You are on page 1of 75

1

PENGARUH PENERAPAN PROJECT BASED LEARNING (PBL) TERHADAP MOTIVASI DAN AKTIFITAS BELAJAR FISIKA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 1 GUNUNG TALANG
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abad XXI dikenal dengan abad globalisasi dan abad teknologi informasi. Pembangunan yang begitu pesat serta perkembangan sains dan teknologi yang semakin canggih, membuat manusia tertantang untuk meningkatkan kualitas bidang pendidikan. Kemajuan suatu bangsa salah satu indikatornya, dapat dilihat dari perkembangan dunia pendidikan pada bangsa tersebut. Indonesia sebagai negara berkembang yang memberikan perhatian kepada dunia pendidikan, mengharapkan agar pendidikan nasional menghasilkan peserta didik yang kompeten. Artinya, peserta didik memiliki kemampuan berpikir dan bertindak yang baik dan efisien dengan berorientasi pada keterampilan dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, peserta didik mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan globalisasi melalui peran serta dalam kemajuan IPTEK dengan kreativitas dan kemandirian yang mereka miliki. Fisika sebagai bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam telah banyak memberikan kontribusi nyata dalam perkembangan Ilmu dan Teknologi (IPTEK). Hal ini sesuai dengan pendapat Suryo (2008 : 3) Pada hakekatnya, fisika

merupakan kumpulan pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan (eksperimen). Selain itu, fisika juga dipandang sebagai suatu proses sekaligus produk, sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan model pembelajaran yang efektif dan efisien serta mampu membuat peserta didik tertarik dan termotivasi untuk mempelajari fisika. Berdasarkan alasan tersebut, salah satu kegiatan pembelajaran fisika yang efektif dan benar-benar mencerminkan hakikat fisika itu sendiri adalah melalui kegiatan praktik. Secara umum, kegiatan praktik merupakan unjuk kerja yang ditampilkan guru atau siswa dalam bentuk demonstrasi maupun percobaan oleh siswa yang berlangsung di laboratorium atau tempat lain melalui eksperimen dan proyek. Hal ini sejalan dengan pendapat Ari (2008: 1-2) Fisika mempelajari fakta-fakta yang ada kemudian dikemas menjadi konsep-konsep fisika dan dikembangkan menjadi hukum atau teori fisik melalui kegiatan eksperimen.................................... Pada tingkat SMA/MA, eksperimen fisika diarahkan pada suatu pembuktian dan pemahaman dari konsep, hukum, atau teori yang sudah ada. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka kegiatan praktik memegang peranan penting dalam pembelajaran fisika karena praktikum memberikan peluang kepada siswa untuk kreatif dalam melakukan inovasi atau minimal siswa mendapatkan pengetahuan tentang langkah-langkah yang telah dilakukan ilmuwan dalam menemukan hukum fisika. Tentunya kegiatan praktik ini dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh penggunaan model pembelajaran yang tepat, sarana dan prasarana laboratorium yang lengkap serta ditambah dengan pemanfaatan sumber belajar

seperti internet yang dapat menunjang kegiatan praktik itu sendiri. Jika hal di atas dapat terlaksana dengan baik, maka kualitas proses pembelajaran akan meningkat diiringi dengan peningkatan hasil belajar fisika siswa sebagai cerminan keberhasilan pendidikan sendiri. Berdasarkan harapan-harapan yang begitu besar terhadap pembelajaran fisika tersebut, pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Diawali dengan upaya penyempurnaan kurikulum secara terusmenerus yang disesuaikan dengan perkembangan IPTEK sehingga akhirnya diterapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pemerintah juga memberikan pelatihan atau penataran kepada guru fisika mengenai sosialisasi penyempurnaan kurikulum untuk meningkatkan profesionalitas guru, serta mengadakan program sertifikasi guru yang memenuhi standar profesi seorang pendidik. Upaya pemerintah pun dilanjutkan dengan melengkapi sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran fisika di sekolah, seperti pengadaan alatalat laboratorium, komputer, dan pemasangan internet untuk membantu kemandirian siswa dalam menggali informasi materi pembelajaran di samping yang mereka peroleh dari guru dan buku-buku pelajaran yang disediakan perpustakaan. Pada kenyataannya, upaya pemerintah tersebut belum memberikan dampak positif dalam kegiatan pembelajaran fisika. Hal ini terbukti dengan rendahnya hasil belajar fisika siswa. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, masalah ini terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya siswa kurang termotivasi untuk

belajar karena pembelajaran yang masih bersifat teori, materi pembelajaran yang padat harus dicapai dalam waktu singkat, kurang bervariasinya model pembelajaran yang digunakan oleh guru, belum maksimalnya pemanfaatan laboratorium, serta kurangnya aplikasi materi pembelajaran pada kehidupan siswa sehingga siswa kurang kreatif dan terampil serta mempunyai pola pikir yang monoton. Dari berbagai faktor penyebab masalah pembelajaran yang ditemukan peneliti di atas, salah satu faktor penyebab yang sangat berpengaruh adalah kurang bervariasinya model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran. Guru cenderung menggunakan model pembelajaran langsung yang selalu mengutamakan metode ceramah dan penugasan berupa latihan soal-soal saja, sementara itu model pembelajaran yang berkaitan dengan kegiatan praktik sangat jarang digunakan. Akibatnya, sarana laboratorium tidak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga siswa menjadi pasif, tidak mampu berpikir kritis, serta tidak mampu mengaplikasikan pengetahuannya untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan nyata. Untuk mengatasi permasalahan proses pembelajaran fisika tersebut, salah satu model pembelajaran yang dapat menunjang keefektifan kegiatan praktikum fisika adalah Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning/ PBL). Model ini merupakan bagian dari pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) yang dilakukan melalui suatu proyek dalam jangka waktu tertentu dengan langkahlangkah yang terdiri dari persiapan, penentuan proyek, perencanaan, investigasi, pembuatan laporan, mengkomunikasikan hasil kegiatan, dan evaluasi.

Secara umum, menurut Stevani (2008:17) PBL ini sangat cocok dilaksanakan dalam pembelajaran fisika karena melalui proyek ini, siswa mampu terlibat secara mental dan fisik, syaraf, indera, termasuk kecakapan sosial dengan melakukan banyak hal sekaligus. PBL ini melatih siswa untuk dapat mengkonstruksi

pengetahuan baru berdasarkan pengalaman sendiri melalui tindakan inkuiri pada proyek. Selain itu, siswa dituntut untuk dapat berbagi ide, menghargai orang lain, dan kerjasama/ kolaborasi dalam kelompok, sehingga pembelajaran fisika akan menjadi menarik, efektif, dan menyenangkan, sehingga siswa akan termotivasi dan aktif selama proses pembelajaran. Untuk itu, model Project Based Learning perlu diterapkan dalam pembelajaran fisika. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam suatu penelitian dengan judul Pengaruh Penerapan Project Based Learning (PBL) terhadap Motivasi dan Aktifitas Belajar Fisika Siswa Kelas XI SMA N 1 Gunung Talang. B. Rumusan Masalah Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pembelajaran fisika yang dilaksanakan guru sebagian besar menggunakan model pembelajaran yang terfokus pada teori saja. Akibatnya, hasil belajar fisika siswa rendah dan jauh dibawah KKM yang ditetapkan sekolah. Padahal, pembelajaran fisika yang paling efektif adalah melalui kegiatan praktikum. Melalui model pembelajaran dengan kegiatan praktikum, maka konsep fisika yang bersifat abstrak akan menjadi nyata bagi siswa. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka rumusan

masalah untuk penelitian adalah: Apakah terdapat pengaruh penerapan Project Based Learning (PBL) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI SMA Negeri 1 Gunung Talang pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor? C. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dari penelitian adalah sebagai berikut ini: 1. Penggunaan model Project Based Learning (PBL) pada pembelajaran fisika Kelas XI semester 1 pada materi elastisitas bahan dan materi getaran. 2. Bentuk proyek yang akan dilakukan berupa: (a) menyelidiki hubungan antar besaran-besaran terkait dalam materi Hukum Hooke pada pegas; (b) menyelidiki hubungan antar besaran-besaran terkait serta karakteristik susunan pegas seri dan paralel; (c) menyelidiki hubungan antar besaran-besaran terkait serta karakteristik getaran pegas; (d) menyelidiki hubungan antar besaranbesaran terkait serta karakteristik getaran ayunan sederhana kemudian membuat alat berupa pendulum sederhana yang mampu menghitung percepatan gravitasi bumi dengan menerapkan prinsip ayunan sederhana. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menyelidiki pengaruh penerapan Project Based Learning (PBL) terhadap hasil belajar fisika siswa kelas XI SMA N 1 Gunung Talang pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai: 1. Masukan bagi guru fisika dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran fisika. 2. Masukan bagi peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian ini di masa yang akan datang.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,

isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Secara umum, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing- masing satuan pendidikan. Pengembangan KTSP yang beragam mengacu kepada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Selain itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut 8 kurikulum dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus itu sendiri merupakan rencana pembelajaran suatu mata pelajaran tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.

