You are on page 1of 26

SILA KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk ciptaAN Tuhan

Yang Maha Esa, yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan / moral. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya. Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia, tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal. Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa yakni sesuai dengan kodrat manusia sebagai ciptaanNya. Hal ini selaran dengan : a.pembukaan UUD 1945 alinea pertama b.Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab (1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. (2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. (3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. (4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. (6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. (7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. (8) Berani membela kebenaran dan keadilan. (9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. (10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Lumpur dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Saturday, 20 September 2008 14:29

Franz Magnis Suseno | Salah satu permainan ideologis di negara kita ini adalah pertanyaan: manakah sila paling mendasar dalam Pancasila sebagaimana disebut dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ada yang mengatakan bahwa itu tentunya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, karena Tuhan adalah yang tertinggi dari segala yang ada. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah Persatuan Indonesia karena tanpa sila itu, sila-sila lain tidak mempunyai tempat untuk berpijak, yaitu bumi Indonesia. Begitu pula bagi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa ditemukan argumentasi mengapa harus dianggap sila yang paling mendasar. Akan tetapi ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm. Prof. Dr. Nikolaus Drijarkara. Rama Drijarkara menegaskan bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti etis, adalah sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Mengapa sila ini? Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua sila lain menjadi cacat. Sebaliknya, meskipun tanpa empat sila lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensidimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan begitu pula hubungan antar

orang, menjadi adil dan beradab, dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu. Mari kita lihat tempat kunci sila kedua dengan sedikit lebih rinci. Pertama harus dikatakan bahwa kita memang harus mulai pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan karena manusia lebih tinggi daripada Tuhan Tuhan tentu jelas lebih tinggi daripada manusia melainkan karena sebagai manusia kita hanya dapat bertitik tolak dari kemanusiaan. Setiap orang yang mnengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah sesat dan menyesatkan. Ia adalah manusia, dengan pengertian manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak harus mulai dari dirinya sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak ada dimensi lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada Ketuhanan (tetapi, sekali lagi, Tuhan tentu ada tanpa kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan dan pengakuan manusia terhadap Tuhan). Tetapi kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan natar manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya. Tetapi keadilan tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan hanyalah etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab. Tanpa sikap beradab keadilan menjadi tidak adil. Itulah seninya sila kedua :Kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah dan mendalam! Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil dan beradab. Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Gasis paling bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup

kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya, bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu bertindak secara beradab. Tak perlu dulu icara akhlak mulia, cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak pernag bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama merupakan penghinaan terhadap agama yang diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan brutal berkenan di hadapan Tuhan. Karena keadilan dan keberadaban merupakan syarat harkat etis segala tindakan manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan inti Pancasila. Hal itu dapat diperlihatkan pada sila-sila lain. Ketuhanan Yang Maha Esa yang disertai sikap tak adil atau tindakan tak beradab dan brutal menjadi tidak mutu dan menyabot makna Ketuhanan sendiri. Memang selama sejarah umat manusia sampai hari ini banyak kekasaran, kejahatan, kebrutalan dilakukan atas nama manusia. Semuanya itu menghina Tuhan. Orang yang bertindak brutal, kasar dan tidak beradab jangan berani mengatasnamakan Tuhan atau agama. Begitu pula nasionalisme yang terungkap dalam sila Persatuan Indonesia, selalu harus adil dan beradab kalau mempertahankan harkatnya. Mengaku cinta pada bangsa sendiri tetapi bersikap arogan dan brutal terhadap bangsa lain merusak harkat kebangsaan. Kerakyatan pun kalau tidak memperhatikan keadilan misalnya menjadi kediktatoran mayoritas yang melanggar hak-hak asasi minoritas menjadi wahana kejahatan. Kerakyatan yang mencuat dalam tindakan tak beradab menjadi keganasan massa rule of the mob dalam bahasa Inggris yang memuakkan

