You are on page 1of 12

PERBANDINGAN ADMINISTRASI NEGARA

Perbandingan Public Private Partnership pada Sektor Transportasi di Irlandia dan Norwegia

Oleh:
Nina Asterina, 0906526891

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester VI Mata Kuliah Perbandingan Administrasi Negara

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2012

Latar Belakang Kebanyakan negara di dunia menjadikan reformasi administasi sebagai trends dalam penyelenggaraan negaranya. Kebutuhan akan pentingnya efisiensi, efektivitas, dan ekonomi telah menjadi faktor dominan yang mendorong upaya reformasi administrasi. Reformasi administrasi telah mendapat dukungan signifikan di Eropa, Amerika, Australia dan New Zealand sejak periode 1990-an. Kemudian mulai memasuki Amerika Latin, Asia, dan belakangan Afrika. Reformasi tersebut ditujukan untuk transforamsi pelayanan publik baik yang ideal dan praktis (Rao, 2011). Upaya-upaya reformasi sengaja didesain ke arah perubahan yang diinginkan oleh masing-masing negara. Namun demikian, merancang suatu strategi reformasi administrasi bukan merupakan tugas yang mudah. Untuk itu, beberapa badan seperti International Monetary Funds, World Bank, Commonwealth, dan United Nations merekomendasikan beberapa strategi bagi reformasi administrasi. Strategi tersebut yaitu liberalisasi, deregulasi, downsizing sektor publik, menyusutkan struktur organisasi publik yang membengkak, privatisasi, debirokratisasi, reformasi pelayanan publik, reformasi anggaran, pengukuran kinerja, bisnis seperti manajemen, transparansi jangka panjang, komputerisasi dan mekanisasi, dan peningkatan produktifitas, efisiensi serta akuntabilitas (Rao, 2011) Strategi reformasi administrasi yang dapat digunakan oleh suatu negara, salah satunya adalah reformasi pelayanan publik. Pada dasarnya pelayanan publik merupakan rangkaian/proses interaksi fisik, baik antara orang dengan orang, atau orang dengan mesin, yang mampu memberikan keuntungan atau memberi kepuasan pada satu kelompok masyarakat tertentu. Adapun, pemerintahan suatu negara memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Namun demikian, pelayanan publik dinilai masih kurang memberikan kepuasan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan pelayanan publik masih memiliki beberapa kelemahan, seperti pelayanan yang tidak responsif, resisten terhadap perubahan, dan tidak mampu menghadapi tantangan baru (Rao, 2011). Kurangnya kemampuan pelayanan publik untuk fokus pada masyarakat, mengelola pengoperasian yang efisien dan kebijakan yang objektif inilah yang menuntut suatu negara untuk dapat melakukan reformasi pelayanan publik. Mengacu pada World Bank (2012), pemerintah yang efektif mampu meningkatkan taraf hidup rakyat dengan memastikan akses ke layanan penting - kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi, listrik, transportasi - dan kesempatan untuk hidup dan bekerja dalam damai dan keamanan. Salah satu sektor publik yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan reformasi pelayanan publik adalah sektor transportasi. Hal ini dikarenakan transportasi dapat mempengaruhi keberlanjutan 1

sosial, ekonomi dan lingkungan. Transportasi dapat menghubungkan pasar dan individu, membuat daerah lebih kompetitif dan mendorong pengembangan individu, sosial dan ekonomi. Sistem transportasi menyediakan individu dengan akses ke pelayanan sosial dasar, seperti kesehatan, makanan, pendidikan, pekerjaan dan kegiatan rekreasi (United Nations, 2011). Sementara itu, bentuk reformasi pelayanan publik yang dapat diterapkan pada sektor transportasi, salah satunya dengan cara kemitraan publik-swasta atau Public Private Partnership (PPP). PPP merupakan perjanjian kontraktual antara badan publik dan badan sektor swasta sehingga partisipasi sektor swasta yang lebih besar dalam pengiriman dan /atau pembiayaan proyek infrastruktur (U.S. Department of Transportation, Istrate dan Puentes, 2011). Intinya, sebuah program reformasi yang mencakup PPP memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan kembali penugasan peranan sektoral untuk

menghilangkan potensi konflik dan untuk mempertimbangkan badan swasta sebagai peserta sektor (Asian Development Bank, 2008). PPP telah dilakukan di banyak negara di dunia, seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Gambar 1. PPP di Dunia pada 1985-2011 (dalam miliar USD)
187.2 68.4 45.2 88.5 31.5 Amerika Kanada Meksiko, Amerika Latin, Karibia Eropa Afrika, Timur Tengah Asia, Australia

