You are on page 1of 20

ASKEP STRAIN, SPRAIN , DAN DISLOKASI

A. Pengertian 1. Strain adalah tarikan pada otot, ligament atau tendon yang disebabkan oleh regangan (streech) yang berlebihan , dalam bahasa kita disebut kram otot (Smeltzer Suzame, 2001). 2. Sprain adalah kekoyakan pada otot, ligament atau tendon yang dapat bersifat sedang atau parah, dalam bahasa kita disebut kesleo (Smeltzer Suzame, 2001). 3. Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi), (Arif Mansyur, dkk. 2000). B. Etiologi 1. Strain a. Pada strain akut Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak. b. Pada strain kronis Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang berlebihan / tekanan berulang-ulang, menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon). 2. Sprain Penggunaan daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak sendi pada saat berolah raga atau aktivitas kerja . 3. Dislokasi a. Cedera olah raga Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering

mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain. b. Trauma Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga , benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. c. Terjatuh Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. d. Patologis Terjadinya tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang (Smeltzer Suzame, 2001). C. Klasifikasi 1. Strain a. Derajat I / Mild Strain (Ringan) adalah adanya cidera akibat penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament. Gejala yang timbul seperti nyeri local, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot. Tandatandanya yaitu adanya spasme otot ringan, bengkak, gangguan kekuatan otot fungsi yang sangat ringan. Komplikasi yaitu Strain yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya inflasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar. Terapi biasanya sembuh dengan istirahat , lalu terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan otot. b. Derajat II/Medorate Strain (Sedang) adalah adanya cidera pada unit muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti nyeri local, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot sedang , bengkak, tenderness, gangguan kekuatan otot fungsi sedang. Komplikasi yaitu Strain yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya robekan serabut otot . Terapi RICE yaitu dengan istirahat (rest) selama 3-

6minggu, kompres es (ice) 15-30menit, balut tekan dengan bahan yg lunak seperti kain (Compress), daerah yang cidera ditinggikan (elevate) dan Immobilisasi. c. Derajat III/Strain Severe (Berat) adalah adanya tekanan/penguluran mendadak yang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan ketidakstabilan sendi. Gejala yang timbul seperti nyeri berat, adanya stabilitasi. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot kuat , bengkak, tenderness, gangguan kekuatan otot fungsi berat. Komplikasi yaitu Strain yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon . Terapi RICE yaitu dengan istirahat (rest) selama 3-6minggu, kompres es (ice) 15-30menit, balut tekan dengan bahan yg lunak seperti kain (Compress), daerah yang cidera ditinggikan (elevate) dan Immobilisasi. Lalu dibawa kerumah sakit untuk dilakukan pembedahan agar mengembalikan fungsinya (Sadoso, 1995 ). 2. Sprain a. Sprain tingkat I yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terdapat sedikit hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus, cedera ini menimbulkan rasa nyeri tekan , pembengkakan dan rasa sakit pada daerah tersebut. Terapi biasanya sembuh dengan istirahat , lalu terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan otot. b. Sprain tingkat II yaitu cedera sprain yang ditandai dengan banyak serabut ligamentum yang putus, cedera ini menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan , pembengkakan , efusi (cairan yang keluar) , dan biasanya tidak dapat menggerakan persendian tersebut. Terapi RICE yaitu dengan istirahat (rest) selama 3-6minggu, kompres es (ice) 15-30menit, balut tekan dengan bahan yg lunak seperti kain (Compress), daerah yang cidera ditinggikan (elevate) dan Immobilisasi. c. Sprain tingkat III yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terputusnya semua ligamentum , sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang

bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian, pembengkakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan gerakan yang abnormal. Terapi RICE yaitu dengan istirahat (rest) selama 36minggu, kompres es (ice) 15-30menit, balut tekan dengan bahan yg lunak