karena bisa menjadi brutal dan sampai ke pembunuhan. Kerakyatan Pancasila adalah kerakyatan yang adil dan beradab. Keadilan sosial adalah menarik bahwa kata adil dan hanya kata adil, muncul dua kali dalam Pancasila hanya wajar kalau diusahakan secara beradab. Keadilan kalau diperjuangkan dengan ancaman dan cara paksa, secara arogan, brutal, egois tdak beradab bukan lagi keadilan, melainkan egoisme ideologis. Memperjuangkan keadilan dengan cara biadab merusak harkat keadilan sendiri dan dalam kenyataan lalu sering menghasilkan rezim politik di bawah seorang diktator. Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya sungguhsungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah, pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian, hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada yang sampai saat tulisan ini ditulis, 17 bulan sesudah bor itu meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa masyarakat yang terkena lumpuyr Lapindo itu menantang pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab. Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusiamanusia yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia usaha dan dalam wawasan para pejabat negara yang bertanggungjawab

atas keselamatan masyarakat, - yaitu kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang kecil, ya massa masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan karena jahat, melainka karena sembrono. Itulah yang mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap massa rakyat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau kurang dan yang cita-citanya adalah survival, penjaminan pemenuhan kebutuhankebutuhan dasar. Dua-duanya hidup berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa oleh para korban yang begitu lambat merasakan diberi perhatian sungguh-sungguh. Kembali ke wawasan kamu modal dan kuasa yang hampir seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan masyarakat itru tentu ajkan membahayakan masa depan bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial. Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang kalau mereka terus tidak diberi perhatian.

Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka/ pada tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar. Satu-satunya jalan ke luar bagi kampong itu yang untuk terdiri ata orang-orang lanjut usia adalah sebuah celah selebar 50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih besar harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara Indonesia akan menghadapi masa yang berat di masa mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan terus. Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat kecerobohan, kelalaian dan kurang perhatian pada kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana, telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan. Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa. Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap teramcam kemiskinan dan keputusasaan?

Selasa, 12 Oktober 2010 KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA *Yoyarib Mau

Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah, tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan. Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan. Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang, yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa

manusia itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya. Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan. Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak belakang tersebut ? Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya mampu membangun sebuah psikologi politik yang mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena takut akan kematian (Joseph Losco & Leonard Williams Rajawali Pers 2005) . Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki kekuatan. Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik menarik seperti dua kutub magnet utara selatan atau aliran listrik positik negatif, ada nafsu yang menggebu untuk menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk melakukan kebaikan karena

suatu waktu di perhadapkan pada suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda pedati. Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh kontrak keselamatan dan penjagaan bersama. Kontrak keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada lembaga tersbutlah mereka mau tunduk. Indonesia merupakan sebuah negara bangsa berdasarkan kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan. Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa membeli kekuasaan. Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan desa menegang dan meningkat. Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang

dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20, 2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di vonis masingmasing 3 tahun penjara pada tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi president (sumber : Kompas 04/10/2010). Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari. Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan 5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010). Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.

Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna adil itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini memakai pertimbangan beradab dalam pengertian karena memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi, menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan, hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan. Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal. Pasal-pasal tentang sila ke-2
8. Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Penyiksaan terhadap TKI merupakan salah satu contoh penyimpangan terhadap pasal ini. Perlakuan ini terjadi diakibatkan oleh adanya diskriminasi antara majikan dan pembantu. Sehingga majikan bebas melakukan kekerasan terhadap pembantu mereka.Hal ini bertentangan dengan sila ke-2 Pancasila.

9. Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis Walaupun HAM telah diatur dalam pasal 28 akan tetapi pelanggaran HAM masih saja terjadi pelanggaran HAM. Sebagai contoh adalah kasus penggusuran dan konflik sosial. Secara tidak langsung, pelanggaran hak dasar untuk bertempat tinggal ini menggeser hak dasar untuk bekerja sebagai warga masyarakat. Pemindahan tempat tinggal dengan sendirinya mempersulit jangkauan kerja. Malah, tidak sedikit korban konflik sosial yang terpaksa menganggur gara-gara kehilangan tempat tinggal. Gangguan pada hak dasar untuk mendapat pekerjaan menimbulkan gangguan-gangguan dalam bidang lain. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap pancasila sila ke-2 dan ke-5.

11. Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Dalam pasal ini disebutkan pemerintah telah menjamin pendidikan warga negaranya akan tetapi dalam pelaksanaannya, pasal ini menyimpang dari Pancasila sila ke-2 dan ke-5. Walaupun telah ditetapkan dalam UUD 1945 akan tetapi apabila kita lihat kenyataannya masih begitu banyak anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan. Bahkan diantara mereka ada yang putus sekolah. Mereka tidak mendapatkan hak dan keadilan seperti yang telah dijamin dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5. Dalam pasal 31 ayat 2 pemerintah menyatakan akan membiayai pendidikan, akan tetapi hal tersebut tidak terealisasi. Biaya pendidikan di Indonesia malah dari tahun ke tahun semakin mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kalangan menengah ke bawah. Hal ini juga merupakan salah satu penyimpangan terhadap pancasila.

13. Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

Pada pelaksanaan pasal ini terdapat penyimpangan terhadap pancasila. Penyimpangan tersebut terdapat dalam Pancasila sila ke- 2 dan ke-5. Pada kenyataannya fakir miskin dan anak terlantar yang ada di Indonesia belum semuanya dipelihara oleh negara. Malah semakin lama, begitu banyak orang yang menjadi gelandangan dan tidak terurus. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab dan juga Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jaminan sosial yang dijanjikan oleh pemerintah pun hanya tinggal janji semata. Masyarakat Indonesia belum mendapatkan keadilan. Hak-hak warga negara juga belum terpenuhi sebagaimana mestinya.

Kemanusian Yang Adil dan Beradab Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila Bung Karno yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu dan lain cara. Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya bangsa Indonesia memperlakukan sesama manusia secara manusiwi, secara adil, dan tidak meniru model penjajahan manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragrap awal dari pembukaan UUD 45 yang berbunyi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dalam masyarakat Jawa ada istilah tepo slira yang artinya kurang lebih bahwa kita sebagai manusia diharapkan memperlakukan manusia yang lain seperti kita memperlakukan diri kita sendiri (dalam bahasa yang berbeda masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga dikatakan bahwa Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri. Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan Beradab juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia sudah seharuskan menghargai Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan Hak Azasi Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab kemudian secara operational dijabarkan dalam UUD 45 pasal-pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara komprehensif telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD45 tahun 2000 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J (yang tertarik untuk melihat lebih detail apa isi penghargaan

HAM yang tercantum didalam UUD45 bisa akses ke www.depkunham.go.id) Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang diartikan sebagi penghormatan Bangsa dan Negara terhadap Hak Asasi Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum amandemen 2 tahun 2000 dan sesudahnya. Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara formal juridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru mulai tahun 2000. Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan Beradab memang sudah ada sejak ada pada UUD45 pada pembukaan UUD45 dan secara umum di pasal 27 dan 28. Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh pada deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi realitasnya pada fase pemerintahan Bung Karno dan apalagi pada masa pemerintahan Soeharto banyak sekali peristiwa yang baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sama sekali tidak menghiraukan hak asasi manusia. Hal ini disebabkan sosialiasi deklarasi hak asasi manusia versi PBB tidak pernah dilakukan oleh pemerintah saat itu, tidak pernah diwajibkan baik kalangan pemerintah maupun rakyatnya untuk mempelajari atau mentaati deklarasi hak asasi manusia versi PBB, yang mempelajari hanya terbatas sebagian kecil praktisi hukum maupun LSM yang bergerak dibidang perlindungan HAM. Seolah-olah pemerintah saat itu melakukan pembenaran melakukan pelanggaran HAM dikarenakan tidak punya landasan yang kuat yang tercantum di konstitusi atau UUD45 sebelum amandemen ke 2, tahun 2000. Sebetulnya setelah amandemen ke-2 UUD45, tahun 2000, tidak ada alasan lagi bagi para pejabat pemerintah terutama para penegak hukumnya maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan untuk tidak mempelajari dan mentaati UUD45 bab XA tentang HAM ditambah juga keharusan untuk mempelajari dan mentaati deklarasi HAM versi PBB. Hal ini sangat diperlukan karena sifat pelanggaran HAM bisa bersifat vertikal yang umumnya terjadi antara pemerintah yang punya kekuasan terhadap rakyat atau sebaliknya dan juga

