jika prinsip-prinsip aqidah ahlu al-sunnah wa al-jamaaah sering dinisbahkan kepada keduanya. Bahkan, pengikut ahlu al-sunnah wa al-jamaaah kadang-kadang disebut dengan Asyaariyyun (pengikut pemikiran aqidah Imam Hasan al-Asyariy) dan Maturidiyyun (pengikut pemikiran aqidah Imam Maturudiy). Al-Hafiz Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan,Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jamaah, maka yang dimaksud adalah al-Asyariyyah dan al-Maturidiyyah .70 Namun, di samping pemikiran Imam Asyariy dan Maturidiy, ada pula pemikiran seorang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H 321 H) di Mesir. Hanya saja, pemikiran-pemikiran beliau tidaklah menonjol dibandingkan pemikiran Imam Asyariy dan Maturidiy. Di kemudian hari pemikiran-pemikiran Imam Asyariy dan Maturidiy juga mendapat kritik dari ulama-ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang lain (terutama oleh murid-murid beliau sendiri). Namun, umat Islam sepakat, keduanya merupakan peletak dasar pemikiran-pemikiran ahlu alsunnah wa al-jamaaah, yang mengedepankan nash daripada akal (taqdiim al-nash min al-aql). Perbedaan pendapat diantara mereka tidak menjadikan mereka saling mengkafirkan dan menyesatkan, atau mencap saudaranya telah keluar dari kelompok selamat (firqah al-naajiyah, atau ahlu al-sunnah wa al-jamaaah). Pasalnya, perbedaan pendapat di antara mereka tidak menyentuh pada pokok-pokok ajaran Islam, namun hanya menyentuh cabang-cabang dari masalah agama. Perbedaan diantara mereka tak ubahnya dengan perbedaan yang terjadi di kalangan shahabat ra dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Misalnya, mereka berbeda pendapat mengenai Isra dan Mirajnya Nabi Mohammad saw, apakah dengan jasad dan ruhnya, ataukah dengan ruhnya saja. Menurut Imam Syaukani, sebagian besar ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa Nabi Mohammad saw melakukan isra dengan jasad dan ruh. Sedangkan sekelompok ahli ilmu, seperti Aisyah, Muawiyyah, al-Hasan, dan Ibnu Ishaq berpendapat bahwa beliau melakukan isra dengan ruhnya saja.71 Sejak saat itu yakni, setelah kemunculan Imam Asyariy dan Imam Maturidiy--, para ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah berusaha menjelaskan metodologi berfikir dan prinsip-prinsip aqidah ahlu al-sunnah wa al-jamaaah; walaupun langkah-langkah seperti ini sudah dilakukan oleh para ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah di periode shahabat, tabiin, tabi al-taabiiin72. Mereka pun menulis dan mengarang banyak kitab
70 71 72

Al-Ithaf Syarah li Ihyaa Uluumuddin, juz 2, hal. 6 Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4, hal. 280 Prinsip utama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah. Akal digunakan pada proporsi yang benar dan tepat, namun tidak diabaikan sama sekali. Artinya, akal hanya digunakan untuk memahami nash-nash syariat dan realitas yang hendak dihukumi. Jadi, akal tidak dikebiri perannya. Hanya saja, dalam perkaraperkara yang tidak bisa dijangkau oleh indera secara langsung, tentunya, akal tidak mungkin bisa mencerap dan menjelaskan fakta tersebut dengan

30

seputar aqidah ahlu al-sunnah wa al-jamaaah (aqidah yang diyakini oleh Nabi saw dan para shahabat); semacam Risalah al-Aqidah al-Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Jafar al-Thahawi (W 321 H), al-Aqidah alNasafiyyah karangan al-Imam Umar an-Nasafi (W 537 H), al-Aqidah alMursyidah karangan al-Imam Fakhr al-Din ibn Asakir (W 630 H), al-Aqidah al-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al-Uqul, kemudian menghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin alAyyubi (W 589 H); dan al-Aqiidah al-Ashfaahaniyyah, karya Syaikh Syamsuddin Mohammad bin al-Asfaahaniy. Perkembangan Pemikiran Aqidah Ulama Ahlu al-Sunnah wa alJamaaah Di kalangan para ulama, Imam Asyariy dianggap sebagai peletak dasar metodologi berfikir dan prinsip-prinsip aqidah ahlu al-sunnah wa aljamaaah; disebabkan keberhasilan beliau mematahkan pendirian kelompok Mutazilah dan kemampuan beliau mengetengahkan kembali aqidah yang diyakini Rasulullah saw dan para shahabat. Selanjutnya, metodologi berfikir dan prinsip-prinsip aqidah Imam Asyariy dianggap sebagai metodologi berfikir dan prinsip ahlu al-sunnah wa al-jamaaah itu sendiri; dikarenakan seruan beliau untuk kembali kepada nash-nash al-Quran, Sunnah, dan atsar shahabat. Hanya saja, tidak semua metodologi berfikir dan prinsip aqidah yang beliau ajarkan steril dari kritik dan kesalahan. Murid-murid beliau, seperti Imam Jurjaniy, Abu Ishaq al-Isyfirainiy, Mohammad al-Thabaraniy al-Iraqiy, Abu Bakar Qaffal, dan lain sebagainya, berbeda pendapat dengan beliau dalam beberapa persoalan. Namun, perbedaan pendapat di antara mereka tetaplah tidak mengeluarkan mereka dari bagian ahlu al-sunnah wa al-jamaaah73. Untuk mengetahui ragam pendapat ulama ahlu al-sunnah wa aljamaaah, ada baiknya kita mengetahui garis-garis besar pemikiranpemikiran mereka. Imam Abu Hasan al-Asyariy Naman lengkap beliau adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Musa al-Asyariy. Melihat namanya, maka kita bisa memahami bahwa beliau memiliki hubungan nasab dengan Abu Musa al-Asyariy ra74, seorang shahabat besar yang menjadi wakil dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra pada saat peristiwa tahkim. Beliau lahir pada tahun 260 H (873 M) di kota Bashrah dan wafat pada tahun 324 H (935 M) di kota yang sama. Beliau berguru kepada Abu Ali al-Jubaiy, seorang tokoh Mutazilah, yang mengantarkan beliau menjadi seorang mutaziliy. Namun, setelah berdiskusi panjang dengan al-Jubaiy, beliau keluar dari Mutazilah, mencetuskan paham ahlu al-sunnah wa al-jamaaah, dan menyingkap kekeliruan-kekeliruan pandangan Mutazilah. Pemikiran-pemikiran beliau bisa ditelusur dalam maha karyanya, semacam al-Ibaanah an Ushuul albenar. Dalam perkara-perkara semacam ini, akal membutuhkan nash (maklumat). Lihat Mohammad bin Abd al-Rahman al-Khamiis , Itiqaad Ahl al-Sunnah Syarh Ashhab al- Hadits, juz 1, hal. 2. Imam Haqiy, Tafsir Haqiy, juz 10, hal. 349

