You are on page 1of 301

KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2006

KARAKTERISTIK DAN PENGELOLAAN LAHAN RAWA

PENGARAH : Irsal Las PENYUNTING : Didi Ardi S. Undang Kurnia Mamat H.S. Wiwik Hartatik Diah Setyorini REDAKSI PELAKSANA : Karmini Gandasasmita Suwarto Widhya Adhy Sukmara

Diterbitkan oleh : BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Telp 0251-323012, Fax. 0251-311256 e-mail : csar@indosat.net.id http://www.soil-climate.or.id Edisi pertama tahun 2006 ISBN 979-9474-52-3

KATA PENGANTAR
Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun demikian, ekosistem rawa, secara alami bersifat rapuh (fragile) oleh sebab itu dalam memanfaatkan lahan rawa dengan produktivitas optimal dan berkelanjutan, diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui berbagai lembaga penelitian dan kegiatan, terutama yang dikoordinasikan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian telah mengidentifikasi karakteristik lahan rawa tersebut secara komprehensif dan menemukan berbagai inovasi teknologi untuk mengatasi masalah yang ada, sehingga pemanfaatannya optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, serta penggunaan varietas yang adaptif merupakan beberapa hasil penelitian yang telah terbukti sangat beperan dalam meningkatkan produktivitas lahan rawa. Untuk menyebarluaskan hasil yang telah diperoleh, supaya dapat dimanfaatkan masyarakat luas, maka hasil itu kami rangkum di dalam terbitan ini. Buku Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa ini memuat informasi tentang lahan rawa di Indonesia secara komprehensif mulai dari lahan rawa secara umum, rawa pasang surut, dan rawa lebak, sampai teknologi pengelolaan lahan sulfat masam dan gambut, pemanfaatan lahan rawa lebak, sumberdaya hayati pertanian, konservasi dan rehabilitasi lahan rawa, dan usaha agribisnis di lahan rawa pasang surut. Sehingga, diharapkan bisa digunakan sebagai acuan bagi berbagai usaha praktis, di dalam pengelolaan maupun penelitian lanjutan, untuk menemukan teknologi pemanfaatan lahan rawa yang lebih efektif dan efisien. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terbitnya buku ini, saya sampaikan terima kasih. Bogor, Desember 2006 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Dr. Ir. Achmad Suryana, MS

DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................... I. KLASIFIKASI DAN PENYEBARAN LAHAN RAWA ......................... Subagyo H. i iii 1 23 99 117 151 181 203 229 275

II. LAHAN RAWA PASANG SURUT ...................................................... Subagyo H. III. LAHAN RAWA LEBAK ....................................................................... Subagyo H. IV. TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM .............. Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini V. TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT ................. Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta VI. TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK ................... Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza VII. SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA ..................... Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani VIII. KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA ....................... Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri IX. USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT ............ Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah

iii

KLASIFIKASI DAN PENYEBARANLAHAN RAWA


Subagyo H.

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

1.1. PENGERTIAN Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam pustaka, lahan rawa sering disebut dengan berbagai istilah, seperti swamp, marsh, bog dan fen, masing-masing mempunyai arti yang berbeda. Swamp adalah istilah umum untuk rawa, digunakan untuk menyatakan wilayah lahan, atau area yang secara permanen selalu jenuh air, permukaan air tanahnya dangkal, atau tergenang air dangkal hampir sepanjang waktu dalam setahun. Air umumnya tidak bergerak, atau tidak mengalir (stagnant), dan bagian dasar tanah berupa lumpur. Dalam kondisi alami, swamp ditumbuhi oleh berbagai vegetasi dari jenis semak-semak sampai pohon-pohonan, dan di daerah tropika biasanya berupa hutan rawa atau hutan gambut. Marsh adalah rawa yang genangan airnya bersifat tidak permanen, namun mengalami genangan banjir dari sungai atau air pasang dari laut secara periodik, dimana debu dan liat sebagai muatan sedimen sungai seringkali diendapkan. Tanahnya selalu jenuh air, dengan genangan relatif dangkal. Marsh biasanya ditumbuhi berbagai tumbuhan akuatik, atau hidrofitik, berupa reeds (tumbuhan air sejenis gelagah, buluh atau rumputan tinggi, seperti Phragmites sp.), sedges (sejenis rumput rawa berbatang padat, tidak berbuluh, seperti famili Cyperaceae), dan rushes (sejenis rumput rawa, seperti purun, atau mendong, dari famili Juncaceae, yang batangnya dapat dianyam menjadi tikar, topi, atau keranjang). Marsh dibedakan menjadi "rawa pantai" (coastal marsh, atau saltwater marsh), dan "rawa pedalaman" (inland marsh, atau fresh water marsh) (SSSA, 1984; Monkhouse dan Small, 1978). Bog adalah rawa yang tergenang air dangkal, dimana permukaan tanahnya tertutup lapisan vegetasi yang melapuk, khususnya lumut spaghnum sebagai vegetasi dominan, yang menghasilkan lapisan gambut (ber-reaksi) masam. Ada dua macam bog, yaitu "blanket bog, dan "raised bog. Blanket bog adalah rawa yang terbentuk karena kondisi curah hujan tinggi, membentuk deposit gambut tersusun dari lumut spaghnum, menutupi tanah seperti selimut pada permukaan lahan yang relatif rata. Raised bog adalah akumulasi gambut masam yang tebal, disebut hochmoor", yang dapat mencapai ketebalan 5 meter, dan membentuk lapisan (gambut) berbentuk lensa pada suatu cekungan dangkal.

Subagyo

Fed adalah rawa yang tanahnya jenuh air, ditumbuhi rumputan rawa sejenis reeds, sedges, dan rushes, tetapi air tanahnya ber-reaksi alkalis, biasanya mengandung kapur (CaCO3), atau netral. Umumnya membentuk lapisan gambut subur yang ber-reaksi netral, yang disebut laagveen atau lowmoor. Lahan rawa merupakan lahan basah, atau wetland, yang menurut definisi Ramsar Convention mencakup wilayah marsh, fen, lahan gambut (peatland), atau air, baik terbentuk secara alami atau buatan, dengan air yang tidak bergerak (static) atau mengalir, baik air tawar, payau, maupun air asin, termasuk juga wilayah laut yang kedalaman airnya, pada keadaan surut terendah tidak melebihi enam meter (Wibowo dan Suyatno, 1997). Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum dibuka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges, dan rushes), vegetasi semak maupun kayukayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal. 1.2. KLASIFIKASI WILAYAH RAWA Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau. Mereka tersebar di dataran rendah, dataran berketinggian sedang, dan dataran tinggi. Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Pada kedua wilayah terakhir ini, karena posisinya bersambungan dengan laut terbuka, pengaruh pasang surut dari laut sangat dominan. Di bagian muara sungai dekat laut, pengaruh pasang surut sangat dominan, dan ke arah hulu atau daratan, pengaruhnya semakin berkurang sejalan dengan semakin jauhnya jarak dari laut. Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh Widjaja-Adhi et al. (1992), dan agak mendetail oleh Subagyo (1997). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah: Zona I Zona II Zona Ill : Wilayah rawa pasang surut air asin/payau : Wilayah rawa pasang surut air tawar : Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut

1.2.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulau-pulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Di bagian pantai yang terbuka ke laut lepas, apabila pesisir pantainya berpasir halus, dan ombak langsung mencapai garis pantai, oleh pengaruh energi ombak dan angin biasanya terbentuk beting pasir pantai (coastal dunes/ridges), yang di belakangnya terdapat semacam danau-danau sempit yang disebut laguna (lagoons). Wilayah di belakang laguna, merupakan jalur yang ditumbuhi hutan bakau atau mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.), dan masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks). Di belakang hutan mangrove, terdapat jalur wilayah yang dipengaruhi oleh air payau (brackish water), dan ditumbuhi vegetasi nipah (Nipa fruticans). Di belakang hutan nipah, terdapat landform rawa belakang (backswamp) yang dipengaruhi oleh air tawar (fresh water).

Subagyo

Gambar 1.1. Pembagian zona lahan rawa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) bagian bawah dan tengah

Selanjutnya lebih jauh ke arah daratan, pada landform cekungan/depresi, ditempati oleh hutan rawa dan gambut air tawar (fresh-water swamp and peat forests). Di bagian estuari atau teluk yang terlindung dari hantaman ombak langsung, atau di bagian pantai yang terlindung gosong pasir (sand spits), pada bagian paling depan terdapat dataran lumpur tidak bervegetasi, yang terbenam di

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

bawah air laut sewaktu air pasang, tetapi terlihat muncul sebagai daratan sewaktu air surut. Dataran berlumpur ini disebut tidal flats, atau mudflats. Pada bagian daratan yang sedikit lebih tinggi letaknya, yang sebagian atau seluruhnya masih digenangi air pasang, disebut tidal marsh (rawa pasang surut), atau "salt marsh (rawa dipengaruhi air garam). Di bagian terluar yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, biasanya didominasi oleh vegetasi rambai (Sonneratia sp.), api-api (Avicennia sp.), dan jeruju (Acanthus licifolius), dan di belakangnya ke arah daratan ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove, dengan tumbuhan bawah buta-buta (Excoecaria agallocha), dan pial (Acrostichum aureum). Jalur bakau ini lebarnya beragam dan dapat mencapai 1,5-2 km ke arah darat. Wilayah di belakang hutan mangrove, masih dipengaruhi oleh air pasang melalui sungai-sungai kecil, namun sudah ada pengaruh air tawar dari hutan rawa pantai lebih ke darat. Bagian yang dipengaruhi oleh air payau ini, didominasi oleh nipah bersama panggang (Araliceae) dan pedada (Sonneratia acida), membentuk jalur hutan nipah yang lebarnya dapat mencapai 500 m. Di belakang jalur hutan nipah terdapat landform rawa belakang yang sudah dipengaruhi oleh air tawar. Di rawa delta Pulau Petak, wilayah rawa belakang ini, umumnya didominasi pohon gelam (Melaleuca leucadendron). Lebih jauh ke arah daratan, pada sub-landform cekungan/ depresi ditempati hutan rawa dan gambut air tawar. Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garamgaram yang tinggi, dikatagorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian. Berapa jauh zona I wilayah pasang surut air asin/payau masuk ke arah hulu dari muara sungai, tergantung dari bentuk estuari, yaitu bagian muara sungai yang melebar berbentuk V ke arah laut, dimana gerakan air pasang dan surut terjadi. Jika bentuk estuari lebar dan lurus, pengaruh air asin/salin dapat mencapai sekitar 10-20 km dari mulut/muara sungai besar. Namun, apabila relatif sempit dan sungai berkelok, pengaruh air asin/salin hanya mencapai jarak 5-10 km dari muara sungai. Sementara dari laut/ sungai ke arah daratan Pulau Delta,

Subagyo

atau ke arah wilayah pinggiran sungai, jarak masuknya air pasang dapat mencapai sekitar 4-5 km. 1.2.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungaI. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai. Di daerah tropika yang beriklim munson, yang dicirikan oleh adanya musim hujan dan musim kemarau, di musim hujan ditandai oleh volume air sungai yang meningkat, berakibat bertambah besarnya pengaruh air pasang ke daratan kirikanan sungai besar, dan bertambah jauh jarak jangkauan air pasang ke arah hulu. Limpahan banjir sungai selama musim hujan yang dibawa air pasang, mengendapkan fraksi debu dan pasir halus ke pinggir sungai. Pengendapan bahan halus yang terjadi secara periodik selama ber-abad-abad akhirnya membentuk (landform) tanggul sungai alam (natural levee), yang jelas terlihat ke arah hulu dan makin tidak jelas terbentuk, karena pengaruh pasang surut, ke arah hilir dan di muara sungai besar. Di antara dua sungai besar, ke arah belakang tanggul sungai, tanah secara berangsur atau secara mendadak menurun ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi tanah gambut. Ke bagian tengah, lapisan gambut semakin tebal/dalam dan akhirnya membentuk kubah gambut (peat dome). Bagian yang menurun tanahnya di antara tanggul sungai dan depresi/kubah gambut disebut (sublandform) rawa belakang (backswamp). Di musim kemarau, pada saat volume air sungai relatif tetap atau malahan berkurang, pengaruh air asin/salin dapat merambat sepanjang sungai sampai jauh ke pedalaman. Pada bulan-bulan terkering, Juli-September, pengaruh air asin/salin di sungai dapat mencapai jarak sejauh 40-90 km dari muara sungai.

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Di sinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. Jarak zona II dari pantai, tergantung dari bentuk dan lebar estuari di mulut/muara sungai dan kelak-kelok sungai dapat mencapai sekitar 100-150 km dari pantai. Sebagai contoh, kota Palembang di tepi S. Musi, pengaruh pasang surut masih terasa, tetapi relatif sudah sangat lemah, berjarak sekitar 105 km dari pantai. Di muara Anjir Talaran di dekat kota Marabahan di Sungai Barito, Provinsi Kalimantan Selatan, yang berjarak (garis lurus) sekitar 65 km dari muara, pasang surut relatif masih agak kuat. Pencapaian air pasang di musim hujan dan air asin di musim kemarau pada tiga sungai besar di Sumatera adalah S. Rokan: 48 dan 60 km, S. Inderagiri: 146 dan 86 km, dan S. Musi 108 dan 42 km dari muara sungai. Di Kalimantan, S. Kapuas Besar: 150 dan 24 km, S. Kahayan 125 dan 65 km, dan S. Barito 158 dan 68 km dari muara sungai. Di Papua, S. Mamberamo: 30 dan 8 km, S. Lorenz (pantai selatan, barat Agats) 103 dan 63 km, dan S. Digul (barat Merauke) 272 dan 58 km dari muara sungai (Nedeco/Euroconsult-Biec,1984). 1.2.3. Zona III: Wilayah rawa lebak, atau rawa non-pasang surut Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungai-sungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander (meandering floodplains), termasuk bekas aliran sungai tua (old river beds), dan wilayah danau oxbow (oxbow lakes) pada sungai-sungai besar yang lebih tua perkembangannya. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan

Subagyo

"berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas. Tergantung dari letak dan posisi lahan di landscape, genangan dapat berlangsung dari sekitar satu bulan sampai lebih dari enam bulan. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau berikutnya. 1.3. PENYEBARAN DAN LUAS LAHAN RAWA 1.3.1. Penyebaran lahan rawa Sumberdaya lahan rawa di Indonesia, sebagai salah satu pilihan lahan pertanian di masa depan, secara dominan terdapat di empat pulau besar di luar Jawa, yaitu Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta sebagian kecil di Pulau Sulawesi. Penyebaran lahan rawa, berikut tanah gambut diilustrasikan pada Gambar 1.2. Di Sumatera, penyebaran lahan rawa secara dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, terutama di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi, serta dijumpai lebih sempit di Provinsi Sumatera Utara dan Lampung. Di pantai barat, lahan rawa menempati dataran pantai sempit, terutama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sekitar Meulaboh dan Tapaktuan), Sumatera Barat (Rawa Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan), dan Bengkulu (selatan kota Bengkulu). Di Kalimantan, penyebaran lahan rawa yang dominan terdapat di dataran rendah sepanjang pantai barat, termasuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat; pantai selatan, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kalimantan Selatan; serta pantai timur dan timur laut, dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Penyebaran rawa lebak yang cukup luas, terdapat di daerah hulu Sungai Kapuas Besar, sebelah barat Putussibau, Kalimantan Barat, serta di sekitar Danau Semayang dan Melintang, sekitar Kotabangun, di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian tengah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Gambar 1.2. Peta penyebaran lahan rawa dan lahan gambut di Indonesia

10

Subagyo

Di Papua, penyebaran lahan rawa yang terluas terdapat di dataran rendah sepanjang pantai selatan, termasuk wilayah Kabupaten Fakfak, dan pantai tenggara dalam wilayah Kabupaten Merauke. Kemudian di daerah Kepala Burung, di sekeliling Teluk Berau-Bintuni, dalam wilayah Kabupaten Manokwari dan Sorong. Selanjutnya di sepanjang dataran pantai utara, memanjang dari sekitar Nabire (Kabupaten Paniai) sampai Sarmi (Kabupaten Jayawijaya). Penyebaran lahan rawa lebak yang cukup luas terdapat di lembah Sungai Mamberamo, yang terletak hampir di bagian tengah pulau. Di Sulawesi, penyebaran lahan rawa relatif tidak luas, dan terdapat setempat-setempat di dataran pantai yang sempit. Lahn rawa yang relatif agak luas ditemukan di pantai barat-daya kota Palu, dalam wilayah Kabupaten Mamuju, kemudian di sekitar Teluk Bone, sepanjang pantai timur-Iaut Palopo, dan sedikit di pantai selatan Kabupaten Toli-toli di sekitar Teluk Tomini. 1.3.2. Luas lahan rawa Belum seluruh wilayah lahan rawa di Indonesia diteliti cukup intensif. Dari ketiga pulau besar, Sumatera, Kalimantan, dan Papua, hanya lahan rawa pasang surut di pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung) telah banyak diteliti dan dipetakan tanahnya antara tahun 1969-1980 dalam rangka pelaksanaan P4S (Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut), Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (sekarang, Departemen Kimpraswil). Seluruh wilayah Pulau Sumatera, termasuk wilayah lahan rawanya, kemudian dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau oleh proyek LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project) Pusat Penelitian Tanah (sekarang Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian), antara tahun 1986-1990. Di Kalimantan, lahan rawa di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan banyak memperoleh perhatian selama pelaksanaan P4S. Di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah pulau-pulau delta di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, dan Ambawang, di sebelah selatan kota Pontianak, seperti Rasau Jaya, Pinang luar, dan Air Putih. Di Kalimantan Tengah di wilayah pulau delta pada aliran bawah Sungai Kahayan, antara S. Kahayan dan Kapuas, seperti Pangkoh, Tamban luar, dan Berengbengkel. Di

11

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Kalimantan Selatan, sebagian besar penelitian dikonsentrasikan di wilayah Delta Pulau Petak, seperti di Barambai, Jelapat, dan Belawang. Selanjutnya penelitian wilayah lahan rawa terakhir, dilakukan antara tahun 1996-1998, yaitu pada wilayah rawa antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuas-Kapuasmurung yang diteliti dalam rangka pelaksanaan proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar) di wilayah tersebut. Di Papua, baru wilayah di sekitar Merauke, yakni daerah S. DigulKabupaten Merauke, dan daerah S. Digul-Pantai Kasuari, seluas 3,7 juta ha sudah dipetakan pada tingkat tinjau oleh Pusat Penelitian Tanah untuk pengembangan wilayah di tempat tersebut (Puslittan, 1985, 1986). Wilayah rawa lainnya, seperti di sekitar Teluk Berau-Bintuni, dan di pantai utara pulau antara Nabire dan Sarmi belum pernah diteliti tanahnya. Tim peneliti Nedeco/Euroconsult-Biec yang melakukan Nationwide study of coastal and near coastal swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya pada tahun 19821984, diperkirakan pernah meneliti sebagian lahan rawa, khususnya di pantai selatan Pulau Papua ini. Selama pelaksanaan P4S antara tahun 1969-1984, lahan rawa di Papua belum sempat tertangani oleh pemerintah pusat. Oleh karena tidak lengkapnya data dan informasi lahan rawa, maka data luas lahan rawa di Indonesia belum dapat ditentukan secara lebih pasti dan akurat. Luas lahan rawa masih bersifat perkiraan, dan estimasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti atau instansi lain, menunjukkan luas lahan rawa yang bervariasi, seperti terlihat pada Tabel 1.1. Data luas lahan rawa pertama kali dikemukakan oleh Mulyadi (1977), yaitu sekitar 39,42 juta ha, sudah termasuk lahan rawa lebak. Data ini kemudian digunakan oleh Direktorat Rawa, Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Rawa, 1992; Sugeng, 1992) untuk perencanaan pengembangan lahan rawa. Sementara itu, Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) bekerja sama dengan Direktorat Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan studi nasional lahan pantai di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), tidak termasuk pulau Sulawesi, memperoleh luas lahan rawa di ketiga pulau tersebut sebesar 23,5 juta ha. Hasil penelitian ini, diuraikan agak mendetail, disajikan pada Lampiran 1.1. Berdasarkan peta-peta laporan akhir studi tersebut, Nedeco/Euroconsult-Biec tampaknya tidak memasukkan penyebaran lahan rawa lebak.

12

Subagyo

Tabel 1.1. Estimasi luas lahan rawa di Indonesia


Lahan rawa Sumber data Pulau Tanah Tanah Rawa lebak Total gambut mineral ha ... 16.349.865 13.211.000 12.764.000 12.980.500 469.000 39.424.500 4.200.150 3.156.000 1.906.500 tad 9.262.650 6.407.750 5.352.500 3.129.750 14.890.000 4.798.000 4.674.800 1.284.250 145.500 10.902.550 6.590.345 4.447.523 2.011.780 127.744 24.885 13.302.276 4.742.790 3.872.350 5.872.000 tad 14.487.140 6.804.511 5.645.323 9.866.000 1.115.814 775.500 24.207.148 1.806.000 3.452.100 2.932.690 1.039.450 9.230.240 5.862.806 5.259.973 8.293.251 1.212.677 478.975 21.107.682 2.786.000 3.580.500 6.305.770 608.500 13.280.770 8.942.940 7.028.350 7.778.500 23.749.790 13.212.261 10.997.823 12.995.750 1.115.814 775.500 39.097.148 9.390.000 11.707.400 10.522.710 1.793.450 33.413.560 12.453.151 9.707.496 10.305.031 1.340.421 503.860 34.309.958

Polak, 1952 Mulyadi, 1977

Indonesia Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Total Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Total Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Maluku Total Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Total Sumatera Kalimantan Papua Sulawesi Maluku Total

Nedeco/EuroconsultBiec, 1984

Subagyo et al., 1990

Nugroho et al., 1991

Puslittanak, 2000

Catatan: - Data Polak (1952) hanya menyebutkan total luas tanah gambut di Indonesia. - Data Mulyadi (1977) hanya menyebutkan luas lahan rawa di setiap pulau. - Data Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), tidak memperhitungkan luas rawa lebak. Pulau Sulawesi tidak termasuk diteliti; tad = tidak ada data. - Data Subagyo et al. (1990) diolah kembali; luas lahan basah (wetsoils) yang ada dikurangi luas lahan sawah (BPS, 2000). Data Subagyo et al. (1990) dan Puslittanak (2000), sudah termasuk lahan rawa lebak.

13

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Selanjutnya, Subagyo et al. (1990) dalam Studi ''wetsoils" di Indonesia, memperoleh luas lahan basah, termasuk lahan sawah di empat pulau besar plus Maluku sebesar 43.124.250 ha. Apabila dikurangi luas lahan sawah di lima pulau/kepulauan tersebut, seluas 4.027.102 ha (data BPS, 2000), maka diperoleh luas lahan rawa seluas 39.097.148 ha. Studi yang lebih mendetail dilakukan Nugroho et al. (1991) untuk menentukan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai di Indonesia. Dengan menggunakan peta dasar "Tactical Ploatage Chart" (TPC) berskala 1:500.000 yang berjumlah 49 lembar, dan berbagai sumber informasi, utamanya dari Nedeco/Euroconsult-Biec (1984), peta-peta satuan lahan dan tanah P. Sumatera dan LREP-I 1990, peta-peta sistem lahan dan RePPProT 1991, dan berbagai peta tanah dari dokumentasi Puslittanah dan Agroklimat, diperoleh luas lahan rawa 33.413.560 ha. Hasil penelitiannya, yang dilakukan berdasarkan tipologi lahan diuraikan agak mendetail dan disajikan pada Lampiran 1.2. Berdasarkan studi ini, luas lahan rawa seluruhnya adalah 33,41 juta ha, yang terbagi ke dalam lahan rawa lebak seluas 13,28 juta ha, dan lahan rawa pasang surut 20,13 juta ha. Lahan pasang surut sendiri tersusun dari lima tipologi lahan, yaitu lahan/tanah gambut sekitar 10,90 juta ha, lahan potensial 2,07 juta ha, lahan sulfat masam potensial 4,34 juta ha, sulfat masam aktual 2,37 juta ha, dan lahan salin sekitar 0,44 juta ha. Berdasarkan data pada Lampiran 1.2, terasa sulit untuk menentukan secara pasti berapa luas sebenarnya masing-masing tipologi lahan, karena adanya bermacam-macam asosiasi antar berbagai tipologi lahan. Data dari studi Nugroho et al. (1991) yang relatif komprehensif ini, kemudian dijadikan semacam "angka resmi" luas lahan rawa di Indonesia, dan digunakan oleh berbagai instansi dan proyek, seperti oleh Departemen Kimpraswil (Ditjen Pengairan-Dep. PU, 1998), Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (Balittra) Banjarbaru-Kalimantan Selatan (Alihamsyah, 2001), dan beberapa proyek pengembangan lahan rawa Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian, seperti proyek SWAMPS-II 1985-1994, ISOP (Integrated

14

Subagyo

Swamp Development Project) 1994-2000, dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) 1997-2000. Sementara itu, berdasarkan sebaran jenis tanah dari Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000), luas lahan rawa sudah termasuk lahan rawa lebak, dapat dihitung, dan diperoleh luas 34,31 juta ha, terdiri atas lahan/tanah gambut 13,20 juta ha, dan tanah mineral basah 21,11 juta ha. Rincian luas lahan rawa berdasarkan jenis tanah, disajikan pada Lampiran 1.3. Berdasarkan keempat penelitian terakhir (Tabel 1.1) agak sulit menentukan berapa angka yang dipilih untuk luas lahan rawa di Indonesia. Studi Nedeco/Euroconsult-Biec (1984) menunjukkan luas lahan rawa tidak termasuk lahan lebak, di tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan, dan Papua) sebesar 23,75 juta ha. Seandainya data dari Nugroho et al. (1991) untuk lahan rawa di P. Sulawesi (1,79 juta ha), dan rawa lebak di tiga pulau besar (12,67 juta ha) ditambahkan, maka luas lahan rawa seluruhnya akan mencapai 38,22 juta ha. Sementara itu, data luas lahan gambut juga berbeda, estimasi terendah berkisar antara 9,26-10,90 juta, dan yang lebih tinggi antara 13,20-14,89 juta ha. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan data pada Tabel 1.1, adalah bahwa luas lahan rawa di Indonesia sekitar 33,41-39,10 juta ha, dengan Iuas rawa pasang surut sekitar 20,13-25,82 juta ha, dan lahan rawa lebak sekitar 13,28 juta ha. Luas lahan/tanah gambut berdasarkan estimasi rendah antara 9,26-14,89 juta ha, dan estimasi lebih tinggi sekitar 13,20-14,89 juta ha. Luas total lahan gambut yang pada awalnya (sebelum reklamasi tahun 1970-an) sekitar 16,35 juta ha, namun setelah reklamasi ekstensif selama Pelita I-III (19691984) yang diikuti oleh pembukaan oleh masyarakat setempat/pemukim spontan pada tahun-tahun sesudahnya, luasnya dewasa ini telah menyusut menjadi sekitar 13-14 juta ha (Subagyo, 2002). Penyebaran lahan rawa diurutkan dari yang terluas, terdapat di Sumatera, Papua, dan Kalimantan, serta Sulawesi.

15

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

PENUTUP Dari ketiga zona wilayah rawa, ditinjau dari kegunaannya untuk pertanian, yang paling potensial sebenarnya lahan rawa lebak, kemudian lahan rawa pasang surut air tawar, dan terakhir lahan rawa pasang surut air asin/payau. Dalam pembicaraan sehari-hari yang menyangkut potensi lahan rawa untuk pertanian, sering kali kata rawa, air tawar, dan air asin/payau dihilangkan, sehingga hanya dikenal, lahan lebak, lahan pasang surut, dan lahan salin. Lahan rawa secara keseluruhan masih tetap disebut lahan rawa, atau swampland, dan termasuk dalam kelompok lahan basah, atau wetlands. Ditinjau dari keluasannya, lahan pasang surut adalah paling dominan, diikuti oleh lahan lebak, kemudian lahan pasang surut air asin/payau yang karena kandungan garamnya relatif tinggi, atau salinitasnya tinggi, disebut lahan salin. Lahan salin ini, karena kendala kandungan garam yang tinggi dengan reaksi tanah netral sampai agak alkalis (pH 7,0-8,4), tidak cocok untuk budidaya tanaman pertanian, sehingga umumnya tidak di reklamasi atau dibuka untuk persawahan dan pemukiman. Pilihan penggunaan yang lebih sesuai adalah untuk budidaya tambak, atau tetap dipertahankan keberadaannya sebagai wilayah konservasi alam, untuk tujuan pengamanan sumberdaya hayati dan plasma nutfah, ekologi, dan lingkungan hidup. Sementara itu, yang paling luas di reklamasi selama pembukaan wilayah pasang surut secara besar-besaran, sekitar 1970-1984, adalah lahan pasang surut di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Lampung), dan Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan), serta sedikit di Provinsi Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Lahan pasang surut di Pulau Papua (Irian Jaya), karena begitu besarnya volume pekerjaan reklamasi di Sumatera dan Kalimantan, belum sempat tertangani oleh pemerintah, walaupun 2-3 survei pendahuluan telah dilakukan pada lahan rawa di wilayah pantai bagian selatan pulau. Sampai awal tahun 1998, menurut data Dirjen Pengairan Departemen PU (sekarang Kimpraswil), reklamasi lahan rawa seluruhnya mencapai 5,39 juta ha. Khusus untuk lahan pasang surut telah direklamasi 3,84 juta ha, yang terdiri atas 0,94 juta ha oleh pemerintah dan 2,90 juta ha oleh swadaya masyarakat.

16

Subagyo

Lahan pasang surut yang dianggap memiliki potensi dan prospek yang besar untuk dijadikan pilihan strategis guna pengembangan areal produksi pertanian ke depan, untuk mendukung dan mengamankan ketahahan pangan nasional, inventarisasi biofisiknya termasuk masalah berapa luas masing-masing lahan pasang surut, lahan lebak, dan lahan salin yang lebih akurat, perlu lebih mendapatkan perhatian di masa-masa mendatang. Luas total lahan rawa saat ini, yang diestimasi antara 33-39 juta ha, masih bersifat perkiraan yang belum tentu benar. Secara khusus, lahan rawa di Kawasan Timur Indonesia, terutama di Pulau Papua (Irian Jaya) yang data dan informasinya masih sangat terbatas, perlu lebih banyak dieksplorasi dan diteliti luas dan potensi alaminya, baik potensinya sebagai sumberdaya pertanian maupun sebagai sumberdaya hayati untuk tujuan konservasi, ekologi, dan lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan. h. 1-18. Dalam 1. A. Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (penyunting). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. BPS (Badan Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 2000. Direktorat Rawa. 1992. Prasarana fisik bagi pengembangan lahan pasang surut: Jaringan reklamasi rawa dan bangunan penunjang, serta operasionalisasinya. h. 63-80. Dalam Sutjipto Ph., dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa. Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998; 93 hal. Monkhouse, F.J., and J. Small. 1978. A Dictionary of the Natural Environment. A Halsted Press Book. John Wiley & Sons, New York. Mulyadi, D. 1977. Sumberdaya Tanah Kering. Penyebaran dan potensinya untuk kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi I, Jakarta, 27-29 Oktober 1977.

17

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984. Final Report. Nationwide Study of Coastal and Near Coastal Swamp land in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Volume 3 Maps. August 1984. Governm. of the Republic of Indonesia. Ministry of Public Works. Direct. Gen. of Water Resources Development. Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan Agroklimat. Polak, B. 1952. Veen en Veenontginning in Indonesia. Overdruk van het M.I.A.I Nr. 5 en 6.Sept.- Dec. 1952. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1985. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Sungai Digul, Kabupaten Merauke. Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 222 hal. Puslittan (Pusat Penelitian Tanah). 1986. Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah Merauke (Sungai Digul-Pantai Kasuari). Dep. Transmigrasi/Sekr. Jendral dan Dep. Pertanian/Badan Litbang Pertanian, 235 hal. SSSA (Soil Science Society of America). 1984. Glossary of Soil Science Terms. SSSA, Madison, Wisconsin, USA. August 1984. Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta, 25-27 Juni 1996. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai. 1990. Wet soils of Indonesia. p. 248-259. In Kimble, J.M. 1992 (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl. Meeting (VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet Soils.

18

Subagyo

Lousiana and Texas. October 6-21, 1990. USDA, SCS, National Soil Survey Center, Lincoln, NE. Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. h. 43-63. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fak. Pertanian, Univ. Sriwijaya, Palembang, 23-24 Oktober 1991. Wibowo, P., and N. Suyatno. 1997. An Overview of Indonesia Wetland SitesIncluded in Wetland Database. Wetlands International-Indonesia Programme, PHPA, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 1938. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992.

19

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Lampiran 1.1. Area of coastal and near coastal swamp of Indonesia


Landform and island Deep peats Sumatra Kalimantan Papua Not suitable Suitable Total ha 3.972.375 3.156.000 1.542.500 8.670.875 364.000 227.775 591.775 1.515.000 531.325 995.200 3.041.525 34.800 1.570.000 1.232.675 1.380.140 4.182.815 191.625 74.375 130.000 98.750 303.125 66.100 979.875 1.045.975 258.250 258.250 1.570.000 1.232.675 1.380.140 4.182.815 552.000 354.375 858.125 573.700 1.786.200 66.100 979.875 1.045.975 397.000 168.525 565.525 1.189.200 2.089.100 3.278.300 23.749.790

3.972.375 3.156.000 1.542.500 Subtotal 8.670.875 Complexes of deep peats with floodplain Papua 364.000 Sumatra 227.775 Subtotal 591.775 Tidal flats Papua 1.515.000 Sumatra 531.325 Kalimantan 995.200 Subtotal 3.041.525 Meander belts Kalimantan 34.800 Lowland, poorly drained, tidal Papua Kalimantan Sumatra Subtotal Lowland, poorly drained, braided river Papua 360.375 Lowland, poorly drained, floodplain Kalimantan 280.000 Sumatra 728.125 Papua 474.950 Subtotal 1.483.075 Lowland, poorly drained, low terraces Kalimantan Papua Subtotal Miscellaneous Papua 138.750 Sumatra 168.525 Subtotal 307.275 Occupied lands Kalimantan 1.189.200 Sumatra 2.089.100 Subtotal 3.278.300 TOTAL 17.768.000 Sumber : Nedeco/Euroconsult-Biec. 1984.