bisa bersifat horizontal yaitu yang terjadi antara sesama anggota masyarakat baik secara organisasi atau bersifat pribadi. Masalahnya apakah pemerintah pernah melakukan sosialisasi secara luas amandemen ke 2 UUD45, tahun 2000, baik ke kalangan para pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun ke masyarakat luas? Apakah pemerintah pernah punya priorotas melakukan sosialisasi? Kalau tidak, itulah wajah Indonesia, apapun yang ada pada tataran ideal tidak pernah bisa secara nyata terjadi. Dalam penghayatan Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang paling penting dan tidak pernah bisa dijalankan oleh pemerintah adalah supremasi hukum yang tidak pandang bulu seperti diamanatkan oleh UUD 45 pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang bersifat vertikal Seperti juga sila ini ditarik dari pengalaman bangsa yang dijajah, pelanggaran nilai-nilai HAM paling sering terjadi antara yang dijajah dengan yang menjajah, yang dikuasai dengan sang penguasa, rakyat dengan dominasi kekuasaan, rakyat dengan dominasi pemerintahnya. Ini yang dinamakan pelanggaran HAM yang bersifat vertical. Dikarenakan pemerintah dilengkapi dengan sarana pengamanan seperti militer lengkap dengan senjatanya ataupun penegak hukum lainya seperti polisi, kejaksaan, kehakiman dll. Sangat mudah terjadi penyimpangan yang disatu sisi pemerintah dengan kekuasaan seharusnya mengayomi atau memberi rasa aman kepada masyarakat justru sebaliknya malahan menjalankan pemerintahan yang represif dan menghantui rakyatnya dengan rasa takut apabila berhadapan dengan penegak hukum yang berlaku sewenang-wenang dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini terjadi sejak jaman kemerdekaan sampai dengan saat ini, sehingga kemerdekaan yang seharusnya memberikan kemerdekaan sepenuhnya buat rakyat tetapi yang terjadi justru penjajahan yang masa lalu dilakukan oleh Belanda, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa sendiri yang kebetulan dipercaya oleh rakyat untuk duduk dalam posisi sebagai pengelola Negara.

Dalam banyak kasus yang menyangkut pihak aparat keamanan (terutama militer), penegakan HAM menjadi tumpul di Indonesia sebagai contoh (ini suatu indikasi bahwa kekuatan militer masih punya pengaruh yang cukup dominan dalam pemerintahan Republik Indonesia yang katanya demokratis saat ini): 1. Tidak tuntasnya siapa sebenarnya penembak mati 4 mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. 2. Tidak pernah terungkapnya siapa sebetulnya yang berada dibalik kerusuhan 13-14 Mei 1998. 3. Tidak pernah terungkapnya siapa penembak mahasiswa di peristiwa Semanggi I & II pada periode tanggal 8 14 November 1998. 4. Berbeli-belitnya penyelesiaan masalah siapa dibalik skenario pembunuhan Munir. 5. Yang paling akhir adalah apa yang terjadi dibalik kematian mahasiswa Unas yang sempat ditahan polisi dalam peristiwa penyerbuan polisi kedalam kampus Unas pada saat demo protes kenaikan BBM. Mungkin masih banyak contoh-contoh lain yang terlewatkan yang pada hakekatnya masih tipisnya para pejabat NKRI dalam menghayati atau menjalankan sila 2 dari Pancasila Kemanusian Yang Adil dan Beradab. Pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang bersifat horizontal Rakyat bisa juga mencoba melakukan intimidasi, pemaksaan kehendak terhadap rakyat yang lain sehingga menimbulkan keterpaksaan lain pihak dalam melakukan sesuatu atau