353.3

Sumber: Public Works Financing, 2011 Gambar di atas menunjukan nominal proyek infrastruktur yang dilakukan dengan mekanisme PPP, antara lain mencakup pendanaan jalan, kereta api, bangunan, dan proyek air sampai Oktober 2011. PPP banyak diterapkan karena partisipasi swasta dalam aset dan penyediaan layanan dapat pembiayaan, memaksimalkan nilai uang bagi

pemerintah dengan percepatan

memfasilitasi inovasi, menyediakan

manajemen risiko yang lebih baik, dan mengintegrasikan siklus hidup manajemen. PPP memberikan kesempatan bagi lembaga publik untuk memberikan sarana transportasi menggunakan sumber daya sektor swasta tanpa harus melakukan hutang publik (AECOM Consult Team, 2007). Adapun, PPP berbeda secara signifikan dari sektor ke sektor dan dari proyek ke proyek. PPP juga berbeda dari satu negara ke negara mengingat kontrak tersebut didasarkan pada kerangka kerja legislatif yang berbeda di seluruh dunia (Istrate dan

Puentes, 2011). Perbedaan penerapan mekanisme PPP tersebut dapat dilihat di Italia dan Norwegia. Kedua negara tersebut menjalin kemitraan dalam penyediaan layanan transportasi di negaranya masing-masing. Kebutuhan akan layanan transportasi di kedua negara tersebut mengalami peningkatan. Peningkatan layanan transportasi misalnya dilihat dari kebutuhan akan infrastruktur jalan. Jumlah kendaraan per kilometer jalan di Irlandia mengalami pengingkatan dari 23 (tahun 2007) menjadi 24 (pada 2008). Adapun, jumlah kendraan per kilometer jalan di Norwegia tidak mengalami peningkatan dari tahun 2007 ke 2008, yakni sebanyak 29. Namun pada 2009, jumlah kendaraan per kilometer jalan menjadi 30 kendaraan (World Bank, 2012). Permasalahan PPP dapat menjadi alat menuju pembagian yang lebih baik dari risiko dan biaya penyediaan infrastruktur, namun sebagian besar pemerintah menerapkan PPP karena alasan lain. Pemerintah di negara maju dan berkembang melihat PPP sebagai cara untuk mengakses sumber pendanaan baru dan mendorong beberapa pembiayaan infrastruktur di luar anggaran (World Bank dalam Istrate dan Puentes, 2011). Penyelarasan insentif yang mendorong efisiensi dapat dikatakan berasal dari pengaturan PPP. Mekanisme kemitraan dalam PPP dapat membantu negara dalam melakukan reformasi pelayanan publik, seperti pada sektor transportasi. Keterlibatan swasta dalam pengelolaan sektor transportasi melalui mekanisme PPP memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pemberian layanan, seperti tidak responsifnya layanan terhadap masyarakat, resistensi terhadap perubahan, dan ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan baru. Oleh karena itu, makalah ini membahas tentang Bagaimanakah perbedaan public private partnership pada sektor transportasi di Irlandia dan Norwegia? Pembahasan Istilah kemitraan publik-swasta atau Public Private Partnership (PPP) telah digunakan secara umum sejak 1990-an. Namun demikian, tidak ada definisi luas yang disepakati tunggal. Menurut European Comission (dalam Davies, 2005) PPP mengacu pada bentuk kerjasama antara otoritas untuk menjamin infrastruktur pendanaan, publik dan dunia bisnis yang dan bertujuan pemeliharaan

konstruksi,

renovasi,

pengelolaan,

penyediaan

layanan.

Adapun,

PPP memungkinkan

pemerintah untuk

melewati peran operasional kepada operator swasta yang efisien, sementara tetap mempertahankan dan meningkatkan fokus pada inti tanggung jawab sektor publik, seperti regulasi dan pengawasan (Asian Development Bank, 2008).

