You are on page 1of 5

Islam sebagai Objek Studi dan Penelitian

Suparno Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Abstract: Religion is not a separable part of human life. All people have natural tendency to have religion so none has no religion (whatever their religion is). Indonesia is a country where Moslems are the majority. They not only develop materially but also concern in spiritual development. Religion as an object of study and research in this era is a common matter compared to that in 1970s (considered as a taboo thing). From the scientific point of view, religion research in Indonesia becomes a significant and interesting phenomenon. Key words: Islam, object of study and research

PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera di dunia dan akherat. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya kita sering melihat cara yang bermacammacam, antara satu dengan lainnya tidak saling berjumpa. Mukti Ali (1996:19), misalnya, mengatakan jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tampak ada tiga cara yang jelas. Tiga pendekatan itu adalah naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfiy (mistis). Dalam memahami agama seharusnya ketiga pendekatan tersebut digunakan secara serempak bukan terpisah-pisah. Membicarakan tentang penelitian sebuah agama pada tahun 1970 di kalangan IAIN masih dianggap sebagai hal yang tabu. Hal ini dikarenakan agama adalah wahyu Allah yang dianggap sudah mapan yang tidak perlu diotak-atik lagi. Kejadian ini tidak hanya terjadi di kalangan ulama Indonesia tetapi juga di kalangan Barat sekalipun. Di dalam buku Seven Theories of Religion dikatakan bahwa dahulu orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti sebuah agama karena mereka beranggapan antara ilmu dan agama tidak dapat disinkronkan (Atho Mudzhar, 2001:11). Atho Mudzhar mengatakan agama, termasuk di dalamnya Islam, dapat dan boleh diteliti. Pendapat ini bukanlah suatu pendapat yang baru karena pada tahun 1970-an Prof. Dr. Mukti Ali juga sudah mengatakan tentang bolehnya agama dijadikan obyek studi dan penelitian. Memang ketika masalah itu dilontarkan, banyak kalangan yang mempertanyakan letak penting dan manfaatnya dan cenderung banyak yang tidak setuju. Di dalam penelitian agama, juga ada hal-hal yang penting dan harus diketahui oleh peneliti agama tersebut. Tanpa adanya kejelasan dari peneliti tentang konsep penelitian agama maka besar kemungkinannya terjadi salah pengertian yang tidak dapat dihindarkan. Masalah agama adalah masalah yang hadir dalam sejarah umat manusia sepanjang zaman sama dengan masa kehidupan lainnya. Perilaku hidup beragama yang amat luas tersebar di muka bumi menjadi bagian hidup kebudayaan dalam aneka corak yang khas antara satu lingkup sosial budaya dengan sosial budaya lainnya. Di dalam pembahasan Islam Sebagai Obyek Studi dan Penelitian ini akan dibahas hal-hal sebagai berikut: Agama sebagai gejala budaya dan sosial, Agama sebagai fenomena penelitian dan pentingnya penelitian agama. Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010 39

AGAMA SEBAGAI GEJALA BUDAYA DAN SOSIAL


Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak mungkin dipisahkan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Sebaliknya sebuah kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang. Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah individu tetapi agama juga merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya orang yang beragama tidak hanya sekedar mampu melahirkan keshalehan individual tetapi juga harus mampu melahirkan keshalehan sosial. Semula hanya ada dua ilmu yakn ilmu kealaman dan ilmu budaya. Kedua ilmu ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ilmu kealaman berangkat dari tanda-tanda keteraturan yang terjadi di alam raya, suatu penemuan atas gejala alam pada saat yang lain juga akan menghasilkan hal yang sama (tetap). Sebagai contoh air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah dan gejala alam lainnya. Apabila suatu saat dua hal tersebut diteliti lagi maka hasilnya akan cenderung sama karena adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan ilmu budaya mempunyai sifat yang unik dan tidak terulang sebagaimana hal di atas. Seperti contoh perayaan sekaten bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta, Grebeg tanggal 10 Dzulhijah bagi masyarakat Demak, Dugderan menjelang ramadhan bagi masyarakat Semarang, Apeman bagi masyarakat Pekalongan dan lain-lain. Keunikan peringatan tersebut bukan karena pengulangannya. Ilmu sosial posisinya berada di antara ilmu kealaman dan ilmu budaya yang berusaha memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Oleh karena itulah penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi tingkat obyektifitasnya. Benarkah hasil penelitian sosial itu obyektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua pendapat; pertama, penelitian sosial lebih dekat dengan penelitian budaya berarti memiliki sifat yang unik. Sebagai contoh penelitian Antropolgi sosial lebih dekat dengan ilmu budaya karena sifat yang dimiliki oleh Antropologi Sosial yang bersifat unik. Kedua, penelitian sosial lebih dekat dengan ilmu kealaman karena fenomena sosial dapat berulang kembali dan dapat dites kembali. Untuk mendukung pendapat ini dikatakan bahwa ilmu statistik sosial dapat dipergunakan untuk mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan lebih baku (ibid, 12-13). Masalah yang baru adalah, bisakah agama didekati secara kuantitatif dan kualitatif? Jawabannya tentu dapat. Agama dapat didekati secara kuantitaif maupun secara kualitatif sekaligus atau satu di antaranya. Apabila kita berangkat dari agama sebagai sesuatu yang dapat diukur dan diverifikasi maka agama dapat diteliti dengan cara kuantitatif. Sedangkan apabila kita meneliti agama dari gejala-gejala yang bersifat unik dan tidak terulang kembali maka dapat menggunakan pendekatan kualitatif.

