You are on page 1of 29

Formasi Batuan di Sangiran

Situs Sangiran Sragen Jawa Tengah

A. Tujuan
1. 2. 3. Untuk memenuhi tugas kuliah kerja lapangan mata kuliah Geologi. Untuk mengetahui lokasi situs Sangiran di Sragen Jawa tengah. Untuk mengetahui karakteristik batuan yang meliputi Geologi, Paleontologi, dan biologi

serta cirri-ciri spesifik dari batuan tersebut.

B. Landasan Teori
Sangiran adalah sebuah desa di kelurahana Krikilan Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Desa tersebut dikenal sebagai situs prasejarah yang kaya dengan temuan fosil manusia dan hewan purba. Selain itu di Sangiran juga banyak ditemukan alat-alat batu peninggalan manusia prasejarah yang dulu pernah hidup disana. Situs Sangiran terletak kira-kira 15 km di sebelah utara kota Surakarta. Situs ini luas arealnya kira-kira 6x15 km. sebagai suatu situs sebagian arealnya terletak di wilayah kabupaten sragen, sebagian lagi terletak di wilayah kabupaten Karanganyar.

Situs ini pernah diteliti oleh berbagai ahli dengan latar belakang yang berbeda. Disiplin Paleoantropologi dan Paleontologi memusatkan penelitian pada temuan fosil-fosilnya, disiplin geologi pada struktur dan stratigrafinya.

Bentang alam Sangiran secara umum dapat dibedakan atas satuan morfologi perbukitan dan satuan morfologi dataran. Dalam bentang alam tersebut mengalir 2 buah sungai besar yaitu kali Cemoro dan kali Ngrejeng. Kali Cemoro merupakan sungai terbesar di daerah ini yang mengalir dari barat ke timur membelah sayap kubah Sangiran sampai pusat kubahnya. Aliran sungai ini hamper memotong semua batuan di tempat-tempat yang dilaluinya dari yang tertua sampai yang termuda. Sungai besar lainnya yaitu kali Ngrejeng yang mengalir di daerah sangiran sebelah utara. Sungai ini memotong sayap utara sebelah utara kubah Sangiran dan membelah satuan breksi laharik formasi kabuh dan satuan batu lempung serta Napal dari formasi Pucangan. Satuan morfologi dataran membentang disekeliling daerah Sangiran dan tersusun oleh breksi laharik formasi Notopuro. Satuan dataran yang lain tersebar di lembah-lembah kali Cemoro, kali Ngrejeng dan kali Kedungdowo. Satuan litologinya berupa endapan alluvial. Satuan morfologi perbukitan tersebar mengelilingi daerah Sangiaran berupa bukit-bukit kecil yang diselingi oleh dataran sempit. Satuan ini juga tampak pada daerah-daerah tebing terjal yang merupakan perbatasan antara formasi Notopuro dan formasi Kabuh. Satuan perbukitan yang lain terdapat pada bagian dalam kubah Saniran (Sangiran Dome). Pada daerah ini satuan perbukitan telah tersingkap membentuk lembah yang luas. Pada bagian tengah kubah Sangiran terdapat sebuah bukit kecil yang terbentuk oleh aliran lahar dari formasi Pucangan bawah. Di kanan kiri bukitb tersebut terdapat cekungan yang berisi endapan lempung laut dari formasi kalibeng. Stratigrafi daerah Sangiran menurut GHR Von Koenigswald terbagi atas formasi Kalibeng, formasi Pucangan, formasi Kabuh dan formasi Notopuro. Umur formasi-formasi tersebut dari tua ke muda menurut J. Duyffjes adalah ; Kala Pliosen untuk formasi Kalibeng, Kala Plestosen bawah untuk formasi Pucangan, Kala Plestosen tengah untuk formasi Kabuh sampai Notopuro.

C. Data
1. Stasiun Pengamatan Ke-1 Nama wilayah/desa/dusun : Kecamatan Kalijambe , Kabupaten Sragen

Posisi Geografis : dukuh Ngampon, desa Krikilan Formasi : Pucangan Umur Geologi : 1,8 juta -900ribu tahun yang lalu (plestosen bawah)

Karakteristik ( batuan : beku, sedimen, metamorf ) Geologi : a. Pelapisan : Pucangan

b. Warna : Abu-abu muda sampai tua, apabila lapuk berwarna hitam. c. Struktur : datar yang terdiri atas lapisan breksi vulkanik bawah dan lempung hitam. Paleontologi ( paleobotany, paleozoology) a. Paleobotany : fosil pollen yang ditemukan antara lain : jenis Graminae, Cyperaceae,

Arboreae, Taxa, Choenopodiaceae, Taxodiaceae, Typhatsuga, Floshuetzia, Myrtaceae, Rhizophora, Podocarpus, Castanosis, Pinus, Sparganium, Alnum dll. b. Paleozoology : didominasi binatang reptile, fosil-fosil mollusca laut seperti Anadara,

Balanus, Conus, murex, Archa, dan temuan gigi ikan hiu. Biologi Dulunya formasi pucangan merupakan hutan bakau / rawa payau yang dibuktikan dengan ditemukannya fosil molusca laut dan reptile. Karakteristik spesifik / unik formasi Terdapat lempung mollusca yang membatasi antara lempung hitam dan lapisan breksi vulkanik

2. Stasiun Pengamatan Ke-2 Nama wilayah/desa/dusun : Kecamatan Kalijambe , Kabupaten Sragen Posisi Geografis : dukuh Ngampon, desa Krikilan Formasi : Pucangan Umur Geologi : 1,8 juta -900ribu tahun yang lalu (plestosen bawah)

Karakteristik ( batuan : beku, sedimen, metamorf ) Geologi : a. Pelapisan : Pucangan

b. Warna : lempung hitam dan lempung putih (diatome)

c.

Struktur : miring , karena pada saat pengerosian terjadi pengikisan dan penyempitan lahan

dari tenaga eksogen. Paleontologi ( paleobotany, paleozoology) a. Paleobotany : fosil pollen yang ditemukan antara lain : jenis Graminae, Cyperaceae,

Arboreae, Taxa, Choenopodiaceae, Taxodiaceae, Typhatsuga, Floshuetzia, Myrtaceae, Rhizophora, Podocarpus, Castanosis, Pinus, Sparganium, Alnum dll. b. Paleozoology : didominasi binatang reptile, fosil-fosil mollusca laut seperti Anadara,

Balanus, Conus, murex, Archa, dan temuan gigi ikan hiu. Biologi Dulunya formasi pucangan merupakan hutan bakau / rawa payau yang dibuktikan dengan adanya diatome yang merupakan ganggang laut yang membatu. Karakteristik spesifik / unik formasi Terlihat pengendapan lapisan-lapisan secara bertahap dengan jelas.