0 5.981.790

20

Subagyo

Lampiran 1.2. Luas lahan rawa di Indonesia


Pembagian lahan rawa dengan tipologi lahan Lahan rawa lebak Lebak dangkal Lebak tengahan Asosiasi Lebak tengahan, dengan Gambutdangkal dan Gambut-sedang Lebak dalam Asosiasi Lebak dalam, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang Lahan rawa pasang surut Gambut-dangkal dan Gambut-sedang Asosiasi Gambut-dangkal dan Gambut-sedang, dengan Lahan agak salin Gambut-dalam Asosiasi Gambut-dalam dan Gambut-sangat dalam Lahan potensial Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan agak salin Asosiasi Lahan potensial dengan Lahan salin Sulfat masam potensial Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Gambut-dangkal dan Gambut-sedang Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan agak salin Asosiasi Sulfat masam potensial, dengan Lahan salin Asosiasi Sulfat masam aktual, dengan Lahan salin Lahan agak salin Lahan salin Total lahan rawa Sumber : Nugroho et al. (1991) Simbol Luas Luas . ha . 13.280.770 4.167.530 3.444.550 2.630.530 677.550 2.360.610 13.280.770 20.132.790 G1 G1/S1 G2 G2/G3 Subtotal P P/S1 P/S2 Subtotal SM1 SM1/G1 SM1/S1 SM1/S2 Subtotal SM2/S2 S1 S2 Subtotal 4.261.900 103.000 3.720.650 2.817.000 10.902.550 30.130 1.205.430 832.400 2.067.960 1.132.750 66.000 1.017.430 2.127.800 4.343.980 2.374.000 304.000 140.300 444.300 33.413.560

R1 R2 R2/G1 R3 R3/G1 Subtotal

21

Klasifikasi dan Penyebaran Lahan Rawa

Lampiran 1.3. Jenis tanah dan luas lahan rawa di Indonesia


SPT 2 3 4 Takson tanah (Soil Survey Staff, 1999) Haplohemists Haplosaprists Haplohemists Sulfihemists Endoaquents Haplohemists Hydraquents Sulfaquents Endoaquepts Endoaquents Endoaquepts Halaquepts Udipsamments Endoaquents Endoaquepts Sulfaquents Endoaquepts Sulfaquents Endoaquepts Haplohemists Endoaquepts Endoaquents Endoaquepts Dystrudepts Endoaquepts Dystrudepts Sulfaquepts Sulfaquents Endoaquepts Dystrudepts Endoaquepts Endoaquents Bahan induk Organik Organik Aluvium dan Organik Aluvium Sub-landform Kubah gambut Dataran gambut Dataran pasang surut Dataran pasang surut Dataran pasang surut Dataran pasang surut Pesisir pantai Delta atau dataran estuarin Rawa belakang Basin aluvial (lakustrin) Basin aluvial (lakustrin) Basin aluvial (lakustrin) Jalur aliran sungai Dataran aluvial Dataran aluvial Dataran aluvial Total : Total lahan rawa : Tanah Tanah mineral gambut . ha . 6.474.932 1.508.075 5.384.017 1.005.384

3.064.938

Aluvium

1.380.634

Aluvium

285.310

8 14

Aluvium Aluvium

454.179 2.225.819

15 16

Aluvium Aluvium dan organik Aluvium

669.668 506.916

337.944

17

83.019

18

Aluvium

24.102

20 25 27 26

Aluvium Aluvium Aluvium Aluvium

4.606.942 400.239 5.486.743 411.098 21.107.682

13.202.276 34.309.958

Sumber : Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1.000.000 (Puslittanak, 2000)

22

II

LAHAN RAWA PASANG SURUT


Subagyo H.

23

Lahan Rawa Pasang Surut

2.1. TANAH LAHAN RAWA PASANG SURUT Dalam keadaan alamiah, tanah-tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan tanah yang jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah rawa termasuk tanah basah, atau "wetsoils", yang dicirikan oleh kondisi aquik, yakni saat ini mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik. Proses pembentukan tanah yang dominan adalah pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan, disebut proses gleisasi, dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah, atau topografi lahan rawa pasang surut adalah sangat rata (flat) sejauh mata memandang, dengan ketinggian tempat relatif kecil, yaitu sekitar 0-0,5 m dpl di pinggir laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman. Secara umum, ada dua jenis tanah yang terbentuk, yaitu tanah gambut (peat soils), dan tanah non-gambut, atau tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah rawa, seluruhnya merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah, yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara 20-50 cm. Yang terakhir ini disebut tanah mineral-bergambut (peaty-soils). Apabila ketebalan lapisan gambut sudah melebihi 50 cm, sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai tanah mineral, tetapi sudah termasuk tanah gambut. Dalam sistem klasifikasi tanah lama, tanah aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah disebut Aluvial (saja). Tanah aluvial yang memiliki lapisan gambut tipis (<20 cm) di permukaan, disebut Glei Humus Rendah; sedangkan yang lapisan gambutnya agak tebal (20-50 cm), disebut Glei Humus. Sementara tanah gambut disebut Organosol. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), kelompok tanah Aluvial termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols; sedangkan tanah gambut disebut Histosols. Sesuai dengan pembagian lahan rawa, penyebaran dan sifat-sifat atau karakteristik tanah yang terbentuk akan mengikuti pola landform yang ada, dan berbeda antara ketiga zona wilayah rawa. Dalam bab ini dibahas lebih rinci dua zona wilayah lahan rawa, yaitu zona I: wilayah rawa pasang surut air asin/payau,

24

Subagyo

dan zona II: wilayah rawa pasang surut air tawar. Sedangkan zona III: wilayah rawa lebak/rawa non pasang surut disajikan pada Bab III. 2.1.1. Zona I: Wilayah rawa pasang surut air asin/payau Wilayah rawa pasang surut air asin/payau merupakan bagian dari wilayah rawa pasang surut terdepan, yang berhubungan langsung dengan laut lepas. Biasanya, wilayah rawa ini menempati bagian terdepan dan pinggiran pulaupulau delta serta bagian tepi estuari, yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Sebagai contoh, pulau-pulau delta di muara S. Musi dan Banyuasin di Sumatera Selatan, antara lain adalah Delta Upang, Delta Telang, dan P. Rimau. Di muara S. Batanghari di Jambi, yakni Delta Berbak; di muara S. Barito dan Kapuas di Kalimantan Selatan, adalah Delta Pulau Petak. Di muara Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, adalah beberapa pulau delta yang dibentuk oleh S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan S. Kubu. Pada zona wilayah rawa ini, terdapat kenampakan-kenampakan (features) bentang alam (landscape) spesifik yang mempunyai bentuk dan sifat-sifat yang khas disebut landform. Sebagian besar wilayah zona I termasuk dalam landform marin. Pembagian lebih detail dari landform marin, disebut sub-landform, pada zona I rawa pasang surut air asin/payau dapat dilihat pada irisan vertikal tegak lurus pantai, dan diilustrasikan pada Gambar 2.1a dan 2.1b.

Gambar 2.1a. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/ payau, merupakan pantai lepas yang memiliki beting pasir pantai (coastal dunes)

25

Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.1b. Penampang skematis zona I wilayah rawa pasang surut air asin/ payau, pantai pada bagian yang terlindung dalam estuari, atau teluk

Seperti telah diuraikan sebelumnya, di bagian terdepan terdapat dataran lumpur, atau mud-flats, yang terbenam sewaktu pasang dan muncul sebagai daratan lumpur tanpa vegetasi sewaktu air surut. Di belakang dataran lumpur, pada pantai yang ombaknya kuat dan pantainya berpasir, dapat terbentuk bukitbukit rendah (beting) pasir pantai. Tanah yang terbentuk di sini merupakan tanah berpasir. Di belakangnya terdapat danau-danau kecil dan sempit yang disebut laguna (lagoons), biasanya ditempati tanah-tanah basah bertekstur liat. Lebih ke dalam ke arah daratan, dijumpai rawa pasang surut bergaram (tidal salt marsh) yang sebagian masih selalu digenangi pasang dan ditumbuhi hutan bakau/ mangove. Sebagian lagi, di wilayah belakangnya terdapat bagian lahan yang kadang masih dipengaruhi air pasang melalui sungai-sungai kecil (creeks), namun juga sudah ada pengaruh air tawar (fresh-water) yang kuat dari wilayah hutan rawa dan gambut air tawar yang menempati depresi/cekungan lebih ke darat. Bagian lahan yang dipengaruhi air payau ini ditumbuhi banyak spesies, tetapi yang terutama adalah nipah (Nipa fruticans), panggang (Sonneratia acida), dan pedada (Araliceae). Tanah di zona I, seluruhnya terbentuk dari endapan marin, yaitu terbentuk dalam lingkungan laut/marin, yang secara khas dicirikan oleh kandungan mineral besi-sulfida berukuran sangat halus, beberapa mikron (0,001 mm), yang disebut pirit. Ditinjau dari sifat kematangan tanah (soil ripeness), tanah pada zona I umumnya bervariasi dari masih mentah (unripe) sampai setengah matang (half ripe). Profil tanah umumnya menunjukkan tanah bagian atas (upper layers) teroksidasi setebal 25-50 cm, setengah matang sampai hampir matang (nearly ripe), tekstur liat berdebu, dan berwarna kelabu sampai coklat kekelabuan tua.

26

Subagyo

Lapisan tanah bawah (subsoil) tereduksi, mentah sampai setengah matang, tekstur liat berdebu, dan umumnya berwarna kelabu gelap-sangat gelap terkadang hitam, atau kelabu kehijauan. Pada bagian "dataran bergaram" yang ditumbuhi bakau/mangrove, karena pengaruh air laut pasang, tanahnya bersifat salin, mempunyai reaksi alkalis (pH >7,5), mengandung garam/salinitas tinggi, dan merupakan wilayah tipologi lahan salin. Pada bagian yang dipengaruhi air payau, tanah umumnya bereaksi mendekati netral (pH 6,5-7,5) karena pengaruh air tawar dengan kandungan garam lebih rendah, dan merupakan wilayah tipologi lahan agak-salin. Pada wilayah rawa belakang yang dipengaruhi air tawar, tanah bereaksi semakin masam, dan terbentuk lapisan gambut di permukaan, yang bersifat lebih memasamkan tanah. Wilayah zona I, khususnya di bagian sub-landform "dataran bergaram", atau "salt-marsh", baik yang dipengaruhi air asin/salin maupun air payau, akibat salinitas atau kandungan garam yang masih tinggi, tanah umumnya tidak sesuai untuk pertanian. Oleh karenanya, tanah tersebut tidak direklamasi, baik oleh penduduk maupun oleh pemerintah. 2.1.2. Zona II: Wilayah rawa pasang surut air tawar Seperti telah diuraikan sebelumnya, lokasi zona II masih terdapat pada wilayah daerah aliran bagian bawah, tetapi lebih ke arah hulu, dimana pengaruh langsung air laut/salin sudah tidak ada lagi, tetapi energi pasang surut masih terasa berupa naik dan turunnya air (tawar) sungai mengikuti siklus gerakan air pasang surut. Wilayahnya dapat mencakup seluruh pulau-pulau delta kecil, seperti Delta Upang dan Delta Telang, atau sebagian besar wilayah pulau besar, seperti Delta Berbak dan Delta Pulau Petak. Secara keseluruhan, wilayah ini umumnya dimasukkan sebagai landform fluvio-marin, karena terbentuk dari gabungan pengaruh sungai (fluvio) dan pengaruh marin. Satuan-satuan sub-landform yang terdapat di zona II dapat dilihat lebih jelas pada wilayah yang terletak di antara dua sungai besar. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II diilustrasikan pada Gambar 2.2.

27

Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.2. Penampang skematis sub-landform di antara dua sungai besar pada zona II lahan rawa pasang surut air tawar

Oleh karena pengaruh sungai masih kuat, di sepanjang pinggir sungai terbentuk tanggul sungai alam (natural levee) yang sempit dan lebarnya bervariasi, makin ke arah hilir relatif sempit dan tidak begitu nyata terlihat di lapangan. Tetapi ke arah hulu, kenampakannya di potret udara lebih jelas, terutama karena perbedaan vegetasi yang tumbuh. Lebarnya yang tercatat adalah sekitar 0,2-1 km, dan setempat-setempat sampai sekitar 2 km. Tanggul sungai dapat terbentuk sebagai akibat pengendapan muatan sedimen sungai yang terjadi selama berabad-abad, setiap kali sungai meluap ke daratan selama musim hujan. Bahan endapan berupa debu halus dan lumpur, akan mengendap pertama-tama di pinggir sungai, sementara bahan yang lebih halus berupa liat, akan diendapkan pada wilayah di belakang tanggul. Tanah yang terbentuk di bagian tanggul sungai alam, merupakan endapan sungai (fluviatile) yang tebalnya beragam, dari sekitar 0,5 m sampai lebih dari 1,5 m, menutupi endapan dasar yang merupakan endapan marin. Oleh karena terbentuk dari bahan relatif agak kasar, debu kasar dan halus serta lumpur, tanah tanggul sungai (levee soils) umumnya bertekstur sedang, dengan kandungan fraksi debu relatif tinggi, seperti lempung, lempung berdebu, lempung liat berdebu, dan liat berdebu. Pada wilayah di belakang tanggul sungai, permukaan tanah umumnya berangsur menurun ke arah cekungan/depresi besar di hampir bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar. Wilayah di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi besar di bagian tengah, disebut sub-landform dataran rawa belakang (backswamp). Dari pengamatan lapangan di areal hutan gambut di antara S. Sebangau-Kahayan-Kapuasmurung-Barito di Kalimantan Tengah, peralihan dari tanggul sungai ke arah cekungan/depresi, menunjukkan penurunan

28

Subagyo

tanah dasar mineral tidak selalu terjadi secara berangsur, tetapi dapat juga menurun secara mendadak dalam jarak yang relatif pendek, dan menjadi bagian dari cekungan/depresi besar. Ini berarti dataran rawa belakangnya sangat sempit, atau tidak ada. Depresi besar di sekitar bagian tengah wilayah di antara dua sungai besar ditempati tanah gambut. Posisi depresi di berbagai wilayah pulau delta tidak selalu persis di bagian tengah, tetapi seringkali menyamping mengikuti bentuk pulau delta. Batasan tanah gambut yang sederhana adalah memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berdasarkan berat) dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m. Definisi tanah gambut yang disebut Histosols dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), lebih rumit, yaitu (i) harus tersusun dari bahan tanah organik, (ii) jenuh air selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal 0,4 atau 0,6 m tergantung dari tingkat dekomposisi bahan gambut dan bobot-jenisnya. Tanah gambut yang menempati cekungan/depresi besar mempunyai ketebalan yang bervariasi. Di bagian pinggir ditempati gambut dangkal dengan ketebalan 0,5-1 m, dan gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, dan seringkali mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral. Keduanya biasanya merupakan gambut topogen yang relatif subur (eutrofik). Semakin ke bagian tengah depresi, lapisan gambut semakin tebal dan kesuburan bahan gambutnya cenderung makin menurun. Tanah gambut dalam (2-3 m) dan gambut sangatdalam (>3 m) yang terbentuk disebut gambut ombrogen, dengan tingkat kesuburan sedang (mesotrofik) sampai rendah (oligotrofik). Oleh karena perbedaan pertumbuhan vegetasi hutan di bagian pinggir dan bagian tengah cekungan, permukaan tanah gambut semakin meninggi di bagian tengah dan membentuk semacam kubah dari tanah gambut, yang disebut kubah gambut (peat dome). Ketinggian relatif di bagian tengah kubah, dapat mencapai sekitar 35 m. Bentuk kubah gambut umumnya lonjong atau hampir bujur telur, dan ukurannya cukup besar. Sebagai contoh dua kubah gambut di Delta Pulau Petak yang diteliti Lembaga Penelitian Tanah tahun 1972, masing-masing berukuran sekitar 4-9 km lebar dan 8-15 km panjang; serta 8-12 km lebar, dan 15-24 km panjang (SRI, 1973). Dua buah kubah gambut di areal Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG) yang disurvei Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1996, masing-masing mempunyai dimensi Iebar dan panjang sekitar 17-22 km, dan 23-45 km (Subagyo, 2002).

29

Lahan Rawa Pasang Surut

Pada awal pembukaan lahan rawa pasang surut di Sumatera dan Kalimantan, yang survei tanahnya dilakukan secara intensif antara tahun 1969 dan 1984, banyak ditemukan wilayah kubah gambut di berbagai tempat, baik di Sumatera maupun di Kalimantan. Di Sumatera, kubah gambut ditemukan di daerah rawa Sumatera Selatan, seperti di Sugihan Kiri, Delta Upang, Delta Telang, Pulau Rimau, dan Karang Agung Ulu (Wiradinata dan Hardjosusastro, 1979), serta di Delta Reteh antara S. Reteh dan S. Inderagiri di Provinsi Riau. Di Kalimantan Barat, terdapat beberapa kubah gambut besar di Delta S. Kapuas, di antara S. Kapuas Kecil, Punggur Besar, Ambawang, dan Kubu-Terentang, pada wilayah rawa pasang surut sebelah selatan kota Pontianak, di bagian muara S. Kapuas (LPT, 1969). Di Provinsi Kalimantan Tengah, wilayah kubah gambut ditemukan sangat luas di wilayah delta antara S. Mentaya, Katingan, Sebangau, Kahayan, Kapuas, dan Barito (Jaya, 2002). Dewasa ini, yakni sekitar 35 tahun kemudian, sebagian dari wilayah kubah gambut tersebut, terutama yang telah berhasil dijadikan areal pemukiman transmigrasi, telah lenyap dijadikan lahan pertanian. Yang tersisa umumnya tinggal berupa wilayah lahan gambut sempit yang ditempati gambut dangkal atau tanah bergambut. Sebagai contoh, wilayah dimana kubah gambut telah lenyap atau tinggal sedikit sekali, di antaranya terdapat di Delta Upang, Delta Telang, Sugihan Kiri, dan Pulau Rimau di Sumatera Selatan, serta Delta Pulau Petak di Kalimantan Selatan. Bagian yang terluas dari zona II adalah wilayah dataran rawa belakang, yakni wilayah bertopografi datar yang menempati posisi di antara tanggul sungai dan cekungan/depresi di bagian tengah antara dua sungai besar. Di berbagai pulau delta, baik di Sumatera maupun Kalimantan, wilayah rawa belakang ini merupakan wilayah yang menjadi tujuan reklamasi rawa oleh P4S-PU (19691984), dan dewasa ini merupakan persawahan pasang surut yang utama di lahan rawa. Menurut BPS (2001) luas lahan sawah yang aktif ditanami padi adalah 591.877 ha, terutama tersebar di delapan provinsi, yang bila diurutkan dari yang terluas sampai tersempit adalah Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jambi, Riau, Lampung, dan Sumatera Utara. Sebagaimana pada zona I, endapan dasar yang membentuk tanah rawa di wilayah rawa belakang adalah endapan marin, oleh karena itu sering disebut sebagai tanah aluvial marin. Ciri yang unik dari tanah aluvial marin adalah adanya

30

Subagyo

senyawa besi-sulfida (FeS2) yang disebut pirit. Kandungan pirit di tanah rawa pasang surut umumnya rendah, yakni hanya sekitar 0-5%, namun walaupun kadarnya rendah, temyata di kemudian hari menjadi permasalahan utama yang berat, atau sangat sulit diatasi, apabila tanah rawa dibuka untuk pertanian. Masalahnya dimulai pada saat rawa direklamasi, yaitu dengan penggalian saluran-saluran drainase besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier, dengan tujuan untuk mengeringkan wilayah agar tanah rawa yang semula basah atau tergenang menjadi tanah yang relatif lebih kering yang siap digunakan sebagai lahan pertanian. Akibat adanya saluran-saluran drainase tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah bagian atas menjadi kering dan terbuka. Akibat adanya oksigen di udara, maka tanah bagian atas ini mengalami oksidasi, sementara tanah bagian bawah masih tetap berada di lingkungan air tanah, yaitu tetap dalam kondisi tereduksi. Pirit yang terbentuk dalam suasana reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi, berasal dari vegetasi pantai seperti api-api dan bakau/mangrove. Dalam kondisi reduksi, pirit bersifat stabil sesuai dengan suasana lingkungan pembentukannya. Akibat penurunan air tanah, pirit yang berada di tanah bagian atas ikut terbuka (exposed) di lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas bervalensi 3 (Fe-III). Hasil akhirnya merupakan tanah ber-reaksi masam ekstrim (pH <3,5), dan banyak mengandung ion-ion sulfat (SO4), besi bervalensi 2 (Fe-II), dan aluminium (AI3+). Tanah berreaksi masam ekstrim yang banyak mengandung ion sulfat ini disebut tanah sulfat masam, atau acid sulphate soils. Seringkali juga disebut tanah sulfat masam aktual, atau actual acid sulphate soils. Sebaliknya, semua tanah marin yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4,6-5,5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam bila mengalami drainase berlebihan, disebut tanah sulfat masam potensial, atau potential acid sulphate soils. Tanah bagian atas yang sudah teroksidasi, karena berwarna coklat, atau kelabu kecoklatan berkaratan besi coklat kemerahan, kadang disebut brown layer. Sedangkan tanah bawah yang tereduksi penuh, yang berwarna kelabu, kelabu gelap, atau kelabu kehijauan, sering disebut gray layer. Profil tanah sulfat masam aktual umumnya menunjukkan tanah bagian atas teroksidasi, setebal 50-100 cm, hampir matang sampai matang, reaksi masam ekstrim (pH <3,5), atau sangat masam (pH 3,5-4,0), tekstur umumnya liat

31

Lahan Rawa Pasang Surut

berdebu, berwarna coklat, coklat kemerahan atau kelabu. Lapisan tanah bawah tereduksi, setengah matang sampai mentah, reaksi tanah sangat masam sampai agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan umumnya berwarna kelabu-kelabu gelap. Profil tanah sulfat masam potensial, tanah bagian atas teroksidasi relatif lebih tipis sekitar 25-75 cm, setengah matang sampai hampir matang, reaksi tanah sangat masam-agak masam (pH >4,0), tekstur umumnya liat berdebu, dan warnanya kelabu tua sampai coklat kekelabuan. Lapisan bawah tereduksi, hampir mentah (practically unripe) sampai mentah, reaksi tanah masam-agak masam (pH >4,0), tekstur liat berdebu sampai liat, dan warnanya kelabu tua sampai kelabu gelap. Tanah sulfat masam aktual, karena memiliki reaksi masam ekstrim, dan banyak kandungan ion-ion yang bersifat racun/toksik, sehingga tidak sesuai untuk tanaman pertanian. Tanaman padi yang ditanam di tanah ini tidak menghasilkan gabah yang berarti. Lahan ini banyak ditinggalkan petani transmigran, sehingga menjadi lahan bongkor dan ditutupi semak-semak lebat. Vegetasi alami yang mampu tumbuh adalah yang toleran terhadap kemasaman tinggi, terdapat di Delta pulau Petak biasanya berupa purun (Lepironia mucronata), atau purun tikus (Fimbristylis sp.), dan gelam (Melaleuca leucadendron). 2.2. GENESIS TANAH RAWA Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan rawa pasang surut berada di bagian muara sungai-sungai besar, berupa pulau-pulau delta berukuran relatif kecil yang terpisah dari daratan, atau sebagai pulau-pulau delta besar yang menyambung ke daratan, dan diapit oleh dua sungai besar. Sebagai contoh yang pertama adalah Delta (pulau) Upang, Delta Telang, dan Pulau Rimau pada muara S. Musi-Banyuasin di Sumatera Selatan. Contoh yang kedua adalah Delta Berbak pada S. Batanghari di Jambi, Delta Reteh antara S. Reteh dan Inderagiri di Riau, dan Delta Pulau Petak antara S. Kapuasmurung dan Barito di Kalimantan Selatan. Dengan mempertimbangkan posisi lahan rawa tersebut, dapat dimengerti bahwa lahan rawa pasang surut terbentuk karena proses akreasi (accreation), yaitu proses pelebaran daratan baru ke arah laut yang terjadi secara alami,

32

Subagyo

karena pengendapan bahan-bahan sedimen yang dibawa sungai (sedimen load) di wilayah bagian muara sungai besar. Di bagian muara sungai, pada saat air sungai yang bereaksi sekitar netral (pH 5-6), bertemu dengan air laut yang bereaksi sekitar alkalis (pH 7-9), maka muatan sedimen sungai yang berupa bahan halus, liat sampai debu halus, akan "menjojot" yakni membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang mengendap di dasar laut. Pengendapan yang intensif terjadi selama musim hujan dan terus-menerus berlangsung selama berabad-abad, lambat laun membentuk "dataran lumpur", atau "mudflats" yang muncul sebagai daratan tanpa vegetasi sewaktu air surut, dan tenggelam di bawah air sewaktu air pasang. Sejalan dengan waktu, tumbuhan yang toleran air asin, khususnya api-api (Avicennia sp.) dan bakau/mangrove (Rhizophora sp., Bruguiera sp.) akan tumbuh di lumpur, yang menjebak lebih banyak sedimen, sehingga dataran lumpur terbangun secara vertikal semakin tinggi, dan akhirnya menjadi dataran rawa pasang surut, tidal marsh, atau salt marsh, yang ditumbuhi oleh hutan bakau/mangrove. Mencermati bentuk-bentuk pantai di Indonesia dimana lokasi rawa pasang surut berada, dapat disimpulkan bahwa pantai-pantai Indonesia bukan termasuk shorelines of submergence (Strahler, 1973), yaitu bentuk-bentuk pantai yang terbentuk karena permukaan air laut naik, atau kerak bumi menurun. Juga tidak termasuk shorelines of submergence, yaitu bentuk-bentuk pantai yang terjadi karena permukaan air laut menurun, atau kerak bumi meninggi. Tetapi termasuk dalam neutral submergence, yaitu apabila pantai terbentuk sebagai akibat penambahan bahan-bahan baru ke dalam laut. Kata netral di sini diartikan, tidak ada perubahan relatif pada posisi permukaan air laut atau posisi kerak bumi. Bentuk-bentuk pantai Indonesia, karena berbentuk delta-delta, dapat dimasukkan sebagai delta shorelines. Dari sekian banyak wilayah rawa di pulau-pulau delta di Indonesia, tampaknya yang paling intensif diteliti dari aspek kIasifikasi tanah, proses fisika dan kimia, pengelolaan air dan kesuburan tanah, serta aspek lingkungan dari reklamasi tanah sulfat masam adalah Delta Pulau Petak. Riset dilakukan oleh tim gabungan antara peneliti-peneliti dari Land and Water Research Group (LAWOO) dan dari Badan Litbang Pertanian (AARD), berlangsung dari Oktober 1987 sampai sekitar Maret 1991. Genesis, atau proses pembentukan Delta Pulau Petak dilaporkan oleh Jansen et al. (1990) dan Prasetyo et al. (1990). Sampai sekitar 5.500 tahun yang lalu, seluruh wilayah Delta Pulau Petak sekarang ini masih merupakan wilayah teluk yang berpantai dangkal. Dari 5.500

33

Lahan Rawa Pasang Surut

tahun sebelum masehi (SM), kenaikan permukaan air laut secara berangsur (eustatik) berkurang atau berhenti, dan perluasan secara lateral dari pantai asli mulai teljadi. Perluasan lateral karena proses akreasi yang membentuk Delta Pulau Petak berlangsung melalui 3 fase sedimentasi, yaitu fase sedimentasi I, dari 5.500 sampai 4.000-3.500 tahun SM, fase sedimentasi II, dari 4.000-3.500 tahun SM sampai 1.000-700 tahun SM, dan fase sedimentasi III dari 1.000-700 tahun SM. Pada fase I, bahan sedimen dipasok dari S. Barito dan Kapuas; pada fase II sumber bahan sedimen berasal dari S. Barito dan S. Pulau Petak; dan fase III sumber sedimen adalah S. Kapuasmurung dan Barito, dan membentuk garis pantai yang ada sekarang ini. Genesis tanah gambut di wilayah rawa pantai Indonesia diperkirakan dimulai sekitar 5.000-4.000 tahun yang lalu (Subagyo, 2002), dan diperkirakan hampir bersamaan waktunya dengan dimulainya proses akreasi yang membentuk wilayah pulau-pulau delta di rawa pasang surut yang ada sekarang ini. Mengikuti informasi geologi, diketahui bahwa berdasarkan radiometric dating periode zaman es Pleistosin (Pleistocene glaciation) yang terakhir, yaitu zaman es (glacial) Wisconsin (di Amerika Utara) yang setara dengan zaman es Wurm (di Eropa) berakhir sekitar 18.000/15.000-10.000 tahun yang lalu (Strahler, 1973). Dengan melelehnya lapisan es/ gletser zaman es Wisconsin dan Wurm tersebut, permukaan air laut di seluruh dunia secara berangsur (eustatic) naik. Diperkirakan kenaikan permukaan laut di seluruh dunia terjadi selama akhir zaman Pleistosin sampai awal Holosin (Holocene), sekitar 100-135 m (Davis et al., 1976; Holmes, 1978). Di perairan laut Indonesia, kenaikan permukaan air laut diperkirakan !ebih dari 100 m (Andriesse, 1997), atau sekitar 120 m (Neuzil, 1997). Stabilisasi permukaan laut di wilayah pantai di sebagian besar Asia Tenggara tercapai sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu (Diemont dan Pons, 1991), atau 6.000-4.000 tahun yang lalu (Neuzil, 1997), sementara Brinkman dan Pons (1968) menyebutkan sekitar 5.500 tahun yang lalu. Dengan adanya permukaan laut yang sudah relatif stabil waktu itu, proses pelebaran/perluasan pantai secara lateral akibat sedimentasi bahan-bahan halus yang dibawa sungai, yakni proses akreasi pantai, diperkirakan mulai terjadi, diikuti dengan pembentukan tanah gambut. Berbagai data pengukuran C-14 dating contohcontoh tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan untuk memperkirakan umur pembentukan gambut, memperkuat estimasi mulainya proses akreasi di wilayah pantai di Indonesia. Sebagai contoh: di pantai timur P. Sumatera, gambut di

34

Subagyo

sekitar S. Batanghari di Jambi menunjukkan umur 4.300 tahun SM (Cameron et al., 1987), gambut di Bengkalis, dan S. Siak Kanan di Riau, masing-masing berumur 5.730-4.740 dan 5.220-3.620 tahun SM (Neuzil, 1997). Di pantai P. Kalimantan, gambut di Teluk Keramat, Kalimantan Barat, menunjukkan umur 4.040-2.570 tahun SM (Neuzil, 1997), di dekat S. Mahakam, Kalimantan Timur, 4.400-3.850 tahun SM (Diemont dan Pons, 1991). Contoh gambut dari S. Lassa dan Baram di Serawak, Malaysia, menunjukkan umur masing-masing 6.5005.000 dan 4.000 tahun SM (Neuzil, 1997). 2.3. PIRIT DALAM TANAH RAWA Seperti telah diuraikan sebelumnya, di dalam lumpur dan endapan marin tereduksi, serta lapisan tanah bawah tereduksi pada tanah sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual pada lahan rawa pasang surut air salin/payau (Zona I) dan air tawar (Zona II), terdapat pirit. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral, termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang mengandung senyawa sulfat (SO4) larut. Dengan menggunakan teknik SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa partikel-partikel pirit berada dalam bentuk kristal, yang individuindividu kristal tunggalnya sangat halus, terbanyak berukuran <1 mikron (1 mikron=0,001 mm), dan sebagian kecil 2-9 mikron. Bentuk kristal tunggal dari kubus bervariasi, dan bentuk (kristal) oktahedral adalah yang paling dominan, diikuti bentuk piritohedral, yang semuanya termasuk sistem (kristalografi) kubus, atau isometrik. Pirit mengandung 46,55% Fe (berdasarkan berat), dan 53,45% S (Michaelsen dan Phi, 1998). Dilihat di bawah mikroskop polarisasi, menggunakan cahaya biasa (normal) dan terpolarisasi, kristal-kristal pirit berwarna hitam/opak, tetapi apabila digunakan cahaya merkuri warnanya hijau muda cerah (bright) (Van Dam dan Pons, 1973). Selain berbentuk kristal tunggal-oktahedral, atau agregat lepas, umumnya kristal tunggal saling bergabung membentuk agregat lonjong (elliptical), atau membulat (spherical) yang padat, yang disebut framboid, sehingga ukurannya sedikit lebih besar, yakni berkisar dari 1-14 mikron, dengan rata-rata enam mikron. Beberapa agregat pirit framboid berukuran sampai 100 mikron. Kristal-kristal pirit berbentuk oktahedral dan framboidal dapat dilihat pada Gambar 2.3.

35

Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.3. Kristal-kristal pirit diobservasi dengan mikroskop elektron scanning (SEM), (a) memperlihatkan kristal besar berbentuk oktahedral dan framboidal; (b) memperlihatkan framboidal besar yang tersusun dari kristal-kristal tunggal oktahedral berukuran kecil (Michaelsen dan Phi, 1998)

36

Subagyo

Dalam lapisan tanah yang mengandung pirit, partikel pirit tergabung dengan jaringan sisa-sisa akar mangrove, atau tersebar dalam matriks tanah. Di lapangan, lapisan tanah yang mengandung pirit berwarna lebih gelap/hitam (hue 10YR, 2,5Y, 5Y, N, dan 5GY; kroma 1), sering bercampur dengan sisa-sisa daun atau akar tumbuhan bakau atau nipah, dan kadang berbau busuk (H2S). Secara umum kandungan pirit yang terdapat dalam tanah sulfat masam potensial relatif tidak tinggi, maksimum 6-7 persen (berdasarkan berat), dan kandungan yang paling umum bervariasi dari 1-4 persen (Van Bremen, 1973). Pada tanah sulfat masam potensial di Vietnam, kandungan pirit sampai sedalam 90 cm, berkisar dari 0,2 sampai 5,5-6% (berdasarkan berat). Lapisan bagian atas sampai 50 cm, kandungan piritnya bervariasi 0-3,5%, dan meningkat ke lapisan lebih bawah (Michaelsen dan Phi, 1998). Walaupun kandungan pirit yang terdapat dalam tanah marin, khususnya sulfat masam potensial relatif kecil, namun ternyata kemudian merupakan permasalahan atau kendala berat dalam pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian. Penyebaran kandungan pirit dan pH-H2O lapangan di dalam profil tanah rawa di Delta Pulau Petak, yang diambil dari lokasi dekat laut (Tabunganen) sampai Iokasi yang jauh dari laut (Talaran), dan beberapa contoh profil dari Vietnam disajikan pada Tabel 2.1. Jarak dekat atau jauhnya Iokasi profil dari laut, tampaknya tidak berpengaruh pada kandungan pirit setiap lapisan di dalam profil tanah. Kandungan pirit pada profil tanah di Tabunganen, yang terdekat dengan laut, tidak lebih tinggi dari kandungan pirit pada profil tanah dari Talaran, yang terletak paling jauh dari laut. Sementara kandungan pirit pada profil tanah di Belawang, yang terletak cukup jauh dari laut, ternyata justru menunjukkan kandungan pirit yang paling tinggi. Sedangkan kandungan pirit pada profil tanah di Sakalagun, hanya berseberangan dengan lokasi Belawang, paling rendah.

37

Lahan Rawa Pasang Surut

Tabel 2.1. Kandungan pirit dan pH-H2O lapang pada tanah rawa di Delta Pulau Petak, Indonesia dan di Vietnam
Profil Indonesia TAB 4/I 4/II 4/III 4/IV 4/V 4/VI 4/VII LUP 1/I 1/II 1/III 1/IV 1/V 1/VI 1/VII JEL 1/I 1/II 1/III 1/V 1/VI SPT 2/II 2/III 2/IV 2/V SAK 2/I 2/II 2/III 2/IV 2/V 2/VI 2/VII BEL 6/II 6/III 6/IV 6/V 6/VI 6/VII TAL 3/II 3/III 3/IV 3/V 3/VI 3/VII 3/VII Kedalaman cm 11 33 52 85 125 155 180 5 15 32 51 70 95 135 5 15 30 67 115 5 20 38 56 7 25 42 62 90 120 145 20 50 80 100 120 140 10 32 54 69 83 98 115 5,0 5,4 5,3 5,1 4,9 5,3 5,8 6,1 6,5 6,2 6,4 6,1 6,3 5,6 5,2 5,4 5,5 5,9 5,8 3,5 3,6 3,9 4,9 4,5 4,8 4,8 4,9 5,0 4,8 5,8 3,1 3,0 4,0 4,3 4,4 4,5 3,3 3,2 3,4 3,3 3,5 3,6 3,7 pH-(H2O) lapang Pirit %FeS2 0,24 0,24 1,07 4,71 2,52 2,11 0,25 0,22 0,07 0,11 0,50 0,20 2,76 0,14 0,15 0,14 0,15 1,35 0,16 0,15 1,29 6,96 0,05 0,07 0,06 0,07 0,07 0,07 0,45 0,24 3,92 5,76 4,33 3,30 0,30 0,10 0,15 0,12 0,15 4,32 3,90 6,11 Vietnam RMB -1 -2 -3 -4 Profil Kedalaman cm 15 30 50 90 pH-(H2O) lapang Pirit %FeS2 1,10 2,40 4,90

RA

-1 -2 -3 -4

15 30 50 90

1,20 2,70 6,00

RM

-1 -2 -3 -4

15 30 50 90 15 30 50 90 22 57 85 115 150 230 25 68 86 295

0,70 0,90 3,10 0,40 2,40 3,30 1,45 0,14 0,82 0,80 0,09 0,09 0,25 0,96

-1 -2 -3 -4 F2X47-A -B21 -B22 -B23 -BC -C A2X5-B21 -B22 -BC -C

3,7 3,1 3,0 3,2 2,8 2,9 3,4 3,3 3,0 2,6

TL1 1BC

-B23 -C1

89 111 178

3,4 2,7 2,8

0,08 0,61 1,12

Sumber: Konsten dan Sarwani (1990) (data diproses); Konsten et al. (1986); Michaelsen and Phi (1998). TAB = Tabunganen; LUP = Lupakluar; JEL = Jelapat; SPT = Serapat; SAK = Sakalagun; BEL = Belawang; TAL = Talaran. Dari Tabunganen ke Talaran, lokasinya makin jauh dari laut.