Masnur (2008: 18) menyatakan: Pengembangan KTSP memenuhi prinsip- prinsip berikut: (a.) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya (b.) Beragam dan terpadu (c.) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (d.) Relevan dengan kebutuhan kehidupan

(e.) Menyeluruh dan berkeseimbangan (f.) Belajar sepanjang hayat (g.) Seimbang antara kepentingan kepentingan daerah

nasional

dan

Berdasarkan prinsip tersebut, tujuan KTSP ini lebih mengutamakan terciptanya sumber daya manusia yang cerdas, kompeten, profesional, dan kompetitif. Pada dasarnya, Masnur (2008: 25) menyatakan bahwa Pada KTSP, tanggung jawab belajar tetap ada pada diri siswa sendiri, sedangkan guru bertanggung jawab menciptakan situasi yang menyenangkan, yang bisa mendorong motivasi dan tanggung jawab siswa untuk belajar. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan KTSP dibutuhkan suatu perencanaan yang tepat sesuai dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan serta mempertimbangkan karakteristik siswa sehingga dapat memacu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa menjadi lebih baik. Secara khusus, pembelajaran fisika juga membutuhkan perencanaan pembelajaran yang tepat dengan ilmu fisika itu sendiri agar tercipta situasi belajar yang lebih menyenangkan, kontekstual, kreatif, dan aktif. Agar perencanaan dapat disusun sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dibahas lebih lanjut mengenai pembelajaran fisika. B. Pembelajaran Fisika Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan tinggi dalam pendidikan. Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Sardiman

(2003 : 21) bahwa Belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwaraga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Hilgard (Wina, 2007 : 110) Belajar adalah proses perubahan melalui kegiatan atau prosedur pelatihan baik latihan di dalam laboratorium maupun dalam lingkungan ilmiah. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar bukan sekedar mengumpulkan pengetahuan, tetapi merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri seseorang sehingga munculnya perubahan tingkah laku. Pembelajaran merupakan suatu aktivitas belajar yang melibatkan siswa dan guru bersamaan. Menurut Ahmad (2004 : 1) Pembelajaran adalah aktivitas (proses) yang sistematis dan sistemik yang terdiri atas banyak komponen. Masingmasing komponen tidak bersifat parsial (terpisah) atau berjalan sendiri- sendiri, tetapi berjalan secara teratur, saling bergantung, komplementer, dan

berkesinambungan. Fisika sebagai salah satu mata pelajaran ilmu pengetahuan alam sangat erat kaitannya dengan lingkungan dan fenomena yang terjadi dalam kehidupan, membutuhkan pembelajaran yang bukan saja menekankan teori pada siswa, tetapi juga diiringi dengan kegiatan inkuiri/penemuan. Hal ini disebabkan oleh fisika yang tidak bisa hanya dengan menjelaskan dan membaca buku saja melainkan diusahakan mengadakan banyak kegiatan praktik sesuai materi yang diajarkan. Hanya sebagian siswa yang bisa menangkap pelajaran ini karena mereka dapat membayangkan fenomena yang dijelaskan dalam buku secara abstrak

11

maupun nyata. Sedangkan, sebagian siswa yang sulit menguasai pelajaran ini tidak dapat membayangkannya dengan jelas sehingga perlu diadakan kegiatan praktik untuk meningkatkan pemahaman siswa. Depdiknas (2003: 2) menyatakan: Mata pelajaran fisika di SMA dikembangkan dengan mengacu pada pengembangan fisika yang ditujukan untuk mendidik siswa agar mampu mengembangkan observasi dan eksperimentasi serta taat asas........................ Kemampuan obervasi dan eksperimentasi ini lebih ditekankan pada melatih berpikir eksperimental yang mencakup tata laksana percobaan dengan mengenal peralatan yang digunakan dalam pengukuran baik di dalam laboratorium maupun alam sekitar kehidupan siswa. Sesuai dengan kutipan di atas, fisika sebagai ilmu yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mempelajarinya tidak cukup hanya melalui minds-on, tetapi juga harus melalui hands-on, seperti layaknya ilmuwan ketika menyelidiki fenomena alam ini. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Nurhadi dkk (2004 : 72-73) Pembelajaran melalui inkuiri memacu motivasi siswa untuk belajar memecahkan masalah secara mandiri, memberikan pengalaman belajar yang nyata dan aktif melalui komunikasi sehingga memiliki keterampilan berpikir kritis. Kegiatan inkuiri yang dilaksanakan dalam pembelajaran fisika dapat mendorong siswa untuk belajar aktif dan guru hanya berperan sebagai pembimbing siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan sendiri konsep fisika tersebut. Sesuai dengan karakteristik fisika tersebut, maka kegiatan inkuiri yang dimaksud adalah kegiatan praktik berupa percobaan yang dilaksanakan melalui demonstrasi, eksperimen, dan proyek yang dapat dilakukan di laboratorium atau

tempat lain. Ketiga jenis pelaksanaan kegiatan praktik tersebut memiliki perbedaan. Menurut Wina (2007) Demonstrasi merupakan metode percobaan dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses, situasi, atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan. Dalam demonstrasi, guru berperan sebagai penyaji dan pemberi informasi, sedangkan siswa sebagai pendengar dan pengamat. Demonstrasi dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan antara teori dan kenyataan sehingga mereka akan lebih menyakini kebenaran materi pembelajaran. Akan tetapi, demonstrasi tidak sepenuhnya dapat mengaktifkan siswa dalam belajar karena pembelajaran sebagian besar masih berpusat pada guru. Berbeda dengan demonstrasi, eksperimen merupakan metode percobaan yang melibatkan siswa sepenuhnya dalam kegiatan penemuan. Menurut Nasution (1995:196) Eksperimen adalah metode percobaan yang memberikan kesempatan kepada siswa secara perorangan atau kelompok untuk melakukan praktik mulai dari perencanaan, menemukan fakta, mengumpulkan data, dan menyimpulkan hasil temuan. Inti kegiatan eksperimen terletak pada siswa sedangkan guru hanya sebagai pembimbing atau pengarah. Eksperimen dapat membuat siswa lebih yakin dengan kebenaran teori karena percobaan dilakukan sendiri daripada hanya mengamati kerja guru, tetapi metode ini hanya menuntut siswa berada dalam laboratorium saja. Tidak jauh berbeda dengan eksperimen, proyek juga melibatkan sepenuhnya peran aktif siswa dalam belajar. Proyek merupakan pengembangan dari

13

eksperimen, siswa tidak hanya melakukan kegiatan praktik saja melainkan juga dilatih untuk mengembangkan kreativitasnya dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar, kemudian menghasilkan artefak dan laporan tertulis sebagai hasil proyek. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaiful (2000: 122) Proyek bertitik tolak pada permasalahan yang dekat dengan siswa, kemudian mereka diberi kekebasan untuk menemukan solusi masalah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Proyek dapat meningkatkan pola pikir siswa menjadi luas dan menyeluruh dalam menyelesaikan suatu permasalahan serta membiasakan mereka untuk menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, metode ini menuntut kreativitas guru untuk menyiapkan proyek yang tepat dengan konsep yang diajarkan sehingga siswa tertarik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan praktik dapat dikatakan sebagai inti dari pembelajaran fisika, meskipun dalam pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang besar sehingga guru fisika yang sukses harus benar-benar ahli dalam mendesain kegiatan praktikum untuk siswanya. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi guru untuk mempersiapkan kegiatan praktik sebaikbaiknya agar pembelajaran fisika betul-betul efektif. Salah satu upaya yang dilakukan guru untuk mewujudkan kegiatan praktik tersebut adalah melalui penggunaan model pembelajaran yang tepat. Akan tetapi, sebelum guru bisa menentukan model pembelajaran yang tepat dalam pelaksanaan kegiatan praktik, perlu diketahui macam-macam model pembelajaran terlebih dahulu. Model

pembelajaran tersebut akan dijelaskan selanjutnya. C. Model Pembelajaran Menurut Abdul (2007: 52) Model pembelajaran adalah sebuah perencanaan pembelajaran yang mengambarkan proses yang ditempuh dalam pembelajaran agar tercapai perubahan spesifik pada perilaku siswa seperti yang diharapkan. Sesuai dengan pendapat tersebut, model pembelajaran merupakan suatu bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di kelas dan ditampilkan dalam bentuk tahapan umum/ sintaks dari model yang digunakan. Karakteristik suatu model pembelajaran ditentukan oleh sintaks atau tahapan pelaksanaannya. Model pembelajaran ini digunakan sebagai wujud pelaksanaan dari suatu pendekatan. Untuk melaksanakan model pembelajaran dibutuhkan strategi pembelajaran, yaitu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran tercapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, upaya untuk merealisasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata disebut dengan metode. Hal ini sesuai dengan pendapat Wina (2007:124) Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang ditetapkan. Untuk

mengimplementasikan metode yang sudah ditetapkan, maka diperlukan teknik. Wina (2007:125) menyatakan bahwa Teknik lebih bersifat individual. Artinya, dalam upaya menjalankan metode pembelajaran, guru dapat menentukan teknik yang dianggapnya relevan dengan metode, sehingga walaupun metode sama, teknik

