You are on page 1of 6

Bagaimana penanganan pasien dengan perilaku amuk di RS?

Penanganan pasien amuk di RS terdiri dari Managemen Krisis dan Managemen Perilaku Kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan yang dilakukan pada saat terjadi perilaku amuk oleh pasien. Tujuannya untuk menenangkan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain dan lingkungan karena perilakunya yang tidak terkontrol. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan yang dilakukan setelah situasi krisis terlampaui, di mana pasien telah dapat mengendalikan luapan emosinya meski masih ada potensi untuk untuk meledak lagi bila ada pencetusnya.

Managemen krisis Pada saat situasi krisis, di mana pasien mengalami luapan emosi yang hebat, sangat mungkin pasien melakukan tindak kekerasan yang membahayakan baik untuk diri pasien, orang lain, maupun lingkungan. Walaupun sulit sedapat mungkin pasien diminta untuk tetap tenang dan mampu mengendalikan perilakunya. Bicara dengan tenang, nada suara rendah, gerakan tidak terburu-buru, sikap konsisten dan menunjukkan kepedulian dari petugas kepada pasien biasanya mampu mempengaruhi pasien untuk mengontrol emosi dan perilakunya dengan lebih baik. Bila pasien tidak bisa mengendalikan perilakunya maka tindakan pembatasan gerak (isolasi) dengan menempatkan pasien di kamar isolasi harus dilakukan. Pasien dibatasi pergerakannya karena dapat mencederai orang lain atau dicederai orang lain, membutuhkan pembatasan interaksi dengan orang lain dan memerlukan pengurangan stimulus dari lingkungan. Pada saat akan dilakukan tindakan isolasi ini pasien diberi penjelasan mengenai tujuan dan prosedur yang akan dilakukan sehingga pasien tidak merasa terancam dan mungkin ia akan bersikap lebih kooperatif. Selama dalam kamar isolasi, supervisi dilakukan secara periodik untuk memantau kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang dibutuhkan termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti nutrisi, eliminasi, kebersihan diri, dsb. Bila tindakan isolasi tidak bermanfaat dan perilaku pasien tetap berbahaya, berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain maka alternatif lain adalah dengan melakukan pengekangan/pengikatan fisik. Tindakan ini masih umum digunakan petugas di RS dengan disertai penggunaan obat psikotropika. Untuk menghindari ego pasien terluka karena pengikatan, perlu dijelaskan kepada pasien bahwa tindakan pengikatan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan pencegahan resiko yang dapat ditimbulkan oleh perilaku pasien yang tidak terkendali. Selain itu juga perlu disampaikan pula indikasi penghentian tindakan pengekangan sehingga pasien dapat berpartisipasi dalam memperbaiki keadaan. Selama pengikatan, pasien disupervisi secara periodik untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien dan memberikan tindakan keperawatan yang diperlukan. Selanjutnya pengekangan dikurangi secara bertahap sesuai kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi dan perilakunya, ikatan dibuka satu demi satu, dilanjutkan dengan pembatasan gerak (isolasi), dan akhirnya kembali ke lingkungan semula. Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling efektif ditenangkan dengan obat sedatif dan atau antipsikotik yang sesuai. Obat sedatif yang biasa digunakan misalnya Valium injeksi 5 - 10 mg atau lorazepam (Ativan) 2 -4 mg yang bisa diberikan secara intramuskuler atau intravaskuler. Pada umumnya obat antipsikotik yang paling bermanfaat untuk pasien jiwa yang melakukan kekerasan adalah injeksi Haloperidol 5 -10 mg yang diberikan secara intra muskuler. Alternatif lain jika obat-obat farmakoterapi tidak efektif adalah dengan ECT (Electro ConvulsionTherapy), suatu upaya menimbulkan kejang umum dengan induksi listrik pada sel otak. Aliran listrik yang digunakan sangat kecil dan berlangsung sangat singkat. Untuk mendapatkan efek menguntungkan dari ECT maka kejang umum harus timbul segera setelah pemberian ECT. Biasanya setelah mengalami kejang umum, pasien akan tertidur beberapa saat dan ketika bangun perilaku agitatifnya sudah menurun. Therapi ini aman dan efektif untuk mengendalikan kekerasan psikotik. Satu atau beberapa kali ECT dalam beberapa jam biasanya mengakhiri suatu episode kekerasan psikotik.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Dari zaman dahulu di Dunia telah terdapat tanda-tanda yang menunjukan bahwa pada waktu itu manusia sudah mengenal dan berusaha mengobati gangguan jiwa. Di negara Peru, ditemukan berbagai tengkorak yang dilubangi mungkin pada penderita penyakit ayan atau yang menunjukan perilaku kekerasan dengan maksud untuk mengeluarkan roh jahat. Usahausaha untuk mengobati gangguan jiwa dipengaruhi oleh sistim magik keagamaan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai usaha untuk memaksa pemikiran rasional. Pada zaman modern seperti ini, ternyata pengobatan gangguan jiwa dengan model magik-keagamaan masih ada di negara kita dan negara berkembang lainnya. Masih sering kita jumpai di berbagai daerah model pengobatan untuk mengobati penderita gangguan jiwa dengan cara menyaiti penderita dengan tujuan mengeluarkan roh jahat penyebab gangguan itu. Secara garis besar sejarah perkembangan keperawatan kesehatan mental psikiatri di luar negeri sekarang dapat dikelompokan dalam periodisasi yaitu perawatan sebagai profesi adalah perawatan sebagai elemen inti dari semua praktek keperawatan.(Widodo, 2005). Program kesehatan jiwa di Indonesia bermula dari program pelayanan pasien gangguan jiwa berat (psikosis) di dalam Rumah Sakit Jiwa yang boleh 2 dikata hanya berupa pelayanan kuratif dengan rawat inap saja yang masih custodial, bersifat tertutup dan isolatif. Hal ini disebabkan karena pelayanan kuratif atau terapi pada waktu itu yang masih terbatas. Karena obat psikotropika belum ada, psikoterapi pun belum ada, sedang werk-terapi pada waktu itu belum dapat dikatakan sebagai okupasi terapi atau kegiatan yang bertujuan rehabilitasi, karena pasien biasanya tinggal di rumah sakit jiwa untuk selamanya sampai meninggal. (Widodo, 2005) Menurut Harnawati (2008), Schizofrenia merupakan penyakit otak yang sanggup merusak dan menghancurkan emosi. Selain karena faktor