38

Subagyo

Perhitungan data kandungan pirit dari 22 profil tanah rawa yang terdiri atas 100 contoh dari Pulau Petak, Indonesia, dan 17 profil yang terdiri atas 59 contoh dari Vietnam, menunjukkan variasi data rata-rata kandungan pirit dan simpangan baku (standard deviation) seperti disajikan pada Tabel 2.2. Kandungan pirit tanah rawa, sebagaimana diwakili dari data tanah rawa di Delta Pulau Petak, dengan menggunakan skala kandungan pirit menurut Pons (1970) yaitu rendah (few): <1,20%, sedang (common): 1,21-2,40%, tinggi (many): 2,41-4,50%, dan sangat tinggi (abundant): >4,50%, menunjukkan bahwa kandungan pirit pada lapisan tanah atas (0-50 cm) beragam dari 0,05-4,24%. Tabel 2.2. Kandungan pirit pada tanah rawa di Indonesia dan Vietnam
Tanah sulfat masam Delta Pulau Petak, Indonesia - Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) - Lapisan bawah (50-100 cm) - Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) - Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) Vietnam - Tanah bagian atas teroksidasi (0-50 cm) - Lapisan bawah (50-100 cm) - Tanah bawah tereduksi (100-150 cm) - Lapisan tanah tereduksi (150-200 cm) Kandungan pirit Variasi Rata-rata Simpangan baku .. % .. 0,05-4,24 0,07-6,96 0,30-6,11 2,11-6,00 0,00-3,50 0,09-6,00 0,10-1,24 0,14-1,12 0,52 (rendah) 1,89 (sedang) 2,61 (tinggi) 3,54 (tinggi) 0,87 (rendah) 2,45 (tinggi) 0,60 (rendah) 0,71 (rendah) 0,94 2,60 1,89 2,14 1,13 2,27 0,43 0,37

Kesimpulan yang dapat ditarik dari observasi data pada Tabel 2.2 tersebut adalah bahwa kandungan pirit pada tanah rawa bagian atas yang teroksidasi di Indonesia, umumnya rendah. Kandungan pirit dalam tanah cenderung meningkat ke lapisan bawah, yaitu termasuk sedang. Lebih ke bawah pada lapisan bawah tereduksi, pada kedalaman lebih dari 1 m tergolong tinggi. Lain halnya dengan kandungan pirit tanah rawa Vietnam, sampai kedalaman sekitar 1 m sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tanah rawa dari Delta Pulau Petak. Kandungan pirit rata-rata pada tanah bagian atas, sama-sama rendah, tetapi kandungan pirit di bagian tanah bawah tereduksi sedalam 1-2 m, menjadi rendah kembali. Bahan sedimen yang diendapkan di tanah rawa Vietnam mungkin berbeda dengan bahan sedimen yang membentuk tanah rawa di Delta Pulau Petak.

39

Lahan Rawa Pasang Surut

Dengan menggunakan simulasi model untuk tanah sulfat masam (SMASS: Simulation Model for Acid Sulphate Soils) yang divalidasi dengan kondisi lapangan tanah sulfat masam potensial di Barambai I dan II, Delta Pulau Petak, dari kurva prediksi hubungan antara kedalaman dan kandungan pirit yang dibuat van Wijk et al. (1992) dapat diprediksi bahwa pada kondisi pengelolaan air normal yang dilakukan saat ini, dalam 5 tahun ke depan, pirit pada kedalaman 40 cm menurun dari kondisi awal sekitar 3,9% menjadi sekitar 2,3%, atau terjadi penurunan kandungan pirit rata-rata sekitar 0,32% per tahun. Dengan perbaikan pengelolaan air, berupa pencucian tambahan pada akhir musim hujan dengan menggunakan air berkualitas lebih baik dari saluran tersier, dapat diprediksi terjadi penurunan kandungan pirit dari sekitar 3,9% menjadi 2%, atau rata-rata sekitar 0,38% per tahun. Namun, kurva prediksi tersebut tidak menunjukkan perubahan kandungan pirit pada kedalaman tanah lebih dalam, antara 50-100 cm. Kandungan pirit praktis tidak berubah, dan tetap tinggi antara 4,2-6,5%, baik sesudah 5 maupun 10 tahun, walaupun telah dilakukan perlakuan perbaikan pengelolaan air. 2.3.1. Pembentukan dan oksidasi pirit Proses pembentukan pirit telah disarikan oleh Langenhoff (1986) berdasarkan makalah Pons et al. (1982) dan publikasi Dent (1986), metalui beberapa tahap: Reduksi sulfat (SO4) menjadi sulfida (S) oleh bakteri pereduksi sulfat dalam lingkungan anaerobik; Oksidasi parsial sulfida menjadi polisulfida (misalnya Fe3S4: Greigite; Fe4S5: Pyrrhotite), atau unsur S; diikuti pembentuksan FeS, dari sulfida terlarut, besi oksida (FeOOH, Fe2O3), atau mineral silikat mengandung unsur Fe; Pembentukan FeS2 dari penggabungan FeS dengan unsur S, atau presipitasi langsung dari besi (Fe-II) terlarut dengan ion-ion polisulfida. Reaksi keseluruhan pembentukan pirit, dari besi-oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe, digambarkan sebagai berikut: Fe2O3 + 4SO42- + 8CH2O + O2 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat

40

Subagyo

Bahan baku pembentukan pirit dengan demikian adalah besi-oksida, ion sulfat, bahan organik (ditulis sebagai CH2O), kondisi reduksi, dan bakteri pereduksi sulfat. Kondisi seperti ini terdapat pada lumpur atau bahan endapan dalam lingkungan air asin/payau, yang kaya bahan organik berasal dari vegetasi api-api dan bakau/mangrove. Da!am suasana jenuh air atau anaerobik, oleh adanya ion mono-karbonat (HCO3-), pH tanah endapan adalah netral sampai agak alkalis, sehingga kondisi pirit stabil dan tidak berbahaya. Namun apabila lahan rawa pasang surut direklamasi, yaitu dengan dibuatnya jaringan tata air makro berupa saluran-saluran primer, sekunder sampai tersier, lahan mengalami pengeringan/pengatusan, air tanah menjadi turun, maka lingkungan pirit menjadi terbuka (exposed) di udara. Dalam suasana aerobik, pirit menjadi tidak stabil karena bereaksi dengan oksigen udara. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen berjalan lambat, dan dipercepat oleh adanya bakteri Thiobacillus ferrooxidans. Seluruh reaksinya digambarkan sebagai berikut: FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O PIRIT oksigen Fe(OH)3 + besi-III (koloidal) 2SO42- + 4H+ asam sulfat

Hasil reaksi adalah dihasilkannya besi-III koloidal, dan asam sulfat yang terlarut menjadi ion sulfat dan melimpahnya ion H+, yang mengakibatkan pH tanah turun drastis dari awalnya netral-agak alkalis (pH 5,5-6,5) menjadi masam ekstrim (pH 1,3 sampai <3,5). Namun, apabila tanah memiliki cukup besar senyawa-senyawa penetralisir, seperti ion OH-, kapur (CaCO3), basa-basa dapat tukar, dan mineral-mineral silikat mudah melapuk, pH tanah tidak sampai turun di bawah pH 4,0. Adanya liat marin yang mengandung cukup mineral liat smektit yang jenuh basa-basa, juga ikut membuffer penurunan pH tanah. Terlalu banyaknya ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat, dan membebaskan banyak ion aluminium (Al3+) yang bersifat toksik terhadap tanaman. Sebagian besar dari besi-III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi oksida besi goethite, yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput atau nodul-nodul dalam tanah, dan dindingdinding saluran drainase. Dalam kondisi oksidasi yang sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang turun terlalu dalam, atau akibat penggalian saluran drainase, bahan endapan marin secara tiba-tiba diangkat ke lingkungan udara terbuka, oksidasi pirit akan

41

Lahan Rawa Pasang Surut

menghasilkan mineral jarosit, yang nampak sebagai karatan-karatan berwarna kuning jerami, yang juga sangat masam.

FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ 1/3KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO4 + 4H+ PIRIT oksigen JAROSIT asam sulfat Jarosit stabil dalam kondisi teroksidasi (potensial redoks > 400-500 mV) pada lingkungan masam (pH 2-4). 2.3.2. Kondisi tanah sesudah oksidasi pirit Berbagai pengamatan di berbagai daerah transmigrasi yang menyertai pembukaan lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah (Pangkoh, Anjir Basarang), Kalimantan Selatan (Delta Pulau Petak, Barambai), Sumatera Selatan (Sugihan Kanan), Jambi (Pamusiran), dan Riau, menunjukkan bahwa pada tahun-tahun awal pembukaan, banyak wilayah persawahan transmigrasi yang dibangun oleh proyek P4S, dilaporkan penduduk transmigran sebagai persawahan yang produktif, dengan rata-rata produksi padi mencapai 2,5-3 ton GKP/ha. Namun dengan berjalannya waktu, sesuai dengan selesainya saluransaluran primer, sekunder dan tersier, banyak areal sawah mulai menurun produksinya, dan sesudah beberapa tahun hasilnya sangat rendah. Khususnya sesudah rehabilitasi saluran, dimana saluran-saluran diperdalam dan dibersihkan, tanpa diikuti pembuatan pintu-pintu pengatur tingginya permukaan air, degradasi lahan sawah semakin akut. Banyak areal sawah, yang sesudah 5 tahun berturutturut digarap tidak pernah menghasilkan padi sama sekali, dan mulai banyak yang ditinggalkan petani. Selanjutnya lahan ditutupi vegetasi liar, seperti purun, purun tikus, paku-pakuan, semak-semak gelam, atau semak dari vegetasi lain yang toleran terhadap kondisi tanah masam ekstrim. Lahan sawah yang telah mengalami degradasi menjadi bongkor/mati, dan tidak pernah digarap lagi dan ditinggalkan, sehingga menjadi lahan tidur yang ditutupi semak belukar. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada tahun awal pembukaan, lahan sawah aslinya merupakan tanah sulfat masam potensial dengan lapisan tanah yang mengandung pirit atau bahan sulfidik relatif dangkal (<50 cm). Air

42

Subagyo

tanah relatif masih dangkal, dan reaksi tanah masih agak masam-netral (4,5-5,5). Namun, dengan selesainya saluran-saluran primer dan sekunder yang berukuran besar dan dalam, penurunan permukaan air tanah semakin besar, dan oksidasi pirit mulai berlangsung cepat, khususnya selama musim kemarau. Didukung oleh kondisi tata air mikro berupa pembuangan air di petakan-petakan sawah, serta di saluran kuarter dan tersier berjalan tidak lancar, degradasi lahan sawah semakin dipercepat, dan berakhir menjadi lahan sawah bongkor/mati yang ditumbuhi semak-semak lebat. Seperti telah diuraikan, dalam kondisi awal/asli, dalam suasana jenuh air atau anaerobik, pirit bersifat stabil dan tidak berbahaya. Oleh adanya ion monokarbonat (HCO3), sebagai salah satu produk pembentukan pirit, pH tanah cenderung mendekati netral sampai agak alkalis. Pada kondisi awal pembukaan lahan, kondisi tanah sawah seperti ini masih cukup kondusif untuk pertanaman padi sawah. Sesudah lahan mengalami drainase, dan penurunan permukaan air tanah yang melebihi kedalaman lapisan pirit, kemudian diikuti oksidasi pirit di musim kemarau, kondisi tanah sawah di bagian atas sedalam 0-50 cm mengalami perubahan drastis. Tanah marin yang semula berupa sulfat masam potensial dapat berubah mendekati sifat-sifat tanah sulfat masam aktual, yang dicirikan oleh reaksi tanah ekstrim masam dengan pH < 3,5. Kondisi tanah di lingkungan perakaran 0-50 cm, pada akhir musim kemarau (sekitar Agustus-Oktober) dicerminkan oleh sifat-sifat berikut: pH tanah turun drastis, umumnya di bawah pH 4,0. Pada pH ini, ion aluminium (AI3+) akan dibebaskan dalam tarutan tanah, dan dapat mencapal konsentrasi yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau tanaman lain. Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion AI yang melimpah dalam larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga mengurangi fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P. Adanya ion AI yang berlebihan akan mengganti basa-basa dapat tukar pada kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg, dan K ke dalam larutan tanah, yang selanjutnya dapat tercuci keluar karena dibawa hanyut oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi terbatas, tetapi juga mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg.

43

Lahan Rawa Pasang Surut

Secara ringkas, akibat penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan ion H+, AI, SO42-, dan Fe-III, serta penurunan kesuburan tanah alami akibat hilangnya basa-basa tanah, sehingga tanah mengalami kahat P, K, Ca, dan Mg. Bloomfield dan Coulter (1973) melaporkan bahwa telah terjadi kahat unsur hara makro (K, Ca, Mg), dan mikro (Mn, Zn, Cu, dan Mo) pada berbagai tanah sulfat masam di daerah tropika. 2.3.3. Pengaruh penggenangan Memasuki musim hujan yang berlangsung dari sekitar Oktober/November sampai dengan Maret/April, air tanah berangsur naik ke permukaan, dan tergantung kondisi tata air makro dan mikro, seringkali dapat menggenangi tanah. Tanah kembali menjadi jenuh air, atau bahkan tergenang. Kondisi tanah dalam lapisan perakaran sesudah penggenangan di musim hujan adalah sebagai berikut: Dalam kondisi tergenang, redoks potensial tanah menjadi lebih tinggi, dan pH tanah meningkat kembali, yang mengakibatkan konsentrasi ion H dan AI dalam larutan tanah menurun, atau kurang bersifat toksik, tetapi masalah-masalah baru muncul. Kandungan ion sulfat (SO42-) dalam larutan tanah meningkat kembali. Ini diakibatkan oleh hidrolisis AI-sulfat hidrat: AIOHSO4 + 2H2O7 AI(OH)3 + 2H+ + SO42Atau, desorpsi sulfat yang diadsorpsi kompleks pertukaran liat tanah Tanah-SO4 + 2H2O Tanah-(OH)2 + 2H+ + SO42Dalam kondisi tergenang, oksigen yang berada dalam tanah dalam waktu relatif singkat segera digunakan oleh bakteria aerobik, sehingga konsentrasinya mendekati nol, oleh karena diffusi oksigen udara pada tanah jenuh air sangat lambat. Dalam lingkungan reduksi, tanpa oksigen, bakteri anaerobik akan memanfaatkan semua senyawa-senyawa teroksidasi sebagai sumber oksigennya. Tahap pertama yang mengalami reduksi adalah nitrat (NO3-), sehingga semua nitrat akan direduksi menjadi ion amonium (NH4+). Setelah semua nitrat lenyap,

44

Subagyo

sebarang oksida-mangan (MnO2) yang ada akan direduksi menjadi ion Mn2+. Dalam 1-3 minggu penggenangan, hampir seluruh Mn dapat tukar, direduksi menjadi Mn2+ (Konsten et al., 1990). Sesudah semua MnO2 habis, reduksi sebarang Fe-III (ferri-oksida) mulai terjadi, yang menghasilkan Fe-II (ferro) yang melimpah, dan peningkatan pH oleh karena dihasilkannya senyawa hidrokarbonat dalam larutan tanah. Fe(OH)3 + CH2O + 2H+ Fe2+ + CO2 + 1 H2O

Peningkatan pH larutan tanah bersifat menstabilkan reduksi Fe-III, sehingga dihasilkan ion Fe-II dalam konsentrasi tinggi yang bersifat toksik terhadap tanaman. Selain itu, jumlah ion Fe-II yang melimpah mendesak ke luar basabasa dapat tukar Ca dan Mg dari kompleks adsorpsi tanah, sehingga jumlahnya meningkat dalam larutan tanah. Kedua unsur hara ini dengan mudah terbawa keluar dari lingkungan akar oleh air yang mengalir. Sesudah semua ferri-oksida tereduksi, reduksi sulfat mulai terjadi, yang berakibat menurunkan konsentrasi ion sulfat dan ion H+ (karena digunakan untuk membentuk bikarbonat), dan disertai dengan peningkatan pH tanah. SO42- + 2CH2O H2S + 2HCO3Proses reduksi sulfat terjadi pada potensial redoks antara -0,12V dan -0,19V, serta hanya terjadi di atas pH 5,0, tetapi juga pada reaksi lebih masam, pH 2,83,4 (Konsten et al., 1990). Sulfida yang terbentuk segera bereaksi dengan Fe-II yang tersedia dalam larutan tanah, dan membentuk senyawa ferro-sulfida. Adanya reduksi sulfat pada lapisan tanah ditandai oleh karatan FeS yang berwarna hitam, dan terkadang oleh bau (busuk) H2S. Senyawa H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat bersifat sangat toksik terhadap pertumbuhan tanaman. Secara ringkas, akibat penggenangan selama musim hujan, terjadi peningkatan pH tanah, dan penurunan konsentrasi AI. Namun, kemungkinan dapat terjadi keracunan ion Fe-ll, dan Mn karena konsentrasinya yang sangat tinggi dalam larutan tanah. Kemungkinan juga terjadi keracunan H2S, dan pencucian unsur basa Ca dan Mg yang berakibat menurunkan kesuburan alami tanah rawa. Demikian seriusnya permasalahan budidaya tanaman yang timbul akibat oksidasi pirit, apabila senyawa-senyawa yang bersifat racun, yakni ion H+, Al3+,

45

Lahan Rawa Pasang Surut

SO42-, dan Fe-III, serta Fe2+, Mn2+, dan H2S tersebut tidak dapat terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman yang normal sulit sekali diharapkan. Lambat atau cepat, tanah akan mengalami degradasi dan menunjukkan gejala bongkor, atau mati suri. Teknik pengelolaan tanah yang sesuai, dan pengelolaan air yang tepat, yang mampu membuang atau melakukan pencucian unsur-unsur beracun secara efektif, baik dengan air pasang berkualitas baik, dan atau dengan air hujan, merupakan salah satu kunci utama keberhasilan pertanian di lahan rawa. Selain itu, penggunaan bahan amelioran seperti kapur pertanian (kaptan), dolomit, batuan fosfat (rock phosphate), abu sisa pembakaran tumbuhan, abu dapur, dan abu volkan merupakan tindakan yang sangat diperlukan untuk memperbaiki lingkungan perakaran, mempertahankan kesuburan tanah, dan meningkatkan produktivitas tanah rawa. 2.4. TANAH RAWA DALAM TAKSONOMI TANAH Tanah rawa merupakan tanah yang terdapat pada lahan basah, atau wetland, dan terdiri atas tanah-tanah basah, atau wetsoils. Secara umum tanah rawa terdiri atas dua kelompok tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dalam kondisi asli alami, tanah rawa merupakan tanah yang selalu jenuh air atau tergenang, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan, dalam setahun. Sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, atau Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 1975; 1999; 2003) adalah sistem klasifikasi tanah morfometrik, yaitu berdasarkan sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diobservasi dan diukur. Klasifikasi suatu tanah ditetapkan berdasarkan adanya horison penciri/diagnostik dan karakteristik-karakteristik tanah penciri, yang didefinisikan secara kuantitatif. Untuk itu dibedakan (i) horison permukaan penciri, atau disebut epipedon, (ii) horison bawah (subsurface) penciri, dan (iii) karakteristik penciri/diagnostik lainnya. Seperti pada sistem klasifikasi Taksonomi Tumbuh-tumbuhan, yang mengenal tingkatan atau kategori klasifikasi dari yang paling atas (pengelompokkan secara garis besar) sampai yang paling detail: PhyllumSubphyllum-Class-Order-Family-Genus-Species, dan Subspecies. Dalam sistem Taksonomi Tanah juga dikenal taxa, atau kategori klasifikasi, yang bila diurutkan dari yang paling atas, adalah Ordo (order), Subordo (suborder), Jenis

46

Subagyo

Tanah (Great group), Subgrup/Macam tanah (Subgroup), Famili (Family), dan Seri tanah (Series). 2.4.1. Sifat-sifat penciri/diagnostik Dalam Taksonomi Tanah, kondisi jenuh air atau tergenang pada tanah rawa yang merupakan salah satu karakterisitk penciri utama, diberi istilah kondisi aquik (aquic condition), yakni mengalami penjenuhan air, atau saturasi, dan (proses) reduksi secara terus-menerus atau periodik. Jenis penjenuhan yang dominan adalah penjenuhan air yang berasal dari bawah, yaitu datang dari air tanah, sehingga semua lapisan tanah dari permukaan tanah sampai sedalam 200 cm atau lebih, jenuh air. Jenis penjenuhan seperti ini disebut endosaturasi (endosaturation). Pada lahan basah, proses pembentukan tanah yang dominan adalah gleisasi dan pembentukan gambut di permukaan tanah. Gleisasi adalah terbentuknya lapisan tanah berwarna glei yaitu kelabu (N 7-4/0), kelabu (5Y 74/1), kelabu gelap kehijauan (5B 7-4/1), atau kelabu kebiruan (5B 7-4/1) akibat proses reduksi terus-menerus atau periodik yang berlangsung lama. Pembentukan lapisan gambut di permukaan tanah setelah mencapai ketebalan tertentu, dapat dimasukkan sebagai epipedon histik. Pada tanah yang masih asli alami, ketebalan gambutnya disyaratkan antara 20-40 cm. Apabila bahan gambut tiga-perempat bagian dari volumenya tersusun dari lumut spaghnum, atau apabila bobot-isinya <0,1 g/cm3, disyaratkan mempunyai ketebalan gambut 20-60 cm. Tetapi, apabila berupa lapisan tanah olah, Ap, maka syarat ketebalannya adalah 25 cm. Sementara itu, tanah yang mempunyai ketebalan gambut di permukaan kurang dari 25 cm, diperlakukan sebagai tanah mineral (murni). Secara genetis, tanah rawa pada awalnya berasal dari endapan marin berupa lumpur cair berwarna kelabu gelap, seperti yang terdapat pada dataran lumpur (mudflats). Sesuai dengan perkembangannya setelah lebih lama terbuka di udara dan mengalami oksidasi, tanah rawa akan berubah menjadi lebih padat, karena kandungan airnya berkurang, bersifat lembek, dengan konsistensi lekat/sangat lekat, serta plastis. Perkembangan selanjutnya akan berubah menjadi tanah relatif kering yang padat, konsistensinya agak teguh waktu lembab, dan menjadi agak keras/keras sewaktu kering. Perubahan tanah rawa dari kondisi lumpur cair, yang masih mentah, beralih ke kondisi lembek yang

47

Lahan Rawa Pasang Surut

lekat dan plastis, dan akhirnya berubah menjadi tanah relatif kering yang padat dan teguh, yaitu kondisi matang, disebut proses pematangan tanah (ripening process). Derajat atau tingkat pematangan tanah ditunjukkan oleh nilai-n, yang sebenarnya menyatakan jumlah air (dalam gram) yang diabsorb oleh satu gram liat dalam tanah, dan dihitung dari rumus: n = (A-0,2 R)/(L + 3H), dimana: A=kadar air dalam tanah pada kapasitas lapang; R=% kandungan fraksi debu dan pasir; L=% kandungan liat; dan H=% kandungan bahan organik (% karbon organik dikalikan 1,724). Semua faktor dihitung berdasarkan berat-kering tanah. Tingkat pematangan tanah dapat ditetapkan di lapangan, dengan uji remas, yaitu dengan cara meremas tanah rawa dalam telapak tangan. Hubungan tingkat pematangan tanah dengan nilai-n, dan perkiraan kandungan airnya menurut Pons dan Zonneveld (1965) disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Tingkat pematangan tanah rawa berdasarkan nilai-n
Tingkat pematangan Mentah (totally unripe) Agak mentah (practically unripe) Setengah matang (half ripe) Hampir matang (nearly ripe) Matang (ripe) Sumber: Pons dan Zonneveld (1965) Nilai-n >2,0 1,4-2,0 1,0-1,4 0,7-1,0 <0,7 Kandungan air (%) >80 70-80 60-70 50-60 <50

Seperti telah diuraikan sebelumnya, semua tanah rawa yang berasal dari endapan marin mengandung senyawa besi-oksida yang disebut pirit (FeS2). Secara spesifik, dalam Taksonomi Tanah, senyawa besi-sulfida ini tidak disebut pirit, tetapi sebagai bahan sulfidik (sulfidic materials), karena dipikirkan tidak seluruhnya hanya tersusun dari senyawa FeS2, tetapi juga senyawa besi-sulfida lainnya, termasuk H2S. Sementara lapisan yang mengandung bahan sulfidik yang telah teroksidasi, menghasilkan asam sulfat, unsur besi, dan berbagai ion ikutan lainnya yang bersifat racun terhadap tanaman, dianggap telah mengalami proses pembentukan tanah, dan disebut horison sulfurik. Keduanya, yakni bahan sulfidik dan horison sulfurik, merupakan sifat dan horison penciri utama pada tanah rawa pasang surut. Definisi keduanya adalah sebagai berikut.

48

Subagyo

Bahan sulfidik (sulfida: unsur S) merupakan bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mengandung senyawa sulfida yang dapat teroksidasi, dan memiliki: pH >3,5; dan apabila sebagai lapisan setebal 1 cm diinkubasi pada keadaan aerob dan lembab (pada kapasitas lapang), minggu, pH-nya turun 0,5 unit atau lebih, menjadi Pengukuran pH (H2O) diiakukan pada rasio tanah/air minimal untuk memungkinkan pengukuran. suhu ruangan, dalam dalam waktu delapan pH 4,0 atau kurang. 1:1, atau dengan air

Horison sulfurik (sulfuric acid = asam sulfaf) merupakan lapisan atau horison tanah setebal 15 cm atau lebih, tersusun dari bahan tanah mineral atau bahan tanah organik, yang memiliki: pH 3,5 atau kurang; dan menunjukkan bukti bahwa adanya pH yang rendah disebabkan oleh asam sulfat. Bukti-bukti tersebut, boleh satu atau lebih, dapat berupa: - adanya konsentrasi jarosit; - terletak langsung di atas (Iapisan) bahan sulfidik; - kandungan sulfat-Iarut air, (SO4)2-, 0,05% atau lebih. Salah satu karakteristik penciri lain, yang mungkin ditemukan pada tanah rawa pada zona I: lahan rawa pasang surut air asin/payau, adalah tanah-tanah yang karena pengaruh pasang air laut mempunyai kadar garam larut (air), natrium (NaCl) atau garam-garam lain yang tinggi. Pada musim kemarau, sering terlihat lapisan garam yang tipis menutupi permukaan tanah. Tanah umumnya mempunyai reaksi alkalis (pH 7,5-8,5). Dalam istilah Taksonomi Tanah, digolongkan pada tanah-tanah salin atau sodik, atau mungkin mempunyai horison salik, yang keduanya mempunyai kandungan unsur sodium (natrium) tinggi. Definisi keduanya adalah sebagai berikut. Tanah-tanah salin, atau sodik, (sodium, atau natrium: Na) adalah tanah yang jenuh air sampai sedalam 100 cm, dan pada separuh atau lebih dari tanah bagian atas mempunyai kejenuhan sodium sebesar 15% atau lebih, atau nilai rasio adsorpsi sodium (SAR: sodium adsorption ratio) 13 atau lebih;

49

Lahan Rawa Pasang Surut

kejenuhan sodium dan nilai SAR ini semakin berkurang pada kedalaman di bawah 50 cm. Horison salik (sal atau salt = garam) adalah horison akumulasi garam, terutama halite, yaitu bentuk kristal dari garam dapur (NaCl), dan merupakan: horison setebal 15 cm atau lebih, yang selama 3 bulan atau lebih secara berturut-turut dalam setahun, dalam bentuk pasta jenuh air, mempunyai daya hantar listrik (DHL) (electrical conductivity) 30 dS/m atau lebih; dan hasil perkalian antara DHL, dalam satuan dS/m, dan ketebalan horison, dalam satuan cm, mencapai nilai 900 atau lebih. Pada tanah-tanah rawa dalam zona I, sering juga dijumpai tanah-tanah yang tingkat pematangannya tergolong mentah sampai setengah matang, karena merupakan tanah yang semula berasal dari dataran lumpur, yang karena secara periodik terbuka di udara mengalami proses pematangan awal. Tanahtanah yang masih muda tingkat perkembangannya ini mempunyai sifat hidrik, yaitu dicirikan oleh kandungan air yang relatif tinggi. Definisi secara kuantitatif adalah: Sifat hidrik (hydro, atau adanya air) adalah pada semua lapisan di antara kedalaman 20 dan 50 cm dari permukaan tanah, mempunyai nilai-n lebih dari 0,7 dan kandungan (fraksi) liat 8% atau lebih. Pada tanah-tanah rawa dalam zona II, terdapat tanah-tanah yang menempati (sublandform) tanggul sungai alam (natural levee) yang terbentuk karena pengendapan muatan sedimen yang dibawa sungai sewaktu terjadi banjir musiman, dan sering disebut endapan fluviatil (fiuvius = sungai). Dalam Taksonomi Tanah, terbentuk oleh sedimentasi bahan yang berulang kali, dicirikan secara kuantitatif mempunyai kandungan C-organik yang naik-turun, atau berkurang secara tidak teratur di antara kedalaman 25-125 cm, dan mencapai kandungan C-organik 0,2% atau lebih pada kedalaman 125 cm dari permukaan tanah.

50

Subagyo

2.4.2. Klasifikasi tanah mineral Sesuai dengan bahan-bahan penyusunnya, berupa bahan tanah mineral dan bahan tanah organik, dalam lingkungan basah atau tergenang, tanah rawa dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Tanah mineral pada lahan rawa secara dominan berasal dari sedimentasi dalam lingkungan laut/marin, sehingga bahan induknya berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik. Berdasarkan pada tingkat perkembangan tanah, yang diekspresikan pada tingkat pematangan tanah (nilai-n dan kandungan liat), adanya horison sulfurik, dan tanda-tanda alterasi, atau perkembangan tanah lain, seperti terbentuknya struktur tanah, warna yang tidak berubah saat terbuka di udara, maka tanah mineral lahan rawa termasuk dalam dua kelompok besar, atau ordo tanah, yaitu Entisols dan Inceptisols. Entisols, berasal dari suku kata "recent, adalah istilah geologi yang berarti terbentuk di zaman Holosin ( 11.000 tahun SM) yaitu zaman sekarang ini, maka berarti tanah yang paling muda umurnya. Inceptisols, berasal dari kata "inceptum, atau beginning, artinya tanah yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda awal pembentukan tanah, seperti tanah menjadi agak matang sampai matang, terbentuknya struktur tanah, dan terbentuknya horison sulfurik. Tanah mineral rawa termasuk tanah basah, yang secara dominan dicirikan oleh kondisi aquik (aqua: air). Oleh karena itu, tanah rawa dari (ordo) Entisols dan Inceptisols, termasuk dalam subordo Aquents (Aqu+ents) dan Aquepts (Aqu+epts). Dalam Aquents terdapat lima great grup, yaitu (i) yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquents; (ii) yang masih mentah dengan kandungan air tinggi, yaitu nilai-n >0,7 dan kandungan fraksi liat >8%, disebut Hydraquents; (iii) yang berasal dari bahan endapan sungai (fluvio = sungai), ditunjukkan kandungan C-organik pada kedalaman 15-125 cm menurun secara tidak teratur, dan mencapai 0,25% atau lebih pada kedalaman 125 cm, disebut Fluvaquents; (iv) yang secara dominan mengalami penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquents; dan (v) yang bertekstur pasir kasar, yakni pasir halus berlempung atau lebih kasar (psammos = pasir), seperti pada beting pasir pantai, disebut Psammaquents. Dalam Aquepts terdapat empat great grup, yaitu (i) yang mempunyai horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, disebut Sulfaquepts; (ii) yang karena pengaruh air pasang dari air laut, banyak mengandung garam natrium/sodium, 51

Lahan Rawa Pasang Surut

atau mempunyai horison salik atau berupa tanah salin, disebut Halaquepts; (iii) yang mempunyai lapisan bahan organik cukup tebal di permukaan, yaitu epipedon histik, disebut Humaquepts; dan (iv) yang secara dominan mengalami penjenuhan endosaturasi, disebut Endoaquepts. Pada tingkat subgrup, masing-masing great grup ditambahkan nama awalan, yang merupakan sifat murni subgrup itu sendiri, disebut Typic, atau sifat tambahan ke great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain. Pada Aquents, sifat-sifat tambahan tersebut umumnya berasal dari great grup yang sama, yaitu selain Histic, Sulfic,dan Sodic, juga terdapat Haplic, Thapto-Histic, dan Aeric. Pada Aquepts, sifat-sifat tambahan dapat berasal dari great grup yang sama, seperti Histic dan Sulfic, Aeric, dan Vertic, atau sifat tambahan dari great grup/subordo tanah yang lain, seperti Salidic, Hydraquentic, dan Fiuvaquentic. Arti dari masing-masing sifat tambahan ini adalah: Haplic : sifat minimum (haplos = sederhana) pada tanah marin yang bukan Hydraquent, yaitu ditunjukkan oleh nilai-n 0,7 atau kurang, atau kandungan liat <8%. Thapto-Histic: adanya lapisan bahan tanah organik tertimbun, tebalnya 20 cm atau lebih, pada kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah. Aeric : akibat (proses) oksidasi pada kedalaman antara 25-75 cm, terdapat satu horison atau lebih berwarna kekuningan (2,5Y; 5Y) atau kemerahan (10YR; 7,5YR), dengan kroma rendah dan value tinggi.

Vertic : adanya rekahan-rekahan (cracks) di dalam kedalaman 0-125 cm, dan horison setebal 15 cm atau lebih yang menunjukkan adanya bidang-bidang kilir (slickensides) atau memiliki agregat-agregat berbentuk baji (wedge shape). Salidic : mempunyai horison salik pada kedalaman 0-75 cm dari permukaan. Horison salik adalah ciri utama (subordo) Salids, dari tanah-tanah ordo Aridisols. Hydraquentic: mempunyai nilai-n > 0,7 dan kandungan liat > 8%, pada satu atau lebih lapisan, di antara kedalaman 20-50 cm dari permukaan. Kedua ciri tersebut merupakan ciri utama great grup Hydraquents. Fluvaquentic: mempunyai kandungan C-organik menurun secara tidak teratur di dalam kedalaman 25-125 cm; atau kandungan C-organik pada kedalaman 125 cm sebesar 0,2% atau lebih. Kedua sifat tersebut merupakan ciri diagnostik pada great grup Fluvaquents.