73

74

31

Diyaanah, al-Luma, Maqaalaat al-Islaamiyyin wa Ikhtilaaf al-Mutakallimiin, dan sebagainya. Diantara pandangan-pandangan beliau yang menonjol sekaligus membedakan dirinya dengan Mutazilah dan Jabariyyah adalah sebagai berikut; 1. Menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai pijakan dasar, dan menolak penakwilan yang tidak didasarkan pada dalil yang disebutkan di dalam al-Quran dan Sunnah. Sikap seperti ini beliau nyatakan di dalam al-Ibaanah an Ushuul al-Diyaanah, Amma badu. Sesungguhnya, kebanyakan orang yang tersesat dari kebenaran, dari kalangan Mutazilah dan Ahlu Qadar, hawa nafsu mereka telah mendorong mereka untuk bertaqlid kepada pemimpinpemimpin mereka dan generasi terdahulu mereka. Mereka menakwilkan al-Quran berdasarkan pendapat mereka, dengan penakwilan yang tidak didasarkan pada bukti yang diturunkan oleh Allah; dan tidak disandarkan kepada argumentasi yang paling jelas; dan tidak bersandarkan riwayat-riwayat yang dinukil dari Rasulullah saw maupun ulama salaf terdahulu (para shahabat). Mereka menyelisihi riwayat-riwayat shahabat ra yang bersumber dari Nabi saw dalam masalah ruyat al-Allah (melihat Allah) dengan mata; padahal, perkara ini telah dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang dituturkan dari berbagai arah, atsar-atsar yang mutawatir, dan khabar yang bersambungan. Mereka juga menolak syafaat Rasulullah saw yang diberikan kepada para pendosa, dan menolak riwayat-riwayat dari salaf al-mutaqaddimiin tentang masalah ini (syafaaat).... Pendapat kami secara umum adalah, kami menyakini Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, dan semua keterangan yang datang dari sisi Allah swt, dan riwayatriwayat tsiqat yang bersumber dari Rasulullah saw. Kami tidak menolak hal ini sedikitpun. Dan sesungguhnya Allah swt adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, Satu-satunya Tempat Bergantung, dan Dia tidak membutuhkan teman, maupun anak, dan Mohammad saw adalah hamba dan RasulNya yang diutus untuk menyampaikan petunjuk dan agama yang benar...75 2. Sifat-sifat Allah yang termaktub di Al-Quran harus dipahami sesuai makna dzahirnya; tidak boleh ditakwilkan dan ditanyakan bagaimana tata caranya (kaifiyyah). Di dalam al-Ibaanah beliau menyatakan, Allah swt memiliki Wajah, tapi jangan ditanya kaifiyyahnya . Allah swt memiliki dua tangan, dan jangan ditanyakan kaifiyyahnya. Allah memiliki dua mata, dan jangan ditanya tentang kaifiyyahnya. Dan siapa saja yang menyakini bahwa Nama Allah berbeda dengan Allah, maka ia telah sesat..76 3. Dalam hal perbuatan manusia, beliau mengenalkan apa yang disebut dengan kasb al-ikhtiyaariy. Menurut beliau, manusia tidak memiliki daya untuk menciptakan perbuatan, kecuali sekedar kasb alikhtiyaariy. Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt. Prinsip
75

76

Imam Abu al-Hasan al-Asyariy, al-Ibaanah an Ushuul al-Diyaanah, juz 1, hal. 15 - 21 Ibid, juz 1, hal. 22

32

semacam ini beliau nyatakan di dalam kitab al-Ibanah, Kami menetapkan bahwa seluruh kekuatan hanyalah milik Allah swt..Dan kami menyatakan bahwa Kalamullah bukanlah makhluk, dan Allah swt tidak menciptakan apapun kecuali Ia mengucapkan, Jadilah (Kun)...Tidak ada satu pun kebaikan dan keburukan di muka bumi ini kecuali atas Kehendak Allah swt. Sesuatu tercipta dengan Kehendak Allah. Sesungguhnya, tak seorangpun mampu melakukan sesuatu, sebelum Allah menggerakkannya, dan tak seorangpun bisa bebas (independent) dari Allah swt, dan tak seorang pun mampu keluar dari Ilmu Allah swt. Sesungguhnya, tidak ada Pencipta selain Allah, dan perbuatan manusia diciptakan oleh Allah..Dan sesunggguhnya, manusia tidak mampu menciptakan sesuatu, tetapi mereka diciptakan...77 4. Allah swt bisa dilihat kelak di hari akhir. Beliau menyatakan, Kami menyakini bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir dengan penglihatan seperti halnya manusia melihat rembulan di malam purnama. Kaum Mukmin bisa melihat Allah sebagaimana disebutkan dalam riwayatriwayat dari Rasulullah saw..78 Inilah beberapa pandangan Imam al-Jaliil Abu Hasan al-Asyariy yang membedakan dirinya dengan kelompok Mutazilah dan Jabariyyah, sekaligus menetapkan beliau sebagai bagian dari ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang selalu bersandar dan mengedepankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja, pandangan beliau mengenai perbuatan manusia sangat dekat dengan kelompok Jabariyyah. Ulama-ulama besar yang mendukung pendapat-pendapat beliau adalah Allamah Abu al-Ishaq al-Isyfirainiy, Abu Bakar al-Qaffal, al-Jurjaniy, Mohammad Thabaraniy al-Iraqiy, dan lain sebagainya. Imam Abu Manshur al-Maturidiy Nama lengkap beliau adalah Abu Manshur Mohammad bin Mohammad bin Mahmud al-Maturidiy al-Samarqandiy. Para ahli sejarah sepakat, bahwa nasab beliau terhubung kepada Abu Ayyub Khalid bin Zaid bin Kulaib al-Anshoriy. Beliau adalah orang pertama yang disinggahi Nabi Mohammad saw tatkala pertama kali hijrah ke Madinah. Oleh karena itu, Imam al-Bayadliy menambahkan al-Anshoriy di belakang nama beliau ra; sehingga lengkapnya adalah Abu Manshur Mohammad bin Mohammad bin Mahmud al-Maturidiy al-Anshoriy. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran beliau, namun mereka bersepakat bahwa Imam Agung ini wafat pada tahun 333 Hijrah. Beliau lahir di Maturid, daerah Samarkand. Beliau banyak berguru kepada ulama-ulama Hanafiyyah, sehingga, dalam persoalan-persoalan fikiyyah beliau banyak merujuk kepada madzhab Hanafiyyah. Beliau mendapatkan gelar-gelar istimewa; diantaranya Alam alHuda79 (ulama penunjuk kebenaran); Imam al-Huda (imam penunjuk

77 78 79

Ibid, juz 1, hal. 25 Ibid, juz. 1, hal. 25 Lihat Imam al-Alusiy, Tafsiir al-Alusiy, juz 22, hal. 69

33

kebenaran)80; Imam Ahlu al-Sunnah81, Imam al-Mutakallimin (imam para ulama kalam). Imam al-Kafrawiy menambahkan gelar kepada beliau; Qudwah Ahl al-Sunnah wa al-Ihtidaa (panutan ahlu sunnah dan ahlu tauhid); Raafi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaaah (peninggi ahlu al-sunnah wa al-jamaaah); Qaali Adlal al-Fitnah wa al-Bidah (pemberantas aliran sesat dan bidah); Mushahhih Aqaaid al-Muslimiin (penyelamat kebenaran aqidah kaum Muslim)82. Imam Maturidiy memiliki banyak karya yang mencakup bidang fikih, ushul fikih, tafsir, dan ushul al-diin. Diantara karya-karya beliau yang masyhur adalah al-Tauhid, al-Maqaalat fi al-Kalaam (Statement-statemen di dalam ilmu kalam), Radd Awaa`il al-Adillah li al-Kabiy (Bantahan terhadap Kitab Awaa`il al-Adillah karya al-Kabiy), Radd Waiid al-Fusaaq li al-Kabiy (Bantahan terhadap Ancaman Bagi Orang-orang Fasiq karya alKabiy), Radd al-Ushuul al-Khamsah li Abi Mohammad al-Baahiliy (Bantahan Lima Prinsip Dasar Karya Abi Mohammad al-Bahiliy), Radd Kitaab alImaamah li Badl al-Rawaafidl (Bantahan Terhadap Kitab al-Imamah Karya Sebagian Kelompok Rafidlah), Al-Radd Ala al-Qaraamithah (Bantahan Atas Qaraamithah), Ma`aakhidz al-Syaraa`i ( Rujukan Syariat), al-Jadal (Diskusi)83. Gagasan-gagasan beliau yang menonjol yang membedakan dirinya dengan Imam al-Asyariy adalah sebagai berikut;

1. 2.

