You are on page 1of 13

BAB I PENDAHULUAN

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah. Manusia juga adalah makhluk yang paling sempurna. Manusia diciptakan dengan takdir yang berbeda-beda satu sama lain. Qadha dan qadar setiap manusia sudah ditentukan jauh sebelum manusia itu diciptakan. Saat manusia terlahir sudah tertulis untuknya siapa jodohnya, berapa lama usianya, dan berapa rizkinya. Tentunya Allah punya maksud menciptakan manusia dengan takdir yang berbedabeda. Ada yang kaya ada yang miskin. Ada yang sehat ada yang sakit. Ada yang kuat ada yang lemah. Setiap manusia harus bisa menerima setiap takdir yang telah Allah tentukan untuknya dengan ikhlas dan rida. Tapi kenyataan yang banyak kita temui adalah banyak sekali orang-orang yang tidak bisa menerima takdirnya. Mereka bersedih, merasa susah, dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya marah pada Allah dan merasa Allah tidak adil pada mereka. Tetapi ternyata masih ada orang-orang yang bisa menerima dengan ikhlas dan rida takdirnya, walaupun takdir yang mereka terima itu tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Lalu apa yang menyebabkan orang itu bisa ikhlas dan rida? Serta apa yang sebenarnya dimaksud dengan ikhlas dan rida itu? Kali ini penulis ingin memaparkan pengertian ikhlas dan rida serta bagaimana agar seseorang bisa memiliki rasa ikhlas dan rida pada takdir. Semoga yang membaca makalah ini dapat mengambil manfaat, khususnya penulis sendiri.

BAB II IKHLAS DAN RIDA


1. Ikhlas a. Pengertian Ikhlas Dalam bahasa agama, ikhlas artinya melakukan sesuatu semata untuk memperoleh ridha Allah SWT dan terbebas dari keinginan untuk memperoleh pengakuan atau pujian dari manusia. Orang yang berjiwa ikhlas disebut mukhlis. Pribadi semacam ini akan selalu merasa tenang, mantap, tidak heboh, baik ketika dicaci maupun dipuji. Dalam bahasa filsafat, terutama dalam tradisi Kantian, sesuatu tindakan dianggap baik dan memiliki nilai moral dalam dirinya. Ikhlas itu sebuah rahasia yang amat dalam dan yang mengetahuinya hanya hati nurani dan Allah SWT. Bahkan, menurut riwayat, setan dan malaikat pun tidak bisa mengetahuinya. Pernyataan bahwa saya ikhlas belum tentu mencerminkan kadar keikhlasannya. Dalam ibadah, untuk menguji keikhlasan mungkin saja bisa dilakukan, terutama ketika melakukan puasa. Menurut Al-Palimbani, dalam hal ini ia juga mengutip Al-Ghazali, apabila seseorang membersihkan amalnya dari ujub, ria, cinta dunia, basad, takabur dan sebagainya daripada segala maksiat yang di dalam hati, mengeerjakan amalnya semata-mata karena Allah, ia adalah seorang yang mukhlis dan perbuatan seperti itu disebut ikhlas. Menurut Al-Palimbani, ikhlas adalah auatu maqam yang harus dialalui oleh seorang salik dalam perjalanannya kepada Allah. Tetapi dalam uraiannya mengenai maqam ini ia tidak menerangkan tiga unsur -ilmu, hal, dan amal- yang bergabung menjadi satu, membentuk apa yang disebut maqam itu; dan dalam hal ini ia juga tidak menyebut tiga tingkatan (awam, khaswash dan khawashulkhawash), seperti halnya dengan maqamat yang sebelumnya. Dua persoalan itu tidak dibicarakan oleh Al-Ghazali dalam penjelasannya mengenai ikhlas ini, agakanya karena itu maka Al-Palimbani tidaj pula menyebutnya. Dalam penjelasannya mengenai fadilat ikhlas ini, sebagaimana halnya Al-Ghazali, AlPalimbani mensitir sebuah hadits Nabi SAW. Yang menerangkan bahwa apanila seseoranghamba Allah beramal dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, pasti mengalir air hikmah dari dalam hatinya melalui lisannya. Yang dimaksud dengan mata air hikmah di sini, agaknya , ialah makrifah dan tauhid yng selanjutnya melahirkan maqam tawakal, karena apabila seseorang hamba sampai ke maqam makrifah itu, demikian

dikatakan olej Al-Hallaj, Allah mewahyukan kepadanya melalui lintasan-lintasan hatinyadan tanda orang arif itu kosong hatinya dari duni dan akhirat.

