You are on page 1of 12

EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN BAGI RESIDIVIS

Oleh: Ade Yudha Purnawan 110110100227 Irena Pangesti 110110100230 Tiara Ika Winarni 110110100238 Dewi Yuliana Maharani 110110100235 Diah Gartina Purwidiana 110110100239

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

2012

BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pidana penjara ialah suatu bentuk pidana yang berupa pembatasan gerak yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan tindakan tata tertib bagi pelaku tindak pidana yang melanggar peraturan tersebut Sistem pemasyarakatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan berbeda dari lembaga kepenjaraan. Sistem kepenjaraan lebih menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang dipandang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi sosial yaitu agar narapidana menyadari kesalahanya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindakan pidana dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri sendiri dan lingkunganya. Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan berkesempatan untuk saling berinteraksi serta bersosialisasi antar sesama narapidana, yang tentunya menimbulkan dampak negative maupun positif. Mereka dapat saling berbagi pengalaman dalam hal kejahatan sehingga fungsi Lembaga Pemasyarakatan pun menyimpang sehingga menjadi sebuah sekolah kejahatan yang akhirnya akan dipraktekkan pada saat keluar dari tahanan. Sebutan sebagai sekolah kejahatan semakin nyata terlihat manakala bekas narapidana yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan melakukan kejahatan ulang setelah bebas (yang disebut sebagai residivis), serta masih dicurigainya bekas narapidana apabila kembali ke dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa masyarakat masih menganggap Lembaga Pemasyarakatan sebagai pusat latihan untuk para penjahat. Pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dianggap tidak efektif karena kenyataannya malah bermunculan banyak narapidana yang melakukan tindak pidana lagi di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakan yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan efektif ini akhirnya malah melahirkan penjahat yang berkualifikasi residivis. Lembaga Pemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, salah satunya yaitu untuk menimbulkan rasa menderita pada terpidana karena dihilangkanya kemerdekaan bergerak. Selain itu tujuan yang lain juga membimbing terpidana agar mau bertobat, serta mendidik supaya menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Sehingga segala sesuatunya tetap berdasar kepada perikemanusiaan dan sesuai dengan tujuan pembimbingan dan pendidikan kepada narapidana. Secara singkat tujuan dari pidana penjara meliputi : 1. Pembalasan (vergelding/retribusi) 2. Penjeraan (afschriking/deterence) 3. Penutupan (onschadelike/incarceration) 4. Rehabilitasi reformasi resosialisasi

Terkait dengan residivis, tujuan terpentingnya ada pada aspek penjeraan yang terkait dengan hukuman atau sanksi yang diterima oleh residivis karena perbuatannya, dan rehabilitasi yang merupakan aspek penyiapan mental dan ketrampilan agar mereka tidak melakukan kejahatan lagi. Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijadikan prinsip-prinsip pokok konsepsi terhadap aspek-aspek sosiologi dan kriminologi, mengingat kedua aspek tersebut memegang peranan penting dalam penanganan residivis. Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan dan perbaikan terhadap para narapidana diharapkan dapat berfungsi sebagaimana mestinya sehingga dapat menanggulangi volume kejahatan dalam masyarakat. Mengingat banyaknya pelaku tindak pidana dengan berbagai latar belakang serta tingkat kejahatan yang berada dalam satu tempat yang sama, yang menyebabkan proses pembinaan belum berjalan sesuai yang diharapkan. Pidana penjara belum dapat membuat jera para pelaku kejahatan. Hal ini dapat terbukti dengan semakin meningkatnya kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat baik para pendatang baru maupun para residivis. Pembinaan terhadap residivis dimaksudkan agar sekeluarnya dari Lembaga Pemasyarakatan dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan dapat mengembangkan diri dengan bekal ketrampilan yang diperoleh selama masa pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. Banyak hal atau faktor yang bisa menyebabkan seseorang kembali melakukan kejahatan (residivis) baik faktor intern maupun faktor eksteren. Diantaranya ada faktor lingkungan sosial yang selalu memandang sebelah mata mantan narapidana, sistem pembinaan yang kurang terinternalisasi, kesulitan ekonomi, kepuasan pribadi bahkan ada yang menemukan jaringan atau teman baru dari penjara.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana metode pembinaan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan yang efektif sehingga narapidana tersebut tidak menjadi residivis? 2. Apa penyebab narapidana yang telah mendapatkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan masih menjadi residivis? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui metode pembinaan narapidana yang efektif pada Lembaga Pemasyarakatan yang dapat mencegah terjadinya residivis. 2. Untuk mengetahui penyebab narapidana yang telah mendapatkan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan masih menjadi residivis

