You are on page 1of 20

ABSTRAK

Fermentasi Rhizopus oryzae pada Saga Adenanthera pavonina: Sebuah


Alternatif Sumber Protein Nabati

Oleh

NOVALIA ANGGRAINI

Tempe adalah makanan khas Indonesia. Tempe merupakan hasil


fermentasi Rhizopus oryzae terhadap kedelai (Glycine max), yang menjadi sumber
protein nabati penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan kedelai di Indonesia
menggunakan sistem pertanian monokultur dan impor. Sistem pertanian
monokultur membawa persoalan lingkungan hidup dan modal yang tinggi.
Alternatif pemenuhan kebutuhan sumber protein nabati dapat
memanfaatkan biji Saga pohon (Adenanthera pavonina) yang merupakan tanaman
asli Indonesia. Biji Saga pohon mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi
dari kedelai dengan kadar 48,2%. Penelitian ini mencoba membuat tempe
berbahan baku biji Saga pohon dengan bantuan kapang Rhizopus oryzae.
Hasil penelitian menunjukkan tempe berbahan baku Saga pohon terjadi
kekompakan dengan hifa setelah 36 jam. Berdasarkan pengujian menggunakan
titrasi formol menunjukkan tempe Saga lebih tinggi kadar proteinnya dengan
perbandingan 22,41% : 18%. Pengujian organoleptik secara kuantitatif,
responden menilai tempe berbahan baku Saga pohon lebih lembut, lebih enak, dan
baunya lebih menyengat daripada tempe berbahan baku kedelai.

Kata kunci: Adenanthera pavonina, Saga pohon, tempe, kandungan protein,


organoleptik
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tempe adalah makanan khas Indonesia. Tempe merupakan sumber protein


nabati yang mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi daripada bahan dasarnya.
Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu dengan menumbuhkan kapang
Rhizopus oryzae pada kedelai matang yang telah dilepaskan kulitnya. Tempe
dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dengan konsumsi rata-rata perhari per
orang 4,4 gr sampai 20,0 gr (referensi/ acuan?). Tempe mempunyai nilai gizi
yang tinggi. Tempe dapat diperhitungkan sebagai sumber makanan yang baik
gizinya karena memiliki kandungan protein, karbohidrat, asam lemak esensial,
vitamin, dan mineral. Nutrisi utama yang hendak diambil dari tempe adalah
proteinnya karena besarnya kandungan asam-asam amino.
Tempe merupakan salah satu produk hasil olahan kedelai (Glycine max).
Kebutuhan terhadap kedelai dipenuhi melalui pertanian monokultur dengan
pengunaan area pertanian kedelai yang luas. Akan tetapi, jumlah penduduk
Indonesia yang terus meningkat, mengakibatkan kebutuhan terhadap kedelai
sebagai sumber protein nabati terpaksa harus dipenuhi dengan mengimpor sekitar
1,8% per tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan,
impor kedelai sejak tahun 1986 hingga 1999 menunjukan peningkatan yang
fluktatif. Peningkatan impor kedelai tersebut ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Besarnya Impor Kedelai Indonesia (1986 - 1999).


No.
Tahu
n
Volu
me(
Ton)
Nilai
impo
r
(.00
0
US$
)