15

masing-masing guru bisa berbeda. Oleh karena, model pembelajaran didasarkan pada pendekatan tertentu dan diwujudkan melalui strategi yang tepat, sedangkan bagaimana menjalankan strategi tersebut ditetapkan berbagai metode pembelajaran, dan metode pembelajaran dapat dijalankan sesuai dengan teknik yang digunakan guru yang bersangkutan. Pada umumnya, ciri-ciri model pembelajaran menurut Abdul (2007: 54): 1. Memiliki prosedur yang sistematik. 2. Hasil belajar ditetapkan secara khusus. Artinya, setiap model pembelajaran menentukan tujuan-tujuan khusus hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai siswa secara rinci dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati. 3. Penetapan lingkungan secara khusus 4. Ukuran keberhasilan, artinya model pembelajaran harus senantiasa menggambarkan dan menjelaskan hasil-hasil belajar dalam bentuk perilaku yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa setelah menempuh dan menyelesaikan urutan pembelajaran. 5. Interaksi dengan lingkungan. Berdasarkan ciri-ciri model pembelajaran di atas, maka guru dapat

mengembangkan model-model pembalajaran yang dianggap sesuai dengan tujuan, bahan, dan sarana pendukung dalam pembelajaran.

Dari berbagai pandangan para ahli, Chauhan (Abdul, 2007: 56) menentukan jenis model pembelajaran secara umum sebagai berikut: Model pembelajaran dikelompokkan berdasarkan 4 sumber utama yaitu : 1. Interaksi sosial, terdiri dari model pembelajaran group investigasi dan model sosial inkuiri. 2. Pemprosesan informasi, terdiri dari model pembelajaran induktif, model pemerolehan konsep, model pembelajaran pengembangan, model

pengorganisasian kedalaman konsep, model sains inkuiri. 3. Individu, terdiri dari model pembelajaran bebas dan model pertemuan kelas. 4. Modifikasi perilaku, terdiri dari model pembelajaran penyesuaian kondisi. Dari keempat sumber utama dalam menentukan model pembelajaran, pemprosesan informasi merupakan dasar model pembelajaran yang tepat untuk IPA. Hal ini disebabkan oleh IPA yang sangat dekat dengan lingkungan sekitar siswa memerlukan suatu model pembelajaran yang mampu menggiring siswa untuk berpikir induktif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, serta mampu memahami konsep melalui kegiatan inkuiri. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Nurhadi, dkk (2004: 19-20) Pembelajaran yang bersifat kontekstual harus menekan beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan, yaitu: 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari mata pelajaran. 2. Pembelajaran Autentik (Autentic Instruction) yang menekankan siswa untuk mempelajari konteks yang bermakna. 3. Pembelajaran berbasis Inkuiri (Inquiry Based Learning) yang membutuhkan metodologi sains 4. Pembelajaran berbasis Proyek (Project Based Learning) yang

17

memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruksi pembelajarannya dan mengaplikasikannya pada suatu produk nyata. 5. Pembelajaran Berbasis Kerja (Work Based Learning) yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran dan bagaimana materi tersebut digunakan kembali pada tempat kerja tersebut. 6. Pembelajaran Berbasis Jasa Layanan (Service Learning) yang mampu menerapkan pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dalam masyarakat. 7. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) yang dilaksanakan dengan penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, model pembelajaran yang akan dipilih oleh guru untuk diterapkan dalam kegiatan pembelajaran harus memperhatikan tuntutan kurikulum serta jenis bidang studi yang diajarkan. KTSP menuntut setiap pembelajaran bersifat kontekstual pada setiap bidang studi. Salah satu model pembelajaran yang tepat digunakan dalam pembelajaran ilmu alam seperti fisika adalah Pembelajaran berbasis Proyek (Project Based Learning). PBL ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. D. Project Based Learning (PBL)

1. Pengertian Project Based Learning (PBL) Dalam rangka mengembangkan pendekatan kontekstual, maka perlu diimbangi dengan pemilihan model pembelajaran yang sejalan dengan konsep pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Salah satu model yang digunakan dalam pendekatan CTL adalah Project Based Learning (PBL). Menurut Waras (2008) Project Based Learning (PBL) merupakan proyek yang memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance) dimana siswa melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah, dan mensintesis informasi. Hal ini sejalan dengan beberapa pengertian PBL menurut para ahli. Barron (1998) menyatakan PBL is the use of classroom projects, intended to bring about deep learning, where students use technology and inquiry to engage with issues and questions that are relevant to their lives. Kutipan tersebut bermakna bahwa PBL merupakan suatu model dalam pembelajaran berupa penugasan/proyek bersama yang bermaksud untuk memperdalam pelajaran dimana siswa menggunakan teknologi dan penyidikan yang berkaitan dengan masalah dalam kehidupan siswa. Proyek ini menuntut siswa untuk mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang diperolehnya melalui penyidikan yang dibantu dengan berbagai sumber belajar yang digunakan siswa, sedangkan guru hanya bertugas untuk membimbing dan mengarahkan

19

siswa. Pendapat tersebut didukung pula oleh Blumenfeld et al (1991) menyatakan Project-based learning is a comprehensive approach to classroom teaching and learning that is designed to engage students in investigation of authentic problems. Kutipan tersebut dapat menjelaskan bahwa PBL adalah pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar melibatkan siswa dalam penyidikan suatu permasalahan nyata dan dekat dengan kehidupan sekitar siswa. PBL melatih siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran melalui peransertanya dalam menemukan suatu konsep pengetahuan dari hasil penyidikan yang dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Thomas (2000) Project-based learning (PBL) is a model that organizes learning around projects Projects are complex tasks, based on challenging questions or problems, that involve students in design, problem-solving, decision making, or investigative activities; give students the opportunity to work relatively autonomously over extended periods of time; and culminate in realistic products or presentations. Maksud dari kutipan di atas adalah PBL adalah model pembelajaran yang dirangkai dalam suatu proyek. Kegiatan proyek merupakan latihan yang kompleks, berdasarkan pada suatu masalah, keterlibatan siswa dalam desain proyek, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, memberikan siswa kesempatan untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu, dan menghasilkan suatu produk atau presentasi hasil proyek. Dari berbagai pengertian di atas,

dapat disimpulkan Project Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam penyelidikan dari permasalahan yang diberikan dimana permasalahan tersebut berasal dari suatu objek dan puncaknya terdapat pada produk yang dihasilkan siswa. Proyek menempatkan siswa pada peran aktif seperti problem-solver (pemecah masalah), decision maker (pembuat keputusan), investigator (penyelidik) atau documentarian. Project Based Learning (PBL) sering dianggap sama dengan Problem Based Learning (PBL). Namun, kedua model pembelajaran tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Project Based Learning (PBL) pada awalnya merupakan adaptasi dari model Problem Based Learning (PBL) yang diperkenalkan dalam pendidikan kedokteran. Secara umum, kedua model pembelajaran tersebut menekan lingkungan belajar siswa aktif, kolaboratif, dan teknik evaluasi otentik. Akan tetapi, kedua model tersebut berbeda pada objeknya. Menurut Thomas (Waras: 2008) Project Based Learning lebih mendorong siswa pada kegiatan desain, yaitu perumusan kerja, merancang, mengkalkulasi, melaksanakan kerja, dan mengevaluasi hasil. Sedangkan Problem Based Learning lebih mendorong siswa pada kegiatan yang membutuhkan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data. Bertolak dari pendapat tersebut, jelaslah perbedaan antara Project Based Learning dan Problem Based Learning meskipun singkatan untuk nama kedua model pembelajaran tersebut sama. Pada intinya, hakikat proyek adalah adanya objek yang diobservasi/dieksperimenkan secara kolaboratif (kerja dalam kelompok) yang mampu mendukung proses konstruksi pengetahuan dan

21

pengembangan kompetensi siswa. 2. Landasan pemikiran Project Based Learning (PBL) Waras (2008) menyatakan Secara teoritik dan konseptual, Project Based Learning (PBL) dilandasi oleh teori belajar konstruktivistik dan teori belajar eksperiensial (pengalaman). 2 Teori tersebut akan dijelaskan berikut ini.

a. Teori Belajar Konstruktivistik Piaget (Wina : 2007) menyatakan Pada dasarnya setiap individu sejak kecil memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Berdasarkan pendapat tersebut, konstruktivisme merupakan landasan berpikir dalam pembelajaran yang bersifat kontekstual dimana pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pada teori konstruktivistik ini, pembelajaran berfokus pada aktivitas siswa dalam memperoleh pengalaman langsung daripada pasif menerima konsep yang diberikan guru. Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat mengkaitkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang melatarinya dan diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam.