Beliau menolak dan menentang pendapat dan sikap Mutazilah; terutama penggunaan akal yang berlebihan dan condong mengabaikan nash-nash syariat84. Berkenaan dengan ayat-ayat mutasyabihat (--yang berkenaan dengan Allah swt), wajib ditakwilkan, dan tidak boleh dipahami sesuai konteks dzahirnya85 untuk menghindari penyerupaan atau penjisiman terhadap sifat immaterial Allah swt. Oleh karena itu, kata (yad al-Allah : Tangan Allah) maknanya adalah Kekuasaan Allah, bukan Tangan Allah secara hakiki. (Wajh al-Allah: Wajah Allah) maknanya adalah Rahmat Allah, bukan Wajah secara hakiki. (Ayuninaa) bermakna Petunjuk Kami; dan lain sebagainya Pandangan semacam ini juga diikuti oleh sebagian ulama

80

81 82

83

84

85

Ilaa al-Diin al-Kasaaniy al-Hanafiy, Badaa`i al-Shanaa`i fi Tartiib alSyaraa`i, juz 1, hal. 172 Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtaar, juz 3, hal. 401 Dr. Noer Iskandar al-Barsaniy, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah wal Jamaah, PT. Rajagrafindo Persada, Ed..1, 2001, Jakart; hal. 63. Taaj al-Taraajim fi Thabaqaat al-Hanafiyah, juz 1, hal. 20; lihat juga AlZarkaliy, al-Ilaam, juz 7, hal. 19 Lihat pandangan Imam al-Maturidiy di dalam kitab al-Tauhiid, juz 1, hal. 4. Lihat juga op.cit, hal. 73 Allamah Abu Manshur al-Maturidiy, al-Tauhiid, juz 1, hal. 38. Di dalam Kitab Syarh al-Talwiih Ala al-Taudliih, juz 2, hal. 86, dituturkan bahwa Imam Maturudiy berpendapat; firman Allah kun fayakuun, adalah majaziy, bukan hakikiy. Maksud ayat ini adalah untuk menggambarkan betapa cepatnya proses penciptaan; dan yang dimaksud adalah al-tamtsiil (penyerupaan) bukan hakiki.

34

Asyaairah, yakni Imam Juwainiy. Nash-nash syariat dan akal adalah pokok untuk memahami ajaran Islam86. 4. Gagasan Imam Maturudiy tentang perbuatan manusia, berbeda dengan pandangan Imam al-Asyariy. Imam Maturudiy berpendapat; manusia memiliki kehendak (free will) untuk menciptakan perbuatannya. Manusia memiliki kehendak untuk memilih suatu perbuatan, apakah ditinggalkan atau dikerjakan. Ia berbuat berdasarkan pilihannya, bukan karena Kehendak Allah. Manusia akan dihisab berdasarkan pilihannya sendiri. Jika ia berbuat sesuai syariat maka ia akan mendapatkan pahala; dan sebaliknya, jika ia berbuat melanggar syariat, ia akan dikenai siksa. Menurut beliau, inilah letak Keadilan Allah swt87. Inilah beberapa pandangan penting yang diketengahkan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidiy. Pandangan beliau semacam ini jelas-jelas menunjukkan bahwa beliau termasuk pendiri pokok-pokok ajaran ahlu alsunnah wa al-jamaaah, yang di kemudian hari memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pemikiran aqidah ahlu al-sunnah wa aljamaaah.. Pandangan-pandangan ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang lain tidak akan dibahas seluruhnya dalam tulisan kali ini. Padahal, masih banyak ragam pendapat mengenai Shifat Allah, Kalam Allah, dan perbuatan manusia yang dilontarkan oleh ulama-ulama ahlu al-sunnah lain; semacam Imam Ghazaliy, Imam Thahawiy, Imam al-Juwainiy, Imam Baqillaniy, Imam al-Bazdawiy, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya perbedaan pendapat di antara mereka tidak menyentuh persoalan prinsip yang mengeluarkan mereka dari gugusan ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah. Perbedaan pendapat yang terjadi di tengah-tengah mereka hanya terjadi dan menyentuh datarandataran furu (cabang), yang masih bisa ditolerir oleh aqidah dan syariat Islam. Sedangkan dalam persoalan-persoalan prinsip, yakni keimanan terhadap Wujud Allah, Shifat, Nama Allah, Malaikat-malaikatNya, RasulrasulNya, Kitab-kitabNya serta hal-hal yang berkaitan kewajiban untuk terikat dengan aturanNya dalam persoalan ibadah, mereka tidak pernah berbeda pendapat.

3.

Sikap Menghadapi Perbedaan Untuk menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah ini, ada baiknya kita simak nasehat dari Prof Mahmud Syaltut di dalam Kitab AlIslam; Aqiidah wa Syariiah, pada bab al-ikhtilaaf fiimaa laa qaatha fiihi yamnau al-ta`tsiim (perbedaan dalam hal-hal tidak qathiy (pasti) yang melarang adanya al-ta`tsiim (penyematan dosa bagi yang berbeda pendapat). Beliau menyatakan, Berdasarkan hal ini, maka terjadilah perbedaan pendapat (ikhtilaaf) diantara kelompok-kelompok Islam dalam persoalan-persoalan yang masih dijadikan bahan diskusi di dalam masalah aqidah. Sesungguhnya, perbedaan pendapat semacam ini tak ubahnya
86 87

Imam Abu Manshur al-Maturidiy, al-Tauhiid, juz 1, hal. 4 Lihat pembahasan seperti ini di dalam Kitab al-Tauhiid, karya Imam Abu Manshur al-Maturidiy

