You are on page 1of 14

KASUS YANG BERTENTANGAN DENGAN NILAI-NILAI PANCASILA SILA KE-3 PERSATUAN INDONESIA

Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Agus Kusmawan Diantiny Mariam Pribadi Fatihah Rizqiyah Kania Eva Hapsari Regi Virgiawan Sayid Ghafar

XII-IPA-4

Negara adalah suatu organisasi yang besar, mempunyai tugas untuk pelaksanaan usaha pencapaian tujuan secara nasional dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kelestarian kehidupan bangsa dan negara. Menjaga dan memelihara eksistensi negara agar tetap bertahan hidup (survive), bukanlah suatu hal yang mudah. Negara senantiasa diperhadapkan dengan berbagai ancaman yang membahayakan eksistensinya, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Salah satu bentuk ancaman yang membahayakan negara ini adalah kejahatan/tindak pidana makar.

Persatuan Indonesia
Nilai Persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa indonesia. Dasar pemikiran kenapa Persatuan Indonesia dijadikan sila ketiga dari Pancasila, seperti juga sila kedua Peri Kemanusiaan yang Adil dan Beradab kemungkinan besar diambil dari pengalaman bangsa Indonesia dimasa penjajahan, dimana bangsa Indonesia sulit untuk bisa mendapatkan kemerdekaan dari penjajah Belanda yang sudah mulai berada di Indonesia sejak abad ke 16.Dengan menjalankan politik adu domba, Belanda bisa melanggengkan kekuasaan di Indonesia sampai 350 tahun lamanya. Mendapatkan wilayah Hindia Belanda dari jengkal demi jengkal dengan banyak mendapatkan perlawanan lokal. Pada masa sebelum 20 Mei 1908 yaitu berdirinya organisasi pergerakan yang bersifat nasional, keinginan untuk melepaskan diri dari penjajahan bersifat lokal bahkan bersifat kesukukan, sehingga Belanda bisa menggunakan suku lain yang berada di Indonesia untuk ikut membantu memadamkan pemberontakan lokal, sehingga bangsa Indonesia sulit bisa mendapatkan kemerdekaan. Oleh karena itu dimasa sebelum 1908, muncul banyak pahlawan perintis kemerdekaan yang bersifat lokal seperti: Cut Nyak Dhien (Aceh), Imam Bonjol (Sumatra Barat), Pangeran Antasari (Kalimantan), Pangeran Diponegoro (Jawa tengah), dll. Oleh karena itu sangat penting untuk menyatukan bangsa Indonesia yang senasib sepenanggungan disemua daerah yang dijajah oleh Belanda yang wilayahnya pada saat itu dikenal sebagai daerah Hindia Belanda. Karena itu tanggal 20 Mei 1908 yaitu tanggal pendirian organisasi pergerakan Boedi Oetomo yang bersifat nasional dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai hari Kebangkitan Nasional, karena untuk pertama kali suku-suku yang dijajah oleh Belanda dengan wilayah yang disebut Hindia Belanda mencentuskan pergerakan kemerdekaan yang bersifat nasional dari Sabang sampai Merauke. Pada beberapa tahun kemudian pada saat Kongres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928, untuk pertama kali para pemuda Indonesia memproklamirkan Persatuan Indonesia dengan Sumpah Pemuda yang aslinya berbunyi:

PERTAMA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia.

