You are on page 1of 22

Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum

Landasan

Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum

(Sebagai Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum)

Dosen Mata Kuliah Manerah, M.Pd

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh : Kelompok 4 1.

1) Irvani Mufidah

(109018300083)

2) Neneng Komalasari (109018300101) 3) Deasy Ajeng WP. (1090183000 )

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA 2011

KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan pada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memuliakannya diatas makhluk-makhluk yang lain.Juga tidak lupa pula shalawat dan salam atas pemimpin umat islam yakni baginda besar Muhammad SAW, beserta para sahabat dan pengikunya hingga akhir zaman. Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang singkat ini dengan judul Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum. Makalah ini terdiri dari pokok-pokok bahasan materi yang membahas mengenai Landasan perkembangan kurikulum yakni meliputi landasan filosofis, landasan psikologis, dan landasan sosial-budaya dalam pengembangan kurikulum. Materi ini disajikan secara ringkas yang kami ambil dari beberapa sumber referensi terpilih. Terima kasih kepada Ibu Manerah, M.Pd selaku dosen mata kuliah Pengembangan Kurikulum, yang telah membimbing kami untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Selain itu kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman yang bersedia mempelajari dan memberikan masukan atas makalah ini. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata kuliah

yang bersangkutan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi kita semua selaku calon pendidik generasi umat Islam di masa depan.

Jakarta, 31 Maret 2011 Penyusun Kelompok Empat

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI..................................................................................................... BAB I ...... PENDAHULUAN ....................................................................... BAB II ...... PEMBAHASAN .......................................................................... A. B. Landasan Pengembangan Kurikulum................................ Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum a. Pengertian Filosofis....................................................... 2 b. Cabang-cabang Filosofis............................................... 3 c. Manfaat Filsafat............................................................ d. Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan... C. Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum a. Pengertian Psikologis.................................................... b. Bidang-Bidang Psikologi yang Mendasari Kurikulum.... D. Landasan Sosiologis (Sosial Budaya) dalam Pengembangan Kurikulum 5 5 4 4 2 1 2 i ii

a. Pengertian Sosiologis.................................................... b. Masyarakat dan Kurikulum........................................... c. Kebudayaan dan Kurikulum.........................................

8 9 11

BAB III . PENUTUP ......................................................................................

13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14 ii

BAB I PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan menentukan model manusia yang akan dihasilkan. Landasan pengembangan kurikulum dapat menjadi titik tolak sekaligus titik sampai. Titik tolak berarti pengembangan kurikulum dapat didorong oleh pembaharuan tertentu seperti penemuan teori belajar yang baru dan perubahan tuntutan masyarakat terhadap fungsi sekolah. Titik sampai berarti urikulum harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat merealisasi perkembangan tertentu, seperti dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tuntutantuntutan sejarah masa lalu, perbedaan latar belakang murid, nilai-nilai masyarakat, dan tuntutan kultur terentu.[1] Adapun landasan-landasan utama dalam pengembangan kurikulum yaitu: landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya dan landasan perkembangan ilmu dan teknologi. Sedangkan pada makalah ini hanya dibahas tentang landasan filosofis, landasan psikologis serta landasan sosial budaya.

BAB II Landasan Filosofis dan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum


A. Landasan Pengembangan Kurikulum Kurikulum sebagai rancangan pendidikan memunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluru kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasanlandasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dsan penelitian yang mendalam. Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, serta

perkembangan ilmu dan teknologi. B. Landasan filosofis Pengembangan Kurikulum a. Pengertian Istilah filsafat adalah terjemahan dari bahasa inggris phylosophyyang berasal dari perpaduan bahasa Yunani philien yang berarti cinta (love) dan sophia (wisdom) yang berarti kebijaksanaan. Jadi secara etimologi filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom.[2] Secara operasional filsafat mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau pemikiran). Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan pendidikan, prinsip-prinsip belajar serta perangkat pengalaman belajar yang bersifat mendidik. Filsafat pendidikan dipengaruhi oleh dua hal yang pokok yakni:

1) 2)

Cita-cita nasional Kebutuhan peserta didik yang hidup di masyarakat Filsafat pendidikan sebagai suatu pandangan hidup bukan menjadi hiasan lidah belaka, melainkan harus meresapi tingkah laku semua anggota masyarakat. Nilai-nilai filsafat pendidikan harus dilaksanakan dalam perilaku sehari-hari. Hal ini menunjukkan pentingnya filsafat pendidikan sebagai landasan dalam rangka pengembangan kurikulum. Filsafat pendidikan sebagai sumber tujuan. Secara sederhana dapat ditafsirkan bahwa filsafat pendidikan adalah hal yang diyakini dan diharapkan oleh seseorang. Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau perbuatan seseorang atau masyarakat. Dalam filsafat pendidikan terkandung cita-cita tentang model manusia yang diharapkan, sesuai dengan nilai-nilai yang disetujui oleh individu dan masyarakat. Karena itu, filsafat pendidikan harus dirumuskan berdasarkan kriteria yang bersifat umum dan objektif.[3] Hopkin dalam bukunya interaction the Democratic process, mengemukakan kriteria, antara lain:

1. 2. 3.

