You are on page 1of 17

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pengelolaan serta pelestarian lingkungan hidup tidak hanya butuh kuantitas yang besar melainkan konsistensi yang sustainable. Hal ini dikarenakan lingkungan tidak hanya di manfaatkan saat ini saja, melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat luas selamanya. Maka peran pemerintah mutlak diperlukan. Sebagai pelindung masyarakat, sudah semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli lingkungan. Tidak hanya itu, regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri. Dalam mainstream pemikiran yang berkembang, lingkungan hidup diperlakukan sekedar sebagai obyek manajemen. Sementara itu kita tahu bahwa misi dari manajemen adalah pemuasan kepentingan para subyeknya yaitu manusia. Lingkungan tidak memiliki makna atau nilai (value) lebih dari sekedar alat pemuas umat manusia. Dalam kepungan utilitarianism ini manejemen lingkungan hidup terjebak dalam suatu paradoks. Di satu sisi manajemen lingkungan hidup berusaha menekan kerusakan lingkungan hidup, di sisi lain keserakahan ummat tetap diumbar. Lebih dari itu, fokus perhatian kita pada dimensi managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup telah menjadikan kita lalai terhadap kenyataan bahwa kemapanan sistem manajemen sebetulnya juga menyimpan kemampuan umat manusia untuk menghasilkan kerusakan sistemik. Pandangan yang selama ini telah dipahami adalah bahwa, supaya manusia bisa mendapatkan manfaat yang optimal, maka lingkungan hidup harus dikelola. Dalam

hal ini, manusia memperlakukan dirinya sebagai subyek dan lingkungan hidup sebagai obyek manajemen. Tersirat di sini, lingkungan hidup yang diatur dan ditata sedemikian rupa sehingga manusia tidak sengsara, umat manusia bisa sejahtera. Pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang : bisakah lingkungan hidup terusmenerus di eksplorasi sistem kerjanya agar upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya tidak terganggu ? Semakin terorganisir suatu tatanan sosial, semakin sistemik masyarakat tersebut mengubah alam dan efek yang ditimbulkan juga semakin kompleks. Paradigma yang mengacu pada konsep sustainable merupakan suatu proses perubahan yang terencana yang didalamnya terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Hal ini berarti bahwa konsep sustainable dapat menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses peran dan kesempatan. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya keterbatasan lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk menciptakan suatu sistem kinerja pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable. Paradigma sustainable lingkungan juga mengacu pada konsep keadilan yang dimaknai dengan adanya keterwakilan dan pendistribusiannya, terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat menjadi suatu regulasi yang benar-benar mewakili aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep regulasi yang jelas serta kepedulian lingkungan yang tinggi, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya Paradigma umum berikutnya adalah yang mengacu pada konsep partisipatif. Konsep ini menekankan pada pentingnya pelibatan dari berbagai pihak terkait terutama masyarakat, dimana didasari dengan adanya kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak, lingkungan dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua

paradigma ini, maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan lingkungan hidup yang hidup meliputi terutama dalam hal pelaksanaannya. pemanfaatan, pengendalian Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi kebijaksanaan penataan, dan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan,

lingkungan hidup. Sumber daya alam seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH Adapun yang menjadi rumusan masalah makalah ini adalah : 1. Bagaimana prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional? 2. Sebagai produk regulasi untuk melindungi lingkungan hidup, apakah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 telah cukup berparadigma pengelolaan lingkungan yang sustainable? 3. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan serta sumber daya alam yang berbasis pada pelestarian lingkungan hidup itu sendiri? 4. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang sustainable?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik Banyak definisi yang berkaitan dengan konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan emosi yang merupakan akibat benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan menangani pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal & Konflik Vertikal 2. Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka, mengarah pada kekerasan/kerusakan 3. Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik : Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan (underlying) 4. Klasifikasi berdasarkan rencana target : Konflik Sistematis & Konflik NonSistematis 5. Berdasar level konflik : Intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll; melihat dimana level konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen) 6. Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural, konflik kepentingan/kekuasaan, dll 7. Berdasar bidang konflik : etnis, politik, ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial, dll 8. Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan evaluasi 9. Berdasar bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian Dalam hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu ;

1. Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua, ekologis/sistem penyangga kehidupan 2. Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam menyediakan beragam materi dan energi yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan proses produksi. Sedangkan fungsi sosial/budaya berkaitan dengan keberadaannya sebagai media sebagian masyarakat dalam berinteraksi antar kelompok sosial maupun dengan sistem kepercayaan dengan tuhannya atau mempunyai fungsi psychophysiologic (sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas religius), educational and scientific services (penelitian dan pendidikan lingkungan) serta source of land and living space (sumber lahan dan tempat tinggal suku-suku tertentu). Fungsi ekologis, berkaitan dengan berbagai komponen lingkungan yang membentuk ekosistem dan keseimbangannya diperlukan dalam menjaminkan berbagai aktivitas kehidupan makhluk hidup.

BAB III PEMBAHASAN

A. Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada dasarnya, selama ini pengelolaan lingkungan itu dipahami sebagai tugas negara. Artinya, negaralah yang bertanggung jawab mengelola perilaku kolektif umat manusia melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Tidaklah mengherankan kalau kita kemudian terbiasa menggantungkan diri pada penggunaan otoritas negara dalam meregulasi pengelolaan lingkungan hidup. Sialnya, justru bekerjanya mesin birokrasi pemerintahan justru menjadikan lembaga yang satu dengan mudahnya melempar tanggung jawabnya ke pada lembaga lain. Bekerjanya birokrasi pemerintahan, yang diharapkan akan memastikan terkelolanya persoalanpersoalan lingkungan hidup, justru menciptakan masalah lingkungan itu sendiri. Inginnya tampil sebagai problem solver, tak tahunya justru menjadi trouble maker. Dalam kajian manajemen lingkungan sebetulnya telah lama dikenal adanya batas daya dukung alam (carrying capacity). Para pengkaji manajemen lingkungan meyakini bahwa batas daya dukung alam ini bisa dinaikkan melalui manjemen yang baik. Teori-teori manajemen, dalam konteks ini, berambisi untuk selalu menawar daya dukung alam, sehingga kesejahteraan bisa terjamin. Pertanyaan yang tersisa, seberapa jauh daya dukung alam ini bisa diekspoitasi? Ingat, daya ubah manusia modern semakin hari semakin dahsyat, dan ekspektasi mereka juga terus meningkat. Point yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa pendekatan yang saat ini populer, yakni manajemen lingkungan hidup, memiliki keterbatasan serius manakala pendekatan ini mendudukan lingkungan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Lebih jauh lagi, manusia dibayangkan sebagai fihak yang menentukan perubahan dan lingkungan ada fihak yang harus disesuaikan melalui berbagai desain, strategi atau teknik manajemen. Oleh karena itu, ada keperluan untuk menjajaki berbagai kerangka konseptual alternatif.

Perlu diingat, kegagalan birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan skemaskema manajemen lingkungan adalah karena tidak adanya komitmen terhadap nilainilai ekologis. Birokrasi pemerintahan tidak bisa diandalkan untuk diperankan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup karena sistem nilai yang ada di dalam birokrasi pemerintahan tersebut tidak sensitif terhadap premis-premis ekologis. Berfungsinya ekosistem tidak pernah mengenal yurisdiksi spasial para pejabat negara, dan mereka tetap saja bersiteguh dengan pemilahan fungsi secara spasial. Ekosistem tidak mengenal batas-batas kewenangan sektoral, namun birokrasi pemerintahann sejauh ini masing harus berkutat dengaan persoalan egosektoral. Persoalannya, bagaimana perubahan tata nilai bisa dilangsungkan ke arah yang digariskan oleh faham ekosentrik ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan bahwa selama pemerintah sebetulnya telah mencoba untuk mendorong perubahan tata nilai. Digulirkannya wacana pembangunan berwawasan lingkungan, sebetulnya menyembunyikan tata nilai baru, mendorong muncul dan berkembangnya etika baru. Lingkungan hidup perlu dikelola dengan sentuhan etika baru: etika lingkungan. Hanya saja, selama ini negara mengalami kesulitan untuk mereproduksi nilai-nilai, mereproduksi etika lingkungan. Sebaliknya, gerakan lingkungan yang sebetulnya sangat potensial dalam menumbuhkembangkan etika baru, sudahnya basis sumberdayanya lemah, energinya terserap untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai perusak lingkungan. Dalam memikirkan proses perubahan nilai-nilai yang kondusif bagi kelestarian lingkungan hidup, pendekatan manajerial justru bisa dipakai. Hanya saja, yang dikelola bukan lingkungan hidup melainkan interaksi sosial yang mengkondisikan kerusakan-kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Kalau selama ini kajian manajemen lingkungan hidup telah mencurahkan perhatiannya kepada lingkungan sebagai entitas bio-fisik, di masa-masa mendatang kita memerlukan kepiawaian dalam mengelola interaksi-interaksi sosial yang secara sistemik memiliki kapasitas merusak ekosistem dan habitat kehidupan umat manusia.

