You are on page 1of 7

Cairan dan Elektrolit KONSEP PEMBERIAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses

dinamik karena metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan lingkungan. Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya yang sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya dengan prosesproses fisiologis yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya lingkungan sel yang relatif konstan tapi dinamis. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan ini dinamakan homeostasis. A. Kompartemen Cairan Seluruh cairan tubuh didistribusikan diantara dua kompartemen utama, yaitu : Cairan Intraselular (CIS) dan Cairan Ekstra Selular (CES). Pada orang normal dengan berat 70 kg, Total Cairan Tubuh (TBF) rata-ratanya sekitar 60% berat badan atau sekitar 42 L. persentase ini dapat berubah, bergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas. (Guyton & Hall, 1997) 1. Cairan Intraselular (CIS) = 40% dari BB total. Adalah cairan yang terkandung di dalam sel. Pada orang dewasa kira-kira 2/3 dari cairan tubuh adalah intraselular, sama kira-kira 25 L pada rata-rata pria dewasa (70 kg). Sebaliknya, hanya dari cairan tubuh bayi adalah cairan intraselular. 2. Cairan Ekstraselular (CES) = 20% dari BB total. Adalah cairan diluar sel. Ukuran relatif dari CES menurun dengan peningkatan usia. Pada bayi baru lahir, kira-kir cairan tubuh terkandung didalam CES. Setelah 1 tahun, volume relatif dari CES menurun sampai kira-kira 1/3 dari volume total. Ini hampir sebanding dengan 15 L dalam rata-rata pria dewasa (70 kg). Lebih jauh CES dibagi menjadi : a. Cairan interstisial (CIT) : Cairan disekitar sel, sama dengan kira-kira 8 L pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstisial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume CIT kira-kira sebesar 2 kali lebih besar pada bayi baru lahir dibanding orang dewasa. b. Cairan intravaskular (CIV) : Cairan yang terkandung di dalam pembuluh darah. Volume relatif dari CIV sama pada orang dewasa dan anak-anak. Rata-rata volume darah orang dewasa kira-kira 5-6 L (8% dari BB), 3 L (60%) dari jumlah tersebut adalah Plasma. Sisanya 2-3 L (40%) terdiri dari Sel Darah Merah (SDM) atau eritrosit yang mentranspor oksigen dan bekerja sebagai bufer tubuh yang penting; Sel Darah Putih (SDP) atau leukosit dan trombosit. Tapi nilai tersebut diatas dapat bervariasi pada orang yang berbeda-beda, bergantung pada jenis kelamin, berat badan dan faktor-faktor lain. Adapun fungsi dari darah adalah mencakup : - Pengiriman nutrien, misalnya: glokusa dan oksigen ke jaringan. - Transpor produk sisa ke ginjal dan paru-paru. - Pengiriman antibodi dan SDP ke tempat infeksi. - Transpor hormon ke tempat aksinya. - Sirkulasi panas tubuh. 3. Cairan Transelular (CTS) : Adalah rongga khusus dari tubuh. Contoh CTScairan yang terkandung di dalam meliputi: cairan serebrospinal, perikardial, pleural, sinovial, dan cairan intraokular serta sekresi lambung. Pada waktu tertentu CTS mendekati jumlah 1 L. Namun, sejumlah besar cairan dapat saja bergerak kedalam dan keluar ruang transelular setiap harinya. Sebagai contoh, saluran Gastro-Intestinal (GI) secara normal mensekresi dan mereabsorbsi sampai 6-8 L per-hari. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. C. Fungsi Cairan Tubuh Sarana untuk mengangkut zat-zat makanan ke sel-sel. Mengeluarkan buangan-buangan sel. Membantu dalam metabolisme sel. Sebagai pelarut untuk elektrolit dan non elektrolit. Membantu memelihara suhu tubuh. Membantu pencernaan. Mempemudah eliminasi. Mengangkut zat-zat seperti hormon, enzim, SDP, SDM.