b. Hakikat Ikhlas Setiap sesuatu bisa ternoda oleh yang lain. Jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalis (yang bersih). Pekerjaan membersihkan disebut ikhlas. Allah berfirman : ...(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya. (An-Nahl: 66) Susu bisa bersih apabila tidak dicampuri oleh darah dan tahik atau setiap hal yang dapat mencampurinya. Lawan ikhlas adalah syirik. ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya adalah hati dan itu berkenaan dengan tujuan dan niat. Sedangkan hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang membangkitkan. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan. Siapa yang bershadaqah dengan tujuan riya (pamrih kepada manusia) maka dia (secara bahasa) disebut sebagai orang yang mukhlish. Sedangkan ikhlas itu berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlish. Jika motivasi pembangkitnya adalah taqarrub kepada Allah, tetapi tercampur dengan salah satu lintasan pikiran yang mengacu kepada riya atau kepentingan-kepentingan nafsu lainnya sehingga pelaksanaannya terasa lebih ringan disebabkan oleh hal-hal tersebut, maka sesungguhnya amal perbuatannya telah keluar dari batas ikhlas dan tidak lagi ikhlas karena mencari ridha Allah bahkan telah tercemari oleh kemusyrikan. Misalnya orang yang berpuasa untuk memanfaatkan perlindungan yang dicapai melalui puasa tersebut di samping niat taqarrub. Atau orang yang membesuk orang sakit agar dibesuk bila dia sakit. Setiap kepentingan duniawi yang disenangi nafsu dan dicenderungi hati sedikit atau banyak, apabila menambah ke dalam amal maka dapat mengeruhkan kejernihannya. Manusia senantiasa terikat dalam kepentingan-kepentingan dirinya dan tenggelam dalam berbagai syahwatnya sehingga jarang sekali amal perbuatan atau ibadahnya dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sejenis ini. Oleh sebab itu dikatakan, Siapa yang satu saat dari umurnya dapat selamat secara jernih karena mengharap ridha Allah maka sesungguhnya dia telah selamat. Ini karena kemuliaan ikhlas dan sulitnya membersihkan hati dari berbagai kotoran tersebut. Jadi, pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan pengalamannya merupakan lautan yang dalam. Semua orang tenggelam di dalamnya kecuali sedikit yaitu orang-orang yang
3

dikecualikan di dalam firman-Nya: Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka (Al-Hijr: 40). Maka hendaknya seorang hamba sangat memperhatikan dan mengawasi hal-hal yang sangat mendetil ini. Jika tdak maka akan tergolong kepada para pengikut syetan tanpa menyadari.

2. Rida a. Rida: Menyenangi Ujian dan Nikmat Secara harfiah, rida artinya rela, senang, suka. Harun Nasution mengatakan bahwa rida berarti tidak berusaha untuk menentang qadha dan qadar Tuhan, melainkan menerima dengan hati yang senang. Dalam surat Al-Hadid ayat 23 dijelaskan tentang makna rida, yaitu tidak bersedih hati atau berduka terhadap sesuatu yang luput atau telah hilang, serta tidak terlalu bergembira dengan apa yang sudah dimiliki karena semuanya merupakan titipan Allah. Hal ini menunjukkan sifat rida, yakni menerima ketentuan Allah dengan segala senang hati. Rida juga berarti mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima ujian sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum datangnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qadha dan qadar, bahkan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya cobaan yang berat. Pengertian rida ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Suka dan duka, diterima dengan gembira sebab apa pun yang datang itu adalah ketentuan Allah Yang Maha Kuasa. Sikap mental seperti ini tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuangan, mengikis habis segala perasaan gundah dan benci sehingga yang tertinggal di dalam hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apa pun yang datang dan pergi, tetap akan merasa bahagia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Qudsi, Tuhan menegaskan: Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmatKu, serta tidak rida terhadap keputusan (takdir) Ku maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan carilah Tuhan selain Aku. Al-Junaid, salah seorang sufi besar yang hidup di Baghdad, menyebutkan bahwa rida adalah meninggalkan usaha. Ini merupakan tingkatan rida tertinggi, yang mungkin sulit terjangkau oleh kita saat ini. Sikap anak bayi terhadap orangtuanya, atau sikap seseorang
4