AGAMA SEBAGAI OBYEK PENELITIAN


Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dari sudut ini mungkin dapat dibedakan ke dalam tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subyek materi penelitian, yaitu agama sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama dan sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin (Taufik Abdullah, 1989:xii) Pertama, agama sebagai doktrin. Penelitian agama sebagai suatu doktrin menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang timbul di antaranya: apakah substansi dari keyakinan religius itu, apakah yang diyakini sebagai kebenaran yang hakiki, apa makna 40 Islam sebagai Objek Studi dan Penelitian (Suparno)

ajaran agama itu bagi pemeluknya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mungkin paling berdekatan dengan usaha pencarian kebenaran agama, sebagaimana yang dilakukan oleh pemikir agama dan mujtahid. Tetapi apabila para mujtahid mengatakan bahwa inilah ajaran yang sesungguhnya dan pemikir mengatakan inilah sepanjang penelitian saya yang benar, maka akan terjadi kemandekan satu pemikiran karena pendapat/pemikirannya itu adalah sudah benar dan sempurna. Apabila ulama dan pemikir berpendapat demikian maka akan terjadi kemandekan pemikiran terhadap agama karena mereka sudah mengambil sebuah kesimpulan demikian. Tradisi ilmiah tidak berakhir dengan kepastian dan mendakwahkan diri sebagai penemu kebanaran. Tradisi ilmiah hanya berusaha menemukan apa yang dianggap benar. Ali Syariati (1933-1977), seorang sarjana Iran, menyatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan kemandegan atau stagnasi dalam pemikiran, peradaban dan kebudayaan yang berlangsung hingga seribu tahun di Eropa pada abad pertengahan adalah metode pemikiran analogi Aristoteles. Di kala cara melihat masalah obyek itu berubah, maka sains, masyarakat dan dunia juga berubah dan segala akibatnya kehidupan manusia juga berubah (Ali Syariati, 1982:39). Dengan demikian kita dapat memahami akan pentingnya metodologi sebagai faktor fundamental dalam renaisans. Karena bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan memahami esensi agama, maka salah satu disiplin ilmu yang paling banyak berkecimpung dalam penelitian agama sebagai satu doktrin ini adalah perbandingan agama. Pengetahuan yang mendalam tentang esensi ajaran agama ini akan mampu meningkatkan pengalaman agama bagi seseorang sehingga pada akhirnya seseorang akan mampu menemukan makna agama bagi manusia itu sendiri. Ilmu perbandingan agama di sisi lain akan juga mampu menciptakan satu tatanan masyarakat agamis yang satu agama dengan agama yang lainnya dapat saling menghormati. Sehingga pada akhirnya kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dengan sebaik-baiknya. Makna kerukunan tidak lagi sebatas pada tataran struktural idiologis yang bersifat eksklusif. Dalam penelitian agama sebagai doktrin, studi yang banyak dilakukan adalah bercorak sejarah intelektual atau sejarah pemikiran dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan baik yang wahyu maupun hasil ijtihad/renungan, traidisi serta catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang digali. Maka di samping filologi dan kritik teks serta ilmu filsafat maka sejarah merupakan disiplin yang memiliki peranan yang sangat penting. Kategori kedua, adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama kata seorang ahli adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif (ibid, xiv). Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan hidup dan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang benar. Tri murti hanya riil di kalangan Hindu, sedangkan kesatuan roh kudus, Jesus dan Tuhan bapa adalah benar di masyarakat Kristen dan seterusnya. Meskipun berangkat dari suatu ikatan spiritual para pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebagai satu masyarakat komunitas inipun memiliki tatanan yang berstruktur dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah. Sebagai contoh penelitian kedua ini adalah terjadinya pengelompokan Islam Santri, Priyayi dan Abangan. Ketiga kelompok komunitas muslim ini memiliki corak dan karakteristik yang berbeda. Corak kajian atau penelitian dalam kategori ke dua ini dihuni oleh disiplin-disiplin ilmu sosial sosiologi, antropologi, sejarah dan lainnya. Kategori ketiga, berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama yang dianutnya Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010 41

dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga adalah berusaha untuk mengetahui simbol-simbol dan ajaran agama. Salah satu pernyataan yang sering kita dengar adalah meskipun tidak shalat dan berpuasa, tetapi jika Islam dihinakan suku bangsa ini akan tampil bergerak untuk membela Islam artinya meskipun dimensi ritual masyarakat ini rendah namun dimensi keterikatan terhadap sebuah agama sangatlah kuat. Tentu ini hanyalah stereotype saja, tetapi dengan ini kita dapat mengetahui bahwa keterikatan seseorang terhadap agama antara yang satu dengan lainnya adalah tidak sama. Dalam pengertian tidak semua aspek atau dimensi agama mengikat pemeluknya dan tidak sama pula dalam keterikatan dalam beragama. Sebagai contoh, si Ali lebih shaleh dibandingkan dengan si Amir. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang menyebabkan sikap keberagamaan yang berbeda? Apakah faktor pendidikannya, lingkungannya, status sosialnya ataukah ada faktor yang lainnya? Jadi kategori ketiga ini adalah masalah yang bersifat corak dan tingkatan keberagamaan. Meskipun ilmu-ilmu sosial yang bercorak kualitatif tidak terlalu sulit untuk memperlihatkan hal-hal yang berkaitan dengan keberagamaan ini.