1.
1986
359.
252
83.3
99

2.
1987
286.
702
63.1
45

3.
1988
465.
839
138.
044

4.
1989
390.
472
128.
222

5.
1990
541.
061
146.
475
Sumber : Direktorat Jenderal Produksi Tanaman Pangan

Penggunaan sistem pertanian monokultur di Indonesia, yang merupakan


sistem pertanian yang diadopsi dari daerah subtropis, membawa persoalan lain
bagi lingkungan hidup. Pertanian monokultur kedelai membutuhkan modal yang
sangat tinggi karena harus menyediakan lahan kosong yang luas, pupuk, sarana
dan infrastruktur irigasi, pestisida, dan lain sebagainya. Secara ekologis, sistem
pertanian monokultur juga tidak sesuai dengan prinsip pertanian di daerah tropis
sehingga menyebabkan kestabilan ekosistem terganggu. Akibat sistem
monokultur, banyak spesies-spesies asli (indigenous) daerah tropis baik flora
maupun fauna serta mikroorganisme yang punah. Penyerapan unsur hara tertentu
yang berlebihan dan terus-menerus menyebabkan terbentuknya lahan kritis.
Dampak pestisida dan insektisida yang tidak ramah terhadap lingkungan juga
dapat menyebabkan terakumulasinya toksin tersebut sampai taraf tropi tertinggi
yaitu manusia. Dampak tersebut dapat dilihat dari meningkatnya penyakit kanker,
tumor, kista rahim, dan gangguan fisiologi lainnya akhir-akhir ini (Referensi?).
Permasalahan kebutuhan terhadap kedelai yang tinggi dan kegagalan
pertanian monokultur tersebut mendorong kita untuk mencari alternatif yang
dapat memecahkan permasalahan tersebut yaitu terpenuhinya sumber protein
sekaligus tidak menambah daftar persoalan bagi ekonomi maupun lingkungan dan
kesehatan.
Salah satu tanaman alternatif yang dapat mengatasi permasalahan tersebut
adalah tanaman Saga pohon (Adenanthera pavonina). Tanaman tersebut
merupakan pohon tahunan asli Asia Tenggara, India, dan Cina Selatan (Ria tan,
2001). Saga pohon (Adenanthera pavonina) berbeda dengan Saga rambat (Abrus
precatorius) yang mengandung racun. Saga pohon memiliki biji yang lebih besar
berwarna merah terang, dengan batang pohon yang tinggi, dan daun yang lebih
lebar daripada Saga rambat. Saga rambat memiliki biji kecil berwarna merah
hitam dan batang yang tumbuh merambat.
Saga pohon mampu memproduksi biji kaya protein serta memiliki ongkos
produksi yang murah. Hal tersebut karena penanaman Saga pohon tidak
memerlukan lahan khusus karena bisa tumbuh di lahan kritis, tidak perlu pupuk
atau perawatan intensif. Selain itu, hama dan gulmanya minim sehingga tidak
memerlukan pestisida, jadi bersifat ramah dan aman bagi lingkungan karena dapat
ditanam bersama tumbuhan lainnya (Referensi?). Kandungan protein yang
terdapat pada biji Saga pohon tersebut juga lebih besar bila dibandingkan dengan
kedelai dan beberapa tanaman komersil lainnya (Tabel 2).
Di Indonesia, Saga pohon belum banyak dimanfaatkan ataupun
dibudidayakan secara komersial. Tanaman tersebut biasa digunakan sebagai
pelindung atau peneduh, karena pohonnya tinggi, daunnya rimbun, dan batangnya
keras atau kuat (Balai Informasi Pertanian, 1985). Padahal, Saga pohon
seharusnya dapat menggantikan penggunaan kedelai sebagai bahan baku utama
pembuatan tempe, karena kadar protein biji Saga pohon lebih besar daripada
kedelai (Tabel 2). Namun demikian, penggunaan biji Saga pohon sebagai tempe
yang difermentasi oleh Rhizopus oryzae belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, penelitian peningkatan nilai guna biji Saga pohon sebagai bahan baku
alternatif dalam pembuatan tempe perlu dilakukan untuk memperoleh data atau
informasi yang jelas terhadap pemanfataan biji Saga pohon tersebut nantinya.

Tabel 2. Komposisi nutrisi Saga, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan
kecipir.
No Biji Protein(%) Lemak(%) Karbohidrat(%) Air(%)
1. Saga 48,2 22,6 10.0 9,1
2. Kedelai 34,9 14,1 34,8 8,0
3. Kacang hijau 22,2 1,2 62,9 10,0
4. Kacang tanah 25,3 42,8 21,1 4,0
5. Kecipir 32,8 17,0 36,5 10,0

Sumber: Balai Informasi Pertanian-Ciawi, 1985

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ilmiah ini akan diangkat
permasalahan :”Bagaimana hasil yang diperoleh dalam pembuatan tempe
berbahan baku Saga pohon lewat fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga
Adenanthera pavonina?”
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencari alternatif pemenuhan kebutuhan
sumber protein nabati bagi penduduk Indonesia, tanpa merusak ekologi
lingkungan hidupnya.