Sebagai suatu organisasi yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya dan kekuatan paksa, negara memiliki kemampuan mengubah kondisi alam dalam skala yang massif. Oleh karena itu, nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan menertibkan perilaku negara agar konsisten dengan kaidah-kaidah ekologis. Adanya keperluan untuk menjadikan negara sebagai sasaran penertiban inilah yang menginspirasi penulis untuk mengusulkan penggunaan konsep governance sebagai framework alternatif. Environmental governance dalam makalah ini difahami sebagai framework pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyatnya, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah salah satu produk hukum sebagai bukti eksistensi hukum pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional. Hukum pengelolaan lingkungan bukan hanya sebagai formalitas nasional dalam meratifikasi konferensi lingkungan hidup baik Stockholm, Rio De Jeneiro maupun Johanesberg. Tetapi lebih pada kesadaran masayarakat Indonesia bahwa kesadaran akan pengelolaan lingkungan secara arif dan sustainable mutlak di perlukan.karena sebagai bangsa yang berperadaban tinggi. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H. Sedangkan hak atas informasi dan mengeluarkan pendapat sebagai bentuk berpartisipasi secara tegas diatur dalam pasal 28F dan 28C ayat (3). Hak atas keadilan juga telah dijamin dalam pasal 28C ayat (2). UU No 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan. UU ini mengaitkan hak atas informasi dalam pasal 5 ayat (2) dengan hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat dalam pasal 5 ayat (1). Penegakan hukum lingkungan saat ini berada pada posisi stagnasi yang berkelamaan, buruknya implementasi dari aturan yang diterbitkan, serta hanya

sekedar mengutamakan instrument command and control. Penegakan hukum lingkungan hanya sebagai tools yang bertujuan akhir sebuah compliance. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada hanya kaya akan jumlah namun miskin dengan penataan. Point yang ingin dikedepankan adalah bahwa skenario untuk memperalat negara untuk memberlakukan prinsip-prinsip manajemen lingkungan ternyata tidak berjalan mulus. Keterlibatan negara, bahkan otorisasi negara untuk menggunakan tindak kekerasan dan paksaan, ternyata tidak menjamin berlakunya sistem manajemen lingkungan yang diberlakukan. Persoalan polusi industri sudah sejak lama merebak, dan naga-naganya tidak akan membaik dalam waktu dekat. Skema managemen kehutanan seakan tidak pernah ada, karena luasan dan kualitas hutan di negeri ini terus saja menurun. Analisis mengenai dampak lingkungan yang diwajibkan kepada para pengusaha seakan tidak pernah ada karena dampak lingkungan yang mereka ciptakan tetap saja tidak terkendali. Mereka punya seribu satu alasan untuk menghindar dari kewajiban untuk meminimalisir dampak lingkungan negatif dari kegiatan usahanya. Kalau kecenderungan kerusakan lingkungan hidup ini terus berlangsung, maka krisis lingkungan akan menjadi suatu keniscayaan. Pertanyaannya, mengapa berbagai kerusakan lingkungan tersebut terus saja terjadi. Apakah negara tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik melalui rutinitas prosedur, perencanaan, kebijakan dan regulasinya ? Apakah berlebihan ketika para pemikir kebijakan mengharapkan negara melakukan manajemen lingkungan dalam keseharian penyelenggaraan pemerintahan ? Ada cukup banyak alasan untuk menjawab ya. Jika demikian halnya, mengapa hal itu terjadi ? Pertama, pendekatan managerial cenderung menghindar atau terkelupas dari persoalan-persoalan politik. Para penganjur pendekatan manajerial berpretensi bahwa persoalan lingkungan bukanlah persoalan politik, melainkan sekedar sebagai persoalan teknis. Yang dilupakan dalam hal ini adalah bahwa para pejabat negara sebetulnya berpolitik dibalik berbagai teknikalitas manajemen lingkungan yang