seperti kain (Compress), daerah yang cidera ditinggikan (elevate) dan Immobilisasi. Lalu dibawa kerumah sakit untuk dilakukan pembedahan agar mengembalikan fungsinya ( Giam & Teh, 1992). 3. Dislokasi a. Dislokasi congenital yaitu dislokasi yang terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan. b. Dislokasi patologik yaitu dislokasi akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. c. Dislokasi traumatic merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekelilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi 3 yaitu : 1) Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. 2) Dislokasi Kronik 3) Dislokasi Berulang : suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint (Arif Mansyur, dkk. 2000). D. Patofisiologi 1. Strain Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa

menghindarkan daerah sekitar cedera memar dan membengkak. 2. Sprain

Adalah kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan. 3. Dislokasi Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan . Humerus terdorong kedepan , merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadangkadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah, lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi di bawah karakoid). E. Pathway (terlampir) F. Manifestasi Klinik 1. Strain dan Sprain Ligamen menghubungkan tulang-tulang anda. Sprain terjadi saat ada ligamen yang tertarik diluar batas fleksibilitasnya atau bahkan tertarik sampai terobek. Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir. Gejala umum Sprain adalah rasa nyeri, bengkak dan memar di sekitar area yang terganggu, juga berkurangnya kemampuan gerak persendian tersebut. Mata kaki terkilir (ankle sprain) adalah tipe luka dalam Sprain yang paling umum. Sedangkan Strain terjadi saat ada otot (muscle) atau urat (tendon) yang tertarik diluar batas fleksibilitasnya atau bahkan terobek. Keseriusan kondisi Strain tergantung dari apakah luka dalamnya hanyalah urat yang tertarik, atau terobek sebagian, atau terobek seluruhnya. Strain ini dapat terjadi dalam seketika atau secara perlahan dalam jangka waktu tertentu. Luka dalam pada bagian paha atau punggung adalah yang paling umum terjadi. Strain akut (rasa nyeri lebih tajam dan intens, terasa nyeri pada posisi tertentu dan tenggang waktunya relatif pendek) biasanya disebabkan karena mengangkat beban

yang terlampau berat atau otot-otot mendapat tekanan yang berlebihan. Strain kronis (rasa nyeri lebih menyebar dan tenggang waktunya relatif panjang, terasa nyeri terus-menerus) biasanya disebabkan karena gerakan berulang yang dilakukan oleh otot atau urat sehingga otot atau urat tersebut terluka. Gejala umum Strain adalah rasa nyeri, gemetar dan rasa lemah pada bagian tubuh sekitar otot atau urat yang terluka, bengkak dan kram. 2. Dislokasi Manifestasi klinis yang paling jelas pada dislokasi adalah deformitas . sebagai contoh jika pinggul mengalami dislokasi maka sering ditemukan eksternal diputar di sisi yang terkena . manifestasi tambahan termasuk rasa sakit local , nyeri , hilangnya fungsi bagian yang cidera, dan pembengkakan jaringan lunak diderah sendi. Nyeri terasa hebat . Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula. Tanda dan gejala dislokasi traumatic adalah nyeri , perubahan kontur sendi , perubahan panjang ekstermitas, kehilangan mobilitas abnormal, dan perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi. G. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan penunjang untuk Strain dan Sprain adalah foto rontgen untuk membedakan dengan patah tulang. 2. Dislokasi a. Dengan cara pemeriksaan Sinar X ( pemeriksaan X-Rays ) pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid, Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi. b. Foto rontgen : Menentukan luasnya degenerasi dan mengesampingkan malignasi. c. Pemeriksaan radiologi : Tampak tulang lepas dari sendi. d. Pemeriksaan laboratorium untuk menilai apakah ada infeksi dengan peningkatan leukosit

H. Komplikasi 1. Strain dan Sprain : Strain dan sprain yang berulang dapat menyebabkan

Tendonitis dan Perioritis , dan perubahan patologi adanya inflasi serta dapat mengganggu/robeknya jaringan otot dan tendon dari intensitas ringan berat tergantung tipe strain yang didapatkan. Strain dapat mengakibatkan ptah tulang karena robeknya ligament , membuat tulang menjadi kaku dan mudah patah bila salah mobilisasi. 2. Dislokasi a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera sehingga pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut. b. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak. c. Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi. d. Dislokasi yang berulang : terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid. e. Kelemahan otot f. Fraktur dislokasi g. Kontraktur h. Trauma jaringan 3. Komplikasi Pemasangan Traksi a. Dekubitus b. Kongesti paru dan pneumonia c. Konstipasi d. Anoreksia e. Stasis dan infeksi kandung kemih f. Thrombosis vena dalam I. Manajemen Terapi 1. Strain dan Sprain : Terapi RICE yaitu dengan istirahat (rest) selama 3-6minggu, kompres es (ice) 15-30menit, balut tekan dengan bahan yg lunak seperti kain (Compress), daerah yang cidera ditinggikan (elevate) dan Immobilisasi. Jika tingkat cedera strain dan