Komposisi Cairan Tubuh Semua cairan tubuh adalah air larutan pelarut, substansi terlarut (zat terlarut) : 1. Air Air adalah senyawa utama dari tubuh manusia. Rata-rata pria Dewasa hampir 60% dari berat badannya adalah air dan rata-rata wanita mengandung 55% air dari berat badannya. 2. Solut (terlarut) Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis substansi terlarut (zat terlarut) elektrolit dan non-elektrolit. a. Elektrolit : Substansi yang berdiasosiasi (terpisah) di dalam larutan dan akan menghantarkan arus listrik. Elektrolit berdisosiasi menjadi ion positif dan negatif dan diukur dengan kapasitasnya untuk saling berikatan satu sama lain (miliekuivalen/liter) atau dengan berat molekul dalam garam (mEq/L). Jumlah kation dan anion, yang diukur dalam (mol/L atau

milimol/liter) miliekuivalen, dalam larutan selalu sama. Kation : ion-ion yang mambentuk muatan positif dalam larutan. Kation ekstraselular utama adalah natrium (Na), sedangkan kation intraselular utama adalah kalium (K). Sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa natrium ke luar dan kalium ke dalam. Anion : ion-ion yang membentuk muatan negatif dalam larutan. Anion ekstraselular utama adalah klorida (Cl), sedangkan anion intraselular utama adalah ion fosfat (PO4). Karena kandungan elektrolit dari palsma dan cairan interstisial secara esensial sama, nilai elektrolit plasma menunjukkan komposisi cairan ekstraselular, yang terdiri atas cairan intraselular dan interstisial. Namun demikian, nilai elektrolit plasma tidak selalu menunjukkan komposisi elektrolit dari cairan intraselular. Pemahaman perbedaan antara dua kompartemen ini penting dalam mengantisipasi gangguan seperti trauma jaringan atau ketidakseimbangan asam-basa. Pada situasi ini, elektrolit dapat dilepaskan dari atau bergerak kedalam atau keluar sel, secara bermakna mengubah nilai elektrolit palsma. b. Non-elektrolit : Substansi seperti glokusa dan urea yang tidak berdisosiasi dalam larutan dan diukur berdasarkan berat (miligram per 100 ml-mg/dl). Non-elektrolit lainnya yang secara klinis penting mencakup kreatinin dan bilirubin. D. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan Dan Elektrolit Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan cairan dan elektrolit diantaranya adalah : 1. Usia Variasi usia berkaitan dengan luas permukaan tubuh, metabolisme yang diperlukan dan berat badan. Selain itu sesuai aturan, air tubuh menurun dengan peningkatan usia. Berikut akan disajikan dalam tabel perubahan pada air tubuh total sesuai usia: 2. Jenis kelamin Wanita mempunyai air tubuh yang kurang secara proporsional, karena lebih banyak mengandung lemak tubuh. 3. Sel-sel lemak Mengandung sedikit air, sehingga air tubuh menurun dengan peningkatan lemak tubuh. 4. Stres Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah dan glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan air. Proses ini dapat meningkatkan produksi ADH dan menurunkan produksi urine. 5. Sakit Keadaan pembedahan, trauma jaringan, kelainan ginjal dan jantung, gangguan hormon akan mengganggu keseimbangan cairan. 6. Temperatur lingkungan Panas yang berlebihan menyebabkan berkeringat. Seseorang dapat kehilangan NaCl melalui keringat sebanyak 15-30 g/hari. 7. Diet Pada saat tubuh kekurangan nutrisi, tubuh akan memecah cadangan energi, proses ini akan menimbulkan pergerakan cairan dari interstisial ke intraselular. E. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit a. Gangguan Keseimbangan Cairan 1. Dehidrasi Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (Dehidrasi Hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (Dehidrasi Isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak dari pada air (Dehidrasi Hipotonik). 