yang sedang sakit di hadapan dokter yang merawatnya, yakni memasrahkan diri dan meninggalkan usaha, barangkali adalah contoh rida yang dimaksudkan oleh Al-Junaid. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, rida itu adalah senang dan bahagianya hati dengan ketentuanketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan. Hal ini berarti bahwa seseorang dengan keridaan yang ada dalam hatinya, tidak akan menentang qadha dan qadar Tuhan. Bahkan semua ketentuan serta ketetapan dari Tuhan dapat diterimanya dengan segala senang hati. Sikap mental rida ini, merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari al-hubb atau mahabbah dan sabar. Rida mengandung pengertian menerima dengan lapang dada dengan hati yang terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah, baik dalam menerima serta melaksanakan ketentuan-ketentuan agama maupun yang berkenaan dengan masalah nasib (taqdir) bagi dirinya. Apabila seseorang telah mencapai kedudukan (maqam) rida ini maka berarti dia telah mencapai suatu tahapan yang mengantarkannya oada keadaan atau sifat yang mendekati kesempurnaan diri (insan kamil). Menurut Qomar Kailani, sebagian besar sufi berpendapat bahwa rida adalah maqam terakhir dari perjalanan seseorang yang ingin mendekati Tuhan (taqarub ila Allah). Rida juga berarti suka atau senang, yakni senang menjadikan Allah sebagai Tuhan, serta senang kepada ajaran dan takdir-Nya. Orang yang telah mencintai Allah, hatinya akan menyenangi semua hal yang datang dari-Nya, tidak membantah atau mengeluh apa pun kepada-Nya. Dalam hal ini, bantahan dan keluhan merupakan sikap yang berlawanan dengan rida. Alhasil, sikap rida ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus mendatangkan kedamaian di dalam hati dan jiwa. Menurut Syekh Abdul Kadir Jailani, seorang sufi yang hidup pada tahun 470-561 H, rida adalah kebahagiaan hati dalam menerima ketetapan (takdir). Orang yang rida adalah mereka yang menerima ketetapan Allah dengan berserah diri (taslim), pasrah tanpa menunjukkan pertentangan sedikit pun terhadap apa yang dilakukan Allah baginya. Seorang muslim yang hakiki adalah orang yang rida pada sesuatu yang telah ditetapkan Allah untuk dirinya. Hal ini berangkat dari sebuah keyakinan yang mantap bahwa sesungguhnya ketetapan Allah itu jauh lebih baik daripada apa yang ditetapkan seseorang untuk dirinya sendiri. Lebih dari itu, kesadaran akan kelemahan serta kekurangan diri dan kesadaran akan pengetahuan yang terbatasm semakin memantapkan keridaan kepada-Nya. Dengan kata lain, ketakwaan kepada-Nya dan keridaan terhadap ketetapan-Nya adalah jalan terbaik bagi seseorang mukmin hakiki. Dalam sebuah riwayat nabi SAW berpesan, terimalah dengan penuh keridaan apa saja yang Allah berikan kepadamu, niscaya kamu menjadi manusia yang paling kaya.
5