Bagian-bagian dari prinsip belajar konstruktif seperti belajar yang berorientasi pada kontekstual, berorientasi masalah, inkuiri, dan motivasi sosial dapat diterapkan dengan baik melalui kolaborasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Waras (2008) Di dalam kerja suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang dipicu akan memperkuat kerja tim keseluruhan. Hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, sehingga dalam model PBL, siswa menemukan keterampilan merencanakan,

mengorganisasi, negosiasi, dan membuat solusi dari permasalahan yang diberikan, serta keterampilan bertanggungjawab terhadap setiap tugas dan bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Brooks dan Brooks (Nurhadi dkk, 2004: 40) menyatakan bahwa: Ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah sebagai berikut ini: 1) Guru bukan satu-satunya sumber belajar. 2) Guru membawa siswa masuk ke dalam pengalaman-pengalaman yang menentang konsepsi pengetahuan yang suda ada dalam diri mereka. 3) Guru membiarkan siswa berpikir setelah mereka disuguhi beragam pertanyaan dari guru. 4) Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi satu sama lain. 5) Guru menggunakan istilah kognitif seperti klasifikasikan, analisislah, ciptalah, atau rancanglah ketika berikan tugas. 6) Guru membiarkan siswa bekerja secara otonom dan berinisiatif

23

sendiri. 7) Guru tidak memisahkan antara tahap mengetahui dari tahap menemukan. 8) Guru mengusahakan siswa agar dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka. . Sementara itu, saat proyek dilakukan siswa dalam kelompok, maka berdasarkan konstruktivisme sosial menurut Vygotsky (Waras: 2008) Proses interaktif dengan kawan sejawat membantu proses konstruksi pengetahuan. Berdasarkan penjelasan di atas, PBL dapat dipandang sebagai salah satu model pembelajaran yang menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan secara personal dan kelompok.

b. Teori Belajar Eksperiensial (Pengalaman) Belajar yang paling baik adalah melalui aktivitas diri sendiri, pengalaman langsung adalah dasar untuk belajar. Pernyataan ini didukung oleh Dewey (Waras: 2008) Pengalaman adalah elemen kunci dari proses pembelajaran. Siswa mengendalikan belajarnya sendiri, mulai dari pengidentifikasian masalah yang akan dijadikan proyek sampai dengan mengevaluasi hasil proyek. Guru berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan partner belajar. Apa yang dilakukan siswa dalam proyek merupakan pengalaman-pengalaman yang berguna dalam belajar.

3. Kriteria dan Karakteristik Project Based Learning (PBL) Proyek menjadi inti dari model PBL ini. Hiscocks (2008) menyatakan bahwa Project: an activity where the participants have some degree of choice in the outcome. The result is complete and functional, that is, it has a beginning, middle and end. Usually, it spans multiple lab periods and requires work outside scheduled lab periods. Kutipan tersebut dapat diartikan sebagai berikut: Proyek adalah aktivitas dimana partisipan memiliki beberapa tingkatan hasil. Hasilnya komplit dan fungsional, memiliki awal, pertengahan dan akhir. Biasanya membutuhkan waktu untuk praktikum labor dan pencarian data.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka ciri-ciri proyek yang baik adalah sebagai berikut: a. Menarik dan menimbulkan rasa ingin tahu siswa. b. Menyediakan sebuah isi yang bermakna dan original untuk belajar. c. Melibatkan siswa secara kompleks, masalah, dan penyelidikan dalam kehidupan sehari-hari tanpa solusi yang telah ditetapkan sebelumnya.

25

d. Mengizinkan

siswa

untuk

mencari

panduan,

mengambil pilihan, dan keputusan secara kritis. e. Menghubungkan siswa dengan sumber belajar dan ahli. f. Mengharuskan siswa untuk mengembangkan dan memperagakan kemampuan dan pengetahuan yang esensial. g. Mengadaptasi berbagai disiplin ilmu untuk

menyelesaikan masalah dan pemahaman yang mendalam. h. Kesempatan untuk refleksi dan penugasan pribadi. i. Berpuncak pada pameran atau presentasi kepada pendengar atau pengamat sebenarnya. Waras (2008) mengatakan bahwa Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut pembelajaran berbasis proyek. Untuk itu, Thomas (2000) mengatakan The five criteria of PBL are centrality, driving question, constructive investigations, autonomy, and realism.

5 Kriteria PBL tersebut dijelaskan sebagai berikut ini: a. Keterpusatan (centrality) Proyek dalam PBL mencakup pokok kurikulum karena proyek itu sendiri

merupakan strategi guru dalam pembelajaran, sedangkan proyek yang berada di luar kurikulum bukanlah contoh dari proyek PBL walaupun proyek itu dapat memperkaya pengetahuan siswa. b. Berfokus pada pertanyaan atau masalah (driving question) Proyek PBL terfokus pada pertanyaan atau permasalahan yang menggiring siswa pada konsep dasar dan pokok dari suatu disiplin ilmu. c. Melibatkan siswa pada inverstigasi konstruktif (constructive investigations) Proyek PBL menggiring siswa pada proses penyelidikan yang bersifat membangun. d. Mengutamakan otonomi bagi siswa (autonomy) Proyek itu adalah siswa itu sendiri, yang dapat mengantarkan siswa memperoleh tingkatan pengetahuan yang berarti. Proyek adalah intinya, bukan guru. Tidak di-dikte-kan ataupun dipaketkan. Praktek laboratorium dan modul praktikum bukanlah PBL walaupun berpusat pada masalah dan mengandung inti kurikulum. e. Mencerminkan realisme atau keoutentikan proyek (realism) Bentuk proyek yang diberikan memberikan nilai keaslian pada siswa. Maksudnya, karakteristik ini meliputi topik, tugas, aturan, isi, kolaborator, hasil dan penerima hasil proyek yang pada akhirnya berpotensi untuk

27

diterapkan di lapangan sesungguhnya. Berdasarkan kriteria tersebut, PBL mengutamakan kedalaman pemahaman tentang cakupan isi, pemahaman konsep dan prinsip daripada pengetahuan dari fakta, pengembangan kemampuan memecahkan masalah daripada kemampuan membangun blok pengetahuan yang telah disajikan dalam teori yang sudah jadi. Selain itu, PBL mengutamakan ketertarikan/minat siswa daripada mengikuti kurikulum yang telah baku, keluasan, hubungan berbagai disiplin ilmu, mengutamakan data, dan benda-benda karya siswa dari pada guru. PBL mengubah peran guru dalam pembelajaran, yaitu dari pengajar dan pengatur menjadi penyedia informasi dalam pembelajaran. Thomas, Mergendoller, & Michaelson (Waras: 2008) mengatakan Perbedaan yang mendasar antara PBL dengan model konvensional adalah sebagai berikut: a. Kurikulum bersifat jangka panjang, siswa sebagai pusat perhatian dalam menyimak isu dunia nyata yang menarik perhatian siswa, adanya investivasi dan riset yang mendalam, memahami proses, mendorong kemampuan berpikir kritis dan menghasilkan penemuan. b. Di dalam kelas, siswa duduk secara fleksibel, santai, dan kolaborasi dalam tim. Petunjuk pembelajaran fleksibel, banyak perbedaan tingkat dan topik yang dipelajari oleh setiap siswa, dan mendorong siswa bekerja dalam tim yang heterogen untuk mencapai target. c. Guru sebagai fasilitator dan menyediakan sumber daya d. Siswa bertanggung jawab atas diri sendiri, menggambarkan tugasnya sendiri dan bekerja sebagai anggota suatu tim untuk waktu tertentu dengan suatu target. e. Menggunakan alat yang terintegrasi dalam

semua aspek kelas, seperti dalam pemecahan masalah, komunikasi, meneliti hasil, dan mengumpulkan informasi. Sesuai dengan kutipan tersebut, PBL memang memiliki perbedaan yang jelas dengan model konvensional, dimana PBL membiasakan siswa untuk belajar mandiri, aktif, dan kreatif untuk menemukan pengetahuan baru berdasarkan permasalahan kehidupan nyata dengan memanfaatkan semua sumber belajar yang ada di bawah arahan dan bimbingan guru. Oleh karena itu, pembelajaran fisika benar-benar berpusat pada siswa. Berdasarkan perbedaan PBL dengan model konvensional, maka PBL pun dilaksanakan melalui beberapa tahapan/sintaks yang sesuai dengan karakteristik PBL tersebut. Pearlman (2006) mengemukakan tahapan pelaksanaan PBL, yaitu: a. Create teams of three or more students to work on an in-deeply project b. Introduce a complex entry question that establishes students need to know and scaffold the project with activities and new information that depend of the work. c. Structure of project through plans, drafts, timely benchmarks, and finally the teams presentations to an outside panel of exparts drawn from parents and the community. d. Provide timely assessments and/or feedback on the project for content, oral, and written communication, teamwork, critical thinking, and other important skill. Secara umum, PBL diawali dengan membagi siswa menjadi kelompok kecil yang terdiri dari tiga orang atau lebih untuk melaksanakan proyek sederhana. Selanjutnya, guru menginformasikan beberapa pertanyaan penggiring yang

