You are on page 1of 3

CANDI PORTIBI

Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi adalah kompleks candi Buddha aliran Vajrayana yang terletak di Desa Bahal, Kecamatan Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yaitu sekitar 3 jam perjalanan dari Padangsidempuan atau berjarak sekitar 400 km dari Kota Medan. Candi ini terbuat dari bahan bata merah dan diduga berasal dari sekitar abad ke-11 dan dikaitkan dengan Kerajaan Pannai, salah satu pelabuhan di pesisir Selat Malaka yang ditaklukan dan menjadi bagian dari mandalaSriwijaya.[1] Candi ini diberi nama berdasarkan nama desa tempat bangunan ini berdiri. Selain itu nama Portibi dalam bahasa Batak berarti 'dunia' atau 'bumi' istilah serapan yang berasal dari bahasa sansekerta: Pertiwi (dewi Bumi). Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Jabung yang ada Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Para peneliti mengungkapkan, candi-candi di desa Bahal adalah tiga di antara 26 runtuhan candi yang tersebar seluas 1.500 km2 di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Dari tiadanya situs patung Buddha di sekitar candi, pernah ada dugaan bahwa candi Bahal atau yang biasa disebut warga lokal sebagai biaro, tidak dibangun oleh umat Buddha. Memang, satu-satunya ornamen yang tertinggal sebagai simbol-simbol pemujaan adalah patung singa dan pahatanpahatan aneh di dinding candi. Di desa Bahal, terdapat tiga situs candi yang saat ini sudah dipugar. Selanjutnya ketiga candi itu diberi nama candi Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Tempat-tempat ibadah itu berdiri di tepian sungai Batang Pane. Dari berbagai teori yang berkembang, kemungkinan sungai Batang Pane pernah menjadi lalu lintas perdagangan.

Artinya, sungai Batang Pane dulunya adalah sebuah sungai yang besar sehingga bisa dilewati perahu-perahu pedagang. Perkiraan seperti ini bisa jadi benar dengan asumsi dulunya hutan di hulu sungai masih bagus dan mampu menyediakan persediaan air yang cukup. Kalau sekarang debitnya kecil, dangkal dan mustahil jadi sarana transportasi, itu mungkin karena hutan sudah dibabat para penjarah. Tapi arkeolog asal Jerman, FM. Schinitger, saat berkunjung ke candi ini pada tahun 1935 justru menyimpulkan lain. Menurutnya, candi Bahal merupakan peninggalan Kerajaan Panai yang memeluk Buddha. Kesimpulannya diperkuat dengan prasasti berbahasa Tamil ber-angka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I di India Selatan. Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, Schinitger percaya bahwa candi-candi ini berkaitan dengan agama Buddha aliran Wajrayana. Masih menurut Schinitger, aliran Wajrayana yang berkembang di Padang Lawas sangat berbeda dengan ajaran Buddha yang kita kenal saat ini. Ciri-cirinya beringas, bengis, dan cenderung dekat ke upacara-upacara yang sadis. Arca dari Padang Lawas seluruhnya berwajah raksasa dengan raut muka menyeramkan. Relief pada dinding candi menggambarkan raksasa yang sedang menari dengan tarian tandawa. Hal ini diperkuat pula dengan informasi dari beberapa tulisan pada lempengan emas maupun batu yang ditemukan. Di runtuhan Candi Bahal 2 ditemukan arca Heruka, satu-satunya jenis arca sejenis di Indonesia. Penggambarannya sangat sadis dengan setumpuk tengkorak dan raksasa yang sedang menarinari di atas mayat. Bambang Budi Utomo, seorang peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menuliskan di Harian Kompas, Jumat, 23 September 2005, Tangan kanan (raksasa itu) diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk tempurung kepala manusia. Upacara Tantrayana digambarkan sebagai tindakan yang sadis dan tidak lepas dari mayat dan minuman keras. Tapi upacara terpenting dari aliran Wajrayana ini adalah Bhairawa. Upacara ini dilakukan di atas ksetra, lapangan tempat menimbun mayat sebelum dibakar. Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, meramalkan mantra, membakar mayat, minum darah, dan tertawa-tawa sambil mengeluarkan dengus seperti kerbau. Tujuannya agar bisa kaya, panjang umur, perkasa, kebal, menghilang, dan menyembuhkan orang sakit. Agar lebih sakti lagi, mereka berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa. Ini dipercaya orang Wajrayana di Padang Lawas untuk membuat perasaan tenang atau mendapat mukjizat dilahirkan kembali atas kekuasaan Dewa yang dipuja (konsep reinkarnasi). Nah, sekarang Anda bisa membayangkan bagaimana kehidupan orang dulunya di atas komplek kepurbakalaan terluas di Indonesia ini. Kita mungkin tidak peduli, tapi sejumlah peneliti asing sudah memperhatikannya sejak pertengahan abad 19. Beberapa nama yang sudah melakukan riset penting di sini antara lain Franz Junghun (1846), Von Rosenberg (1854), Kerkhoff (1887), Stein Callenfels (1920 dan 1925), De Haan (1926), Krom (1923), dan Schnitger sendiri yang dikenal sangat berjasa mengungkap sejarah kepurbakalaan di Sumatera. Sayang sekali, pemerintah daerah kita tak terlalu ambil pusing dengan peninggalan-peninggalan ini. Sebagian besar situs, arca dan artefak belum diurus. Bahkan candi yang sudah dipugar pun

tak mendapat pemeliharaan yang pantas. Ilalang dibiarkan tumbuh di sisi candi. Warga setempat bebas sesuka hati menggembalakan ternak lembu di lingkungan warisan masa lalu itu. Sekadar informasi, candi Bahal I dipugar pada Desember 1991 dan belum berhasil meniru keaslian dari candi tersebut. Sedangkan Candi Bahal 2 berada sekitar 500 meter dari candi Bahal 1. Pemugaran candi ini pernah langsung diresmikan oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Djojo Negoro. Sedangkan candi Bahal 3 berada 400 meter dari Bahal 2. Kondisi terakhirnya memprihatinkan. Jalan menuju candi ini berlumpur dan tidak terawat. Pada hari-hari biasa, kawasan candi Bahal sangat sepi. Paling-paling yang berkeliaran di sana adalah penduduk desa Bahal yang terdiri dari belasan rumah tangga bersama hewan-hewan peliharaannya. Candi dikelilingi padang ilalang yang luas, tandus, dan sering dipakai untuk tempat merumput lembu. Sebagai tanaman peneduh, biasanya tanaman balakka, semacam tanaman khas di wilayah Padang Lawas, dipakai para penggembala berlindung dari sengatan matahari langsung. Candi Bahal yang sebenarnya sudah resmi dijadikan sebagai objek wisata oleh pemerintah, hanya ramai pada saat-saat tertentu seperti hari libur, Lebaran, atau Tahun Baru. Para pengunjungnya pun hanya masyarakat desa sekitar Padang Bolak dan Barumun. Mereka datang lebih sebagai sebuah tradisi tahunan ketimbang apresiasi pada nilai sejarah candi, karena mereka memang tak pernah mendapat edukasi tentang hal itu. Jalan pintu masuk menuju desa Bahal ditempuh lewat Simpang Portibi di kota Gunungtua, sekitar sekitar 80 km dari Padang Sidimpuan atau 400 km dari kota Medan. (insidesumatera.com)

You might also like