52

Subagyo

Dalam kaitan ini, tanah sulfat masam potensial, karena mempunyai pirit atau bahan sulfidik belum teroksidasi, dalam Taksonomi Tanah diklasifikasi sebagai Entisols, termasuk great grup Sulfaquents. Sedangkan tanah sulfat masam aktual, yang proses oksidasi bahan sulfidiknya belum selesai dan ditunjukkan oleh pH tanah antara 3,5-4,0, diklasifikasikan sebagai Entisols, yaitu masuk subgrup Sulfic Hydraquents, Sulfic Fluvaquents, atau Sulfic Endoaquents. Sementara tanah sulfat masam aktual yang oksidasi bahan sulfidiknya sudah selesai, yang ditunjukkan dengan pH tanah < 3,5, diklasifikasikan sebagai lnceptisols dan termasuk Sulfaquepts. Tanah-tanah basah yang relatif masih mentah pada wilayah rawa zona I, diklasifikasikan sebagai Hydraquents, dapat termasuk sebagai Sulfic, Sodic, atau Thapto-Histic Hydraquents. Tanah-tanah pada beting, atau bukit-bukit pasir pantai, apabila basah dengan kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai Psammaquents. Apabila kering tidak mempunyai ciri-ciri kondisi aquik, dimasukkan sebagai Psamments, yakni Entisols yang bertekstur pasir kasar. Apabila pasirnya didominasi oleh pasir kuarsa (quartz), termasuk dalam (great grup) Quartzipsamments, dan jika bukan kuarsa diklasifikasikan sebagai (great grup) Udipsamments, yaitu Psamments yang berada di lingkungan iklim lembab/humid (udus = lembab/humid). Tanah-tanah tanggul sungai, sebagian besar merupakan Fluvaquents, apabila mempunyai ciri kondisi aquik, dan dapat termasuk (subgrup) Sulfic Fluvaquents jika masih mempunyai bahan sulfidik relatif belum teroksidasi, atau belum sempurna teroksidasi. Atau sebagai Thapto-Histic Fluvaquents, jika terdapat bahan organik tertimbun di dalam tanahnya, atau sebagai Aeric Fluvaquents, jika tidak mengandung bahan sulfidik, tetapi tanah bagian atasnya antara 25-75 cm, sudah teroksidasi. Tanah tanggul sungai yang kering, dan tidak mempunyai ciri kondisi aquik, diklasifikasikan sebagai (subordo) Fluvents.

53

Lahan Rawa Pasang Surut

2.4.3. Klasifikasi tanah gambut Dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah, tanah gambut disebut Histosols, dan didefinisikan secara kuantitatif atau terukur, mengikuti definisi ini, maka Histosols harus terdiri atas bahan tanah organik, yaitu: kandungan C-organik minimal 12%, apabila tidak mengandung fraksi liat (0%); atau kandungan C-organik minimal 18%, apabila mengandung fraksi liat 60% atau lebih; atau jika kandungan fraksi liat antara 0-60%, maka kandungan C-organik adalah 12% + (% kandungan liat dikalikan 0,1). Tingkat dekomposisi atau pelapukan/perombakan bahan organik gambut dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik (awal), hemik (tengahan), dan saprik (Ianjut), tergantung dari kandungan serat (fibers) yang menyusunnya. Fibrik : gambut dengan tingkat dekomposisi awal, yaitu kandungan serat tumbuhan lebih dari 75%, atau masih lebih dari tiga perempat bagian dari volumenya.

Hemik : gambut dengan tingkat dekomposisi tengahan, yaitu kandungan serat antara 17-75%, atau tinggal antara 1/6-3/4 bagian volumenya. Saprik : gambut dengan tingkat dekomposisi lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 17%, atau tinggal kurang dari 1/6 bagian dari volumenya. Gambut saprik biasanya berwarna kelabu sangat gelap sampai hitam. Sifat-sifatnya, baik sifat fisik maupun kimianya, relatif sudah stabil. Batasan tanah gambut sebagai Histosols, dengan demikian adalah: (i) terdiri atas bahan tanah organik; dan (ii) jenuh air, selama 1 bulan atau lebih setiap tahun, dan (iii) ketebalannya minimal 60 cm, apabila tersusun dari bahan fibrik, atau jika bobot-isinya kurang dari 0,1 g/cm3; atau (iv) ketebalannya minimal 40 cm, apabila tersusun dari bahan saprik, atau bahan hemik, atau jika terdiri atas bahan fibrik kandungan serat jaringan kurang dari bagian volume, dan bobot-isinya harus 0,1 g/cm3 atau lebih.

54

Subagyo

Pada taksa, atau kategori lebih ke bawah yaitu tingkat subordo, Histosols pada wilayah rawa berdasarkan tingkat dekomposisi bahan gambutnya dibagi menjadi tiga subordo, yaitu Fibrists, Hemists, dan Saprists. Tanah gambut di wilayah rawa pasang surut, mempunyai tanah dasar mineral berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik, sehingga keberadaan bahan sulfidik atau horison sulfurik berikut kedalamannya dari permukaan tanah, termasuk dalam definisi tanah gambut, dan ikut menentukan namanya. Pada Hemists dan Saprists, yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm dari permukaan tanah, disebut great grup Sulfihemists dan Sulfisaprists. Apabila mempunyai horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm, disebut (great grup) Sulfohemists dan Sulfosaprists. Di dalam definisi Histosols, tidak disebutkan keberadaan horison sulfurik di dalam kedalaman 50-100 cm dari permukaan tanah, oleh karena di alam memang tidak ditemukan horison sulfurik pada kedalaman tersebut. Apabila bahan sulfidik terletak lebih dalam, yaitu pada kedalaman lebih dari 100 cm (1 m), disebut Haplohemists dan Haplosaprists. Akan halnya Fibrists, di daerah tropika, tampaknya belum ditemukan Fibrists yang mempunyai bahan sulfidik di dalam kedalaman 0-100 cm, ataupun horison sulfurik di dalam kedalaman 0-50 cm dari permukaan. Yang ditemukan umumnya mempunyai bahan sulfidik yang terletak dalam, yaitu lebih dari 100 cm, dan oleh karena itu disebut (great grup) Haplofibrists. Untuk menetapkan sifat-sifat Histosols, dimana suatu sifat atau ciri tanah harus ditetapkan, misalnya apakah bahan gambutnya dari tipe fibrik, hemik, atau saprik, ataukah ada sisipan tanah mineral, atau lapisan air di dalam tanah gambut, digunakan penampang kontrol (control section) yaitu kedalaman tanah gambut, dihitung dari permukaan tanah gambut, dimana sesuatu sifat harus ditetapkan. Untuk tanah gambut, kedalaman penampang kontrol adalah 130 atau 160 cm, dan terdiri atas tiga lapisan gambut, atau tier, yaitu tier permukaan, tier bawah (permukaan), dan tier dasar. Tier permukaan umumnya 0-30 cm, tetapi bila bahan gambutnya dari lumut spaghnum, atau bobot isinya <0,1 g/cm3, ketebalan tier permukaan adalah 0-60 cm. Tier bawah biasanya 60 cm, dan tier dasar umumnya 40 cm, kecuali jika penampang kontrol berakhir pada lapisan yang keras/padat, yang disebut lapisan atau kontak densik, lithik, atau paralithik. Pada tingkat subgrup Histosols, sebagaimana pada tanah mineral, masingmasing great grup ditambahkan nama awalan, yang akhirnya membentuk nama dari subgrup masing-masing. Subgrup yang mempunyai sifat murni, yaitu tidak

55

Lahan Rawa Pasang Surut

mempunyai sifat atau ciri-ciri great grup yang sama atau great grup/subordo yang lain, disebutTypic. Yang mempunyai sifat tambahan dari great grup yang sama, atau great grup/subordo tanah yang lain, dikatakan mempunyai sifat peralihan, dan terbawa dalam nama subgrupnya. Sifat-sifat peralihan tersebut adalah Hydric, Terric, Hemic, Sapric, Fibric, Halic, dan Fluvaquentic, serta didefinisikan sebagai berikut: Hydric : terdapat lapisan air di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Terric : mempunyai satu lapisan mineral setebal 30 cm atau lebih, di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Hemic : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut dari bahan hemik atau saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Sapric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut saprik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Fibric : mempunyai satu atau lebih lapisan gambut fibrik, dengan ketebalan total 25 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Halic : mempunyai satu lapisan setebal 30 cm atau lebih di dalam penampang kontrol, yang seluruh lapisan tersebut, selama 6 bulan atau lebih, memiliki daya hantar listrik (electrical conductivity) sebesar 30 dS/m atau lebih.

Fluvaquentic: mempunyai satu lapisan mineral setebal 5 cm atau lebih, atau dua atau lebih lapisan mineral dengan sebarang ketebalan, di dalam penampang kontrol, di bawah tier permukaan, atau umumnya di dalam kedalaman antara 30-130 cm dari permukaan tanah. Tidak setiap great grup mempunyai semua sifat peralihan tersebut, misalnya Sulfosaprists hanya mempunyai Typic saja; sedangkan Sulfihemists 56

Subagyo

dan Sulfisaprists hanya mempunyai Terric dan Typic; sementara Haplohemists memiliki 6 subgrup, yaitu Typic, Hydric, Terric, Fibric, Sapric, dan Fluvaquentic Haplohemists. Dikaitkan pada penyebaran tanah gambut di lapangan, pada wilayah rawa zona I, umumnya ditemukan gambut topogen dangkal (51-100 cm) sampai sedang (101-200 cm) pada cekungan-cekungan dangkal, yang termasuk Typic atau Terric Sulfihemists, sesekali ditemukan Typic Sulfohemists. Pada wilayah rawa zona II, juga terdapat gambut dangkal sampai sedang, pada cekungancekungan pada (landform) rawa belakang. Gambut-gambut dangkal umumnya merupakan gambut topogen yang termasuk Terric Sulfihemists atau Terric Sulfisaprists, dan gambut sedang merupakan Typic Haplohemists dan Fluvaquentic Haplohemists. Pada wilayah kubah gambut, seperti diketemukan di wilayah gambut di lokasi PLG 1 juta hektar di Kalimantan Tengah, di bagian pinggir kubah gambut, merupakan gambut dangkal topogen yang terutama terdiri atas Terric Sulfihemists dan Terric Haplohemists, serta sebagian kecil Typic Haplohemists. Ke arah pusat kubah gambut, ditemukan gambut sedang ombrogen, yang diklasifikasikan sebagai Typic Haplohemists dan Terric Haplohemists, serta Terric Sulfihemists. Selanjutnya mencapai gambut-dalam (200-300 cm) dan gambutsangat dalam (>300 cm) bersifat ombrogen, dan komposisinya sama, yaitu sebagian besar merupakan Typic Haplohemists dan sebagian kecil Typic Haplofibrists.

2.5. TIPOLOGI LAHAN DAN SIFAT KIMIA TIPE-TIPE LAHAN 2.5.1. Tipologi lahan Reklamasi lahan rawa pasang surut selalu diawali dengan pembuatan saluran-saluran primer, sekunder, dan tersier, yang dimaksudkan untuk mendrainase atau mengeringkan seluruh kawasan reklamasi agar tahapan pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat tercapai. Pada kenyataannya, sesudah selesainya penggalian saluran-saluran tersebut, permukaan air tanah menjadi turun, dan tanah terbebas dari kondisi jenuh air, dan setelah beberapa waktu mencapai kondisi siap pakai sebagai lahan pertanian. Pada lahan petani,

57

Lahan Rawa Pasang Surut

mengikuti kondisi hidrotopografi permukaan lahan, ada bagian-bagian lahan yang selalu terkena genangan setiap kali pasang naik, tetapi ada juga bagian lahan yang tidak pernah terkena genangan pasang. Bagian yang rendah yang selalu tergenang pasang harian, umumnya telah disawahkan. a. Klasifikasi tipologi lahan versi awal Dalam awal pelaksanaan Proyek Penelitian Pertanian Lahan pasang Surut dan Rawa, SWAMPS-II, sekitar tahun 1986-1987, (Proyek PPLPSR-Swamps II, 1993a), dirasakan perlunya pembagian kelompok-kelompok tanah rawa yang kurang-Iebih sama sifat-sifatnya, dan memiliki respons yang relatif sama pula terhadap perlakuan pengelolaan tanah dan air. Hal ini diperlukan untuk perencanaan dan pengujian model usahatani yang akan dikembangkan, dimana penelitiannya dilaksanakan melalui pendekatan agroekosistem. Telah diketahui bahwa pada lahan rawa terdapat agroekosistem tanah gambut dan tanah mineral. penggunaan sistem klasifikasi murni seperti Taksonomi Tanah, untuk membedakan antara Sulfihemists dan Sulfohemists serta Sulfaquents dan Sulfaquepts, yaitu tanah gambut dan tanah mineral yang bahan sulfidiknya belum dan sudah teroksidasi, dirasakan rumit dan kurang praktis oleh para praktisi dan peneliti agronomis yang menangani pengelolaan tanah dan air, serta upaya peningkatan produktivitas lahan rawa pasang surut. Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa adalah: (a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau sudah mengalami proses oksidasi, (b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut, (c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau, (d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan (e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, maka I P.G. Widjaja-Adhi, sekitar 1986-1987, mengusulkan penggunaan klasifikasi tipe-tipe lahan, atau tipologi lahan pada wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak dengan persyaratan-persyaratan atau kriteria-kriterianya seperti tercantum pada Tabel 2.4.

58

Subagyo

Tabel 2.4. Tipologi lahan di wilayah rawa pasang surut dan rawa lebak, versi tahun 1987
Tipologi lahan Lahan potensial Simbol Kriteria P Kadar pirit <2% belum mengalami proses oksidasi, terletak pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah, termauk tanah sulfat masam potensial. Kendala produksi dan kemungkinan munculnya kendala tersebut diperkirakan kecil. SM Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum mengalami proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal, <50 cm dari pemukaan tanah. SM G-1 G-2 G-3 G-4 G-0 Memiliki horison sulfurik, dengan jarosit/ brown layer, pH (H2O)<3,5. Terbentuk dari bahan gambut, yang (1) jenuh air dalam waktu lama, dan tersusun dari bahan tanah organik, atau (2) tidak pernah jenuh air selama lebih dari beberapa hari, dan kadar C-organik 20%. Ketebalan gambut pada G-1: 50-100 cm; G-2: 100-200 cm; G-3: 200-300 cm; G-4: >300 cm; dan G-0: <50 cm. Lahan rawa di zona I: rawa pasang surut air salin/payau, dan dapat berupa lahan potensial, sulfat masam, atau gambut. Mendapat intrusi air laut lebih dari 4 bulan dalam setahun; kandungan Na dalam larutan tanah antara 8-15%. Lahan rawa di zona III: rawa non-pasang surut, atau rawa lebak. Tanahnya berupa Aluvial, Aluvial bergambut, atau gambut. Lama dan dalamnya genangan pada lebak pematang: <3 bulan, <50 cm; lebak tengahan: 3-6 bulan, 50-100 cm; lebak dalam: >6 bulan, >100 cm.

Lahan sulfat masam

Sulfat masam potensial Sulfat masam aktual

Lahan gambut

Gambut-dangkal Gambut-sedang Gambut-dalam Gambut-sangat dalam Lahan bergambut

Lahan salin, atau pantai

Lahan lebak

Lebak pematang Lebak tengahan Lebak dalam

Sumber: Proyek PLPSR-Swamps II (1993a) Widjaja-Adhi et al. (1992)

b. Klasifikasi tipologi lahan versi tahun 1995 Klasifikasi tipologi lahan seperti yang tercantum pada Tabel 2.4 tersebut, digunakan antara tahun 1986-1999. Perubahan kecil yang dibuat tahun 19981999 (Proyek PSLPSS, 1998; 1999), hanyalah membagi lahan potensial (bahan sulfidik >50 cm), menjadi lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan potensial-2 (bahan sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan bergambut

59

Lahan Rawa Pasang Surut

menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman lapisan gambut di permukaan tanah antara 25-50 cm. Sebelumnya Nugroho et al. (1991) juga membagi lahan salin pantai ke dalam dua tipe lahan, yaitu tanah/lahan agak salin, salin 1 (S1), yang dipengaruhi air asin/payau, dan tanah/lahan salin, salin 2 (S2), yang dipengaruhi air asin. Disebut tanah salin apabila kadar garam >1.000 ppm, atau daya hantar listrik >1.400 dS/m, tetapi tidak disebutkan kriteria atau batas pembagian kandungan garam, atau daya hantar listrik, antara lahan agak salin dan lahan salin. Klasifikasi tipologi lahan seperti ini relatif mudah dipahami, oleh karena itu secara luas telah digunakan untuk klasifikasi tipologi lahan pertanian guna pengelolaan lahan rawa secara terpadu oleh institusi dan berbagai proyek penelitian lahan rawa Badan Litbang Pertanian Dep. Pertanian seperti, Balittra (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) Banjarbaru, proyek SWAMPS-II (19851994), ISDP (Integrated Swamp Development Project) (1994-2000), dan Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan) (1997-2000). Demikian juga berbagai tulisan dan makalah tentang lahan rawa dari tahun 1985 sampai dengan sekitar tahun 2002, masih banyak yang menggunakan istilah-istilah tipologi lahan tersebut. Namun dalam perkembangannya, telah timbul berbagai kritikan tentang penamaan tipologi lahan tersebut, yang seringkali menimbulkan kerancuan dan kesalahpengertian (Sudarsono, 1999). Yang dipersoalkan, sebenarnya hanyalah terletak pada istilah: lahan potensial (P), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidiknya terdapat pada kedalaman >50 cm vs sulfat masam potensial (SMP), untuk lahan pasang surut yang lapisan bahan sulfidik terletak pada kedalaman <50 cm. Lahan potensial yang dianggap berpotensi pertanian nomer 1-2 di lahan rawa dan SMP yang berpotensi pertanian nomer 3, sama-sama menggunakan kata potensial. Untuk menanggapi kritikan tersebut, Widjaja-Adhi (1995a), kemudian merevisi penamaan tipologi lahan 1985-1999 tersebut. Kini, semua lahan potensial dan sulfat masam potensial (SMP) yang sama-sama memiliki bahan sulfidik/pirit yang belum mengalami proses oksidasi, disebut Aluvial bersulfida (SMP), dan pembagian selanjutnya didasarkan pada kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah. Sedangkan lahan sulfat masam aktual (SMA), dimana bahan sulfidik telah mengalami proses oksidasi membentuk senyawa sulfat (SO4), kini disebut Aluvial bersulfat (SMA). Pembagian selanjutnya didasarkan

60

Subagyo

pada nilai pH <3,5 (horison sulfurik), atau pH >3,5 (bahan sulfidik sedang teroksidasi) dan letak kedalamannya (<100 cm, atau >100 cm) dari permukaan tanah. Perkembangan penamaan tipologi lahan dari versi awal (1985-1990), dan versi terakhir yang diusulkan tahun 1995, disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Tipologi lahan rawa pasang surut, versi tahun 1995
Klasifikasi tipologi lahan, 19921993 Lahan potensial Lahan sulfat masam Klasifikasi tipologi lahan menurut Widjaja-Adhi, 1995 Aluvial bersulfida sangat dalam Aluvial bersulfida dalam Simbol SMP-3 SMP-2 Kedalaman pirit/bahan sulfidik >100 cm 50-100 cm

Aluvial bersulfida dangkal SMP-1 <50 cm Aluvial bersulfida dangkal bergambut HSM/G-0 <50 cm; bergambut (Histik sulfat masam) <50 cm Aluvial bersulfat-1 SMA-1 <100 cm (pH-H2O >3,5) Aluvial bersulfat-2 SMA-2 <100 cm (pH-H2O <3,5) Aluvial bersulat-3 SMA-3 >100 cm (pH-H2O <3,5) Salinitas dapat terjadi pada berbagai tipologi pada tanah mineral Gambut-dangkal Gambut-tengahan Gambut-dalam Gambut-sangat dalam S G-1 G-2 G-3 G-4 <50 cm; >50 cm Ketebalan gambut 50-100 cm Ketebalan gambut 101200 cm Ketebalan gambut 201300 cm Ketebalan gambut >300 cm

Lahan salin Lahan gambut

Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992) dan Proyek PLPSR-Swamps II (1993b) Widjaja-Adhi (1995a)

c. Usulan perbaikan tipologi lahan versi tahun 1995 Pada uraian berikut akan diuraikan usulan-usulan perbaikan pada tipologi lahan versi terakhir (Widjaja-Adhi, 1995a). Pengalaman di lapangan di berbagai tempat pada tanah persawahan pasang surut yang sudah stabil milik penduduk setempat seperti di daerah Muara Dadahup, dekat lokasi Proyek PLG 1 Juta hektar di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kedalaman lapisan bahan sulfidik pada sawah-sawah stabil tersebut umumnya terletak pada kedalaman 100 cm atau lebih dari permukaan tanah.

61

Lahan Rawa Pasang Surut

Sementara pada sawah-sawah tetap tersebut, yang produktivitasnya lebih rendah, lapisan bahan sulfidik berada pada kedalaman antara 50-100 cm. Hal yang sama juga ditemukan pada lahan persawahan pasang surut yang sudah stabil di Iokasi pemukiman transmigrasi di Delta Upang dan Delta Telang, Kabupaten Musi Banyuasin di Sumatera Setatan. Tampaknya lahan potensial yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >50 cm, merupakan lahan yang relatif terbaik, atau paling potensial, diantara lahan-Iahan marginal di wilayah rawa pasang surut. Sedangkan lapisan bahan sulfidik yang kedalamannya 100 cm atau lebih, bersifat lebih baik, atau lebih potensial lagi. Akibat perbedaan potensinya, perlu dipisahkan antara lahan terbaik nomer1, Lahan Potensial-1 (Pot-1), yang kedalaman lapisan bahan sulfidik >100 cm, dan lahan-lahan terbaik nomer-2, Lahan Potensial-2 (Pot-2), yang kedalaman lapisan bahan sulfidiknya antara 50-100 cm. Hal inipun sudah dikerjakan pada survei karakterisasi lahan rawa di Sumatera Selatan (Proyek PSLPSS, 1998), dan sudah pula terliput dalam tipologi lahan versi 1995, yang disebut Aluvial bersulfida sangat dalam, SMP-3, dan Aluvial bersulfida dalam, SMP-2 (Tabel 2.4). Lahan dengan potensi pertanian agak kurang, adalah lahan sulfat masam potensial, SMP, yang memiliki lapisan bahan sulfidik relatif belum mengalami proses oksidasi, pada kedalaman <50 cm, atau antara 0-50 cm dari permukaan tanah. Lahan ini masih memiliki lapisan gambut di permukaan setebal <50 cm, disebut SMP-G (bergambut), atau HSM (Histik sulfat masam), atau G-O (tanah bergambut), sebenarnya memiliki potensi kesuburan yang lebih baik dari pada SMP yang lapisan gambutnya sudah habis, karena adanya lapisan gambut yang ikut menyumbang tingkat kesuburan tanahnya. Sebenarnya hal yang sama juga terjadi pada lahan potensial bergambut, atau Pot-G (bergambut), tetapi tipe lahan ini pada umumnya tidak ditemukan lagi di lapangan, mungkin karena potensi pertaniannya yang lebih baik, sudah digunakan secara intensif untuk persawahan atau pertanian lahan kering, sehingga lapisan gambutnya sudah lenyap, atau tidak terdeteksi lagi. Lahan yang potensi pertaniannya lebih rendah lagi akibat banyaknya kendala, adalah lahan sulfat masam aktual, SMA. Ada dua tipe lahan SMA: pertama, potensinya relatif lebih baik, menunjukkan lapisan bahan sulfidik pada kedalaman <50 cm sedang mengalami proses oksidasi, tetapi relatif belum 62

Subagyo

tuntas/habis, yang dicirikan oleh pH-H2O di lapangan antara 3,5-4,0, disebut SMA-1. Kedua, dimana lapisan bahan sulfidik pada kedalaman yang sama, < 50 cm, relatif sudah tuntas teroksidasi dan dicirikan oleh pH-H2O di lapangan < 3,5, disebut SMA-2. Secara teoritis, oksidasi pirit mulai terjadi saat penurunan air tanah telah mencapai lapisan yang mengandung bahan sulfidik. Dengan semakin menurunnya permukaan air tanah, udara yang mengandung oksigen akan masuk melalui pori-pori atau rekahan-rekahan dalam tanah. Lingkungan pirit menjadi terexposed dan pirit lalu mengalami proses oksidasi. Karena udara masuk dari atmosfer di atas tanah, maka proses oksidasi yang paling efektif akan terjadi di lapisan tanah bagian atas (0-50 cm). Makin ke bawah, pada lapisan 50-100 cm, intensitas oksidasi pirit diperkirakan makin berkurang, karena adanya gerakan naik air kapiler dari permukaan air tanah di bawah kedalaman 100 cm. Inilah sebabnya mengapa definisi tanah Sulfaquepts menyebutkan harus memiliki horison sulfurik (tebal 15 cm atau lebih, dengan pH-H2O <3,5) yang batas atasnya berada pada kedalaman 0-50 cm dari permukaan tanah. Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak pernah menyebutkan adanya horison sulfurik pada kedalaman antara 50-100 cm, dan terlebih lagi pada kedalaman >100 cm. Proses oksidasi pirit yang efektif, ditunjukkan oleh pH-H2O <3,5, pada lapisan tanah lebih dari 1 m (100 cm), walaupun masih menjadi bahan perdebatan, diperkirakan tidak dapat terjadi, ataupun kalau terjadi, tidak dapat berlangsung lama. Alasannya yang pertama, diperlukan penurunan permukaan air tanah minimal 1,5 m atau 2 m untuk memicu terjadinya proses oksidasi pirit yang efektif, yang tidak dipengaruhi gerakan naik air kapiler. Selain proses difusi udara ke lapisan di bawah 1 m yang berjarak relatif jauh, mungkin sangat sulit mencapai penurunan permukaan air tanah sampai sedalam 1,5-2 m pada tanah rawa pada (landform) rawa belakang, walaupun yang mempunyai tipe luapan C, dengan kedalaman air tanah <0,5 m, dan tipe luapan D yang memiliki kedalaman air tanah >0,5 m. Alasan kedua, seandainya dapat terjadi oksidasi cukup intensif pada musim kemarau pada lapisan tanah sedalam lebih dari 1 m, akibat dari konduktivitas hidraulik tanah rawa, baik yang vertikal maupun horisontal/lateral, yang relatif cepat, maka proses oksidasi tidak dapat berlangsung lama, sementara ada kemungkinan hasil-hasil oksidasi bahan sulfidik di tanah bagian atas <50 cm akan segera tercuci, yang pada akhirnya justru akan membentuk

63

Lahan Rawa Pasang Surut

lahan potensial-1. Atas dasar alasan-alasan ini, diperkirakan bahwa lahan sulfat masam aktual-3, SMA-3, yang memiliki pH-H2O <3,5 pada kedalaman > 100 cm, yang secara teoritis mungkin saja terjadi, seperti halnya dengan lahan potensial bergambut (Pot-G), tetapi tidak pernah dijumpai/ ditemukan di lapangan. Mengenai tipologi lahan pada tanah gambut, yang membagi tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan gambut, secara umum tidak ada masalah. Walaupun disebutkan bahwa faktor kematangan, atau tingkat dekomposisi bahan gambut, yakni fibrik, hemik, dan saprik; kandungan hara gambut, apakah oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik; serta bahan tanah bawah, atau substratum, apakah endapan sungai, endapan marin, atau pasir kuarsa, cukup berpengaruh pada pemanfaatan dan pengelolaan lahan rawa, tidak digunakan dalam kriteria tipe-tipe lahan gambut. Oleh karena sebagian besar tanah rawa, kecuali sedikit tanah-tanah tanggul sungai alam, merupakan endapan marin, maka tanah gambut yang terbentuk di cekungan/depresi juga memiliki tanah dasar berupa endapan marin yang mengandung bahan sulfidik. Kontribusi konsep horison dan sifat-sifat penciri yang didefinisikan secara kuantitatif untuk tanah rawa dari Taksonomi Tanah, baik tanah mineral maupun tanah gambut, seperti bahan sulfidik, horison sulfurik, tanah salin atau sifat sodik, dapat diaplikasikan pada kedua kelompok tanah tersebut, untuk mempertajam pembagian tipologi lahan. Atas dasar uraian di atas, usulan perbaikan klasifikasi tipologi lahan Widjaja-Adhi versi 1995, pada dasarnya adalah: 1. Tipe-tipe lahan diurutkan mulai dari yang potensinya relatif terbaik, dan dipisahkan antara tanah mineral dan tanah gambut. Lahan potensial-1 atau aluvial bersulfida sangat dalam yang diberi simbol SMP-1 ditempatkan lebih dahulu daripada lahan potensiai-2, ataualuvial bersulfat dalam, yang diberi simbol SMP-2. 2. Dalam kelompok lahan sulfat masam potensial, SMP yang bergambut, diurutkan lebih dahulu, dan dapat diberi simbol HSM (histik sulfat masam), SMP-G (bergambut), atau G-O (tanah bergambut). Untuk menghormati versi aslinya, digunakan simbol HSM. Definisi bergambut digunakan batasan Taksonomi Tanah, yaitu mempunyai epipedon histik dengan ketebalan gambut 20-50 cm. Karena potensi pertaniannya relatif lebih rendah, SMP

64

Subagyo

yang biasa atau lapisan gambutnya tipis, 0-20 cm, disebut aluvial bersulfida dangkal dan diberi simbol SMP-3. 3. Sesuai potensinya, untuk kelompok lahan sulfat masam aktual, urutannya sudah benar, yaitu terlebih dulualuvial bersulfat-1, yang diberi simbol SMA-1, dan diikuti aluvial bersulfat-2, yang diberi simbol SMA-2. Berdasarkan alasan yang telah diuraikan, untuk sementara sampai benar-benar dapat ditemukan di lapangan, aluvial bersulfat-3, atau SMA-3, tidak dimunculkan dalam tabel tipologi lahan. 4. Lahan salin, mengikuti pembagian Nugroho et al. (1991) dibagi menjadi dua, yaitu lahan agak salin, S-1, yang dipengaruhi air salin/payau; dan lahan salin, S-2, yang dipengaruhi air salin/air laut. Pembagiannya untuk sementara menggunakan batasan tanah Halaquepts, dan lahan salin versi awal (19921993), yaitu % kejenuhan natrium 8-15% untuk S-1, dan >15% untuk S-2. 5. Pembagian tipologi lahan untuk tanah gambut relatif tetap sama, hanya diperbaiki dengan memasukkan kriteria adanya horison sulfurik dan bahan sulfidik, dan letak kedalamannya dalam bahan gambut. Sehingga apabila nantinya ditemukan horison sulfurik pada kedalaman 0-50 cm, ataupun bahan sulfidik/pirit pada kedalaman 0-100 cm, kendala yang mungkin timbul jika dibuka untuk tujuan pertanian dapat diketahui sejak awal dari nama tipe lahan gambut yang bersangkutan. 6. Semua nama tipe-tipe lahan diperlakukan sebagai nama-diri (proper names), seperti nama provinsi: Jawa Barat, nama kota: Makassar, nama orang: Soekarno, sehingga huruf awalnya menggunakan huruf kapital, Contohnya: Lahan Potensial, Aluvial Bersulfat Dangkal, dan Sulfat Masam Aktual. Untuk tanah gambut, digunakan nama diri hanya untuk huruf pertama dan disambung dengan garis datar pendek untuk menyatakan tingkat kedalaman gambut, contoh Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan seterusnya. Pembagian tipologi lahan berdasarkan usulan perbaikan yang diuraikan di atas, berikut klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) disajikan pada Tabel 2.6.

65

Lahan Rawa Pasang Surut

Tabel 2.6. Pembagian tipologi lahan dan klasifikasinya dalam Taksonomi Tanah 1999
Klasifikasi tipologi lahan, 1987-1995* Lahan potensial Klasifikasi tipologi lahan, 1998-1999** Lahan potensial-1 (Pot-1) Klasifikasi tipologi lahan (2004) Aluvial bersulfida sangat dalam (SMP-1) Kedalaman pirit/ bahan sulfidik# 101-150 cm (bahan sulfidik) pH >4,0 Taksonomi tanah (1999;2003)@ ENTISOLS Typic/Aeric/Sodic Hydraquents; Fluvaquents; Endoaquents ENTISOLS Sulfic Hydraquents/ Fluvaquents/Endoa quents ENTISOLS Typic/Haplic/Thapto -Histic Sulfaquents ENTISOLS Histic Sulfaquents ENTISOLS: Sulfic Hydraquents/ Fluvaquents/ INCEPTISOLS: Sulfic Endoaquepts

Lahan potensial-2 (Pot-2)

Aluvial bersulfida dalam (SMP-2)

51-100 cm (bahan sulfidik) pH >4,0

Lahan sulfat masam

Sulfat masam potensial (SMP)

Aluvial bersulfida dangkal (SMP-3)

0-50 cm (bahan sulfidik) pH >4,0 0-50 cm (bahan sulfidik)

Sulfat masam potensial bergambut (SMP-G) (gambut 2050 cm) Sulfat masam aktual-1 (SMA-1)

Aluvial Bersulfida dangkal bergambut (histik sulfat masam: HSM) Aluvial bersulfat-1 (SMA-1)

0-100 cm (pH 3,5-4,0) (bahan sulfidik teroksidasi)

Sulfat masam aktual-2 Aluvial bersulfat-2 (SMA-2) (SMA-2)

50-150 cm INCEPTISOLS: (Lapisan tanah 0- Typic Sulfaquepts, 50 cm, pH <3,5) Hydraquentic Sulfaquepts, Salidic Sulfaquepts 0-150 cm (pH >6,0;ESP 815%) 0-150 cm (pH >6,0;ESP >15%) Tebal gambut 50-100 cm (0100 cm, tanpa bahan sulfidik) Tebal gambut 50-100 cm (0100 cm, bahan sulfidik) ENTISOLS: Typic Hydraquents/Endoa quents ENTISOLS: Typic Hydraquents/Endoa quents HISTOSOLS Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa prists

Lahan salin

Lahan salin (LS)

Lahan agak salin (S-1) Lahan salin (S-2)

Lahan gambut

Gambut-dangkal (50-100 cm gambut) (GDK)

Gambut-dangkal (G-1)

Gambut-dangkal bersulfida (G-1sf)

66

Subagyo

Klasifikasi tipologi lahan, 1987-1995*

Klasifikasi tipologi lahan, 1998-1999**

Klasifikasi tipologi lahan (2004) Gambut-dangkal bersulfat (G-1sr)

Kedalaman pirit/ bahan sulfidik#

Taksonomi tanah (1999;2003)@ HISTOSOLS: Typic Sulfohemists/Typic Sulfosaprists HISTOSOLS Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa prists HISTOSOLS: Typic Sulfohemists/Sulfos aprists HISTOSOLS Haplofibrists/Haploh emists/ Haplosaprists HISTOSOLS: Typic/Terric Sulfihemists/Sulfisa prists

Gambut-sedang (101-200 cm gambut) (GSD)

Tebal gambut 50-100 cm (0-50 cm, horison sulfurik) Gambut-sedang (G- Tebal gambut 2) 101-200 cm (0200 cm, tanpa bahan sulfidik) Gambut-sedang bersulfida (G-2sf) Tebal gambut 101-200 cm (0100 cm, bahan sulfidik) Tebal gambut 101-200 cm (050 cm, horison sulfurik) Tebal gambut 201-300 cm (0300 cm, tanpa bahan sulfidik) Tebal gambut 201-300 cm (0100 cm, bahan sulfidik)

Gambut-sedang bersulfat (G-2sr)

Gambut-dalam (201-300 cm gambut) (GDL)

Gambut-dalam (G3)

Gambut-dalam bersulfida (G-3sf)

Gambut-sangat dalam Gambut-sangat ( >300 cm gambut) dalam (G-4) (GSDL)

HISTOSOLS Tebal gambut >300 cm (>300 Haplofibrists/Haploh cm, tanpa bahan emists/ sulfidik) Haplosaprists

*) Widjaja-Adhi et al. (1992) dan PPPLPSR-Swamps Il (1993a; 1993b); ** Proyek PSLPSS (1998; 1999); @ Soil Survey Staff (1999; 2003); # Kedalaman pirit/bahan sulfidik dihitung dari permukaan tanah mineral; Ketebalan gambut dihitung dari permukaan tanah gambut.

