You are on page 1of 11

UTSMAN BIN AFFAN RA (Nepotisme dan Pemberontakan) Oleh: Halid Alkaf, M.Ag.

* Abstract : The governance of Utsman ra held with the flame of rebellion and nepotism system having effect in the early history of Islam as the al-fitnah al-kubra. But, Utsman ra applied successfully the great meritorious on Islamic dakwah development and expantion of Islamic power territory; and this glorious moments is not neglected at all.

Keywords : al-fitnah al-kubra, Dewan Syura, tahkm, tribal minded, Cyprus, Byzantium, nepos, syr, Mesir, Bashrah, Kufah, spoil system, al-Sbiqn al-Awwaln, khilfah, Mushaf Utsmani, Romawi.

Pengantar Ibnu Hazm al-Andalusi, salah satu tokoh Islam terkenal dari Andalusia (sekarang Spanyol), dalam karyanya Jamharah Ansb al-Arab, menjelaskan bahwa salah satu karakter khas bangsa Arab yang masih terpelihara sejak masa Jahiliyah adalah kuatnya pemeliharaan mereka terhadap nasab (keturunan). Dalam sebuah riwayat disebutkan sebagai berikut:

. :

Rasulullah saw. menyuruh Hassan bin Tsabit ra agar mencari tahu hal-hal yang berkenaan dengan ilmu nasab dari Abu Bakr ra. Lalu Umar bin alKhaththab ra berkata, Pelajarilah nasabmu sehingga dapat menjalin silaturrahim dengan sanak familimu!.1

Seruan di atas memberikan indikasi kuat bahwa bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang sangat memperhatikan tali hubungan kekerabatan. Tidak mengherankan jika kemudian mereka terbagi ke dalam beberapa golongan dan suku. Al-Qu`ran sendiri juga mengisyaratkan akan hal itu.
Dosen tetap Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. 1 Ibnu Hazm al-Andalusi, Jamharah Ansb al-Arab, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1983, hlm: 5.
*

.(13 : )
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Pungkasan dari ayat tersebut adalah Sesungguhnya paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa. Takwa dipertegas Allah sebagai parameter kemuliaan, bukan bangsa dan suku, apalagi harta dan jabatan. Dengan kata lain, takwa adalah nilai-nilai kemanusiaan universal yang dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan dan manusia. Nilai-nilai ini melampaui sekat-sekat parsial dari unsur-unsur kehidupan manusia, seperti kesukuan, golongan, ras, status sosial, jabatan, dan lainnya. Nabi Muhammad saw selaku utusan Allah sebagai penerima otoritas nilai-nilai ketuhanan (wahyu), dianggap sebagai orang yang paling sukses dalam membudayakan sekaligus melestarikan nilai-nilai universal itu. Demikian juga dua penggantinya: Umar bin al-Khaththab ra dan Abu Bakr al-Shiddiq ra, yang dianggap sukses mengemban misi tersebut. Namun kesuksesan dua khalifah lapis pertama itu, tidak diikuti oleh dua khalifah lapis kedua: Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abu Thalib ra yang justru berakibat pada lahirnya tragedi kemanusiaan yang dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-fitnah al-kubr (bencana besar) yang berakibat pada terbunuhnya khalifah Utsman ra dan tahkm (arbitrasi) yang melengserkan kekhalifahan sah Ali ra akibat siasat politik Muawiyah ra yang juga sahabat senior Nabi saw. Kita dapat berasumsi bahwa pada masa kepemimpinan Utsman ra misalnya, pilar-pilar kekhalifahan mulai rapuh. Sendi-sendi syr (musyawarah), keadilan, pemerataan, dan mulai tergerus; berubah menjadi sistem dan kultur nepotis, individualistik, dan elitis. Pergantian dari khalifah Umar ra ke khalifah Utsman ra diillustrasikan oleh Ahmad Syalaby sebagai perubahan dari keradikalan dan ketegasan menuju kelonggaran, kelunakan, dan sikap ragu-ragu. Keberadaan Utsman ra yang dikenal dermawan, lemah lembut (bahkan cenderung permisif), dan sikap keragu-raguan dalam mengambil kebijakan, adalah