Kejelasan, filsafat atau keyakinan harus jelas dan tidak boleh meragukan. Konsisten dengan kenyataan, berdasarkan penyelididkan yang akurat. Konsisten dengan pengalaman, yang sesuai dengan kehidupan individu.

b. Cabang-cabang Filsafat Ada tiga cabang besar filasafat, yaitu: 1. Metafisika, yang membahas segala yang ada dalam alam ini dan membahas hakikat kenyataan atau realitas yang meliputi (1) metafisika umum, dan (2) metafisika khusus yang meliputi kosmologi (hakikat alam semesta), teologi (hakikat ketuhanan) dan antropologi filsafat (hakikat manusia). 2. Epistemologi, yang membahas kebenaran dan membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan, metode mencari pengetahuan, kesahihan pengetahuan, pengetahuan); dan hakikat penalaran (induktif dan deduktif). 3. Aksiologi, yang membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya etika (hakikat kebaikan), dan estetika (hakikat keindahan). dan batas-batas

c.

Manfaat Filsafat Pendidikan Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan demikian filsafat memiliki manfaat dan memberikan kontribusi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis berkenaan dengan kepentingan pendidikan. Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:

1.

Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan di sekolah? Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak ke arah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.

2. Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai. Manusia yang bagaimanakah yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha pendidikan itu? 3. Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan. 4. Tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai. 5. Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. d. Hubungan Antara Filsafat Dengan Filsafat Pendidikan Donald Butler (1957) mengatakan, filsafat memberikan arah & metodologi terhadap praktek pendidikan; praktek pendidikan memberikan bahan bagi pertimbangan filsafat Brubacher (1950), mengemukakan 4 pandangan tentang hubungan ini : a. Filsafat merupakan dasar utama dalam filsafat pendidikan

b. Filsafat merupakan bunga, bukan akar pendidikan c. Filsafat pendidikan berdiri sendiri sebagai disiplin yang mungkin memberi keuntungan dari kontak dengan filsafat, tetapi kontak tersebut tidak penting d. Filsafat dan teori pendidikan menjadi satu John Dewey menyatakan, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, seperti pendidikan sama dengan kehidupan

C. Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum

a.

Pengertian Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku-prilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Kondisi psikologis setiap individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya.

b. Bidang-Bidang Psikologi yang Mendasari Kurikulum Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak tetap berkembang, tetapi dengan pendidikna di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu menjadi kejian Psikologi Perkembangan. Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar. 1. Psikologi Perkembangan Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.[4] Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut kematangan perilaku" (J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu Ross Vasta, dkk. (1992) mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah "Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati".

a.

Metode dalam psikologi perkembangan Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, sejak lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu anak dari berbagai tingkat usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkemmbangan dan kemampuan, serta perilaku mereka. Studi Psikoanalitik dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini ba nyak diarahkan

mempelajari perkembangan anak pada masa-masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut mereka pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita itu dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Huvighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Metode lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Peaget tentang perkembangan kognitif anak.[5] b. Teori perkembangan Ada tiga teori pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferrensial (diferential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahap-tahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh mencakup segala segi perkembangan. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pendekatan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan-pentahapan dari piaget, kholberg, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari dari kemampuan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting

adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problemayang dihadapi dalam lingkungannya. Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut piaget, yaitu: 1. Tahap sensorimotor, usia 0-2 tahun 2. Tahap praoperasional, usia 2-4 tahun 3. Tahap Konkret Oprasional, usia 7-11 tahun 4. Tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun 2. Psikologi Belajar Psikologi Belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikatagorikan sebagai perilaku belajar. Menurut Morris L. Bigge dan Mourice P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field.[6] 1. Menurut rumpun teori mental secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. 2. Menurut rumpun teori belajar behaviorisme, anak atau individu tidak memiliki atau membawa potensin apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat atau berupa lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya). Perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang dapat dilihat, diamati. 3. Rumpun ketiga yakni kognitif gestalt field, menyatakan belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan vcara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif. D. Landasan Sosiologis (Sosial Budaya) dalam Pengembangan Kurikulum a. Pengertian Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal dari masyarakat,

mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Jika dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah enkulturasi atau pembudayaan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik kekayaan, dan perkembangan masyarakat yang tersebut.[7] Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga masyarakat

diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya. Pendidikan adalah proses sosialisasi melalui interaksi insani menuju manusia yang berbudaya. Dalam konteks inilah anak didik dihadapkan dengan budaya manusia, dibina dan dikembangkan sesuai dengan nilai budayanya, serta dipupuk kemampuan dirinya menjadi manusia. b. Masyarakat dan Kurikulum Masyarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya adalah kebudayaan. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran seseorang, dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada kebudayaan dimana ia hidup. Menurut Daud Yusuf (1982), terdapat tiga sumber nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan, yaitu: logika, estetika, dan etika. Logika adalah aspek pengetahuan dan penalaran, estetika berkaitan dengan aspek emosi atau

perasaan, dan etika berkaitan dengan aspek nilai. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya adalah hasil kebudayaan manusia, maka kehidupan manusia semakin luas, semakin meningkat sehingga tuntutan hidup pun semakin tinggi. Pendidikan harus mengantisipasi tuntutan hidup ini sehingga dapat mempersiapkan anak didik untuk hidup wajar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Dalam konteks inilah kurikulum sebagai program pendidikan harus dapat menjawab tantangan dan tuntutan masyarakat. Untuk dapat menjawab tuntutan tersebut bukan hanya pemenuhan dari segi isi kurikulumnya saja, melainkan juga dari segi pendekatan dan strategi pelaksanaannya. Oleh karena itu guru sebagai pembina dan pelaksana kurikulum dituntut lebih peka mengantisipasi perkembangan masyarakat, agar apa yang diberikan kepada siswa relevan dan berguna bagi kehidupan siswa di masyarakat. Penerapan teori, prinsip, hukum, dan konsep-konsep yang terdapat dalam semua ilmu pengetahuan yang ada dalam kurikulum, harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, sehingga hasil belajar yang dicapai oleh siswa lebih bermakna dalam hidupnya. Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan masyarakat. Tyler (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner (1984) menyatakan bahwa tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum. Calhoun, Light, dan Keller (1997) memaparkan tujuh fungsi sosial pendidikan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Mengajar keterampilan. Mentransmisikan budaya. Mendorong adaptasi lingkungan. Membentuk kedisiplinan. Mendorong bekerja berkelompok. Meningkatkan perilaku etik, dan Memilih bakat dan memberi penghargaan prestasi. Perubahan sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam suatu masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengubah kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat itu sendiri.

Masyarakat kota berbeda dengan masyarakat desa, masyarakat tradisional berbeda dengan masyarakat modern. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas individu-individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat pada umumnya juga berpengaruh terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang bersifat teknologis dan mengglobal. Akan tetapi pengembangan kurikulum juga harus ditekankan pada pengembangan individu dan keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah penting memperhatikan faktor karakterstik

masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Salah satu ciri masyarakat adalah selalu berkembang. Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh falsafah hidup, nilai-nilai, IPTEK, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat menuntut

tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat diperlukan kurikulum yang landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat. c. Kebudayaan dan Kurikulum Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita,

pengetahuan, kepercayaan, cara berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh masyarakat. Daoed Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, pekembangan hubungan dengan

manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Secara lebih rinci, kebudayaan diwujudkan dalam tiga gejala, yaitu: a) Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak yang berada dalam alam pikiran manusia dan warga masyarakat di tempat kebudayaan itu berada. b) Kegiatan, yaitu tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat. Tindakan ini disebut sistem sosial. Dalam sistem sosial, aktivitas manusia bersifat konkrit, bisa dilihat, dan diobservasi. Tindakan berpola manusia tentu didasarkan oleh wujud kebudayaan yang

pertama. Artinya, sistem sosial dalam bentuk aktivitas manusia merupakan refleksi dari ide, konsep, gagasan, nilai, dan norma yang telah dimilikinya. c) Benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan yang ketiga ini ialah seluruh fisik perbuatan atau hasil karya manusia di masyarakat. Oleh karena itu wujud kebudayaan yang ketiga ini adalah produk dari wujud kebudayaan yang pertama dan kedua. Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan: 1) Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/lembaga pendidikan mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik dengan salah satu alat yang disebut kurikulum. 2) Kurikulum pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat beragam, seperti masyarakat industri, pertanian, nelayan, dan sebagainya. Pendidikan di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai mahluk berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.