3. Stasiun Pengamatan Ke-3 Nama wilayah/desa/dusun : Kecamatan Kalijambe , Kabupaten Sragen Posisi Geografis : dukuh Ngampon, desa Krikilan Formasi : Kalibeng Umur Geologi : 2 juta -1,8 juta tahun yang lalu (pliosen)

Karakteristik ( batuan : beku, sedimen, metamorf ) Geologi : a. Pelapisan : kalibeng

b. Warna : abu-abu kebiruan c. Struktur : datar Paleontologi ( paleobotany, paleozoology) a. Paleobotany : ditemukan tumbuh-tumbuhan jenis : Melastomataceae, Rhizophara, Pandanus,

Palme, Calophyllus, Anacardiceae, Calamus, Caswarina, Arborsal euphorbiaceae, Podocarpus mimosaceae, Gramineae, Cyperaceae dll b. Paleozoology : ditemukan fosil berupa foraminifera dan mollusca laut.

Biologi Dulunya formasi kalibeng merupakan lautan dengan ditemukannya fosil foraminifera dan molusca laut serta rasa air yang asin. Karakteristik spesifik / unik formasi Airnya mengandung garam dan terdapat kubangan yang berisi air dengan PH=8 serta adanya gelembung-gelembung gas.

4. Stasiun Pengamatan Ke-4 Nama wilayah/desa/dusun : Kecamatan Kalijambe , Kabupaten Sragen Posisi Geografis : dukuh Ngampon, desa Krikilan Formasi : situs mad volcano (Notopuro) Umur Geologi : 1,9 juta -1,7 juta tahun yang lalu (plestosen tengah)

Karakteristik ( batuan : beku, sedimen, metamorf ) Geologi : a. Pelapisan : Situs mad vulcano

b. Warna : coklat keabu-abuan c. Struktur : tidak beraturan Paleontologi ( paleobotany, paleozoology) Tidak ditemukan fosil Biologi Dulunya formasi notopuro merupakan gunung merapi purba dan merapu purba yang meletus dengan menyisakan material batuan mengendap dan membeku di situs sangiran sehingga tidak ditemukan fosil hewan dan tumbuhan. Karakteristik spesifik / unik formasi Terdapatnya batu asahan sebagai akibat dari lahar dingin yang bercampur dengan lempung dan batuan.

5. Stasiun Pengamatan Ke-5 Nama wilayah/desa/dusun : Kecamatan Kalijambe , Kabupaten Sragen Posisi Geografis : dukuh Ngampon, desa Krikilan Formasi : Kabuh

Umur Geologi : 900ribu -200ribu tahun yang lalu (plestosen tengah)

Karakteristik ( batuan : beku, sedimen, metamorf ) Geologi : a. Pelapisan : kabuh

b. Warna : kuning c. Struktur : berlapis Paleontologi ( paleobotany, paleozoology) a. Paleobotany : fosil pollen yang ditemukan antara lain : podocarpus, Graminae, Cyoeracae,

Myrtaceae, Cerpinus, Cardocarpus, Taxodiae, sedangkan spora yang ditemukan berasal dari jenis Pteridophyta, Monolete, Trilete, Verucatosporite. b. Paleozoology : fosil elephantids, rhinoserus, bovidae, buaya, kura-kura, rattus dll. Biologi Formasi kabuh merupakan daratan asli daerah sangiran yang dihuni oleh manusia purba yaitu phytecantropus erectus, phytecantropus dubois dengan ditemukannya tulang femur dan atap tengkorak serta ditemukannya fosil alat-alat batu oleh GHR Von Koenigswald.

Karakteristik spesifik / unik formasi Masih berupa daratan aslinya di daerah sangiran dan merupakan dataran tertinggi di daerah sangiran

D. Pembahasan
1. Formasi Pucangan Formasi ini terletak di dukuh Ngampon, desa Krikilan, Kecamatan Klaijambe dan Kabupaten Sragen. Formasi Pucangan ini terdiri dari dua satuan litologi yaitu satuan breksi laharik dan satuan napal bercampur batu lempung. Ketebalan formasi ini mencapai 157,5 m. sedang umur formasi ini adalah plestosen bawah ( 1,8juta-900ribu). Satuan breksi laharik, terbentuk akibat pengendapan banjir lahar hujan yang diselingi pengendapan sungai normal dilingkungan air payau. Ketebalan satuan ini berkisar antara 0,7-46 m. satruan ini termasuk Formasi Pucangan Bawah, berumur Plestosen Bawah. Kandungan fosil

pada lapisan ini sangat jarang. Namun diantaranya ditemukan sedikit fosil moluska laut jenis anadara, korbicula, dan murex. Satuan napal dan batu lempung, termasuk Formasi Pucangan Atas, yang berumur plestosen bawah. Satuan ini berwarna abu-abu muda sampai tua, yang bila lapuk berwarna hitam. Ketebalan lapisan ini mencapai 113,5 m. pada satuan ini ditemukan tiga horizon moluska laut yang bercampur dengan gigi ikan hiu, yang menandakan bahwa pada masa itu pernah terjadi transgresi laut, meskipun mungkin kejadiannya sangat singkat. Moluska laut yang lain ditemukan berasosiasi dengan kayu, belerang, peat, bulus dan buaya yang menunjukkan lingkungan payau-payau tepi laut. Selain horizon moluska laut, ditemukan juga lapisan tanah Diatome yang berwarna putih kecoklatan, dengan penyebaran yang cukup lama.

2. Formasi Kalibeng Formasi ini terletak di dukuh Ngampon, desa Krikilan, Kecamatan Klaijambe dan Kabupaten Sragen. Umur formasi ini adalah Pliosen (2 juta -1,8 juta tahun yang lalu). Persebaran Dormasi Kalibeng ditemukan disekitar Kubah Sangiran, dan membentuk perbukitan yang landai. Ketebalan formasi ini mencapai 126,5 m. satuan litologinya berupa lempung abu-abu kebiruan setebal 107 m, pasir lanau setebal 4,2 6,9 m, batu gamping balanus setebal 0 - 10,1M. Pada formasi ini banyak ditemukan fosil-fosil Foraminifera dan Moluska laut. Antara lain ditemukan : arca (anadara), arcitectonica, lopha (alectryonia), Conus, Mirex, Chlamis, Pecten, Prunum, Turicula, renella spinoca, anomia, arcopsis, linopsis, dan turitella acoyana. Fosil-fosil tersebut merupakan ciri dari lingkungan pengendapan laut dangkal.

3. Formasi Notopuro ( mad volcano) Formasi notopuro terletak secara tidak selaras diatas formasi kabuh dengan ketebalan sekitar 47 M. satuan litologinya berupa : kerikil, pasir, lanau, lempung, air tawar, lahar pumisan dan tuf. Lapisan lahaar yang terkandung dalam lapisan ini, berdasarkan letaknya dibagi 3 yaitu : lapisan lahar atas, lapisan lahar teratas dan lapisan pumiceatas. Berdasarkan adanya lapisan lahar tersebut, formasi notopuro dibedakan menjadi 3 : formasi notopro bawah, formasi notopuro tengah dan formasi notopuro atas.