sprain sudah derjat III maka langsung dibawa kerumah sakit untuk dilakukan pembedahan agar dapat mengembalikan fungsi anatomi normalnya. 2. Dislokasi a. Dislokasi reduksi yaitu dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat. b. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi. c. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. d. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi. e. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan. J. Penatalaksanaan medis 1. Strain a. Kemotherapi. Dengan analgetik seperti Aspirin (300 600 mg/hari) atau Acetaminofen (300 600 mg/hari). b. Elektromekanis. Penerapan dingin dikompres dengan kantong es. c. Pembalutan atau wrapping eksternal. d. Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit. e. Posisi ditinggikan atau diangkat. f. Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas. g. Latihan ROM : Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48 jam. h. Penyangga beban, dilakukan sampai dapat menggerakan bagian yang sakit. 2. Sprain a. Pembedahan. Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; penguranganpengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak. b. Kemotherapi. Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri

dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat. c. Elektromekanis. Penerapan dingin dikompres dengan kantong es. d. Pembalutan / wrapping eksternal. e. Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung). f. Posisi ditinggikan atau diangkat. g. Latihan ROM : Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan, latihan pelan pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit. h. Penyangga beban : Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit. 3. Dislokasi a. Lakukan reposisi segera. Dengan manipulasi secara hati-hati permukaan sendi diluruskan kembali. Tindakan ini sering dilakukan anestesi umum untuk melemaskan otot-ototnya. b. Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anestesi. Misalnya dislokasi jari ( pada fase shock ), dislokasi siku, dislokasi bahu. c. Dislokasi sendi besar. Misalnya panggul memerulukan anestesi umum. d. Fisioterapi harus segera mulai untuk mempertahankan fungsi otot dan latihan yang aktif dapat diawali secara dini untuk mendorong gerakan sendi yang penuh, khususnya pada sendi bahu. e. Tindakan pembedahan harus dilakukan bila terdapat tanda-tanda gangguan neumuskular yang berat/ jika tetap ada gangguan vaskuler setelah reposisi tertutup berhasil dilakukan secara lembut. Pembedahan terbukan mungkin diperlukan, khususnya kalau jaringan lunak terjepit diantara permukaan sendi. f. Persendian tersebut disangga dengan pembedahan, dengan pemasangan gips, misalnya pada sendi panngkal paha, untuk memberikan kesembuhan pada ligamentum yang teregang.

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1. Identitas klien a. Identitas klien berisi tentang : Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Suku, Agama, Alamat. b. Identitas penanggung jawab meliputi: Nama, Umur, Pendidikan, Pekerjaan , Suku, Agama, Alamat. c. Tanggal masuk RS, No. Medical Record dan Diagnosa Medis 2. Riwayat kesehatan a. Keluhan utama : Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan menurun. b. Riwayat penyakit sekarang : Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan menurun, konstipasi, diare, urine menurun. c. Riwayat penyakit dahulu : Edema, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia. d. Riwayat kesehatan keluarga : Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah kelahiran. 3. Pengkajian fungsional kesehatan Pada klien dengan nefrotik sindrom, hal yang perlu di kaji menurut 11 pola konseptual Gordon yang dikemukakan oleh Doengoes (2000) dan Carpenito (2001). a. Persepsi kesehatan Kaji pandangan klien/keluarga jika ada anggota keluarga yang sakit apa yang akan dilakukan, pengobatan apa yang akan diberikan. b. Pola nutrisi metabolic Tanyakan tentang pola makan klien sebelum dan selama sakit, kaji status nutrisi klien dengan, kaji input cairan klien selama 24 jam, dan kaji turgor kulit serta observasi adanya oedema anasarka.