sumber utama timbulnya al-fitnah al-kubra seperti disinggung di atas. Di samping itu, dorongan dan desakan dari pembesar Bani Umayyah dan kerabat dekatnya dalam mewujudkan ambisi pribadi, juga menjadi pendorong utama lahirnya tragesi kemanusiaan tersebut. Belum lagi karena watak dan karakteristik bangsa Arab yang cenderung tribal minded (kecenderungan kuat untuk mempertahankan tradisi kesukuan). Situasi dan kondisi seperti ini berpotensi besar mendorong terciptanya iklim yang tidak mengenakkan itu. Tentang Utsman bin Affan ra Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin al-Ash bin Umayyah bin Kaab bin Luay bin Ghalib bin al-Quraisy al-Umawiy. Lahir pada 576 M, sekitar lima tahun setelah kelahiran Nabi saw. Utsman ra termasuk golongan yang oleh Nabi saw dikategorikan sebagai al-Sbiqn al-Awwaln (golongan yang pertama masuk surga dari umat Muhammad sawpen). Dia juga salah satu golongan pertama yang memeluk Islam setelah Khadijah ra dan Ali ra, atas ajakan Abu Bakr ra.2 Pribadi Utsman ra dikenal dengan kesederhanaannya, lemah lembut, dan low profile. Menurut suatu riwayat, dia menggunakan sebagian besar kekayaannya untuk kepentingan Islam, membekali umat Islam dengan 950 onta, 50 keledai, dan 1000 dirham dalam ekspedisi yang dipersiapkan Nabi saw untuk melawan pasukan Byzantium yang berkumpul di perbatasan Palestina. Dia juga membeli mata air Romawi yang terkenal dengan harga 20000 dirham dan diwaqafkan untuk kepentingan umat Islam.3 Dalam soal suksesi kepemimpinan (khilfah), prosedur pemilihan Utsman ra agak berbeda dengan dua pendahulunya. Dia terpilih setelah melalui pembentukan Dewan Syura yang terdiri dari enam orang sahabat senior: Utsman ra sendiri, Ali bin Abu Thalib ra, Thalhah ra, Zubeir ra, Saad bin Abu Waqqash ra, dan Abdurrahman bin Auf ra. Keenam sahabat inilah yang nantinya bertanggung jawab untuk memilih seorang khalifah. Terpilihnya Utsman ra menjadi khalifah ditempuh setelah Abdurahman bin Auf meminta kepada dua kandidat terkuat: Ali ra dan Utsman rasetelah empat kandidat lainnya menyatakan munduruntuk berpegang teguh pada al-Qur`an dan
2 3

Jalaluddin al-Suyuthi, Trkh al-Khulaf`, Darul Fikr, Beirut, tt, hlm: 138. Hassan Ibrahim Hassan, Trkh al-Islm, Maktabah al-Nahdhah al-Mishri, Kairo, 1964, hlm: 235.