Lapisan notopuro bawah dimulai lapisan lahar atas sampai lapisan lahar teratas, dengan ketebalan antara 3,2- 2,89 M. Kandungan litologinya berupa pasir tufan dengan kerikil fluvial, lanau, lempung, fragmen kerikil andesit dan formasi tuf andesit. Formasi notopuro tengah mulai muncul pada lapisan lahar atas sampai lapisan lahar teratas, dengan ketebalan maksimum 20M. formasi ini mengandung pasir bercampur kerikil dan lanau tufan, kecuali pada lapisan lahar yang terletak didasar. Pada formasi ini tidak ditemukan fosil mammalian sama sekali. Formasi notopuro atas dimulai dari lapisan pumiceatas secara tidak selaras terletak diatas formasi notopuro tengah dan bawah, ketebalan formasi ini mencapai 25 M dan tersebar di daerah sangiran sebelah utara dan daerah sangiran sebelah timur. Kandungan litologinya berupa tuf dan bola-bola pumisan.

4. Formasi Kabuh Formasi ini terletak di dukuh Ngampon, desa Krikilan, Kecamatan Klaijambe dan Kabupaten Sragen. Umur formasi ini adalah Plestosen atas sampai plestosen tengah (900ribu-200ribu tahun yang lalu). Formasi kabuh mempunyai ketebalan 5,8 58,6 M. lapisan ini mempunyai kandungan litologi berupa lempung lanau , pasir, besi dan kerikil. Satuan litologi tersebut ditemukan berselangseling dengan lapisan konglomerat dan batu lempung vulkanik (tuf). Dibawah lapisan ini ditemukan lapisan batu pasir, konglomerat calcareous dengan ketebalan lebih dari 2M yang merupakan ciri lingkungan transisi antara lautan dan daratan. Lapisan tuf yang terkandung dalam formasi kabuh dibedakan atas lapisan tuf bawah, tuf tengah, dan tuf atas. Lapisan tuf bawah terletak pada formasi kabuh dengan ketebalan 4,2 20 M, lapisan tuf tengah terdapat pada formasi kabuh dengan ketebalan 5,8 20M, dan lapisan tuf atas pada formasi kabuh atas dengan ketebalan 3,4-16M. Kandungan fosil formasi kabuh meliputi hewan vertebrata dan moluska air payau. Fosil vertebrata yang ditemukan antara lain : bovidae, babi, buaya, bulus, banteng, gajah dan rusa. Sedang fosil moluska air payau yang ditemukan meliputi astartea, melania, dan corbicula. Selain itu ditemukan pula fosil cetakan daun.

E. Simpulan dan Saran

Simpulan : 1. Situs sangiran terletak disebuah desa di kelurahana Krikilan Kecamatan Kalijambe,

Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. 2. Situs Sangiran terletak kira-kira 15 km di sebelah utara kota Surakarta. Situs ini luas

arealnya kira-kira 6x15 km. sebagai suatu situs sebagian arealnya terletak di wilayah kabupaten sragen, sebagian lagi terletak di wilayah kabupaten Karanganyar. 3. Berdasarkan study lapangan mata kuliah geologi, dalam situs sangiran terdapat 5 formasi antara lain : Formasi Pucangan Atas, Formasi Pucangan Bawah, Formasi Kalibeng, Formasi Notopuro (mad vulkano) dan Formasi Kabuh. Saran 1. Alternative jalan menuju masing-masing formasi sebaiknya diberi jalan khusus sehingga

pengunjung lebih mudah menjangkau formasi tersebut. 2. Untuk panitia, menejemen waktunya dioptimalkan lagi. 3. Dalam perjalanan menuju formasi kabuh, panitia sebaiknya menyediakan transportasi khusus untuk pengunjung karena lokasi yang terlalu jauh.

2010 March 23 tags: sangiran by RDP (admin) Penulis : Awang H Satyana

Awal Maret 2010 yang lalu, sebuah paket terletak di meja saya, dikirim dari seorang teman di Yogyakarta - Pak Budianto Toha (Geologi UGM). Saat dibuka, wah kejutan yang menyenangkan, sebuah buku berjilid keras berkertas mengkilap, penuh gambar dan foto, dicetak dengan baik, berjudul, Sangiran Menjawab Dunia. Penulisnya tak asing bagi saya, juga pasti bagi setiap pembaca artikel atau karya-karya arkeologi Indonesia, yaitu Harry Widianto dan Harry Truman Simanjuntak, dua ahli arkeologi senior Indonesia. Terima kasih Pak Bud, atas kejutan yang istimewa ini, sesuai harapan Pak Bud saya menikmati membacanya. Buku Sangiran Menjawab Dunia diterbitkan oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sebuah lembaga yang paling punya autorisasi untuk menerbitkannya. Penerbitan buku ini didukung secara penuh termasuk pendanaannya oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pak Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah memberikan sambutan di buku ini. Pak Bibit pasti sadar bahwa Sangiran adalah warisan budaya dunia, yang sangat penting dalam dunia paleoantropologi, khususnya sejarah Homo erectus (Sangiran saat ini tempat terpenting di dunia untuk mempelajari Homo erectus). Pak Bibit berharap bahwa Sangiran bisa menjadi salah satu

tujuan penting dalam Tahun Kunjungan Wisata Jawa Tengah 2011.

Dr. Harry Widianto saat ini adalah Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, sedangkan Prof. Dr. Truman Simanjuntak adalah Director of Center for Prehistoric and Austronesian Studies di Jakarta. Keduanya juga adalah peneliti utama pada Puslitbang Arkenas (Arkeologi Nasional), pengajar dan penguji mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia maupun di beberapa negara. Februari 2010 lalu saya bertemu dengan Pak Truman di TMII saat sama-sama diundang sebagai narasumber Seminar Atlantis yang diadakan oleh penerbit buku Atlantis PT Ufuk (sudah saya ceritakan di milis ini). Saat itu, Pak Truman membedah buku Atlantis karya Prof. Arysio Santos itu berdasarkan arkeologi, sedangkan saya menganalisisnya berdasarkan geologi. Kesimpulan kami sama : Indonesia bukan Atlantis yang hilang itu. Karyakarya ilmiah Pak Harry Widianto tentang Homo erectus Sangiran banyak saya pelajari pada tahun 2008 saat saya sedang menyusun sebuah makalah untuk PIT IAGI yang berhipotesis bahwa perkembangan lebih lanjut dari Homo erectus tidak berkembang di Sangiran, tetapi berkembang di aliran lebih hilir Bengawan Solo di wilayah Ngandong, Trinil dan Ngawi karena Sangiran saat itu tak layak huni lagi sebab Sangiran telah tererupsi sebagai mud volcano. Buku Sangiran Menjawab Dunia enak dibaca, penjelasannya mudah dipahami sebab ditujukan untuk pembaca umum, pekerjaan penataan letak dibuat artistik sehingga sejuk membacanya

sebab banyak variasi pemandangannya. Buku ini menjelasakan secara komprehensif hal ihwal Sangiran sebagai situs paling penting Homo erectus di dunia. Tidak hanya Sangiran saja yang diterangkan, tetapi pembaca diperkenalkan dulu kepada beberapa perihal yang berkaitan dengan manusia purba.