PENTINGNYA PENELITIAN AGAMA


Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 hingga saat ini, fenomena pemahaman keIslaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan yang amat variatif. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya (Abuddin Nata, 2002:95). Ditinjau dari kepentingan ilmu, penelitian atas agama di Indonesia sangat penting dan menarik. Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdapat agama yang mayoritas tetapi memiliki nilai toleran yang sangat tinggi terhadap agama lainnya. Selain itu tujuan yang diinginkan adalah agar peneliti dalam bidang agama terbiasa mengakui bahwa terwujudnya pikiran yang terbuka (open mind) adalah suatu yang langka (Peter Connolly, 1999:3). Kebanyakan orang yang menaruh perhatian pada studi agama yang cukup untuk meengantarkan mereka pada program gelar atau studi yang semisal, telah memiliki beberapa pendirian tentang persoalan ini. Mereka serta sejumlah filter perceptual dan interpretative yang berfungsi mengarahkan mereka selama pertemuan dengan materimateri keagamaan dalam konteks perbincangan akademis. Pada umumnya peneliti dari dalam (insider) perlu belajar bagaimana melangkah secara imajinatif di luar perspektif religius yang dimiliki agar memperoleh banyak ide sama seperti yang mungkin diperoleh orang lain. Sedangkan peneliti dari luar (outsider) yakni mereka yang memiliki pandangan dunia yang nonrelegius, memiliki kewajiban mengimajinasikan bagaimana bentuk suatu dunia ketika di dalamnya terdapat wilayah suci. Kedua kelompok ini sedang berupaya atau diarahkan menuju epoche fenomenologis, imajinasi untuk memasuki dunia orang lain, tetapi bentuk perubahan mental dan emosional yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok agar sampai pada tujuan tersebut, agak berbeda. Barangkali tantangan personal terbesar dihadapi oleh peneliti dari dalam ketika meneliti tradisinya sendiri. Dapatkah mereka, paling tidak untuk sesaat, memandang agamanya sendiri sebagaimana dilakukan peneliti dari luar? Dapatkah mereka melihat dirinya sendiri seperti orang lain melihatnya? Untuk membangun pandangan tersebut diperlukan pengembangan kemampuan personal. Dalam pandangan para akademisi, pengembangan kemampuan personal merupakan 42 Islam sebagai Objek Studi dan Penelitian (Suparno)

persiapan yang bermanfaat dalam meneliti cara orang lain yang memiliki perhatian pada agama dan memahami agama. Menggunakan suatu pendekatan berarti juga secara eksplisit menerima asumsi-asumsi dan prioritas tertentu, termasuk mungkin kecenderungan ini kurang eksplisit juga komitmen untuk menggunakan metodologi hingga batas-batasnya, untuk menjelaskan fenomena tersebut.

PENUTUP
Pengkajian agama Islam merupakan satu segi dari ilmu Islam atau studi Islam. Studi Islam adalah pengkajian terhadap ilmu yang diperlukan seorang muslim dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Cakupan studi Islam yang begitu luas maka penelitian sebuah agama merupakan hal yang perlu guna mendapatkan keobyektifan dalam memandang sebuah agama. Agama sebagai gejala budaya dan sosial dapat didekati secara kualitatif dan secara kuantitatif. Pendekatan kepada sebuah agama akan ditentukan oleh dari sudut mana agama itu didekati (antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis atau teologis). Agama sebagai subyek penelitian di dalamnya memiliki tiga kategori yakni agama sebagai doktrin, struktur dan agama sebagai dinamika masyarakat. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang jumlahnya masih sangat terbatas.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A. 1996. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan ke-1. Abdullah, T. 1989. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ali, H. A. M. 1996. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan. Cetakan ke-3. Connolly, P. (ed.) 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama (terj.) dari judul asli Approaches to the Study of Religion. Yogyakarta: LKIS. Mudzhar, A. 2001. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan ke-3. Muqim, M. (ed.) 1994. Research Methodology in Islamic Perspective. New Delhi: Institut of Objective Studies. Nata, A. 2002. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cetakan ke-7. Rahmad, J. 1997. Islam Alternatif. Bandung: Mizan. Cetakan ke-8. Syariati, A. 1982. Tentang Sosiologi Islam, (terj.) S. Mahyuddin, dari judul asli The Sociology of Islam. Yogyakarta: Ananda. Cetakan ke-1.

Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora, Volume 10 Nomor 1, April 2010

43

You might also like