sunnah Nabi saw serta sunnah khalifah terdahulu, yaitu mensyaratkan pesan Umar ra agar Utsman ra dan Ali ra tidak boleh mengangkat keluaga mereka dalam jajaran pemerintahan. Ali ra menolak persyaratan itu karena dia dapat berijtihad sendiri untuk memilih orang dari golongan manapun. Dengan penolakan Ali ra, maka Abdurahman bin Auf dan orang banyak membaiat Utsman ra sebagai khalifah ketiga.4 Pada waktu Utsman ra dibaiat jadi khalifah, dia sudah berumur 70 tahun dengan masa pemerintahannya yang berlangsung sekitar 12 tahun (24 - 36 / 644 - 656 ). Ketuaan umurnya inilah yang menjadi salah satu sebab lemahnya pemerintahan Utsman ra ketika menjadi khalifah. Di samping itu, desakan dari kerabat dan orang-orang dekat di sekitar Utsman ra yang memiliki ambisi kekuasaan, juga menjadi faktor determinan lainnya yang berakibat pada terbentuknya pemerintahan nepotis. Secara umum, masa pemerintahan Utsman ra dapat dibagi menjadi dua periode: enam tahun pertama dan enam tahun kedua. Pada periode pertama, pemerintahan Utsman ra mengalami kemajuan dan kesuksesan. Di antara kemajuan yang dia capai adalah perluasan imperium Islam sampai ke Asia dan Afrika. Bahkan Utsman ra bisa dipandang sebagai pelopor perluasan Islam pertama hingga ke luar jazirah Arabyang kemudian diteruskan oleh Dinasti Umayyah sampai ke Eropa dan mengungguli kekuasaan Byzantium. Utsman ra juga berhasil meredam pemberontakan orang-orang Persia yang dihasut oleh Yazdajird III.5 Raihan Utsman ra bisa disebut sebagai salah satu ekspansi umat Islam terbesar pada saat itu. Faktor kekayaan, kekuatan pasukan, dan kemampuan membangun manajemen birokrasi yang efektif-efisien, menjadi beberapa faktor yang mengantarkan kesuksesan tersebut. Pada masa Utsman ra juga dibangun angkatan laut pertama yang berpusat di Suriah di bawah pimpinan Muawiyyah ra untuk menandingi angkatan laut Romawi. Bahkan dia kemudian mengirim angkatan laut ke daerah Cyprus dan dapat mengalahkan penguasa Romawi sehingga mereka harus membayar upeti pada khalifah. Jasa Utsman ra
Menurut suatu riwayat, Umar memilih keenam sahabat senior itu dengan pertimbangan karena kesemuanya adalah sahabat Muhajirin dan golongan bangsa Quraisy yang sebelumnya oleh Nabi saw ditegaskan sebagai calon penghuni syurga, bukan karena representasi dari suatu golongan atau suku tertentu. Lihat dalam Munawwir Sjadzali, Islam and Governmental System, INIS, Jakarta, 1991, hlm: 20. 5 Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1996, hlm: 102. Lihat juga S.F. Mahmud, The Story of Islam, Oxford University Press, London, hlm: 31.
4

yang tak kalah pentingnya adalah penyusunan kitab suci al-Qur`an dalam satu standar baku yang kemudian dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani.6 Pada periode kedua (enam tahun paroh kedua), pemerintahan Utsman ra mulai menghadapi beragam permasalahan di dalam negeri. Salah satu permasalahn yang sangat menonjol adalah pengangkatan sebagian besar keluarga dan kerabat Utsman ra di jajaran elit pemerintahannya. Keadaan ini diperburuk dengan tersebarnya berita di setiap provinsi seperti Kufah, Bashrah, dan Mesir tentang kebencian rakyat terhadap gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman ra. Tuduhan-tuduhan ini menambah sulitnya posisi Utsman ra dan bertambah jauhnya para sahabat senior darinya. Akhirnya, klimaks dari tuduhan itu adalah terjadinya pemberontakan di Madinah yang didukung para utusan dari Mesir hingga berakibat pada terbunuhnya khalifah Utsman ra.7 Nepotisme: Motif dan Akibat yang Ditimbulkan Istilah nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos yang berarti keponakan atau cucu. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menjelaskan praktik favoritisme yang dilakukan oleh pimpinan gereja Katolik Roma pada abad pertengahan, yaitu dengan cara memberi jabatan kepada sanak famili atau orang yang mereka sukai. Pengertian ini kemudian berkembang hingga dewasa ini, nepotisme bukan hanya ditujukan pada setiap praktik favoritisme dalam birokrasi pemerintahan, tapi juga pada birokrasi swasta.8 Dalam istilah disiplin ilmu sosial-politik, praktek nepotisme menyerupai model pemerintahan aristokrasi atau oligarki. Ia dianggap sebagai spoil system; suatu sistem yang mengarah pada penempatan tugas dan wewenang tanpa memperhatikan parameterparameter kualitatif, pemerataan, dan keterbukaan. Sistem ini dipandang kurang efektif bahkan cenderung destruktif, karena menutup kemungkinan adanya kompetisi yang lebih sehat, dinamis, dan terbuka. Dalam kaitannya dengan hal ini, sosiolog muslim terkemuka, Ibn Khaldunsebagaimana dikutip Albert Houranimemberi pandangan sebagai berikut:
6

142.

