You are on page 1of 17

PENDEKATAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Pendekatan yang biasa digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan adalah a.

Pendekatan Struktural (Peran Organisasi) b. Pendekatan Prosedural dan Manajemen (Network Planning and Control/NPC; Programme Evaluation and Review Technique/ PERT). c. Pendekatan Perilaku (Behavioural) : Komunikasi, Infromasi lengkap pada setiap tahap. d. Pendekatan Politis (Aspek-aspek interdepartemental politik). Banyak pakar kebijakan menilai dari keseluruhan siklus kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit. Seperti Grindle (1980) misalnya, telah mengantisipasi kesulitan tersebut sebagai berikut: Implementasi kebijakan sesungguhnya tidaklah sekadar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Di sini Grindle (1980) telah meramalkan, bahwa dalam setiap implementasi kebijakan pemerintah pasti dihadapkan pada banyak kendala, utamanya yang berasal dari lingkungan (konteks) di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Ide dasar Grindle ini adalah bahwa setelah suatu kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi, maka tindakan implementasi belum tentu berlangsung lancar. Hal ini sangat tergantung pada implementability dari program tersebut. Implementability suatu kebijakan, menurut Grindle (1980: 8 - 12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks kebijakan (context of policy). Isi kebijakan mencakup (a) kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, (b) jenis manfaat yang akan dihasilkan, (c) derajat perubahan yang akan diinginkan, (d) kedudukan pembuat kebijakan, (e) siapa pelaksana program, dan (f) sumberdaya yang dikerahkan. Sedang konteks kebijakan mencakup : (a) kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang

terlibat, (b) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (c) kepatuhan serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan. Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan. Untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi setelah suatu kebijakan dibuat dan dirumuskan adalah subyek dari implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier (1983: 3 6) menyebutkan adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi. Yaitu dari sudut pandang ilmu administrasi negara dan dari sudut pandang ilmu politik. Dari sudut pandang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi hanya dilihat dari semata-mata sebagai pelaksanaan kebijakan secara efektif dan efisien. Namun pandangan ini semakin tidak populer karena pada saat menjelang dan akhir Perang Dunia II dari hasil berbagai penelitian administrasi negara, ternyata badan-badan administratif tidak hanya dipengaruhi oleh perintah atau mandat resmi yang berasal dari badan-badan pemerintah, tetapi juga oleh tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan, intervensi lembaga legislatif, dan oleh berbagai faktor lain di dalam lingkungan politik mereka. Sedangkan dari sudut pandang pendekatan sistem terhadap kehidupan politik, ternyata mematahkan perspektif organisasional dari administrasi negara, sehingga mulai dipikirkan mengenai masukan yang berasal dari luar bidang administrasi negara. Seperti ketentuan kebijakan administratif dan legislatif yang baru, perubahan-perubahan preferensi publik dan teknologi baru (Mazmanian dan Sabatier, 1983: 5). Adanya dua sudut pandang dalam studi implementasi kebijakan ini juga dikemukakan oleh Ripley (1984: 134 135), bahwa studi implementasi mempunyai dua foci pokok yaitu kepatuhan (complience) dan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan dilaksanakan (whats happening). Kepatuhan ini muncul dari literatur administrasi publik dan perspektif ini lebih memusatkan perhatiannya pada apakah badan dan individu bahwahan mematuhi perintah badan atau individu atasannya. Perspektif ini lebih merupakan analisis karakter dan kualitas dari perilaku organisasional. Menurut Ripley (1984: 135), paling tidak ada dua kekurangan dari perspektif ini, yaitu banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh dan ada program-program yang tidak disusun dengan baik (maldesigned). Sedangkan perspektif yang kedua, yaitu perspektif whats happpening,