29

dirancang sesuai dengan kebutuhan siswa untuk menyelesaikan proyek dan tergantung pada aktivitas proyek serta informasi baru yang berkaitan dengan kerja proyek. Pendapat lain dikemukakan oleh Intel (2003) In the implementation of project, teacher must to done phase PBL are encourage students to raise questions or problems, plan, and carry out investigations, make observations, and reflect on what they have discovered. Dalam pelaksanaan proyek,

tahapan pelaksanaan PBL yang harus dirancang oleh guru diantaranya menyiapkan pertanyaan penggiring/masalah, siswa diminta untuk menyiapkan perencanaan proyek yang berkaitan dengan masalah tadi, selanjutnya siswa diberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan, kemudian hasil proyek disusun menjadi laporan proyek yang disajikan di depan kelas. Proyek diakhiri dengan refleksi yang dilakukan siswa terhadap hasil proyek masing-masing dibawah bimbingan guru. Pendapat-pendapat sebelumnya juga sesuai dengan pendapat Grant (2002) There common features across all the various implementations : a. introduction to set the stage or anchor the activity b. a task, guiding question or diving question c. a process or investigation that result in the creation of one or more sharable artifacts d. resources, such as learning books in library, browsing internet, and discuss with physics teachers. e. scaffolding, such as teacher conferences to help learners assess their progress, and project template. f. collaborations, including teams, peer reviews, and external content spesialists.

g. oppurtinities for reflection and transfer, such as classroom debriefing sessions, journal entries, and extension activities. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa terdapat beberapa bentuk penerapan PBL dalam proses pembelajaran, yaitu diawali dengan guru menjelaskan kepada siswa tentang rangkaian tahapan aktivitas dalam proyek, selanjutnya siswa diberikan pertanyaan pengiring untuk mengarahkan pemikiran siswa pada masalah yang akan diselesaikan dalam proyek, siswa diberi kesempatan untuk menggunakan sumber seperti buku pelajaran yang disediakan perpustakaan sekolah, internet, atau berdiskusi dengan guru fisika lain. Kemudian, siswa merancang desain proyek berdasarkan permasalahan dan sumber yang telah ditemukan, sedangkan guru mengamati dan menilai setiap perkembangan aktivitas siswa selama proyek. Siswa bekerjasama dengan kelompok belajar yang telah ditentukan sebelumnya untuk menyelesaikan proyek tepat pada waktunya. Proyek diakhiri dengan penampilan hasil proyek dalam diskusi kelas, memuatnya dalam jurnal, dan dapat juga dilanjutkan untuk proyek yang lebih kompleks. Dari beberapa pendapat ahli mengenai tahapan pelaksanaan PBL dalam proses pembelajaran, maka Yudipurnawan (2007) menyatakan Secara umum, pelaksanaan PBL terbagi menjadi enam tahapan (sintaks), yaitu:

31

Tabel 2. Sintaks PBL


No 1. Tahapan Persiapan Tindakan Guru dan Siswa Guru merancang desain atau membuat kerangka proyek yang bermanfaat dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh siswa dalam mengembangkan pemikiran terhadap proyek tersebut sesuai dengan kerangka yang ada, dan menyediakan sumber yang dapat membantu pengerjaannya. Sesuai dengan tugas proyek yang diberikan oleh guru, siswa akan memperoleh dan membaca kerangka proyek, kemudian, berupaya mencari sumber yang dapat membantu. Dengan berdasar pada sumber yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan proyek. Selanjutnya, siswa berupaya berpikir dengan kemampuannya berdasar pada pengalaman yang dimiliki, membuat pemetaan topik, dan mengembangkan gagasannya dalam menentukan sub topik suatu proyek. Siswa bekerja dalam kelompok dalam satu kelas atau antar kelas. Siswa menentukan kegiatan dan langkah yang akan diambil sesuai dengan sub topiknya, merencanakan waktu pengerjaan dari semua sub topik. Jika bekerja dalam kelompok, tiap anggota harus mengikuti aturan dan memiliki rasa tanggung jawab.

2.

Penugasan/ menentukan topik

3.

Merencanakan kegiatan

4.

Investigasi dan Investigasi di sini termasuk kegiatan: menanyakan penyajian pada ahli- ahli yang berkaitan dengan proyek tersebut, saling tukar- menukar pengalaman dan pengetahuan serta melakukan survei. Dalam perkembangannya, terkadang berisi observasi dan eksperimen. Diskusi dapat dilakukan secara kontinu dengan cara yang dirasa efisien oleh kelompok tersebut. Kemudian, penyajian hasil dapat berupa gambar, tulisan, diagram, pemetaan, dan lainnya. Finishing Siswa membuat laporan, presentasi, gambar, dan lain-

5.

No

Tahapan

Tindakan Guru dan Siswa lain. Sebagai hasil dari kegiatannya, guru dan siswa membuat catatan terhadap proyek untuk pengembangan selanjutnya. Peserta menerima feedback atas apa yang dibuatnya dari kelompok, teman, dan guru.

6.

Monitoring evaluasi

/ Guru menilai semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap siswa berdasarkan pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek.

Berdasarkan teori yang dikemukakan di atas, maka peneliti akan melaksanakan pembelajaran sesuai dengan enam tahapan pada sintaks tersebut. Akan tetapi, tindakan pada setiap sintaks dari PBL tersebut belum dapat sepenuhnya diterapkan pada siswa karena pada awalnya PBL sudah diterapkan di negara maju seperti USA dan Inggris. Sementara, Indonesia sebagai negara berkembang belum dapat melakukan setiap tindakan sintaks tersebut karena keterbatasan sarana, pola pikir dan karakteristik siswa, serta lingkungan belajar/sekolah. Oleh karena itu, peneliti menyesuaikan beberapa tindakan dalam sintaks PBL pada penelitian ini, yaitu: a. Persiapan, yaitu peneliti membagi siswa dalam kelompok yang heterogen. Hal ini didukung dengan pendapat Nurhadi dkk (2004: 68) Jumlah anggota dalam tiap kelompok belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 orang. Ada 3 faktor yang menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar, yaitu: (1) taraf kemampuan siswa; (2) ketersediaan bahan, dan (3) ketersediaan waktu. Ketiga faktor tersebut harus dipertimbangkan agar siswa aktif menjalin kerja sama untuk menyelesaikan kerjanya.

33

Sesuai dengan pendapat tersebut, maka peneliti membagi siswa menjadi 5 sampai 6 orang dalam tiap kelompok dengan pertimbangan jumlah siswa yang terdiri dari 34 orang, keterbatasan alat dan bahan yang digunakan, serta heterogennya kemampuan akademik siswa. Selanjutnya, peneliti membuat kerangka proyek sederhana yang pelaksanaannya dapat dilakukan di lingkungan sekolah terutama dalam rangka pemanfaatan alat laboratorium yang sudah ada. b. Proyek yang diberikan kepada siswa merupakan proyek yang tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan mahal karena hal ini akan membebankan siswa. c. Investigasi yang dilakukan siswa dalam proyek berupa observasi dan eksperimen terhadap objek yang yang mewakili materi yang dipelajari. Siswa dilatih mengakses internet untuk mendukung proyek yang dilaksanakan. d. Peneliti menjalin kerjasama dengan guru-guru fisika lainnya untuk melakukan pengamatan selama pelaksanaan proyek berlangsung, sehingga seluruh kelompok dapat diamati secara maksimal. Dengan demikian, tindakan guru dalam merealisasikan metode PBL ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa.

E. Motivasi Belajar Kata motif, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas tertentu demi mencapai tujuan tertentu. Menurut Mc. Donald dalam Sardiman (2009: 73-74), Motivasi yaitu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya perasaan (feeling) dan afeksi seseorang, dan motivasi akan dirangsang dengan tujuan. Suharsimi Arikunto (1990: 67) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi mengemukakan bahwa: Motivasi merupakan konstrak (konsep hipotetik) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan yang

mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang dalam upaya mengubah situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Sedangkan menurut Djamarah dalam Oemar Hamalik (1992: 173) mengatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya efektifitas (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan.