Kemitraan publik dan swasta dalam pemberian layanan publik misalnya pada sektor trasnportasi, seperti yang dilakukan oleh Irlandia dan Norwegia. Irlandia melakukan kemitraan dengan swasta dalam skema PPP pada sektor transportasinya, yaitu pada proyek jalan. Sebanyak 10 skema PPP telah diadakan selama periode 2001 sampai 2007. Semua skema merupakan skema tol dengan satu pengecualian, yaitu jalan raya M50 yang dioperasikan sebagai fasilitas tol sektor publik. Adapun, pada tahun 2008 National Roads Authority Irlandia diberikan wewenang untuk melanjutkan program PPP kedua dengan tujuan memberikan konstruksi jalan baru dengan nilai modal sebesar 1 miliar melalui pendanaan sektor swasta di bawah mekanisme PPP (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Model PPP juga digunakan oleh Norwegia dalam memberikan layanan transportasi kepada masyarakatnya melalui tiga proyek percontohan jalan. Pilot proyek PPP yang

diprakarsai Storting (Parlemen Norwegia) tersebut dimasukkan ke dalam National Transport Plan periode 2002 sampai dengan 2011. Adapun, ketiga proyek tersebut yaitu E39 KlettBrdshaug diSr-Trndelag County (Norwegia tengah), E39Lyngdal-Flekkefjord (Norwegia Selatan ke arah Stavanger, dan E18 Grimstad-Kristiansand (pantai tenggara Norwegia). Panjang total dari tiga proyek jalan tersebut hampir 100 km dengan total investasi sekitar NOK7 miliar (= 0.78 miliar). Proyek percontohan jalan tersebut dimaksudkan untuk menguji model PPP dalam pemberian layanan dengan melihat efisiensi dan efektifitas yang dihasilkan tanpa kehilangan kontrol publik (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Layanan transportasi yang dikelola dalam mekanisme PPP baik di Irlandia maupun Norwegia berkaitan dengan proyek jalan. Pembiayaan infrastruktur jalan yang sebagian besar masih disediakan dan dikelola oleh sektor publik melalui anggaran publik menimbulkan kesulitan tersendiri bagi suatu negara PPP (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Hal inilah yang menyebabkan Irlandia menjalankan PPP dalam 10 proyek jalannya dan Norwegia mengambil proyek percontohan jalan dalam skema PPP transportasinya. Adapun, kemitraan publik dan swasta dalam mekanisme PPP tidak terlepas dari tiga aspek yang mempengarhinya. Menurut Riberio dan Dantas (2006) ada tiga aspek yang berpengaruh terhadap PPP, yaitu keuangan (financial issue), resiko (risk issue), dan hukum (law issue). Penerapan PPP transportasi di Irlandia dan Norwegia pun tidak terlepas dari pengaruh ketiga faktor tersebut. Berikut ini adalah analisis mengenai ketiga aspek tersebut dalam PPP transportasi di Irlandia dan Norwegia. 1. Instrumen Keuangan Instrumen keuangan in berhubungan dengan sumber pembiayaan proyek public private partnership. Adapun, tipe PPP yang biasanya digunakan adalah DBOF (Design, Build, Finance, and Operate). Dalam kontrak DBOF, pihak swasta menyediakan aset dan 4

operasi yang sedang berlangsung serta pemeliharaan layanan sehubungan dengan aset, serta pengaturan pembiayaan utang dari bank komersial untuk pembiayaan aset yang tinggi dan ekuitas keseimbangan dalam kebutuhan pendanaan (Palmer, 2000). Model DBFO ini juga merupakan model PPP yang diterapkan oleh Irlandia dan Norwegia dalam proyek jalan PPP. Irlandia menggunakan model DBFO dalam proyek jalan DBFO dengan konsensi jangka panjang sampai 30 tahun termasuk masa konstruksi. Pemegang

konsesi bertanggung jawab untuk menyediakan pembiayaan untuk jalan nasional dalam skema PPP. Sumber pembiayaan tersebut menggunakan ekuitas, utang bank (termasuk partisipasi European Investment Bank), dan dalam beberapa kasus menggunakan

keuangan obligasi. Untuk sebagian besar proyek jalan PPP di Irlandia menggunakan skema tol dan pemegang konsensi menanggung resiko lalu lintas. Sektor publik tidak