67

68
Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 2.4. Skema pembagian tipologi lahan rawa pasang surut, berdasarkan kedalaman bahan sulfidik/pirit, dan ketebalan gambut

Subagyo

2.5.2. Sifat-sifat kimia tipe-tipe lahan Untuk dapat menguraikan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah dari tanahtanah rawa pasang surut, telah dikumpulkan data hasil analisis tanah dari 346 profil tanah mineral dan 378 profil tanah gambut, yang diperoleh dari survei/inventarisasi tanah Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dan kegiatan lainnya di Sumatera dan Kalimantan. Dari Sumatera, khususnya berasal dari survei pelaksanaan P4S dan kegiatan lain di Sumatera Selatan, yaitu Air Saleh (IPB, 1978a), Karangagung (IPB, 1978b), dan Karangagung Tengah (PPT, 1989). Dari provinsi Riau, berasal dari S. Reteh (IPB, 1969), S. Enok-Delta S. Retih (LPT, 1974), Bunut-Kuala Kampar (LPT, 1975), S. Rokan (LPT, 1976a), dan S. Siak (LPT, 1976b). Sedangkan yang dari Kalimantan, sebagian besar dari survei dan pemetaan tanah pulau-pulau delta di aliran bawah S. Kahayan, Kapuas, dan Barito, di wilayah Proyek Pengembangan Gambut (PLG) satu juta hektar, 1996-1998 (Puslittanak, 1997; 1998a; 1998b), dan di Delta Pulau Petak (SRI, 1973), serta sebagian kecil dari wilayah rawa di provinsi Kalimantan Timur. Uraian ringkas dari sifat-sifat kimia tanah, yang diberikan berikut ini diurutkan dari tanah mineral, yaitu Tanah Tanggul Sungai, Lahan Potensial-1, Lahan Potensiai-2, Sulfat Masam Potensial (SMP), Sulfat Masam Aktual (SMA), dan Tanah Salin; serta Tanah Gambut, yakni Tanah Sulfat Masam Potensial Bergambut, Gambut-dangkal, Gambut-sedang, Gambut-dalam, dan Gambutsangat dalam. Data tekstur, pH-H2O, dan kandungan sifat/ hara merupakan ratarata dari hasil analisis tanah semua profil yang tersedia dari masing-masing tipologi lahan. Setiap sifat-sifat tanah dinilai tinggi, sedang, atau rendah berdasarkan kriteria evaluasi standar yang biasa digunakan di Puslittanah dan Agroklimat. Data sifat-sifat untuk tanah mineral disajikan pada Tabel 2.7, sedangkan untuk tanah gambut pada Tabel 2.8. a. Tanah mineral Tanah tanggul sungai Dalam keadaan alami, Tanah Tanggul Sungai alam (natural levee) seringkali mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <20 cm, baik lapisan atas, sekitar 0-50 cm, maupun lapisan bawah, antara 50-200 cm. Tekstur tanah relatif sama yaitu liat berdebu (silty clay), atau lempung liat berdebu (silty clay loam). Tanah tanggul sungai di Sumatera umumnya dicirikan oleh tekstur

69

Lahan Rawa Pasang Surut

yang lebih bervariasi, dengan kandungan liat antara 10-65%, dan debu sekitar 25-95%. Di Kalimantan, tekstur tanahnya relatif lebih homogen dan lebih halus, dengan kandungan liat dan debu yang hampir sama yaitu antara 25-65%. Reaksi tanah lapisan atas dan lapisan bawah sangat masam (very strongly acid) (pH 4,65,0), dan cenderung sama atau sedikit meningkat di lapisan bawah. Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik (electrical conductivity:EC), umumnya sangat rendah (0,3-0,5 dS/m) sampai rendah (2,1-2,4 dS/m) di kedua lapisan (TabeI 2.7). Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, di lapisan atas sangat tinggi (5,30-6,46%), dan di lapisan bawah sedang sampai tinggi (2,62-4,05%). Kandungan nitrogen (N) rata-rata termasuk sedang (0,27-0,35%) di lapisan atas, dan berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (0,10-0,16%) di lapisan bawah. Rasio C/N rata-rata lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (15-18), dan di lapisan bawah termasuk tinggi (18-19). Kandungan fosfat potensial (ekstraksi 25% HCI) dan dinyatakan sebagai P2O5-HCI, termasuk sedang (27-28 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah sampai sedang (12-28 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan kalium potensial, K2O-HCI, sedang sampai tinggi (24-46 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (22-40 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (ekstraksi Bray-I) tergolong sedang (21,9-23,2 ppm) di lapisan atas, dan cenderung menurun menjadi rendah sampai sedang (8,6-16,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa termasuk tinggi, baik di lapisan atas (14,2-24,6 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (17,8-22,4 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang dominan di kedua lapisan tanah adalah Mg dan Na, masingmasing di lapisan atas terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi (6,298,69 mol(+)/kg tanah), dan sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (3,08-8,64 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (4,49-6,50 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,69-6,67 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan Kdapat tukar tergolong sedang (0,55-0,75 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit meningkat (0,60-0,67 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawahnya. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah (KTK-pH 7), karena adanya kontribusi dari bahan organik cenderung tinggi (26,1-27,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan menurun menjadi sedang (21,4-22,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kejenuhan basa (KB-pH 7), termasuk sedang sampai tinggi (44-73%) di lapisan atas, dan relatif tetap tinggi (61-75%) di lapisan bawah. 70

Tabel 2.7. Sifat-sifat tanah mineral pada lahan rawa pasang surut
Sifat-sifat tanah Jumlah profil Tekstur pH H2O (1:5) Daya hantar listrik (dS/m) Karbon-organik (%) Nitrogen (%) Rasio C/N P2O5-HCl (mg/100 g tnh) Pulau Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Tanah Tanggul S. Lap. Atas Lap. Bwh 45 31 SiCL SiC 4,7 sm 4,7 sm 0,3 sr 2,4 r 6,46 st 5,30 st 0,27 sd 0,35 sd 18 t 15 sd 28 sd 27 sd 24 sd 46 t 23,2 sd 21,9 sd 14,2 t 24,6 t 4,49 r 6,50 sd 6,29 t 8,69 st 0,55 sd 0,75 sd 3,08 st 8,64 sts 27,5 t 26,1 t SiCL SiC 4,6 sm 5,0 sm 0,5 sr 2,1 r 2,62 sd 4,05 t 0,10 sr 0,16 r 18 t 19 t 12 sr 28 sd 22 sd 40 sd 8,6 r 16,6 sd 17,8 t 22,4 t 4,69 r 6,67 sd 8,05 st 8,54 st 0,60 sd 0,67 sd 4,58 st 6,51 sts 22,3 sd 21,4 sd Lahan Potensial-1 Lap. Atas Lap. Bwh 19 81 SiCL SiC 4,2 sms 4,2 sms 0,3 sr 0,3 sr 16,18 sts 8,66 st 0,71 t 0,50 sd 27 st 17 t 38 sd 50 t 22 sd 24 sd 63,9 st 38,5 st 8,5 sd 7,2 sd 2,77 r 2,74 r 4,63 t 2,78 t 0,33 r 0,38 r 0,75 t 1,31 st 35,9 t 31,3 t SiC SiC 4,1 sms 4,2 sms 1,0 sr 0,3 sr 4,08 t 4,48 t 0,13 r 0,17 r 27 st 21 t 7 sr 17 r 26 sd 21 sd 16,2 sd 13,8 r 10,6 sd 7,3 sd 2,96 r 2,18 r 5,59 t 3,88 t 0,43 sd 0,25 r 1,60 st 1,00 t 25,7 t 24,1 t Lahan Potensial-2 Lap. Atas Lap. Bwh 43 41 SiC SiC 4,1 sms 4,2 sms 0,5 sr 1,7 sr 19,97 sts 11,69 st 0,84 st 0,58 t 24 t 22 t 70 st 133 st 39 sd 28 sd 72,3 st 53,1 st 16,7 t 7,0 sd 6,63 sd 1,57 sr 8,36 st 3,38 t 0,52 sd 0,40 sd 1,21 st 1,72 st 61,9 st 37,3 t SiC C 3,6 sms 3,7 sms 2,6 r 1,9 sr 5,57 st 5,54 st 0,25 sd 0,18 r 31 st 30 st 25 sd 25 sd 42 t 28 sd 23,6 sd 21,6 sd 15,3 t 9,8 sd 4,39 r 1,98 sr 8,69 st 5,70 t 0,41 sd 0,29 r 1,79 st 1,82 st 32,3 t 25,6 t SM Potensial Lap. Atas Lap. Bwh 13 27 SiC SiC 4,0 sms 4,3 sms 7.253 sts 20,54 sts 9,16 st 0,70 t 0,59 t 24 t 16 t 58 t 115 st 35 sd 32 sd 32,3 t 17,7 sd 21,7 t 16,7 t 7,84 sd 5,11 r 10,89 st 7,05 t 0,64 sd 0,56 sd 2,34 st 6,01 sts 62,5 st 31,5 t SiC C 3,8 sms 3,5 me 7.320 sts 6,31 st 6,61 st 0,17 r 0,28 sd 31 st 30 st 20 r 33 sd 60 t 29 sd 17,0 sd 15,2 sd 28,3 t 18,0 t 7,95 sd 4,61 r 14,19 st 8,02 t 0,55 sd 0,43 sd 5,61 sts 4,91 st 32,7 t 28,9 t SM Aktual Lap. Atas Lap. Bwh 17 SiC 3,6 sms 5,686 sts 10,93 st 0,49 sd 25 t 45 t 81 st 19,3 sd 29,1 t 4,12 r 9,25 st 0,89 t 14,87 sts 37,2 t C 2,8 me 4,344 sts 7,51 st 0,22 sd 39 st 17 r 73 st 12,6 r 21,9 t 3,49 r 8,30 st 0,37 r 9,70 sts 33,5 t Lahan Salin Lap. Atas Lap. Bwh 29 SiC 4,9 sm 13,994 sts 5,89 st 0,33 sd 25 t 45 t 103 st 8,5 sr 40,5 sts 6,95 sd 15,35 sts 2,07 st 16,11 sts 34,1 t SiC 4,7 sm 19,488 sts 5,32 st 0,33 sd 21 t 35 sd 113 st 9,5 sr 59,0 sts 8,60 sd 18,47 sts 1,79 st 30,16 sts 33,6 t

Subagyo

K2O-HCl (mg/100 Sum g tnh) Kal P2O5-Bray-I (ppm) Sum Kal Jumlah basa [cmol(+)/kg tnh] Ca-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Mg-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] K-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal

Na-dapat tukar Sum [cmol(+)/kg tnh] Kal KTK-pH 7 [cmol(+)/kg tnh] Sum Kal

71

Sifat-sifat tanah Kejenuhan basa (%)

Pulau Sum Kal

Tanah Tanggul S. Lap. Atas Lap. Bwh 44 sd 73 t 25 r 31 r 2,53 sd 1,44 r 61 t 75 t 31 r 32 r 1,03 sr 1,40 r

Lahan Potensial-1 Lap. Atas Lap. Bwh 23 r 23 r 46 sd 61 t 3,04 sd 1,00 sr 38 sd 31 r 55 sd 62 t 3,16 sd 1,04 sr

Lahan Potensial-2 Lap. Atas Lap. Bwh 27 r 28 r 36 r 55 sd 0,48 sr 0,77 sr 47 sd 44 sd 44 sd 60 sd 2,88 sd 0,81 sr

SM Potensial Lap. Atas Lap. Bwh 35 r 49 sd 32 r 35 r 0,44 sr 1,12 sr 84 st 55 sd 30 r 47 sd 2,31 r 1,35 r

SM Aktual Lap. Atas Lap. Bwh 42 sd 71 t 0,85 sr 40 sd 67 t 1,07 sr

Lahan Salin Lap. Atas Lap. Bwh 86 st 7 sr 2,38 r 86 st 15 sr 2,51 sd

72
.

Kejenuhan Al (%) Sum Kal Pirit (%) Sum Kal

Catatan: Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi. Tekstur: SiCL = lempung liat berdebu; SiC = liat berdebu; C = liat. pH-H2O: me = masam ekstrim (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (pH:3,6-4,5); sm = sangat masam (very strongly acid) (pH:4,6-5,0). Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali. Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.

Lahan Rawa Pasang Surut

Subagyo

Kejenuhan aluminium (AI), tergolong rendah (25-32%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) ternyata rendah sampai sedang (1,44-2,53%) di lapisan atas, dan menjadi sangat rendah sampai rendah (1,03-1,40%) di lapisan bawah. Lahan potensial-l Lahan potensial-1 mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar <24 cm. Tekstur tanah lapisan atas umumnya liat berdebu, atau lempung liat berdebu, dan di lapisan bawahnya hampir semuanya liat berdebu. Tekstur tanah lahan potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih halus, dengan kandungan liat relatif tinggi antara 35-90%. Sementara yang dari Sumatera sedikit lebih kasar dengan kandungan liat lebih rendah, 20-70%, dan kandungan debu tinggi, 3095%. Reaksi tanah sangat masam sekali (excessively acid) (pH 4,1-4,2), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Reaksi tanah cenderung lebih masam (pH 3,5 atau kurang) pada kedalaman 120-180 cm. Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (0,3-1,0 dS/m), di seluruh lapisan (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, yang dinyatakan sebagai C-organik, lapisan gambut tipis di permukaan sangat tinggi. Sementara kandungan bahan organik di lapisan atas sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (8,66-16,18%), dan menurun menjadi tinggi (4,08-4,88%) di lapisan bawah. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-1 dari Kalimantan relatif lebih tinggi, bervariasi dari 1 sampai 17%, sementara yang dari Sumatera bervariasi dari 1 sampai 8%. Kandungan N sedang sampai tinggi (0,50-0,71%) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah (0,13-0,17%) di seluruh lapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi (17-27), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas termasuk sedang sampai tinggi (38-50 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah berkurang menjadi sangat rendah sampai rendah (7-17 mg/100 g tanah). Kandungan K2O (HCI 25%) tergolong sedang (21-26 mg/100 g tanah) di seluruh lapisan. Kandungan P-tersedia, P2O5-Bray-I, termasuk sangat tinggi (38,5-63,9 ppm) di

73

Lahan Rawa Pasang Surut

lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (14-16 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa termasuk sedang, baik di lapisan atas (7,2-8,5 cmol(+)/kg tanah) maupun lapisan bawah (7,3-10,6 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na, yang di seluruh lapisan masingmasing terdapat dalam jumlah tinggi (2,78-5,59 cmol(+)/kg tanah), dan tinggi sampai sangat tinggi (0,75-1,60 cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar di seluruh lapisan termasuk rendah (2,18-2,96 cmol(+)/kg tanah). Kandungan K-dapat tukar rendah (0,33-0,38 cmol (+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,25-0,43 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah, karena kontribusi dari bahan organik, di dalam tanah bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata tergolong tinggi (24,1-35,9 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. KB bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata di lapisan atas termasuk rendah (23%), dan di lapisan bawah rendah sampai sedang (31-38%). Kejenuhan AI umumnya bervariasi dari rendah sampai tinggi/sangat tinggi, dengan rata-rata sedang sampai tinggi (46-62%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (1,00-1,04%) sampai sedang (3,04-3,16%) di lapisan atas dan lapisan bawah. Lahan potensial-2 Lahan potensial-2 memiliki lapisan gambut permukaan tipis, sekitar 0-20/28 cm. Tekstur tanah Lahan Potensial-2 dari Sumatera sedikit lebih kasar dan lebih homogen, dengan kandungan liat dan debu 30-70%, sementara yang dari Kalimantan lebih bervariasi dan lebih halus, dengan kandungan liat antara 3580%, dan debu 20-60%. Tetapi, semuanya tergolong bertekstur halus, yaitu liat berdebu di lapisan atas, dan liat (clay) atau liat berdebu di lapisan bawah. Reaksi tanah di lapisan atas secara umum lebih tinggi daripada lapisan bawah, dengan rata-rata sangat masam sekali, baik di lapisan atas (pH 4,1-4,2) maupun lapisan bawah (3,6-3,7). Kandungan garam yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik, tergolong sangat rendah (0,5-1,7 dS/m) di lapisan atas, dan rendah (1,9-2,6 dS/m) di lapisan bawah (Tabel 2.7).

74

Subagyo

Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, seluruh lapisan di luar lapisan gambut permukaan, umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi. Kandungan bahan organik Lahan Potensial-2 dari Kalimantan sedikit lebih tinggi daripada lahan yang sama dari Sumatera. Ratarata kandungan bahan organik tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (11,69-19,97% C) di lapisan atas, dan sangat tinggi (5,54-5,57% C) di lapisan bawah. Kandungan N di lapisan atas termasuk tinggi sampai sangat tinggi (0,58-0,84%), dan di lapisan bawah umumnya menurun menjadi rendah sampai sedang (0,18-0,25%). Rasio C/N lapisan atas termasuk tinggi (22-24), dan di lapisan bawah sangat tinggi (30-31). Kandungan fosfat potensial, (P2O5-HCI 25%), di lapisan atas termasuk sangat tinggi (70-133 mg/100 g tanah), dan menurun menjadi sedang (25 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan kalium potensial, K2O (HCl 25%) sedang (28-39 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (28-42 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) rata-rata sangat tinggi (53,1-72,3 ppm) di lapisan atas, dan menurun menjadi sedang (21,6-23,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa di seluruh lapisan tanah bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang sampai tinggi, baik di lapisan atas (7,0-16,7 cmol(+)/kg tanah), maupun di lapisan bawah (9,8-15,3 cmol(+)/kg tanan). Basa dapatttukar yang dominan, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah adalah Mg dan Na. Kandungan Mg dan Na berturut-turut masing-masing di seluruh lapisan adalah tinggi sampai sangat tinggi (3,38-8,69 cmol(+)/kg tanah, dan sangat tinggi (1,21-1,82 cmol(+)/kg tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar adalah sangat rendah sampai sedang (1,57-6,63 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan menurun menjadi sangat rendah sampai rendah (1,98-4,39 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar tergolong sedang (0,40-0,52 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,290,41 cmol (+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah ikut terbawa tinggi sampai sangat tinggi (37,361,9 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedikit menurun menjadi tinggi (25,632,3 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena adanya kandungan bahan organik sangat tinggi. Kejenuhan basa rendah (27-28%) di lapisan atas, dan termasuk sedang (44-47%) di lapisan bawah.

75

Lahan Rawa Pasang Surut

Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah sampai sedang (36-55%) di lapisan atas, dan meningkat menjadi sedang (44-60%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,48-0,77%) di lapisan atas, dan sedikit meningkat menjadi sangat rendah sampai sedang (0,81-2,88%) di lapisan bawah. Sulfat masam potensial Data profil sulfat masam potensial (SMP) menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12/16 cm. Tekstur seluruh lapisan tanah menunjukkan halus, yaitu tekstur tanah SMP dari Sumatera mempunyai kandungan liat antara 40-75%, dengan debu 25-60%. Sementara kandungan liat SMP dari Kalimantan, bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-50%. Dengan demikian, tekstur tanah lapisan atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu atau liat. Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim (extremely acid) (pH 3,5 atau kurang) sampai sangat masam (very strongly acid) (pH 4,5-4,8), dan cenderung makin masam di lapisan-Iapisan bawah. Reaksi tanah lapisan atas rata-rata sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kemungkinan besar, contoh tanah dari profil-profil yang diambil berasal dari lokasi di rawa zona I yang terkena pasang surut harian air asin/salin (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di lapisan bawah.

76

Subagyo

Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada SMP dari Sumatera bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di seluruh lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi. Oleh karena itu, rata-rata kandungan P2O5 potensial di lapisan atas termasuk sangat tinggi (115 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah sedang (33 mg/100 g tanah). Kandungan K2O tergolong sedang (32-35 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai tinggi (29-60 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang sampai tinggi (17,7-32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (15,2-17,0 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah, tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah). Basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg dan Na masing-masing untuk Mg termasuk sangat tinggi (10,8914,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP dari Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari Kalimantan. Kandungan Na tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik di lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang, baik di lapisan atas (5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah (4,61-7,95 cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang (0,43-0,64 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitar tukar kation tanah, menunjukkan nilai tinggi sampai sangat tinggi (31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi (28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di lapisan atas, dan sedang sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya rendah (32-35%) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan rendah (1,35-2,31%) di lapisan bawah.

77

Lahan Rawa Pasang Surut

Sulfat masam aktual Data Sulfat Masam Aktual (SMA) yang tersedia, hanya berasal dari lahan rawa di Kalimantan. Sementara data analisis yang berasal dari Sumatera, tidak menyebutkan adanya SMA karena data relatif berumur tua, 1974-1978. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan yang tipis, sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah liat. Lapisan atas ber-reaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-3,5, dengan pH rata-rata 2,8, sehingga tergolong ber-reaksi masam ekstrim. Kandungan garam, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tergolong sangat tinggi sekali (4.344-5.686 dS/m) baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (7,51-10,93%). Kandungan N rata-rata tergolong sedang (0,22-0,49%) di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-Iapisan bawah. Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah besar di lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi (25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) di lapisan atas bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah). Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian besar sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah (17 mg/100 g tanah). Sebaliknya kandungan K2O potensial (HCl 25%), sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi di semua lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi (73-81 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P Bray-I) di seluruh lapisan sangat rendah sampai sedang, dan cenderung semakin rendah ke lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-ratanya termasuk sedang (19,3 ppm) di lapisan atas, dan rendah (12,6 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung menurun di lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah tergolong tinggi (21,9-29,1 cmol(+)/kg tanah). Seperti pada tipe-

78

Subagyo

tipe lahan sebelumnya, basa dapatttukar yang dominan di seluruh lapisan adalah Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat tinggi (8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua tapisan. Demikian juga Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali (9,70-14,87 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong rendah (3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan lapisan bawah. Sedangkan K-dapat tukar tergolong tinggi (0,89 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (0,37 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya tergolong tinggi (33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan karena kontribusi dari bahan organik. Kejenuhan basa di seluruh lapisan tanah sangat bervariasi, sebagian sangat rendah, sebagian rendah sampai sedang, dan sebagian lagi sangat tinggi, dengan rata-rata sedang (40-42%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2) menunjukkan rata-rata sangat rendah (0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah. Lahan salin Data lahan salin yang tersedia hanya diperoleh dari lahan rawa Kalimantan. Tanah mempunyai lapisan gambut permukaan tipis sekitar 0-12 cm. Tekstur di seluruh lapisan tanah tergolong halus. Kandungan liat bervariasi antara 30-75%, dan debu 25-95%, sehingga rata-rata tekstur lapisan atas, 0-50 cm, dan lapisan bawah, sekitar 50-200 cm, tergolong liat berdebu. Reaksi tanah seluruh lapisan bervariasi dari masam ekstrim sampai dengan netral, rata-rata tergolong sangat masam (very strongly acid) (pH 4,7-4,9), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Data daya hantar listrik, yang merupakan refleksi kandungan garam di seluruh lapisan, rata-ratanya sangat tinggi sekali (13.99419.488 dS/m) (Tabel 2.7). Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, beragam dari sedang sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung meningkat di antara

79

Lahan Rawa Pasang Surut

kedalaman 80-160 cm. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi (5,325,89%) di seluruh lapisan, kecuali lapisan gambut di permukaan. Kandungan N di seluruh lapisan bervariasi rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya sedang (0,33%). Rasio C/N sangat beragam di semua lapisan dan meningkat di lapisan bawah, rata-ratanya tergolong tinggi (C/N:21-25) pada seluruh lapisan. Kandungan P2O5-HCI secara dominan bervariasi antara rendah sampai sangat tinggi dan cenderung menurun di lapisan bawah. Rata-rata kandungan P2O5-HCI termasuk tinggi (45 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (35 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O umumnya bervariasi sangat tinggi di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya sangat tinggi (103-113 mg/100 g tanah). Sebaliknya, kandungan P-tersedia bervariasi sangat rendah sampai rendah di seluruh lapisan, sehingga rata-ratanya tergolong sangat rendah (8,59,5 ppm). Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 190 cm bervariasi tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya di lapisan atas dan lapisan bawah tergolong sangat tinggi sekali (40,5-59,0 cmol(+)/kg tanah). Sebagaimana tipologi lahan lainnya, basa-basa dapat tukar yang dominan adalah Mg dan Na. Mg-dapat tukar bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat tinggi sekali (15,35-18,47-cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kandungan Na-dapat tukar, bervariasi sangat tinggi sekali di semua lapisan tanah, sehingga rata-ratanya juga sangat tinggi sekali (16,11-30,16 cmol(+)/kg tanah). Kandungan Ca-dapat tukar bervariasi dari rendah sampai tinggi, dan rata-ratanya termasuk sedang (6,95-8,60 cmol(+)/kg tanah), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Sementara K-dapat tukar bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya tergolong sangat tinggi (1,79-2,07 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitas tukar kation sebagian besar tanah bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, oleh karena itu, rata-ratanya termasuk tinggi (33,6-34,1 cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan basa seluruh lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya adalah sangat tinggi (86%). Potensi kesuburan alami tanah sebenarnya secara relatif termasuk sedang, namun kandungan garam yang terlalu tinggi merupakan kendala utama yang dapat menurunkan kesuburan tanah, sehingga potensi kesuburan tanahnya dikategorikan sangat rendah sampai rendah untuk usaha pertanian. Kejenuhan AI secara dominan termasuk sangat rendah sampai rendah, sehingga rata-ratanya termasuk sangat rendah (7-15%), baik di lapisan atas

80

Subagyo

maupun lapisan bawah. Sementara itu, kandungan pirit (FeS2) tergolong rendah (2,38%) di lapisan atas, dan sedang (2,51%) di lapisan bawah. Sulfat masam potensial bergambut Dari data yang ada, ketebalan gambut di permukaan bervariasi antara 3845 cm. Lapisan gambut permukaan ini dapat berupa bahan organik murni, atau campuran antara bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu, dan bahan organik. Kandungan fraksi liat dan debu umumnya cukup tinggi, masingmasing 35-80% dan 20-92%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu. Reaksi tanah bervariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rataratanya tergolong sangat masam sekali (pH 3,9). Kandungan garam-garam larut, yang dinyatakan sebagai daya hantar listrik tercatat sangat rendah (0,1-2,0 dS/m) (Tabel 2.8). Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, lapisan atas gambut ini umumnya sangat tinggi sekali (26,03-34,17%). Kandungan N sangat tinggi (0,98-1,09%), dan rasio C/N juga sangat tinggi (25-31). Rata-rata kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI 25%) tergolong sedang (38-94 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial (HCI 25%) rendah sampai sedang (15-27 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, sehingga rata-rata P-tersedia sangat tinggi (38,8-65,1 mg/100 g tanah). Jumlah basa pada lapisan gambut permukaan rata-rata sedang sampai tinggi (6,9-23,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kandungan Mg dan Na-dapat tukar dominan. Mg bervariasi tinggi sampai sangat tinggi (3,60-11,70 cmol(+)/kg tanah), dan Na sedang sampai sangat tinggi (0,33-2,40 cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca dan K-dapat tukar lebih rendah, yaitu Ca bervariasi rendah sampai sedang (2,79-9,20 cmol(+)/kg tanah), dan K 0,20-0,48 cmol(+)/kg tanah. Kapasitas tukar kation gambut umumnya sangat tinggi (65,0-88,1 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa SMP bergambut dari Sumatera termasuk sedang (36%), sementara yang berasal dari Kalimantan termasuk rendah (24%). Kejenuhan AI bervariasi dari rendah sampai tinggi (30-69%), sementara kandungan pint (FeS2) pada lapisan gambut permukaan ini termasuk sangat rendah (0,33-0,46%).

81

Tabel 2.8. Sifat-sifat tanah gambut pada lahan pasang surut


Sifat-sifat tanah Jumlah profil Tekstur pH H2O (1:5) Daya hantar listrik (dS/m) Karbon-organik (%) Nitrogen (%) Rasio C/N P2O5-HCl (mg/100 g tnh) K2O-HCl (mg/100 g tnh) P2O5-Bray-I (ppm) Jumlah basa [cmol(+)/kg tnh] Ca-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Mg-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] K-dapat tukar [cmol(+)/kg tnh] Pulau Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal Sum Kal SMP bergambut Lap. Atas Lap. Bwh 62 23 SiC SiC hC-SiC hC 3,9 sms 3,8 sms 3,9 sms 3,8 sms 0,3 sr 2,0 sr 0,1 sr 0,6 sr 34,17 sts 5,71 st 26,03 sts 7,87 st 0,98 st 0,11 r 1,09 st 0,21 sd 31 st 25 t 25 st 32 st 38 sd 8 sr 94 st 24 sd 27 sd 29 sd 15 r 17 r 38,8 st 13,4 r 65,1 st 13,2 r 23,9 t 17,7 t 6,9 sd 8,5 sd 9,20 sd 6,13 sd 2,79 r 2,08 r 11,70 st 8,83 st 3,60 t 5,74 t 0,48 sd 0,41 sd 0,20 r 0,18 r 2,40 st 0,33 sd 2,60 st 0,58 sd Gambut dangkal Lap. Atas Lap. Bwh 49 56 C hC 4,1 sms 4,0 sms 3,8 sms 3,8 sms 0,4 sr 1,3 sr 0,8 sr 41,98 sts 29,87 sts 38,86 sts 28,70 sts 1,50 st 1,21 st 1,34 st 0,74 t 31 st 30 st 31 st 40 st 50 t 16 r 46 t 31 sd 33 sd 16 r 19 r 14 r 19,4 sd 17,9 sd 71,8 st 30,7 t 29,7 t 21,8 t 9,0 sd 8,1 sd 12,03 t 7,20 sd 3,70 r 2,46 r 14,21 st 11,64 st 3,73 t 4,26 t 0,76 sd 0,60 sd 0,61 sd 0,28 r 2,68 st 0,94 t 2,46 st 1,13 st Gambut sedang Lap. Atas Lap. Bwh 56 35 SiC hC 4,0 sms 3,8 sms 4,0 sms 3,6 sms 0,5 sr 1,6 sr 1,1 sr 0,8 sr 47,20 sts 32,57 sts 36,28 sts 31,36 sts 1,78 st 1,10 st 1,46 st 0,72 t 28 st 37 st 29 st 46 st 42 t 15 r 58 t 16 r 21 sd 19 r 24 sd 14 r 13,2 r 23,4 sd 32,3 t 18,6 sd 51,5 sts 39,8 st 7,8 sd 5,5 r 15,38 t 12,23 t 5,18 r 2,22 r 25,60 sts 16,36 sts 2,10 t 2,70 t 0,92 t 0,87 t 0,25 r 0,16 r 5,99 sts 0,26 r 7,80 sts 0,42 sd Gambut dalam Lap. Atas Lap. Bwh 25 9 SiC hC 3,6 sms 3,7 sms 3,6 sms 3,6 sms 0,2 sr 0,5 sr 56,98 sts 45,39 sts 1,94 st 1,54 st 30 st 31 st 65 st 49 t 59 t 41 t 11,2 r 57,5 st 22,7 t 4,4 r 4,79 r 2,06 r 7,19 t 1,86 sd 1,16 st 0,21 r 1,97 st 0,24 r 53,09 sts 35,15 sts 1,40 st 0,95 st 41 st 41 st 20 r 34 sd 33 sd 21 sd 5,3 sr 41,5 st 21,7 t 4,4 r 6,05 sd 1,46 sr 7,87 t 2,37 t 0,68sd 0,20 r 3,28 st 0,32 sd Gambut sangat dalam Lap. Atas Lap. Bwh 12 19

82

3,6 sms 3,2 me 0,2 sr 56,39 sts 55,49 sts 2,02 st 1,43 st 29 st 45 st 41 t 22 sd 54 r 19 r 34,3 t 14,8 t 3,4 r 8,09 sd 1,07 sr 4,66 t 1,86 sd 1,24 st 0,26 r 1,79 st 0,19 r

3,4 me 3,4 me 0,8 sr

Lahan Rawa Pasang Surut

44,70 sts 47,23 sts 1,16 st 1,06 st 40 st 48 st 9 sr 23 sd 26 sd 12 r 25,9 sd 9,0 sd 4,1 r 2,24 r 1,71 sr 5,34 t 1,87 sd 0,47 sd 0,15 r 0,90 t 0,41 sd

Na-dapat tukar Sum [cmol(+)/kg tnh] Kal

Sifat-sifat tanah

Pulau

SMP bergambut Gambut dangkal Lap. Atas Lap. Bwh Lap. Atas Lap. Bwh 88,1 st 65,0 st 36 sd 24 sr 30 r 69 t 0,46 sr 0,33 sr 32,2 t 34,5 t 54 sd 25 r 37 r 66 t 1,87 r 0,76 sr 100,7 sts 72,9 st 91,2 st 84,5 st 37 sd 15 sr 23 r 60 sd 1,20 sr 40 sd 12 sr 33 r 73 t 0,93 sr

Gambut sedang Lap. Atas Lap. Bwh 120,4 sts 84,4 st 78,8 st 73,2 st 43 sd 14 sr 7 sr 45 sd 0,64 sr 57 sd 11 sr 14 sr 68 t 0,89 sr

Gambut dalam Lap. Atas Lap. Bwh 115,5 sts 123,9 sts 104,1 sts 73,6 st 15 sr 5 sr 10 sr 59 sd 0,26 sr 18 sr 21 r 22 r 56 sd 1,07 sr

Gambut sangat dalam Lap. Atas Lap. Bwh 128,9 sts 134,2 sts 121,5 sts 113,2 sts 10 sr 3 sr 15 sr 5 sr

KTK-pH 7 Sum [cmol(+)/kg tnh] Kal Kejenuhan basa (%) Sum Kal

Kejenuhan Al (%) Sum Kal Pirit (%) Sum Kal

0,27 sr

0,60 sr

Catatan: Tekstur, pH-H2O, dan masing-masing kandungan sifat/hara dihitung berdasarkan rata-rata (averages) dari semua profil yang dievaluasi. Tekstur: SiC = liat berdebu; C = liat; hC = liat berat (heavy clay). pH-H2O: me = masam ekstrim (extremely acid) (pH:3,5 atau kurang); sms = sangat masam sekali (excessively acid) (pH:3,6-4,5). Kandungan sifat/hara ; sr = sangat rendah; r = rendah; sd = sedang; t = tinggi; st = sangat tinggi; dan sts = sangat tinggi sekali. Sum = Sumatera; Kal = kalimantan.