Bentuk keridaan pada ketentuan qadha dan qadar-Nya ini, seperti yang telah disebutkan oleh Al-Quran dan Hadis, adalah meyakini bahwa Allah adalah Zat yang senantiasa dan akan terus menerus memberikan yang terbaik kepada kita. Selanjutnya adalah adanya keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa kehidupan bersama-Nya adalah sesuatu yang sangat indah dan menyenangkan karena Dia adalah sumber keindahan dan kebahagiaan. Jikalau mereka sungguh-sunggu rida dengan apa yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, Cukuplah Allah bagi kami maka Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah. (QS. AtTaubah [9]: 59). Rida dapat menentramkan jiwa manusia dan memasukkan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalam jiwa. Seorang hamba yang rida dan menerima apa yang dipilihkan Allah untukknya, pasti mengetahui bahwa pilihan Allah adala sesuatu yang terbaik bagianya dalam segala situasi dan kondisi. Keridaan ini akan meringankan seluruh beban hidupnya, sehingga seseorang akan merasa jauh lebih tenang dan tenteram. Dengan demikian, rasa gundah, capek, dan galau akan hilang dari dirinya. Kegundahan, kegalauan, dan keletihan yang dirasakan oleh seseorang, sesungguhnya sangat tergantung pada sejauh mana tingkat penentangannya terhadap takdir dan kecenderungannya dalam mengikuti hawa nafsu. Siapa yang rida pada takdir, pasti akan merasakan ketenangan dan ketenteraman. Sebaliknya, siapa yang tidak rida maka akan merasakan penderitaan dan kepayahan yang terus-menerus dan berkepanjangan. Sehingga di dunia ini dia tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya. Begitu juga jika seseorang mengikuti hawa nafsu dan egonya maka selama itu pula tidak pernah rida pada takdir. Sebaliknya, jika ingin mendapatkan ketenangan dan ketenteraman jiwa maka ia harus menentang ego dan hawa nafsunya sendiri. Selain itu sebagaimana halnya Al-Ghazali, Al-Palimbani juga menganggap rida itu maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah. Menurut dia, arti rida itu tidak menyangkali akan perbuatan yang diperlakukan Allah atasnya dan (atas) orang lain daripadanya karena sekalian perbuatan yang wuqu (terjadi) di dalam dunia ini. PerbuatanNya dan wajib ia rida akan perbuatan-Nya. Maqam rida ini lebih tinggi dari maqam sabar tadi, karena pengertian sabar itu masih terkandung di dalamnya pengakuan adanya sesuatu yang menimbulkan penderitaan, sedangkan orang yang sudah berada di maqam rida ini tidak membedakan lagi antara apa yang disebut musibah dan yang disebut nikmat semuanya diterima dengan gembira, karena semuanya adalah perbuatan Tuhan. Menurut Al-Ghazali, sikap batin seperti itu mungkin saja dimiliki orang yang segenap fikiran dan perasaannya
6

telah dikuasai kecintaan kepada Allah, karena dalam kehidupan manusia di dunia ini sangat banyak contoh yang menunjukkan bahwa orang yang mencintai sesuatu selalu rela memikul segala pengorbanan untuknya. Dari uraian di atas, agaknya, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksudkan dengan rida di sini ialah rida terhadap semua yang diridai Allah, sebagai buah dari cinta yang hakiki kepada-Nya. Dalam kata lain, pada maqam tertinggi ini, segala kehendak dan keinginan yang mencerminkan tuntutan hawa nafsu manusia telah terhapus dalam kehendak Tuhan yang sudah merupakan sentral wujud-Nya. Menurut Al-Palimbani, rida yang lahir dari cinta kepada Allah itu adalah pintu yang amat besar, yang (merupakan) jalan masuk kepada makrifah Allah dan adalah maqam yang lebih tinggi, maqam orang yaqng muqarrabin, yakni orang yang hampir kepada Allah. Menurut urutan yang terdapat dalam kitab Hidayatus-salihin setelah maqam rida ini masih ada lagi satu bab mengenai mengingat mati. Tetapi yang tersebut terakhir ini, nampaknya, hanya dipandang sebagai salah satu sifat terpuji bukan sesuatu maqam.

b. Ridha Merupakan Tentara Akal dan konsekuensi Fitrah Makhmurah Manusia secara fitrah cinta Al Haqq SWT, yang merupakan kesempurnaan mutlak, walau dirinya tidak tahu dikarenakan penghijaban cahaya fitrah. Manusia yang tak berhijab mengenal kesempurnaan mutlak dan mempunyai makrifat hudhuri (ilmu kehadiran) kepada maqam suci yang sempurna secara mutlak.