genetik, penyakit ini juga bisa muncul akibat tekanan tinggi di sekelilingnya. Sedangkan klien dengan diagnosa schizofrenia sebagian besar 80 persen mengalami perilaku kekerasan, sedangkan yang sebagian kecil 30 persen mengalami kerusakan verbal. Gangguan jiwa menjadi masalah serius di seluruh Dunia. Organisasi kesehatan Dunia (WHO) tahun 2007 menyatakan, paling tidak 1 dari 4 orang atau sekitar 450 juta orang terganggu jiwanya. Di Indonesia berdasarkan survey kesehatan mental rumah tangga. Pada setiap 1000 anggota rumah tangga terdapat 185 orang mengalami gangguan terkait masalah kejiwaan. Menurut Hawari (2007), bahwa jumlah penderita schizofhrenia di Indonesia adalah 3-5 per 1000 penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar, ini terkait dengan tingginya stres yang muncul di daerah perkotaan. Seiring dengan peradaban manusia masalah-masalah kehidupan semakin komplek pula, masalah tersebut bisa berasal dari diri manusia sendiri 3 maupun dari faktor luar. Manusia dapat mengalami perubahan bahkan gangguan pada fisik maupun mental akibat kemunculan masalah tersebut. Gangguan fisik mungkin sudah umum terjadi dan sarana penunjangnya juga telah banyak tersedia di berbagai tempat, sedangkan gangguan mental lebih sering dianggap tidak perlu dirawat di pelayanan kesehatan dengan alasan keterbatasan pengetahuan, sarana dan dana (stuart dan laraia, 2001) Stresor atau tekanan, kecemasan, perasaan jengkel harus dihadapi oleh seseorang, tekanan dapat menimbulkan kecemasan, menimbulkan perasaan tidak nyaman. Perasaan ini bisa diungkapkan baik secara adaptif (konstruktif aktif) atau mal adaptif (Destruktif). Perawat membantu klien untuk berkoping adaptif, perawat di ruang emergenci memberikan terapi pada klien dengan respon marah dan perilaku agresif, untuk memberikan ini perlu keahlian lebih bagi perawat. Selama klien dalam kondisi stress perilaku kekerasan bisa

terjadi karena klien dengan masalah utama perilaku kekerasan sebenarnya berada dalam rentan pasif, asertif dan agresif. Akhirnya perlu pengelolaan untuk klien dengan perilaku kekerasan dimana perawat harus mampu mengkaji klien dengan resiko perilaku kekerasan ini. (stuart dan laraia, 2001) Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat kasus pada gangguan jiwa perilaku kekerasan. Dalam hal ini, agar penulis dapat mengetahui sejauh mana pengaruh masalah kehidupan terhadap gangguan jiwa perilaku kekerasan dan berusaha memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan kasus perilaku kekerasan tersebut pada Ny. S diruang sembadra RSJD Surakarta. 4 Berdasarkan hal-hal di atas penulis tertarik untuk mengangkat masalah utama yaitu risiko menciderai diri-sendiri, orang lain dan lingkungan perilaku kekerasan. Karena kasus pada klien jiwa dengan gangguan perilaku kekerasan cukup banyak terjadi. Selain masalah perilaku kekerasan klien juga mengalami permasalahan seperti harga diri rendah dan halusinasi. Klien mengalami gangguan jiwa semenjak akan di cerai suaminya dan klien sudah 4 kali dirawat dirumah sakit dengan diagnosa yang sama. Identifikasi Masalah Berdasarkan dalam pembahasan masalah ini, penulis membatasi permasalahan yaitu tentang bagaimana penerapan aplikasi asuhan keperawatan pada Ny. S dengan gangguan jiwa perilaku kekerasan di Bangsal Sembadra RSJD Surakarta dengan masalah utama risiko menciderai diri-sendiri, perilaku kekerasan yang meliputi pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
elasa, 09 Juni 2009