Buku diawali dengan penjelasan tentang Gejolak Teori Evolusi Di Akhir Abad ke-19 dari cerita tentang Charles Darwin, sang pembentuk teori evolusi 1859, kontroversi di seputarnya, para pembela dan penyerangnya, dan terakhir diceritakan tentang Eugene Dubois, dokter Belanda yang terobsesi dengan teori Darwin lalu datang ke Indonesia, mengembara ke Sumatra lalu Jawa dan akhirnya pada tahun 1891-1892 ia menemukan di Trinil, Ngawi apa yang diyakininya sebagai missing link antara kera dan manusia : fosil batok kepala, gigi dan tulang paha kiri -ketiganya membuat Dubois menyimpulkan bahwa ketiga ex fragmen yang ditemukannya itu milik suatu makhluk bukan kera bukan manusia. Bukan kera karena ketika diukur volume otaknya 900 cc (otak kera paling maju -simpanse 600 cc; otak manusia 1200 cc), lalu tulang pahanya menunjukkan bahwa sang empunyanya berjalan tegak (tentu saja Dubois tahu sebab ia seorang dokter ahli anatomi). Maka dua kata diberikannya untuk penemuan ini : Pithecanthrous erectus -manusia seperti kera (atau kera seperti manusia) yang berjalan tegak. Cocoklah ia sebagai missing link di antara kera dan manusia. Pada tahun 1980-an, nama genus Pithecanthropus diubah menjadi Homo, genus yang sama dengan manusia modern.

evolusi hominid-manusia (widianto dan simanjuntak, 2009) Charles Darwin meninggal pada 1882, ia tak menyaksikan penemuan-penemuan fosil-fosil di sekeliling hominid (makhluk mirip manusia) yang menunjukkan apa yang digagas Darwin mungkin benar : evolusi. Fosil-fosil yang ditemukan Dubois dan banyak ahli lainnya pada abad ke-20 telah dapat menunjukkan bahwa telah terjadi evolusi dari hominid paling primitif ke hominid paling modern dan mungkin juga manusia modern. Bahwa teori evolusi menimbulkan kontroversi yang besar saat Darwin hidup tentu salah satunya karena bukti-bukti fosil saat itu belum ditemukan. Meskipun bukti2 fosil telah sedemikian terang menunjukkan bahwa evolusi adalah fakta, sampai sekarang pun masih terjadi pro dan kontra evolusi itu. Peperangan menjadi lebih seru lagi ketika kaum kreasionis Kristen maupun Islam maju serentak menyerang para evolusionis.

ekskavasi arkeologi sangiran (widianto dan simanjuntak, 2009) Saat buku kiriman Pak Budianto Toha datang, saya sedang membaca sebuah buku yang baru diterjemahkan Kepustakaan Populer Gramedia Evolusi (Februari, 2010) yang ditulis oleh seorang ahli yang berkontribusi signifikan kepada teori evolusi modern, Ernst Mayr. Mayr menulis buku komprehensif tentang evolusi ini pada tahun 2001 saat usianya 97 tahun (bukan main). Geologi tentu erat berkaitan dengan evolusi yang dikemukakan Darwin, Darwin terinspirasi mengemukakan teorinya karena geologi, dan geologi juga yang berkontribusi saat ia menyusun teorinya (lihat tulisan saya di Berita IAGI terakhir -edisi 2/2009 terbit saat PIT IAGI di Semarang- tentang bagaimana peranan Charles Lyell, salah satu bapak geologi modern, berkiprah saat Darwin menyusun teorinya). Bab kedua buku Sangiran Menjawab Dunia menerangkan lebih jauh lagi tentang evolusi hominid yang disusun berdasarkan penemuan seluruh fosil hominid di seluruh dunia : di Afrika, di Eropa, di Asia sampai di Jawa. Maka di dalam bab ini, tentu ada penjelasan tentang hominid paling primitif Australopithecus afarensis, kemudian berturut-turut dijelaskan tentang A. africanus hominid pemburu pertama, A. robustus yang berbadan kekar; lalu genus baru Homo muncul sebagai Homo habilis yang mulai membuat perkakas dari batu (terkenala sebagai kebudayaan Olduvai/Oldowan) dan akhirnya si hominid terkenal yang pintar bertukang dan pengembara pertama keluar dari Afrika : Homo erectus. Diceritakan pula di bab ini tentang Homo neanderthalensis dan Homo crromagnon yang hidup di Eropa sampai akhirnya Homo

sapiens tertua yang muncul juga di Afrika sebelum mereka bermigrasi ke seluruh dunia. Bab ini dengan jelas menunjukkan timeline sejak Australopithecus afarensis (sekitar 7 Ma-juta tahun yang lalu) sampai suatu saat secara serentak pada 0,035 Ma (35.000 tahun yang lalu) muncul jenis baru manusia bernama Homo sapiens sapiens. Perjalanan panjang menuju manusia modern, tulis Widianto dan Simanjuntak (2009). Bab tiga buku Sangiran Menjawab Dunia mulai mengkhususkan pembahasan kepada Homo erectus, jenis hominid penghuni Sangiran, tetapi bab ini belum membahas Sangiran, baru membahas bagaimana pola kehidupan Homo erectus berdasarkan artefak-artefak yang ditinggalkannya. Dari artefak-artefak inilah para ahli arkeologi menyimpulkan suatu pola kehidupan. Bila ada fosil2 hominid pembuat artefak itu ditemukan, tentu sangat baik, dan itu terjadi di Sangiran. Bab ini menjelaskan bagaimana kapak genggam dibuat Homo erectus. Kapak genggam merupakan perkakas yang universal dari budaya paleolitikum yang ditemukan tersebar luas dari Afrika, Eropa sampai Asia. Secara umum, budaya kapak genggam ini disebut sebagai budaya Acheullian yang mulai muncul di Afrika Timur sejak 1,5 Ma. Bagaimana Homo erectus mengasah batu yang ditemukannya menjadi kapak dengan berbagai keperluan (penumbuk, pembelah, penusuk, dsb.) diceritakan di dalam bab ini.

Situs Sangiran yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah mulai diceritakan di bab keempat buku ini dan seterusnya. Situs ini merupakan situs paling lengkap untuk hunian Homo erectus sejak 1,5 juta tahun yang lalu. Kolonisasi Jawa diperkirakan sudah berlangsung pada akhir Pliosen (1,8 jt tyl). Bukti-bukti ke arah itu didasarkan pada penemuan mamalia Archidiskodon berumur Pliosen Atas di situs Bumiayu. Migrasi Homo erectus melalui jembatan darat pada zaman es mulai terjadi pada Plistosen Bawah dan mulai menghuni Sangiran pada 1,5 jt tyl. Homo erectus tertua ditemukan di Afrika berumur 1,8 jt tyl.