Subagyo

83

Lahan Rawa Pasang Surut

Di bawah lapisan gambut permukaan terdapat tanah mineral dengan kedalaman bervariasi antara 40-175 cm. Kandungan fraksi liat tanah mineral bawah bervariasi antara 18-80%, dan debu 20-95%, sehingga tekstur tanahnya termasuk liat berdebu sampai liat (berat) (heavy clay). Reaksi tanah bevariasi antara masam ekstrim sampai sangat masam, dan rata-ratanya sangat masam sekali (pH 3,8). Kandungan garam, dinyatakan sebagai daya hantar listrik termasuk sangat rendah (0,6-2,0 dS/m). Kandungan bahan organik bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata sangat tinggi (5,71-7,87%). Kandungan N rata-rata rendah sampai sedang (0,11-0,21%). Rasio C/N umumnya beragam tinggi sampai sangat tinggi (25-32). Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada sebagian besar contoh dari Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai rendah, dengan rata-rata sangat rendah (8 mg/100 g tanah). Sementara P2O5 (HCI) dari Kalimantan, umumnya termasuk sedang (24 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial, pada contoh dari Sumatera tergolong sedang (29 mg/100 g tanah), sementara yang dari Kalimantan tergolong rendah (17 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray-I) umumnya termasuk rendah (13,2-13,4 ppm). Jumlah basa pada SMP bergambut dari Sumatera, sebagian besar bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata termasuk tinggi (17,7 cmol(+)/kg tanah). Sedangkan jumlah basa tanah dari Kalimantan, umumnya tergolong sedang (8,5 cmol(+)/kg tanah). Basa dapat tukar yang relatif dominan adalah Mg dan Na, masing-masing bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi (5,74-8,83 cmol(+)/kg tanah), dan sedang sampai sangat tinggi (0,58-2,60 cmol(+)/kg tanah). Ca dan K-dapat tukar masing-masing tergolong rendah sampai sedang, yaitu 2,08-6,13 cmol(+)/kg tanah untuk C-dapat tukar, dan 0,18-0,41 cmol(+)/kg tanah untuk K-dapat tukar. Kapasitas tukar kation tanah termasuk tinggi (32,2-34,5 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa bervariasi lebar dari sangat rendah sampai sangat tinggi pada SMP-bergambut dari Sumatera, dengan rata-rata sedang (54%). Sementara kejenuhan basa tanah dari Kalimantan bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya termasuk rendah (25%). Kejenuhan AI dan kandungan pirit (FeS2) pada contoh dari Sumatera berturut-turut rendah, 37%,

84

Subagyo

dan 1,87%, sedangkan kejenuhan AI dan kandungan pirit dari Kalimantan berturut-turut tergolong tinggi (66%) dan sangat rendah (0,76%). b. Tanah gambut Gambut-dangkal Gambut-dangkal yang dievaluasi, tercatat mempunyai kedalaman sekitar 50-100 cm. Lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni, tetapi lapisan gambut bagian bawah antara 20-100 cm, seringkali bercampur bahan tanah mineral, yang dicrikan oleh kandungan fraksi liat cukup tinggi (15-80%) pada contoh dari Sumatera, atau sangat tinggi (50-85%) pada contoh tanah dari Kalimantan, sehingga masing-masing tanah bertekstur liat atau liat berat (Tabel 2.8). Kandungan bahan organik, dinyatakan sebagai % C-organik, bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, sehingga rata-ratanya sangat tinggi sekali (28,70-41,98%), baik di lapisan atas (0-20 cm) maupun lapisan bawah (20100 cm). Kandungan N bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, cenderung tetap atau sedikit menurun ke lapisan bawah, dengan rata-rata sangat tinggi (1,34-1,50%) di lapisan atas, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,74-1,21%) di lapisan bawah. Rasio C/N umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi, dengan rata-rata sangat tinggi (30-40) di semua lapisan. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) rata-rata tinggi (46-50 mg/100 g tanah) di lapisan atas dan menurun menjadi rendah sampai sedang (16-31 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan K2O potensial, rendah sampai sedang (19-33 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-16 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P-tersedia (P-Bray I) termasuk sedang (17,9-19,4 ppm) di seluruh lapisan, seperti contoh dari Sumatera, tetapi tinggi sampai sangat tinggi (30,7-71,8 ppm) untuk contoh dari Kalimantan. Kandungan hara P2O5, K2O, dan P-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih tinggi daripada kandungan hara yang sama di lapisan bawah.

85

Lahan Rawa Pasang Surut

Jumlah basa-basa dapat tukar Gambut-dangkal dari Sumatera, bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk tinggi (21,8-29,7 cmol(+)/kg tanah) di kedua lapisan. Sementara basa-basa dapat tukar contoh dari Kalimantan, bervariasi sangat rendah sampai sangat tinggi, dengan rata-rata termasuk sedang (8,1-9,0 cmol(+)/kg tanah). Basa yang dominan adalah Mg dan Na, di lapisan atas dan bawah dengan rata-rata sangat tinggi, berturut-turut 11,64-14,21 Mg dan 2,46-2,68 cmol(+) Na/kg tanah pada contoh dari Sumatera, dan rata-rata tinggi, 3,73-4,26 cmol(+)Mg/kg tanah, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,94-1,13 cmol(+)Na/kg tanah) pada contoh dari Kalimantan. Kandungan Ca-dapat tukar rata-rata sedang sampai tinggi (7,20-12,03 cmol(+)/kg tanah) pada contoh dari Sumatera, dan rendah (2,46-3,70 cmol(+)/kg tanah) pada contoh tanah dari Kalimantan. Sementara kandungan K-dapat tukar, rata-rata sedang (0,60-0,76 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (0,28-0,60 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa Ca, Mg, K, dan Na di lapisan atas umumnya selalu lebih tinggi dibandingkan dengan unsur yang sama di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah gambut di seluruh lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata di kedua lapisan termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (72,9-100,7 cmol(+)/kg tanah) pada gambut dari Sumatera, dan sangat tinggi (84,5-91,2 cmol(+)/kg tanah) pada gambut Kalimantan. Kejenuhan basa di kedua lapisan termasuk sedang (37-40%), dengan kejenuhan Al rendah (23-33%) pada gambut Sumatera, sementara nilainya untuk gambut Kalimantan termasuk sangat rendah (12-15%) dan sedang sampai tinggi (60-73%). Kandungan pirit (FeS2), yang datanya hanya tersedia untuk gambut Sumatera, termasuk sangat rendah (0,931,20%), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Gambut-sedang Data profil pada Gambut-sedang yang dievaluasi, mempunyai kedalaman antara 104-200 cm. Sebagaimana pada Gambut-dangkal, lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm, umumnya terdiri atas bahan gambut murni. Sementara lapisan gambut bawah antara 20-200 cm, di bagian bawah sering bercampur bahan tanah mineral, yang dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan debu cukup

86

Subagyo

tinggi, yaitu 30-70% dan 30-95% pada gambut dari Sumatera, atau kandungan liat sangat tinggi (45-85%) dan debu sedang (20-50%) pada gambut dari Kalimantan, sehingga lapisan bawahnya masing-masing bertekstur liat berdebu, atau liat berat (Tabel 2.8). Reaksi gambut di seluruh lapisan umumnya sangat masam sekali, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Reaksi gambut lapisan atas lebih tinggi (pH rata-rata 4,0) dibandingkan dengan gambut lapisan bawah (pH rata-rata 3,6-3,8). Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai daya hantar listrik sangat rendah (rata-rata 0,5-1,6 dS/m), di seluruh lapisan (Tabel 2.8). Kandungan bahan organik, di seluruh lapisan bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata sangat tinggi sekali (31,36-47,20% C). Kandungan N di semua lapisan umumnya bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi dan menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata kandungan N sangat tinggi (1,46-1,78%) di lapisan atas, dan tinggi sampai sangat tinggi (0,72-1,10%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan, dominan bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata rasio C/N sangat tinggi (28-46) di seluruh lapisan. Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) di seluruh lapisan bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah. Dengan demikian, rata-rata kandungan P2O5 tergolong tinggi (42-58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (15-16 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial, beragam dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata termasuk sedang (21-24 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah (14-19 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) di seluruh lapisan, baik pada gambut Sumatera maupun Kalimantan, sama bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, tetapi variasinya pada gambut Sumatera lebih kecil (2-27 ppm) dibandingkan dengan gambut Kalimantan, 2-100 ppm, dan cenderung menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, rata-rata P-tersedia pada gambut Sumatera rendah (13,2 ppm) di lapisan atas, dan sedang (23,4 ppm) di lapisan bawah. Sementara pada gambut Kalimantan, rata-rata P-tersedia tinggi (32,3 ppm) di lapisan atas, dan sedang (18,6 ppm) di lapisan bawah. Kandungan P2O5 dan K2O potensial, serta P2O5-tersedia di lapisan atas relatif selalu lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan hara yang sama di lapisan-lapisan bawah.

87

Lahan Rawa Pasang Surut

Jumlah basa-basa dapat tukar juga ada perbedaan antara gambut dari Sumatera dan gambut dari Kalimantan. Jumlah basa di seluruh lapisan gambut Sumatera bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali, lebih tinggi dibandingkan dengan variasi sangat rendah sampai tinggi pada gambut Kalimantan. Oleh karena itu, rata-rata jumlah basa gambut Sumatera termasuk sangat tinggi sekali (51,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Sementara gambut Kalimantan memiliki rata-rata jumlah basa-basa sedang (7,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (5,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Perbedaan jumlah basa pada kedua gambut tersebut, juga tercermin pada kandungan basa-basa dapat tukar. Basa-basa yang dominan, sebagaimana pada tanah rawa sebelumnya, adalah Mg dan Na, yang pada gambut Sumatera ratarata sangat tinggi sekali di lapisan atas dan bawah, yaitu 16,36-25,60 cmol(+)/kg tanah untuk Mg, dan 5,99-7,80 cmol(+)/kg tanah) untuk Na. Sementara pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungan basa-basa di kedua lapisan gambut adalah tinggi (2,10-2,70 cmol(+)/kg tanah) untuk Mg, dan rendah (0,26 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas serta sedang (0,42 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah unruk Na. Kandungan Ca dan K-dapat tukar rata-rata pada gambut Sumatera masing-masing tinggi, yaitu 12,23-15,38 cmol(+)/kg tanah dan 0,87-0,92 cmol(+)/kg tanah baik pada lapisan atas, maupun lapisan bawah. Sedangkan pada gambut Kalimantan, rata-rata kandungannya di kedua lapisan semuanya rendah, baik untuk Ca (5,18-2,22 cmol(+)/kg tanah) maupun untuk K (0,16-0,25 cmol(+)/kg tanah). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah gambut dari kedua pulau di seluruh lapisan bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi sekali (20-195 cmol(+)/kg tanah, dan cenderung sedikit menurun di lapisan bawah. Oleh karena itu, ratarata KTK gambut di lapisan atas termasuk sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (78,8-120,4 cmol(+)/kg tanah), dan di lapisan bawah sangat tinggi (73,284,4 cmol(+)/kg tanah). Kejenuhan basa (KB) dan kejenuhan Al di seluruh lapisan gambut dari Sumatera, masing-masing tergolong sedang (43-57%) dan sangat rendah (7-14%). Sedangkan KB pada gambut Kalimantan, tergolong sangat rendah (11-14%) di seluruh lapisan, dengan kejenuhan Al termasuk sedang (45%) di lapisan atas, dan tinggi (68%) di lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2), yang datanya hanya tersedia pada gambut Sumatera, termasuk sangat rendah (0,64-0,89%), baik di lapisan gambut atas maupun di lapisan bawah.

88

Subagyo

Gambut-dalam Data profil dari Gambut-dalam yang dievaluasi, memiliki kedalaman antara 210-300 cm. Sebagaimana pada Gambut-sedang, seluruh lapisan gambut bagian atas sedalam 20 cm tersusun dari bahan gambut murni. Sementara lapisan gambut bawah antara 20-300 cm, sebagian kecil di lapisan bawah tersusun dari campuran antara bahan organik dan bahan tanah mineral, khususnya fraksi liat dan debu. Pada Gambut-dalam dari Sumatera, kandungan liat dan debu tanah mineralnya masing-masing berkisar antara 31-65% dan 34-69%, sehingga tanah mineral tersebut mempunyai tekstur liat berdebu. Sementara pada Gambut-dalam dari Kalimantan, kandungan liat tanah mineralnya sedikit lebih tinggi (34-73%), dengan fraksi debu lebih rendah (27-62%), sehingga menunjukkan tekstur liat. Nilai pH gambut di seluruh lapisan, bervariasi dari <3,5 (masam ekstrim) sampai 4,5 (sangat masam sekali), relatif tidak berubah, atau sedikit meningkat di lapisan-lapisan bawah. Rata-rata reaksi tanah adalah sangat masam sekali (pH 3,6-3,7) di seluruh lapisan. Kandungan garam-garam larut, dinyatakan sebagai daya hantar listrik, sangat rendah (rata-rata 0,2-0,5 dS/m) di seluruh lapisan gambut (Tabel 2.8). Kandungan bahan organik di seluruh lapisan sangat tinggi sekali, baik pada gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah ke lapisan-lapisan di bawahnya dengan rata-rata 35,15-56,98% di seluruh lapisan. Kandungan N juga tergolong sangat tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata 0,95-1,94%. Demikian juga nilai rasio C/N sangat tinggi, pada semua lapisan gambut, dengan rata-rata 30-41. Kandungan P2O5 potensial (P2O5-HCl) pada lapisan atas sekitar 50 cm, umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan menurun menjadi sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan gambut bawah, dengan rata-rata tinggi sampai sangat tinggi (49-65 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (20-34 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial (K2O-HCl) mirip dengan penyebaran P2O5 potensial, yaitu relatif tinggi pada lapisan atas gambut sedalam sekitar 50 cm, kemudian menurun di lapisan-lapisan bawah. Rata-rata kandungan K2O potensial tersebut termasuk tinggi (41-59 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (21-33 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan P2O5-tersedia, pada gambut Sumatera, rata-

89

Lahan Rawa Pasang Surut

rata rendah (11,2 ppm) di lapisan atas, dan sangat rendah (5,3 ppm) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5-tersedia gambut Kalimantan lebih baik, yaitu rata-rata sangat tinggi (41,5-57,5 ppm) di seluruh lapisan. Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-dalam dari Sumatera tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-dalam dari Kalimantan. Jumlah basa di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi sekali, dengan rata-rata tinggi (21,7-22,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan bawah. Hal ini tercermin juga oleh kandungan Mg dan Na pada lapisan atas dan bawah tergolong tinggi (7,19-7,87 cmol(+)/kg tanah) dan sangat tinggi (1,97-3,28 cmol(+)/kg tanah). Sementara rata-rata kandungan Ca-dapat tukar rendah (4,79 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (6,05 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah; dan kandungan K-dapat tukar rata-rata sangat tinggi (1,16 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,68 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa-basa tanah gambut dari Kalimantan lebih rendah, sebarannya di dalam profil bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dengan rata-rata rendah (4,35-4,37 cmol(+)/kg tanah) di semua lapisan. Kation Mg dan Na di lapisan atas dan lapisan bawah, masing-masing terdapat dalam jumlah sedang (1,86 cmol(+)/kg tanah) dan tinggi (2,37 cmol(+)/kg tanah), serta rendah (0,24 cmol(+)/kg tanah) dan sedang (0,32 cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan rata-rata Ca-dapat tukar tergolong rendah (2,06 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah (1,46 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Sedangkan kandungan K-dapat tukar termasuk rendah (0,20-0,21 cmol(+)/kg tanah), baik di lapisan atas maupun di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali (73,6-123,9 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah (5-21%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al gambut Sumatera sangat rendah (10%) dan rendah (22%) pada lapisan atas dan bawah, dan kejenuhan Al gambut Kalimantan termasuk sedang (56-59%) di lapisan atas dan lapisan bawah. Data kandungan pirit (FeS2) yang datanya hanya tersedia pada Gambut dalam dari Sumatera sangat rendah (0,26-1,07%), baik di lapisan gambut atas maupun lapisan gambut bawah.

90

Subagyo

Gambut-sangat dalam Data profil Gambut-dalam memiliki kedalaman antara 300-665 cm, sebagian besar antara 300-500 cm, dan sebagian lagi antara 610-665 cm. Seluruh lapisan Gambut-sangat dalam berupa bahan organik murni. Kandungan bahan organik di semua lapisan sangat tinggi sekali, baik pada gambut Sumatera maupun gambut Kalimantan, dan relatif tidak berubah di lapisan-lapisan di bawahnya, dengan rata-rata tergolong sangat tinggi sekali (44,70-56,39%) di semua lapisan. Kandungan N juga bervariasi sangat tinggi di seluruh lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (1,06-2,02%). Demikian juga nilai rasio C/N terdapat sangat tinggi pada semua lapisan gambut, dengan rata-rata sangat tinggi (C/N 29-48). Kandungan garam-garam larut sangat rendah dengan rata-rata 0,2-0,8 dS/m di seluruh lapisan. (Tabel 2.8). Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) pada gambut Sumatera, bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai rendah di lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (41 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sangat rendah (9 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara P2O5 potensial gambut dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai tinggi di seluruh lapisan, dengan rata-rata sedang (22-23 mg/100 g tanah). Kandungan K2O potensial, pada gambut Sumatera bervariasi dari sedang sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan sangat rendah sampai sedang di lapisan-lapisan bawah, dengan rata-rata tinggi (54 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang (26 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Kandungan K2O potensial gambut Kalimantan sangat rendah sampai rendah/sedang di seluruh lapisan, dengan rata-rata tergolong rendah (12-19 mg/100 g tanah). Kandungan fosfat tersedia (P2O5-Bray I) hanya tersedia data dari gambut Kalimantan, yang bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, tetapi kemudian menurun menjadi sangat rendah sampai tinggi, dan seterusnya sangat rendah sampai rendah di lapisanlapisan di bawahnya. Rata-rata kandungan P-tersedia termasuk tinggi (34,3 ppm) di lapisan atas dan sedang (25,9 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa-basa dapat tukar pada Gambut-sangat dalam dari Sumatera tampaknya lebih baik, dibandingkan dengan Gambut-sangat dalam dari Kalimantan. Di dalam profil-profil tanah gambut Sumatera, jumlah basa di seluruh

91

Lahan Rawa Pasang Surut

lapisan bervariasi dari sangat rendah sampai tinggi, dengan rata-rata tinggi (14,8 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas dan sedang (9,0 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan basa-basa gambut dari Kalimantan lebih rendah, menyebar di seluruh lapisan, sebagian besar bervariasi sangat rendah sampai rendah, dengan rata-rata rendah (3,4-4,1 cmol(+)/kg tanah). Kandungan ion dominan adalah Mg dan Na, dimana kandungan Mg dan Na pada gambut Sumatera berturut-turut tinggi (4,66-5,34 cmol(+)/kg tanah) dan tinggi sampai sangat tinggi (0,90-1,79 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Sementara rata-rata kandungan Ca-dapat tukar tergolong sedang (8,09 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan rendah (2,24 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan K-dapat tukar rata-rata sangat tinggi (1,24 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,47 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Rata-rata kandungan Mg-dapat tukar pada gambut Kalimantan, termasuk sedang (1,86-1,87 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan, sementara rata-rata Nadapat tukar rendah (0,19 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan sedang (0,41 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah. Kandungan rata-rata Ca dan K-dapat tukar, berturut-turut tergolong sangat rendah (1,07-1,71 cmol(+)/kg tanah), dan rendah (0,15-0,26 cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitas tukar kation gambut tergolong sangat tinggi sekali (113,2-134,2 cmol(+)/kg tanah), dengan kejenuhan basa sangat rendah (3-15%) di seluruh lapisan. Kejenuhan Al yang datanya hanya tersedia untuk gambut Kalimantan, termasuk rendah (34%) di lapisan atas, dan sedang (46%) di lapisan bawah. Data kandungan pint (FeS2) yang datanya hanya tersedia untuk gambut dari Sumatera sangat rendah (0,27-0,60%), baik di lapisan gambut atas maupun lapisan gambut bawah. PENUTUP Dalam dua-tiga dekade terakhir, akibat pertambahan penduduk yang masih cukup tinggi, 1,5%/tahun, di Pulau Jawa yang kini dihuni sekitar 150 juta orang, dan pesatnya pertumbuhan komplek industri, prasarana jalan, dan pembangunan komplek perumahan dan real estate, telah terjadi tuntutan permintaan lahan yang luar biasa, khususnya di Jawa dan Bali, dan sekitar kota-kota besar di Luar

92

Subagyo

Jawa. Sebagai dampaknya terjadilah konversi lahan pertanian, di mana the prime lands yang berupa lahan irigasi dan lahan pertanian lainnya yang relatif subur berubah fungsi untuk penggunaan berbagai keperluan non-pertanian. Kontribusi produksi padi dari Jawa terhadap produksi padi nasional yang sampai tahun 1995, sekitar 59-60%, dewasa ini cenderung makin menurun. Untuk mendukung ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan penciptaan lapangan kerja, pengembangan pertanian ke depan, termasuk perluasan lahan pertanian baru, harus di arahkan pada lahan-lahan yang ada di luar Jawa. Pilihan sumberdaya lahan yang tersedia untuk tujuan ini, adalah lahan kering dan lahan rawa. Sifat-sifat dominan lahan kering, yang luasnya diperkirakan 47 juta ha, umumnya bersifat masam dengan kesuburan alami yang rendah. Lahan kering ini, yang umumnya didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols, berdasarkan pengalaman dua dekade terakhir, nampaknya kurang sesuai untuk usaha pertanian tanaman pangan, tetapi lebih sesuai untuk budidaya tanaman tahunan/perkebunan. Di sisi lain, di luar Jawa masih tersedia lahan rawa seluas sekitar 33-39 juta ha lahan rawa, yang terdiri atas 20,1-25,8 juta ha lahan rawa pasang surut, dan sekitar 13,3 juta ha lahan rawa lebak, yang sejak tahun 1970-an telah berhasil di reklamasi untuk pertanian seluas sekitar 5,4 juta ha. Selama bertahun-tahun, melalui proses trials and erors, para petani lahan rawa, baik penduduk setempat maupun petani transmigran, telah cukup banyak memiliki pengetahuan bagaimana cara mengelola lahan rawa untuk dijadikan areal persawahan yang produktif. Hasil penelitian dan pengalaman memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat, sesuai dengan karakteristiknya, melalui penerapan Iptek yang benar, maka lahan rawa yang termasuk lahan marjinal dengan tingkat kesuburan alami yang rendah, dapat dijadikan areal pertanian produktif. Lahan rawa yang merupakan lahan basah, atau wetland, adalah salah satu aset sumberdaya tanah nasional yang semakin penting peranannya di masa mendatang. Pengembangan laha rawa untuk pertanian, selain memiliki potensi dan prospek yang besar, juga menghadapi berbagai masalah/kendala, baik biofisik, sosial ekonomi, maupun kelembagaan. Oleh karena itu, untuk pelestarian sumberdaya dan keberlanjutan pemanfaatannya, pengembangan pertanian di lahan rawa pada suatu kawasan luas, perlu direncanakan dan ditangani secara cermat dan hati-hati, dengan memilih teknologi dan pola penerapannya yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya (Alihamsyah, 2001). Kekeliruan dalam

93

Lahan Rawa Pasang Surut

reklamasi dan pengelolaan lahan, sering menghasilkan lahan-lahan tidur yang sulit/tidak dapat ditanami tanaman pertanian, dan membutuhkan biaya besar untuk rehabilitasinya, serta sangat sukar untuk memulihkan kembali seperti kondisi semula. DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah, T. 2001. Propek pengembangan dan pemanfaatan lahan pasang surut dalam perspektif eksplorasi sumber pertumbuhan pertanian masa depan. Dalam I.Ar- Riza, T. Alihamsyah, dan M. Sarwani (Eds.). Pengelolaan Air dan Tanah di Lahan Pasang Surut. Monograf ISSN 1410637 X. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Hlm. 1-18. Andriesse, J.P. 1997. The reclamation of peatswamps and peat in Indonesia. Widiatmaka (ed.). Center for Wetland Studies, Faculty of Agric., Bogor Agric. University. Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of acid sulphate soils. p. 265-326. Advances in Agronomy. BPS, Jakarta - Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 2001. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta-Indonesia. Brinkman, R., and L.J. Pons. 1968. A pedo-geomorphologial classification and map of the holocene sediments in the coastal plain of the three Guianas. Soil Survey Papers 4, Stiboka, Wageningen. Cameron, C.C,, Supardi, T.J. Malterer, and J.S. Esterle. 1987. Peat resources mapping along the Batang Hari river, near Jambi, South Sumatra. lnt. Peat Soc. Symp. on Tropical Peat and Peatlands, Yogyakarta. Davis, S.N., P.H. Reitan, and R. Pestrong. 1976. Geology. Our Physical Environment. McGraw-Hill Book Company. 470 pp. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. International Land Reclamation Institutes Publ. 39, Wageningen, The Netherlands. Diemont, W.H., and L.J. Pons. 1991. A preliminary note on peat formation and gleying in the Mahakam inland floodplain, East Kalimantan, Indonesia. p. 74-80. In. Aminuddin, B.Y. (ed.). Tropical Peat. Proc. Int. Symp. on Tropical Peatland, Kuching, Sarawak, Malaysia, 6-10 May 1991. Holmes, D.L. 1978. Holmes Principles of Physical Geology. A Halsted Press book. John Wiley & Sons. New York. 730 pp.

94

Subagyo

IPB (Institut Pertanian Bogor). 1969. Laporan Survei ke Daerah Pasang Surut S. Reteh, Riau. IPB dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Desember 1969. IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Daerah Air Saleh, Sub-P4S Sumatera Selatan. IPB-P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. April 1976. IPB (Institut Pertanian Bogor). 1978b. Soil Surveys and Soil Mapping of Karangagung Area, Sub-P4S South Sumatra. IPB-Tidal Swampland Develop. Project, Direct. Gen. Water Resourc. Develop., Ministry of Public Works and Electric Power. June 1978. Jansen, J.A.M., H. Prasetyo, Alkasuma, and W. Andriesse. 1990. Landscape Genesis and Physiography of Pulau Petak as Basis for Soil Mapping. LAWOO/AARD Scientific Report No. 18. ILRI, Wageningen. Jaya, A. 2002. Sebaran gambut di Kalimantan Tengah dan kandungan karbon. h. 161-172. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Konsten, C.J.M., and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and related chemical characteristics of acid sulphate soils in Pulau Petak, Kalimantan. p. 30-50. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia. p. 109-135. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. AARD and LAWOO. Konsten, C.J.M., W. Andriesse, and R. Brinkman. 1986. A field laboratory method to determine total potential and actual acidity in acid sulphate soils. p. 106134. In H. Dost (ed.). Selected Papers of the Dakar Symposium on Acid Sulphate Soils. Dakar, Senegal, January 1986. ILRI publication 44, Wageningen, The Netherlands. Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern. Comm. No. 74, Wageningen, The Netherlands. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1969. Survey Tanah Delta Kapuas, Kalimantan Barat, 1968-1969. Dokumen LPT No. 7/1969. Direktorat Jenderal Pertanian, Departemen Pertanian.

95

Lahan Rawa Pasang Surut

LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1974. Survey dan pemetaan Tanah Daerah S. Enok-Delta S. Retih, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 3/1975. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1975. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Bunut-Kuala Kampar, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 10/1975. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976a. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Sungai Rokan, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 5/1976. LPT (Lembaga Penelitian Tanah). 1976b. Survey dan Pemetaan Tanah Daerah Sungai Siak, Riau. LPT, Dep. Pertanian dan P4S Dirjen Pengairan, Dep. PUTL. Publ. LPT No. 6/1976. Michaelsen, J., and H.L. Phi. 1998. Field experiment in Ly Nhon. p. 71-85. In van den Bosch, H., H.L. Phi, J. Michaelsen, and K. Nugroho. 1988. Evaluation of water management strategies for sustainable land use of acid sulphate soils in coastal lands in the tropics. DLO Winand Staring Centre. Report 157, 177 pp. Wageningen, The Netherlands. Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed ombrogenous peat deposits, Indonesia. p. 55-72. In Rieley, J.O., and S.E. Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Palangka Raya, 4-8 Sep. 1995. Pons, L.J. 1970. Acid Sulphate Soils (soils with cat-clay phenomena) and the Prediction of their Origin from Pyrite Muds. Fysisch. Geograf. en Bodemkunde. Lab. Publ. No. 16, Amsterdam, The Netherlands. Pons, L.J., and I.S. Zonneveld. 1965. Soil Ripening and Soil Classification. Initial soil formation in Alluvial deposits and a classification of the resulting soils. ILRI Pub. 13, Wageningen, The Netherlands. Pons, L.J., N. Van Breemen, and P.M. Driessen. 1982. Physiography of coastal sediments and development of potential soil acidity. p. 1-18. In J.A. Kittrick, D.S. Fanning, and L.R. Hossner (Eds.) Acid Sulfate Weathering. Soil Sci. Soc. Am. Spec. Pub. No. 10, Soil Sci. Soc. Am., Madison. WI. Prasetyo H., J.A.M. Jansen, and Alkasuma. 1990. Landscape and soil genesis in pulau Petak. p. 1829. In Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor, 20-22 November 1990. Indonesia. PPT (Pusat Penelitian Tanah), 1989. Survei dan Pemetaan Tanah Detail Daerah Pasang Surut Karangagung Tengah, Kab. Musi Banyuasin, Prop. Sumatera Selatan.

96

Subagyo

Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-SwampsII. 1993a. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa, 1985-1993: Kontribusi dan prospek pengembangan. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PPLPSR (Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa)-SwampsII. 1993b. Petunjuk Teknis Pengelolaan Sistem Usahatani di Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan). Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan). 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Laporan Tim Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Proyek PSLPSS (Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan). 1999. Identifikasi dan Karakterisasi Wilayah Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut di Propinsi Sumatera Selatan. Tahap II. laporan Tim Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Dep. Pertanian. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1997. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak (unpublished) . Hlm 173. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998a. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja B, Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim Peneliti Puslittanak (unpublished) . Hlm 142. Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 1998b. Laporan Final Survei dan Pemetaan Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja D, Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar, untuk Pengembangan Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Tim peneliti Puslittanak, (unpublished). Hlm 131. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soi Surveys. Agr. Handb. 436, Soil Conservation Service-USDA. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436, Natural Resources Conservation Service-USDA. Soil Survey Staff. 2003. Keys Soil Taxonomy. Ninth Edition, 2003. Natural Resources Conservation Service-USDA.

97

Lahan Rawa Pasang Surut

SRI (Soil Research Institute). 1973. Report on soil investigations of the Delta Pulau Petak, South and Central Kalimantan. Direct. Gen. of Agric., Ministry of Agric., SRI No. 5/1973. Strahler, A.N. 1973. Introduction to Physical Geography. Third Edition. John Wiley & Sons. New York, London, Sydney, Toronto. 468 pp. Subagyo, H. 2002. Penyebaran dan potensi tanah gambut di Indonesia untuk pengembangan pertanian. h. 197-227. Dalam CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). 2003. Sebaran Gambut di Indonesia. Seri Prosiding 02. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Sudarsono. 1999. Pemanfaatan dan pengembangan lahan rawa/pasang surut untuk pengembangan pangan. h. 81-93. Dalam Irsal Las et al. (penyunting) Prosid. Sem. Nas. Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9-11 Pebruari 1999. Buku 1. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Van Bremen, N. 1973. Soil forming processes in acid sulphate soils. p. 66-130. In Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. I. Introductory Papers and Bibliography. Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands. Van Dam, D., and L.J. Pons. 1973. Micropedological observations on pyrite and its pedological reaction products. p. 169-196. In Dost, H. (ed.). Acid Sulphate Soils. II. Research Papers. Proc. Intern. Symp., 13-20 August 1972, Wageningen, The Netherlands. Van Wijk, A.L.M., I P.G. Widjaja-Adhi, C.J. Ritsema, and C.J.M. Konsten. 1992. A simulation model for acid sulphate soils, II. Validation and application. p. 357-367. In D.L. Dent, and M.E.F. van Mensvoort (ed.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symp. on Acid Sulphate Soils, Vietnam, March 1992. ILRI publ. 53, Wageningen, The Netherlands. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Potensi, Peluang, dan Kendala Perluasan Areal Pertanian di Lahan Rawa di Kalimantan dan Irian Jaya. Sem. Perluasan Areal Pertanian di KTI. PIl, Serpong 7-8 November 1995 (tidak dipublikasi). Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 1938. Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua, 3-4 Maret 1992. Wiradinata, O.W., dan R. Hardjosusastro. 1979. Penyebaran dan beberapa sifat gambut di daerah Sumatera Selatan. h. A18-01-A18.11. Makalah dalam Simposium Nasional III Pengembangan Daerah Pasang Surut, Palembang 5-9 Februari 1979.

98

III

LAHAN RAWA LEBAK


Subagyo H.

99

Lahan Rawa Lebak

3.1. PENGERTIAN Seperti telah diuraikan sebelumnya, lahan (rawa) lebak merupakan zona ketiga yang terletak makin ke arah hulu sungai, yaitu mendekati atau berada pada daerah aliran sungai (DAS) bagian tengah. Pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi, berganti dengan pengaruh sungai yang sangat dominan, yaitu berupa banjir besar yang secara periodik menggenangi wilayah selama musim hujan. Banjir tahunan dapat terjadi, sebagai akibat dari volume air sungai yang menjadi sangat besar selama musim hujan, dan tekanan balik arus pasang dari bagian muara. Sungai di daerah ini tidak mampu menampung semua air, sehingga meluap membanjiri dataran banjir di kiri kanan sungai. Selama musim hujan, rawa lebak selalu digenangi air kemudian secara berangsur-angsur air banjir akan surut sejalan dengan perubahan musim hujan ke musim kemarau tahun berikutnya. Istilah rawa lebak adalah istilah rawa non-pasang surut di daerah Sumatera Selatan. Di Jambi, persawahan di rawa lebak dikenal sebagai sawah rawa payau. Di Kalimantan Selatan, disebut sawah rintak/timur, jika musim tanam pada awal musim kemarau, dan sawah surung/barat jika musim tanamnya pada awal musim hujan. Di Kalimantan Timur, persawahan lebak disebut sawah rapak atau sawah kelan. Sedangkan lahan lebak, yang secara terbatas terdapat di bagian hilir aliran Sungai/Bengawan Solo di Jawa Timur, disebut "bonorowo". Lahan rawa lebak seringkali didefinisikan sebagai lahan rawa non-pasang surut, yang karena posisinya di dataran banjir sungai mendapat genangan secara periodik sekurang-kurangnya sekali dalam setahun, yang berasal dari curah hujan dan/atau luapan banjir sungai. Genangan yang membanjiri lahan lebak dapat terjadi lebih dari satu kali, akibat curah hujan di wilayah tangkapan hujan di bagian hilir sungai memiliki pola bimodal, yaitu dengan dua puncak musim hujan. Atau dapat juga terjadi, karena kondisi oro-hidrologis daerah aliran sungai bagian hilir sudah rusak, sehingga dapat terjadi banjir di bagian hilir beberapa kali dalam setahun. 3.2. PENYEBARAN Oleh karena rawa lebak terbentuk sebagai akibat banjir tahunan pada wilayah yang letaknya rendah, yaitu sebagai wilayah peralihan antara lahan darat (uplands) dan sungai-sungai besar, maka penyebarannya secara khusus terdapat

100

Subagyo

di dataran banjir (floodplains), dataran meander (sungai berkelok-kelok), dan bekas aliran sungai tua (oxbow) dari sungai-sungai besar dan anak-anak sungai utamanya. Penyebaran lahan rawa lebak di luar Jawa terdapat di tiga pulau besar, antara lain di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua) : Sumatera Way Seputih, S. Tulangbawang, dan S. Mesuji, di Provinsi Lampung; Air Musi dengan anak Sungai Ogan, Komering, dan Lematang di Provinsi Sumatera Selatan; S. Batanghari, dan S. Tungkal di Provinsi Jambi; dan S. Inderagiri, S. Kampar, S. Siak, dan S. Rokan di Provinsi Riau. Kalimantan S. Barito dengan anak sungai : S. Negara, di Provinsi Kalimantan Selatan; S. Kapuas Besar di Provinsi Kalimantan Barat; dan S. Mahakam di Provinsi Kalimantan Timur. Irian Jaya (Papua) S. Mamberamo berikut wilayah Lembah Mamberamo, dan S. Digul. Kemungkinan masih terdapat beberapa sungai besar lain, seperti di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, yang mempunyai wilayah lahan lebak, namun tidak tersedia data/informasinya. Sampai saat ini, secara umum telah diketahui bahwa lahan lebak yang telah cukup intensif dibudidayakan untuk pertanian adalah lahan lebak yang terdapat di Provinsi Sumatera Selatan (Air Musi, Ogan, Komering, dan Lematang), dan di Kalimantan Selatan (S. Barito dan S. Negara). Berapa luas rawa lebak ? Perkiraan luas lahan lebak di Indonesia lebih tidak pasti, karena tidak ada rinciannya yang agak mendetail di masing-masing pulau besar. Angka yang seringkali dipakai adalah dari penelitian Nugroho et al. (1991) yaitu luas lahan lebak di seluruh Indonesia sekitar 13,28 juta ha, terdiri atas 4,17 juta ha lebak dangkal/pematang, 6,08 juta ha lebak tengahan, dan 3,04 juta ha lebak dalam. Data lain dari Ditjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (1998) menyebutkan bahwa luas lahan lebak adalah 13,317 juta ha, telah direklamasi, atau dibuka untuk persawahan dan permukiman sekitar 1,547 juta ha, yaitu melalui program reklamasi oleh pemerintah seluas 0,448 juta ha, dan oleh swadaya masyarakat sekitar 1,009 juta ha. Luas lahan lebak yang belum dimanfaatkan diperkirakan masih sekitar 11,770 juta ha. Lahan rawa lebak umumnya menempati posisi di kanan kiri, pada dataran banjir sungai (besar), atau merupakan wilayah luas persambungan antara

101

Lahan Rawa Lebak

dataran banjir dua anak sungai (besar). Sebagai salah satu contoh yang terbaik yang ada di Sumatera Selatan (Gambar 3.1), yaitu lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (air tawar) di sekitar Palembang, di sepanjang aliran Air Musi, dan di antara Air Ogan dan Air Komering.