c. Pola eliminasi Kaji pola bab dan bak klien sebelum sakit dan selama sakit.apakah terjadi perubahan pola berkemih seperti peningkatan frekuensi, proteinuria. d. Pola aktivitas Kaji tanda tanda vital terutama tekanan darah, kaji adanya tanda - tanda kelelahan, e. Kebutuhan istirahat tidur Kaji pola tidur klien sebelum dan selama sakit f. Pola persepsi kognitif Kaji kemampuan pancaindra klien, kaji pengetahuan klien tentang penyakit yang di deritanya. g. Pola persepsi diri Kaji persepsi diri klien meliputi body image, harga diri, peran diri, ideal diri, konsep diri. h. Pola hubungan sosial Kaji pola komunikasi klien terhadap keluarga, klien satu ruang, dan perawat. i. Pola seksualitas Kaji kebutuhan seksual klien j. Pola mekanisme koping Kaji bagaimana respon diri klien terhadap penyakit yang dideritanya k. Pola spiritual Kaji persepsi klien dilihat dari segi agama, apakah klien memahami bahwa penyakitnya adalah ujian dari Allah SWT. 4. Pemeriksaan fisik a. Strain dan sprain : Pemeriksan fisik mencakup kelemahan, ketidakmampuan penggunaan sendi, udema pada sprain, perubahan warna kulit, perdarahan, dan mati rasa.

b. Dislokasi : Pemeriksaan fisik sangat penting untuk menetukan lokasi dislokasi dan pengkajian yang lebis spesifik tentang nyeri, deformitas, dan fungsiolaesa, misalnya bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi bahu, perubahan kontur sendi pada ekstermitas yang mengalami dislokasi, perubahan panjang ektermitas, adanya lebampada dislokasi sendi. Keadaan fisik IPPA juga dikaji dengan melihat gangguan neurologis, apakah ada saraf yang terkena, pengkajian pada ektermitas atas dan bawah untuk menilai pergerakkannya. B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera pada jaringan lunak, pemasangan alat/traksi. 2. Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka: bedah permukaan; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret/immobilisasi fisik. 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler. 4. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus. 5. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan. 6. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi. C. Intervensi Keperawatan 1. Dx.1 Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera pada jaringan lunak, pemasangan alat/traksi. Tujuan: Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan. Kriteria Hasil: a. Klien menyatakan nyeri berkurang. b. Klien menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas terapetik sesuai indikasi untuk situasi individual. c. Edema berkurang/hilang. d. Tekanan darah normal. e. Tidak ada peningkatan nadi dan pernapasan. Intervensi:

1.1 Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya, dan intensitas (skala 0 10). Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal. Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk /keefektifan analgesic. 1.2 Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembeban, dan traksi. Rasional: Meminimalkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi

tulang/tegangan jaringan yang cedera. 1.3 Tinggikan dan sokong ekstremitas yang terkena. Rasional: Menurunkan aliran balik vena, menurunkan edema, dan rasa nyeri 1.4 Bantu pasien dalam melakukan gerakan pasif/aktif. Rasional: Mempertahankan kekuatan/mobilisasi otot yang sakit dan

memudahkan resolusi inflamasi otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang terkena. 1.5 Berikan alternatif tindakan kenyamanan (massage, perubahan posisi). Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot. 1.6 Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contohnya relaksasi progresif, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi dan sentuhan terapeutik. Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan dan kelelahan otot. 1.7 Lakukan kompres dingin/es selama 24-48 jam pertama dan sesuai indikasi. Rasional: Menurunkan udema/pembentukan hematoma, menurunkan sensasi nyeri. 1.8 Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik. Rasional: Diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.

2. Dx.2 Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka: bedah permukaan; pemasangan kawat, perubahan sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret/immobilisasi fisik. Tujuan: Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi. Kriteria Hasil: a. Penyembuhan luka sesuai waktu. b. Tidak ada laserasi, integritas kulit baik.