Syed Mahmudunnasir, Islam: Its Concept and History, Kitab Bavan, New Delhi, 1981, hlm: 141

7 Sir Williem Muir, The Caliphate: Its Rise, Decline and Fall, Darf Publisher, London, 1984, hlm: 138 139. 8 Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi Nasional Indonesia (entri nepotisme, jilid 11), P.T. Cipta Andi Pustaka, Jakarta, 1985, hlm: 85.

for Ibn Khaldun, the islamic state, like all stable and virtuous state, is a blend of kingship (mulk) and sharia state. True as this was of the sultanates of its time, its was true also of the Ottoman empire, with in a sense was the heir of the whole political defelopment of islam . First of all it was a dynastic kingdom, with is loyalty focused upon an individual or rather a group of individuals, a family. ( menurut Ibnu Khaldun, negara Islam, seperti halnya negara-negara yang bersih dan stabil, adalah perpaduan antara negara (model) kerajaan dan syariat. Gambaran tepat tentang sistem kesultanan di masanya, seperti ditunjukkan secara tepat pada kekuasaan Utsmani yang merupakan warisan dari perkembangan politik Islam. Hal pertama dari dinamika kerajaan ini (kekuasaan Utsman) adalah sebuah dinasti yang loyalitasnya difokuskan pada perorangan atau menyerupai kelompok-kelompok individu atau famili).9

Walaupun belum ada parameter yang jelas tentang apakah praktik nepotisme dalam sistem pemerintahan itu seluruhnya jelek. Namun dalam konteks demokrasi (misalnya konsep syr), nepotisme tetap dipandang sebagai cacat dan kelemahan yang dapat mematikan potensi dan peran pihak lain (yang tidak termasuk dalam lingkaran kekerabatan) sehingga obyektivitas dan kritisitas menjadi tidak berfungsi. Dalam konteks masa pemerintahan Utsman ra, gejala praktik nepotisme itu dapat ditunjukkan dengan tampilnya sederetan orang atau tokoh yang mempunyai hubungan kekerabatan di dalam struktur pemerintahan, antara lain : - Marwan bin Hakam, saudara sepupu Utsman ra yang diangkat sebagai Sekretaris Negara. - Abdullah bin Abu Sarh, saudara sesusuan yang menjabat sebagai gubernur Mesir, menggantikan Amr Ibn Ash ra. - Abdullah bin Amr, keponakan Utsman ra, seorang pemuda 25 tahun yang menjadi amr (pemerintah) di Bashrah menggantikan Abu Musa al Asyary ra. - Walid bin Uqbah, saudara seibu Utsman ra, menggantikan Saad bin Abu Waqqash ra sebagai gubernur Irak. Oleh karena Walid dikenal sebagai pemabuk, Utsman ra kemudian menggantikannya dengan Saad bin Ash yang juga keponakan Utsman ra sendiri.
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798 1939, Cambridge University Press, London, 1962, hlm: 25.
9