Situs sangiran ditemukan oleh ahli paleontologi G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1934 melalui artefak yang ditinggalkan Homo erectus di Desa Ngebung, Sangiran. Saat itu von Koenigswald ditugaskan Belanda untuk menyusun biostratigrafi Jawa berdasarkan fosil mamalia. Penggalian yang dimulai pada tahun 1936 lalu menemukan fosil-fosil Homo erectus. Penemuan demi penemuan pun terjadi terus sampai dasawarsa terakhir ini, membuktikan bahwa Sangiran adalah situs Homo erectus yang sangat penting.

ekskavasi-arkeologi-sangiran-widianto-simanjuntak-2009 Penjelasan tentang Sangiran dimulai dengan menerangkan stratigrafi daerah Sangiran yang di salah satu formasinya ditemukan banyak fosil Homo erectus. Lapisan terbawah di Sangiran disusun oleh lempung biru Formasi Kalibeng berumur Pliosen Atas (2,4 Ma) berlingkungan pengendapan laut (dalam). Pengangkatan tektonik yang disertai aktivitas volkanik mengubah lingkungan Sangiran menjadi lingkungan rawa. Ini terjadi pada batas Plio-Pleistosen (1,8 Ma). Breksi lahar menandai peristiwa ini, yang diendapkan di atas lempung Kalibeng. Selama sebagai rawa, di Sangiran diendapkan lempung hitam Formasi Pucangan yang berlangsung sampai 0,9 Ma. Fosil paling tua ditemukan di bagian atas endapan ini berumur 1,0 Ma. Pasti Homo erectus yang lebih tua daripada ini ada sebab artefaknya yang berumur 1,2 Ma telah ditemukan. Antara

0.9-0.7 Ma, di sekitar wilayah Sangiran terjadi pengangkatan kembali; daerah ini kemudian tererosi dan mengendapkan bahan rombakannya ke wilayah Sangiran berupa pecahan gamping dan materi volkanik yang terkenal disebut lapisan Grenzbank (lapisan pembatas) sebab lapisan ini membatasi antara Formasi Pucangan di bawahnya dengan Formasi Kabuh di atasnya. Setelah 0,7 Ma, wilayah Sangiran merupakan daerah penampung endapan volkanik hasil letusan gunungapi-gunungapi di sekitarnya (Lawu-Merapi-Merbabu purba). Sangiran saat itu telah menjadi daratan. Di dalam Formasi Kabuh-lah banyak ditemukan fosil Homo erectus dengan umur 700.000-300.000 tahun. Pada 0,25 Ma diendapkan lagi breksi lahar yang mengakhiri Formasi Kabuh. Letusan volkanik masih terus terjadi sampai menjelang Resen, mengendapkan pasir volkanik Formasi Notopuro. Fosil hominid tertua yang ditemukan di Sangiran saat ini berumur 1 Ma, tetapi artefaknya telah ditemukan di lokasi Dayu (masih di Sangiran) dan berumur 1,2 Ma. Artinya, masih mungkin terdapat Homo erectus yang lebih tua daripada 1 Ma. Berdasarkan semua fosil Homo erectus yang telah ditemukan di Sangiran dan sekitarnya (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi), Pak Harry Widianto menyatakan bahwa Homo erectus di Sangiran ini bisa dikelompokkan menjadi tiga subspesies mengikuti penemuannya di lapisan tertua-termuda. Dari tua ke muda adalah : (1) Homo erectus arkaik -Plistosen Bawah 1,5-1,0 Ma ditemukan di bagian atas Formasi Pucangan, (2) Homo erectus tipikal -Plistosen Tengah 0,9-0,3 Ma ditemukan di seluruh Formasi Kabuh, dan (3) Homo erectus progresif -Plistosen Atas 0,2-0,1 Ma ditemukan di Formasi Notopuro. Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran, tetapi di wilayah2 lebih hilir dari Sangiran (Kedungbrubus, Sambungmacan, Ngandong, Trinil, Ngawi).

Mengapa Homo erectus progresif tidak ditemukan di Sangiran ? Karena tak lama setelah pengendapan Notopuro, terjadi mud volcanism di Sangiran,

sehingga subspesies selanjutnya bermigrasi ke wilayah lebih hilir dan ditemukanlah fosilfosilnya di sana, termasuk yang pertama kali ditemukan Dubois di Trinil. Begitulah kira-kira hipotesis yang saya kemukakan dalam makalah yang dipresentasikan di PIT IAGI 2008 (Sangiran Dome, Central Java : Mud Volcanoes Eruption, Demise of Homo erectus erectus and Migration of Later Hominid) Secara singkat, Pak Harry dan Pak Truman pun melanjutkan cerita Sangirannya dengan fosilfosil binatang besar yang ditemukan di Sangiran. Bila Homo erectus hanya ditemukan di lapisan bagian atas Pucangan dan Kabuh; berbagai fosil vertebrata ditemukan di semua lapisan (Kalibeng, Pucangan, grenzbank, Kabuh, Notopuro). jenis vertebrata yang paling sering ditemukan adalah jenis-jenis gajah purba, rusa, kerbau, sapi, banteng dan badak. Sebagian binatang ini sezaman dengan Homo erectus, mungkin menjadi binatang-binatang yang diburunya. Penjelasan di Sangiran diakhiri dengan cerita tentang perjuangan para ahli arkeologi dan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan Sangiran agar diakui sebagai situs warisan budaya dunia. Perjuangan itu berhasil dengan diakuinya Sangiran oleh Unesco PBB sebagai Warisan Budaya Dunia dengan nomor 593 (dokumen WHC-96/Conf.201/21) tahun 1996. Pemerintah Indonesia sendiri tentu saja telah mengakui Sangiran sebagai Kawasan Cagar Budaya sejak 1977 (SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nom 070/0/1977). Bab lima buku Sangiran Menjawab Dunia menerangkan tentang fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di luar Sangiran, dimulai dengan fosil yang ditemukan Dubois di Trinil, di Kedungbrubus tempat pelukis Raden Saleh pernah menggali fosil-fosil vertebrata yang banyak ditemukan di sini dan dipercayai penduduk sebagai sisa peperangan Bharatayudha di padang Kurusetra, di Perning Mojokerto tempat sebuah atap tengkorak berumur tua (1,8 Ma) ditemukan dan menimbulkan kehebohan di kalangan para ahli karena ketuaannya sehingga peneraan umur bocah Perning ini diragukan, di Ngandong tempat Ter Haar dan Oppenoorth menemukan fosilfosil yang kemudian dikenal sebagai Homo erectus progresif berumur 300.000 tahun, di Sambungmacan tempat T. Jacob dan R.P Sujono menemukan fosil berupa atap tengkorak Homo erectus progresif dan perkakasanya, dan di Patiayam, lereng selatan Muria tempat yang menarik sebab Sartono menemukan geraham dan fragmen tengkorak Homo erectus yang diperkirakan seumur dengan Homo erectus tipikal di Sangiran. Penemuan di Patiayam menarik sebab tempat ini terisolasi dari Sangiran pada zaman Homo erectus tipikal berkembang. Bagaimana kedua

tempat ini (yang pada masa itu terpisah sebuah selat/laut) bisa dihuni pada saat yang bersamaan tentu menarik secara paleogeografi. Pak Yahdi Zaim, yang terlibat dalam penemuan fosil di Patiayam itu tentu bisa bercerita lebih jauh.