1.4 Metode Penelitian


Metode penelitian yang yang digunakan pada penelitian ini adalah studi
komparasi setelah dilakukan eksperimen. Sebelum melakukan komparasi
terhadap eksperimental pembuatan tempe berbahan baku biji Saga pohon oleh
Rhizopus oryzae (untuk selanjutnya penulis istilahkan dengan tempe Saga), dibuat
suatu kontrol positif berupa tempe berbahan baku kedelai (untuk selanjutnya
penulis istilahkan dengan tempe kedelai). Gunanya untuk membandingkan hasil
fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji Saga pohon dengan tempe kedelai yang
memang sudah umum dikonsumsi.
Setelah produk tempe hasil fermentasi dari biji Saga pohon jadi,
selanjutnya dilakukan studi komparatif kandungan protein dan tes organoleptik.
Dalam studi komparatif kandungan kadar protein yang dibandingkan adalah
waktu, warna, dan persentase protein. Sedangkan dalam tes organoleptik, penulis
meminta orang lain sebagai responden untuk mencicipi tempe goreng hasil
fermentasi dari biji Saga pohon tersebut, dan mencatat pendapat mereka kemudian
menyimpulkannya.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah yang akan diteliti, tujuan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 Telaah Pustaka, berisi rujukan-rujukan terkait Adenanthera pavonina.
BAB 3 Metode Penelitian, berisi langkah-langkah penelitian yang meliputi:
waktu dan tempat penelitian, bahan dan alat, proses pembuatan tempe
Saga, pelaksanaan penelitian, pengamatan penelitian, dan pengujian
kadar protein.
BAB 4 Hasil dan Pembahasan, berisi gambaran umum hasil dari proses
fermentasi biji Saga pohon, hasil uji nilai gizi protein pada tempe Saga,
dan hasil uji organoleptik.
BAB 5 Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan penemuan hasil penelitian yang
merupakan jawaban atas permasalahan serta mengacu kepada tujuan
penelitian dan saran dari hasil penelitian tersebut.
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Sifat-sifat Botanis Saga Adenanthera pavonina L.

Tanaman Saga pohon dikenal dengan bermacam-macam nama antara lain


bead tree, circassian bean, circassian seed, coral wood, crab’s eyes, false
sandalwood, jumbie bead, redbead tree, red sandalwood, redwood (Inggris) :
anikundumani, lopa, manjadi, raktakambal, Saga (India) ; Saga, Saga daun
tumpul, Saga tumpil (Malaysia); kitoke laut, Saga telik, segawe sabrang
(Indonesia) dan masih banyak nama daerah lainnya (International Centre for
Research in Agroforestry, 2005).
Klasifikasi Saga pohon termasuk dalam Kerajaan Plantae, Subkerajaan
Tracheobionta, Superdivisi Spermathophyta, Divisi Magnoliophyta, Kelas
Magnoliopsida, Subkelas Rosidae, Ordo Fabales, Famili Fabaceae
(Leguminosae), Genus Adenanthera, Spesies Adenanthera pavonina L. (United
States Departemen of Agriculture, 2005).
Tanaman Saga Adenanthera pavonina, yang juga mempunyai nama lain
Adenanthera Scheffer, Adenanthera polita Miq, menyukai pH sedikit asam, dapat
tumbuh di seluruh daerah dataran rendah beriklim tropis dengan curah hujan
3000-5000 mm per tahun. Pada umumnya tinggi tanaman Saga pohon yang tua
bisa mencapai 20-30 m (Gambar 2.1). Saga pohon termasuk tanaman deciduous
atau berganti daun setiap tahun (International Centre for Research in
Agroforestry, 2005).

Gambar 2.1 Pohon Saga Adenanthera pavonina

Daun majemuk menyirip genap, tumbuh berseling, jumlah anak daun


bertangkai 2-6 pasang, helaian daun 6-12 pasang, panjang tangkaimya mencapai
25 cm, daun berwarna hijau muda (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Daun Saga Adenanthera pavonina

Bunga kecil-kecil berwarna kekuning-kuningan, korola 4-5 helai, benang


sari berjumlah 8-10 (Gambar 2.3) (Pasific Island Ecosistems at Risk, 2004).

Gambar 2.3 Bunga Saga Adenanthera pavonina

Polong berwarna hijau, panjangnya mencapai 15 sampai 20 cm (Gambar


2.4), polong yang tua akan kering dan pecah dengan sendirinya, berwarna coklat
kehitaman (Gambar 2.5). Setiap polong berisi 10-12 butir biji. Biji dengan garis
tengah 5-6 mm, berbentuk segitiga tumpul, keras dan berwarna merah mengkilap
(Gambar 2.6) (Stone, 1970 yang dikutip Topilab, 2005).