c. Rida Akan Ketetapan Allah Hendaknya sebagai kaum mukmin kita harus selalu rida akan ketetapan Allah SWT. Yang demikian itu termasuk di antara buah mahabbah dan marifah yang paling mulia. Maka dari iru, kewajiban kaum mukmin ialah menyadari dan meyakini bahwa Allah SWT, Dia-lah yang memberi petunjuk dan kesesatan, yang menyengsarakan dan membahagiakan, yang merendahkan dan meninggikan serta yang mendatangkan mudarat dan manfaat. Setelah itu kewajiban kaum mukmin ialah tidak menentang ataupun memprotes Allah SWT dalam segala perbuatan-Nya, baik secara lahir maupun batin. Wajib atas kaum mukmin untuk mengimani bahwa semua perbuatan Allah SWT, tidak boleh tidak, berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, seadil-adilnya, seutama-utamanya, dan sesempurna-sempurnanya. Begitulah, dalam garis besarnya, ketentuan rida si makhluk akan semua tindakan Tuhannya. Sedangkan bila diuraikan secara terinci, dapat dijelaskan bahwa segala hal, yang khusus berkenaan dengan diri, terbagi menjadi dua bagian:
7

Pertama, keadaan yang senantiasa menyertai, seperti kesehatan dan kekayaan, bagian ini tidak dapat dibayangkan adanya ketidaksenanganmu padanya kecuali jika dilihat dari sudut pandangmu kepada orang-orang yang melebihimu dalam kedua keadaan tersebut. Maka mengenai ini, wajiblah seorang mukmin rida sepenuhnya dengan bagian yang diberikan Allah kepadamu, mengingat bahwa Ia berhak melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, dan mengingat bahwa Ia telah memilihkan bagimu segala sesuatu yang paling baik untukmu atau, tepatnya, yang paling cocok untuk kondisimu. Kedua, keadaan yang tidak senantiasa menyertai, seperti penyakit dan kemiskinan. Sekalikali tidaklah dibenarkan kaum mukmin merasa runyam atau putus asa karenanya. Yang sebaiknya bagimu dalam keadaan seperti ini ialah rida dan menerima sepenuhnya. Atau, jika tidak mampu, hendaknya sabar dan tawakal.

d. Tingkatan-tingkatan Rida Rida dan sifat-sifat kesempurnaan jiwa lainnya memiliki banyak tingkatan dan derajat. Sebagiannya adalah sebagai berikut: Derajat pertama: Ridha pada Allah SWT sebagai Tuhan. Yakni ridha dengan maqam rububiyah-Nya dan akan terwujud bila seorang salik menjadikan dirinya berada dibawah rububiyah (pemeliharaan) Allah SWT, mengeluarkan dirinya dari kerajaan setan, serta ridha dan senang dengan rububiyah-Nya. Derajat kedua: Ridha dengan qadha dan takdir Allah SWT. Yakni senang dengan semua kejadian yang dihadapinya, baik yang manis maupun yang pahit dan gembira dengan semua yang diberikan Allah SWT baik berupa cobaan, sakit dan kehilangan yang dicintai, maupun sebaliknya (kebahagiaan). Maqam ini, yakni maqam mahabbah dan jadzbah (pemikatan), haruslah terhitung sebagai awal permulaan derajat ketiga bagi ridha. Ialah yang diistilahkan dengan ridha dengan ridha Allah SWT, yakni hamba tidak ridha dengan dirinya, melainkan keridhaannya tergantung pada keridhaan Allah SWT, sebagaimana kehendaknya juga mengikuti kehendak Allah SWT.

e. Manfaat dan Keutamaan Rida Menurut Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) yang bergelar Hujjatul Islam, dalam kitab Minhaj al-Abidin, rida terhadap takdir Allah memiliki dua manfaat. Manfaat pertama didapatkan untuk saat ini di dunia dan sedangkan manfaat kedua didapatkan pada masa depan, yakni akhirat. Adapun manfaat yang diperoleh segera di sini adalah hati yang tenang
8