sangat berbeda dengan perspektif kepatuhan. Perspektif ini berasumsi adanya banyak faktor yang dapat dan telah mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor tersebut utamanya berasal dari lingkuangan luar kebijakan. Berdasarkan kedua perspektif ini, maka kajian terhadap implementasi kebijakan haruslah memperhatikan faktor eksternal dari kebijakan yang diimplementasikan (lingkungan non organisasional dan non birokrasi), maupun faktor internal. Hal ini seperti ditunjukkan oleh Meter dan Horn (1975: 462 - 474), bahwa kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Untuk mewujudkan standar kebijakan, dan (c) sasaran tersebut, badan terdapat atau beberapa lembaga variabel penting (d) yang mempengaruhinya, yaitu: (a) ukuran dan tujuan kebijakan, (b) sumber-sumber karakteristik pelaksana, komunikasi antarorganisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan, (e) kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan (f) sikap para pelaksana kebijakan. Sedang Sabatier dan Mazmanian (1986: 9 11) melihat implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu (a) karakteristik masalah, (b) struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, dan (c) faktor-faktor di luar peraturan kebijakan. Kerangka pikiran Sabatier dan Mazmanian, menunjukkan bahwa suatu kegiatan implementasi kebijakan akan efektif apabila birokrasi pelaksana mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksanaan. Oleh karenanya model ini sering disebut sebagai model top-down. Model implementasi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Edward III (1980), yang menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh faktor (a) komunikasi; (b) sumberdya; (c) sikap implementor (disposisions); dan (d) struktur birokrasi pelaksana. Lebih lanjut Edward III (1980: 147 148) mengemukakan faktorfaktor komunikasi, sumberdaya, sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi implementasi kebijakan. Di samping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut mempengaruhi implementasi melalui dampak dari masing-masing faktor. Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh mempengaruhi, kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan.

Beberapa model implementasi kebijakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada variabel tunggal dalam suatu kegiatan implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik menyangkut kebijakan yang diimplementasikan, pelaksana kebijakan, maupun lingkungan di mana kebijakan tersebut diimplementasikan (kelompok sasaran). Namun demikian, melihat berbagai model di atas nampaknya faktor lingkungan (kondisi sosial, ekonomi dan politik) di mana kebijakan itu diimplementasikan, komunikasi antarorganisasi dan birokrasi pelaksana menjadi faktor dominan bagi penentu keberhasilan implementasi kebijakan. http://mulyono.staff.uns.ac.id/2009/05/02/pendekatan-implementasi-kebijakan/

Model-model Implementasi Kebijakan Publik Implementasi Sistem Rasional (Top-Down) Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia. Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut : 1. Van Meter dan Van Horn Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Aktifitas Kondisi Kecendrungan implementasi Karakteristik ekonomi, dan agen social (dispotition) komunikasi antar dan organisasi politik

pelaksana/implementor pelaksana/implementor

2. George Edward III Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu :

1.

Apakah

yang

menjadi

prasyarat

bagi

implementasi

kebijakan

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan? Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : 1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi 2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah : a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan b. c. informasi dukungan yang dari memadai lingkungan atau untuk relevan untuk keperluan mensukseskan implementasi kebijakan implementasi kebijakan

d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya 4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. 3. Mazmanian dan Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka : Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, structures the implementation process.

Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) : a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan proses seperti dengan apa indicator kejelasan yang dan dikehendaki. konsistensi tujuan b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan implementasi c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Isi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber daya yang dikerahkan kebijakan, Kepentingan Jenis Derajat Kedudukan Pelaksana mencakup yang manfaat perubahan pembuat hal-hal terpengaruh yang yang sebagai oleh akan berikut :

kebijakan dihasilkan diinginkan kebijakan program

Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 1. 2. Kekuasaan, kepentingan dan lembaga strategi aktor dan yang terlibat penguasa

Karakteristik

3. Kepatuhan dan daya tanggap Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan. Implementasi Kebijakan Bottom Up Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan.

Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan 3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasikebijakan.html

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation (1975). Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini

mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model ini menjelaskan bahwa kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel yang saling berkaitan, variable-variabel tersebut yaitu: 1. Standar dan sasaran kebijakan/ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumber daya 3. Karakteristik organisasi pelaksana 4. Sikap para pelaksana 5. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan 6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik Secara rinci variabel-variabel implementasi kebijakan publik model Van Meter dan Van Horn dijelaskan sebagai berikut: 1. Standar dan sasaran kebijakan / ukuran dan tujuan kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran dan dan sasaran kebijakan terlalu ideal (utopis), maka akan sulit direalisasikan (Agustino, 2006). Van Meter dan Van Horn (dalam Sulaeman, 1998) mengemukakan untuk mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana (implementors). Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang crucial. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak atau tidak mengerti apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974). 2. Sumber daya