Intervensi: 2.1 Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna. Rasional: Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit dan masalah-masalah yang mungkin disebabkan oleh penggunaan traksi, terbentuknya edema. 2.2 Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat tidur yang kering dan bebas kerutan. Rasional: Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko abrasi/kerusakan kulit. 2.3 Rubah posisi selang seling sesuai indikasi. Rasional: Mengurangi penekanan yang terus-menerus pada posisi tertentu. 2.4 Gunakan bed matres/air matres. Rasional: Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh dan untuk anggota tubuh yang kurang gerak efektif untuk mencegah penurunan sirkulasi.

3. Dx.3 Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler. Tujuan: Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang. Kriteria Hasil: a. Klien akan meningkat/mempertahankan mobilitas pada tingkat

kenyamanan yang lebih tinggi. b. Klien mempertahankan posisi/fungsional. c. Klien meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh. d. Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas. Intervensi: 3.1 Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi. Rasional: Mengetahui persepsi diri pasien mengenai keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi dan menentukan informasi dalam meningkatkan kemajuan kesehatan pasien. 3.2 Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi dan pertahankan rangsang lingkungan.

Rasional:

Memberikan

kesempatan

untuk

mengeluarkan

energi,

memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial. 3.3 Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit. Rasional: Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan respon kalsium karena tidak digunakan. 3.4 Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah. Rasional: Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul. 3.5 Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan (contoh mandi dan mencukur). Rasional: Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan kontrol pasien dalam situasidan meningkatkan kesehatan diri langsung. 3.6 Berikan/bantu dalm mobilisasi dengan kursi roda, kruk dan tongkat sesegera mungkin. Instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilisasi. Rasional: Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (contoh flebitis) dan meningkatkanpenyembuhan dan normalisasi fungsi organ. 3.7 Awasi TD dengan melakukan aktivitas dan perhatikan keluhan pusing. Rasional: Hipotensi postural adalah masalah umum menyertai tirah baring lama dan dapat memerlukan intervensi khusus. 3.8 Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam. Rasional: Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/pernapasan (contoh dekubitus, atelektasis dan pneumonia). 3.9 Auskultasi bising usus. Rasional: Tirah baring, pengguanaan analgetik dan perubahan dalam kebiasaan diet dapat memperlambat peristaltik dan menghasilkan konstipasi. 3.10 Dorong penigkatan masukan cairan sanpai 2000-3000 ml/hari. Rasional: Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan resiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi. 3.11 Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabilitasi spesialis. Rasional: Berguna dalan membuat aktivitas individual/program latihan.

4. Dx.4 Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus. Tujuan: Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi. Kriteria Hasil: a. Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan terabanya pulsasi. b. Kulit hangat dan kering. c. Perabaan normal. d. Tanda vital stabil. e. Urine output yang adekuat Intervensi : 4.1 Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian distal dari fraktur. Rasional: Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan rasa dapat normal terjadi dengan adanya syndrome comfartemen syndrome karena sirkulasi permukaan sering kali tidak sesuai. 4.2 Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik/fungsi sensorik. Rasional: Lemahnya rasa/kebal, meningkatnya penyebaran rasa sakit terjadi ketika sirkulasi kesaraf tidak adekuat atau adanya trauma pada syaraf. 4.3 Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki. Rasional: Panjang dan posisi syaraf peritoneal meningkatkan resiko terjadinya injuri dengan adanya fraktur di kaki, edema/comfartemen syndrome/malposisi dari peralatan traksi. 4.4 Monitor posisi/lokasi ring penyangga bidai. Rasional: Peralatan traksi dapat menekan pembuluh darah/syaraf, khususnya di aksila dapat menyebabkan iskemik dan luka permanen. 4.5 Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis umum, kulit dingin, perubahan mental. Rasional: Inadekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan. 4.6 Pertahankan elevasi dari ekstremitas yang cedera jika tidak kontraindikasi dengan adanya compartemen syndrome.

Rasional: Mencegah aliran vena/mengurangi edema.