2. Syok Hipovolemik Syok Hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. b. Gangguan Keseimbangan Elektrolit 1. Hiponatremia Definisi : Kadar Na+ Serum di bawah normal (< 135 mEq/L). Etiologi : CHF, gangguan ginjal, sindroma nefrotik, hipotiroid, penyakit Addison Tanda dan Gejala : Jika Na plasma turun 10 mEq/L dalam beberapa jam, pasien mungkin mual, muntah, sakit kepala dan keram otot. Jika Na plasma turun 10 mEq/L dalam satu jam, bisa terjadi sakit kepala hebat, letargi, kejang, disorientasi dan koma. Mungkin pasien memiliki tanda-tanda penyakit dasar (seperti gagal jantung, penyakit Addison). Jika hiponatremia terjadi sekunder akibat kehilangan cairan, mungkin ada tanda-tanda syok seperti hipotensi dan takikardi. 2. Hipernatremia Definisi : Na+ Serum di atas normal (>145 mEq/L). Etiologi : Kehilangan Na+ melalui ginjal misalnya pada terapi diuretik, diuresis osmotik, diabetes insipidus, sekrosis tubulus akut, uropati pasca obstruksi, nefropati hiperkalsemik; atau karena hiperalimentasi dan pemberian cairan hipertonik lain. Tanda dan Gejala : Iritabilitas otot, bingung, ataksia, tremor, kejang dan koma yang sekunder terhadap hipernatremia. 3. Hipokalemia Definisi : Kadar K+ Serum di bawah normal (< 3,5 mEq/L).

Etiologi : - Kehilangan K+ melalui saluran cerna (misalnya: muntah, sedot nasogastrik, diare, sindrom malabsorpsi, penyalahgunaan pencahar). - Diuretik. - Asupan K+ yang tidak cukup dari diet. - Ekskresi berlebihan melalui ginjal. - Maldistribusi K+. - Hiperaldosteron. Tanda dan Gejala : Lemah (terutama otot-otot proksimal), mungkin arefleksia, hipotensi ortostatik, penurunan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hiperpolarisasi myokard terjadi pada hipokalemia dan dapat menyebabkan denyut ektopik ventrikel, reentry phenomena, dan kelainan konduksi. EKG sering memperlihatkan gelombang T datar, gelombang U, dan depresi segmen ST. 4. Hiperkalemia Definisi : kadar K+ serum di atas normal (> 5,5 mEq/L). Etiologi : Ekskresi renal tidak adekuat; misalnya pada gagal ginjal akut atau kronik, diuretik hemat kalium, penghambat ACE. Beban kalium dari nekrosis sel yang masif yang disebabkan trauma (crush injuries), pembedahan mayor, luka bakar, emboli arteri akut, hemolisis, perdarahan saluran cerna atau rhabdomyolisis. Sumber eksogen meliputi suplementasi kalium dan pengganti garam, transfusi darah dan penisilin dosis tinggi juga harus dipikirkan. Perpindahan dari intra ke ekstraseluler; misalnya pada asidosis, digitalisasi, defisiensi insulin atau peningkatan cepat dari osmolalitas darah. Insufisiensi adrenal. Pseudohiperkalemia Sekunder terhadap hemolisis sampel darah atau pemasangan torniket terlalu lama. Hipoaldosteron. Tanda dan Gejala : Efek terpenting adalah perubahan eksitabilitas jantung. EKG memperlihatkan perubahan-perubahan sekuensial seiring dengan peninggian kalium serum. Pada permulaan, terlihat gelombang T runcing (K+ > 6,5 mEq/L). Ini disusul dengan interval PR memanjang, amplitudo gelombang P mengecil, kompleks QRS melebar (K+ = 7 sampai 8 mEq/L). Akhirnya interval QT memanjang dan menjurus ke pola sine-wave. Fibrilasi ventrikel dan asistole cenderung terjadi pada K+ > 10 mEq/L. Temuan-temuan lain meliputi parestesi, kelemahan, arefleksia dan paralisis ascenden. F. Penanganan Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit 1. Hiponatremia Atasi penyakit dasar. Hentikan setiap obat yang ikut menyebabkan hiponatremia. Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama secara perlahan-lahan, sedangkan hiponatremia akut lebih agresif. Hindari koreksi berlebihan karena dapat menyebabkan central pontine myelinolysis. Jangan naikkan Na serum lebih cepat dari 12 mEq/L dalam 24 jam pada pasien asimptomatik. Jika pasien simptomatik, bisa tingkatkan sebesar 1 sampai 1,5 mEq/L/jam sampai gejala mereda. Untuk menaikkan jumlah Na yang dibutuhkan untuk menaikkan Na serum sampai 125 mEq/L digunakan rumus: Larutan pengganti bisa berupa NaCl 3% atau 5% (masing-masing mengandung 0,51 mEq/ml dan 0,86 mEq/ml). Pada pasien dengan ekspansi cairan ekstrasel, mungkin dperlukan diuretik. Hiponatremia bisa dikoreksi dengan NaCl hipertonik (3%) dengan kecepatan kira-kira 1 mL/kg per jam. 2. Hipernatremia Hipernatremia dengan deplesi volume harus diatasi dengan pemberian normal saline sampai hemodinamik stabil. Selanjutnya defisit air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremia dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis, atau jika perlu dengan dialisis. Kemudian Dekstrosa 5% diberikan untuk mengganti defisit air. Defisit air tubuh ditaksir sebagai berikut: Separuh dari defisit air yang dihitung harus diberikan dalam 24 jam pertama, dan sisa defisit dikoreksi dalam 1 atau 2 hari untuk menghindari edema serebral. 3. Hipokalemia Defisit kalium sukar atau tidak mungkin dikoreksi jika ada hipomagnesia. Ini sering terjadi pada penggunaan diuretik boros kalium. Magnesium harus diganti jika kadar serum rendah. Terapi oral. Suplementasi K+ (20 mEq KCl) harus diberikan pada awal terapi diuretik. Cek ulang kadar K+ 2 sampai 4 minggu setelah suplementasi dimulai. Terapi intravena harus digunakan untuk hipokalemia berat dan pada pasien yang tidak tahan dengan suplementasi oral. Jika kadar K+ serum > 2,4 mEq/L dan tidak ada kelainan EKG, K+ bisa diberikan dengan kecepatan 0 sampai 20 mEq/jam, pemberian maksimum 200 mEq per hari. Pada anak 0,5-1 mEq/kgBB/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa. 4. Hiperkalemia Pemantauan EKG kontinyu jika ada kelainan EKG atau kalium serum > 7 mEq/L. Kalsium glukonat dapat diberikan iv sebagai 10 ml larutan 10% selama 10 menit untuk menstabilkan myocard dan sistem

konduksi jantung. Natrium bikarbonat membuat darah menjadi alkali dan menyebabkan kalium berpindah dari ekstra ke intraseluler. Bic Nat diberikan sebanyak 40 sampai 150 mEq NaHCO3 iv selama 30 menit atau sebagai bolus iv pada kedaruratan. Insulin menyebabkan perpindahan kalium dari cairan ekstraseluler ke intraseluler. 5 sampai 10 unit regular insulin sebaiknya diberikan dengan 1 ampul glukosa 50% IV selama 5 menit. Dialisis dibutuhkan pada kasus hiperkalemia berat dan refrakter Pembatasan kalium diindikasikan pada stadium lanjut gagal ginjal (GFR < 15 ml/menit). G. Terapi Cairan dan Elektrolit Terapi cairan adalah suatu tindakan pemberian air dan elektrolit dengan atau tanpa zat gizi kepada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi dan tidak bisa dipenuhi oleh asupan oral biasa melalui minum atau makanan. Pada pasien-pasien yang mengalami syok karena perdarahan juga membutuhkan terapi cairan untuk menyelamatkan jiwanya. Untuk dehidrasi ringan, umumnya digunakan terapi cairan oral. Sedangkan pada dehidrasi sedang sampai berat, atau asupan oral tidak memungkinkan, misal jika ada muntahmuntah atau pasien tidak sadar, biasanya diberikan cairan melaui infus. Prioritas utama dalam menggantikan volume cairan yang hilang adalah melalui rute enteral / fisiologis misalnya minum atau melalui NGT. Untuk pemberian terapi cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-vena di punggung tangan, sekitar daerah pergelangan tangan, lengan bawah atau daerah cubiti. Pada anak kecil dan bayi sering digunakan daerah punggung kaki, depan mata kaki dalam atau kepala. Pemberian terapi cairan pada bayi baru lahir dapat dilakukan melalui vena umbilikalis. Penggunaan jarum anti-karat atau kateter plastik anti trombogenik pada vena perifer biasanya perlu diganti setiap 1-3 hari untuk