dan tenteram serta tidak ada kebimbangan sedikit pun. Manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari karena rida pada takdir-Nya, adalah ganjaran kebaikan yang tidak pernah terputus selamanya dan keridaan Allah yakni surga dan segala kenikmatannya. Rida kepada Allah dan segala bentuk takdir-Nya, juga mendatangkan kebahagiaan yang besar pada seseorang karena pada hari Kiamat nanti ia akan digabungkan bersama orang-orang yang benar. keridaan pada takdir-Nya akan membuat seseorang merasakan lezatnya iman yang tertanam di lubuk hatinya. Sebaliknya, jika seseorang tidak rida dengan takdir Allah, tidak menerima keadaan dengan lapang dada, selalu dalam keadaan berkeluh kesah maka ia akan bingung, susah, sedih, kesal, dan bahkan akan dikenai dosa. Menurut Al-Ghazali, jika seseorang rida dengan takdir-Nya maka ia akan mengistirahatkan pikiran dan hatinya dari hal-hal yang tidak sampai pengetahuan manusia padanya, seperti apa yang akan terjadi hari esok pada dirinya atau orang lain. Kebimbangan hati yang dirasakan dalam memikirkan hal-hal seperti itu berarti menyia-nyiakan umur yang produktif. Takdir Allah sudah putus dan putusan Allah sudah terjadi. Oleh karena itu, istirahatkan saja hati dari kata barangkali, andaikata, dan kalau saja. Apa yang sudah ditakdirkan pasti akan ada dan akan terjadi pada waktunya. Siapa pun tidak ada yang mampu menahannya walau sebentar. Terdapat juga keutamaan-keutamaan Rida, seperti yang telah Allah firmankan: Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. (Al-Bayyinah: 8) Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (Ar-Rahman: 60) Puncak ihsan adalah ridha Allah terhadap hamba-Nya yaitu ganjaran ridha hamba terhadap Allah taala. Allah befirman: Dan (mendapatkan) tempat-tempat yang bagus di surga dan keridhaan Allah adalah lebih besar. (At-Taubah: 72) Allah mengangkat ridha di atas surga dan sebagaimana Dia menyebutkannya di atas shalat. Firman-Nya: Sesungguhnya shalat itu mencegah (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar (keutamaannya). (AlAnkabut: 45). Sebagaimana menyaksikan Allah di dalam shalat itu lebih besar (keutamaannya) ketimbang shalat, demikian pula ridha pemilik surga lebih besar ketimbang surga, bahkan ia merupakan puncak pencarian para penghuni surga.

f. Terbukanya pintu Maqam Rida


9

Ahmad Ibn Ujaibah memberikan penjelasan bahwa tidak akan terbuka pintu maqam rida bagi seorang hamba, melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase awal perjalanannya menuju Al-Haq. Pertama, ia tenggelam dalam nama Allah. Kedua, ia bergaul dengan orang-orang yang senantiasa berzikir. Ketiga, ia berkonsisten (istiqamah) dalam mengerjakan amal shaleh, dan bersih dari noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa nabi Muhammad SAW.

g. Landasan-landasan Maqam Ridha Karena maqam ridha merupakan dampak dan perkara makrifat ilahiah seperti segenap maqam khusus lainnya, maka layak untuk mengisyaratkan pada sebagian landasannya. Tingkatan pertama yang dicapai oleh hamba adalah ilmu (pengetahuan) bahwa Allah SWT Maha indah secara zat, sifat dan fiil, sesuai argumentasi ilmiah dan filosofi. Berdasarkan hal yang lazim dan umum, seandainya seseorang mencapai maqam-maqam irfan yang yang tinggi tanpa melalui tingkatan ini adalah merupakan kelangkaan dan bukan sebuah tolak ukur bagi kualitas. Ilmu burhani (argumentasi) ini yang adalah bagian akal, tidak mengasilkan akhlak nafsaniyah (akhlak yang berhubungan dengan jiwa dan hati manusia) yang merupakan konsekuensi makrifat. Tingkatan kedua ialah dimana keindahan Allah SWT, shifat dan afal-Nya yang indah sampai kepada hati. Dalam arti, hati mengimani kemahaindahan Allah SWT. Tingkatan ketiga ialah ketika hamba salik sampai pada derajat ithminan (kedamaian) dan inilah kedamaian yang sempurna. Ketika ketenangan jiwa menghasilkan pada maqam jamiliyah (kemahaindahan) Al Haqq, maka tingkat ridha semakin sempurna. Tingkatan keempat ialah maqam musyahadah (penyaksian). Tingkatan ini adalah bagi para ahli makrifat dan kalbu, dimana mereka memalingkan arah (ruang) hati mereka dari alam dan kegelapan. Untuk maqam ini, secara keseluruhan ada 3 tingkatan: Tingkat pertama, penyaksian penampakan afal (perbuatan-perbuatan Allah SWT). Dan dalam maqam ini, ridha dengan qadha Allah SWT menghasilkan kesempurnaan tingkatan dan derajat. Tingkat kedua, penyaksian penampakan sifat-sifat dan asma (nama-nama Allah SWT). Tingkat ketiga, penyaksian penampakan zat Allah SWT. Dan dua maqam (terakhir) ini lebih tinggi dari ridha dan semacamnya, meskipun roh ridha, yang hakikatnya adalah mahabbah dan jadzbah, ada dalam maqam ini secara sempurna.