memberikan hibah dalam bentuk pembayaran hutang konstruksi selama tahap konstruksi dan pembayaran operasi selama tahap operasional. Adapun, besarnya hibah sektor publik dirinci dalam dukumen tender. Sebagai bagian dari proses tender yang kompetitif, perusahaan yang mengikuti tender menunjukan tingkat hibah yang dibutuhkan dalam pengajuan tendernya. Sementara itu, tingkat hibah yang dibutuhkan harus ditentukan oleh perusahaan tender berdasarkan biaya dan piutang tol yang diterima. Model PPP yang juga digunakan oleh Norwegia adalah kontrak DBFO dimana perusahaan PPP diberi tanggung jawab penuh untuk merancang, membangun, membiayai, dan mengoperasikan ruas jalan atas nama negara selama 20-30 tahun. Dengan kata lain, tidak ada kontribusi publik selama fase konstruksi dan semua investasi dibiayai oleh perusahaan PPP. Adapun, periode operasi dimulai ketika jalan dibuka. Sementara itu, kompensasi tahunan kepada perusahaan PPP dibayar secara teratur oleh negara selama periode operasi 20-25 tahun dan didanai oleh tol dan alokasi dari anggaran negara (www.vegvesen.no, 2008). Pembayaran didasarkan pada insentif dan kinerja terhadap sejumlah kriteria yang telah ditetapkan dimasukkan dalam mekanisme pembayaran dalam kontrak PPP. Dalam hal ini, Norwegian Public Roads Administration bertanggung jawab untuk perencanaan dan penilaian dampak proyek serta mengontrol kualitas dan kinerja pelayanan jalan. Adapun, perusahaan PPP dan sponsornya bertanggung jawab untuk meningkatkan keuangan, ekuitas, dan pinjaman (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Instrumen keuangan yang digunakan dalam PPP di Irlandia dan Norwegia adalah dengan skema DBOF. Melalui skema tersebut, pembiayaan proyek jalan, baik di Irlandia dan Norwegia ditanggung oleh perusahaan PPP yang bersangkutan. Di Irlandia, kompensasi atau hibah tidak diberikan kepada perusahaan PPP selama tahap konstruksi dan tahap operasional. Adapun, kompensasi di Norwegia diberikan kepada perusahaan PPP setelah konstruksi selesai dan periode opesasi dimulai.

2. Alokasi Resiko Public Private Partnership berkaitan erat dengan adanya sharing of risk antara sektor publik dan swasta dalam kemitraan yang terjalin. Baik Irlandia dan Norwegia pun menerapkan aturan tentang alokasi resiko atau pembagian resiko yang ditimbulkan selama kemitraan berlangsung berdasarkan kontrak yang disepakati. Pengaturan mengenai alokasi resiko diperlukan untuk menghindari tumpang tindihnya tanggung jawab kedua belah pihak, sektor publik dan swasta, atau pelemparan tanggung jawab atas resiko proyek PPP selama proyek berlangsung. Alokasi resiko tersebut berbeda-beda untuk setiap proyek maupun sektor. Perbedaaan mekanisme alokasi resiko juga berbeda-beda di setiap negara, seperti yang diberlakukan di Irlandia dan Norwegia. Pada kontrak DBFO terkait proyek jalan PPP di Irlandia, disepakati bahwa sektor publik bertanggung jawab untuk perencanaan, pengadaan tanah, dan persetujuan risiko dalam perundang-undangan (statutory approval risk). Adapun, perusahaan yang dipilih untuk menjalankan proyek PPP bertanggung jawab untuk meningkatkan keuangan dan menjalankan konstruksi. Resiko operasional mencakup resiko lalu lintas yang berkaitan dengan skema tol pun ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Sementara itu, model PPP Norwegia mensyaratkan model alokasi resiko costeffective antara sektor publik dan swasta. Berdasarkan kontrak DBFO yang disepakati oleh Norwegian Public Roads Administration dan perusahaan PPP, perusahaan bertanggung jawab untuk resiko yang signifikan terkait desain konstruksi, kemajuan, operasi,

pemeliharaan, dan pembiayaan proyek. Perusahaan PPP memiliki sedikit pengaruh atau tidak memiliki pengaruh pada beberapa jenis resiko (misalnya luar

perubahan rencana disebabkan

oleh otoritas

publik karena

keadaan di

kendali perusahaan PPP, akuisisi lahan dan properti yang tertunda, penemuan benda budaya di lokasi konstruksi, dan sebagainya). Adapun, jenis-jenis resiko tersebut akan dialihkan kepada the Norwegian Public Roads Administration. Selain itu, tidak ada pengalihan resiko pendapatan lalu lintas kepada perusahaan PPP dalam skema tol. (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Berdasarkan kesepakatan alokasi resiko dalam kontrak proyek jalan PPP di Irlandia dan Norwegia antara sektor publik dan swasta, dapat dilihat adanya perbedaan tanggung jawab perusahaan dalam penanganan resiko dari proyek PPP. Perusahaan PPP di Irlandia bertanggung jawab atas resiko operasional yang ditimbulkan dari proyek, seperti resiko lalu lintas yang berkaitan dengan skema tol. Namun demikian, perusahaan PPP di Norwegia tidak bertanggung jawab atas resiko lalu lintas dalam skema tol.