35

dengan perbedaan pendapat para fukaha dalam persoalan-persoalan hukum cabang yang tidak ada dalil qathiy dan muhkam yang menjelaskannya. Sebuah perbedaan yang melarang seseorang untuk mencap seseorang, bahwa ia telah menyimpang dari jalan lurus, sesat, fasiq, atau telah mengingkari salah satu perkara agama..88 Akan tetapi, masa kefanatikan Madzhab yang sangat berlebihan telah membawa kaum Muslim kepada permusuhan dan pertikaian yang sengit, serta saling melempar kefasikan dan kesesatan. Para ahli fikih pun saling bermusuhan dengan sengit, demikian pula mutakallimiin ulama aqidah. Akhirnya, orang-orang yang terpedaya dengan perselisihan ini terimbas oleh permusuhan tersebut, dan mereka mengisi kitab-kitab mereka dengan permusuhan; dan mereka terlalu berlebih-lebihan dalam menyanjung bukubuku tersebut, hingga mereka menjadikannya sebagai standarisasi untuk menerima atau menolak suatu pemikiran..89 Selanjutnya, beliau berkata, Dari seluruh penjelasan ini jelaslah, (1) Dalam persoalan aqidah, dalil yang menyangganya haruslah dalil yang bersifat qathiy, baik dari sisi sumber (tsubut) maupun dilalahnya (penunjukkan atau maknanya); (2) Jika tidak ada dalil qathiy, lalu para ulama berbeda pendapat dalam persoalan tersebut, maka, persoalan tersebut tidak boleh dihitung sebagai bagian dari persoalan-persoalan aqidah. Pendapat salah satu kelompok dalam masalah itu tidak boleh dianggap yang benar, sedangkan yang lain tidak benar (bukan pendapat Islamiy); (3) Sesungguhnya, kitab-kitab tauhid, tidak hanya mengulas persoalan-persoalan aqidah yang telah dibebankan oleh Allah kepada kita; tetapi, di samping itu, buku-buku tersebut juga mengulas pandanganpandangan ilmiah yang keluar dari konteks dzahir dari nash-nash tersebut. Akhirnya, persoalan semacam ini menjadi lahan ijtihad di kalangan para ulama.90 Dari penjelasan ini dapatlah disimpulkan; aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qathiy, baik tsubut maupun dilalahnya. Aqidah tidak boleh ditetapkan berdasarkan dalil-dalil dzanniy. Pasalnya, dalil dzanniy masih membuka ruang adanya multi interpretasi dan perbedaan. Padahal, tidak boleh ada perselisihan dalam persoalan aqidah. Selain itu, jika persoalan aqidah dijadikan lahan ijtihad, tentunya hal ini akan melahirkan perbedaan pendapat yang berpotensi menyulut tindakan saling mengkafirkan dan menyesatkan. Padahal, seorang Muslim dilarang menyematkan gelar kefasikan dan kekafiran kepada saudara Muslimnya. Sebab, penyematan gelar fasik dan kafir kepada seseorang yang belum jelas benar kefasikan dan kekafirannya, justru akan berbalik kepada dirinya sendiri. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Dzarr ra, bahwasanya Nabi saw bersabda;


88

89 90

Prof Mahmud Syaltut, Al-Islaam; Aqiidah wa Syariiah, hal. 59. Pada catatan kakinya, beliau menyarankan pembaca agar melihat Kitab al-Milal wa al-Nihaal, karya Imam Ibnu Hazm; dan al-Qawaaid al-Kubra, karya Izz Ibn Abd al-Salaam, dan kitab-kitab Ushul dan Kalam lainnya. Prof. Mahmud Syaltut, al-Islaam, Aqiidah wa Syariiah, hal. 59-60 Ibid, hal. 60

36


Tidaklah seorang Muslim menuduh Muslim lainnya dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, jika saudaranya tersebut benar-benar tidak seperti apa yang dituduhkan itu. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]


Barangsiapa memanggil saudaranya, kafir, atau berkata ,musuh Allah, padahal orang tersebut tidak seperti itu, niscaya hal itu akan kembali kepadanya.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] Kelompok yang Selamat (Firqah Najiyah) dan Kelompok yang Binasa (Firqah Halikah) Pada dasarnya, firqah najiyah kelompok selamat yang akan selalu mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah swt di kehidupan dunia dan akherat adalah orang-orang yang senantiasa berjalan di atas kebenaran, alias ahlu al-sunnah wa al-jamaaah. Dengan kata lain, siapa saja yang berjalan di atas thariiqah Nabi saw dan shahabat, ia akan memperoleh petunjuk dan selamat; sedangkan siapa saja yang menyelisihi thariiqah Nabi dan shahabat, ia telah tersesat dan tidak akan selamat. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi saw , bahwasanya beliau bersabda;


Seluruh umatku akan masuk ke dalam surga, kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, Ya Rasulullah, siapa orang yang enggan itu? Nabi saw menjawab, Siapa saja yang mentaatiku akan masuk ke dalam surga, sedangkan barangsiapa bermaksiyat kepadaku, sesungguhnya ia telah enggan.[HR. Imam Bukhari] Imam Malik di dalam Kitab al-Muwatha menuturkan sebuah hadits dari Nabi saw, bahwasanya beliau saw bersabda;


Telah aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat, Kitabullah dan Sunnah NabiNya.[HR. Imam Malik dalam al-Muwatha] Imam Abu Dawud juga menuturkan sebuah hadits dari al-Irbadl bin Saariyah, bahwasanya ia berkata

37


Pada suatu hari, kami sholat bersama Rasulullah saw. Lalu, beliau saw menghadapi ke arah kami, dan menasehatinya kami dengan nasehat yang membuat mata mengucurkan air mata, dan menyentuh relung hati. Lalu ada seseorang bertanya, Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat terakhir. Lalu, apa yang engkau pesankan kepada kami. Nabi saw menjawab, Aku berwasiat kepada kalian untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah, selalu mendengar dan mentaati pemimpin, walaupun pemimpin itu adalah seorang budak Habasyah. Sesungguhnya, diantara kalian yang masih hidup sesudahku akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak. Wajib bagi kalian selalu berjalan di atas sunnahku dan sunnah khulafau al-mahdiyyiin al-raasyidiin. Pegang teguhlah ia, dan gigitlah dengan gigi gerahammu, Hati-hatilah kalian dengan perkaraperkara yang diada-adakan. Sesungguhnya, setiap perkara yang diadaadakan adalah bidah, dan setiap bidah adalah kesesatan.[HR. Imam Abu Dawud] Di dalam hadits-hadits lain, Nabi saw menyebut adanya kelompok yang selalu dimenangkan oleh Allah swt (al-thaifah al-dzaahirah). Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Tsauban ra, bahwasanya Nabi Mohammad saw bersabda;


Akan ada kelompok dari umatku yang selalu menang di atas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka, hingga Allah mendatangkan perintahnya, dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu.[HR. Imam Muslim] Imam Nawawiy menjelaskan hadits ini sebagai berikut;

: ) ( , , : ) ( . ) ( : , . : , : : , , : , , , , , .

38

Adapun sabda Nabi saw : (laa yazaalu thaaifah min ummatiy dzaahiriin ala al-haq laa yadlurruhum man khadzalahum hattay yatiya amru al-Allah, wa hum kadzalik); hadits ini, syarahnya telah dijelaskan sebelumnya dengan hadits-hadits lain yang senada maknanya di akhir Kitab al-Iman (bab al-Iman). Di sini kami akan menjelaskan kompromi antara haditshadits yang memiliki makna senada itu. Maksud sabda beliau saw : (hattay ya`tiya amru al-Allah), adalah hingga datangnya angin yang akan mengambil ruh setiap orang Mukmin dan Mukminat. Adapun yang maksud riwayat yang dituturkan sebagian orang dengan redaksi (hattay taquum alsaaah) adalah waktu yang dekat dengan hari kiamat, yakni ketika keluarnya angin. Adapun kelompok (thaaifah) di dalam hadits ini; Imam Bukhari menyatakan, Mereka adalah ahlu al-ilmu (hli ilmu). Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, Jika mereka bukan ahli hadits, saya tidak tahu siapa mereka itu? Qadliy Iyadl berkata, Sesungguhnya yang dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hanbal adalah ahlu al-sunnah wa al-jamaaah dan orang yang menganut madzhab ahli hadits. Saya (Imam Nawawiy) berpendapat, thaaifah (kelompok) yang disebut dalam hadits ini adalah kelompok yang tersebar pada berbagai macam elemen dari kaum Mukmin baik dari kalangan para mujahid yang pemberani, fukaha, ahli hadits, kaum zuhud, kaum yang melakukan amar makruf nahi anil mungkar, dan elemen-elemen kebaikan lain dari umat ini. Mereka tidak selalu terkumpul, akan tetapi berserakan di muka bumi ini..91 Penjelasan Imam Nawawiy di atas merupakan penjelasan yang paling mencakup semua hadits-hadits yang berbicara tentang thaaifah aldzaahirah (kelompok yang selalu dimenangkan). Sebab, hadits-hadits yang berbicara tentang thaaifah dzaahirah maknanya tidak hanya ditujukan kepada ahli hadits atau ahli ilmu saja, akan tetapi datang dalam bentuk umum, mencakup berbagai macam kelompok yang tetap berada dalam kebenaran. Perhatikan riwayat-riwayat berikut ini; Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dari Muawiyyah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;