- Muawiyyah bin Abu Sofyan, saudara sepupu Utsman ra, yang dikukuhkan lagi sebagai gubernur Suriah dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas.10 Tidak terlalu mengherankan jika kemudian Utsman ra dipandang oleh sebagian besar umat Islam sebagai orang yang cacat dalam kepemimpinannya, karena telah mempraktikkan budaya nepotisme. Namun yang perlu ditelaah lebih jauh adalah, mengapa Utsman ra sampai melakukan praktik nepotisme? Beberapa catatan di bawah ini mungkin dapat dijadikan bahan pertimbangan : - Ambisi dari pihak Bani Umayyah untuk mengembalikan citra dirinya di kalangan bangsa Arab. Sebelumnya, pamor bangsa Arab lebih didominasi oleh keluarga Bani Hasyim karena kehadiran dan kewibawaan Nabi saw. Dengan tampilnya Utsman ra sebagai representasi kelompok Bani umayyah, terbukalah kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkan posisi tersebut. - Pada saat mengendalikan tapuk kepemimpinan, Utsman ra sudah berumur 70 tahun. Secara psikologis, orang yang sudah berusia lanjut umumnya bersikap lunak dan cenderung pada kemapanan (status quo), di samping ketegasan dan produktivitasnya yang juga menurun. - Utsman dikenal sebagai tokoh yang low profile, dermawan, dan pemaaf, bahkan cenderung kompromis, seperti terlihat jelas pada kasus pembagian harta rampasan perang di wilayah Afrika.11 Situasi dan kondisi yang demikian tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tersendiri terhadap perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya dan politik umat Islam. Merekaterutama para elit pemerintahanyang sebelumnya tertanam pola sikap dan hidup sederhana, egaliter, dan inklusif; kemudian berubah cenderung pada elitis, eksklusif, dan bahkan otoriter. Konsep musyawarah dan keterbukaan yang sebelumnya telah tertata cukup baik, menjadi stagnan bahkan represif. Banyak para pembesar
Ali Ibrahim Hasan, al-Trkh al-Islm al-m, al Maktabah al Mishriyyah, Kairo, 1961, hlm: 240. Utsman ra membantah isu yang mangabarkan bahwa dia membagi-bagikan harta negara kepada sanak familinya. Dia menjawab, Dulu saya adalah orang terkaya di Jazirah Arab, paling banyak memiliki unta dan kambing, tapi sekarang saya tidak mempunyai unta lagi kecuali dua ekor untuk bekal naik haji. Saya memang mencintai sanak famili, sehingga saya berikan kekayaan pada mereka. Lihat Hassan Ibrahim Hassan, Trkh al-Islm, Maktabah al-Nahdhah al-Mishri, Kairo, 1964, hlm: 364.
10 11

Quraisy dari golongan Bani umayyah menjadi orang kaya baru (OKB) dengan cara memanfaatkan posisi dan jabatan mereka. Dampak lebih jauh yang ditimbulkan oleh praktik nepotisme adalah adanya kesenjangan sosial ekonomi yang begitu tajam antara pihak yang kuat (golongan kaya dan penguasa) dengan pihak yang lemah (kaum miskin dan rakyat jelata). Pergolakan dan Pemberontakan Mengamati berbagai sikap dan kebijakan yang dilakukan Utsmankarena dipengaruhi para elit pemerintahan dan kerabat dekatnyaterhadap sistem dan pola pemerintahan yang dijalankan, maka wajar jika kemudian timbul berbagai pergolakan dan pemberontakan dari rakyat akibat ketidakpuasan. Mereka melancarkan kritik dan protes atas pemerintahan nepotis yang dijalankan, baik di pusat yang dikendalikan Utsman ra maupun di beberapa provinsi yang dikendalikan sanak famili dan kerabat dekat Utsman ra. Beberapa fenomena yang mengarah pada hal tersebut sebenarnya bermula dari sikap dan pribadi khalifah Utsman ra sendiri yang terlalu lunak dan lemah dalam memutuskan suatu kebijakan. Beberapa peristiwa seperti yang dipaparkan sebelumnya adalah bukti kuat dalam hal ini. Di samping itu, Utsman ra juga dituduh melakukan bidah, seperti mendahulukan khutbah Id sebelum shalat, mengambil zakat kuda, dan memperpanjang shalat di Mina, yang kesemuanya belum pernah dilakukan Nabi saw dan dua khalifah pendahulunya. Kaum muslimin juga marah pada Utsman ra karena mengumpulkan beberapa mushaf (salinan al-Qur`an) di zaman Abu Bakr ra menjadi satu mushaf resmi dan standar. Mereka menganggap apa yang dilakukan Utsman ra ini sebagai tindakan yang sudah keluar dari agama.12 Situasi dan kondisi yang mulai keruh dan memanas itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Abdullah Ibn Saba, seorang Yahudi yang menurut sebagian pengamat sejarah telah memeluk Islam dengan hati yang tidak khlas dan sikap culas. Beberapa daerah seperti Kufah, Bashra, dan Mesir yang sudah lama memendam rasa kecewa terhadap kebijakan khalifah Utsman ra, mulai bangkit dan mengajukan protes agar sang khalifah melepaskan jabatannya. Kehadiran Abdullah Ibn Saba sebagai provokator dan
12