Gambar 3.1. Penyebaran lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut di sekitar Palembang, Sumatera Selatan

102

Subagyo

3.3. TOPOGRAFI DAN LANDFORM Topografi atau bentuk wilayah lahan lebak secara umum hampir datar (flat) dengan lereng 1-2%, secara berangsur menurun membentuk cekungan (basin) ke arah wilayah rawa belakang, dan bagian tengah menempati posisi paling rendah. Satuan-satuan landform di wilayah lahan lebak dapat dilihat pada penampang skematis Gambar 3.2, dengan tiga kemungkinan satuan landform yang berbeda. Pertama, adalah satuan landform yang dijumpai pada dataran banjir satu sungai besar (Gambar 3.2a); kedua, satuan landform yang dijumpai pada dataran banjir dua sungai besar (Gambar 3.2b); dan yang ketiga adalah wilayah peralihan antara lahan lebak dan wilayah lahan pasang surut (Gambar 3.2c). Pada keadaan pertama (Gambar 3.2a), apabila seseorang bergerak misalnya dengan berjalan kaki dari daerah talang (lahan kering/uplands) pada satu sisi, ke arah daerah talang di seberang sungai-dengan mengamati keadaan terrain, kondisi permukaan tanah, dan kedalaman permukaan air tanahakan melewati wilayah dataran banjir sungai, yang terdiri atas wilayah cekungan, kemudian dataran rawa belakang, dan selanjutnya mencapai tanggul sungai alam (natural levee). Kondisi seperti ini umumnya dijumpai pada DAS bagian tengah ke arah hilir sungai. Tanah yang terbentuk seluruhnya merupakan tanah endapan sungai, atau sering disebut endapan aluvial atau fluviatil. Cekungan-cekungan di dataran rawa belakang umumnya ditempati gambut topogen dangkal (50-100 cm) sampai gambut-sedang (101-200 cm). Kubah gambut biasanya tidak terbentuk, karena ukuran cekungan/depresi relatif kecil. Di banyak tempat, cekungan tersebut seringkali juga hanya berisi air, sehingga menyerupai danau-danau berukuran kecil. Tanah yang terbentuk seluruhnya juga merupakan tanah endapan sungai, yang diendapkan selama ber-abad-abad setiap kali musim banjir datang, menggenangi wilayah selama musim hujan. Bahan sedimen halus, berupa lumpur sungai yang diendapkan setiap kali terjadi banjir tahunan adalah bahan yang membentuk tanah di lahan lebak.

103

Lahan Rawa Lebak

Gambar 3.2a. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, pada satu sungai besar Pada keadaan kedua (Gambar 3.2b), adalah kondisi landform yang dijumpai oleh seseorang yang bergerak dan mampu melewati dataran banjir dari dua anak sungai (besar). Antara daerah talang dan sungai pertama atau sungai kedua, bentukan landform yang dijumpai akan menyerupai kondisi pertama. Namun sesudah itu, dataran banjir sungai pertama akan bersambungan dengan dataran banjir sungai kedua, dan membentuk dataran rawa belakang hampir rata (nearly flat) yang sangat luas, dan lebarnya dapat mencapai puluhan kilometer. Sebagai contoh dataran banjir Air Ogan yang bersambungan dengan dataran banjir Air Komering, di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), di beberapa tempat dapat mencapai lebar 30-40 km. Seperti halnya pada kondisi pertama, di dataran rawa belakang yang sangat luas ini banyak dijumpai cekungan-cekungan dari berbagai ukuran, yang umumnya juga ditempati tanah gambut-dangkal sampai sedang, atau hanya berupa danau-danau kecil yang biasanya dimanfaatkan untuk budidaya perikanan air tawar. Tanah yang terbentuk, seluruhnya juga merupakan tanah endapan sungai, yang diendapkan selama berabad-abad setiap kali musim banjir datang dan menggenangi wilayah ini selama musim hujan.

Cekungan
Sungai Sungai

Gambar 3.2b. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak, antara dua sungai besar

104

Subagyo

Pada keadaan ketiga (Gambar 3.2c), adalah keadaan apabila lahan rawa lebak bersambungan dengan lahan rawa pasang surut. Pada kondisi ini, bahan endapan sungai yang terbentuk lebih muda umur (geologis)-nya, menutupi endapan laut/marin yang telah terbentuk terlebih dahulu. Kondisi seperti ini, terjadi pada wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar) dan zona III (lahan rawa non-pasang surut, atau lahan rawa lebak).

Cekungan

Gambar 3.2c. Penampang skematis daerah lahan rawa lebak peralihan antara lahan rawa lebak dan lahan rawa pasang surut (marin) Sebagai contoh, wilayah sekitar kota Palembang, antara lain wilayah Ogan-Keramasan dan Plaju-Sungaigerong, merupakan wilayah peralihan antara zona III dan zona II. Pada wilayah ini, tanah yang terbentuk mempunyai dua bahan induk, yaitu di bagian atas merupakan endapan sungai, dan bagian bawah berasal dari endapan marin yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Kedalaman bahan sulfidik di daerah peralihan ini bervariasi, antara 70-150 cm, atau antara 50-120 cm dari permukaan tanah. 3.4. TIPOLOGI LAHAN LEBAK Tipologi lahan rawa lebak, secara skematis diilustrasikan pada Gambar 3.3. Pada musim hujan, wilayah tanggul sungai umumnya tetap kering, tetapi di wilayah rawa belakang dan cekungan, air banjir berangsur naik sampai mencapai puncak tertinggi di musim hujan, kemudian menurun sesuai dengan surutnya air sungai pada peralihan ke musim kemarau.

105

Lahan Rawa Lebak

Kedalaman genangan

Gambar 3.3. Skematis tipologi lahan rawa lebak Berdasarkan lamanya genangan dan tingginya genangan, lahan rawa lebak umumnya dibagi menjadi tiga tipe (tipologi) lahan lebak, yaitu : (1) Lebak Pematang, (2) Lebak Tengahan, dan (3) Lebak Dalam, seperti disajikan pada Tambar 3.1. Lebak Pematang seringkali disebut juga sebagai Lebak Dangkal. Secara teoritis, setiap banjir, karena arus banjir masih kuat, tanggul sungai merupakan tempat pengendapan bahan-bahan terkasar (pasir halus sampai pasir sedang). Makin jauh dari sungai, dengan semakin lemahnya daya angkut air, terjadi pengendapan bahan-bahan lebih halus, yaitu debu dan liat. Karena adanya sortasi air dan semakin sedikitnya bahan-bahan yang diendapkan semakin jauh dari sungai, maka tanggul sungai adalah tempat yang paling tinggi letaknya, dan tanah berangsur-angsur menurun ke dataran rawa belakang. Dalam kenyataanya di lapangan, acapkali perbedaan ketinggian antara keduanya tidak selalu nyata, walaupun hasil pengukuran ketinggian antara keduanya memang menunjukkan penurunan yang amat berangsur ke arah dataran rawa belakang. Demikian pula, tekstur tanah di wilayah tanggul sungai tidak selalu berpasir, sebab komposisi fraksi dari lumpur yang diendapkan setiap tahun tidak selalu kasar sifatnya. Tabel 3.1. Tipe-tipe (tipologi) lahan rawa lebak, berdasarkan lama dan tinggi genangan
Tinggi genangan <50 cm 50-100 cm >100 cm <3 bulan Lebak Pematang Lebak Tengahan Lebak Tengahan Lama genangan 3-6 bulan Lebak Pematang Lebak Tengahan Lebak Dalam >6 bulan Lebak Pematang Lebak Dalam Lebak Dalam

106

Subagyo

Selain ketiga tipe lahan lebak tersebut, masih ada istilah renah dan talang yang biasa digunakan untuk mendeskripsi keadaan wilayah lahan lebak di Sumatera Selatan. Uraian secara ringkas dari semua istilah dan tipe lahan rawa lebak adalah : Renah, adalah bagian yang paling tinggi dari tanggul sungai. Biasanya jarang kebanjiran, oleh karena itu umumnya dimanfaatkan untuk rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Talang, adalah lahan darat atau lahan kering yang tidak pernah kebanjiran, dan merupakan bagian dari wilayah berombak sampai bergelombang, terdiri atas batuan sedimen, atau batuan volkan masam. Lebak Pematang, adalah sawah di belakang perkampungan. dan merupakan sebagian dari wilayah tanggul sungai dan sebagian wilayah dataran rawa belakang. Lama genangan banjir umumnya kurang dari 3 bulan, atau minimal satu bulan dalam setahun. Tinggi genangan rata-rata kurang dari 50 cm. Oleh karena genangan air banjir selalu dangkal, maka bagian lebak ini sering juga disebut Lebak Dangkal. Lebak Tengahan, adalah sawah yang lebih jauh lagi dari perkampungan. Genangannya lebih dalam, antara 50 sampai 100 cm, selama kurang dari 3 bulan, atau antara 3-6 bulan. Masih termasuk wilayah Lebak Tengahan, apabila genangannya dalam, lebih dari 100 cm, tetapi jangka waktu genangannya relatif pendek, yaitu kurang dari 3 bulan. Lebak Dalam, adalah bagian lebak yang dalam airnya, dan sukar mengering kecuali pada musim kemarau panjang. Disebut juga lebak lebung, tempat memelihara ikan yang tertangkap, waktu air banjir telah surut. Tinggi air genangan umumnya lebih dari 100 cm, selama 3-6 bulan, atau lebih dari 6 bulan. Masih termasuk Lebak Dalam, apabila genangannya lebih dangkal antara 50-100 cm, tetapi lama genangannya harus lebih dari enam bulan secara berturut-turut dalam setahun. 3.5. JENIS TANAH 3.5.1. Pembagian dan klasifikasi tanah Tanah-tanah di lahan rawa lebak, baik di wilayah tanggul sungai maupun di rawa belakang, secara morfologis mempunyai kenampakan mirip dengan tanah marin di lahan rawa pasang surut air tawar. Hanya bedanya, karena tanah-tanah

107

Lahan Rawa Lebak

di rawa lebak bukan merupakan endapan marin, maka tanah rawa lebak tidak mengandung pirit. Namun, di wilayah peralihan dengan rawa pasang surut air tawar, lapisan pirit masih mungkin diketemukan, tetapi biasanya pada kedalaman 50-70 cm atau lebih dari 120 cm. Secara skematis, pembagian tanah pada lahan rawa lebak berdasarkan ketebalan gambut, dan kedalaman lapisan bahan sulfidik (jika ini ada) disajikan pada Gambar 3.4. Ada dua kelompok tanah pada lahan lebak, yaitu Tanah Gambut, dengan ketebalan lapisan gambut >50 cm, dan Tanah Mineral, dengan ketebalan lapisan gambut di permukaan 0-50 cm. Tanah mineral yang mempunyai lapisan gambut di permukaan antara 20-50 cm disebut Tanah Mineral Bergambut. Sedangkan Tanah Mineral murni, sesuai kesepakatan, hanya memiliki lapisan gambut di permukaan tanah setebal <20 cm. Tanah Gambut biasanya menempati wilayah Lebak Tengahan dan Lebak Dalam, khususnya di cekungan-cekungan, dan sebagian besar merupakan gambut-dangkal (ketebalan gambut antara 50-100 cm), dan sebagian kecil merupakan gambut-sedang (ketebalan gambut 100-200 cm). Kubah gambut nampaknya tidak terbentuk. Gambut yang terbentuk umumnya merupakan gambut topogen, tersusun sebagian besar dari gambut dengan tingkat dekomposisi sudah lanjut, yaitu gambut saprik. Sebagian lapisan tersusun dari gambut hemik. Seringkali mempunyai sisipan-sisipan bahan tanah mineral di antara lapisan gambut. Warna tanah tersebut coklat sangat gelap (7,5YR 2,5/2), atau hitam (10YR 3/2), reaksi gambut di lapang termasuk masam-sangat masam (pH 4,5-6,0). Kandungan basa-basa (hara) rendah (total kation: 1-6 me/100 g tanah), dan kejenuhan basanya juga rendah (KB: 3-10%). Sebagian gambut di Lebak Dalam, mempunyai tingkat dekomposisi bahan gambut tengahan, yaitu gambut hemik. Warnanya relatif sama, coklat sangat gelap atau hitam, reaksi tanah masam (pH 6,0), dan kesuburan tanah masih termasuk rendah. Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah-tanah tersebut masuk dalam ordo Histosols, dalam tingkat (subgrup) Typic/Hemic Haplosaprists, Terric Haplosaprists, dan Terric Haplohemists. Tanah gambut, sebagai Haplosaprists dangkal (antara 50-100 cm), sebagian ditemukan di lebak tengahan, dan sebagai Haplohemists dan Haplosaprists dangkal umumnya lebih banyak ditemukan di bagian lebak dalam.

108

Subagyo

Gambar 3.4. Skematis pembagian tanah pada lahan rawa lebak

109

Lahan Rawa Lebak

Tanah Mineral yang menyusun lahan rawa lebak, hampir seluruhnya berkembang atau terbentuk dari bahan endapan sungai. Tetapi di wilayah peralihan antara zona II (lahan rawa pasang surut air tawar) dan zona III (lahan rawa lebak), di bagian bawah profil tanah lebak ditemukan lapisan yang mengandung bahan sulfidik (pirit). Tanah yang mengandung lapisan bahan sulfidik, dengan sendirinya termasuk tipologi lahan rawa pasang surut yang disebut Lahan Potensial. Berdasarkan letak kedalaman bahan sulfidik dari permukaan tanah, dikenal Lahan Potensial-1, jika kedalaman lapisan bahan sulfidik lebih dari 100 cm, dan Lahan Potensial-2, jika kedalaman lapisan bahan sulfidik terletak antara 50-100 cm. Pengelolaan dan penataan lahan yang mengandung bahan sulfidik harus lebih berhati-hati, dan pemanfaatannya untuk pertanian harus mengikuti sistem penataan lahan yang berlaku untuk lahan pasang surut (Bab 2.3 dan Bab 2.6 pada Bab Lahan Pasang Surut). Secara umum, pengelolaan lahan untuk tanah mineral yang berbahan induk bahan endapan sungai, lebih mudah karena bebas dari bahan sulfidik. Dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah mineral pada lahan lebak termasuk dalam ordo Entisols dan Inceptisols. Oleh karena termasuk tanah basah (wetsoils), semuanya masuk dalam subordo Aquents, dan Aquepts. Klasifikasi lebih lanjut pada tingkat subgrup, baik untuk Lahan Potensial-1 dan Lahan Potensial-2 maupun Tanah Rawa Lebak normal dan Tanah Mineral Bergambut, dapat dilihat pada Gambar 3.4. Tanah-tanah mineral yang menempati lebak pematang, umumnya termasuk Inceptisols basah, yakni (subgrup) Epiaquepts dan Endoaquepts, dan sebagian Entisols basah yaitu Fluvaquents. Pada lebak tengahan, yang dominan adalah Entisols basah, yakni Hydraquents dan Endoaquents, serta sebagian Inceptisols basah, sebagai Endoaquepts. Kadang ditemukan gambut-dangkal, yakni Haplosaprists. Pada wilayah lebak dalam yang air genangannya lebih dalam, umumnya didominasi oleh Entisols basah, yakni Hydraquents dan Endoaquents, serta sering dijumpai gambut-dangkal, Haplohemists dan Haplosaprists. 3.5.2. Sifat kimia tanah mineral lahan lebak Dari hasil penelitian identifikasi potensi lahan rawa lebak untuk pengembangan tanaman pangan, dalam rangka antisipasi El-Nino, telah diketahui lahan rawa lebak di Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Riau, dan

110

Subagyo

Kalimantan Selatan (Alkasuma et al., 2001). Dalam mendelineasi penyebaran lahan lebak di keempat provinsi tersebut, dilakukan interpretasi citra satelit Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat El-Nino berakhir), dan Landsat TM7 bulan Mei 2000 (saat terjadi genangan), selain menggunakan berbagai peta pendukung, seperti peta topografi, peta geologi, dan peta penggunaan lahan, juga dilakukan interpretasi citra satelit Landsat-TM5 bulan Januari 1998 (saat ElNino berakhir), dan Landsat TM7 bulan Mei 2000 (saat terjadi genangan). Hasilnya menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan terdapat lahan rawa lebak seluas 368.685 ha, yang dijumpai di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kotamadya Palembang, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. Di Provinsi Lampung diidentifikasi lahan rawa lebak seluas 126.465 ha, tersebar di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur, dan Lampung Selatan. Di Provinsi Riau terdapat lahan rawa lebak seluas 211.587 ha, menyebar di sepanjang aliran S. Kuantan, Kampar, dan Rokan. Di Provinsi Kalimantan Selatan, lahan rawa lebak yang diidentifikasi sekitar 208.893 ha. Bagian terluas terdapat di sekitar aliran Sungai Barito dan S. Negara, meliputi Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin. Selama penelitian, pembuatan profil tanah di lahan rawa lebak sulit dilakukan karena air tanah sangat rendah atau tergenang air. Oleh karena itu, telah diamati 33 pemboran tanah, yang terdiri atas 15 pemboran di Lebak Pematang, 11 pemboran di Lebak Tengahan, dan 7 pemboran di Lebak Dalam. Dari 33 pemboran tanah tersebut telah dikumpulkan sebanyak 115 contoh tanah, yang semuanya dianalisis di laboratorium. Hasil analisis dirangkum dalam Tabel 3.2, akan digunakan untuk mengevaluasi sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah mineral pada lahan rawa lebak. Dari evaluasi sifat-sifat fisiko-kimia pada Tabel 3.2 tersebut dapat disimpulkan hal-hal berikut : Sifat kimia dan kesuburan Lebak Pematang umumnya lebih baik daripada Lebak Tengahan dan Lebak Dalam. Tekstur tanahnya lebih bervariasi (halus sampai sedang), reaksi tanah lebih baik (kurang masam), dan kandungan P2O5, total kation, dan kejenuhan basa relatif lebih tinggi daripada kedua tipologi lebak lainnya.

111

Lahan Rawa Lebak

Tabel 3.2. Sifat fisiko-kimia tanah mineral lahan rawa lebak


Sifat-sifat tanah Tekstur Lebak pematang hC; C; SiC; SiCL; SiL; L; SL (Ps: <15%; Db: 5-60%; liat: 18-90%) 5,5-7,0 4,0-5,5 sm-nt mlb-sm Lebak tengahan hC; C; SiC; SiCL (Ps: <10%; Db: 20-60%; liat: 35-80%) 5,0-7,0 3,5-4,5 0,52-17,20 (0,30-10,32) sm-nt me-mlb sr-st sr-st Lebak dalam hC; SiC (Ps: <5%; Db: 20-45%; liat: 55-80%) 5,5-6,5 3,5-4,5 1,20-18,92 (1,72-12,04) sm-sdm me-mlb sr-st r-st

Reaksi tanah pH-lapang pH-lab % karbon Kisaran (%) Terbanyak (%)

0,09-12,04 sr-st (0,40-8,60) sr-t

Fosfat dan kalium (terbanyak) sr-s P2O5 (mg/100 g) 5-40 sr-s K2O (mg/100 g) 5-40 P-Bray (ppm) 3-23 sr-s Basa dapat tukar Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat sedikit Total kation dapat 0,6-21% sr-t tukar Kejenuhan basa 10-100% sr-st

3-40 sr-s 5-60 sr-t 2-27 sr-t Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat sedikit 1-20% sr-t 3-80% sr-t

2-25 sr-r 5-25 sr-s 3-15 sr-r Terbanyak Ca & Mg; K dan Na sangat sedikit 4-18% r-t 6-75% sr-t

Keterangan : Tekstur : hC = liat berat; C = liat; SiC = liat berdebu; SiCL = lempung liat berdebu; SiL = lempung berdebu; L = lempung; dan SL = lempung berpasir. Reaksi tanah : me = masam ekstrim (pH 3,5); mlb = masam luar biasa (pH 3,6-4,5); sms = sangat masam sekali (pH 4,6-5,0); sm = sangat masam (pH 5,1-5,5); am= agak masam (pH 5,6-6,0); sdm = sedikit masam (pH 6,1-6,5); nt = netral (pH 6,6-7,3). Kandungan sifat kimia lainnya : sr = sangat rendah; r = rendah; s = sedang; t = tinggi; dan st = sangat tinggi.

Tekstur tanah rawa lebak umumnya dicirikan oleh kandungan fraksi liat dan debu yang tinggi, tetapi fraksi pasirnya sangat rendah. Tekstur tanah terbanyak adalah liat berat (hC), liat (C), dan liat berdebu (SiC). Tekstur tanah Lebak pematang lebih bervariasi, dari halus (hC,C) sampai sedang (SiL, L), terkadang juga dijumpai tekstur relatif kasar (SL). Tekstur lebak Tengahan relatif halus (hC, C, SiC, dan SiCL), sedangkan tekstur Lebak Dalam sangat halus (hC dan SiC), dengan kandungan liat yang sangat tinggi (55-80 %). Kandungan bahan organik (% karbon) Lebak Tengahan dan Lebak Dalam relatif lebih tinggi daripada lebak Pematang. Tetapi, kandungan P2O5 dan K2O tanah Lebak Pematang cenderung lebih tinggi daripada Lebak Tengahan, dan lebih tinggi daripada Lebak Dalam. Hal yang mirip sama terjadi pada fosfat (P)

112

Subagyo

tersedia (P-Bray), di mana kandungan P pada tanah Lebak Pematang dan Lebak Tengahan lebih tinggi daripada Lebak Dalam. Komposisi basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, K, dan Na) menunjukkan bahwa Ca dan Mg terbanyak, sedangkan K dan Na sangat sedikit, namun Lebak Pematang cenderung lebih kaya daripada Lebak Tengahan dan Lebak Dalam. Hal ini diperkuat oleh kandungan total kation dapat tukar dan kejenuhan basa. 3.5.3. Penataan lahan Secara umum tidak banyak yang dapat diinformasikan mengenai penataan lahan di lahan Rawa lebak. Di daerah rawa lebak di Sumatera Selatan, di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Kotamadya Palembang, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu, sawah lebak telah diusahakan secara tetap dari tahun ketahun, khususnya pada dataran banjir Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang. Pada musim hujan (antara Oktober sampai dengan Mei), sungaisungai tersebut pada umumnya banjir sampai melimpah ke kiri dan kanan sungai membanjiri dataran rawa belakang. Puncak banjir tertinggi biasanya di sekitar bulan Desember sampai dengan Januari. Air banjir mulai menurun sekitar bulan Februari-Maret, dimana persiapan tanah dan pesemaian dimulai. Musim tanam padi lebak umumnya terjadi pada bulan Mei sampai Juni, yaitu pada waktu tinggi air di lebak berkisar antara 25-30 cm. Penanaman harus segera dimulai dan diselesaikan. Pada Lebak Pematang dan Lebak Tengahan, apabila terlambat menanam dapat mengalami masalah kekeringan, dan penyiangan akan lebih berat. Sebaliknya, pada Lebak Dalam, kalau terlambat menanam, akan terjadi risiko tenggelam karena hujan sudah mulai turun, terutama pada bulan-bulan panen. Panen padi pada sawah lebak di daerah ini umumnya terjadi dalam bulan September sampai Oktober. Penataan lahan yang dapat dianjurkan secara umum adalah : Lebak Pematang : memiliki dibandingkan dengan kedua kekeringan/kekurangan air diarahkan penggunaannya kondisi alam yang relatif lebih menguntungkan, tipe lebak lainnya, walaupun kemungkinan terjadi pada musim kemarau. Zona ini seyogyanya untuk permukiman, pekarangan, kebun buah-

113

Lahan Rawa Lebak

buahan, dan lahan untuk prasarana umum. Sistem pertanaman dengan teknik surjan dapat dilaksanakan di zona ini. Lebak Tengahan : yang sepanjang tahun relatif tidak kekurangan air, diarahkan penggunaannya untuk wilayah persawahan lebak, seperti yang telah dilakukan selama ini. Sebagai tambahan usaha, dapat juga dilakukan pertanaman tanaman palawija dan sayuran pada galengan-galengan sawah. Sistem pertanaman dengan teknik surjan, tergantung kondisi air genangan, mungkin masih dapat dilaksanakan di zona ini. Lebak Dalam : karena secara alamiah menempati posisi paling rendah, arahan penggunaannya yang paling tepat adalah tetap berfungsi sebagai waduk penampungan air banjir alamiah. Pemanfaatan lain yang selama ini telah berlangsung adalah untuk budidaya perikanan air tawar, dan bila memungkinkan dapat dijadikan tempat rekreasi air secara terbatas.

PENUTUP Seperti telah disebutkan sebelumnya, luas lahan rawa lebak adalah sekitar 13,28-13,32 juta ha, atau kira-kira sepertiga dari luas total lahan rawa. Data Dirjen Pengairan Dep. PU (sekarang Kimpraswil) sekitar 1,547 juta ha telah dibuka untuk persawahan dan permukiman, sebagian besar 71% (1.009 juta ha) melalui swadaya masyarakat, dan sisanya 29% melalui program pemerintah. Kalau angka 13,32 juta ha benar, berarti masih cukup luas, sekitar 11,77 juta ha, lahan lebak yang dapat dikembangkan untuk pertanian. Ditinjau dari aspek potensi, secara umum lahan lebak sebenarnya lebih baik dari lahan pasang surut, oleh karena tanah lahan lebak seluruhnya tersusun dari endapan sungai (fluviatil), yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Terkecuali tentunya pada zona peralihan antara lahan lebak dan lahan pasang surut, di lapisan bawah sekitar kedalaman 1 m, mungkin masih ditemukan adanya lapisan bahan sulfidik yang merupakan endapan marin. Bagian yang potensial untuk pertanian dari lahan lebak adalah lebak pematang (atau lebak dangkal), dan lebak tengahan, yang umumnya di jadikan persawahan lebak dengan pertanaman palawija dan sayuran pada galengan sawah, atau di bagian guludan/bedengan pada sistem surjan, terutama pada lebak pematang. 114

Subagyo

Sementara lebak dalam, karena bentuknya mirip suatu cekungan, kondisi airnya relatif masih tetap dalam walaupun di musim kemarau, sehingga lebih sesuai untuk budidaya perikanan air tawar. Pengalaman penelitian terbatas dalam pengelolaan lahan lebak menunjukkan bahwa lahan lebak, disamping padi sebagai tanaman utama, berbagai tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, dan ubi jalar cukup potensial dikembangkan, baik secara monokultur maupun tumpangsari. Salah satu masalah utama dalam pengelolaan lahan lebak adalah kedalaman genangan yang semakin dalam selama berlangsungnya musim hujan, jika penanaman padi di lakukan pada awal musim hujan. Sebaliknya lahan lebak berangsur semakin surut menjadi hampir kering dan kering di musim kemarau. Secara tradisional, petani menanami lahannya setelah genangan air mulai turun di akhir musim hujan. Penanaman di mulai dari lebak pematang dan berlanjut ke lebak tengahan. Pada tahun-tahun dengan kemarau panjang, lahan lebak merupakan lahan yang subur untuk pertanaman padi dan palawija. Sebagaimana lahan pasang surut, ke depan, lahan lebak juga merupakan calon lumbung padi/beras nasional, yang mampu mendukung dan mengamankan program ketahanan pangan. Oleh karena potensinya yang besar untuk penambahan areal produksi pertanian baru di masa mendatang, maka kegiatan inventarisasi biofisik, termasuk masalah berapa luas lahan lebak yang lebih pasti, penelitian karakteristik pola hidrologi, dan potensi agronomi lahan lebak, perlu lebih mendapatkan fokus perhatian lebih besar. Penelitian yang lebih intensif, juga diperlukan untuk mendapatkan varitas-varitas tanaman berproduksi tinggi, yang sesuai di budidayakan di lahan lebak.

DAFTAR PUSTAKA Alkasuma, Suparto, Samdan CD., dan Jaelani. 2001. Laporan Akhir. Identifikasi Potensi Lahan Rawa Lebak untuk Pengembangan Tanaman Pangan dalam rangka Antisipasi Dampak EI-Nino. Bag. Proyek Penel. Sumberdaya Air dan Iklim. Puslitbangtanak, Bogor. Ditjen Pengairan PU (Pekerjaan Umum). 1998. Pengembangan Daerah Rawa. Direktorat Jenderal Pengairan, Dep. PU. Februari 1998. Hlm. 93.

115

Lahan Rawa Lebak

Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Suhardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan areal potensial lahan pasang surut, rawa, dan pantai. Skala 1:500.000. Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan, Puslittanah dan Agroklimat. Hlm.109. Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436, Natural Resources Conservation Service-USDA.

116

IV

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT MASAM


Didi Ardi Suriadikarta dan Diah Setyorini

117

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.1. PENDAHULUAN Lahan rawa di Indonesia cukup luas dan tersebar di tiga pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) luas lahan rawa Indonesia 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Pembukaan lahan rawa pasang surut dilakukan berkaitan dengan program pemukiman transmigrasi yang dimulai sejak Pelita I (orde baru) sekitar tahun 1969 melalui program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S). Pemanfaatan lahan pasang surut untuk pertanian merupakan pilihan yang strategis dalam mengimbangi penciutan lahan produktif di pulau Jawa yang dialihfungsikan untuk pembangunan sektor non pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri dan pembangunan lainnya. Menurut Sudiadikarta et al., (1999) sampai saat ini lahan rawa yang telah dibuka 2,4 juta ha, 1,5 juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera. Lahan rawa di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih belum dibuka untuk pertanian. Pengembangan lahan rawa memerlukan perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan yang baik dan memerlukan penerapan teknologi yang sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pemanfaatan yang bijak, pengembangan yang seimbang dan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik, sifat dan kelakuannya, diharapkan dapat mengembalikan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang berproduktivitas tinggi, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, 1995a dan 1995b). Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan dilanjutkan dengan proyek penelitian Badan Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan kerjasama dengan Belanda (LAWOO) tahun delapan puluhan, Proyek Penelitian Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP) dan Proyek Pertanian PLG tahun sembilan puluhan telah banyak teknologi pengelolaan lahan rawa yang dihasilkan (Suriadikarta dan A. Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah, tata air mikro, teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi mengatasi hama dan penyakit, dan model usahatani. Namun penerapan teknologi pertanian lahan rawa umumnya tidak dapat diterapkan secara berkelanjutan disebabkan ada beberapa kendala yaitu : modal petani yang rendah, infrastruktur yang terbatas, kelembagaan pedesaan yang minim, dan kurangnya perhatian pemerintah dalam pemeliharaan jaringan tata air makro secara konsisten. 118

Suriadikarta dan Setyorini

Berbagai kegagalan telah didokumentasikan namun keberhasilan juga telah dicapai sepanjang pengembangan lahan rawa. Terjadinya lahan bongkor akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan pengalaman kegagalan yang tidak perlu terulang lagi dalam pengembangan lahan rawa yang masih memungkinkan untuk pengembangan pertanian. Potensi lahan rawa yang masih besar ini sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk menunjang persiapan pengembangan sistem ketahanan pangan dan agribisnis yang menjadi program utama sektor pertanian. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Pertanian (1999). Lahan rawa, baik rawa pasang surut maupun bukan pasang surut (lebak) dapat dijadikan basis pengembangan sistem ketahanan pangan, untuk kepentingan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Sehingga perhatian berupa investasi, terutama swasta dalam pemanfaatan lahan rawa seyogyanya dapat lebih ditingkatkan 4.2. PENGELOLAAN TANAH DAN AIR Pengelolaan tanah dan air (soil and water management) merupakan kunci utama untuk keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut, termasuk tanah sulfat masam. Pengelolaan tanah dan air ini meliputi jaringan tata air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi, dan pemupukan. 4.2.1. Jaringan tata air makro Pengembangan lahan rawa meliputi kegiatan reklamasi dan pengelolaan. Kegiatan reklamasi dimulai dari perencanaan, penelitian dan pelaksanaan di lapangan. Penelitian yang mendukung perencanaan reklamasi sangat diperlukan terutama penelitian sumberdaya lahan meliputi tanah, air, iklim, dan hidrologi serta aspek lingkungan. Dalam pelaksanaannya reklamasi mencakup pekerjaan penebangan hutan dan pembakaran, konstruksi jalan, dan pembuatan saluran drainase (Widjaja-Adhi, 1995). Sistem reklamasi lahan rawa di Indonesia telah dilakukan sejak proyek P4S yang dimulai awal Pelita I di lahan rawa pasang surut pantai timur Sumatera, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. Menurut Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998) selama PJP I telah ditetapkan lima sistem jaringan tata air makro, yaitu: 1) sistem garpu, 2) tangga, 3) sisir tunggal, 4) sisir berpasangan, dan 5) kombinasi garpu dengan sisir.

119

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Selain kelima sistem tersebut UGM telah mengkombinasikan dengan pembuatan kolam pada ujung saluran primer atau sekunder (Gambar 4.1) yang disebut dengan sistem kolam. Keuntungan dari sistem kolam ini adalah asamasam atau racun dapat diendapkan dalam kolam tersebut tidak masuk ke dalam lahan pertanian dan memelihara aliran sewaktu air surut. Sistem kolam ini telah dilaksanakan di Pulau Petak dan Barabai Kalimantan Selatan.