Keberhasilan

implementasi

kebijakan

sangat

tergantung

dari

kemampuan

memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Derthicks (dalam Van Mater dan Van Horn, 1974) bahwa: New town study suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program. Van Mater dan Van Horn (dalam Widodo 1974) menegaskan bahwa: Sumber daya kebijakan (policy resources) tidak kalah pentingnya dengan komunikasi. Sumber daya kebijakan ini harus juga tersedia dalam rangka untuk memperlancar administrasi implementasi suatu kebijakan. Sumber daya ini terdiri atas dana atau insentif lain yang dapat memperlancar pelaksanaan (implementasi) suatu kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya dana atau insentif lain dalam implementasi kebijakan, adalah merupakan sumbangan besar terhadap gagalnya implementasi kebijakan. 3. Karakteristik organisasi pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan. Hal ini penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Hal ini berkaitan dengan konteks kebijakan yang akan dilaksanakan pada beberapa kebijakan dituntut pelaksana kebijakan yang ketat dan displin. Pada konteks lain diperlukan agen pelaksana yang demokratis dan persuasif. Selaian itu, cakupan atau luas wilayah menjadi pertimbangan penting dalam menentukan agen pelaksana kebijakan. Menurut Edward III, 2 (buah) karakteristik utama dari struktur birokrasi adalah prosedurprosedur kerja standar (SOP = Standard Operating Procedures) dan fragmentasi.

1. Standard Operating Procedures (SOP). SOP dikembangkan sebagai respon


internal terhadap keterbatasan waktu dan sumber daya dari pelaksana dan

keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. SOP yang bersifat rutin didesain untuk situasi tipikal di masa lalu mungkin mengambat perubahan dalam kebijakan karena tidak sesuai dengan situasi atau program baru. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk mengimplementasikan kebijakan. Semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang rutin dari suatu organisasi, semakin besar probabilitas SOP menghambat implementasi (Edward III, 1980).

2. Fragmentasi. Fragmentasi berasal terutama dari tekanan-tekanan di luar unit-unit


birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi publik. Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab terhadap suatu wilayah kebijakan di antara beberapa unit organisasi. fragmentation is the dispersion of responsibility for a policy area among several organizational units. (Edward III, 1980). Semakin banyak aktoraktor dan badan-badan yang terlibat dalam suatu kebijakan tertentu dan semakin saling berkaitan keputusan-keputusan mereka, semakin kecil kemungkinan keberhasilan implementasi. Edward menyatakan bahwa secara umum, semakin koordinasi dibutuhkan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, semakin kecil peluang untuk berhasil (Edward III, 1980). 4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Agar kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan efektif, menurut Van Horn dan Van Mater (dalam Widodo 1974) apa yang menjadi standar tujuan harus dipahami oleh para individu (implementors). Yang bertanggung jawab atas pencapaian standar dan tujuan kebijakan, karena itu standar dan tujuan harus dikomunikasikan kepada para pelaksana. Komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kepada para pelaksana kebijakan tentang apa menjadi standar dan tujuan harus konsisten dan seragam (consistency and uniformity) dari berbagai sumber informasi. Jika tidak ada kejelasan dan konsistensi serta keseragaman terhadap suatu standar dan tujuan kebijakan, maka yang menjadi standar dan tujuan kebijakan sulit untuk bisa dicapai. Dengan kejelasan itu, para pelaksana kebijakan dapat mengetahui apa yang

diharapkan darinya dan tahu apa yang harus dilakukan. Dalam suatu organisasi publik, pemerintah daerah misalnya, komunikasi sering merupakan proses yang sulit dan komplek. Proses pentransferan berita kebawah di dalam organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lain, dan ke komunikator lain, sering mengalami ganguan (distortion) baik yang disengaja maupun tidak. Jika sumber komunikasi berbeda memberikan interprestasi yang tidak sama (inconsistent) terhadap suatu standar dan tujuan, atau sumber informasi sama memberikan interprestasi yang penuh dengan pertentangan (conflicting), maka pada suatu saat pelaksana kebijakan akan menemukan suatu kejadian yang lebih sulit untuk melaksanakan suatu kebijakan secara intensif. Dengan demikian, prospek implementasi kebijakan yang efektif, sangat ditentukan oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten (accuracy and consistency) (Van Mater dan Varn Horn, dalam Widodo 1974). Disamping itu, koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan, maka kesalahan akan semakin kecil, demikian sebaliknya. 5. Disposisi atau sikap para pelaksana Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn dalam Agustinus (2006): sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak mengetahui bahkan tak mampu menyentuh kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus diselesaikan. Sikap mereka itu dipengaruhi oleh pendangannya terhadap suatu kebijakan dan cara melihat pengaruh kebijakan itu terhadap kepentingan-kepentingan organisasinya dan kepentingan-kepentingan pribadinya. Van Mater dan Van Horn (1974) menjelaskan disposisi bahwa implementasi kebijakan diawali penyaringan (befiltered) lebih dahulu melalui persepsi dari pelaksana (implementors) dalam batas mana kebijakan itu dilaksanakan. Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi kemampuan dan kemauannya untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain terdiri