telah dirancang. Sebagai contoh, untuk memastikan bahwa eksploitasi hutan dilakukan secara terencana, maka setiap kegiatan penebangan hutan harus mendapatkan persetujuan pejabat negara (melalui pemberian ijin). Para pejabat justru mencari keuntungan pribadi melalui pemberlakuan perijinan. Kalau yang mencari untuk pribadi hanya satu orang, munkin sistem perijinan tersebut tidak terlalu bermasalah. Namun kalau praktek mencari keuntungan sambil berpura-pura menyelenggarakan sistem perijinan ini dilakukan oleh orang banyak dan terjadi secara terus menerus, maka perijinan tadi kehilangan fungsi managerial. Artinya keinginan untuk melakukan kontrol terhadap kualitas lingkungan melalui sistem perijinan harus kandas terbentur oleh politisasi (atau tepatnya komersialisasi) prosedur perijinan. Manakala perijinan dalam rangka kontrol kualitas lingkungan difahami sebagai cara yang wajar dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, maka kewajaran manajemen lingkungan sebetulnya telah sirna. Kedua, manajemen lingkungan sebetulnya melekat dalam manajemen

pembangunan dan manajemen kepentingan publik. Perencanaan lingkungan idealnya inheren dalam perencanaan alokasi ruangan, alokasi sumberdaya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Sewaktu menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim sadar betul tentang hal itu, dan dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen pembangunan beliau sangat gencar mewacanakan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai. Dengan cara itu beliau berharap negara menginternalisasi pengelolaan pengelolaan lingkungan di dalam pengelolaan pembangunan. Sayangnya, pengembangan wawasan ini tidak cukup berhasil. Skema kerja manajemen lingkungan seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) jarang dihayati sebagai keperluan. AMDAL sejauh ini tetap saja dihayati sebagai kewajiban yang harus dipatuhi, bukan instrumen yang harus dikelola baik-baik. Ketiga, penjelasan-penjelasan tersebut di atas mengisyaratkan adanya kepercayaan

diri yang berlebihan (over-confidence) bahwa negara bisa diserahi tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan berbagai skema manajemen lingkungan. Managemen lingkungan yang dipercayakan kepada negara ini tidak diimbangi dengan pesatnya environmentalisme, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat. Implikasinya, majamenen lingkungan dilakukan tanpa penghayatan yang memadai tentang apa yang dilakukannya. Lebih dari itu, banyak orang yang justru berharap terlalu banyak terhadap berbagai skema manajemen lingkungan. Pemberlakuan skema AMDAL adalah illustrasi yang bagus. Pada dasarnya AMDAL adalah suatu perangkat manajerial untuk memastikan pengambil keputusan kebijakan publik. Melalui suatu kajian yang ditulis dalam dokumen AMDAL seorang pejabat publik bisa mengetahui potensi dampak yang akan terjadi ketika suatu investasi pembangunan akan dijalankan. Kalau dari kajian AMDAL ini terdeteksi adanya potensi kerusakan lingkungan yang besar, dan potensi kerusakan ini sulit dikelola maka sang pejabat harus tidak memberikan ijin. Dalam prakteknya selama pemberlakukan kewajiban untuk melakukan studi AMDAL di Indonesia, hampir-hampir tidak ada penolakan meskipun ada cukup banyak kegiatan yang mempertaruhkan lingkungan hidup secara besar-besaran. Celakanya, di kalangan masyarakat beredar harapan yang berlebihan bahwa AMDAL akan mengatasi masalah-masalah lingkungan. Padahal, AMDAL pada dasarnya hanyalah janji calon investor bahwa dirinya akan melalukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan kalkulasi dampak. Di sini ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, tepat tidak antisipasi dampak yang akan diatasi. Kedua, keseriusan dan kemampuan menanggulangi dampak. Kalaupun kajian AMDAL sudah dilakukan dengan baik dan disajikan dalam dokumen AMDAL, tidak ada jaminan bahwa dampak lingkungan bisa terkendali pada level minimal. Skema AMDAL tidak ada gunanya sama sekali kalau kajian tidak dilakukan secara serius. Dalam kasus AMDAL ini masyarakat sebetulnya menaruh harapan yang berlebihan karena beberapa alasan:

Banyak studi AMDAL yang tidak cukup seksama Para pejabat yang seharusnya mengambil rujukan pada dokumen AMDAL dalam pembuatan keputusan perijinan ternyata tidak terlampau mempedulikan dampak lingkungan dari keputusannya

Negara tidak menyediakan sumberdaya (uang, informasi dan personel) yang memadai untuk memastikan para pengusaha menunaikan janji-janji pengelolaan lingkungan yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL

Perlu di catat, krisis lingkungan tidak akan pernah bisa dibatasi lingkupannya sekedar sebagai krisis lingkungan semata. Krisis lingkungan akan memicu krisis sosial. Dalam berbagai manifestasi dan skala, kita telah lama mengetahui bahwa kerusakan lingkungan akan berbuntut kerusakan tatanan sosial. Menggejalanya kerusakan lingkungan senantiasa menyeret konflik lingkungan hidup kini semakin merajalela. Sebaliknya, konflik sosial yang terjadi tidak jarang justru memicu penggunaan sumberdaya alam dan pada gilirannya menghasilkan konflik sosial yang baru, atau konflik yang berskala lebih luas. Bagi para fihak yang berperang, kemenangan adalah difahami sebagai hal yang paling esensial. Tapi, siapapun yang menang, masing-masing harus menanggung kerugian ekologis : merelakan kerusakan lingkungan. Ketika lingkungan tercemar oleh industri, masyarakat menyalahkan perusahaan yang memiliki kegiatan industri. Perusahaan mengelak untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena sudah mendapat berbagai ijin yang diminta oleh pemerintah. Tentu saja, pejabat pemerintah yang dirujuk punya alasan banyak alasan untuk mengelak. Instansi yang menggunakan nomenklatur lingkungan hidup (misalnya: Kementerian Lingkungan Hidup atau Dinas/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) adalah lembaga yang kemungkinan besar akan dituding bersalah. Tetapi, dengan mengacu pada berbagai aturan main yang ada, lembaga-lembaga tersebut memang tidak memungkinkan mereka satu-satunya fihak yang harus dimintai pertanggungjawaban. Bukan lembaga ini yang memberikan ijin

usaha, dan lembaga yang mengeluarkan ijin ini memang tidak secara khusus/serius ditugasi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup. Dalam penyelenggaraan negara, kita tahu para pejabat teras memiliki kewenangan untuk memetapkan kebijakan di dalam lingkup tugasnya. Atas nama Undangundang Kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1967, Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang esensinya membuka diri bagi keterlibatan perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi hutan. Kepada perusahaan tertentu Departemen ini memberikan hak pengelolaan hutan melalui selembar Surat Keputusan (SK HPH). Apa yang terjadi setelah pemberian SK ini sangat jelas. Pertama, para pengusaha memiliki hak untuk menebangi ratusan ribu hektar kawasan hutan. Sejak diberlakukannya skema HPH di awal Orde Baru, luasan kawasan hutan merosot. Kedua, pemerintah sebetulnya telah melengkapi diri dengan serangkaian prosedur dan ketentuan untuk menjalankan skenario manajemen sumberdaya hutan. Point yang ingin diperlihatkan dari ilustrasi di atas adalah bahwa penggunaan otoritas negara (tepatnya penandatanganann sebuah SK HPH) punya implikasi serius bagi nasib hutan. Secara ekonomi-politik kita melihat ada sekelompok kecil orang yang kaya raya dari bisnis pengusahaan hutan, dan di sisi lain ada jutaan manusia yang kehilangan hutan sekaligus kehilangan jasa-jasa ekologis yang sebelumnya bisa dinikmatinya begitu saja. Singkat kata, penggunaan kekuasaan negara memiliki efek sistemik yang luas, dan praduga bahwa negara adalah manajer lingkungan yang baik ternyata sulit diyakini kebenarannya dalam praktek di Indonesia.

B. Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 (Pasal 10) kewajiban pemerintah adalah :

1. Mewujudkan,

menumbuhkan,

mengembangkan

dan

meningkatkan

kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup 2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup 3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup 4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup 5. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkunagn hidup 6. Memanfaatkan teknologi yang akrab lingkungan hidup 7. Menyelenggarakan pengembangan di bidang lingkungan hidup 8. Menyediakan informasi lingkungan hidup kepada masyarakat 9. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat berperan sebagai : 1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup. 2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan 3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan pembangunan lingkungan di suatu daerah

4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi yang dilakukan Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.

BAB IV KESIMPULAN

1.

Memperkuat dan memperluas aplikasi ketentuan hukum yang berlaku sekarang dan persetujuan internasional untuk mendukung pembangunan

berkelanjutan (to strengthen and extend the application of existing and international agreement in support of sustainable development) 2. Mengakui dan menghormati hak-hak dan kewajiban individu dan negara secara timbal balik bertalian dengan pembangunan berkelanjutan, dan melaksanakan kaidah-kaidah baru pada perilaku negara dan antar negara untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan (to recognise and respect the reciprocal rights and responsibility of individuals and State regarding sustainable development, and to apply new norms for State and interstate behaviour to enable this to be achieved) 3. Memperkuat metode yang telah ada dan mengembangkan prosedur baru untuk menghindari dan memecahkan pertikaian lingkungan dan masalah. Pengelolaan sumberdaya alam (to rainforce existing methods and develop new procedures for avoiding and resolving disputes on environment and resource management issues). 4. Prinsip yang mengatur pembangunan berkelanjutan disamping prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan juga prinsip yang memberikan refleksi pendekatan sustainable sebagai standar tingkat penggunaan atau eksploitasi sumberdaya alam tertentu. Sustainable dalam arti ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan secara optimal, seperti dalam hukum laut yang mengatur pemanfaatan sumberdaya laut, misalnya dengan istilah the optimum level of whale stocks, optimum sustainable yields dan optimum utilization yang didasarkan pada standar yang menjamin pelestarian lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA Rahmadi, Takdir, 1996, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Makalah Penataran Hukum Lingkungan, Proyek kerjasama Hukum Indonesia - Belanda, Surabaya.

Rangkuti, Siti Sundari, 1978, HetBiginsel De Vervuiler Betaalt, Rijksuniversiteit Te Leiden, Faculteit Der Rechtsgeleerheid. , 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press. Santosa, Mas Achmad, 1997, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Class Actions), Jakarta: ICEL. , & Sulaiman N. Sembiring, 1997, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing), Jakarta: ICEL. , et al., 1997, Penerapan Asas Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, Jakarta: ICEL. Ury, William L. et al., 1988, Getting Disputes Resolved, San Franoisco: JosseyBass Publisher. , 2009, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) , 1997, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) , 1997, Karaktenstik Hukum Acara Peraidilan Admininistrasi, Cetakan Pertama, Arlangga University Press, Surabaya. , 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Settlement of Environmental Disputes}, Surabaya: Airlangga University Press Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. , 1999, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Menurut UUPLH, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun V No. 1 Agustus. , 2000, Penyelesaian Yuridis Kasus Lingkungan, Harian Umum Duta, Edisi 4 dan 5 Februari. Yazid, T.M. Luthfi, 2002, Penyelesaian Sengketa Melalui ADR, Jurnal Hukum Lingkungan, ICEL, Tahun III No. 1.

You might also like