Akan selalu ada dari umatku, kelompok yang senantiasa menegakkan urusan agama Allah, yang mana, tidak akan membahayakan mereka, orang-orang yang menelantarkan mereka maupun orang yang menyelisihi mereka, hingga tiba keputusan Allah kepada mereka, dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu. Umair berkata, Malik ibn Yukhamir pernah mengatakan bahwa Muadz berkata, Kelompok itu berada di Syam. Muawiyyah berkata, Malik mengaku bahwa ia mendengar Muadz berkata, Kelompok itu berada di Syam. [HR. Imam Bukhari dan Musli, dan Imam Ahmad] Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Umamah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim,

91

39


Akan selalu ada kelompok (thaaifah) dari umatku yang senantiasa berada di atas kebenaran, dan mampu mengalahkan musuh-musuh mereka. Tidak akan membahayakan mereka, orang-orang yang menyelisihi mereka kecuali hanya sekedar kesulitan hidup yang menimpa mereka, hingga tiba urusan Allah swt, dan mereka tetap berada dalam keadaan itu. Para shahabat bertanya, Ya Rasulullah, di manakah kelompok itu? Rasulullah saw bersabda, Di Baitul Maqdis dan sekitar Baitul Maqdis.[HR. Imam Ahmad] Seandainya yang dimaksud dengan thaifah dzaahirah hanyalah ahlu al-hadits saja, bukankah ulama ahli hadits tidak hanya berada di daerah Syam saja? Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa thaifah dzaahirah adalah ahli hadits saja, jelas-jelas tidak sejalan dengan kandungan hadits-hadits ini. Imam Turmudziy menuturkan sebuah hadits dari Furrah dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, Rasulullah saw bersabda


Jika penduduk Syams mengalami kerusakan, hingga tidak ada kebaikan di tengah-tengah kalian; maka akan senantiasa ada kelompok dari umatku yang selalu dimenangkan, yang mana, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka hingga datangnya hari kiamat. [HR. Imam Turmudziy, menurut beliau hadits ini hasan shahih] Imam Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Muawiyyah bin Furrah dari bapaknya, bahwasanya ia berkata, Rasululllah saw bersabda;


Akan ada kelompok dari umatku yang senantiasa dimenangkan (ditolong), yang mana tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka hingga datangnya hari kiamat. [HR. Imam Ibnu Majah] Imam Muslim mengetengahkan sebuah hadits dari Abdullah bin Amru bin al-Ash ra, bahwasanya ia berkata,


Akan selalu ada kelompok dari umatku yang senantiasa berperang di atas urusan agama Allah, dan selalu dimenangkan atas musuh-musuh mereka. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka hingga datang kepada mereka hari kiamat, dan mereka tetap dalam

40

keadaan seperti itu.[HR. Imam Muslim] Hadits-hadits di atas dan masih banyak hadits lain yang memiliki pengertian senada menunjukkan, bahwa di tengah-tengah kaum Muslim akan selalu ada kelompok yang selalu berada di atas agama Allah, menjaga dan selalu berjuang membela agama Islam; dan mereka selalu dimenangkan atas musuh-musuh mereka; tidak akan membahayakan kepada mereka orang-orang yang menyelisihi mereka hingga datang hari kiamat. Adapun kelompok yang memperjuangkan kebenaran di sini bukan hanya ahli hadits atau ulama saja, akan tetapi juga fukaha, mujahid, serta kelompok-kelompok Islam yang selalu berjuang demi tegaknya agama Islam. Atas dasar itu, thaaifah dzaahirah atau firqah naajiyah tidak hanya menjadi hak sekelompok tertentu dari umat Islam, akan tetapi ia adalah hak seluruh elemen kaum Muslim yang selalu berjalan di atas kebenaran dan selalu memperjuangkan agama Allah swt hingga hari kiamat.

41

BAB III POSISI HIZB ISLAM DALAM DALAM KONTEKS HADITS HUDZAIFAH RA

Apakah Kelompok, Partai, atau Harakah Islam Yang Ada di Negerinegeri Islam Sekarang Termasuk Firqah yang Harus Dijauhi? Ada sebagian kaum Muslim memahami bahwa keberadaan partai, jamaah, kelompok, atau organisasi-organisasi Islam yang berdiri di tengah-tengah kaum Muslim termasuk firqah yang harus dijauhi oleh seluruh kaum Muslim. Mereka beralasan; (1) ada perintah dari Nabi Mohammad saw kepada kaum Muslim untuk mengikatkan diri dengan jamaah al-Muslimin dan meninggalkan firqah-firqah; (2) kelompokkelompok ini telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah dalam partai-partai dan kelompok-kelompok; (3) masing-masing kelompok fanatik dengan kelompoknya sendiri. Berdasarkan alasan-alasan ini, lalu mereka mengharamkan semua hizb (kelompok), walaupun kelompok (hizb) itu memperjuangkan Islam. Untuk alasan pertama, mereka mengetengahkan sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah al-Yamaniy ra, bahwasanya beliau ra berkata;


Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan. Sedangkan aku bertanya kepada beliau saw mengenai keburukan, karena khawatir keburukan itu akan menimpaku. Aku bertanya, Ya Rasulullah, sesungguhnya, kami dahulu berada di masa jahiliyyah dan keburukan. Lalu, Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Lantas, apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan? Nabi saw menjawab, Ya. Saya bertanya lagi,Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan? Nabi saw menjawab, Ya, dan di dalamnya terdapat dakhan (kotoran). Aku bertanya, Apa kotorannya? Beliau menjawab, Kaum yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku; yang mana kamu mengenal mereka, dan kamu akan mengingkari. Aku bertanya lagi, Apakah setelah

42

kebaikan itu akan datang keburukan lagi? Nabi saw menjawab, Ya, orangorang yang mengajak ke pintu-pintu neraka. Siapa saja yang menerima ajakan mereka menuju pintu-pintu neraka, mereka akan melemparkannya ke dalam neraka. Aku bertanya lagi, Ya Rasulullah, beritahukanlah sifatsifat mereka kepada kami. Nabi saw menjawab, Mereka memiliki kulit yang sama dengan kita, dan berbicara dengan bahasa-bahasa kita. Aku bertanya lagi, Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika hal itu menimpaku? Nabi saw menjawab, Tetapilah jamaat al-Muslimiin dan imam mereka. Aku bertanya, Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam. Nabi saw bersabda, Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] Menurut mereka, hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslim wajib menjauhi firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada, di saat kaum Muslim tidak memiliki jamaah dan imam. Masih menurut mereka, pengertian semacam ini terlihat jelas dalam redaksi hadits;