pada banyak hal memberikan sesuatu secara terpaksa kepada pihak lain, apakah itu secara organisasi ataupun secara individu. Yang paling menonjol saat ini di Indonesia adalah praktek premanisme dan mafia pengadilan. Beberapa contoh premanisme yang dibiarkan secara berlarut-larut oleh oknum penegak hukum karena membawa manfaat secara pribadi terhadap oknum penegak hukum tersebut adalah: 1. Adalah pemandangan yang biasa di Jakarta adanya terminal bayangan di jalan-jalan di Kota Jakarta yang dikuasai sekelompok preman dan mengharuskan sopir angkot untuk memberi uang menurut tarif yang mereka tentukan sendiri apabila melewati terminal bayangan ini. Tidak pernah ada tindakan penegak hukum untuk praktek pemaksaan kehendak ini. 2. Praktek pungutan keamanan untuk para pedagang kaki lima, pasar ataupun toko-toko kecil hampir diseluruh jalan di Jakarta, mungkin juga terjadi dikota-kota besar lainnya diseluruh Indonesia. Biasanya ini dilakukan jutru oleh organisasi massa yang berafiliasi dengan partai politik. 3. Pembiaran praktek debt collector yang dipraktekkan oleh seluruh perbankkan di Indonesia termasuk didalamnya Bank Asing, Bank Pemerintah maupun perusahaan leasing mobil/motor yang melakukan intimidasi dan kata-kata yang kotor bagi para penunggak kredit. Rakyat tidak punya tempat untuk mengadu, kalaupun mengadu tidak akan mendapat tanggapan dari pihak yang berwewenang. 4. Pembiaran oleh pemerintah, organisasi preman berkedok agama yang merusak tempattempat usaha hiburan bahkan yang terakhir peristiwa Monas yang target kekerasan adalah organisasi massa lainnya. Pada hakekatnya praktek premanisme merupakan bisnis yang empuk bagi sebahagian

rakyat kepada rakyat yang lain berupa pemaksaan kehendak dengan tindak kekerasan yang tidak jarang berujung dengan penganiayan bahkan pembunuhan. Penegak hukum menutup mata bahkan oleh oknum-oknum ditubuh militer dan kepolisian dijadikan objek penambahan penghasilan dengan cara memberikan backing. Praktek mafia pengadilan bisa juga dikatakan pelanggaran HAM horizontal karena ada unsur pemerasan kelompok mafia pengadilan apabila oleh sesuatu hal kita berhubungan dengan penegak hukum karena terkena kasus hukum baik yang ringan ataupun yang berat, selalu akan ada makelar pengadilan atau kelompok mafia pengadilan yang akan mengurus masalah pembebasan atau paling tidak peringanan hukuman melalui kelompok ini yang mengenal baik para pejabat penegak hukum. Bukannya proses hukum yang dilakukan untuk menegakkan hukum secara adil dan beradab tapi proses mediasi dengan motif uang gratifikasi yang menjadi fokusnya. Peristiwa makelar pengadilan dilakukan oleh Artalyta Suryani yang mempunyai hubungannya yang baik dengan hampir semua pejabat Kejaksaan Agung adalah hanya satu contoh yang kebetulan ditemukan pada lembagi tinggi peradilan kita yang seharusnya melaksanakan supremasi hukum. Hampir setiap perkara hukum akan terjadi proses mediasi semacam ini yang bahkan kadang-kadang disponsori atau diinisiasi para pengacaranya sendiri. Apakah pemerintah mampu menghilangkan mafia pengadilan yang sudah pasti terus menggelumbungkan kocek para penegak hukum yang hampir secara mayoritas terjadi di Indonesia? Kalau tidak makin jauh bangsa Indonesia maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa menghayati dan menjalankan sila ke 2 dari Pancasila Kemanusian Yang Adil dan Beradab dan masih banyak yang harus dilakukan bangsa Indonesia maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk betul-betul bisa menghayati dan menjalankan sila ke 2 dari Pancasila Kemanusian Yang Adil dan beradab. Sangat banyak hal yang terjadi di masyarakat yang berkaitan dengan intimidasi kelompok masyarakat yang satu terhadap kelompok mayarakat lainnya. Pada banyak kasus