Gambar 2.4 Polong Saga pohon yang Gambar 2.5 Polong Saga pohon
masih berwarna hijau. yang sudah tua.

Gambar 2.6. Biji Saga pohon.

Di daerah oriental, Saga pohon dimanfaatkan untuk makanan, obat-obatan,


meubel, dan kayu bakar. Bji Saga pohon yang merah terang digunakan untuk
perhiasan dan kadang-kadang untuk makanan. Di Karibia, pohon Saga
Adenanthera pavonina yang memproduksi biji yang merah terang ini dikenal oleh
mereka sebagai “tasbih”. Mereka juga menyebutnya biji “Circassian”. Celupan
merah yang mereka peroleh dari kayu tersebut digunakan oleh suku Brahmins
untuk menandai dahi mereka sebagai simbol agama.
2.2 Kandungan Gizi Pada Saga (Adenanthera pavonina l.)

Analisa menunjukkan bahwa pada biji Saga pohon (Adenanthera


pavonina) memiliki kandungan gizi sebagai berikut. Di dalam biji Saga pohon
terkandung sejumlah protein yaitu, dapat dinilai dari (29,44 g/100g), lemak (17,99
g/100g), dan mineral, diambil dari perbandingan kebiasaan masyarakat
mengkonsumsi makanan pokok. Mengandung gula yang rendah (8,2 g/100 g),
tajin (41,95g)/100g), dan zat penyusun lainnya adalah karbohidrat
(referensi/data?) (kok daeng belum paham dengan maksud paragraph ini ya,
maksudnya apa? Coba rapikan pada sub bab ini, terlihat berantakan!).
Kandungan anti nutrisi yaitu methionine dan cystine , yang merupakan
jenis asam amino yang terdapat dalam tingkat yang rendah. Sedangkan total asam
yang mengandung lemak, yaitu asam linoceic dan oleic mengandung 70,7%
Jumlah asam lemak bebas yang terkandung pada Saga pohon relatif tinggi
terutama peroksida dan saponification yang terkandung senilai 29,6mEqkg dan
164,1mgKOHg, hal ini menunjukkan suatu kemiripan kandungan minyak pada
makanan. Dapat disimpulkan bahwa biji Saga pohon menghadirkan suatu sumber
potensi minyak dan protein yang bisa mengurangi kekurangan sumber protein
nabati. (Sumber: Pasific Island Ecosistems at Risk (PIER) )
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian pada fermentasi biji Saga pohon (Adenanthera pavonina) oleh


Rhizopus oryzae dilaksanakan pada tanggal 7 Mei sampai dengan tanggal 12 Mei
2007, yaitu di kediaman rumah penulis. Pelaksanaan pengujian protein pada
tempe Saga dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2007 di Laboratorium Sekolah
Menengah Tekhnik Industri (SMTI) Bandar Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian fermentasi Rhizopus oryzae


terhadap biji Saga pohon ini adalah 2 gram ragi tempe (Rhizopus oryzae) untuk
masing-masing fermentasi kacang kedelai dan biji Saga pohon, satu kilogram
kedelai, dan satu kilogram biji Saga pohon. Sedangkan alat yang digunakan
dalam melakukan fermentasi biji Saga pohon yaitu : baskom, air, kompor, panci,
sendok, centong, plastik, pisau, rak lemari, alas kain, dan lain-lain.

3.3 Proses Pembuatan Tempe Saga

Langkah- langkah pembuatan tempe Saga adalah sebagai berikut:


1. menyiapkan biji Saga pohon sebanyak 1 kilogram dan ragi tempe (Rhizopus
oryzae) sebanyak 2 gram.
2. mencuci bersih biji Saga pohon untuk menghilangkan kotoran pada kulit biji.
3. merebus terlebih dahulu biji Saga pohon selama kurang lebih 40 menit untuk
menghilangkan rasa langu.
4. karena kulit biji Saga pohon yang keras dan dilapisi oleh lilin yang
menyebabkan kulit biji Saga pohon kedap terhadap air dan gas, maka biji Saga
pohon perlu direndam selama kurang lebih 36 jam untuk lebih memudahkan
dalam melepaskan kulit arinya.
5. mulai meremas-remas biji Saga pohon agar kulit arinya lepas
6. setelah bersih, biji Saga pohon dituangkan ke dalam panci dan diberi air
secukupnya, kemudian mengukus biji Saga pohon selama kurang lebih 30
menit.
7. Setelah dikukus selama 30 menit, air yang tersisa di dalam panci dibuang,
kemudian panci yang tinggal berisikan biji Saga ditaruh kembali di atas
kompor sambil diaduk-aduk supaya jangan sampai hangus. Proses ini
dilakukan untuk mengeringkan biji Saga pohon.
8. biji Saga pohon dituangkan ke wadah yang memudahkan untuk menjadi
dingin.
9. Setelah dingin, ragi tempe sebanyak 2 gram ditaburkan dan aduk rata.
10. menyiapkan plastik dengan ukuran sesuai selera kemudian biji Saga pohon
dimasukkan ke dalam plastik hingga ketebalan kira-kira 2-3 cm
11. menutup plastik, dapat mempergunakan api lilin untuk menutup plastik.
12. plastik yang telah berisi biji Saga pohon dilubangi dengan menggunakan pisau
kira-kira 8 lubang untuk setiap sisi atas dan sisi bawah.
13. tempe disimpan di dalam lemari dengan mempergunakan lemari dapur. Alas
yang dipakai untuk menyimpan adalah rak lemari yang diganjal bagian
bawahnya, sehingga ada sirkulasi udara.
14. tempe didiamkan selama kurang lebih 36 jam. Untuk di udara dingin, tempe
kadang dibalut dengan handuk, agar lebih hangat sebelum dimasukkan ke
dalam lemari.
15. setelah 36 jam, tempe siap diolah.

3.4 Pelaksanaan penelitian

Penelitian fermentasi Rhizopus oryzae pada Saga Adenanthera pavonina


dilaksanakan pada siang hari, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan sinar
matahari yang cukup dalam melakukan pembuatan tempe Saga. Sebelum
melaksanakan pembuatan fermentasi pada biji Saga pohon maka terlebih dahulu
yang harus diperhatikan adalah soal kebersihan. Untuk mendapatkan hasil produk
tempe Saga yang terbaik maka dalam prosedur pembuatannya lebih baik
melakukan penanakan sebanyak 2 kali, yaitu proses perebusan terlebih dahulu
kemudian proses kedua adalah pengukusan.

3.5 Pengamatan Penelitian.

Pengamatan dilakukan pada saat fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji


Saga pohon. Pada saat pengamatan, kondisi fermentasi seperti suhu ruang,
tempat, cahaya (terang atau gelap) harus dicatat dan dilakukan pengamatan pada
jam-jam tertentu yang telah diatur. Selama dalam pengamatan, pertumbuhan
jamur dan kekompakkan (penyatuan hifa jamur dengan biji Saga pohon) dicatat.
Selama fermentasi diusahakan ada sampel yang tidak dibuka-buka karena
fermentasi lebih banyak memerlukan kondisi anaerob daripada aerob, dengan
membuka-buka sampel juga berarti menyediakan kondisi aerob.

3.6. Pengujian Kadar Protein

Untuk mengetahui keberadaan seberapa besar protein yang terkandung


pada tempe Saga, maka diadakan pengujian protein pada tempe Saga dengan cara
tritrasi formol yang langkah-langkahnya diterangkan sebagai berikut:
Penentuan Kadar Protein. Cara titrasi Formol.
1. memindahkan 10 gr Saga pohon atau larutan protein (Saga atau larutan?
mana yang bener?) ke dalam Erlenmeyer 125 ml dan menambahkan 20
ml aquades dan 0,4 ml larutan K-oksalat jenuh (K-oksalat = 1 : 3) dan 1 ml
phenolphthalein 1%. Kemudian mendiamkan selama 2 menit.
2. men-titrasi larutan contoh dengan 0,1 N NaOH sampai mencapai warna
seperti warna merah jambu.
3. Warna standar : 10 gr tempe Saga + 10 ml aquades + 0,4 ml K-oksalat
jenuh
4. Setelah warna tercapai, ditambahkan 2 ml larutan formalheid 40% dan
dititrasi kembali dengan larutan NaOH sampai warna seperti warna
standar tercapai lagi. Hasil titrasi kedua ini harus dicatat.
5. dibuat titrasi blanko yang terdiri dari 20 ml aquade + 0,4 ml larutan K-
oksalat jenuh + 1 ml indikator phenolphthalein (PP) + 2 ml larutan
formalheid ; dan titrasi dengan larutan NaOH.
6. Titrasi terkoreksi yaitu titrasi kedua dikurangi titrasi blanko yang
merupakan titrasi formol. Supaya mengetahui persentase protein, harus
dibuat percobaan serupa dengan menggunakan larutan yang telah
diketahui kadar proteinnya (TAmbahkan! Yaitu apa? Yang telah
diketahui kadar proteinnya?).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keberhasilan Proses Fermentasi Saga Adenanthera pavonina

