You are on page 1of 16

MAKALAH KEWIRAUSAHAAN ETIKA BISNIS DAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Disusun oleh : Aktsar Hamdi Tsalits C2A008009

JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS DIPONEGORO

2010

PENDAHULUAN Corporate Social Responsibility (CSR) dengan etika bisnis akhir-akhir ini sangat sering terdengar. Banyak perusahaan dituntut oleh masyarakat sekitarnya karena telah merusak lingkungan sekitar perusahaan, merebut kekayaan yang seharusnya menjadi hak bagi kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Akibat dari semua itu adalah masyarakat sekitar perusahaan yang menjadi menderita. Banyak kasus yang terjadi terkait dengan Corporate Sosial Responsibility, seperti lumpur Lapindo, PT.Freeport, dan obat antinyamuk HIT. Berkaca dari kasus-kasus tersebut,sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan secara langsung. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia. Etika memainkan peranan penting dalam kehidupan organisasi, baik publik maupun swasta. Etika organisasi biasanya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan organisasi. Kode etik atau yang sejenis tumbuh dari misi, visi, strategi, dan nilai-nilai organisasi. Kode etik organisasi yang dipikirkan dengan seksama dan efektif berfungsi sebagai pedoman dalam pengambilan setiap keputusan organisasi yang etis dengan menyeimbangkan semua kepentingan yang beragam. Fenomena neoliberal inilah yang diikuti dengan kemunculan secara paralel tuntutan masyarakat sipil terhadap tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR). Semakin menguatnya dominasi entitas bisnis dalam rantai perusahaan yang berada pada regional negara-negara Utara dan Selatan telah menciptakan tuntutan dan konsekuensi logis agar mereka memperhatikan hak asasi manusia, hak para pekerja, maupun komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup. Tidak mengherankan apabila masyarakat (sebagai stakeholders) menuntut agar perusahaan lebih memperhatikan keadaan stakeholders daripada shareholdersnya.

Masyarakat telah meningkatkan perhatian dan kepekaan mereka terhadap seluruh proses produksi yang dilakukan oleh perusahaan yang kelak hasil produk tersebut akan mereka konsumsi. Peningkatan perhatian dan kepekaan masyarakat awam tersebut telah turut memacu pihak pelaku modal untuk meningkatkan aplikasi CSR mereka. Para pelaku

perusahaan, yang biasanya mendapatkan keistimewaan kekebalan hukum dari negara, sudah tidak dapat mengelak lagi dari perhatian dan kepekaan masyarakat terhadap dampak negatif sosial lingkungan yang telah mereka hasilkan selama ini. Malah sebaliknya, pengalaman membuktikan bahwa keberlanjutan usaha produksi banyak dipengaruhi oleh tingkat pemahaman dan aplikasi CSR perusahaan terhadap para pemangku kepentingan. Riset yang dilakukan oleh Sophia Malkasian (2004) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup adalah perusahaan yang tidak hanya mengejar keuntungan deviden semata. Saat perusahaan dapat membina hubungan baik dengan para pemangku kepentingan, mereka akan mendapatkan perlindungan dan keamanan dalam menjalankan usahanya, ataupun sebaliknya. Dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya hubungan resiprokal (timbal balik) antara perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat adalah pasangan hidup yang saling memberi dan membutuhkan. Dua aspek penting harus diperhatikan agar tercipta kondisi sinergis antara keduanya sehingga keberadaan perusahaan membawa perubahan ke arah perbaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari aspek ekonomi, perusahaan harus berorientasi mendapatkan keuntungan (profit) dan dari aspek sosial, perusahaan harus memberikan kontribusi secara langsung kepada masyarakat yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada perolehan keuntungan/laba perusahaan semata, tetapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Jika masyarakat (terutama masyarakat sekitar) menganggap perusahaan tidak memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya serta tidak merasakan kontribusi secara langsung bahkan merasakan dampak negatif dari beroperasinya sebuah perusahaan maka kondisi itu akan menimbulkan resistensi masyarakat atau gejolak sosial. Dengan kondisi tersebut maka perusahaan perlu membangun konsep Corporate Social Responsibility (CSR) dalam aktivitas perusahaan. Komitmen perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa dengan memperhatikan aspek finansial atau ekonomi, sosial, dan lingkungan itulah yang menjadi isu utama dari konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Implementasi CSR merupakan perwujudan komitmen yang dibangun oleh perusahaan untuk memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Adanya CSR di Indonesia diatur dalam Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 ayat 1 Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/ atau

berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan

I. EPISTEMOLOGI ETIKA BISNIS Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yangmemiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik. Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility Why Giants Fall, menyebutkan: Ethics is a philosophical term derived from the Greek word ethos, meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public. (Etika adalah suatu istilah filosofis yang berasal dari Kata Yunani " Etos," yang berarti karakter atau kebiasaan. Definisi tersebut berhubungan erat dengan kepemimpinan yang efektif di dalam suatu organisasi. Hal itu dapat diartikan juga sebagai suatu kode organisasi yang menyampaikan integritas moral dan nilai-nilai konsisten dalam jabatan kepada orang banyak/masyarakat. Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu: 1. Etika adalah suatu disiplin ilmu yang membedakan apa yang baik dan buruk berkaitan dengan hutang budi dan kewajiban, dapat juga diartikan sebagai satuan prinsip moral atau nilai-nilai. 2. Perilaku etis, yaitu suatu yang diterima sebagai moral baik dan kebenaran, dan lawan dari keburukan atau kesalahan dalam suatu perilaku tertentu.

3. Kesusilaan adalah suatu sistem atau doktrin dari moral yang mengacu pada prinsip kebenaran dan kesalahan dalam suatu perilaku. Steade et al. (1984:584) bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika merefleksikan hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilia-nilai. Pada gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan give-and take antara apa yang legal dan apa yang cara etik. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan kebaikan (rightness) atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturanaturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik (good) atau buruk (bad). Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, dalam Komenaung (2005)).

Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos dari mana ethics berasal dan kata latin mores dari mana morals diturunkan keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemenelemen normatif yang tidak dapat

dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau keharusan (oughtness), konflik dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis. Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.

II. PENTINGNYA ETIKA DALAM DUNIA BISNIS Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan

kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro. Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro : 1.Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.

2.Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis. 3.Deceptive information 4.Pecurian dan penggelapan 5.Unfair discrimination. 2) Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik. Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturanyang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social;

(2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yangmenjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a. Pengendalian Diri Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik". b. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll. c. Mempertahankan Jati Diri Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi. d. Menciptakan Persaingan yang Sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut. e. Menerapkan Konsep Pembangunan Berkelanjutan" Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar. f. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi) Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara. g. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait. h. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah

besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis. i. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu. j. Memelihara Kesepakatan Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis. k. Menuangkan ke dalam Hukum Positif Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.

III. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) Pada sesi sebelumnya telah disebutkan salah satu factor yang harus diperhatikan dalam menciptakan etika bisnis harus diciptakan tanggung jawab social, yang mana tanggung jawab social bagi perusahaan dilakukan dengan program Corporate Sosial Responsibility (CSR). Bank Dunia dalam Endro Sampurna (2007) berikut: CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees andtheir representative, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good forbusiness and good for development. (CSR merupakan komitmen bisnis yang berperan untuk pembangunan ekonomi, mendukung kerjasana antar karyawan dengan pimpinan, menciptakan komunikasi social terhadap guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar, dengan cara-cara yang baik bagi kegiatan dan pengembangan perusahaan). Menurut Canadian Business for Social Responsibility dalam Roida (2008), CSR didefinisikan sebagai: A companys commitment to operating in an economically and environmentally sustainable manner; at the same time, recognize the interests of its stakeholders. (komitmen perusahaan untuk beroperasi secara ekonomis dan mendukung lingkungan, dan pada waktu yang sama memperhatikan kepentingan stakeholders). Berdasarkan definisi tersebut menunjukkan CSR disusun sebagai komitmen perusahaan untuk menciptakan komunikasi sosial, antara manajemen perusahaan dengan share holder, dan juga stakeholder sehingga kegiatan perusahaan dapat berjalan dengan baik. Definisi tersebut mengindikasikan bahwa disusunnya CSR masih menunjukkan adanya cela yaitu ditujukan untuk terciptanya eksistensi perusahaan di masa yang akan datang. Untuk itu dijelaskan definisi CSR oleh Bateman dan Snell (2002) sebagai: ...set of corporateactions that positively affects an identifiable social stakeholders interest and does not violate the legitimate claims of another identifiable social stakeholder (in long run). (satuan kegiatan perusahaan yang secara positif mengidentifikasi kebutuhan sosial stakeholder dan tidak melanggar aturan dari sosial stakeholder dalam jangka panjang) mempunyai definisi CSR sebagai

Sedangkan CSiR didefinisikan sebagai: the set of corporate actions that negatively affects an identifiable social stakeholders legitimate claims (in long run). (satuan tindakan perusahaan yang secara negative mempengaruhi sosial stakeholder dalam jangka panjang) Dari definisi tersebut semakin diperjelas bahwa aktivitas CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan tidak boleh melanggar peraturan/undang-undang yang berlaku terhadap sosial stakeholder. Dengan demikian pelaksanaan CSR memerlukan tindakan aktif dari pemerintah untuk sebagai regulator untuk melindungi pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan, seperti masyarakat sekitarnya. Sedangkan penilain perusahaan sudah menjalankan CSR atau CSiR sangat tergantung pada seberapa banyak program yang dijalankan perusahaan yang dianggap berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan CSR dalam sutau organisasi atau perusahaan masih belum benar-benar dilakukan didasarkan pada tanggun jawab sosial perusahaan. Carroll (1981)menyatakan: isu social responsibilitydikenali dengan melakukan beberapa tanggung jawab sosial dan etika bisnis pada aktivitas organisasi, yang selanjutnya berpengaruh pada pembuatan keputusan manajer. Kebijakan ini bagaimanapun masih menjadi perdepatan bagi organisasi untuk melanjutkan kegiatan tersebut atau tidak, karena hal tersebut memang benar-benar-benar aktivitas social responsibility atau hanya untuk kepentingan organisasi. Uraian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-dalam menjalankan CSR masih dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan perusahaan, seperti kelangsungan dan perkembangan perusahaan.

IV. MANFAAT CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY BAGI PERUSAHAAN A.B Susanto (2007) mengemukakan bahwa dari sisi perusahaan terdapat 6 (enam) manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas CSR. 1. Mengurangi risiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan CSR secara konsisten akan mendapat dukungan luas dari komunitas yang merasakan manfaat dari aktivitas yang dijalankan. CSR akan mengangat citra perusahaan, yang dalam rentang waktu yang panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan.

2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumer goods yang beberapa waktu yang lalu dilanda isu adanya kandungan bahan berbahaya dalam produknya. Namun karen aperusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan CSR-nya maka masyarakat menyikapinya dengan tenang sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dn kinerjanya. 3. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memiliki reputasi yang baik, yang secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. 4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaanmemiliki kepedulian terhadap pihak-pihak yang berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta kemajuan yang mereka raih. 5. Meningkatnya penjualan. Konsumen akan lebih menyukai produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang secara konsiten menjalankan CSRnya sehingga memiliki reputasi yang baik. 6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya.

DAFTAR PUSTAKA http://www.cartidownload.ro/Diverse/573926/Analisis_Peranan_Etika_Bisnis_Terhad ap_CSR_Pada_PT_freePort_Indonesia

You might also like