Managemen Perilaku Kekerasan


Penanganan pasien dengan perilaku kekerasan di RS terbagi dalam 2 tahapan, yaitu managemen krisis dan managemen perilaku kekerasan. Managemen krisis adalah penanganan pasien dalam situasi krisis saat terjadi perilaku kekerasan (amuk). Lebih lanjut tentang hal ini silakan baca 'Perilaku Kekerasan (Amuk) Pada Pasien

Jiwa', saya tidak akan membahasnya di halaman posting ini. Sedangkan managemen perilaku kekerasan adalah penanganan lanjut setelah situasi krisis reda di mana pasien sudah lebih mampu bersikap tenang, kooperatif, dan mampu mengendalikan luapan emosinya meski masih beresiko untuk melakukan tindak kekerasan. Tentu penanganannya berbeda karena situasi dan kondisi pasien berbeda. Sasaran intervensi dan tujuannya pun berbeda pula.

Bila pada managemen krisis tujuan intervensi bersifat jangka pendek, yaitu menenangkan/meredakan ketegangan pasien dan mencegah pasien bertindak membahayakan diri, orang lain, dan lingkungan akibat potensi perilakunya yang tidak terkontrol maka pada managemen perilaku kekerasan tujuannya lebih bersifat jangka panjang, yaitu pasien mampu mengontrol perilaku amuknya yang maladaptif, serta mampu mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat. Hal ini bisa dicapai melalui pendidikan dan latihan. Banyak orang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaan marahnya secara tepat dan sehat karena tidak pernah mempelajarinya dan hanya mengikuti naluri amarahnya sehingga yang muncul kemudian adalah perilaku maladaptif. Tentu hal ini berbahaya bagi dirinya sendiri , orang lain maupun lingkungan. Selanjutnya bila pada managemen krisis sasaran intervensi difokuskan secara khusus pada pasien maka pada managemen perilaku kekerasan sasarannya adalah pasien dan keluarga. Bagaimanapun juga keluarga menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikkan karena tidak jarang sumber konflik berasal dari keluarga, selain kenyataan bahwa keluarga merupakan support system yang paling bermakna bagi proses pembelajaran dan kesembuhan pasien. Pada akhirnya pasien akan kembali ke keluarga setelah selesai menjalani program perawatan dan pengobatan di RS. Karenanya keluarga juga harus disiapkan untuk menerima dan mampu merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Bila pasien memiliki kemampuan mengungkapkan perasaan marah secara tepat dan sehat, kemudian keluarga memahami dan memfasilitasi usaha pasien untuk mengendalikan emosinya, maka potensi perilaku kekerasan pada pasien dapat diminimalisir.

Managemen perilaku kekerasan dengan pasien sebagai sasaran mencakup 3 area tindakan, yaitu:

Meningkatkan kesadaran diri pasien mengenai penyebab perilaku kekerasannya, tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dialaminya, bentuk perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya, serta akibat perilaku kekerasan pasien. Ini dilakukan untuk menumbuhkan motivasi pada diri pasien agar mau mempelajari cara-cara mengontrol perilaku kekerasan.

Meningkatkan kemampuan pasien dalam mengontrol perilaku kekerasan melalui pendidikan dan latihan. Pada tahap ini pasien diajari dan dilatih sampai ia betul-betul mampu mempraktekkan caracara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik (relaksasi, kegiatan dan olahraga), secara verbal(asertif, sharing/cerita pada orang lain), secara spiritual (berdoa, sembahyang), dan secara farmakologis (minum obat). Selanjutnya pasien didorong untuk memilih cara yang sesuai bagi dirinya dan memasukkannya ke dalam jadwal kegiatan harian.

Penguatan, pemeliharaan dan persiapan pulang. Pada tahap ini petugas bersama pasien mengevaluasi pelaksanaan jadwal kegiatan di RS untuk menentukan strategi penguatan bila diperlukan, membuat rencana jadwal kegiatan di rumah, dan mendiskusikan obat-obat yang diminum pasien (jenis, dosis, waktu minum, manfaat dan efek sampingnya).

Managemen perilaku kekerasan dengan keluarga sebagai sasaran mencakup 2 area tindakan, yaitu:

1.

Pendidikan kesehatan untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan perilaku kekerasan di rumah. Pada tahap ini didiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien, kemudian petugas memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian, tanda dan gejala serta proses terjadinya perilaku kekerasan, dan juga cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Keluarga dapat dilibatkan secara langsung dalam mempraktekkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan di RS sehingga keluarga benar-benar mampu merawat pasien di rumah.

2.

Discharge planning, yaitu merencanakan perawatan pasien di rumah setelah selesai menjalani perawatan di RS. Yang dilakukan pada tahap ini adalah membantu keluarga membuat jadwal aktivitas pasien di rumah termasuk minum obat, dan menjelaskan follow up pasien setelah pulang dari RS.

You might also like