menghindari infeksi dan macetnya tetesan. Pemberian cairan infus lebih dari 3 hari sebaiknya menggunakan kateter besar dan panjang yang ditusukkan pada vena femoralis, vena cubiti, vena subclavia, vena jugularis eksterna atau interna yang ujungnya sedekat mungkin dengan atrium kanan atau di vena cava inferior atau superior. a. Tujuannya Terapi Cairan dan Elektrolit : 1. IV line IV line sering disebut juga infus jaga, artinya diberikan sebagai jalan masuk obat suntik ke dalam pembuluh darah balik. Pada infus jaga, pasien umumnya masih bisa mendapat air cukup dari minum, jadi jumlah cairan yang diperlukan tidak banyak, misal hanya 500 ml per hari atau kurang. 2. Resusitasi Terapi cairan resusitasi adalah pemberian cairan untuk menyelamatkan jiwa pasien yang mengalami syok karena dehidrasi akut dan berat atau perdarahan. Di sini cairan infus diberikan dengan cepat dan dalam jumlah cairan yang besar sesuai dengan derajat dehidrasi atau perdarahan yang terjadi. 3. Pemberian elektrolit rumatan Terapi cairan rumatan bertujuan mengganti kehilangan air normal harian pada pasien rawat inap. Seringkali pasien rawat-inap karena kondisi sakitnya tidak bisa mengkonsumsi air dan elektrolit dalam jumlah cukup melalui minum, sehingga memerlukan dukungan infuse untuk memenuhi kebutuhan hariannya agar tidak jatuh dalam gangguan keseimbangan air dan elektrolit yang bisa mengancam jiwa. Jenis dan jumlah dan kecepatan cairan rumatan yang diberikan kepada pasien berbeda dengan cairan resusitasi. 4. Parenteral feeding Parenteral feeding atau nutrisi parenteral artinya pemberian selain melalui enteral. Dengan kata lain, nutrisi parenteral adalah pemberian infus zat gizi (bisa asam amino, karbohidrat dan lipid) ke dalam pembuluh balik atau vena. Nutrisi parenteral ini diberikan pada pasien yang kekurangan gizi atau asupan gizi melalui oral diperkirakan akan terhambat oleh kondisi penyakit pasien. b. Jenis-jenis Cairan dan Elektrolit 1. Cairan hipotonik : osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%. 2. Cairan Isotonik : osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%). 3. Cairan hipertonik : osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya : Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam

fisiologis. Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid. c. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam pemberian terapi cairan intravena a. Dari Sisi Pasien Dari sisi pasien yang perlu diperhatikan adalah penyakit dasar pasien, status hidrasi dan hemodinamik, pasien dengan komplikasi penyakit tertentu, dan kekuatan jantung. Kesemua faktor ini merupakan hal yang harus diketahui dokter. b. Dari Sisi Cairan 1. Kandungan elektrolit cairan a. Elektrolit yang umum dikandung dalam larutan infus adalah Na+, K+, Cl-, Ca++, laktat atau asetat. Jadi, dalam pemberian infus, yang diperhitungkan bukan hanya air melainkan juga kandungan elektrolit ini apakah kurang, cukup, pas atau terlalu banyak. b. Pengetahuan dokter dan paramedis tentang isi dan komposisi larutan infus sangatlah penting agar bisa memilih produk sesuai dengan indikasi masing-masing. 2. Osmolaritas cairan a. Yang dimaksud dengan osmolaritas adalah jumlah total (mmol) elektrolit dalam kandungan infus. Untuk pemberian infus ke dalam vena tepi maksimal osmolaritas yang dianjurkan adalah kurang dari 900 mOsmol/L untuk mencegah risiko flebitis (peradangan vena). b. Jika osmolaritas cairan melebihi 900 mOsmol/L maka infus harus diberikan melalui vena sentral. 3. Kandungan lain cairan a. Seperti disebutkan sebelumnya, selain elektrolit beberapa produk infus juga mengandung zat-zat gizi yang mudah diserap ke dalam sel, antara lain: glukosa, maltosa, fruktosa, silitol, sorbitol, asam amino, trigliserida. b. Pasien yang dirawat lebih lama juga membutuhkan unsur-unsur lain seperti Mg++, Zn++ dan trace element lainnya. 