3. Landasan Hukum Landasar hukum diperlukan untuk Public Private Partnership yang berkelanjutan dalam penyediaan layanan. Kejelasan hukum yang mengatur kebijakan PPP di suatu negara dapat dijadikan landasan yang kuat bagi kewenangan negara dalam PPP, serta bagi hubungan kemitraan yang terjalin antara sektor publik dan swasta. Irlandia dalam pelaksanaan PPP-nya berlandaskan pada State Authorities (Public Private Partnership Arrangements) Act 2002. Dasar hukum tersebut memungkinkan legislasi dalam menjelaskan otiritas negara untuk masuk ke dalam PPP dan memberi kekuataan untuk masuk ke dalam joint ventures. Selain itu, Irlandia juga membentuk kerangka perjanjian dengan mitra sosial yaitu Congress of Trade Unions, the Irish Business and Employers Confederation and the Construction Industry Federation, serta Departemen dan Instansi yang terlibat dalam program PPP. Dalam regulatory framework terkait skema jalan PPP, wewenang dimiliki oleh pihak yang mengadakan kontrak dengan perusahaan PPP dan bertanggung jawab atas pengaturan kontrak konsesi jalan. Adapun, sebagai bagian dari pengawasan konsesi, National Roads Authority Irlandia melibatkan tim pemantau selama tahap konstruksi sebagai pengawas terhadao kegiatan operasional proyek (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Berbeda dengan Irlandia yang memiliki dasar hukum berupa State Authorities (Public Private Partnership Arrangements) Act 2002, Norwegia tidak mempunyai dasar hukum atau undang-undang yang mengatur tentang PPP. Tidak adanya legal basis tersebut mungkin dikarenakan proyek jalan yang menggunakan mekaniseme PPP masih dalam tahap percobaan untuk mengevaluasi hasil yang diperoleh dari kemitraan pengelolaan jalan. Meskipun demikian, terdapat regulatory framework yang mengatur tentang beberapa hal terkait dengan pelaksanaan kemitraan infrastruktur jalan di Norwegia, yaitu: (a) Road Directorate merupakan perusahaan kontraktor dalam PPP; (b) Jalan-jalan dalam PPP merupakan jalan umum yang dimiliki oleh negara dan bagian dari jaringan jalan negara; (c) Norwegian Public Roads Administration akan menggunakan wewenang publik sesuai dengan aturan lalu lintas dan jalan dengan cara yang sama dengan jalan milik negara lainnya; dan (d) Norwegian Public Roads Administration membedakan perannya secara jelas sebagai pihak kontraktor dan sebagai otoritas publik (Sigurbjrnsdottir, et al., 2009). Adanya kerangka peraturan tersebut dapat memberikan arahan dalam pelaksanaan PPP di Nowegia. Landasan hukum merupakan hal yang penting terkait dengan legislasi negara dan kewenangannya dalam PPP yang dilaksanakan oleh suatu negara. Selain itu, diperlukan adanya kerangka kerja yang jelas untuk mengatur peranan dari pihak-pihak terkait dalam proyek PPP. Irlandia sebagai negara yang menerapkan PPP pada layanan transportasinya 7