10

h. Doa tidak Bertentangan dengan Ridha Doa tidak membuat orang yang berdoa keluar dari maqam ridha. Demikian pula kebencian kepada kemaksiatan, kecaman terbadap para pelaku kemaksiatan, kecaman terhadap sebab-sebab kemaksiatan, dan upaya untuk menghapuskannya dengan amar maruf dan nahi munkar; juga tidak bertentangan dengan ridha. Dalam masalah ini sebagian orang telah melakukan kesalahan dengan mengatakan bahwa kemaksiatan, kedurhakaan dan kekafiran adalah termasuk qadha Allah dan taqdir-Nya, sehingga kita harus ridha kepadanya. Doa adalah salah satu sarana ibadah kepada Allah. Banyaknya doa yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan semua Nabi menunjukkan hal ini, padahal Rasulullah saw berada dalam maqam ridha yang tertinggi. Bahkan Allah memuji sebagian hamba-Nya dengan firman-Nya: Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. (Al-Anbiya: 90) Sedangkan mengingkari kemaksiatan dan tidak ridha kepadanya juga dijadikan oleh Allah sebagai sarana ibadah kepada-Nya bagi para hamba-Nya. Allah mencela mereka karena ridha kepada kemaksiatan. Firman-Nya: Dan mereka ridha dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan itu. (Yunus: 7) Mereka ridha berada bersama orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mereka telah dikunci mati..... (At-Taubah: 87) Sedangkan tentang membenci orang-orang kafir atau orang-orang yang durhaka dan mengingkari mereka, maka terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadits yang menyebutkan hal ini, diantaranya firman Allah: Janganlah orang-orang Mumin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mumin. (Ali-Imran: 28) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). (Al-Maidah: 51) Ridha dan kebencian merupakan dua hal yang bertentangan apabila keduanya disebutkan untuk satu hal, dari satu sisi, dan satu cara. Jika kita ridha terhadap sesuatu dari satu sisi dan membencinya dari sisi lain, maka hal ini bukanlah dua hal yang bertentangan. Dengan demikian diketahui bahwa doa memohon ampunan dan perlindungan dari berbagai kemaksiatan atau memohon semua sebab yang dapat membantu pelaksanaan agama, tidak bertentangan dengan ridha kepada qadha Allah. Karena Allah memerintahkan hamba-Nya beribadah kepada-Nya dengan doa, agar dari doa mereka itu terungkapkan kejernihan dzikir

11

dan kekusyuan hati ; sehingga dengan demikian doa itu menjadi penjernih hati, kunci pembuka kasyaf, dan sebab limpahan berbagai rahasia.

12

BAB III PENUTUP


Kesimpulan Adapun kesimpulan dari makalah yang berjudul Ikhlas dan Rida ini adalah sebagai berikut: 1. Ikhlas artinya melakukan sesuatu semata untuk memperoleh ridha Allah SWT dan terbebas dari keinginan untuk memperoleh pengakuan atau pujian dari manusia. 2. Pribadi ikhlas akan selalu merasa tenang, mantap, tidak heboh, baik ketika dicaci maupun dipuji. 3. Rida berarti suka atau senang, yakni senang menjadikan Allah sebagai Tuhan, serta senang kepada ajaran dan takdir-Nya. 4. Rida dapat menentramkan jiwa manusia dan memasukkan faktor kebahagiaan dan kelembutan di dalam jiwa. 5. Rida itu maqam tertinggi yang merupakan buah dari mahabbah.

13

You might also like