BAB III KESIMPULAN


Pada prinsipnya ada empat landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan kurikulum, dan sesuai dengan inti pembahasan kami maka dapat disimpulkan tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni sebagai berikut : 1. Landasan Filosofis, yaitu asumsi-asumsi tentang hakikat realitas, hakikat manusia, hakikat pengetahuan, dan hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Asumsi-asumsi filosofis tersebut berimplikasi pada permusan tujua pendidikan, pengembangan isi atau

materi pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik dan peranan pendidik. 2. Landasan psikologis adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari psikologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Ada dua jenis psikologi yang harus menjadi acuan yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan mempelajari proses dan karaktersitik perkembangan peserta didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan psikologi belajar mempelajari tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar. Ada tiga jenis teori belajar yang mempunyai pengaru besar dalam pengembangan kurikulum, yaitu teori belajar kognitif, behavioristik, dan humanistic. 3. Landasan sosial budaya adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari sosiologi dan antrofologi yang dijadikan titik tolak dalam mengembangkan kurikulum. Karakterstik sosial budaya di mana peserta didik hidup berimplikasi pada program pendidikan yang akan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Mudyahardo, Redja.(2008). Landasan-Landasan Pendidikan UPI Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu

Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty. (1993). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Bumi Aksara. Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya

[1] Soetopo, Hendyat, Soemanto, Wasty, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 1993).
Hlm. 46

Redja Mudyahardo, Landasan-Landasan Filosofis Pendidikan, (Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI, 2008) hal.83 [3] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara:2008)hal, 19-20
[2]

Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 46 [5] Ibid, hlm. 46-47. [6] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 52-55 [7] Nana Syaodih Sukmadinata, Perkembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) hlm. 58
[4]

/////////////////

Disajikan Sebagai Makalah Pendamping Pada International Seminar and Lokakarya on Education: Management of Strategic to Improve Students Competences Minggu, 28 Juni 2009 Aula Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri Depok, Jawa Barat Education is the most powerfull weapon to change the world Pemimpin besar dari Afrika Selatan, Nelson Mandela A. LATAR BELAKANG Dalam proses pengembangan sebuah kurikulum banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya landasan dalam pengembangannya. Landasan pengembangan kurikulum diantaranya, landasan fisiologis, landasan psikologis, landasan sosial dan budaya, maupun landasan filosofis pengembangan kurikulum. Dari sekian landasan tadi, saya mencoba mengembangkan dan memaparkan landasan psikologis dalam pengembangan suatu kurikulum. Kurikulum sebagai suatu program dan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, mempunyai hubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Dalam hal ini kurikulum merupakan suatu program pendidikan yang berfungsi sebagai alat untuk mengubah perilaku peserta didik (peserta didik) ke arah yang diharapkan oleh pendidikan. Oleh sebab itu, proses pengembangan kurikulum perlu memperhatikan asumsiasumsi yang bersumber dalam bidang kajian psikologi. Landasan psikologis pengembangan kurikulum menuntut kurikulum untuk memperhatikan dan mempertimbangkan aspek peserta didik dalam pelaksanaan kurikulum sehingga nantinya pada saat pelaksanaan kurikulum apa yang menjadi tujuan kurikulum akan tercapai secara optimal. Sehingga unsur psikologis dalam pengembangan kurikulum mutlak perlu diperhatikan. B. PEMBATASAN MASALAH

Dalam pemaparan makalah ini, beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penyusunan makalah ini, antara lain; 1. 2. 3. 4. Bagaimana unsur psikologis mempengaruhi proses pengembangan kurikulum? Mengapa aspek psikologis perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum?, dan Cabang psikologis apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kurikulum? Apa saja implikasi landasan psikologis pada proses pengembangan maupun pelaksanaan kurikulum?

C. LANDASAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan[1], pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa[2]. Peserta didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, social emosional, moral, dan sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugastugas perkembangannya. Dengan menerapkan landasan psikologi dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsurunsur upaya pendidikan lainnya. Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum[3]. Karakteristik perilaku tiap individu pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses

pembelajaran mutlak diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum. 1. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum Anak sejak dilahirkan sudah memperlihatkan keunikankeunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakangerakan tubuhnya. Hal ini menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang. Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan perkembangan individu pada tiaptiap fase perkembangan. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum, antara lain; 1. Tiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya, 2. Di samping disediakan pembelajaran yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta didik di sekolah, disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak, 3. Kurikulum selain menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik, 4. Kurikulum memuat tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan ketrampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin. Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut; 1. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik, 2. Bahan/materi pembelajaran yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak, 3. Strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak, 4. Media yang digunakan selalu menarik perhatian dan minat anak didik, dan 5. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus menerus. 2. Psikologi Belajar dan Kurikulum

Merupakan suatu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui/diturut[4]. Segala perubahan perilaku yang trejadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Perubahan yang terjadi secara insting/terjadi karena secara kebetulan bukan termasuk belajar. Psikologi belajar yang berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas, antara lain[5] ; a. Teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory) Menurut teori ini anak sejak dilahirkan memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masingmasing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya. Potensi potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan. b. Behaviorisme Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat 3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning, dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat. Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat dilihat dan diamati. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hukum S R (stimulus respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada dasarnya belajar merupakan hubungan respon stimulus. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu, law of readiness, law of exercise, dan law of effect. Menurut hukum kesiapan (readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan (exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan. c. Organismic/Cognitive Gestalt Field Menurut teori ini keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan

timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah, dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada masingmasing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari. Prinsip-prinsip maupun penerapan dari organismic/cognitive gestalt field, antara lain ; Belajar berdasarkan keseluruhan

Prinsip ini mempunyai pandangan sebagaimana proses pembelajaran terpadu. Pelajaran yang yang diberikan kepada peserta didik bersumber pada suatu masalah atau pkok yang luas yang harus dipecahkan oleh peserta didik, peserta didik mengolah bahan pembelajaran dengan reaksi seluruh pelajaran oleh keseluruhan jiwanya. Belajar adalah pembentukan kepribadian

Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak diimbing untuk mendapat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya. Seluruh kepribadiannya diharapkan utuh melalui program pembelajaran yang terpadu. Belajar berkat pemahaman

Belajar merupakan proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan, dapat menyelaraskan sikap dan ketrampilannya. Ketrampilan menghubungkan bagian-bagian pengetahuan untuk diperoleh sesuatu kesimpulan merupakan wujud pemahaman. Belajar berdasarkan pengalaman

Proses belajar adalah bekerja, mereaksi, memahami, dan mengalami. Dalam proses pembelajaran peserta didik harus aktif dengan pengolahan bahan pembelajaran melalui diskusi, Tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, dan sejenisnya Belajar adalah proses berkelanjutan

Belajar adalah proses sepanjang masa. Manusia tidak pernah berhenti untuk belajar, hal ini dilakukan karena faktor kebutuhan. Dalam pelaksanaannnya dianjurkan dalam pengembangannya kurikulum tidak hanya terpaku pada proses pembelajaran yang ada tetapi mengembangkan proses pembelajaran yang bersifat ekstra untuk memenuhi kebutuhan peserta

didik. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan anak didik tetapi menyangkut minat, perhatian, dan kebutuhannya. Dalam kaitan ini motivasi sangat menentukan dan diperlukan. D. KESIMPULAN Pengembangan kurikulum yang ada di Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan. Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain; psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan memandang aspek kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik. Psikologi belajar merupakan bagian dari psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar. Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain; teori disiplin daya/disiplin mental (faculty theory), behaviorisme, dan organismic/cognitive gestalt field. DAFTAR PUSTAKA Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2005 http://ahmadsudrajat.wordpress.com/2009/08/pengembangan-kurikulum http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum.html http://zularman.wordpress.com/2007/08/04/psikologi-belajar Papalia, Diane E., et. al. Human Development. Mc. Graw Hill Companies. 2008 Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktiscet. kedelapanbelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007 Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa IndonesiaEdisi ketiga, cetakan ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2005 Sukarman, Dadang. Pengembangan Kurikulum electronic book Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007

Syaodih, Nana. Pengembangan Kurikum: Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. 1997 [1] Drs. Dadang Sukarman, M.Pd. Pengembangan Kurikulum electronic book Kurikulum dan Tekhnologi Pendidikan UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007, h. 20 [2] KBBI. 2005, h.901 [3] http://apadefinisinya.blogspot.com/2008/09/landasan-pengembangan-kurikulum.html [4] Op. cit. h, 17 [5] http://zularman.wordpress.com/2007/08/04/psikologibelajar

You might also like