memiliki landasan hukum yang kuat dan kerangka kerja yang jelas. Baik landasan hukum maupun kerangka kerja tersebut menguraikan tentang wewenang negara, sektor publik, dan pihak swasta dalam PPP. Namun demikian, Norwegia tidak memiliki landasan hukum yang mengatur tentang PPP transportasi di negaranya. Peranan sektor publik dan swasta hanya diatur dalam kerangka kerja yang menjelaskan tentang kewenangan kedua belah-pihak dan hal-hal lain terkait PPP. Berdasarkan proyek transportasi yang dikelola, instrument keuangan, alokasi resiko, dan lendasan hukum dalam skema PPP yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa perbedaan PPP transportasi di Irlandia dan Norwegia. Adapun, perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Matriks Perbandingan Public Private Partnership pada Transportasi di Irlandia dan Norwegia Perbandingan Sektor Transportasi dalam Skema PPP Irlandia 10 proyek jalan selama periode 2001 sampai 2007. Norwegia Tiga proyek percontohan jalan selama periode 2002 sampai dengan 2011. Model PPP: DBOF dimana perusahaan PPP menanggung pembiayaan proyek jalan PPP. Kompensasi diberikan kepada perusahaan PPP setelah konstruksi selesai dan periode opesasi dimulai. Sektor publik: bertanggung jawab atas resiko otoritas publik; akuisisi lahan dan properti yang tertunda, penemuan benda budaya di lokasi konstruksi. Sektor swasta: bertanggung jawab untuk resiko yang signifikan terkait desain konstruksi, kemajuan, operasi, pemeliharaan, dan pembiayaan proyek. Tidak bertanggung jawab atas resiko lalu lintas dalam skema tol.

Intrumen Keuangan

Model PPP: DBOF dimana perusahaan PPP menanggung pembiayaan proyek jalan PPP. Kompensasi tidak diberikan kepada perusahaan PPP selama tahap konstruksi dan tahap operasional.

Alokasi Resiko

Sektor Publik: bertanggung jawab atas perencanaan, pengadaan tanah, dan persetujuan risiko dalam perundangundangan. Sektor swasta: bertanggung jawab untuk meningkatkan keuangan; menjalankan konstruksi; resiko operasional (resiko lalu lintas dalam skema tol).

Landasan Hukum

Dasar hukum: State Authorities (Public Private Partnership Arrangements) Act 2002 yang mengatur tentang kewenangan negara dalam PPP. Kerangka kerja: Pengaturan tentang kewenangan National Roads Authority dan perusahaan PPP serta hal-hal lain terkait PPP.

Dasar hukum: Tidak ada dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan PPP.

Kerangka kerja: Pengaturan tentang kewenangan Road Directorate dan Norwegian Public Roads serta hal-hal lain terkait PPP.

Sumber: Olahan Penulis, 2012 Public private partnership (PPP) jika dilihat dari ketiga aspek PPP (keuangan, alokasi resiko, dan hukum) dapat dikatakan sebagai bentuk reformasi pelayanan publik yang dilakukan baik di Irlandia maupun di Norwegia. Dengan adanya kerja sama dengan swasta dalam penyediaan layanan transportasi, khususnya infrastruktur jalan, maka masalah pelayanan publik dapat diatasi. Keterbatasan dana dalam pengelolaan layanan oleh pemerintah terkadang menyebabkan layanan yang diberikan menjadi tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Melalui PPP, pihak swasta menanggung pembiayaan proyek. Adapun, tingkat kompetisi yang dimiliki oleh swasta dalam pencapaian sasaransasarannya menjadikan swasta lebih peka dan tanggap terhadap kebutuhan pelanggan, yang dalam hal ini masyarakat. Permasalahan lainnya dalam pelayanan publik adalah resistensinya terhadap perubahan dan ketidakmampuan menhadapi tantangan baru. Perubahan akan selalu mempunyai dampak, baik positif maupun negatif. Adanya resiko dari perubahan tersebut cenderung mengurungkan niat pemerintah dalam melakukan perubahan untuk perbaikan pelayanan. Pemerintah pun tidak siap menghadapi tantangan baru sebagai konsekuensi dari adanya perubahan. Melalui PPP, resiko yang ditimbulkan dari proyek ditanggung oleh dua pihak, yaitu publik dan swasta berdasarkan perjanjian yang telah ditetapkan. Dengan adanya pembagian resiko, maka dapat mengurangi kekhawatiran akan perubahan yang dilakukan. Kesiapan dalam mengahadapi tantangan baru pun dapat ditingkatkan karena adanya kerja sama antara kedua belah pihak, misalnya melalui inovasi perencanaan proyek oleh swasta dalam PPP. Namun demikian, aspek yang tidak boleh dilupakan adalah adanya landasan hukum yang jelas mengatur kewenangan negara, badan publik, dan sektor swasta yang terlibat dalam PPP. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga otoritas negara dalam pemberian layanan kepada masyarakat. Adapun, peranan pihakpihak yang terlibat diatur dalam kerangka kerja yang telah ditentukan. Hal ini jelas terkait dengan akuntabilitas masing-masing pihak atas kewajiban dan hak yang dimiliki. Akuntabilitas ini tentu saja penting dalam pelaksanaan reformasi pelayanan publik.