Proses fermentasi Saga Adenanthera pavonina berhasil terjadi dalam


waktu 36 jam yang ditunjukkan dengan terjadinya kekompakan (menyatunya hifa
jamur Rhizopus oryzae dengan biji Saga Adenanthera pavonina).

Gambar 4.1. Tempe Saga yang berhasil terbentuk

4.2.Uji Nilai Gizi Protein pada Tempe Saga Pohon

Dari hasil pengujian kandungan gizi protein terhadap tempe Saga dengan
menggunakan metode titrasi formol maka didapatkan hasil kandungan protein
tempe Saga sebesar 22,41%, sedangkan kandungan protein tempe kedelai dengan
metode yang sama didapatkan nilai sebesar 18% (Angka 18% ini dari mana,
kok tidak ada dalam perhitungan?).
Perhitungan dengan metode titrasi formol adalah dengan rumus sebagai
berikut:
Titrasi formol
%N= x N. NaOH x 14,008
gr bahan x 10

Volume titrasi pertama = 1ml


Volume titrasi blanko = 1 ml
Volume titrasi kedua = 2,6 ml

Jadi,
( 2,6 ml – 1ml)
%N= x 0,1 N x 14,008
100
1,6
= x 14,008
100

= 22,41 % kadar protein tempe

Jadi, di dalam tempe Saga terkandung kadar protein sebanyak 22,41 %.


Sedangkan pada tempe kacang kedelai mengandung kadar protein sebanyak 18 %.

4.3. Uji Organoleptik

Setelah melakukan eksperimen fermentasi Rhizopus oryzae terhadap biji


Saga pohon, maka perlu dilakukan studi komparatif dan tes organoleptik untuk
lebih membuktikan kandungan gizi dan rasa dari tempe Saga.
Untuk tes organoleptik, penulis meminta beberapa orang untuk menjadi
responden dengan merasakan tempe goreng hasil fermentasi dari biji Saga pohon
tersebut, kemudian ditanya responnya.
Dari 13 orang responden, yang mengatakan bahwa tempe Saga lebih
lembut daripada tempe kedelai sebanyak 84,6% atau 11 orang. Sedangkan
sebanyak 76,9% atau 10 orang mengatakan bahwa tempe Saga memiliki rasa yang
enak atau unik daripada tempe kedelai, dan sebanyak 38,46% atau 5 orang
berpendapat bahwa tempe Saga memiliki rasa yang sama seperti tempe kedelai.
Namun, sebanyak 76,9% atau 10 orang mengatakan bahwa tempe Saga memiliki
bau yang langu atau bau yang lebih menyengat daripada tempe kedelai.
Untuk menetapkan (%) pendapat dari responden dapat dihitung
menggunakan rumus :
A
Persen pendapat = x 100 %
B

Keterangan :

A : Jumlah orang yang memilih.


B : Keseluruhan jumlah responden (13 orang)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah penulis lakukan selama proses


pembuatan tempe dari fermentasi biji Saga pohon oleh Rhizopus oryzae, maka
penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut :

1. Prosedur proses fermentasi biji Saga pohon


a. Karena kulit biji Saga pohon yang keras dan dilapisi oleh lilin
sehingga bijinya kedap terhadap air, maka dalam proses
perendaman dan perebusan serta pengukusannya dibutuhkan waktu
yang lebih lama dibandingkan dengan proses pembuatan tempe
dari kacang kedelai.
b. Biji Saga pohon memiliki warna yang sama dengan kacang kedelai
yaitu berwarna coklat setelah melewati proses perebusan.
c. Bau biji Saga pohon lebih menyengat dibandingkan dengan kacang
kedelai.
d. Namun, dalam masalah rasa biji Saga pohon tidak kalah dengan
kacang kedelai dan lebih lembut.
e. Bentuk biji Saga pohon terlihat agak gepeng dan lebih besar
dibandingkan dengan kacang kedelai yang mempunyai biji lebih
kecil dan bulat.