pembebasan tanah sangat sering terjadi intimidasi terhadap pemilik tanah agar menjual tanahnya dengan harga yang dipaksakan oleh pembeli melalui intimidasi. Kemungkinan besar masyarakat Indonesia banyak yang tidak mengetahui bahwa setiap tindak pemerasan dan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain adalah salah satu pelanggaran hak azasi manusia. Mungkin pemerintah juga tidak tahu bahwa pemerintah punya kewajiban untuk melindunginya warganegaranya yang dijadikan objek kekerasan dan pemerasan seperti tercermin pada UUD45 pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Juga pasal Pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sesuai dengan UUD45 Pasal 28I ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Ini adalah tugas yang sangat berat yang harus dipikul pemerintah sebagai konsekwensi dan tanggung jawab pemerintah sebagai kepercayaan pilihan yang dilakukan oleh rakyat dalam proses demokrasi. Rakyat akan menilai dari waktu ke waktu apakah kewajiban ini betulbetul akan dijalankan oleh pemerintah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis. Atau pemilu akhirnya seperti pada masa orde baru adalah sekedar formalitas penunjukan pemimpin atau rotasi giliran pergantian kekuasaan tanpa menyentuh esensi kemampuan dalam menyelesaikan masalah bangsa secara komprehensip. Sampai kita bisa menemukan pemimpin yang punya kemampuan seperti ini, kita bangsa Indonesai hanya bisa melihat sila ke 2 dari Pancasila Kemanusian Yang Adil dan Beradab sebatas formal juridis tanpa mampu menyentuh realitas hidup berbangsa dan bernegara. Dengan memasukkan pasal-pasal penghargaan terhadap HAM didalam amandemen ke-2 UUD45, tahun 2000, paling tidak ada sudah ada langkah maju niat dan kehendak

Negara dan masyarakat Indonesia untuk mulai memperhatikan penghargaan terhadap HAM oleh karena itu walaupun dalam pelaksanaan sila 2 - Peri Kemanusian Yang Adil dan Beradab masih mengalami berbagai kendala, bagaimanapun juga kita perlu memberikan apresiasi ide penggali Pancasila yang punya pemikiran forward looking dimana ide penghargaan terhadap HAM sudah dicetuskan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh pemimpin bangsa dan dicantumkan sebagai sila ke 2 dari Pancasila yang akhirnya dijadikan dasar NKRI sedangkan PBB baru mendeklarasikan Universal Human Right pada tanggal 10 Desember 1948.

menuju kemanusiaan yang adil dan beradab Submitted by antok on Jum, 13/05/2011 - 16:27 Pernah terdengar dalam sebuah perhelatan pertemuan agak besar di sebuah kota antara Jogja dan Solo, beberapa tahun yang lalu, dimana seorang bapak korban tragedi 1965 mengungkapkan harta bendanya yang telah dirampas, sangat hafal dan dengan santun dia mengungkapkannya, sangat detil hingga harga kambing, sapi miliknya saat itu, piring, gelas, bahkan tikar. Meski terdengar tegar, namun rasa perih dan tanda tanya besar yang tak akan pernah terjawab dan terpuaskan, sebab tanpa ada alasan jelas mengapa perampasan harta benda itu bisa terjadi. Kemudian tiba-tiba dimasukkan dalam sebuah kerangka besar pengkhianatan negara yang sama sekali tak pernah terbersit dalam benak kewarasan bermasyarakat. Reparasi kepada korban kejahatan hak asasi manusia kategori berat diwajibkan berdasarkan hukum internasional. Reparasi didalamnya mencakup: 1. Memberi kompensasi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia atas rasa sakit dan deritanya,

2. Melakukan restitusi yaitu semaksimal mungkin mengembalikan korban pada kondisinya sebelum terjadi pelanggaran (misalnya, mengembalikan hak korban untuk berpartisipasi dalam proses politik, mengembalikan hak milik yang telah diambil atau dirusakkan, mengembalikan atau memulihkan hak-hak korban sebagai warganegara), memberikan rehabilitasi terhadap luka dan kesakitan yang diderita salah satu contoh adalah menjamin akses korban pada pelayanan seperti akses pelayanan kesehatan atau pendidikan, 3. Pemenuhan hak untuk kepuasaan korban secara emosi dan eksistensinya sebagai manusia antara lain yang bisa dlakukan adalah dengan memberi penghargaan baik simbolis maupun nyata terhadap korban, pengakuan terhadap pelanggaranpelanggaran yang nyata pernah dialami dan terjadi, pengungkapan kebenaran jalannya peristiwa, membuat hari-hari peringatan untuk memelihara dan menghormati ingatan tentang pelanggaran yang sudah terjadi masa lalu, atau pernyataan maaf yang resmi dilakukan oleh negara, dan upaya-upaya pencarian juga setelah itu mengakui orang-orang yang hilang. Tersebut dengan jelas dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 26/2000, Pasal 35 ayat (1), Semua korban pelanggaran hak asasi manusia dan ahli warisnya harus menerima kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Sebuah rangkaian kata yang memabukkan dan sangat indah namun dengan berbagai hambatan didalamnya, seperti harus diputuskan dalam Pengadilan mengenai hal tersebut. Juga berbagai standar operasional prosedur seperti pengajuan-pengajuan oleh jaksa untuk mengajukan tuntutannya. Dukungan Presiden dan DPR agar membentuk pengadilan ad hoc dan lain sebagainya, bahkan hukum acara belum bisa dibedakan mana yang urusan Hak Asasi Manusia ataupun delik-delik yang bersifat Pidana biasa. Sebuah hal yang berat bagi para korban pemerkosaan yang akan sangat sulit dibuktikan namun dengan efek pengaruh kehidupan individu yang sangat mengerikan. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No.3 Thn. 2002 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban-korban Pelanggaran HAM Berat yang disahkan negara pada 13 Maret 2002 yang esensinya sangat jauh dengan