Kesimpulan Reformasi pelayanan publik yang dilakukan oleh suatu negara dapat dilakukan melalui alternatif public private partnership (PPP). Salah satu sektor pelayanan publik yang dapat diberikan melalui mekanisme PPP adalah transportasi. Kemitraan publik dan swasta dalam transportasi diterapkan oleh Irlandia dan Norwegia. Namun demikian, PPP yang dilaksanakan di Irlandia dan Norwegia memiliki beberapa perbedaan, baik dalam aspek instrumen keuangan, alokasi resiko, maupun landasan hukumnya. Pada instrumen keuangan, keduanya menggunakan skema DBFO (Design, Builid, Finance, Operate). Perbedaannya adalah pada periode pemberian kompensasi kepada perusahaan PPP. Pada alokasi resiko, perbedaannya terletak pada tanggung jawab perusahaan PPP terhadap resiko lalu lintas dalam skema tol. Sementara itu, pada landasan hukum dibedakan oleh adanya kepemilikan dasar hukum yang mengatur tentang PPP di Irlandia dan Norwegia. Adaun, ketiga aspek tersebut berpengaruh terhadap PPP yang dilakukan. Melalui ketiga aspek PPP tersebut juga dapat dilihat bahwa kerja sama swasta dengan pemerintah dalam penyediaan layanan dapat mengatasi beberapa kelemahan dalam pelayanan publik.

Daftar Pustaka -, 2008, PPP-projects in Norway, [online] Available:

http://www.vegvesen.no/en/Roads/Financial/Private+Public+Partnership+PPP [2012, 28 Mei] AECOM Consult Team, 2007, Case Studies of Public-Private Partnerships for

Transportation Projects in the United States, AECOM Consult, Inc: Arlington, Virginia. Available:

http://www.fhwa.dot.gov/ipd/pdfs/us_ppp_case_studies_final_report_7-7-07.pdf [2012, 26 Mei]. Davies, Paul, 2005, Delivering The PPP Promise: A Review of PPP Issues and Activity, PricewaterhouseCoopers: France. Available:

http://www.pwc.com/en_GX/gx/government-infrastructure/pdf/promisereport.pdf [2012, 26 Mei] Istrate, Emilia dan Robert Puentes, 2011, Project on State and Metropolitan Innovation, Brookings-Rockefeller. Available:

http://www.brookings.edu/~/media/research/files/papers/2011/12/08%20transportati on%20istrate%20puentes/1208_transportation_istrate_puentes.pdf [2012, 26 Mei]. 10

Palmer, Keith, 2000, Contract Issues and Financing in PPP/PFI (Do We Need F in DBOF Projects?), Cambridge Economic Policy Associates Ltd. Available:

http://www.cepa.co.uk/documents/FinalcontractissuesandfinancinginPPP-PFI.pdf [2012, 28 Mei] Rao, V. Bhaskara, 2011, Public Administration and Public Policy Vol 1: Strategies of Successful Administrative Reform, Kakatiya University: Warangal, India. Available: http://www.eolss.net/Sample-Chapters/C14/E1-34-04-02.pdf [2012, 26 Mei]. Sigurbjrnsdottir, et al., 2009, Public Private Partnerships (PPP), Confrence of European Directors of Roads, Available:

http://www.cedr.fr/home/fileadmin/user_upload/Publications/2009/e_Public_private_p artnerships_(PPP).pdf [2012, 27 Mei 2012] United Nations, 2011, Transport For Sustainable Development in The Ece Region, Available: http://www.unece.org/fileadmin/DAM/trans/publications/Transport_for_sustainable_ development_in_the_ECE_region.pdf [2012, 25 Mei]. U.S. Department of Transportation, Status of the Nations Highways, Bridges, and Transit: Conditions and Performance Report to Congress, 2009. World Bank, 2012, Public Sector, [online] Available: http://data.worldbank.org/topic/publicsector [2012, 27 Mei]. _________, 2012, Vehicles (Per Km of Road), [online], Available:

http://data.worldbank.org/indicator/IS.VEH.ROAD.K1/countries [2012, 27 Mei]

Gambar Public Works Financing, 2011, 2011 Survey of Public-Private Partnerships Worldwide. Available: http://www.brookings.edu/~/media/research/files/papers/2011/12/08%20transportati on%20istrate%20puentes/1208_transportation_istrate_puentes.pdf [2012, 26 Mei].

11

You might also like