Di dalam bab ini dijelaskan pula penemuan-penemuan terbaru fosil hominid atau artefaknya. Yang pertama adalah fosil yang pernah membuat heboh itu, yaitu Homo floresiensis yang ditemukan di Liang Bua Flores pada bulan September 2003. Umurnya kini sudah diketahui : 18.000 tahun dan disimpulkan sebagai Homo sapiens purba yang mengalami pengerdilan karena paleogeografi pulau terisolasi, seperti juga fosil gajah kerdil yang ditemukan di sini. Kini, subspesies manusia purba Flores ini disebut sebagai Homo sapiens floresiensis. Berikutnya, adalah situs-situs hunian hominid yang disebut Situs Semedo di Pegunungan Serayu Utara, Kecamatan Kedungbanteng, Tegal. Di sini ditemukan beberapa fosil vertebrata dan perkakas hominid berupa kapak dan penyerut yang terbuat dari rijang dan batugamping kersikan. Fosil Homo erectus belum ditemukan di sini. Yang terakhir adalah Situs Bringin di Ngawi, tempat ditemukannya fosil-fosil vertebrata dan ala-alat batu yang morfologinya sama dengan milik Homo erectus progresif yang ditemukan di tempat lain. Fosil hominid belum ditemukan di sini. Bab enam buku ini, yang merupakan bab terakhir, menjelaskan tentang rencana utama (master plan) pengembangan Situs Sangiran untuk menjadi pusat informasi peradaban manusia purba bertaraf internasional. Pengembangan ini berusaha sedemikian rupa agar Sangiran yang

merupakan padang gersang ini tetapi yang sesungguhnya memuat informasi yang sangat penting tentang evolusi manusia dapat dinikmati dengan mudah oleh masyarakat umum. Maka, akan didirikan pusat-pusat informasi yang terletak dekat situs-situs penggaliannya, dibagi ke dalam empat klaster (cluster) : klaster Ngebung, Klaster Bukuran, Klaster Dayu dan Klaster Krikilan. Di setiap klaster akan didirikan berbagai sarana yang akan memudahkan pengunjung memahami makna paleoantropologi dan arkeologi Homo erectus, termasuk kesempatan untuk mengamati sendiri tempat-tempat ekskavasi (lubang penggalian) tempat para ahli mencari fosil dan artefak Homo erectus. Demikian, buku Sangiran Menjawab Dunia karya Dr. Harry Widianto dan Prof. Dr. Truman Simanjuntak. Seratus individu yang telah ditemukan di Sangiran memang telah menjawab dunia, yang bertanya tentang bukti evolusi. Res serias omnes extollo ex hoc die in alium diem from Archeology, Review buku, Rupa-rupi

Sabtu, 07 Juli 2007 09:54 Sekitar Jaman Pliosen (kurang lebih 2 juta tahun yang lalu) dan selama jaman Pleistosen Bawah (hingga 1,7 juta tahun yang lalu), merupakan masa lahirnya bagian timur Pulau Jawa. Pada waktu itu aktivitas vulkanik dan tektonik mulai membentuk rangkaian gunung api yang besar (yang masih aktif hingga sekarang) serta jajaran perbukitan yang kini mencirikan pemandangan umum di Jawa. Di kaki selatan pegunungan Kendeng dapat kita jumpai singkapan lapisan-lapisan yang ada pada jaman Pliosen dan Pleistosen yang diendapkan di bagian utara depresi Solo. Lapisan tersebut telah mengalami fase tektonik akhir dari proses pelipatan di daerah Perbukitan Kendeng. Iklim di Indonesia sejak 2,5 juta tahun yang lalu sangat dipengaruhi oleh adanya jaman Glasial (masa pembekuan es) dan Interglasial (masa pencairan es). Jaman glasial mempengaruhi susurtnya air laut sehingga terbentuk daratan baru yang menghubungkan pulau Jawa dengan benua Asia.

Jembatan daratan inilah yang memungkinkan terjadinya migrasi dari daratan Asia menyebar ke pulau Jawa serta pulau-pulau lainnya. Akibatnya hewan-hewan dan juga Pithecanthropus pada waktu itu dapat menghuni berbagai tempat yang baru terbentuk. tererosinya relief-relief tersebut mengakibatkan terjadinya endapan-endapan sedimen daratan yang banyak mengandung fosil. Menurut Harry Widianto, pengangkatan Pulau Jawa terjadi kira-kira 1,65 juta tahun yang lalu dan awal penghunian manusia kira-kira 1,5 juta tahun yang lalu (Widianto, 2001). Pada saat jaman Interglasial, yaitu masa pencairan es, daratan baru tersebut kembali tergenang karena air laut mengalami kenaikan.

Kynan.

Ditulis oleh Era Baru News

Jumat, 17 Februari 2012

Ilustrasi manusia purba di Museum Manusia Purba Sangiran (Foto: Blog) Sragen Siklus kehidupan peradaban Indonesia tidak hanya berawal beberapa puluh tahun terakhir, bahkan ratusan tahun. Peradaban Indonesia merupakan peradaban yang terbilang kuno mencapai jutaan tahun silam seperti yang terdapat di Museum Manusia Purba Sangiran, di Desa Krikilan, Kecamatan

Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Situs sangiran mampu menceritakan tentang peristiwa geologis yang terjadi pada 2,4 juta tahun. Temuan arkeologi ini bermakna bahwa peradaban Indonesia memiliki hubungan dengan peradaban bangsa-bangsa lain. Pasti ada korelasi apa yang ada di Indonesia dan situs negara lain," kata Presiden SBY saat mengunjungi Museum Manusia Purba Sangiran seperti dilansir PresidenSBY.Info, Kamis (16/2). Menurut Presiden, penemuan korelasi tersebut akan membuat bangsa Indonesia bangga dan ada yang bisa diceritakan kepada dunia bahwa Indoensia mempunyai peradaban beberapa juta tahun silam. Menyingkap kembali sejarah peradaban kuno sebagai pusat kejaidan sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pihak yang berwenang diminta untuk mendalami secara serius. Diperlukan tindakan dan kebijakan sepenuh hati untuk mewujudkannya. "Tata kembali. Kalau ingin diabadikan sebagai pusat kajian sejarah, membangunnya jangan tanggung-tanggung, tambah SBY. Seperti yang diketahui, kawasan Situs Sangiran telah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya 2007 lalu. Kemudian 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Keistimewaan yang dimiliki oleh Situs Sangiran adalah singkapan stratigrafi, hingga memberikan gambaran lebih jelas tentang kehidupan budaya masa lampau. Bukti sejarah kuno tersebut tersusun rapi di tebing-tebing Sangiran. Kisah tersebut menguak peradaban kuno 2 juta tahun silam. Kepala Negara bahkan berharap jika nantinya telah ditemukan bukti sejarah tersebut, maka nantinya siapapun yang berkunjung akan merasa bangga. Kemudian bisa menjadi bahan cerita kepada dunia, bahwa Indonesia mempunyai peradaban beberapa juta tahun yang lalu. Mengutip dari penelitian ilmuwan A.M Semah menyebutkan, terbentuknya Kubah Sangiran