5. Dx.5 Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan. Tujuan: Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual. Kriteria Hasil: a. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu. b. Bebas drainase purulen, eritema dan demam. c. Tidak ada tanda-tanda infeksi. Intervensi: 5.1 Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan kontinuitas. Rasional: Pen atau kawat yang dipasang masuik melalui kulit dapat memungkinkan terjadinya infeksi tulang. 5.2 Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa terbakar atau adanya edema, eritema, drainase/bau tak enak. Rasional: Dapat mengindikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan dan dapat menimbulkan osteomielitis. 5.3 Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan. Rasional: Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi. 5.4 Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tak enak/asam. Rasional: Tanda perkiraan infeksi gangren. 5.5 Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara. Rasional: Kekakuan otot, spasme tonik otot rahang dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus. 5.6 Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan oedema lokal/eritema ektremitas cedera. Rasional: Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis. 5.7 Lakukan prosedur isolasi. Rasional: Adanya drainase purulen akan memerlukan kewaspadaan luka/linen untuk mencegah kontaminasi silang. 5.8 Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotik IV/topikal dan Tetanus toksoid.

Rasional: Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada mikroorganisme khusus.

6. Dx.6 Kurang pengetahuan tentang kondisi

dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kurang informasi, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi. Tujuan: Pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga bertambah. Kriteria Hasil: a. Menyatakan pehaman kondisi, prognosis dan pengobatan. b. Melakukan dengan benar prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan tindakan. Intervensi: 6.1 Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang. Rasional: Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi. 6.2 Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila diindikasikan. Rasional: Banyak fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses penyembuhan. Kerusakan lanjut dan pelambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap ketidak tepatan pengguanaan alat ambulasi. 6.3 Buat daftar aktivitas dimana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang memerlukan bantuan. Rasional: Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan dan yang memerlukan bantuan. 6.4 Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dab di bawah fraktur. Rasional: Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot, meningkatkan kembalinya aktivitas sehari-hari secara dini. 6.5 Diskusikan pentingnya perjanjian evaluasi klinis. Rasional: Penyembuhan fraktur memerlukan waktu tahunan untuk sembuh lengkap dan kerjasama pasien dalam program pengobatan membantu untuk penyatuan yang tepat dari tulang.

6.6 Informasikan pasien bahwa otot dapat tampak lembek dan atrofi (massa ototkurang). Anjurkan untuk memberikan sokongan pada sendi di atas dan di bawah bagian yang sakit dan gunakan alat bantu mobilitas, contoh verban elastis, bebat, penahan, kruk, walker atau tongkat. Rasional: Kekuatan otot akan menurun dan rasa sakit yang baru dan nyeri sementara sekunder terhadap kehilangan dukungan. (Ardinata, 2012). D. Implementasi Setelah rencana keperawatan di susun, maka rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus terperinci sehingga dapat diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan baik dan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Implementasi ini juga dilakukan oleh si pembuat rencana keperawatan dan di dalam pelaksanaan keperawatan itu kita harus menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia yang unik. E. Evaluasi Evaluasi adalah hasil akhir dari proses keperawatan dilakukan untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan tindakan yang diberikan sehingga dapat menentukan intervensi yang akan dilanjutkan.

DAFTAR PUSTAKA

Smelzer,Suzanne.C,2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.Ed 8.Jakarta;EGC Doenges,Marlyn.E.1999.rencana asuhan keperawatan.Ed 3.Jakarta;EGC Rachmadi, Agus. 1993. Perawatan Gangguan Sistem Muskuloskeletal.Penerbit : AKPER Depkes, Banjarbaru.

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit : EGC, Jakarta.

Nurachman, Elly. 1989. Buku Saku Prosedur Keperawatan Medical Bedah. Penerbit : EGC, Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall. 1999. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8 . Penerbit : EGC, Jakarta. Arif Mansyur, dkk. 2000 . Sprain, Strain dan Dislokasi (online) diakses pada tanggal 1 mei 2012. http://www.scribd.com/ardinataaa/d/49528746FRAKTUR-DAN-DISLOKASI. Smelzer,Suzanne.C,2001. Askep Strain dan Sprain (online) diakses pada 1 mei 2012. http://dara2001.wordpress.com/2010/01/14/askep-pada-klien-dengan-sprain/ Smelzer,Suzanne.C,2001. Manifestasi Klinis Strain , Sprain, dan Dislokasi (online) diakses pada 1 Mei 2012. http://www.scribd.com/doc/52302577/27/fManifestasi-klinis

You might also like