35

Di dalam Wikipedia (----), Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain yaitu tujuan. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat nonintelektual. Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang mempunyai motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Sardiman (2009: 84) menyatakan bahwa untuk belajar sangat diperlukan motivasi. Motivation is an essential condition of learning. Hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Pada penelitian ini indicator motivasi belajar mengacu pada pendapat Keller dalam Reigeluth (1989: 395) yang mengemukakan bahwa ada empat kategori kondisi motivasional yang harus diperhatikan dalam usaha menciptakan pembelajaran yang menarik, bermakna dan memberikan tantangan bagi siswa yaitu minat (interest), relevansi (relecance), harapan (expectancy), dan kepuasan (satisfaction). Guru harus dapat memelihara suasana belajar yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. F. Aktivitas Belajar Menurut Poerwadamita (1991: 108) mengatakan bahwa aktivitas adalah

keaktifan, kegiatan, kesibukan kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan ditiap bagian kerja diperusahaan. Sedangkan menurut S. Nasution dalam Herman (----) mengatakan bahwa aktivitas adalah azas yang terpenting oleh sebab belajar sendiri merupakan suatu kegiatan. Menurut Poerwadamita (1991: 108) mengatakan bahwa belajar adalah suatu kebiasaan berlatih supaya pandai. Dari definisi atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan yang perubahan oleh faktor-faktor yang termasuk latihan. Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek nyata, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dinyatakan bahwa, Aktivitas belajar adalah kegiatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis, mendiskusikan, merefleksikan rangsangan, dan memecahkan masalah Berdasarkan beberapa teori di atas, maka yang dimaksud dengan aktivitas belajar adalah suatu keaktifan, kesibukan atau kegiatan yang dilakukan oleh

37

seorang siswa dalam melaksanakan proses belajar. Sementara itu Nana Sudjana (1989: 61) menyatakan bahwa penilaian proses belajar mengajar adalah melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal: a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajar. b. Terlibat dalam pemecahan masalah. c. Bertanya kepada siswa lain/guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapi. d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah. e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru. f. Menilai kemampuan dirinya sendiri dan hasil-hasil yang diperolehnya. g. Melatih diri dalam memecahkan soal/masalah sejenis. Sementara itu Paul B. Diedrich dalam Sardiman (2009: 101) membuat suatu daftar yang berisi 177 macam kegiatan siswa yang antara lain dapat digolongkan sebagai berikut: h. Visual activities, yang termasuk didalam misalnya, membaca, memerhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. i. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, megeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. j. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato. k. Writing activities, misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. l. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram. m. Motor activities, yang termasuk didalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak. n. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan. o. Emotional activities, seperti, menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup.

Jadi dengan klasifikasi aktivitas seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas yang maksimal dan bahkan memperlancar peranannya sebagai pusat dan transformasi kebudayaan. Kreativitas guru mutlak diperlukan agar dapat merencanakan kegiatan siswa yang sangat bervariasi itu. Di dalam penelitian ini, upaya yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam belajar adalah melalui penerapan pendekatan konflik kognitif berbasis konstruktivis. Melalui pendekatan ini diharapkan siswa akan lebih aktif dan penuh perhatian dalam proses pembelajaran. G. Kerangka Pikir Depdiknas UNP (2003) menyatakan bahwa Kerangka pikir berisi gambaran pola hubungan antar variabel atau kerangka konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan masalah yang diteliti, disusun berdasarkan kajian teoritik. berdasarkan pengertian tersebut, maka hubungan antara variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol dalam penelitian ini akan dijelaskan selanjutnya. Dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara guru dan siswa. Sebelum pembelajaran dilaksanakan, guru terlebih dahulu menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan KTSP. RPP tersebut terdiri dari standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator harus dicapai ketuntasannya oleh setiap siswa sesuai dengan KKM yang ditetapkan. Untuk mencapai tujuan

PROJECT BASED LEARNING GURU (PBL)

KTSP

SISWA
39

kompetensi dasar tersebut, guru harus memiliki keterampilan dalam menyajikan materi dengan baik. Guru pun diberi kebebasan untuk memilih model mana yang tepat untuk melaksanakan suatu kompetensi dasar, karena kemampuan guru dalam memilih model pembelajaran yang tepat akan menentukan keberhasilan pembelajaran yang dilaksanakan. Project Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran fisika. Hal ini disebabkan oleh PBL yang dapat membantu siswa mengaitkan materi pembelajaran yang diperoleh dalam pengalaman hidup mereka melalui kegiatan proyek. PBL ini diterapkan melalui identifikasi masalah dalam bentuk proyek, melakukan penyidikan untuk mencari solusi masalah tersebut, terampil mencari sumber bacaan melalui studi pustaka atau bertanya pada guru fisika lainnya, merumuskan dan menyimpulkan hasil proyek, serta melaporkan hasil proyek di akhir pembelajaran dalam diskusi kelas. Ada tidaknya pengaruh penerapan PBL dalam pembelajaran fisika ini dapat dilihat dari peningkatan motivasi dan aktifitas belajar siswa. Berdasarkan penjelasaan tersebut, maka kerangka pikir dapat ditampilkan pada Gambar 1.

PROSES PEMBELAJARAN FISIKA Motivasi dan Aktifitas belajar


Gambar 1. Skema Kerangka Pikir

B. Hipotesis Kerja Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, dikemukakan hipotesis kerja, yaitu: Terdapat pengaruh yang berarti dalam penerapan Project Based Learning (PBL) terhadap motivasi dan aktifitas belajar fisika siswa kelas XI SMA N 1 Gunung Talang.

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Tes akhir yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol as eksperimen, yaitu pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan model Project Based Learni 41

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang dikemukakan di atas, maka jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Experimental Research). Dalam penelitian eksperimen ini digunakan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan, kelas eksperimen diberi

perlakuan berupa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual dengan model Project Based Learning (PBL), sedangkan kelas kontrol hanya diberi pembelajaran sesuai dengan anjuran KTSP. Rancangan penelitian yang digunakan adalah The Static Group Comparison: Randomized Control Group Only Design yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Tabel 3. Rancangan Penelitian Kelas Eksperimen Kontrol Keterangan: X = Y = Perlakuan X Y Y Tes Akhir

B. Populasi dan Sampel 1.Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa pada kelas XI di SMA

Negeri 1 Gunung Talang yang terdaftar pada tahun ajaran 2010 / 2011 kecuali kelas SBI. 2.Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi (representatif). Dalam penelitian ini, yang menjadi sampel adalah kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk mendapatkan dua kelas sampel ini, digunakan teknik Cluster Random Sampling. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengambilan dua sampel yang homogen secara kognitif adalah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data hasil ujian pertengahan semester (MID) kelas XI untuk mata pelajaran fisika pada seluruh kelas populasi. MID ini dilaksanakan serentak pada seluruh kelas populasi secara resmi dan sesuai jadwal yang ditentukan sekolah. MID menggunakan bentuk soal yang sama dan dikoreksi oleh guru fisika pada masing-masing kelas tersebut. b. Mengambil secara acak dua kelas sampel. c. Menganalisis skor hasil MID dua kelas sampel tersebut dengan melakukan uji normalitas (Lampiran I) dan uji homogenitas (Lampiran II). Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi terdistribusi normal atau tidak,

43

sedangkan uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi homogen atau tidak. Pelaksanaan uji normalitas dan uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui kedua kelas sampel yang diperoleh nantinya harus memiliki kemampuan awal yang sama sebelum diadakan penelitian. d. Setelah kedua kelas sampel diketahui terdistribusi normal dan homogen, dilaksanakan uji kesamaan dua rata-rata melalui uji t (Lampiran III) untuk mengetahui kedua kelas sampel memiliki perbedaan yang berarti atau tidak. e. Dari 2 kelas sampel yang telah diuji kesamaan dua rataratanya tersebut, maka ditentukan secara acak kelas kontrol dan kelas eksperimen. C. Variabel dan Data 1.Variabel Berdasarkan pengaruh terhadap variabel lainnya, maka variabel penelitian terdiri dari: a. Variabel bebas yaitu pembelajaran melalui model Project Based Learning (PBL). b. Variabel terikat yaitu hasil motivasi dan aktifitas belajar selama dan setelah perlakuan diberikan.

c. Variabel kontrol yaitu guru, materi pelajaran, waktu dalam proses pembelajaran yang sama. 2.Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor selama dan setelah pembelajaran dilakukan. Data ini termasuk data primer. D. Prosedur Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan, perlu disusun prosedur penelitian yang sistematis. Secara umum, prosedur penelitian dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. Tahaptahap tersebut akan dijelaskan oleh peneliti sebagai berikut: 1.Tahap persiapan Pada tahap ini, peneliti mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan penelitian, yaitu: a. Menetapkan jadwal penelitian dan

mempersiapkan surat penelitian. b. Menentukan kelas sampel yaitu kelas

eksperimen dan kelas kontrol. c. Mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan kerangka proyek.

45

d. Menyusun instrumen penelitian yaitu soal-soal tes akhir, lembar observasi, dan rubrik penskoran. e. Membagi siswa dalam kelompok heterogen yang terdiri dari 5-6 orang berdasarkan kemampuan akademis. 2.Tahap pelaksanaan Pembelajaran yang diberikan kepada dua kelas sampel berdasarkan Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sedangkan perlakuan terhadap kedua sampel ini berbeda. Perlakuan yang diberikan peneliti pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat diamati pada Tabel 5.

Tabel 5. Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol


NO. KELAS EKSPERIMEN PERTEMUAN 1 Pendahuluan a. a. Guru mencek kehadiran siswa b. b. Memberi apersepsi KELAS KONTROL

NO.

KELAS EKSPERIMEN

KELAS KONTROL

berupa pengajuan pertanyaanpertanyaan c. c. Memotivasi siswa d.

d. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran 2 Kegiatan Inti Tahap 1 : Persiapan a. Siswa dibagi dalam kelompok heterogen yang terdiri dari 5- 6 orang

a.

47

NO.

KELAS EKSPERIMEN

KELAS KONTROL

b.

b. Siswa menerima kerangka proyek yang telah didesain guru Tahap 2:Penugasan/penentuan topik c. Siswa secara berkelompo k diberi kesempatan untuk memahami kerangka proyek dan membagi tugas pada masingmasing anggota kelompok untuk mencari sumber yang berkaitan dengan proyek

c.

