You are on page 1of 2

POKOK-POKOK MATERI DISKUSI III

Kebijakan Penyediaan Lahan bagi Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)


Untuk meletakkan sektor perumahan dalam kerangka negara kesejahteraan, kebijakan

perumahan perlu dipandang sebagai kebijakan sosial. Untuk iru, rumah perlu dipandang sebagai kebutuhan dasar, di mana pemerintah memegang peranan aktif untuk menjamin agar kebutuhan rumah dari seluruh rumah tangga dapat dijamin, terutama bagi MBR.
Selama ini, kebijakan perumahan seringkali diletakkan sebagai elemen dari pembangunan

sektor kesehatan. Ke depan, sektor perumahan perlu dilepaskan dari sektor kesehatan sehingga menjadi mandiri. Ini dilakukan untuk menjamin agar para pembuat kebijakan mengalokasikan konsentrasi dan komitmen yang luas khusus untuk sektor perumahan. Perumahan jangan lagi dipandang secara parsial, fragmenter, dan subordinatif.
Untuk meningkatkan kesadaran pemerintah tentang pentingnya jaminan akan rumah, dan

dengannya juga jaminan akan ketersediaan lahan, maka rumah dipandang sebagai komponen vital yang menunjang ketahanan nasional. Artinya, pengadaan rumah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar untuk menjamin terciptanya ketahanan nasional. Apabila hal ini diabaikan, maka akan terjadi ketidakstabilan nasional yang dapat memicu terjadinya disintegrasi dan keresahan sosial.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari pandangan yang menempatkan sektor perumahan sebagai

bagian dari kebijakan sosial, maka lahan perlu dipandang dalam fungsi sosialnya, bukan sebagai komoditas. Dengan menekankan fungsi sosial dari lahan, maka lahan tidak akan menjadi objek dari upaya spekulasi. Fungsi sosial dari lahan ini telah ditegaskan dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Karakter utama dari profil lahan di Indonesia adalah adanya ketimpangan struktur yang lebar.

Data menunjukkan bahwa sebanyak 16 persen penduduk menguasai 69 persen tanah, sedangkan 40 persennya menguasai kurang dari 10 persen. Sementara itu, berdasarkan data BPN (2010), sekitar 0,2 persen penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset nasional, yang 87 persen di antaranya berupa tanah. Dengan adanya ketimpangan struktur ini, maka kebutuhan pengadaan lahan bagi perumahan menjadi sulit diamankan.
Untuk mengubah struktur lahan yang timpang tersebut, maka perlu dilakukan program land

reform. Land reform merupakan istilah yang dipakai untuk menunjuk pada program sekitar redistribusi tanah. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penguasaan lahan yang berlebihan oleh satu pihak, yang pada akhirnya memicu munculnya banyak tanah terlantar.

BPN (2010) menyebutkan bahwa terdapat 7,2 juta hektar tanah swasta yang sengaja ditelantarkan.
Mekanisme lain yang dapat digunakan untuk mengamankan tersedianya lahan untuk

pembangunan rumah adalah bank tanah (land banking). Dengan mekanisme ini, pemerintah dapat merencanakan lahan yang sudah dibeli agar dapat dilakukan pembangunan perumahan di atasnya. Perlu dibuat kebijakan yang mengatur tentang land banking ini.
Community land trusts juga merupakan mekanisme lain yang dapat digunakan untuk

menjamin ketersediaan lahan bagi perumahan untuk MBR. Dalam skema ini, komunitas memegang peranan yang besar. Bersama dengan land banking, kebijakan tentang community land trusts juga perlu dipikirkan sebagai peluang untuk memperoleh keamanan ketersediaan lahan.
Untuk memastikan kecukupan ketersediaan lahan bagi pembangunan perumahan, maka perlu

dibuat perangkat legal yang memberikan daya paksa yang berkaitan dengan kewajiban untuk menyediakan lahan bagi perumahan. Sebagai alternatif dari membuat UU baru, perangkat UU yang sudah ada dapat direvisi agar kewajiban untuk menyediakan lahan bagi perumahan dimuat secara eksplisit. Dalam hal ini, ada 3 (tiga) UU yang perlu diperhatikan. Pertama, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Kedua, UU No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ketiga, UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ketiga UU tersebut merupakan peraturan hukum yang memiliki implikasi luas bagi upaya pengadaan lahan untuk perumahan, khususnya bagi MBR. Sayangnya, masing-masing dari UU tersebut tidak berbicara secara spesifik tentang pengadaan perumahan. UU SJSN hanya meletakkan kesehatan dan ketenagakerjaan sebagai sektor yang tercakup dalam jaminan sosial, namun tidak menyinggung sektor perumahan sama sekali. Demikian juga dalam UU Penataan Ruang dan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kedua UU tersebut tidak memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan lahan perumahan bagi MBR.
Salah satu praktik yang menghambat sulitnya lahan diperoleh adalah adanya praktik spekulasi

tanah dan mafia tanah. Untuk mencegah terjadinya hal ini, perlu dibuat peraturan yang melarang secara tegas praktik spekulasi tanah dan mafia tanah, dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya.

Pusperkim UGM Yogyakarta

You might also like