Hudzaifah ra bertanya, Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam. Nabi saw bersabda, Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] Berdasarkan hadits ini mereka berpendapat bahwa, keberadaan firqah (kelompok, partai, hizb, dan jamaah) di dunia Islam saat ini merupakan sesuatu yang terlarang dan harus dijauhi oleh seluruh kaum Muslim sebagai bentuk pengamalan hadits riwayat Hudzaidah al-Yamaniy di atas. Oleh karena itu, masih menurut mereka, kaum Muslim dilarang mendirikan, berkecimpung, atau melibatkan diri dalam kelompok, partai, atau hizb, apapun alasannya. Istinbath semacam ini jelas-jelas lemah dan prematur. Sebab, kesimpulan seperti itu belum melibatkan dan mencakup keseluruhan nash yang berbicara mengenai jamaah (kelompok, hizb, jamaaah, firqah, dan thaaifah). Pasalnya, di samping ada kewajiban menjauhi firqah, seperti yang tercantum di dalam hadits Hudzaifah al-Yamaniy di atas, ada pula perintah sebaliknya, yakni perintah mendirikan kelompok, firqah, atau thaaifah. Perintah untuk mendirikan jamaaah, firqah, atau thaaifah, disebutkan secara tegas di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imron (3):104] Imam Ibnu Katsir menyatakan;

43

: : " ". ": "


Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, Rasulullah saw bersabda,

" ". : " . "

Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya. Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya. Di dalam riwayat lain dituturkan, Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asyariy]92 Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, Abu Jafar menyatakan, ..yakni adanya jamaaah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar maruf nahi anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Mohammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Mohammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah....93 Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran.94 Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan jamaah, thaifah, hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi anil mungkar. Frase minkum pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim. Semua ini menunjukkan bahwa jamaah tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, bukan orang92

93 94

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron (3):104; lihat juga Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, surat Ali Imron (3):104; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab tafsir lainnya. Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, surat Ali Imron (3):104 Imam Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 221

44

orang kafir. Lalu, bagaimana mengkompromikan hadits Hudzaifah al-Yamaniy yang memerintahkan kaum Muslim menjauhi firqah, dengan al-Quran yang justru memerintahkan kaum Muslim mendirikan firqah (kelompok)? Kompromi kedua dalil ini adalah sebagai berikut. Pada dasarnya, maksud sabda Nabi saw agar kaum Muslim menjauhi firqah-firqah yang yang tercantum di dalam hadits Hudzaifah ra tidak bersifat mutlak untuk semua firqah (kelompok), akan tetapi sebatas pada firqah-firqah (kelompok) yang menyimpang dari al-Quran dan Sunnah. Artinya, jika kelompok, partai, atau jamaaah tersebut telah menyimpang dari jalan lurus yang digariskan Allah swt dan RasulNya, maka firqah tersebut harus dijauhi, dan seorang Muslim tidak boleh berkecimpung di dalamnya. Sedangkan firqah, thaaifah, jamaaah, maupun hizb yang didirikan untuk mengamalkan perintah Allah swt surat Ali Imron ayat 104; dan selama firqah, thaaifah, jamaaah, maupun hizb tersebut tetap berdiri di atas al-Quran dan Sunnah serta menyeru kepada kebaikan; maka kelompok-kelompok seperti ini bukan termasuk firqah yang harus dijauhi. Bahkan, kelompok semacam ini wajib ada di tengah-tengah kaum Muslim untuk melakukan amar makruf nahi anil mungkar. Makna semacam ini tampak jelas dalam sabda Rasulullah saw;


Hudzaifah ra bertanya, Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam. Nabi saw bersabda, Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]. Maksud hadits ini adalah, jika sudah tidak ada lagi kelompok yang berdiri di atas sunnah Rasul dan menegakkan amar makruf nahi anil mungkar; maka kelompok-kelompok itu harus ditinggalkan seluruhnya; dan kita wajib memisahkan diri dari mereka, seraya tetap berpegang teguh kepada sunnah Rasul saw walaupun seorang diri. Adapun jika di tengah-tengah masyarakat masih ada firqah atau kelompok yang tetap berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan senantiasa menegakkan amar makruf nahi anil mungkar, maka seorang Muslim tidak boleh memisahkan diri dari kelompok tersebut. Pasalnya, keberadaan kelompok tersebut sejalan dengan perintah Allah swt dalam surat Ali Imron ayat 104 dan sama sekali tidak bertentangan dengan hadits Hudzaifah alYamaniy di atas. Bahkan, seorang Muslim wajib mendukung dan melibatkan diri dalam kelompok yang bertujuan untuk melenyapkan kekufuran dan kemungkaran yang telah tersebar luas di tengah-tengah masyarakat akibat diterapkannya aqidah dan sistem kufur. Bukankah seorang Muslim dilarang berdiam diri terhadap kekufuran dan kemungkaran yang ada di depan matanya? Alasan lain yang mengharuskan seorang Muslim melibatkan diri dalam kelompok, jamaaah, atau partai yang berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan yang bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah secara kaaffah adalah; kenyataan bahwa, perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah

45

swt secara menyeluruh tidak mungkin dilakukan seorang diri, atau melalui amal fardiy (kerja individual). Tujuan semacam ini hanya bisa diwujudkan melalui perjuangan yang bersifat kolektif (amal jamaaiy). Selain itu, perjuangan menegakkan kembali hukum-hukum Allah swt secara kaaffah merupakan perjuangan yang sangat berat dan membutuhkan andil banyak orang; dan tidak mungkin dipikul oleh seorang individu saja. Adapun untuk alasan kedua yang menyatakan bahwa, keberadaan kelompok-kelompok tersebut telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, sehingga kelompok itu harus dijauhi; sesungguhnya alasan semacam ini tidaklah benar. Sebab, partai-partai Islam yang tetap berada di atas sunnah Nabi tersebut-- didirikan untuk melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan Allah swt kepada kaum Muslim, yakni dakwah menuju Islam, serta amar makruf nahi anil mungkar, bukan untuk memecah belah kaum Muslim. Pada dasarnya, salah satu faktor yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah, adanya fanatisme kelompok dan madzhab yang berlebih-lebihan. Sikap inilah, sesungguhnya yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, bukan banyaknya kelompok, partai, maupun madzhab. Di dalam lintasan sejarahnya, kaum Muslim telah terbiasa dengan banyak madzhab dan kelompok, akan tetapi mereka tetap bisa bersatu dan tidak terpecah belah. Faktor lain yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah ketiadaan seorang Imam (Khalifah). Adapun alasan ketiga untuk menolak keberadaan kelompok, partai, dan jamaah Islam adalah, masing-masing kelompok tersebut fanatik dengan kelompoknya sendiri dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka. Mereka mengetengahkan firman Allah swt;


yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.[TQS al-Ruum (30): 32], dan masih banyak ayat-ayat yang memiliki pengertian senada, misalnya Al-Maidah (5):53; al-Mu`minuun (23):54], dan sebagainya. Berdasarkan ayat ini, mereka menyatakan bahwa kelompok, partai, atau jamaaah yang ada sekarang ini telah menyebabkan munculnya sikap fanatisme kelompok dan berbangga-bangga dengan kelompoknya sendiri, sehingga mereka harus dijauhi. Oleh karena itu, semua hizb (kelompok) adalah haram. Lantas, benarkah pendapat semacam ini? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita simak penjelasan para ulama tafsir tentang ayat ini. Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;