NO.

KELAS EKSPERIMEN

KELAS KONTROL

d. Siswa mulai merancang desain proyek

d.

49

NO.

KELAS EKSPERIMEN

KELAS KONTROL

e.

Tahap 3 : Merencanakan kegiatan e. Guru mengecek desain proyek yang telah dirancang siswa agar guru dapat menentukan proyek setiap kelompok layak untuk dilaksanaka n

NO.

KELAS EKSPERIMEN Tahap 4 : Investigasi dan penyajian f. Siswa dalam kelompok masingmasing mulai melaksanak an proyek dalam jangka waktu yang telah ditentukan g. Siswa mendapat kesempatan diskusi dengan guru fisika lainnya sebagai ahli/narasum ber yang membantu proyek di luar kelas/laborat orium

KELAS KONTROL f.

g.

51

NO.

KELAS EKSPERIMEN

KELAS KONTROL

h.

h. Guru mengawasi dan membimbin g siswa selama kegiatan proyek berlangsung 3 Penutup a. Siswa diarahkan untuk menyiapkan laporan proyek yang telah mereka lakukan a.

NO.

KELAS EKSPERIMEN sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan.

KELAS KONTROL

53

NO.

KELAS EKSPERIMEN PERTEMUAN 2

KELAS KONTROL

Pendahuluan a. Guru mencek kehadiran siswa. b. Memberi apersepsi berupa pengajuan pertanyaan mengenai kendala yang dihadapi setiap kelompok dalam menyiapkan laporan percobaan. c. Memotivasi siswa

a. Guru mencek kehadiran siswa.

b. Memberi apersepsi berupa pengajuan pertanyaan mengenai kendala yang dihadapi setiap kelompok dalam menyiapkan laporan proyek. c. Memotivasi siswa 2 Kegiatan Inti Tahap 5 : Finishing a. Siswa langsung duduk pada kelompok yang telah ditentukan sebelumnya. b. Siswa diarahkan untuk mengumpulkan laporan hasil proyek kepada setiap ketua kelompok c. Setiap kelompok melaporkan proyeknya dalam diskusi kelas d. Siswa dari kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi

a. Siswa membuat laporan untuk menyampaikan hasil kegiatan mereka b. Siswa diarahkan untuk mengumpulkan laporan hasil percobaan kepada setiap ketua kelompok c. Setiap kelompok melaporkan hasil kegiatan percobaan mereka dalam diskusi kelas d. Siswa dari kelompok yang lain diberi kesempatan untuk menanggapi

NO.

KELAS EKSPERIMEN penyajian laporan hasil percobaan temannya di bawah bimbingan dan arahan guru Tahap 6 : Evaluasi e. Guru menilai semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap siswa berdasarkan partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek. Penutup a. Siswa bersama guru menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dipelajari. b. Guru memberikan tugas kepada siswa

KELAS KONTROL penyajian laporan hasil proyek temannya di bawah bimbingan dan arahan guru

e. Guru menilai laporan setiap kelompok berdasarkan pembahasan hasil percobaan dan kerjasama antara anggota kelompok selama praktikum berlangsung

a. Siswa bersama guru menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dipelajari. b. Guru memberikan tugas kepada siswa

3.Tahap penyelesaian Hal- hal yang dilakukan peneliti pada tahap ini adalah: a. Mengadakan tes hasil

belajar pada kedua sampel setelah penelitian berakhir guna mengetahui hasil

perlakuan yang diberikan.

55

b. Mengolah data dari kedua sampel, baik kelas

eksperimen maupun keals kontrol. c. Menarik kesimpulan dari hasil yang didapat sesuai dengan teknik analisis

data yang digunakan.

E. Instrumen Penelitian Nana (2007: 261) menyatakan bahwa Instrumen adalah alat pengambil data dalam penelitian. Instrument penelitian yang dimaksud mencakup insrument untuk menilai input / program pendidikan, proses pelaksanaan maupun hasil yang dicapai. Instrumen yang digunakan adalah tes tertulis untuk aspek kognitif,

lembar observasi atau pengamatan untuk aspek afektif , dan rubrik penskoran untuk aspek psikomotor. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini akan dijalaskan sebagai berikut: 1.Penilaian ranah kognitif Instrumen penelitian dalam ranah kognitif umumnya menggunakan tes

tertulis yang terdiri tes uraian dan objektif. Namun, dalam penelitian ini, digunakan instrumen berupa tes objektif dengan bentuk pilihan ganda. Hal ini disebabkan oleh kelebihan tes objektif berbentuk pilihan ganda memiliki beberapa kelebihan dari tes tertulis lainnya sesuai dengan pendapat Nana (2007: 269) Materi yang diujikan dapat mencakup sebagian besar dari bahan pelajaran yang telah diberikan, jawaban siswa dapat dikoreksi/dinilai dengan mudah dan cepat dengan menggunakan kunci jawaban, serta jawaban untuk setiap pertanyaan sudah pasti benar atau salah, sehingga penilaiannya bersifat objektif. Agar tes menjadi instrumen/alat ukur yang baik, maka perlu dilakukan langkah- langkah sebagai berikut:

a. Membuat kisi- kisi soal tes akhir b. Menyusun berdasarkan tes kisiakhir kisi

yang telah dibuat c. Menganalisis hasil uji

coba tes secara statistik, yaitu: 1) Validitas Validitas adalah suatu keadaan yang mengambarkan tingkat instrumen yang bersangkutan mampu mengukur yang hendak diukur.

57

Suatu tes dikatakan valid apabila mampu mengukur tujuan yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam penyusunan tes ini harus berpedoman kepada kurikulum dan indikator yang sesuai dengan materi pelajaran fisika kelas XI semester 1. 2) Reliabilitas Reliabilitas merupakan ketepatan suatu tes apabila digunakan kepada subjek yang sama. Untuk menentukan reliabilitas tes digunakan rumus K-R 21 yang dikemukakan oleh Suharsimi (2005: 103) yaitu:

M( n M n rH = 1 n 1 nSt 2

) ....................................................(1)

59

dimana

M=

x N

dan

S2 =

N x 2 (x )2 N( N 1)

Keterangan: rH n M N S2 x : reliabilitas tes secara keseluruhan

: jumlah butir soal tes : rata- rata skor tes : jumlah peserta tes : varians total : skor peserta tes

Klasifikasi tingkat reliabilitas soal digunakan skala yang dikemukakan oleh Slameto (2001: 215) pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Indeks Reliabilitas Soal No. 1 2 3 4 5 Indeks Reliabilitas 0,00 0,20 0,20 0,40 0,40 0,60 0,60 0,80 0,80 1,00 Klasifikasi Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi

Berdasarkan Tabel 6, hasil analisis reliabilitas (Lampiran IX) menunjukkan bahwa soal uji coba tes akhir memiliki reliabilitas 0,66 dengan kriteria tinggi. 3) Menentukan tingkat kesukaran soal Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya soal

disebut tingkat kesukaran (P). Menurut Suharsimi (2005: 208), untuk menentukan tingkat kesukaran soal digunakan persamaan berikut:

61

P=

B Js

...........................................................(2)

Keterangan: P B Js : tingkat kesukaran : jumlah siswa yang menjawab soal dengan benar : jumlah seluruh siswa peserta tes

Tingkat kesukaran soal ini dapat diklasifikasikan seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Kesukaran Soal No. 1 2 3 Tingkat Kesukaran 0,00 0,30 0,31 0,70 0,71 1,00 Klasifikasi Sukar sedang mudah

4) Menghitung daya beda (D) Daya beda ditentukan dengan melihat kelompok atas dan kelompok bawah berdasarkan skor total. Menurut Sumarna (2004: 2425) Skor peserta tes diurutkan dari skor tertinggi sampai skor terendah, kemudian menentukan kelompok atas dan kelompok bawah. Umumnya, para ahli membagi 27 atau 33 % kelompok atas dan 27 atau 33 % kelompok bawah. Rumusan untuk menghitung daya beda tersebut adalah sebagai berikut:

D=

Ba B b Ja Jb

..................................................(3)

Keterangan: D Ba Bb Ja Jb : daya pembeda : jumlah kelompok atas yang menjawab benar : jumlah kelompok bawah yang menjawab benar : jumlah peserta kelompok atas : jumlah peserta kelompok bawah

Indeks daya beda soal ini dapat diklasifikasikan pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Indeks Daya Beda Soal No. 1 2 3 4 5 Indeks Daya Beda Minus 0,00 0,20 0,21 0,40 0,41 0,70 0,71 1,00 Klasifikasi Jelek Sekali Jelek Cukup Baik Baik sekali 2.Penilaian ranah afektif Penilaian yang dilakukan untuk ranah afektif ini adalah sikap dan prilaku siswa selama proses pembelajaran terutama yang berkaitan dengan treatment yang diberikan dalam penelitian. Penilaian ranah afektif ini menggunakan format observasi atau pengamatan sebagai instrumen

penelitiannya. Format obeservasi tersebut memuat aspek-aspek yang diamati dari sikap siswa selama proses pembelajaran. Aspek-aspek pengamatan tersebut merupakan sikap siswa yang muncul saat pelaksanaan proyek, yaitu mau bertanya, keseriusan/ tekun dalam bekerja, menghargai teman, kehati-hatian