KEDOEA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. KETIGA. Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Pada saat ini lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda sebagai simbol Persatuan Indonesia yang disingkat menjadi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia, yang merupakan 3 aspek dalam Persatuan Indonesia. 1. Aspek Satu Nusa: yaitu aspek wilayah, nusa berarti pulau, jadi wilayah yang dilambangkan untuk disatukan adalah wilayah pulau-pulau yang tadinya bernama Hindia Belanda yang pada saat itu dijajah oleh Belanda. Ini untuk pertama kali secara tegas para pejuang kemerdekaan meng-klaim wilayah yang akan dijadikan wilayah Indonesia merdeka. 2. Aspek Satu Bangsa: yaitu nama baru dari suku-suku bangsa yang berada diwilayah yang tadinya bernama Hindia Belanda yang tadinya dijajah oleh Belanda memproklamirkan satu nama baru sebagai bangsa Indonesia. Ini adalah awal mula dari rasa nasionalisme sebagai kesatuan bangsa yang berada dari wilayah Sabang sampai Merauke yang kalau merdeka akan menjadi bangsa baru yang bernama bangsa Indonesia. 3. Aspek Satu Bahasa: agar wilayah dan bangsa baru yang terdiri dari berbagai suku dan bahasa bisa berkomunkasi dengan baik disediakan sarana bahasa Indonesia yang ditarik dari bahasa Melayu dengan pembaharuan yang bernuansakan pergerakan kearah Indonesia yang Merdeka. Untuk pertama kali para pejuang kemerdekaan memproklamirkan bahasa yang akan dipakai negara Indonesia merdeka yaitu bahasa Indonesia. Walaupun secara umum sila ke 3 dari Pancasila Persatuan Indonesia baik oleh Negara maupun rakyat Indonesia telah dihayati, diamalkan, dan dilaksanakan dengan baik selama ini, tetap ada usaha-usaha dari sebahagian masyarakat maupun organisasi kemasyarakatan terus mencoba untuk merubah atau merusaknya, yaitu salah satunya adalah masih adanya usaha separatisme yang belum sepenuhnya bisa diatasi seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Sejarah Papua
Bergabungnya Papua yang dulu bernama Irian Barat, kemudian diganti menjadi Irian Jaya, memang penuh liku-liku dan kontroversi bagi sementara tokoh Papua. Konon di masa lalu Papua menjadi bagian atau jajahan Belanda sehingga pemerintah Negeri Kincir Angin tidak mengakui kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Belanda juga tidak melakukan apa-apa untuk Papua. Sehingga dari dulu hingga sekarang pun masih ada saja pihak yang menggugat sejarah bergabungnya Papua ke dalam NKRI. Mereka menentang jajak pendapat atau penentuan pendapat rakyat Papua tanggal 29 Juli 1969 yang diadakan oleh pemerintah Indonesia dengan disaksikan oleh PBB, hasilnya rakyat Papua memilih bergabung dengan RI. Sampai di sini secara legalitas (de facto dan de jure) bergabungnya Papua masuk KNRI kuat. Munculnya gerakan dari sejumlah tokoh Papua dan OPM yang ingin memerdekakan Papua bukan baru sekarang ini saja, tapi sejak masa Orde Baru, dan mencuat pada masa Orde

Baru karena merasa tidak puas dan kurang diperhatikan, apalagi dengan tindakan represif aparat keamanan di masa lalu. Pada era reformasi pemerintah RI khususnya di masa Presiden Gus Dur lebih berempati pada rakyat Papua sehingga permintaan tokoh-tokoh adat di sana mengganti nama menjadi Papua disetujui. Kemudian berlanjut dengan pemberian otonomi khusus yang tujuannya mempercepat pembangunan dan kesejahteraan rakyat di sana. Kalau sekarang ini muncul lagi perdebatan bahwa secara historis Papua bukan merupakan bagian dari NKRI hal itu jelas lagu lama, dan diyakini akan terus berulang di masa mendatang, selama pemerintah pusat gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat dan terus melakukan pendekatan hukum secara represif di Papua. Dari bukti sejarah Papua bagian sah dari NKRI sudah tidak terbantahkan, sehingga tokoh sejarawan Universitas Indonesia (UI) Magdalia Alfian mengatakan Papua adalah bagian dari Nusantara yang tersimpan dalam konsep Nusantara baru. Kalau secara historis Nusantara lama Malaysia, Johor dan Malaka ikut masuk, dan setelah 17 Agustus 1945 dibuatlah konsep Nusantara baru yang menyatakan bahwa Papua adalah NKRI. Pada 17 Agustus 1945 terjadi perjanjian Papua masuk NKRI dan Indonesia berhasil merebut secara Internasional. Dengan kesepakatan tersebut wilayah yang dijajah Belanda sejak 24 Agustus 1828 itu diserahkan ke tangan PBB pada 30 September 1962. Faktor Pemicu Kemarahan Rakyat Papua Dua peristiwa besar mewarnai kehidupan rakyat Papua dalam sebulan belakangan ini. Pertama, aksi unjuk rasa warga Papua atas sikap diskriminasi dan terbongkarnya kezaliman PT Freeport Indonesia. Kedua terungkap uang sogokan untuk pengamanan tambang emas terbesar di Indonesia --ketujuh di dunia-- itu sebesar 14 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 126 miliar. Kini, semakin kelihatan kalau pemerintah gagal mensejahterakan Papua. Terbukti, Freeport saja berupaya membenturkan aparat keamanan kita (Polri dan TNI) dengan rakyat Papua.Tidak hanya borok-borok Freeport mencuat, lebih mementingkan aparat keamanan untuk melakukan tindakan represif ketimbang mensejahterakan rakyat Papua, tapi borok-borok pemerintah dalam upaya membangun Papua dan Papua Barat belakangan ini semakin terkuak. Tak tanggung-tanggung pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana sangat besar ke sana, namun rakyat di Papua dan Papua Barat tak merasakan manfaatnya sama sekali. Kita menilai wajar saja kalau semua itu menimbulkan kemarahan para tokoh dan masyarakat di wilayah itu karena upaya membangun Papua dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di sana baru sebatas lips service. Lihat saja data alokasi anggaran untuk Papua dan Papua Barat pada tahun 2008 yang sudah mencapai total Rp26 triliun. Dengan jumlah penduduk kedua provinsi yang mencapai 3,2 juta jiwa, maka sebenarnya rata-rata penduduk Papua dan Papua Barat mendapatkan jatah Rp8,12 juta per orang. Timbulnya Gerakan Separatis Adanya Gerakan separatis di Indonesia nampaknya dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu (1)faktor Internal dalam negeri Indonesia sendiri dan (2)faktor Eksternal karena intervensi asing. Faktor eksternal merupakan pengaruh kuat timbulnya gerakan separatisme di Indonesia, kasus gerakan separatis di Papua misalnya sebagian besar karena dipengaruhi pihak asing. Menanggapi

