You are on page 1of 4

PP no 1 tahun 2012 pasal 9 ayat 2

Dalam hal: a. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya; dan b. atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Dasar Pengenaan Pajak berupa Harga Jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya tersebut.

Penjelasan
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya. Dengan demikian, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak. Contoh: PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah membayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar Rp. 350.000,00. Apabila harga produksi mobil sebesar Rp. 110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A sebesar Rp. 40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp. 150.350.000,00. Dengan

demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp. 150.350.000,00. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut: a. Pajak Pertambahan Nilai = 10% X Rp. 150.350.000,00 = Rp. 15.035.000,00 b. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%) = 20% X Rp. 150.350.000,00 = Rp. 30.070.000,00

Pasal 24
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. (2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. (3) Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, kecuali terhadap Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan
Ayat (1) Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat

diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Contoh : Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2011. Sampai dengan tanggal 31 Maret 2012 Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010. Dalam tahun 2012, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak dalam Tahun Pajak 2009 memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2009. Ayat (2) Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusahan Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Contoh : Terhadap Wajib Pajak orang pribadi diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak pada tanggal 6 Januari 2009. Pada tanggal 28 Desember 2011, Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dihapus. Dalam tahun 2013, Direktur Jenderal Pajak memperoleh data yang menunjukkan bahwa dalam Tahun Pajak 2008, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak, dalam Tahun Pajak 2010, Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan dalam Tahun Pajak 2012, Wajib Pajak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak. Berdasarkan data tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untyk Tahun Pajak 2008, 2010, dan 2012.

You might also like