BAB II Pembahasan

Herbert L. Packer dalam bukunya The Units of The Criminal Sanction menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama dan terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat, cermat, dan manusiawi. Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana. Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis. A. Residive, Residivis dan Pengaturannya 1. Residivie

Pengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan mana satu atau lebih telah di jatuhi hukuman oleh pengadilan.Suatu hal yang juga sangat berhubungan dengan perbuatan ini adalah gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman. Perbuatan yang berhubungan dengan hal di atas diatur oleh undang-undang kita yaitu Kitap Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal yang berkenaan dengan hal perbuatan diatas adalah : Pasal 486, 487 dan 488. Kita semua mengetahui akan tujuan dari peng hukuman adalah : a. Prevensi hukum (pencegahan untuk terjadinya sesuatu) b. Prevensi khusus yang ditujukan terhadap mereka yang telah melakukan perbuatan kejahatan dengan pengharapan agar mereka takut mengulang kembali melakukan kejahatan setelah mengalami hukuman. Menurut sifatnya perbuatan yang merupakan sebuah pengulangan dapat dibagi menjadi dua jenis: a. Residive umum 1) Seseorang yang telah melakukan kejahatan. 2) Dimana perbuatan yang telah dilakukan sudah dijatuhi hukuman yang telah di jalani. 3) Kemudian Ia kembali melakukan kejahatan setiap jenis kejahatan. 4) Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan hukum.

b. Residive khusus 1) Seseorang yang telah melakukan kejahatan. 2) Yang telah di jatuhi hukuman. 3) Setelah ia menjalani hukuman kembali melakukan kejahatan. 4) Kejahatannya yang dilakukan kembali adalah sejenis. Dari perbuatan yang dilakukan diatas perbuatan yang sejenis hal untuk dilakukan pemberatan akan hukumannya. 2. Residivis

Sistem yang dipergunakan KUHP adalah sistem antara, berhubung penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki sifat yang sama dengan kejahatan yang dilakukan sebelumnya. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yaitu mengatur tentang terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan yaitu: a. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang di sebutkan dalam Pasal 486, 487 dan 488 KUHP. b. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 486 sampai 488, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), Pasal 489 ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3) Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat digolongkan menjadi : 1) Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatanperbuatan yang dilakukan yaitu: a. Pelanggaran hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu kali/first offenders) yaitu yang melakukan tindak pidana hanya satu kali saja. b. Residivis yang di bagi menjadi: 1) Penjahat yang akut meliputi para pelanggar yang bukan residivis dan mereka telah berulangkali melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana umum namun rentang waktu melakukan tindak pidana itu jauh, atau perbuatan pidana berbeda-beda sehingga ada hubungan kriminalitas atau dengan kata lain dalam jarak waktu tersebut misalnya 5 tahun menurut Pasal 486,487 dan 488 KUHP Indonesia. 2) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu singkat dari selang masingmasing putusan. 3) Penjahat berat, yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka. 4) Penjahat sejak umur muda tipe ini ia melakukan kejahatan semenjak dia kanakkanak berawal dari kenakalan anak.

2) Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan 3 (tiga) jenis, yaitu: a. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain: 1. Pengertian yang luas yaitu meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian kejahatan tampa diselingi suatu penjatuhan pidana/comdemnation. 2. Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu bila sipelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan itu lagi dalam rentang waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun semenjak terpidana menjalani semua atau sebagian hukuman yang telah dijatuhkan padanya. b. Selain kepada bentuk di atas, pengulangan tindak pidana juga dapat dibedakan atas; 1. Accidentale recidive, yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya. 2. Habituele recedive, yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena sipelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya. B. Faktor Penyebab Timbulnya Residivis Residivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat timbul dari perilaku jahat nya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindak pidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuan nya adalah untuk menekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengah masyarakat. Selain dari kesalahan penerapan pembinaan narapidana ada banyak faktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidana diantaranya dari lingkungan masyarakat tempat kembalinya. 1. Lingkungan Masyarakat Didalam masyarakat orang yang kelakuannya menyimpang atau menyalahi norma yang telah disepakati maka akan menimbulkan akibat yang beragam ada yang berakibat positif dan ada juga akibat yang negatif. Diantara akibat itu kalau yang berbentuk positif maka akan menimbulkan suatu perubahan dan gejala sosial dan ini dapat memancing timbulnya kreatifitas manusia untuk menanggulanginya dan mencari penyelesaian yang sesuai dengan norma yang dilanggar itu, sedangkan dampak negative yang ditimbulkan dari prilaku yang menyimpang itu akan menyebabkan terancamnya ketenangan dan ketentraman serta akan menimbulkan tidak terciptanyan ketertiban dalam masyarakat dan ini jelas akan menimbulkan respon dari masyarakat yang beragam karena mereka merasa terancam akan penyimpangan itu. Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakat kemudian menimbulkan stigmatisasi terhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan proses pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat. Lebih lanjut dan lebih dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hokum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benarbenar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan

masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat di percaya. Pada dasarnya jika kita lihat stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa ketakutan dari masyarakata terhadap mantan terpidana karena ada kekhawatiran ia akan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukan perbuatan melanggar hokum 2. Dampak dari Prisonisasi Prisonisasi bukanlah hal yang baru dalam sisitem pemasyarakatan yang diartikan sebagai sesuatu hal yang buruk menjadi pengaruh negatif terhadap narapidana dimana pengaruh itu berasal dari nilai dan budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan pada tahun 1963 oleh Sahardjo salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak membuat orang lebih buruk atau jahat sebelum dan di penjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan pengakuan terhadap pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif. C. Pembinaan Narapidana dan Pengaturannya

1. Pembinaan Narapidana Pembinaan narapidana merupakan salah satu upaya yang bersifat Ultimum Remidium (upaya terakhir) yang lebih tertuju kepada alat agar narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat. Pemasyarakatan membentuk sebuah prinsip pembinaan dengan sebuah pendekatan yang lebih manusiawi hal tersebut terdapat dalam usaha-usaha pembinaan yang dilakukan terhadap pembinaan dengan sistem pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Hal ini mengandung artian pembinaan narapidana dalam system pemasyarakatan merupakan ujud tercapainya reintegrasi sosial yaitu pulihnya kesatuan hubungan narapidana sebagai individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Kemudian dirumuskan dalam konfrensi dinas kepenjaraan yang menghasilkan sepuluh prinsip dasar pembinaan dan bimbingan bagi narapidana yaitu: 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warganegara yang baik dan berguna dalam masyarakat. 2. Penjatuhan pidana bukan merupakan tindakan pembalasan dendam oleh negara. 3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak bolehdi asingkan dari padanya. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun telah tersesat. 9. Narapidana hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan.

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru dan sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program-pembinaan pemasyarakatan. 2. Pengaturan Pembinaan Narapidana

Dalam mencapai sistem pembinaan yang benar-benar baik dan partisifatif bukan hanya hal ini datang dari petugas akan tetapi semua pihak masyarakat sebagai muara kembalinya narapidana termasuk diri pribadi narapidana itu. Dalam upaya pemberian partisipatifnya para petugas pemasyarakatan senantiasa bertindak sesuai dengan prinsipprinsip pemasyarakatan. Seorang petugas baru dianggap berpartisipasi apabila ia sanggup menunjukkan sikap, tindakan dan kebijaksanaannya dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap masyarakat maupun terhadap nara pidana. Untuk pelaksanaan pidana penjara yang berdasarkan kepada system pemasyarakatan di Indonesia saat ini mengacu kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Serta penjelasan Umum Undang-undang Pemasyarakatan yang merupakan dasar yuridis filosofi tentang pelaksanaan system pemasyarakatan di Indonesia dinyatakan bahwa : 1. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan telah melahirkan suatu system pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang dinamakan sistem pemasyarakatan. 2. Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana bersyarat (Pasal 14a KUHP), pelepasan bersyarat (Pasal 15KUHP), dan pranata khusus penentuan serta penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46, dan 47 KUHP), namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan system pemenjaraan. Sitem pemenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi narapidana dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah. 3. Sistem pemenjaraan sangat menekankan kepada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga rumah penjara secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya, kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat di restorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyatakat. Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakan masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan "pelayanan" yang

bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara. Situasi program pembinaan ketrampilan kerja/latihan kerja yang sekarang ini berjalan di dalam dan luar lembaga. Dengan mencari hasil signifikansi program tersebut untuk menjadi faktor penghalang seorang mantan penghuni penjara kembali ke dalam penjara. Dan akan dianalisa seberapa besar signifikansi program pembinaan tersebut telah sesuai dengan nilainilai restorative justice system. Dengan munculnya peace making criminology yang menawarkan suatu pilihan tentang bentuk penghukuman yang bersifat non-violence dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan, melibatkan partisipasi aktif korban, bersatu untuk mengintegrasikan pelaku ke dalam masyarakat, melalui suatu mekanisme mediasi, yang kemudian dikenal dengan restorative justice.