63

dalam bekerja, dan kerja sama. Setiap aspek diberi skor berupa angka. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Slameto (2001: 124) Skala penilaian dibuat dengan rentangan dari 1 sampai 5 yang ditafsirkan sebagai berikut: 1 = tidak pernah 2 = jarang 3 = kadang-kadang 4 = seringkali 5 = selalu Akan tetapi, pada akhir skor tersebut dirata-ratakan dan dikonversikan dalam bentuk persentase. 3.Penilaian ranah psikomotor Penilaian ranah psikomotor dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dengan mengacu pada rubrik penskoran, di akhir pembelajaran mengacu pada laporan kerja proyek, dan di akhir penelitian mengacu pada tes unjuk kerja. Rubrik penskoran berisi kriteria penilaian langkah-langkah kerja sistematis yang harus dilakukan siswa saat unjuk kerja. Depdiknas (2003) menyatakan Pengisian rubrik penskoran tersebut memiliki pedoman penskoran: A (bobot 4) : kriteria sangat tepat B (bobot 3) : kriteria tepat C (bobot 2) : kriteria kurang tepat D (bobot 1) : kriteria tidak tepat E (bobot 0) : kriteria tidak tahu apa- apa Karena penilaian pada ranah psikomotor terbagi dalam tiga tahapan, maka untuk menentukan nilai akhir ditentukan kriteria penilaian dari ketiga tahapan tersebut. Menurut Masnur (2003) : Penilaian akhir proyek dapat

ditentukan dari 20 % dari penilaian proses, 30 % dari penyajian laporan, dan 50 % dari tes unjuk kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Suharsimi (2005: 278) : Nilai akhir diperoleh dari nilai tugas, nilai harian, dan nilai ujian akhir dengan bobot masing-masing 2, 3, dan 5. Dalam hal ini, nilai tugas merupakan penilaian hasil proyek, nilai harian merupakan penilaian proses, dan nilai ujian akhir merupakan penilaian tes unjuk kerja. Oleh karena itu, peneliti menentukan nilai akhir ranah psikomotor setiap siswa dengan rumusan sebagai berikut :

65

20.NP + 30.NH + 50.NT 100 NA = .....................................................................(4) Keterangan: NA NP NH NT : Nilai akhir ranah psikomotor : Nilai proses (selama pembelajaran berlangsung) : Nilai hasil proyek : Nilai tes unjuk kerja (pada akhir pembelajaran)

F. Teknik Analisis Data Analisis data bertujuan untuk menguji apakah hipotesis kerja yang diajukan dalam penelitian ini diterima atau ditolak. Berikut akan dibahas teknik analisis data pada masing- masing ranah: 1.Ranah Kognitif Analisis data pada ranah kognitif adalah uji kesamaan dua rata-rata. Sebelum melaksanakan uji tersebut harus dipenuhi syarat- syarat berikut: a. Sampel berasal dari populasi yang terdistribusi normal b. Kedua kelas mempunyai varians yang homogen Oleh karena itu, perlu dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan homogenitas. a. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk melihat apakah sampel yang berasal dari populasi yang terdistrbusi normal. Untuk menguji normalitas digunakan uji

Lilliefors dengan langkah- langkah sebagai berikut: 1) Data X1, X2, X3, ..., Xn yang diperoleh dari data yang terkecil hingga data yang terbesar. 2) Data X1, X2, X3, ..., Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3, ..., Zn dengan rumus :

67

Zi =

Xi X S

....................................................(5)

Keterangan: Xi = skor yang diperoleh siswa ke- i

= skor rata-rata = simpangan baku 3) Dengan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F (Zi) = P (Z < Zi) 4) Dengan menggunakan proporsi Z1, Z2, Z3, ..., Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi, jika proporsi ini dinyatakan dengan S (Zi), maka:

69

S (Z i ) =

Z1, Z 2 , Z 3,..., Z

yang

Zi ...............................(6)

5) Menghitung selisih F(Zi) S(Zi) yang kemudian tentukan harga mutlaknya 6) Diambil harga yang paling besar diantara harga mutlak selisih tersebut dan disebut Lo. 7) Membandingkan nilai Lo dengan nilai krisis Lt yang terdapat penada taraf nyata = 0,05. kriteria pengujian adalah sebagai berikut: i. Jika Lo < Lt, maka sampel terdistribusi normal ii. Jika Lo > Lt, maka sampel tidak terdistribusi normal b. Uji Homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah kedua sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Untuk mengujinya, digunakan uji F dengan langkah- langkah sebagai berikut: 1) Menghitung varians masing- masing kelompok data kemudian dihitung harga F dengan rumus:

S2 F= 1 S2 2
Keterangan: F S12 S22

......................................................(7)

= varians kelompok data = varians hasil belajar kelas eksperimen = varian hasil belajar kelas kontrol

2) Jika harga Fhitung sudah didapatkan, maka harga Fhitung tersebut dibandingkan dengan harga Ftabel yang terdapat dalam daftar distribusi dengan taraf signifikan 5 % dan dkpembilang = n11 dan dkpenyebut = n21. Bila harga Ftabel lebih besar dari Fhitung, berarti kedua kelompok mempunyai varians yang homogen. Sebaliknya, jika harga Ftabel lebih kecil dari Fhitung, berarti kedua kelompok tidak mempunyai varians yang homogen. c. Uji Hipotesis Hasil uji normalitas dan uji homogenitas menunjukkan bahwa kedua sampel terdistribusi normal dan kedua kelompok sampel homogen, maka dalam pengujian hipotesis statistik yang digunakan adalah uji t dengan rumus:

71

t=

X1 X 2 1 1 S + n1 n 2

..........................................................................(8) S2

(n1 1)S12 + (n 2 1)S2 2 n1 + n 2 2

.......................................................(9)

Keterangan:

X1

= nilai rata- rata kelas eksperimen

73

X2

= nilai rata- rata kelas kontrol = standar deviasi kelas eksperimen = standar deviasi kelas kontrol = standar deviasi gabungan = jumlah siswa kelas eksperimen = jumlah siswa kelas kontrol

S1 S2 S n1 n2

harga thitung dibandingkan dengan ttabel yang terdapat dalam tabel distribusi t. Kriteria pengujian adalah terima Ho jika t(1-1/2 ) < t < t(1-1/2 ) pada taraf nyata 0,05. Untuk harga lainnya, Ho ditolak.

2.Ranah Afektif Teknik analisis data yang digunakan untuk ranah afektif adalah menaksir proporsi. Slameto (2001: 115) menyatakan Analisis data hasil observasi dapat dilakukan menjumlahkan item-item dari tiap aspek yang dicek () kemudian ditentukan persentasenya, selanjutnya dikonversikan dalam bentuk huruf. Sesuai dengan pendapat tersebut, lembar observasi ranah afektif dalam penelitian ini diisi dengan cara mencek skor yang diperoleh siswa untuk setiap aspek pengamatan selama pembelajaran berlangsung. Penilaian afektif ini dilakukan selama 10 kali pertemuan dengan 6 aspek pengamatan dan skor maksimum setiap aspek adalah 5, sehingga skor maksimum lembar pengamatan = 5 (skor maksimum tiap aspek) x 6 (jumlah aspek pengamatan) x 10 (jumlah pertemuan) = 300. Oleh karena itu, proporsi afektif yang diperoleh siswa selama pembelajaran berlangsung adalah:

SP x 100 % SA = SM .......................................................................................(10) Keterangan: SA SP SM : Proporsi skor akhir (%) : Jumlah skor perolehan siswa sesuai dengan tanda cek yang diberikan : Jumlah skor maksimum lembar pengamatan

Sesuai dengan Depdiknas (2003) Penilaian ranah afektif yang menggunakan skala bertingkat dari 1 sampai 5 misalnya, dapat dikonversikan menjadi huruf sesuai dengan jumlah kategori yang diinginkan peneliti. Oleh karena itu, proporsi skor siswa dikonversikan dalam bentuk kualitatif dengan

menggunakan kriteria pada Tabel 9.

Tabel 9. Kriteria konversi nilai ke huruf Skor total Angka 242-300 182-241 123-181 63-121 81-100 61-80 41-60 21-40 Nilai konversi Huruf A B C D Sangat baik Baik Cukup baik Kurang baik Kategori

Proporsi yang diperoleh siswa ditampilkan dalam bentuk grafik hubungan rata-

75

rata proporsi skor siswa dalam kelas setiap pertemuan untuk setiap aspek pengamatan, sehingga jelas terlihat aspek afektif yang benar-benar dipengaruhi oleh PBL. 3.Ranah Psikomotor Teknik analisis data yang digunakan untuk ranah psikomotor pada penelitian ini adalah sama dengan teknik analisis data pada ranah kognitif.

You might also like