4. Sterilitas cairan infus. Parameter kualitas untuk sediaan cairan infus yang harus dipenuhi adalah steril, bebas partikel dan bebas pirogen disamping pemenuhan persyaratan yang lain. Pada sterilisasi cairan intravena yang menggunakan metoda sterilisasi uap panas, ada dua pendekatan yang banyak digunakan, yaitu overkill dan non-overkill (bioburden-based). a. Overkill: Pendekatan Overkill dilakukan untuk membunuh semua mikroba, dengan prosedur sterilisasi akhir pada suhu tinggi yaitu 121oC selama 15 menit. Metoda ini sudah dikenal lebih dari satu abad yang lalu. Dengan cara ini, hanya cairan infus yang mengandung elektrolit tidak akan mengalami perubahan. Namun cara ini sangat berisiko dilakukan pada cairan infus yang mengandung nutrisi seperti karbohidrat dan asam amino karena bisa jadi nutrisi tersebut pecah dan pecahannya menjadi racun. Misalnya saja larutan glukosa konsentrasi tinggi. Pada pemanasan tinggi, cairan ini akan menghasilkan produk dekomposisi yang dinamakan 5-HMF atau 5-Hidroksimetil furfural yang pada kadar tertentu berpotensi menimbulkan gangguan hati. Selain suhu sterilisasi yang terlalu tinggi, lama penyimpanan juga berbanding lurus dengan peningkatan kadar 5-HMF ini. b. Non-overkill (bioburden-based) : sesuai dengan perkembangan kedokteran yang membutuhkan jenis cairan yang lebih beragam contohnya cairan infus yang mengandung nutrisi seperti karbohidrat dan asam amino serta obat-obatan yang berasal dari bioteknologi, maka berkembang juga teknologi sterilisasi yang lebih mutakhir yaitu metoda Non-Overkill atau disebut juga Bioburden, dimana pemanasan akhir yang digunakan tidak lagi harus mencapai 121 derajat, sehingga produk-produk yang dihasilkan dengan metoda ini selain dijamin steril, bebas pirogen, bebas partikel namun kandungannya tetap stabil serta tidak terurai yang diakibatkan pemanasan yang terlampau tinggi. Dengan demikian infus tetap bermanfaat dan aman untuk diberikan. c. Pemberian Cairan Infus Intravena (Intravenous Fluids) Infus cairan Intravena (Intravenous Fluids Infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah: Perdarahan dalam jumlah banyak ,(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah). Trauma abdomen (perut) berat, (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah). Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha), (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah). Serangan panas (heat stroke), (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi). Diare dan demam, (mengakibatkan dehidrasi). Luka bakar luas, (kehilangan banyak cairan tubuh). Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung, (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah). d. Indikasi pemberian obat melalui jalur Intravena Indikasi pemberian obat melalui jalur Intravena antara lain: Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan

kimiawinya polications dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. e. Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids). Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas. Pemberian kantong darah dan produk darah. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu). Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat). Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus. f. Kontraindikasi dan peringatan pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena ini lokasi pemasangan Fistula Arteri-Vena (A-V shunt) pada tindakan Hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

g. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus : Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah. i. Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus: Rasa perih/sakit. Reaksi alergi. H. Proses Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian keperawatan secara umum pada pasien dengan gangguan atau resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit meliputi : Kaji riwayat kesehatan dan kepearawatan untuk identifikasi penyebab gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kaji manifestasi klinik melalui : - Timbang berat badan klien setiap hari. - Monitor vital sign. - Kaji intake output. Lakukan pemeriksaan fisik meliputi : - Kaji turgor kulit, hydration, temperatur tubuh dan neuromuskuler irritability. - Auskultasi bunyi /suara nafas. - Kaji prilaku, tingkat energi, dan tingkat kesadaran. Review nilai pemeriksaan laboratorium : Berat jenis urine, PH serum, Analisa Gas Darah, Elektrolit serum, Hematokrit, BUN, Kreatinin Urine. 2. Diagnosis Keperawatan Diagnosis keperawatan yang umum terjadi pada klien dengan resiko atau gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ansietas, gangguan mekanisme pernafasan, abnormalitas nilai darah arteri. Penurunan kardiak output berhubungan dengan dysritmia kardio, ketidakseimbangan elektrolit.

Gangguan keseimbangan volume cairan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare, kehilangan cairan lambung, diaphoresis, polyuria. Gangguan keseimbangan cairan tubuh : berlebih bwerhubungan dengan anuria, penurunan kardiak output, gangguan proses keseimbangan, Penumpukan cairan di ekstraseluler. Kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan kekurangan volume cairan. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan dehidrasi dan atau edema. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan edema. 3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan yang umum dilakukan pada pasien gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit adalah : a. Atur intake cairan dan elektrolit. b. Berikan Therapi Intravena (IVFD) sesuai kondisi pasien dan intruksi dokter dengan memperhatikan : jenis cairan, jumlah/dosis pemberian, komplikasi dari tindakan. c. Kolaborasi pemberian obat-obatan seperti : deuretik, kayexalate. d. Provide care seperti : perawatan kulit, safe environment. 4. Evaluasi/Kreteria hasil Kreteria hasil meliputi : Intake dan output dalam batas keseimbangan. Elektrolit serum dalam batas normal. Vital sign dalam batas normal.

DAFTAR PUSTAKA Barbara Kozier, Fundamental Of Nursing Concept, Process and Practice, Fifth Edition, Addison Wsley Nursing, California, 1995. Dolores F. Saxton, Comprehensive Review Of Nursing For NCLEK-RN, Sixteenth Edition, Mosby, St. louis, Missouri, 1999. Sylvia Anderson Price, Alih : Peter Anugerah, Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi kedua, EGC, Jakarta, 1995. Wirjoatmodjo, M, Rehidrasi - Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Kedua, ED Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987 hal. 8 12. Thaib, Roesli, Syok Hipovolemik dan Terapi Cairan, Kumpulan Naskah Temu NAsional dokter PTT, FKUI, Simposisum hal. 17 32. FH Feng, KM Fock, Peng, Penuntun Pengobatan Darurat, Yayasan Essentia Medica - Andi Yogyakarta, Edisi Yogya 1996 hal. 5 16. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6. Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program. Shafiee M.A.S., Bohn D, Hoorn EJ and Halperin ML. How to select optimal maintenance intravenous fluid therapy. Q J Med 2003; 96: 601-610 Mizock BA, Troglia S. Nutritional support of the hospitalized patient. Mosby Vol 53, No 6, 1997, p 367 Tannen RL. Potassium Disorders. In Kokko & Tannen : Fluids and Electrolytes. 3rd Edition WB Saunders 1996. p 114. Mark Graber. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Farmedia, 2003. p 95.

You might also like