Ali Ibrahim Hasan, al-Trkh al-Islm al-m, al Maktabah al Mishriyyah, Kairo, 1961, hlm. 242.

penyokong utama dalam hal ini, menambah keyakinan para pemberontak itu.13 Begitu banyak berita yang memojokkan posisi Utsman ra yang tersebar di beberapa daerah, seperti Madinah, Kufah, Bashrah, Damaskus, dan Mesir. Namun yang menjadi pemicu utama meletusnya pemberontakan itu adalah tertangkapnya surat rahasia yang diduga kuat berasal dari Marwan bin Hakam (saudara sepupu Utsman ra) yang ditujukan pada Ibnu Abu Sarh dengan menggunakan stempel khalifah. Surat itu berisi perintah kepada Ibn Abu Sarh (gubernur Mesir saat itu) supaya membunuh dan mencincang-cincang Muhammad bin Abu Bakr dan pengikut-pengikutnya. Ketika diperlihatkan pada khalifah Utsman ra untuk dimintai pertanggungjawaban, beliau mengingkari hal itu. Bahkan ketika diminta agar Utsman ra menyerahkan orang yang memegang stempel untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Utsman ra juga enggan dan menolak permintaan mereka.14 Sikap Utsman ra yang tidak tegas itu tentu saja membawa kekecewaan yang mendalam di kalangan sahabat, terutama dari kerabat Ali ra. Namun demikian Ali ra dan keluarganya serta pemuka Islam lainnya tetap melindungi khalifah Utsman ra dalam membendung arus gelombang pemberontakan itu, walaupun akhirnya para pemberontak itu berhasil menerobos pertahanan dan membunuh sang khalifah. Refleksi ke Depan Sejarah memang berbeda dengan mitos, apalagi legenda dan dongeng. Sejarah adalah sekumpulan ide, perangai, dan karakteristik umat manusia yang terakumulasi dalam sebuah dialektika peradaban. Sejarah juga dipandang sebagai kumpulan berita masa lalu yang idealnya harus menjadi bahan refleksi di masa sekarang dan masa depan. Pembahasan dan analisa terhadap sejarah pun menjadi semakin rumit dan kompleks ketika berita yang dijadikan acuan beragam, bahkan mungkin bertentangan. Hal ini karena sejarahjika ditilik dari perspektif ilmuberbeda dengan ilmu-ilmu
Konon Abdullah bin Saba menggulirkan issu mazhab wishyah (mazhab yang didasarkan pada wasiat dari Nabi saw untuk menjadikan Ali ra sebagai khalifah sesudah beliau wafat). Saba juga mempopulerkan aliran Hak Ilahi yang artinya bahwa diangkatnya Ali bin Abi Thalib ra menjadi khalifah adalah ketentuan dari Allah. Lihat A. Syalaby, Sejarah Kebudayaan Islam (terjemahan Mukhtar Yahya), Pustaka al-Husna, Jakarta, 1993, hlm: 278. 14 A. Syalaby, Sejarah Kebudayaan Islam (terjemahan Mukhtar Yahya), Pustaka al-Husna, Jakarta, 1993, hlm: 279.
13