{ : } : : . : " " : : }
46

{ ]: 951[ . ": " ][

Adapun firman Allah swt: (min al-ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syiyaan kullu hizb bimaa ladaihim farihuun), maksudnya adalah, janganlah kalian menjadi bagian orang-orang musyrik yang telah memecahbelah agama mereka; yakni mengganti dan mengubah agamanya, iman terhadap sebagian dan kafir (ingkar) terhadap sebagian yang lain. Sebagian ulama membaca dengan : (faaraquu diinahum), yang maknanya adalah taarakuuhu wara`a dzahrihi (meninggalkan agamanya di belakang punggung mereka). Mereka itu seperti orang-orang Yahudi, Nashraniy, Majusiy, penyembah berhala, dan semua pemilik agama bathil; selain penganut agama Islam; sebagaimana firman Allah swt, artinya Sesungguhnya, orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya, urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.[TQS Al Anaam (6):159] Penganut agama sebelum kita telah berselisih di antara mereka mengenai pemikiran-pemikiran dan syariat-syariat agama yang bathil. Setiap kelompok mengaku berada di atas kebenaran. Umat ini (umat Islam) juga akan berselisih dalam urusan agama, dan seluruhnya, kecuali satu kelompok, yakni ahlu al-sunnah wa al-jamaaah yang senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah NabiNya, dan apa yang telah ditempuh oleh generasi awal Islam dari kalangan shahabat ra dan tabiuun dan para ulama kaum Muslim baik salaf maupun khalaf; sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang firqah al-naajiyah (kelompok yang selamat) dari kalangan mereka. Nabi saw menjawab, Kelompok yang berada di atas jalan yang aku tempuh saat ini dan juga para shahabat.95 Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa kelompok (firqah) yang dicela dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka, adalah kelompok yang berbangga-bangga dengan keyakinan dan pendirian mereka yang sesat dan kufur. Kelompok ini telah mengganti dan mengubah sendi keyakinan dan syariat agama mereka, lalu mereka berbangga-bangga dengan keyakinan dan syariat agama yang telah menyimpang dan sesat itu. Kebanggaan yang dilarang di dalam ayat tersebut adalah kebanggaan dalam kesesatan dan kekufuran. Sedangkan kebanggaan dalam Islam atau pada perkara yang wajib dibanggakan bukanlah kebanggaan yang dilarang. Misalnya, seorang Muslim harus berbangga dengan dan menunjukkan keislamannya. Sebab, secara bahasa
95

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 317

47

kata al-farh berarti naqiidl al-huzn (lawan dari sedih)96. Menurut ulama tafsir, frase (farihuun) pada ayat di atas bermakna masruurun, mujibuun, dan raadluun (senang, kagum, dan ridla)97. Dengan demikian, seorang Muslim wajib ridlo, senang, dan kagum dengan agama Allah dan para perkara yang boleh dibanggakan. Allah swt berfirman;


Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira (yafrahuu). Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [TQS Yunus (10):58] Berbangga dan bergembira dengan kurnia dan rahmat Allah sesuatu yang dibenarkan, dan tidak dilarang. Sedangkan berbangga dengan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dibanggakan adalah terlarang. Misalnya, Allah swt berfirman;


dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [TQS Al Hadiid (57):23] Oleh karena itu, berbangga-bangga yang dilarang dalam konteks ayat di atas (surat Ruum: 32) adalah berbangga-bangga dalam kesesatan dan kekufuran. Sedangkan berbangga-bangga dalam kebenaran dan keIslaman bukanlah sesuatu yang dilarang. Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa, ayat ini tidak bisa diterapkan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih tegak di atas sunnah Nabi saw, dan tidak mengganti sendi-sendi dan syariat agama Islam. Semampang, aqidah mereka tetap Islam, dan mereka masih berjalan di atas jalan yang lurus, dan berjuang untuk menegakkan Islam, maka kelompok seperti ini bukanlah firqah yang disinggung oleh ayat ini. Oleh karena itu, kelompok Islam, baik yang berbentuk jamaaah, partai, atau hizb yang ada di dunia Islam saat ini, yang didirikan untuk memenuhi seruan Allah swt dalam surat Ali Imron ayat 104, dan yang tetap berdiri di atas jalan lurus (sunnah Nabi saw), bukanlah kelompok yang diharamkan oleh Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tidak boleh dijauhi, bahkan seorang Muslim wajib membantu perjuangan mereka dengan harta dan jiwa. Selain itu, kelompok seperti ini termasuk dalam
Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 2, hal. 541; Ibnu Sayyidih, al-Muhkam wa alMuhiith al-Adzam, juz 2, hal. 23 97 Imam An Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil, juz 2, hal. 138 menafsirkan frase farihuun dengan masruurun; Imam Zuhailiy, al-Tafsiir al-Muniir, juz 17, hal. 56 menafsirkannya dengan masruurun mujibuun; al-Khaazin, Lubaab alTawiil, juz 3, hal. 273; dan Samarqandiy, Bahr al-Uluum, juz 2, hal.410, menafsirkannya dengan mujibuun raadluun; Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 6, hal. 86, Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 2, hl. 106; dan Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 604, mengartikannya dengan mujibuun. Al-Wahidiy, al-Wasiith, juz 3, hal. 292, menafsirkannya dengan raadluun.
96

48

gugusan ahlu al-sunnah wa al-jamaaah, karena keteguhan mereka untuk selalu berada di atas jalan Nabi saw . Sedangkan kelompok, partai, atau jamaaah yang didirikan di atas aqidah kufur, semacam demokrasi, sekulerisme, sosialisme, nasionalisme; serta bertujuan untuk menerapkan dan melanggengkan sistem kufur, maka kelompok-kelompok seperti ini adalah kelompok yang harus dijauhi dan kaum Muslim dilarang membantu atau melibatkan diri di dalamnya. Pasalnya, kelompok ini tidak berada di atas jalan yang lurus (sunnah Nabi saw), alias telah menyimpang dari jalan Islam. Kelompok-kelompok seperti inilah yang dimaksud oleh nash-nash al-Quran dan hadits riwayat Hudzaifah al-Yamaniy di atas, sebagai firqah yang sesat dan harus dijauhi kaum Muslim, bukan hizb atau firqah yang tetap berjalan di atas sunnah Nabi saw. Kewajiban Mendirikan Jama'ah atau Partai Politik Berbasis Islam Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas adanya kewajiban atas kaum Muslim untuk mendirikan jama'ah, partai politik, hakarah, atau hizb. Allah swt berfirman:


"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imran (3) : 104] Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat ini adalah hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat ini (umat Islam) yang melaksanakan kewajiban tersebut (yad'una ila al-khair wa ya'muruuna bi al-ma'ruf wa yanhauna 'an al-mungkar), meskipun kewajiban tersebut juga berlaku bagi setiap individu umat ini; seperti yang telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, "Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman."[HR. Muslim] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron:104] Beberapa ahli tafsir lain memakna kata (ummah) di dalam ayat itu dengan jamaaah98. Ulama tafsir lain memaknainya dengan thaaifah.99 Sedangkan kata al-jamaaah, firqah, dan thaaifah memiliki pengertian yang sama, yakni sekumpulan manusia100. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, meskipun di satu sisi, Allah swt memerintahkan kaum Muslim untuk hidup di dalam satu kesatuan ummat, yakni jamaaat al-muslimiin (seluruh kaum Muslim
Al-Alusi, Ruuh al-Maaaniy, juz 2, hal. 237; al-Samarqandiy, Bahr al-Uluum, juz 1, hal. 289; Al-Baqaiy, Nadzm al-Durar, juz 2, hal. 132; Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 201. 99 Al-Jazairiy, Aysar al-Tafaasiir,juz 1, hal. 357-358 100 Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa alMuhiith al-Adzam, juz 1, hal. 120-121 ; Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 501
98