surat dari 40 anggota kongres Amerika Serikat kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang isinya, antara lain meminta kepastian pembebasan segera dan tanpa syarat atas dua separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yaitu, Filep Karma dan Yusak Pakage. Selain itu juga akibat adanya provokasi terhadap ketidakadilan dalam menikmati hasil sumber daya alam yang melimpah, maka ada upaya beberapa orang yang belum memahami situasi, terjebak sehingga membentuk suatu gerakan separatis menentang pemerintah Indonesia. Faktor internal juga sangat mempengaruhi munculnya gerakan ini, dan lebih menekankan pada kajian historis. Karena ada beberapa alasan sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya gerakan ini. Pada umumnya akibat dari rasa ketidakadilan, kesejahteraan yang tidak merata, intimidasi oleh aparat pemerintah dan janji-janji pemerintah pusat yang tidak terealisasi membuat sekelompok masyarakat membuat suatu gerakan menentang pemerintah yang di anggap menerbelakangi mereka. Serta keyakinan bahwa mereka mampu hidup/mengurus diri sendiri tanpa harus bargantung pada pemerintah Indonesia. Sebagai contoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), ada beberapa alasan kenapa gerakan ini terbentuk dan melakukan pemberontakan. (1) Rasa nasionalisme Papua, senasib dan seperjuangan untuk berjuang bagi kemerdekaan dan negara Papua Barat; (2) Hendak menigkatkan dan mewujudkan janji belanda yang tidak sempat direalisir akibat integrasi dengan Indonesia secara paksa dan tidak adil; (3) Latar belakang sejarah yang berbeda antara rakyat papua barat dan bangsa Indonesia; (4) Tereksploitasi hasil dari Papua Barat yang dilakukan secara besar-besaran untuk bangsa Indonesia sedangkan rakyat Papua Barat tetap miskin dan terbelakang;(5) Hendak mewujudkan cita-cita dari gerakan Cargo, yaitu suatu bangsa dan Papua Barat yang makmur di akhir zaman.

Organisasi Papua Merdeka (OPM)


Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan nasionalis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama Irian Jaya. OPM merasa bahwa mereka tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun 1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain. 28 Juli 1965 Ini adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu proklamasi OPM yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu.

14 Desember 1988 Sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan proklamasi OPM serta pengibaran bendera OPM yang kesekian kali. Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya, karena untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai. Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah Papua Barat, seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara Melanesia Barat. Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menyandang gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura. Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM mendapat perhatian luas. Secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua. 26 Juli 1965 Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu. 1 Juli 1971 Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, proklamasi OPM kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Nugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, Mavik. Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak. Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem,

seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur. Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro. Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran HAM menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi. Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ). Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi. Victoria, 1 Juli 1971 Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem (Brigadir Jenderal)

Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (DPR?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat. Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di Markas Victoria, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Nugini. 3 Desember 1974 Enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen, yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Nugini) sampai ke Sorong, yang 100% merdeka di luar Republik Indonesia. Februari 1975

Lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan proklamasi Sorong-Samarai itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan bunuh diri di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. l 9 Maret 1977 Kelimanya divonis 8 tahun penjara karena tuduhan melakukan makar. 26 April 1984 Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan sesuatu yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984. Arnold Ap Lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969. Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia. Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh modal alam yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias humor khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu. Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya. Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk

mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para cikal-bakal Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu. Ternyata, respon masyarakat Irian terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagulagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Nugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok. Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu bungkus kultural bagi bahaya laten nasionalisme Papua. Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang subversif atau bersifat makar, ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya Papua Nugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka. Penghujung tahun 1983 Keadaan itu berubah drastis ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya. Arnold dianggap merupakan kunci untuk membongkar jaringan OPM kota itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. 30 November 1983 Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta. Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda. Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.

8 Februari 1984 Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya. Sementara itu di Jakarta, 4 pemuda Irian Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka. 26 April 1984 Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, tawaran kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sekitar 500 orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984. Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Nugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap. Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi Menteri Pendidikan & Kebudayaan mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang konoor modern, merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri. Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok seni budaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian. Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Nugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno (Ninoy) Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam. 14 Desember 1988 Seperti yang telah disinggung di depan, proklamasi dan pengibaran bendera OPM yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai

proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya. Bendera Melanesia Barat yang dikibarkannya, berbeda dari bendera Papua Barat yang sebelumnya. Konon menurut cerita, bendera Papua Barat yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil Meneer Blauwwit, mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya merah, putih, dan biru meniru ketiga warna bendera Belanda. Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur pribumi pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri. Juga lagu kebangsaan OPM berjudul Hai Tanahku, Papua, yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan wawasan nasional atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.

Penyelesaian Konflik Papua dan Cara Penyelesaiannya.


Penyelesaian konflik di Papua terhambat oleh masih adanya tembok yang memisahkan Papua dengan Jakarta. Persoalan tersebut adalah masalah ketidakpercayaan. Hal itu membuat apapun upaya yang selama ini diinisiasi pemerintah, gagal dan membutuhkan dialog sebagai pembuka jalur penyelesaian. Ketidakpercayaan rakyat Papua telah lama terjadi. Hal itu juga dipicu oleh langkah pemerintah sendiri dalam merespon konflik Papua. Masyarakat Papua bersandar pada sejarah. Keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak 1965, dijawab pemerintah dengan menurunkan tentara. Sayangnya, tentara saat itu tidak hanya menembaki para anggota OPM, melainkan juga membakar kampung-kampung dalam rangka mendukung upaya tersebut. Dikatakan, cerita tentang pelanggaran HAM di Papua cukup panjang. Cara-cara demikian terpelihara dan membuat konflik yang ada menjadi tidak terselesaikan serta memunculkan trauma. Untuk keluar dari konflik berkepanjangan ini, pemerintah jangan lagi menggunakan pendekatan keamanan. Sebab, harus menempuh dialog berlapis. Mulai dari dialog di internal Papua, dialog antara pemerintah, serta yang terpenting adalah dialog antara Papua dengan Jakarta.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Papua lebih memanjakan investor, terutama asing, ketimbang penduduk asli Papua. Di sisi lain sebagian putera-putera daerah yang mendapat kesempatan duduk di posisi elit lebih berorientasi pada kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Pemerintah perlu mendorong pradialog untuk papua