alam, biologi, dan sosial lainnya. Sejarah lebih terfokus pada manusia sebagai objek kajian, di mana faktor emosi, empati, dan watak sosial akan ikut andil dalam pemberitaan (baik secara tulisan maupun lisan) hingga kemasan dan ramuan sejarah bisa beragam dan khasmeskipun berasal dari satu sumber yang sama. Dalam hal ini, kejelian dan kekritisan para penulis dan pembaca menjadi taruhannya, untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati kebenaran. Sejarah tentang Utsman bin Affan ra telah berlalu. Banyak hal yang dapat kita jadikan ibrah (pelajaran berharga) di masa depan; mulai dari kepribadian sang khalifah, sampai kepada munculnya friksi-friksi internal di tubuh umat Islam yang kemudian berakhir dengan tewasnya sang khalifah. Kita harus lapang dada menerima realitas sejarah yang memang berbicara demikian. Walaupun di antara kita mungkin sempat menggerutu, Mengapa sang khalifah bertindak demikian? Memang, kita harus pandai memilah dan memilih antara idealitas sejarah yang selalu konsisten terhadap nilai-nilai kebenaran universal di satu sisi, dengan realitas sejarah yang diperankan manusia dengan beragam kebenaran yang bresifat relatif dan temporal, di sisi lain. Kita juga diharapkan bisa memaklumi mengapa pilar-pilar kekhalifahan yang agung itu menjadi rapuh dalam waktu relatif singkat. Masa al-Khulafa` al-Rasyidun sendiri hanya berlangsung tidak lebih dari 30 tahun (11 40 H / 632 661 M). Masa yang singkat itu tentu terlalu premature untuk membangun sekaligus menyangga suatu tatanan sosial-budaya dan politik bangsa Arab saat itu yang masih memiliki mentalitas dan kultur kesukuan yang kuat dan fanatik. Akhirnya, mungkin ada benarnya apa yang dikatakan sosiolog Amerika Serikat, Robert N. Bellah, yang berpandangan bahwa nilai-nilai modernitas sebenarnya sudah dipraktikkan pada masa-masa awal Islam, terutama pada masa kekhalifahan ortodhox (empat khalifah). Hanya saja menurut Bellah, masyarakat Islam klasik pada masa itu mengalami proses modernisasi yang terlalu mencolok (remarkably modernization), sehingga muncul keterkejutan-keterkejutan sosial yang tidak dapat dikendalikan secara baik dan bijak. Wassalam.

Catatan Pustaka : Al- Suyuthi, Jalaluddin. Tt. Trkh al-Khulaf` (hlm. 138). Beirut: Darul Fikr. Al-Andalusi, Ibnu Hazm. 1983 (cet. I). Jamharah Ansb al-Arab (hlm. 5). Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah. Hasan, Ali Ibrahim. 1961. al-Trkh al-Islm al-m (hlm. 240). Kairo: al Maktabah al Mishriyyah. Hassan, Hassan Ibrahim. 1964. Trkh al-Islm (hlm. 235). Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishri. Hourani, Albert. 1962. Arabic Thought in the Liberal Age 1798 1939 (hlm. 25). London: Cambridge University Press. Mahmudunnasir, Syed. 1981. Islam: Its Concept and History (141-142). New Delhi: Kitab Bavan. Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional (hlm. 102). Bandung: Mizan. Lihat juga S.F. Mahmud. The Story of Islam (hlm. 31). London: Oxford University Press. Sjadzali, Munawwir. 1991. Islam and Governmental System (hlm. 20). Jakarta: INIS. Syalaby, A. 1993. Sejarah Kebudayaan Islam (terjemahan Mukhtar Yahya, hlm. 278). Jakarta: Pustaka al-Husna. Tim Penyusun Ensiklopedi. 1985. Ensiklopedi Nasional Indonesia (entri nepotisme, jilid 11, hlm. 85). Jakarta: P.T. Cipta Andi Pustaka. Williem Muir, Sir. 1984. The Caliphate: Its Rise, Decline and Fall. London: Darf Publisher.

You might also like