49

yang dipimpin seorang khalifah), akan tetapi, di sisi lain, Allah juga memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan "firqah, thaaifah, atau jamaaah (kelompok)" dari kalangan kaum Muslim, yang bertujuan melaksanakan dakwah menuju Islam (yaduuna ila al-khair) dan amar makruf nahi anil mungkar; meskipun hal ini juga merupakan kewajiban setiap individu kaum Muslim. Kesimpulan seperti ini bisa dimengerti karena, huruf "min" pada frase (minkum) pada surat Ali Imron : 104 tersebut berfungsi untuk "tab'idl" (membatasi) bukan untuk "bayan" (menjelaskan). Atas dasar itu, kewajiban mendirikan jamaaah yang bertugas melakukan dakwah menuju Islam (yaduuna ila al-khair) dan amar makruf nahi anil mungkar, adalah fardlu kifayah. Adapun sebagian mufassir yang berpendapat bahwa huruf "min" pada surat Ali Imron 104 ini bermakna lil bayan, sesungguhnya pendapat semacam ini telah dilemahkan oleh Imam Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Suyuthiy, Imam Qurthubiy, dan lain-lain101. Menurut Imam Qurthubiy, makna li tab'iidl lebih shahih. Adapun makna dari kata al-khair yang tercantum dalam frase [yaduuna ila al-khair: menyeru kepada kebajikan] adalah Islam beserta syariah yang disyariatkan Allah kepada hambaNya. Ini adalah penafsiran Imam Thabariy102. Ada pula yang mengartikan al-khair dengan al-diin secara keseluruhan, baik yang menyangkut ushul, furu, dan syariatnya. Penafsiran semacam ini diketengahkan oleh Imam al-Sadiy103. Sedangkan mufassir lain menafsirkan al-khair dengan Islam itu sendiri104. Sedangkan makna kata al-makruf dalam frase [amar makruuf] adalah semua hal yang sejalan dengan al-Kitab dan Sunnah. Sedangkan al-mungkar adalah semua hal yang bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah105. Dengan demikian, surat Ali Imron ayat 104 merupakan dalil sharih wajibnya kaum Muslim untuk mendirikan sebuah partai politik yang bertujuan menyeru kepada Islam dan melakukan amar ma'ruf nahi 'anil mungkar. Hanya saja, hukum mendirikan jama'ah atau partai politik berasaskan Islam adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Artinya, jika ada sebagian kaum Muslim yang telah menunaikan kewajiban tersebut, dan mereka berhasil menuntaskan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban itu bagi kaum Muslim lainnya.

Imam Qurthubiy, al-Jaami li Ahkaam al-Quran, juz 4, hal. 106; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaaf, juz 1, hal. 288; Imam Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, juz 1, hal. 94; Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 465; Imam Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1, hal. 173; dan lain-lain. 102 Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 3, hal. 385 103 Abd al-Rahman al-Sadiy, Taysiir al-Kariim al-Rahmaan, juz 1, hal. 288. 104 Imam al-Naisaburiy, Tafsiir Gharaaib al-Quran, juz 1, hal. 474-475; Imam Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 2, hal. 110; Abu Hayyan al-Andalusiy, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; dan lain sebagainya. 105 Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 1, hal. 94.
101

50

BAB IV KHATIMAH

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Ahlu al-sunnah wa al-jamaaah adalah sebutan bagi orang-orang yang menganut jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw dan para shahabatnya. Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaaah bukanlah sebutan bagi kelompok pemikiran atau madzhab tertentu di dalam Islam; akan tetapi ia adalah istilah yang ditujukan bagi orang yang selalu konsisten berjalan di atas thariiqah Nabi dan shahabatnya hari kiamat. Ahlu al-sunnah wa al-jamaaah tidak hanya menjadi hak kelompok tertentu dari umat Islam, semacam ahli hadits saja, fukaha saja, maupun organisasi tertentu saja, akan tetapi ia menjadi hak bagi seluruh elemen kaum Muslim, semampang mereka masih berada di atas jalan (thariiqah) yang ditempuh oleh Nabi saw dan para shahabatnya. Oleh karena itu, ahlu al-sunnah wa al-jamaaah tidak hanya tersusun oleh satu elemen kaum Muslim saja, akan tetapi ia tersusun atas beragam elemen kaum Muslim; mulai dari mujahid yang berperang di jalan Allah, fukaha, ahli tafsir, kaum zuhud, dan elemen-elemen lainnya. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama ulama ahlu al-sunnah wa al-jamaaah-- dalam beberapa persoalan tidaklah mengeluarkan salah satu pihak yang berbeda pendapat itu dari gugusan ahlu alsunnah wa al-jamaaah, semampang perbedaan tersebut belum menyentuh dataran prinsipal ajaran Islam. Perbedaan pendapat antara Imam Maturidiy, Juwainiy, Al-Asyariy, Thahawiy , Baqillaniy, Ghazaliy, dan ulama-ulama lain dalam beberapa persoalan harus dipandang sebagai perbedaan pendapat dalam batas-batas yang masih bisa ditolerir. Keberadaan kelompok (hizb atau firqah) bukanlah sesuatu yang dilarang oleh syariat. Bahkan, Islam telah mewajibkan kaum Muslim untuk mendirikan firqah (kelompok) yang melaksanakan aktivitas menyeru kepada kebajikan [yaduuna ila al-khair] dan amar makruf nahi anil mungkar. Kelompok, partai, ataupun organisasi Islam yang ada di negerinegeri Islam sekarang ini, tidak semuanya termasuk firqah atau hizb yang harus dijauhi oleh kaum Muslim, sebagaimana hadits riwayat Hudzaifah al-Yamaniy. Selama kelompok dan organisasi tersebut didirikan untuk menyeru kepada kebajikan [yaduuna ila al-khair], dan melakukan amar makruf nahi anil mungkar; serta organisasi itu tegak di atas thariiqah (jalan) Nabi saw dan shahabatnya, maka organisasi atau kelompok tersebut termasuk kelompok (firqah, thaaifah, atau jamaaah) yang disebut Allah swt di dalam surat Ali Imron ayat 104. Kelompok seperti itu termasuk kelompok yang akan mendapat keberuntungan (fa ulaaika hum al-muflihuun). Sedangkan kelompok, organisasi, ataupun jamaaah yang ditegakkan di atas aqidah kufur, semacam demokrasi, nasionalisme,

51

pluralisme, sosialisme, dan paham-paham kufur lainnya; dan ia bertujuan menegakkan dan memberlakukan sistem kufur; maka, kelompok, jamaaah, atau partai semacam ini harus dijauhi oleh kaum Muslim, sebagai bentuk pengamalan dari perintah Nabi saw yang disebut di dalam hadits Hudzaifah al-Yamaniy. Pasalnya, kelompok, organisasi, atau jamaaah semacam ini telah menyimpang dari thariiqah (jalan) Nabi saw dan para shahabatnya. 7. Kaum Muslim yang hidup di era sekarang ini wajib melibatkan diri dalam dakwah yang ditujukan untuk menegakkan kembali diin al-Islam di tengah-tengah kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Seorang Muslim dilarang berdiam diri terhadap segala bentuk kemungkaran dan kemaksiyatan yang ada di depan matanya. Wallahu Alam bi alShawab.

52

You might also like