Yang perlu didorong untuk penyelesaian masalah Papua adalah upaya pradialog, dengan menarik senjata dan menghentikan operasi militer karena operasi militer tidak menyelesaikan masalah. konflik yang melanda tanah Papua selama ini harus dilihat sebagai persoalan negara yang memerlukan penyelesaian dan pertanggungjawaban dari semua pihak seperti pemerintah, DPR, Polri, TNI, dan masyarakat non-Papua. Papua dilanda oleh empat masalah besar yaitu perbedaan persepsi masalah integrasi, kegagalan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat dan pendidikan, marjinalisasi terhadap masyarakat Papua, serta trauma keberlanjutan terhadap masalah hak asasi manusia (HAM). dialog merupakan cara terbaik untuk mewujudkan perdamaian di tanah Papua. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan relasi beradab antara semua pihak supaya Papua menjadi tanah damai. Dalam lima bulan terakhir, JanuariMei 2012 telah terjadi sekitar 15 aksi penembakan yang menewaskan warga sipil, anggota Polri, anggota Brimob, dan anggota TNI. dialog Jakarta-Papua sangat penting untuk direalisasikan untuk menyelesaikan sejumlah masalah sosial budaya, hukum, ekonomi, politik sampai hak atas kehidupan yang layak menimbulkan banyak persoalan. Presiden SBY pada 11 November 2011 mengumumkan pentingnya dialog terbuka dengan rakyat Papua untuk menjernihkan persoalan di Papua untuk mencari opsi terbaik. Hanya dialog yang dapat membukakan jalan menuju perdamaian, kedamaian, dan kesejahteraan rakyat di Papua. Karena itu harus ada keberanian dan kejujuran dari semua pemangku kepentingan, khususnya pemerintah pusat di Jakarta untuk berdialog mencari penyelesaian terbaik bagi semua pihak Menurut kamus besar bahasa indonesia, Makar atau aanslag (belanda) secara harfiah berarti : akal busuk; tipu muslihat; perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Atau dengan kata lain makar juga bisa dikatakan sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah kepala negara atau Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan mengenai tindak pidana makar juga di rumuskan dan atur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Dalam konteks gerakan separatis, makar di atur dalam pasal 106 KUHP yang menyatakan bahwa: Makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebahagiannya kebawah pemerintah asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebahagian dari daerah itu, dihukum pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

sementara selama-lamanya dua puluh tahun. (KUHP 41, 35, 87, 1 10, 128, 130 dst., 140, 164 dst.) Jelas dalam isi pasal 106 KUHP di atas, yang menjadi objek penyerangan adalah kedaualatan atas daerah negara. Dimana kedaualatan suatu negara dapat dirusak dengan 2 cara yaitu, (1) Pertama, menaklukkan kemudian menyerahkan seluruh daerah negara atau sebahagiannya kepada negara asing. (2) Kedua, memisahkan sebahagian daerah dari negara itu kemudian membuat bagian dari daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri. Dalam hal ini gerakan separatis sebagaimana di sebut dalam poin (2) di atas merupakan gerakan yang memiliki tujuan untuk memisahkan sebagian dari daerah negara untuk mendirikan negara sendiri yang berdaulat. Mengacu pada pasal 106 KUHP, jelas gerakan separatis dapat dapat dikategorikan perbuatan makar karena unsur-unsur tindak pidana makar terpenuhi sebagaimana maksud dan tujuan dari gerakan separatis tersebut. Secara umum GAM, RMS ataupun OPM dikenal sebagai gerakan separatis, dianggap separatis karena maksud dan tujuan gerakan mereka yang ingin memisahkan sebagian daerah NKRI untuk menjadi sebuah negara sendiri yang berdaulat, merdeka dan lepas dari NKRI. Baik GAM, RMS ataupun OPM melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuannya, membentuk struktural keorganisasian mulai dari perdana menteri atau presiden, para menteri sampai angkatan bersenjata. Sehingga sarat terjadi pertempuran fisik yang menimbulkan banyak korban baik dari pihak aparat pemerintah maupun pihak separatis sendiri, bahkan tak jarang masyarakat sipilpun ikut jadi korban akibat nafsu dari masing-masing pihak untuk merebut/mempertahankan apa yang mereka anggap hak mereka. Seperti di Aceh contohnya, ada ribuan jiwa yang meregang nyawa akibat pertikaian antara GAM dan TNI. Selain itu juga tak jarang terjadi pelanggaran HAM baik itu dilakukan oleh pihak TNI maupun oleh pihak GAM sendiri. Dengan demikian, Sebagaimana rumusan pasal 106 KUHP, jelaslah bahwa ketiga gerakan separatis di atas telah melakukan perbuatan tindak pidana makar.

Upaya pemerintah tindak pidana makar adalah merupakan bentuk kejahatan yang sangat berbahaya dan juga dikategorikan sebagai kejahatan politik yang memiliki ciri motif dan tujuan yang berbeda dari kejahatan biasa serta diancam dengan sanksi pidana yang berat. Karena tindak pidana makar ini pada dasarnya adalah konflik vertikal yang terjadi antara rakyat dan pihak penguasa negara, maka demi mencipta kan hubungan yang harmonis antara rakyat dan pihak penguasa, dapat disarankan agar pihak pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan negara harus dapat melaksanakan pemerintahan yang mengedepankan prinsip-prinsip demokratis, good governance, melakukan pembangunan yang merata bagi seluruh daerah, serta menanamkan rasa nasionalisme kebangsaan dan persatuan melalui pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia, dan rakyat sendiri juga harus dapat memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

You might also like