merupakan peristiwa geologis yang diawali 2,4 juta tahun silam dengan pengangkatan, gerakan lempeng bumi, letusan gunung berapi dan adanya masa glacial sehingga terjadi penyusutan air laut yang akhirnya membuat wilayah Sangiran terangkat keatas. Temuan itu dibuktikan dengan adanya endapan dijumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan lempeng biru dari Formasi Kalibeng. Daerah ini merupakan endapan lingkungan lautan dan hingga saat ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut. Disebutkan formasi Kalibeng ini merupakan lapisan stratigrafi di Situs sangiran yang paling tua. Lapisan ini juga merupakan endapan dari lautan yang hadir pada akhir Kala Pliosen yang berusia 2 juta tahun silam. Penelitian A.M Semah menyebutkan, keberadaan pasir lanau dan gamping balanus menandakan endapan dari laut dangkal dan formasi ini tersingkap di wilayah Puren dan Pablengan. Pada masa ini belum ada kehidupan manusia maupun vertebrata karena lingkungan masih berupa lautan. Lautan luas ini kemudian berubah menjadi hutan bakau, akibat banyaknya aktivitas vulkanik. Perubahan alam yang terus terjadi dari hutan bakau, kemudian menjadu daratan luas. Sebelumnya, lautan luas itu surut akibat pengangkatan regional dari kegiatan gunung api. Jikalaupun nanti para ilmuwan telah menemukan secara rinci mengenai peradaban kuno Indonesia, kemudian para ilmuwan mendapatkan temuan arkeologi bahwa hiruk pikuk yang telah terjadi saat ini tentang peradaban korupsi yang merajalela, penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kemerosotan moral juga telah terjadi sejak dahulu kala, lalu seperti inikah temuan yang akan menjadi bahan kunjungan wisatawan?. (mas/asr)

Ditemukan Senjata Berburu Milik Manusia Purba Sangiran


oleh: amf_makassar

Summary rating: 5 stars (1 Tinjauan) Kunjungan : 78

kata:600

Empat buah bola batu ditemukan di Situs Purbakala Sangiran, Sragen. Batu bundar itu diperkirakan sebagai senjata manusia purba untuk berburu. Bebatuan tersebut ditemukan bersamaan dengan fosil gigi buaya, gigi harimau dan gigi hiu di lapisan tanah yang telah berusia antara 1.800.000 hingga 800.000 tahun lalu. Bola batu yang diperkirakan manusia purba untuk berburu tersebut ditemukan di formasi Pucangan atau di pleistocen bawah yang telah berumur antara 1.800.000 hingga 800.000 tahun yang lalu, ujar Gunawan, petugas laboratorium Situs Purbakala Sangiran, Jumat (11/5/2007) siang. Penemu bola batu itu adalah Ngadino. Dia menemukannya pada Kamis kemarin, di tanah tegalan miliknya di Wonolelo, Ngebung, Kalijambe, Sragen. Diameter keempatnya beragam antara 8,1 cm hingga 9,9 cm dengan berat antara 700 gram hingga 1,1 kg. Menurut Gunawan, cara penggunaannya adalah dilempar untuk melumpuhkan buruan. Dikatakan dia, penemuan bola batu seperti itu bukan yang pertama di kawasan Situs Sangiran. Sebelumnya telah terdapat 25 bola batu yang ditemukan dengan ukuran dan berat yang hampir sama dnegan temuan terakhir. Dia juga meyakinkan bola batu itu bukan senjata tertua manusia purba Sangiran yang telah ditemukan. Sebelumnya telah ditemukan juga batu parimbas yang digunakan manusia purba di bukit Desa Dayu. Meskipun sama-sama berada di lapisan pleistocen bawah, namun dilihat dari lokasi penemuan dan jenis batunya, perimbas itu lebih tua dari senjata bola batu tersebut, lanjutnya. Gigi Hewan Masih di lokasi dan pada hari yang sama, Ngadino juga menemukan dua fosil gigi harimau purba (Felis palaeo javanica) masing-masing sepanjang 6,3 cm dan 4 cm, gigi buaya purba dari famili Gavidae sepanjang 1,7 cm dan sebuah gigi ikan hiu purba sepanjang 5 cm. Fosil-fosil gigi tersebut ditemukan di lereng dekat dengan parit. Gunawan memastikan di lokasi penemuan fosil gigi itu tidak terdapat fosil kepala. Menurut dia, bukan tidak mungkin fosil itu telah terbawa air dan terkumpul di tempat penemuan. Pada hari Sabtu (5 Mei) lalu, di lokasi tersebut juga ditemukan dua fosil hewan mamalia, yaitu fosil tulang paha bagian belakang hewan purba dari famili Cervidae (jenis rusa) dan fosil tulang paha bagian depan hewan purba dari famili Bovidae (jenis kerbau/sapi). Dua bulan terakhir Sangiran menambah berbagai koleksi yang kesemuanya dari temuan warga, yaitu fosil kepala buaya

purba yang ditemukan 20/5/2007, fosil kepala gajah purba yang ditemukan 22/5/2007, fosil tulang paha mamalia yang ditemukan 5/5/2007 dan bola serta fosil gigi hewan temuan 10/5/2007. Diterbitkan di: 29 Januari, 2012

Oleh : Harry Widianto Ahli Arkeologi/Paleoantropologi, Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Dimuat di harian Kompas, 13 Juni 2008

Situs Sangiran KISAH panjang mengenai evolusi manusia di dunia tampaknya tidak dapat dilepaskan sama sekali dari sebuah bentangan lahan perbukitan tandus yang terletak di tengah perbatasan Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa tengah. Lahan seluas 8 x 7 kilometer persegi, yang saat ini dikenal dengan nama Situs Sangiran itu telah mencuatkan kisah yang menggema lantang ke seluruh dunia. Terutama sejak ditemukan oleh GHR von Koenigswald melalui temuan alatalat serpih pada tahun 1934. Di sini telah muncul salah satu pusat evolusi manusia di dunia, yang sanggup menorehan cerita panjang tentang kemanusiaan sejak 1,5 juta tahun lalu. Itu sebabnya, Sangiran dimasukkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 1996.

Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang tererosi bagian puncaknya sehingga menghasilkan cekungan besar di pusat kubah. Akibatnya, lapisan-lapisan tanah berumur tua tersingkap secara alamiah, menampakkan lapisan-lapisan berfosil, baik fosil manusia purba maupun binatang. Okupasi manusia purba dari tokson Homo erectus secara intens telah meninggalkan jejakjejaknya, seperti artefak batu ataupun lingkungan faunanya, dalam lingkungan purba yang terbentuk selama 2 juta tahun terakhir tanpa terputus. Inilah napas dan arti mendalam dari Situs Sangiran sebagai salah satu situs akbar dalama kajian evolusi manusia di dunia. Lingkungan laut dan rawa Lempung biru yang membentuk apa yang disebut kalangan arkeolog sebagai Formasi Kalibeng di bagian paling bawah adalah endapan paling tua. Endapan itu tercipta sejak 2,4 juta tahun lalu ketika daerah ini masih merupakan lingkungan laut dalam. Pada awal Kala Plestosen Bawah, sekitar 1,8 juta tahun lalu, terjadi letusan gunung api yang hebat. Mungkin berasal dari Gunung Lawu purba sehingga diendapkan lahar vulkanik yag mengisi laguna Sangiran. Letusan gunung api ini telah mengubah bentang alam menjadi laut dangkal, menandai dimulainya perubahan lingkungan laut ke lingkungan darat, sekaligus awal dari mundurnya laut dari Sangiran. Rawa dan hutan bakau mendominasi lanskap Sangiran hingga sekitar 0,9 juta tahun yang lalu, dicirikan oleh endapan lempung hitam yang diistilah sebagai Formasi Pucangan. Manusia purba paling tua hidup di pinggir-pinggir sungai, yang menembus rawa dan hutan bakau saat itu, berdampingan dengan binatang vertebrata yagn msikin spesiesnya. Di antaranya Hexaprotodon simplex (sejenis kuda air), Tetralophodon bumiajuensis (sejenis gajah) dan akhirakhir ini ditemukan pula Crocodillus sp (sejenis buaya). Sejak 1 juta tahun lalu, Hexaprotodon simplex kandas dan digantikan oleh Hexaprotodon sivalensis. Fauna pendatang baru, pada bagian atas Formasi Pucangan, adalah Panthera trinilensis (macan) dan Axis lyndekkeri (rusa). Manusia pada tingkatan ini menunjukkan fisik yang luar biasa kekar dan kuat sehingga dalam tingkatan evolusi fisiknya dimasukkan sebagai Homo erectus kekar. Mereka telah menciptakan

alat-alat dari batuan kalsedon yang berupa serpih, berukuran sangat kecil dengan diameter 2-4 sentimeter. Saat ini peralatan mereka telah ditemukan di Desa Dayu, dari sebuah endapan sungai purba yang mengalir di antara bentangan rawa pada 1,2 juta tahun yang lalu. Alat-alat batu dari Formasi Pucangan di Desa Dayu ini maerupakan budaya Homo erectus arkaik dari Kala Plestosen Bawah, sekaligus merupakan budaya paling tua di Indonesia. Menjadi daratan Pada sekitar 0,9 tahun lalu, terjadi erosi pecahan gamping pisoid dari Pegunungan Selatan yang terletak di selatan Sangiran dan kerikil-kerikal vulkanik dari Pegunungan Kendeng di utaranya. Material erosi tersebut menyatu di Sangiran sehingga membentuk suatu lapisan keras setebal 1-4 meter, yang disebut grenzbank alias lapisan pembatas. Pengendapan grenzbank menandai perubahan lingkungan rawa menjadi lingkungan darat secara permanen di Sangiran. Sekitar 0,8 juta tahun lalu, tidak lagi dijumpai rawa di Sangiran. Juga tak lagi terdapat daerah peralihan antara laut dan darat. Manusia kekar Meganthropus paleojavanicus masih hidup dan berdampingan hidpunya dengan Homo erectus yang lebih ramping. Kemampuan membuat alat serpih tetap dilanjutkan. Pada periode berikutnya terjadi letusan gunung yang hebat di sekitar Sangiran, berasal dari Gunung Lawu, Merapi dan Merbabu purba. Letusan hebat telah memuntahkan jutaan kubik endapan pasir vulkanik, kemudian diendapkan oleh aliran sungai yang ada di sekitarnya saat itu. Aktivitas vulkanik tersebut tidak hanya terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi susul-menyusul dalam periode lebih dari 500.000 tahun. Aktivitas alam ni meninggalkan endapan pasir fluviovolkanik setebal tidak kurang dari 4o meter, dikenal sebagai Formasi Kabuh. Lapisan ini mengindikasikan daerah Sangiran sebagai lingkungan sungai yang luas saat itu: ada sungai utama dan ada pula cabang-cabangnya dalam suatu lingkungan vegetasi terbuka. Salah satu sungai purba yang masih bertahan adalah Kali Cemoro. Berbagai manusia purba yang hidup di daerah Sangiran mulai 700.000 hingga 300.000 tahun kemudian terpintal oleh aliran pasir ini. Mereka diendapkan pada sejumlah tempat di Sangiran.

Badak, antilop dan rusa yang ada di grenzbank masih tetap ada pada Formasi Kabuh. Stegodon sp ditemani jenis lain, Elephas hysudrindicus dan Epileptobos groeneveldtii (banteng). Lapisan ini merupakan lapisan yang paling banyak menghasilkan fosil manusia dan binatang. Saat itu mereka masih meneruskan tradisi pembuatan alat serpih bilah. Pada Kala Plestosen Tengah inilah Sangiran menunjukkan lingkungan yang paling indah: hutan terbuka dengan berbagai sungai yang mengalir, puncak dari kehidupan Homo erectus beserta lingkungan fauna dan budayanya. Letusan terus berlangsung Pada sekitar 250.000 tahun yang lalu, lahar vulkanik diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang juga mengangkut material batuan andesit berukuran kerikil hingga bongkah. Pengendapan lahar ini tampaknya berlangsung cukup singkat, sekitar 70.000 tahun. Di atasnya kemudian diendapkan lapisan pasir vulkanik, yang saat ini menjadi bagian dari apa yang disebut Formasi Notopuro. Manusia purba saat itu telah memanfaatkan batu-batu andesit sebagai bahan pembuatan alat-alat masif, seperti kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, bola-bola batu dan kapak pembelah. Setelah pembentukan Formasi Notopuro, terjadilah pelipatan morfologi secara umum di Sangiran, yang mengakibatkan pengangkatan Sangiran ke dalam bentuk kubah raksasa. Erosi berlangsung terus-menerus di puncak kubah sehingga menhasilkan cekungan besar yang saat ini menjadi ciri khas dari morfologi situs Sangiran. Di sinilah lokasi laboratorium alam terbesar di dunia setelah endapan-endapan purba di Afrika dan di sini pula pusat evolusi manusia itu terjadi. Sangiran dan seluruh kandungannya merupakan aset sangat berharga bagi pemahaman kehidupan manusia selama Kala Plestosen di dunia.

Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48 km dan terletak di Jawa Tengah, 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu. Secara administratif Sangiran terletak di kabupaten Sragen

dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa"). Ada sekitar 60 lebih fosil lainnya di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut. Di Museum Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu. Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan pada masa lampau. Sangiran mencakup beberapa lapisan tanah/formasi tanah. Yang tertua adalah formasi "kalibeng" formasi ini diperkirakan berumur 3 juta - 1,8 juta tahun yang lalu. Pada formasi ini terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan bawah merupakan endapan laut dalam dengan ketebalan lapisan ini 107 meter

You might also like