dari pertama, pengetahuan (cognition), pemahaman dan pendalaman (comprehension and understanding) terhadap kebijakan, kedua, arah respon mereka apakah menerima, netral atau menolak (acceptance, neutrality, and rejection), dan ketiga, intensitas terhadap kebijakan. Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan adalah penting. Karena, bagaimanapun juga implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan. Arah disposisi para pelaksana (implementors) terhadap standar dan tujuan kebijakan juga merupakan hal yang crucial. Implementors mungkin bisa jadi gagal dalam melaksanakan kebijakan, dikarenakan mereka menolak apa yang menjadi tujuan suatu kebijakan (Van Mater dan Van Horn, 1974). Sebaliknya, penerimaan yang menyebar dan mendalam terhadap standar dan tujuan kebijakan diantara mereka yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut, adalah merupakan suatu potensi yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan (Kaufman dalam Van Mater dan Van Horn, 1974). Pada akhirnya, intesitas disposisi para pelaksana (implementors) dapat mempengaruhi pelaksana (performance) kebijakan. Kurangnya atau terbatasnya intensitas disposisi ini, akan bisa menyebabkan gagalnya implementasi kebijakan. 6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik Hal terakhir yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan kondisi lingkungan eksternal yang kondusif. Secara skematis, model implementasi kebijakan publik Van Meter danVan Horn dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini:

MODEL A POLICY IMPLEMENTATION PROCESS Sumber: (Agostino, 2006) http://kertyawitaradya.wordpress.com/2010/04/13/implementasi-kebijakan-publik-modelvan-meter-van-horn-the-policy-implementation-process/

Model-model Implementasi Kebijakan Pemerintah


Model implementasi kebijakan pemerintah digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis. Model-model implementasi kebijakan pemerintah itu, antara lain: 1. Model "The top down approach" menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A, Gunn, yaitu implementasi kebijakan pemerintah yang dilaksanakan dapat sempurna, dengan persyaratan: a. Kondisi eksternal yang dihadapi Badan Pelaksana tidak akan menimbulkan kendala serius. b. tersedianya waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai untuk melaksanakan program. c. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. d. kebijakan yang akan di implementasikan disadari oleh suatu hubungan kausalitas yang ada. e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. f. hubungan saling ketergantungan harus kecil. g. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan h. tugas-tugas diperinci dalam urutan yang tepat i. komunikasi dan koordinasi yang tepat. j. pihak-pihak yang berwenang dapat menentukan dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna. 2. Model Proses Implementasi kebijakan, menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang bersangkutan. Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan kesepakatan terhadap tujuan, terutama yang terlibat di lapangan relatif tinggi. Sehingga perlu tipologi kebijakan yang dibedakan berdasarkan: a. jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan; b. jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat. 3. Model Kerangka Analisis Implementasi, menurut D. Mazmanian dan P.A. Sabatier, yaitu nilai penting analisis implementasi kebijakan pemerintah adalah untuk mengidentifikasikan variabel-variabel itu terbagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu: a. mudah tidaknya masalah ( yang akan dipecahkan) dikendalikan; b. kemampuan keputusan untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat; c. pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Dunsire, Andrew. (1978). Implementation in Bureaucracy, Martin Robertson, Oxford. ________, (1980). Implementation Theory, Block 3, Implementation, Evaluation and Change, Open University.

Grindle, M., (ed) (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press. Hogwood, Brian W., and Gunn, Lewis A. (1986). Policy Analysis for the Real World, Oxford: University Press. Jones, Charles O. (1970). An Introduction to the Study of Public Policy, Wadsworth, Belmont, CA. Mazmanian, Daniel, and Sabatier, Paul (eds). (1981). Effective Policy Implementation, Lexington, Mass., D.c., Heath. Majone, G., and Wildavsky A., (1978). Implementation as Evaluation, in Policy Studies Review Annual, H. Freeman (ed), Sage, Beverly Hills, CA. Pressman, J., and Wildavsky, (1979). A Implementation, University of California Press, Berkely. Udoji, Chief J.O. (1981). The African Public Servant as a Public Maker, Public Policy in Africa, African Association for Public Administration and Management, Addis Abeba. Van Meter, D.S., and Van Horn, C.E. (1978). The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework, Administration and Society.

You might also like