2. Pada saat fermentasi tempe Saga.


a. Dalam waktu 12 jam dan 24 jam, belum terjadinya penyatuan hifa-
hifa jamur dengan biji Saga pohon. Namun, setelah jam-jam
berikutnya terjadi kekompakan hifa dengan biji Saga pohon.
Fermentasi biji Saga pohon dengan Rhizopus oryzae berhasil
terjadi.
b. Waktu selesai terbentuknya tempe dari biji Saga pohon relatif sama
dengan waktu selesainya tempe dari kedelai yaitu 36 jam.

3. Kelebihan tempe Saga dibandingkan tempe dari kedelai


a. Tempe dari biji Saga pohon lebih lembut daripada tempe dari
kedelai.
b. Tempe Saga tidak cepat menjadi tempe busuk dan dapat disimpan
selama 2 minggu di dalam lemari es.
c. Daya tahan biji Saga pohon jauh lebih kuat dan tahan lama dari biji
kedelai karena biji Saga pohon dilindungi oleh kulit yang keras dan
kedap air.

4. Pengujian nilai gizi dan pengujian Organoleptik


a. Setelah dilakukan pengujian kandungan kadar protein, ternyata
tempe Saga memiliki kandungan kadar protein yang cukup tinggi
di dalamnya yaitu sekitar 22,41%. Sedangkan pada tempe kedelai
hanya memiliki kandungan kadar protein sebanyak 18%.
b. Dalam pengujian organoleptik secara kuantitatif, didapatkan hasil
bahwa sebanyak 84,6% responden mengatakan tempe Saga lebih
lembut daripada tempe kedelai, sebanyak 76,9% responden
mengatakan tempe Saga memiliki rasa yang enak atau unik
daripada tempe kedelai, sebanyak 38,46% responden mengatakan
bahwa tempe Saga memiliki rasa yang sama seperti tempe kedelai,
dan sebanyak 76,9% responden mengatakan tempe Saga memiliki
bau yang langu atau bau yang lebih menyengat daripada tempe
kedelai.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengajukan saran-saran sebagai


berikut.
1. Sebaiknya pembudidayaan Saga pohon (Adenanthera pavonina) di Indonesia
lebih ditingkatkan karena Saga pohon dapat dijadikan bahan alternatif
pembuatan tempe yang kandungan proteinnya tidak kalah dengan kedelai.
2. Hendaknya masyarakat lebih dikenalkan dengan tempe Saga, sehingga minat
konsumsi masyarakat menjadi lebih baik terhadap tempe Saga.
3. Pemanfaatan lahan kritis dengan menanam pohon Saga Adenanthera
pavonina sebagai sumber pangan potensial.
4. Mengurangi sistem pertanian monokultur yang membahayakan ekosistem
lingkungan hidup dan membutuhkan biaya yang tinggi.

-------------------------------ntar yang ini dihapus ya dek.


Catatan tambahan daeng:
Yang harus ada:
1. Gambar Tempe Saga (Kalo perlu ada juga gambar tempe kedelai)
2. Lampiran kuesioner
3. Daftar Acuan (Referensi) >>> PENTING SEKALI !!!

Sebuah tulisan ilmiah harus:


1. Fokus pada tema (contoh, dalam satu paragraph hanya ada 1 pokok
bahasan)
2. Kaya (didukung data, butuh membutuhkan referensi dalam, dan detail)
3. Koheren (nyambung)
• 1 kalimat dengan kalimat lain
• 1 paragraf dengan paragraph lain
• 1 bab dengan bab lain (Contoh koreksian bab 2 subbab 2, apa maksud
hubungan paragrafnya dan isinya??)
Yang lain
• Jika ingin menjelaskan tentang protein, maka penjelasannya bukan asalam
lemak, vit, dll, tapi asam amino.
• Tolong jangan disinggung soal murah, karena kalu tempe dari kedelai
murah mengapa harus diganti? Tetapi tekankan masalah ekologi seperti
bahaya-bahayanya yang pernah daeng katakan.
• Kalo yang nggak perlu, nggak usah dimasukkan cukup jadi pengetahuan.
• Konsisten dengan pembahasaan.

You might also like