BAB III PENUTUP Kesimpulan dari apa yang telah dibahas pada bab sebelumnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa timbulnya residivis dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor lingkungan masyarakat dan faktor lembaga pemasyarakatan. Mengenai faktor lingkungan masyarakat hadirnya stigmatisasi yang ditujukan terhadap mantan narapidana, yang merupakan suatu proses pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah orang yang jahat, membuat para mantan narapidana yang telah menjalani masa hukumannya dan berusaha untuk kembali lagi ke dalam lingkungan masyarakat merasa bahwa dirinya memang orang yang sangat jahat dan tidak lagi bisa hidup berdampingan dengan masyarakat. stigmatisasi ini muncul disebabkan karena rasa ketakutan dari masyarakat terhadap mantan terpidana karena ada kekhawatiran ia akan mempengaruhi orang lain dan membawa orang itu untuk juga melakukan perbuatan melanggar hukum hal ini terkait dengan peran lembaga pemasyarakatan yang memilki fungsi mengayomi, membimbing dan mendidik terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna. Sehingga membuat mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat. Faktor ini menyoroti keefektifan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga yang memiliki konsep rehabilitasi sosial yaitu agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindakan pidana dan dapat kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab bagi diri sendiri dan lingkunganya. Sebenarnya lembaga pemasyarakatan hanya menjadi sarana dan tidak memberikan jaminan. Lembaga Pemasyarakatan memang tidak bisa memberikan suatu jaminan, bahwa
warga binaan yang sudah dibina itu pasti mau mentaati peraturan dan tidak melakukan kejahatan lagi, serta juga tidak ada jaminan bahwa program yang dilaksanakan dalam rangka pengayoman serta pemasyarakatan warga binaan pasti membawa hasil yang memuaskan. Pembinaan yang diberikan kepada narapidana yang berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, apabila narapidana itu secara sungguh-sungguh menyadari bahwa pidana penjara yang dijatuhkan kepada mereka bukanlah dimaksudkan untuk membalas perbuatan yang dilakukan oleh warga binaan itu, akan tetapi untuk mengayomi serta memasyarakatkan napi itu kejalan yang benar agar mereka menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan harkat dan martabatnya. Lembaga Pemasyarakatan mempunyai tugas untuk memulihkan terbentuknya kesatuan hubungan hidup kehidupan dan penghidupan narapidana sebagai Individu, anggota masyarakat dan Makhluk Tuhan YME, selain itu juga untuk melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan narapidana dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penaggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan HAM.

Saran 1. Agar para narapidana tidak mengulangi perbuatannya setelah bebas, masalah pembinaan pada lembaga pemasyarakatan lah yang harus menjadi prioritas. 2. Dalam pembinaan narapidana secara baik hendak nya para praktisi hukum atau penegak keadilan dalam hal ini petugas, pembina dan para pimpinan lembaga pemasyarakatan sebagai muara dari Sistem Peradilan Pidana harus benar-benar sesuai dengan yang menjadi dasar pembentukan dari instansi pembinaan narapidana ini. Sehingga apa yang di cita-citakan para pembuat gagasan tentang pembinaan narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan benar-benar tercapai dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti peningkatan angka residivis. 3. Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan kegiatan keterampilan. 4. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh pemerintah. Mengingat pengabdian yang mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan Negara bukan untuk kepentingan mereka sendiri. 5. Agar pelatihan keterampilan yang dilakukan di lapas dapat berhasil guna, hendaknya dilakukan kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil produk napi di lapas, apabila ada produk yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsewendo Atmowiloto, Hak-hak Narapidana, Elsam, 1996 Lamintang P.A.F, Drs. SH, Hukum Penintesier Indonesia, Armico, Bandung 1994 Sudarto, SH, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto: FH Undip, Semarang, 1991 Harsono HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, 1995

You might also like