keinginan universal kemanusiaan maupun standar internasional tentang restitusi dan rehabilitasi itu sendiri. Juga Undang-undang Perlindungan Saksi Korban yang sudah lama telah disahkan oleh DPR dimana segera akan dibentuk sebuah lembaga perlindungan korban, yang melapor langsung pada Presiden. Disebutkan disana bahwa lembaga ini akan menjamin segala kepentingan perlindungan saksi dan korban kejahatan misalnya dalam pendampingan hukum, keamanan, informasi dan lain sebagainya, namun belum terdengar ada lembaga seperti itu yang berdiri sebagaimana amanat Undang-Undang tersebut. Tidak menutup mata dengan kualitas pemikiran ataupun strategi untuk mempertahankan diri dan keyakinannya tersebut, bahwa hukum di negara kita sangatlah lemah dan itu dibuktikan dengan semakin sedikitnya warga yang merasa bisa hidup dengan nyaman dan terlindungi karena aturan-aturan yang dibuat. Apalagi untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia kategori berat seperti pada tragedi 1965, dimana survivor semakin bertambah sepuh dan rentan kesehatannya. Semakin sedikitnya bukti hidup yang bisa mengatakannya dengan jelas. Bahkan sebuah laporan atas kejahatan masa lalu berbasis gender yang dirangkum oleh sebuah lembaga negara bernama Komnas Perempuan pun taksanggup untuk mengetuk hati para punggawa dan pengambil keputusan untuk terbuka mata hatinya demi kebaikan berbangsa dan bernegara untuk menyembuhkan luka-luka lama perjalanan kemerdekaan, demi sesuatu yang sangat diperlukan di masa depan. Perjuangan kaum aborigin atas diskriminasi dan perlakuan buruk orang kulit putih disana mulai tahun 1770 dan baru sukses pada 13 Februari 2008, meskipun pada tahun 1998 sudah ada laporan dari Komisi hak asasi dan persamaan kesempatan yang bertitel "Bringing them home", yang mencatat kisah-kisah oral history dari para korban. Betapa kata "maaf' menjadi suatu penyembuh meskipun secara simbolik bagi para indigenous people bangsa Aborigin pemilik tanah Australia yang hak, beserta implikasi-implikasi tindak lanjut setelahnya. Dimana mereka menjadi the stolen generation karena dicerabut dari tanah dan keluarganya untuk dimasukkan ke lembaga-lembaga maupun rumah-rumah tangga untuk dididik menjadi seorang kulit putih, sempat difilmkan dalam Rabbit-proof

fence sebuah kisah dari buku Follow the Rabbit-Proof Fence oleh Doris Pilkington Garimara. Bahwa adanya sistem reparasi atau berdirinya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukanlah sebuah akhir dari perjuangan membangun bangsa namun adalah awal untuk menjadi sebuah bangsa yang bisa meyakini dirinya untuk selalu berbuat yang terbaik bagi warga negaranya tanpa pilih kasih sebagaimana menghargai diri sendiri sebagai insan yang selalu membutuhkan dan menjaga lingkungan sosial bersama dengan nilai-nilai keterbukan untuk belajar menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab 1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. 3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia. 4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira. 5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain. 6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. 8. Berani membela kebenaran dan keadilan. 9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. 10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

You might also like