Kolam

Kolam Tersier

Saluran sekunder

Sungai Saluran primer Sungai

Gambar 4.1. Jaringan tata air pada sistem kolam

Sistem jaringan tata air tersebut sebenarnya tidak berlaku umum tetapi tergantung kepada tipologi lahan dan tipe luapan di daerah itu. Sistem jaringan tata air selain dibedakan menurut bentuknya dapat pula dibedakan menurut hubungan tata air, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem reklamasi jaringan tertutup adalah cara pembukaan lahan yang jaringan tata airnya tidak berhubungan satu sama lain (zonasi). Sistem ini seperti yang dilakukan oleh petani Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan Suku Bugis di Pulau Sumatera. Pada sistem tertutup ini pembuatan saluran atau handil sangat hati-hati dengan memperhatikan karakteristik tanah dan tipe luapan air sungai. Handil itu dibuat tegak lurus sungai ke arah hutan mengikuti garis kontur sehingga handil itu tidak selalu lurus dan panjangnya tergantung air pasang masuk (4-10 km). Cara reklamasi seperti ini umumnya berhasil dalam

120

Suriadikarta dan Setyorini

meningkatkan produktivitas lahan rawa, terutama padi, palawija, dan tanaman buah-buahan. Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang Pertanian bahwa lahan pasang surut memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian terutama dalam kaitannya dalam mendukung program ketahanan pangan dan agribisnis melalui peningkatan dan diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan dan lapangan kerja. Namun untuk mendukung kearah pengembangan pertanian yang berhasil dan berkesinambungan dilahan pasang surut ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam reklamasi lahan, yaitu pemanfaatan jaringan tata air berikut salurannya dan tata ruang untuk penataan lahannya (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Selanjutnya dalam pembuatan saluran baik primer, sekunder dan tersier perlu memperhatikan tata letak, dimensi dan cara pembuatan salurannya disesuaikan dengan fisiografi dan kondisi lahan sehingga menunjang kelestarian dan produktivitas lahan. Pembuatan saluran harus mengikuti atau memperhatikan garis kontur dan tipologi lahannya. Saluran dengan mempertimbangkan garis kontur maka aliran air dapat mengalir dengan baik, tinggi air di saluran rata. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam proses pencucian bahan-bahan beracun dari lahan ke saluran dan seterusnya ke sungai berjalan lancar. Dimensi dan kedalaman saluran perlu dipertimbangkan sehubungan dengan keadaan hidrologi di daerah tersebut, sebab penurunan muka air yang drastis akan mengakibatkan teroksidasi lapisan pirit, besi, Al, dan sulfat akan muncul ke permukaan dan dengan adanya air hujan akan meningkatkan kemasaman (pH) air di saluran. Selain itu penurunan permukaan air yang drastis juga akan menyebabkan gambut kering tak balik (irrevisible drying) sehingga akan mempercepat penurunan permukaan gambut (subsidence) dan atau cepat hilangnya lapisan gambut. Pembuatan tata ruang sebelum saluran dibuat perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pola penggunaan lahan hipotetik yang dikemukakan oleh Widjaja-Adhi, (1992). Menurut Harjono, (1995) sedikitnya terbuka lima peluang fungsi dari jaringan pengairan rawa, yaitu 1) berfungsi sebagai saluran drainase, 2) sebagai pemasukan air, 3) sebagai alat trasportasi, 4) berfungsi sebagai konservasi sumberdaya air rawa, dan 5) sebagai pendukung bagi proses reklamasi. Untuk mencapai jaringan tata air ini hendaknya berpegang kepada pola penggunaan lahan dan pola pemanfaatan sekaligus diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase, pemasok air, mendukung proses reklamasi, dan konservasi sumber air.

121

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Fungsi jaringan tata air sebagai alat transportasi perlu dipertimbangkan pada tahapan mana ini dapat diberlakukan. Pada tahap saluran primer dan sekunder mungkin fungsi ini dapat diberlakukan, tetapi untuk tersier sebaiknya tidak dianjurkan. Pembuatan pintu air pada saluran primer atau sekunder seperti dilahan ex-PLG sangat tidak efisien karena mengganggu fungsi transportasi masyarakat sekitar sehingga akhirnya dijebol, pengaturan pintu air sebaiknya mulai dilakukan di tingkat tersier ke bawah. Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air di lahan pasang surut dibedakan ke dalam : (1) Pengelolaan air makro, (2) pengelolaan air mikro, dan (3) pengelolaan air tingkat tersier yaitu mengkaitkan antara pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Pengelolaan air makro yaitu penguasaan air di tingkat kawasan reklamasi yang bertujuan mengelola berfungsinya jaringan drainase/irigasi (navigasi-sekundertersier), kawasan retarder dan sepadan sungai/laut dan saluran intersepsi bila diperlukan serta kawasan tampung hujan. Kawasan retarder dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya banjir di daerah hulu sungai termasuk mengurangi kedalaman dan lama genangan air dilahan lebak dangkal dan tengahan. Dalam hal ini, seyogyanya lebak dalam dapat dimanfaatkan sebagai kawasan retarder dengan jalan diperdalam dan alirannya diarahkan ke sungai di bagian hilirnya. Saluran itersepsi dimaksudkan untuk menampung aliran permukaan dan sebagai tempat memproses air yang mengandung bahan beracun agar tidak memasuki areal pertanian. Saluran ini dibuat di daerah perbatasan lahan kering dan rawa menyerupai waduk panjang serta diarahkan untuk menyalurkan kelebihan air ke sungai di bagian hilirnya. Kawasan tampung hujan dimaksudkan sebagai daerah sumber air untuk irigasi. Kawasan tampung hujan sebaiknya dialokasikan pada lahan gambut di bagian hulu sungai karena gambut memiliki daya menahan dan melepas air tinggi, yaitu antara 300-800% bobotnya. 4.2.2. Tata air mikro Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk : (1) mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, (2) mencegah pertumbuhan tanaman liar pada padi sawah, (3) mencegah terjadinya bahan beracun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, (4) mengatur tinggi muka air, dan (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan di saluran. Untuk lebih memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus memperlancar pencucian

122

Suriadikarta dan Setyorini

bahan racun, Widjaja-Adhi (1995) menganjurkan pembuatan saluran cacing pada petakan lahan dan di sekeliling petakan lahan. Oleh karena itu, sistem pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan tata air di saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian bahan beracun. Hasil penelitian Suriadikarta et al. (1999), saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas pemilikan lahan, sedangkan di dalam petakan lahan dibuat saluran cacing dengan interval 3-12 m dan di sekeliling petakan lahan tergantung pada kondisi lahannya. Semakin tinggi tingkat keracunan, semakin rapat pula jarak antar saluran cacing tersebut. Hasil penelitian Subagyono et al. (1999) pencucian bahan beracun dari petakan lahan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan lahan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Usaha pencucian ini akan berjalan baik apabila terdapat cukup air segar, baik dari hujan maupun dari air pasang. Oleh karena itu, air di petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Pengelolaan air tingkat tersier ditujukan untuk mengatur saluran tersier agar berfungsi: (1) memasukkan air irigasi, (2) mengatur tinggi muka air di saluran dan secara tidak langsung di petakan lahan, dan (3) mengatur kualitas air dengan membuang bahan beracun yang terbentuk di petakan lahan serta mencegah masuknya air asin ke petakan lahan. Sistem pengelolaan air di tingkat tersier dan mikro tergantung kepada tipe luapan air pasang dan keracunan di petakan lahan. Penataan air di lahan petani dapat dilakukan dengan sistem aliran satu arah (one-way flow system) dan sistem aliran yang sifatnya bolak-balik (twoway flow system). Hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam sistem tata air adalah sinkronisasi antara tata air makro dan mikro (Subagyono et al., 1999). Misalnya, penerapan aliran sistem satu arah untuk pencucian hanya akan berjalan efektif jika kondisi saluran tersier, sekunder, dan primer semuanya dalam kondisi baik dan arah aliran tidak bolak-balik. Pada sistem aliran satu arah dirancang saluran irigasi dan saluran drainase secara terpisah. Pintu klep (flapgate) dipasang berlawanan arah. Pada saluran irigasi pintu klep membuka ke arah dalam sedang pada saluran drainase pintu klep membuka ke arah luar, sehingga pencucian lahan dapat berlangsung dengan efektif. Pencucian lahan dimaksudkan agar unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Fe+2, sulfat, dan Al+3 keluar dari lahan usaha dan pH tanah menjadi lebih baik. Tata air pada lahan yang bertipe luapan A dan B perlu diatur dalam sistem aliran satu arah (one way flow system), sedangkan untuk lahan bertipe luapan C

123

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

dan D, saluran air perlu ditabat/disekat dengan stoplog untuk menjaga permukaan air tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman serta memungkinkan air hujan tertampung dalam saluran tersebut. Untuk keperluan pengaturan tata air ini perlu dibangun pintu-pintu yang sesuai sebagai pengendali air. Pintu air tersebut dapat berupa stoplog maupun pintu ayun atau pintu engsel (flapgate). Skesta kedua sistem tata air tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan 4.3. Hasil penelitian pengelolaan tata air mikro dengan cara tersebut pada lahan sulfat masam dengan berbagai sistem penataan lahan di Karang Agung Ulu oleh Djayusman et al. (1995) menunjukkan adanya peningkatan kualitas lahan dan hasil tanaman dari musim ke musim. Aliran satu arah dikombinasikan dengan pengolahan tanah memakai traktor tangan dan pemberian dolomit pada lahan sulfat masam dalam satu unit tata air saluran sekunder (50 ha) oleh Proyek ISDP (1997), dapat secara cepat meningkatkan kualitas lahan dan memberikan hasil yang baik bagi tanaman padi dan palawija. Nilai pH air tanah meningkat dari rata-rata 4,2 pada saat sebelum pengolahan tanah menjadi rata-rata 4,8 pada saat penanaman dan 5,4 pada pada saat panen (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998). Sedangkan kandungan Fe++ 160 ppm pada saat tanam dan 72 ppm pada saat panen. Hasil rata-rata ubinan padi varietas Cisadane mencapai 6,26 t/ha GKP sedangkan varietas Cisangarung dapat mencapai 9,44 t/ha GKP. 4.2.3. Penataan lahan Penataan lahan perlu dilakukan untuk membuat lahan tersebut sesuai dengan kebutuhan tanaman yang akan dikembangkan. Dalam melakukan penataan lahan perlu diperhatikan hubungan antara tipologi lahan, tipe luapan, dan pola pemanfaatannya seperti pada tipologi sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, maka penataan lahan sebaiknya untuk sawah (Tabel 4.1), karena pirit akan lebih stabil tidak mengalami oksidasi dan tanaman padi dapat tumbuh dengan baik. Tetapi bila tipe luapan B, maka pola pemanfaatan lahan dapat dilaksanakan dengan sistem surjan. Sistem surjan dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran atau buah-buahan. Untuk tanah sulfat masam potensial pengolahan tanah dan pembuatan guludan sebaiknya dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Guludan dibuat secara bertahap dan tanahnya diambil dari lapisan atas. Hal ini dilakukan untuk menghindari oksidasi pirit.

124

Suriadikarta dan Setyorini

Saluran primer/jalur

Flapgate (inlet) Saluran sekunder pemasukan

Flapgate (outlet) Saluran sekunder pengeluaran A Saluran sekunder pengeluaran

Flapgate (inlet) Saluran tersier pemasukan

A Saluran kuarter pengeluaran Saluran tersier pengeluaran

Flapgate (outlet)

Gambar 4.2. Jaringan tata air sistem saluran satu arah


Saluran primer/jalur

Stoplog Saluran sekunder pengeluaran

Stoplog

Stoplog

Saluran keliling Saluran tersier pemasukan

Saluran cacing

Saluran dangkal intensif Saluran kuarter pengeluaran Stoplog Saluran tersier pengeluaran A

Gambar 4.3. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D

125

126 Tabel 4.1. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada setiap tipologi lahan dan tipe luapan air di pasang surut
Tipologi lahan Kode SMP-1 SMP-2 Tipologi Aluvial bersulfida dangkal Aluvial bersulfida dalam Tipe luapan air A B C Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah Sawah Sawah/kebun Sawah/tegalan Sawah/tegalan Kebun/kebun Kebun/kebun D Sawah/tegalan/kebun Tegalan/kebun Sawah/tegalan/kebun Sawah/tegalan/kebun Tegalan/kebun Tegalan/kebun Tegalan/kebun Kehutanan Konservasi
Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat dalam SMA-1 Aluvial bersulfat 1 SMA-2 SMA-3 HSM G-1 G-2 G-3 Aluvial bersulfat 2 Aluvial bersulfat 3 Aluvial bersulfida dangkal bergambut Gambut dangkal Gambut sedang Gambut dalam

Sumber : Widjaja-Adhi (1995)

Suriadikarta dan Setyorini

Sistem surjan adalah salah satu contoh usaha penataan lahan untuk melakukan diversifikasi tanaman dilahan rawa. Lebar guludan 3-5 m, dan tinggi 0,5-0,6 m, sedangkan tabukan dibuat dengan lebar 15 m. Setiap ha lahan dapat dibuat 6-10 guludan, dan 5-9 tabukan. Tabukan surjan ditanami padi sawah, sedangkan guludan ditanami dengan palawija, sayuran, dan tanaman industri (kencur, kopi, dan kelapa). Dari Tabel 4.1 ditunjukkan bagaimana pola pemanfaatan lahan dalam kaitannya tipologi lahan dan tipe luapan. Sistem surjan baik dilakukan pada tipe luapan B dan C sedangkan tipe luapan D lebih baik untuk sistem pertanian lahan kering. Untuk tanah gambut tekstur lapisan tanah dibawahnya sangat menentukan dalam pola pemanfaatan lahannya. 4.3. SIFAT DAN KARAKTERISTIK TANAH SULFAT MASAM Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa dan seringkali memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada kedalaman 0-50 cm. Tanah sulfat masam terbagi menjadi sulfat masam potensial dan sulfat masam aktual. Sulfat masam potensial dapat berubah menjadi sulfat masam aktual bila tanah mengalami drainase yang berlebihan akibat reklamasi. Pirit yang semula stabil dan tidak berbahaya pada kondisi anaerob atau tergenang, akan teroksidasi bila kondisi berubah menjadi aerob. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan akan mengoksidasi pirit membentuk asam sulfat, ion hidrogen dan Fe3+. Apabila oksidasi pirit berlangsung cepat maka akan terbentuk mineral jarosit berupa bercak-bercak karatan berwarna kuning jerami (Dent, 1986; Langenhoff, 1986). Pada kondisi tergenang, kemasaman tanah dapat dikurangi namun disisi lain muncul masalah keracunan besi fero (Fe2+), Al, Mn, Hidrogen sulfida, CO2, dan asam organik. Masalah fisik yang sering dijumpai adalah terhambatnya perkembangan akar tanaman pada horison sulfurik karena tanaman kekurangan air, pematangan tanah terhambat serta saluran drainase tertutup oleh deposit oksida besi. Pada kondisi seperti ini, pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah terhambat. Jenis tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang akan sangat terbatas dengan hasil rendah.

127

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.3.1. Proses kimia pada tanah sulfat masam Proses kimia pada tanah sulfat masam dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun. Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit. a. Proses reduksi Pada kondisi aerob, sumber elektron utama bagi aktivitas mikroorganisme pendekomposisi bahan organik adalah oksigen. Bila keadaan berubah menjadi anaerob, oksigen di dalam tanah secara perlahan menghilang. Namun demikian, dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob tetap berlangsung dengan memanfaatkan elektron yang dilepaskan dalam proses reduksi nitrat, oksida mangan, oksida besi, dan sulfat. Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat. Proses kimia penting yang terjadi adalah : Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari < 1 mikron hingga 2-6 mikron. Dalam endapan marin, kristal pirit bergabung membentuk agregat membulat yang disebut framboid atau kristalaria berukuran > 2 mikron hingga > 100 mikron (van Dam dan Pons, 1972). Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu : 1. Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawasenyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam (Pons et al., 1982); 2. Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang;

128

Suriadikarta dan Setyorini

3. Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri; 4. Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut; 5. Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Dent, 1986). Reaksi keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe digambarkan sebagai berikut : Fe2O3 + SO42- + 8CH2O + O2 2FeS2 + 8HCO3- + 4H2O sulfat bahan organik PIRIT karbonat

Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang berasal dari koral atau binatang laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar netral. Reduksi Fe3+menjadi Fe2+. Pada sebagian tanah masam, penggenangan akan mengakibatkan pH meningkat hingga 6-7 setelah beberapa minggu. Pada kondisi seperti ini, proses terpenting adalah reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ (Ponnamperuma, 1972; Patrick dan Reddy, 1978). Pada tanah sulfat masam muda, peningkatan pH dari 3,0-3,5 menjadi 5,5-6,0 berkaitan dengan tingkat pelarutan Fe2+ yang dicapai. Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida besi feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi

129

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan organik sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton : Fe2O3 + CH2O + 4H+ 2Fe2+ + CO2 + 5/2H2O Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang tidak menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah tersebut mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh tanah. Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993). Reaksi yang terjadi digambarkan sebagai berikut : SO42- + 2CH2O + 2H+ H2S + 2CO2 + 2H2O

b. Proses oksidasi Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit teroksidasi secara alami.

130

Suriadikarta dan Setyorini

Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi : FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+ Bila pH menurun hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) menjadi larut dan akan mengoksidasi pirit dengan cepat. Reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara lengkap menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan sebagai berikut : FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+

Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+. Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat (van Breemen, 1993). Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped, sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit. 131

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

c. Hasil oksidasi pirit Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent, 1986). Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH kurang dari 3,7. Reaksi pembentukannya sebagai berikut : FeS2 + 15/4O2 + 5/2H2O + 1/3K+ 1/3(KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3SO42- + 3H+ Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau gipsum. Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi kemasaman oleh kalsium karbonat : CaCO3 + 2H+ + SO42- + H2O CaSO4 2H2O + CO2 Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan

132

Suriadikarta dan Setyorini

pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973). Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986 dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo, Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah yang diinkubasi pada nilai potensial redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana masam yang oksidatif selama dua minggu, logam berat yang larut air lebih tinggi pada tanah berpirit dibandingkan tanah lanjut/tua. Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S, Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit. Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke perairan umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota sungai/laut. 4.4. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN SULFAT MASAM Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya.

133

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7) waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc. Lean (1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri, 2002). Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya. Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan ternyata pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula (Tabel 4.2). Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999

134

Suriadikarta dan Setyorini

dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001). Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah. Tabel 4.2. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia
Sifat tanah Lokasi Tipologi USDA Klasifikasi pH C organik % K.A I PI PS-I Sumsel KA I P II PS-14 Sumsel Lamunti Ex PLG Kalteng P. Petak Kalteng Parit Ampera Sungai Kakap Kalbar Telang, Muba Sumsel Tabung Anen Kalsel Belawang Kalsel SMA Fluvaquentic Typic Sulfaquept Fluvaquentic Sulfaquept 3,4 1,2 P Bray K K2O P HCl 25% P2 O 5 P2 O 5 ppm 2,2 mg/100 g 4 1 % 88,2 % 7 Al-dd KB

SMA bergambut SMA 2

3,9

5,86

31,5

17

23

71,8

41

SMP bergambut SMP-G Sulfat masam aktual Sulfat masam potensial Sulfat masam potensial Sulfat masam potensial Sulfat masam aktual

Histic Sulfaquept Typic Sulfaquept Typic Sulfaquent

4,1

7,53

45,7

12

68

70,0

16

3,5 -

0,89 4,99

2,2 10,2

80

24

15,42 1,35

54,95 68

Typic Sulfaquent Typic Sulfaquent Histic Sulfaquept

4,4 4,9 3,4

4,89 3,83 22,93

32,2 19,6 17,2

5 40 26

29 22 104

4,27 0,66 16,83

61 > 100 5

Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P baik yang berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF pemberian 135 kg P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg P2O5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian Rock Phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak 135

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan terjadinya proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate yang tersedia untuk tanaman. Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36 200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan. Dalam penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan pemupukan P berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan tanah. Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K 78 kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam aktual di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair. Tabel 4.3. Hasil tanaman padi dengan pemupukan dan pengapuran pada beberapa tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan
Lokasi Tabung Anen, Kalsel Belawang, Kalsel Telang Muba, Sumsel Unitalas, Kalteng Lamunti, Ex PLG Pemupukan K2 O P2 O 5 .. kg/ha .. 98,5 62,7 229 104 300 P2O5 60 K2O 135 P2O5 50 K2O 56 P2O5 60 K2O Kaptan/dolomit Hasil GKG ............. t/ha ............. 1 kaptan 3,24 4 kaptan 3,25 2 dolomit 4,0 1 kaptan 2,4 2 kaptan 2,0 Varietas IR-64 IR-64 IR-64 IR-64

Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg P2O5/ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75

136

Suriadikarta dan Setyorini

kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing 3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000). Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah sulfat masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual (Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika kandungan liat tinggi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat masam aktual mencapai 2,000 g P/g sedangkan pada sulfat masam potensial sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 g P/g. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas, terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat masam aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi Panorganik (Setyorini, 2001). Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%. Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase

137

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium. 4.5. PENGGUNAAN VARIETAS YANG ADAPTIF Tanaman yang dapat diusahakan dilahan sulfat masam antara lain tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau), sayuran (cabe, kacang panjang, kubis, tomat, dan terong), buah-buahan (rambutan, nanas, pisang, jeruk, nangka, dan semangka), dan tanaman industri (kelapa dan lada) (Suwarno et al., 2000). Tanaman tersebut dapat tumbuh baik bila tanahnya masih SMP dan sistem tata air mikro seperti saluran drianase dan ameliorasi tanah dilakukan dengan baik sesuai kondisi lahannya. Namun walaupun banyak tanaman pangan, buah-buahan, sayuran, dan tanaman industri dapat tumbuh di lahan rawa sulfat masam faktor pemasaman perlu dipertimbangkan. 4.5.1. Padi dan palawija Penelitian adaptabilitas tanaman padi sawah telah lama dilakukan di lahan pasang surut khususnya pada tanah sulfat masam dan pertumbuhan tanaman padi lebih baik pada tanah sulfat masam dibandingkan pada tanah gambut dalam. Penelitian dimulai sejak sebelum Proyek Swamps sampai berakhir pada Proyek ISDP tahun 2000. Menurut Suwarno et al. (2000) sampai saat ini telah dilepas secara resmi 11 varietas yang cocok di lahan pasang surut (Tabel 4.4). Dari 11 varietas di atas nampaknya yang akan cocok untuk di lahan sulfat masam adalah Mahakam, Kapuas, Lematang, Sei Lilin, Banyuasin, Lalan, Batang hari, dan Dendang. Namun untuk tanah sulfat masam aktual dimana kadar Al dan Fe sangat tinggi lebih baik ditanami varietas lokal yang telah adaptif seperti varietas Ceko, Jalawara, Talang, Gelombang, dan Bayur. Mengingat kondisi kesuburan tanah sulfat masam sangat beragam maka pemupukan perlu disesuaikan dengan hasil analisis tanahnya.

138

Suriadikarta dan Setyorini

Tabel 4.4. Varietas padi lahan pasang surut yang telah dilepas dengan beberapa sifat keunggulannya
Varietas IR-64 Barito Mahakam Kapuas Musi Lematang Sei Lilin Banyuasin Lalan Batanghari Dendang Tahun pelepasan 1980 1981 1983 1984 1988 1991 1991 1997 1997 1999 199 Umur hari 140 140 135 127 135 130 120 120 125 125 125 Kadar ameliorasi % 27 21 26 23 24 27 26 22 27 26 20 Tekstur nasi Pera Pulen Pera Pulen Pera Pera Pera Pulen Pera Pera Pulen Sifat unggul Tahan WC2, HDB, blast, Fe Tahan WC1 dan HDB Tahan HDB, Fe, salinitas Tahan WC1, HDB, Fe Tahan HDB, blast, salinitas Tahan WC1, Fe Tahan WC1, Fe Tahan HDB, blast, Fe, dan Al Tahan WC2, blast, salinitas Tahan WC2, HDB, blast Fe Tahan WC2, HDB, blast, Fe, Al

Keterangan : WC 1, 2, 3 : wereng coklat biotipe 1, 2 dan 3 HDB : hewan daun bateri Fe, Al : tahan keracuanan Fe dan Al Sumber : Suwarno et al. (2000)

Tanaman palawija umumnya ditanam di lahan pekarangan sebagai kebun campuran dengan tanaman buah-buahan dan sayuran. Varietas kedelai yang cocok untuk tanah sulfat masam adalah varietas Wilis, Rinjani, Lokon, dan Dempo. Varietas kedelai tersebut mampu memberikan hasil 1,5- 2,4 t/ha, kacang tanah 3,5 t/ha, dan kacang hijau 1,2 t/ha biji kering, dan jagung yang sesuai adalah varietas Arjuna dengan hasil 3-4 t/ha biji pipilan kering. Hasil penelitian selama ini di lahan pasang surut khususnya tanah sulfat masam potensial takaran pupuk yang dianjurkan disajikan pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Takaran pupuk yang dianjurkan untuk tanaman palawija
Jenis tanaman Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Jagung Pemupukan N P2 O 5 K2 O . kg/ha . 22,5-45 45 50 22,5 45 50 22,5-45 45-90 50-60 67,5 45-90 50 Kaptan t/ha 2-3 1 2 0,5-2

Sumber : Suwarno et al. (2000)

139

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

4.5.2. Sayuran dan buah-buahan Teknik penggunaan amelioran dan pengelolaan hara terpadu serta penggunaan benih bermutu dengan waktu tanam yang tepat merupakan persyaratan utama keberhasilan sayuran di lahan rawa (Satsiyati et al., 1999). Namun keberadaan lokasi pengembangan yang terletak jauh dipedalaman dan tidak didukung oleh infrastruktur dan sarana menjadi hambatan untuk pemasaran hasil sayuran. Tanaman buah-buahan ditanam di pekarangan pada guludan adalah pisang, nangka, dan rambutan atau jeruk. Tanam sayuran dan pisang cepat memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani terutama pada tahun pertama mereka tinggal di tempat pemukiman baru. Hasil penelitian Proyek Swamps di lahan pekarangan lahan sulfat masam di Karang Agung Ulu (1987/1988), komoditas hortikultura mampu memberikan pendapatan lebih besar dari pada tanaman pangan dengan rincian 65,4% untuk tanaman sayuran dan 34,6% untuk tanaman pangan (Subiksa dan Basa, 1990). Jenis sayuran yang telah diteliti pada tanah sulfat masam adalah tomat varietas Ratna dan Intan dengan potensi hasil masing-masing 18,54 t/ha dan 13,4 t/ha. Petsai yang sesuai hanya ada satu varietas yaitu No. 82-157 dengan potensi hasil 15,6 t/ha. Selanjutnya bawang merah varietas Ampenan dan Bima dapat beradaptasi cukup baik pada tanah sulfat masam dengan potensi hasil 6,4 dan 6,15 ton umbi kering/ha (Sutater et al., 1990). Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan disajikan pada Tabel 4.6. 4.5.3. Tanaman industri/perkebunan Hasil penelitian di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah ex PLG tanaman industri/perkebunan yang dapat beradaptasi di lahan sulfat masam adalah kopi, kelapa, dan lada. a. Kelapa Tanaman kelapa merupakan komoditas tanaman di lahan pasang surut, sebagai sentra produksi kelapa sebaran tanaman kelapa di Provinsi Riau diperkirakan > 60% (Mahmud, 1990). Jenis kelapa yang sesuai adalah kelapa lokal, yang dikenal memiliki daya adaptasi dan toleransi terhadap lingkungan tumbuh sangat luas. Tanaman kelapa dapat ditanam tumpangsari dengan tanaman kopi, palawija, dan hortikultura. Namun ada juga yang ditanam secara

140

Suriadikarta dan Setyorini

monokultur di guludan seperti di Riau. Di Karang Agung Ulu dan Karang Agung Tengah produksi kelapa rata-rata berkisar 7-18 butir/pohon/periode petik dan 1017 butir/pohon/periode petik. Pupuk yang diberikan untuk tanaman kelapa masing-masing diberikan per pohon, tergantung kepada umur tanaman (Tabel 4.7). Pemberian pupuk N, P, dan K paling tinggi pada umur tanaman kelapa 3 tahun. Tabel 4.6. Dosis pemupukan tanaman sayuran dan buah-buahan pada lahan sulfat masam
No. Komoditas (Varietas) Pupuk Bahan Kapur Urea TSP KCl NPK organik .. kg/ha .. t/ha 200 200 100 50-75 5 1-1,5 (Pukan) Keterangan

NPK diberikan dengan cara disiramkan (larutan =5%) pada areal akar tanaman pada waktu pembungaan Produksi : Ratna = 18,54 t/ha Intan = 13,48 t/ha 2. Bawang merah 200 200 150 0 10-15 1,8 Produksi : Bisma-Brebes Pukan Sulfat masam: Ampenan sapi 5-6,5 t/ha umbi kering Bima-Brebes Potensial (Ampenan) 12,6 t/ha umbi kering 3. Petsai 200 200 150 0 5 1-2 Produksi : Asveg 82-156 8,7-15,6 t/ha Sangihe 200 200 150 0 5-10 3 Residu MT-2 : Talaud Gambut 21,4 t/ha crop segar 4. Kubis 200 200 100 50 5 1-1,5 Produksi : 112-14 t/ha 5. Cabe keriting 250 300 100 0 10 1-1,5 Produksi : 3,5-4,5 t/ha Bila diberikan Gandasil B 2 cc/l (450 l larutan/ha) pada umur 1 dan 2 bulan setelah tanam produksi menjadi 4-5 t/ha buah segar 6. Pisang 600 400 160 0 25 500 Pemupukan dilakukan Ambon dengan interval 6 bulan Mas dengan takaran pupuk Rajanangka yang sama, jumlah Rajasere anakan dibiarkan 2-3 batang tiap rumpun Produksi : Ambon = 14,2 kg/tadan Rajanangka = 12 kg/tadan Rajasere = 7,8 kg/tadan Mas = 8,3 kg/tadan Sumber : 1. Seminar hasil penelitian usahatani di lahan pasang surut dan rawa, tahun 1989 2. Prosiding seminar. penelitian lahan pasang surut dan rawa Swamps II, tahun 1990

1. Tomat - Ratna - Intan

141

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Tabel 4.7. Informasi dosis pemupukan tanaman kelapa pada berbagai umur di lahan sulfat masam
Komoditas (Varietas) Kelapa Jenis Kelapa Dalam Riau Umur 1 bulan 1 Tahun 6 bulan ke-I 6 bulan Ke-II 2 Tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II 3 Tahun 6 bulan ke-I 6 bulan ke-II Sumber : 1. 2. Urea TSP KCl Kieserit Kapur kg/pohon Keterangan

.. g/pohon ....

100

100

100

50

1.500

200 200

250 250

300 300

100 100

BO = Memanfaatkan sisa-sisa tumbuhan dan gambut. Dicampur dalam lubang tanaman dengan perbandingan Tanah : BO = 1 : 1 Pengapuran pada tahun ke-4 bila perlu diberikan 2-3 kg/pohon bersama-sama pemberian pupuk Produksi = 80-110 butir/ th/pohon

350 350

0 600

450 450

150 150

500 500

0 800

600 600

200 200

Seminar Hasil Penelitian Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa, tahun 1989 Prosiding Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II, tahun 1990

b. Temu-temuan Jenis tanaman temu-temuan di antaranya jahe, kencur, kunyit, temulawak, lengkuas, dan bangle di lokasi pasang surut cukup baik pertumbuhannya dan dapat dikembangkan secara monokultur dan tumpangsari dengan tanaman palawija atau tanaman tahunan yang tidak terlalu tinggi tingkat naungannya (Anonimous, 1993 dan Anonimous, 1999). Persyaratan tumbuh tanaman temutemuan menghendaki tanah yang gembur dan subur, pH tanah normal dan tidak tahan genangan air, sehingga upaya perbaikan tanah meliputi pemberian kaptan, pemupukan, pembuatan saluran cacing yang intensif, dan penambahan lapisan gambut akan memberikan pertumbuhan dan produksi rimpang yang optimum. Temu-temuan diharapkan dapat menunjang sistem usahatani di lahan pasang surut yang mempunyai fungsi ganda dapat dimanfaatkan sebagai bumbu

142

Suriadikarta dan Setyorini

dan dapat digunakan sebagai obat alternatif baik untuk manusia maupun ternak, di antaranya kunyit, temulawak, jahe, kencur (obat reumatik pegel linu), lempuyang (pegel linu) temu ireng dan bangle (obat cacing), temu giring (obat panas dan batuk). Sebagai contoh untuk ternak, jahe dapat mencegah gejala tetelo (ND), dan temulawak dapat menekan berkembangnya bakteri di kotorannya, sehingga bau limbah dapat ditekan. Produksi temu-temuan cukup bagus, jahe merah di Karang Agung Ulu (Anonimous, 1993) dengan pemupukan 45 kg N + 36 kg P2O5 + 50 kg K2O + 200 kg kapur + 1,5 ton gambut/hektar memberikan hasil 15,5-23,6 t/ha. Sedangkan untuk jahe putih kecil atau emprit produksi 4,9-8,5 t/ha dan jahe putih besar varietas gajah produksi 4,5-5,9 t/ha. Demikian juga dari Kalimantan Tengah produksi jahe putih kecil cukup baik 0,7-1,0 kg/rumpun. Produksi tanaman kencur juga cukup baik di Karang Agung Ulu dapat mencapai 11,2-20,1 t/ha, dan dari uji produksi di Kalimantan Tengah juga menunjukkan produksi yang baik yaitu mencapai 200-300 g/rumpun. c. Lada Tanaman lada varietas Petaling I, Petaling II, dan LDK dapat tumbuh dan beradaptasi baik di lahan pasang surut potensial maupun sulfat masam aktual Karang Agung Ulu. Pada lahan potensial pengapuran dengan takaran 2-3 kg/tanaman dapat mempengaruhi produksi buah lada sampai panen ke-3 (panen pertama 28 bulan). Sedangkan pada lahan sulfat masam, pembuatan saluran cacing di kanan dan di kiri tanaman memberikan hasil tertinggi yaitu 140, 300, dan 230 gram per pohon masing-masing pada panen pertama, kedua, dan ketiga. Saluran cacing ini ditujukan untuk menjamin drainase yang baik agar kelembaban tanah tidak berlebihan bagi tanaman lada. Karena lada memerlukan bahan organik tinggi maka pengembangan di lahan bergambut tipis lebih sesuai untuk tanaman lada produktif, pemupukan tiga kali setahun dengan interval empat bulan sekali dengan takaran 512 g urea + 880 g TSP + 600 g KCl + 60 g kiserit per pohon memberikan hasil tertinggi yaitu 1,22 kg/pohon (Anonimous, 1993). Tiang panjat seperti lamtoro gung (Leucaena sp.) dan waru-waruan dengan pemangkasan empat kali setahun memberikan pertumbuhan yang baik terhadap lada di Karang Agung Ulu ini. Pengembangan tanaman industri/perkebunan lahan sulfat masam disajikan pada Tabel 4.8.

143

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Tabel 4.8. Pengembangan tanaman industri/perkebunan pada tipologi lahan sulfat masam Sumatera Selatan dan Kalimantan
Tipologi lahan Sulfat masam Komoditas Lada Jahe merah Kelapa Potensi produksi 1,22 kg/tan 23,6 t/ha 4-10 butir/pohon 7-11 butir/pohon 7 butir/pohon Lokasi Karang Agung Ulu Karang Agung Ulu Karang Agung Ulu (Sumsel) Tarantang (Kalsel) Parit Keladi (Kalbar)

Sulfat masam potensial

Kelapa

10 butir/pohon

Lambur II (Jambi) Rasau Jaya (Kalbar) Pinrang Luar (Kalbar) Pinang Luar (Kalbar) Karang Agung Ulu (Sumsel) Sakalagun (Kalsel) Lamunti (Kalteng) Lamunti, Dadahup (Kalteng) Pinang Luar (Kalbar)

Bergambut

Kelapa

8-12 butir/pohon 6-15 butir/pohon 7-11 butir/pohon 0,7-11 kg/tan 0,2-0,3 kg/tan 0,4 kg/pohon

Jahe kecil putih Kencur Kopi Sumber : Suriadikarta et al., 1999

4.5.4. Perikanan Penelitian komponen perikanan dalam sistem usahatani di lahan pasang surut dan rawa telah dilakukan sejak 1985/86 di Kertamulia Patratani mewakili lahan rawa, Sungai Lempung di Lubuk Lampan mewakili rawa banjiran, lahan pasang surut di tepi Sungai Musi Mariana, lahan potensial di Karang Agung Ulu, lahan Salin di Delta Upang, dan lahan lebak di Kayu Agung Sumatera Selatan. Sedangkan di wilayah Kalimantan yang mewakili lahan pasang surut dan sulfat masam di daerah Parit Keladi dan Palingkau. Sistem usahatani perikanan diartikan sebagai penelitian di lahan petani (Kasrino et al., 1989 dan Partohardjo, 1989) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, pendapatan, dan pemanfaatan sumberdaya secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan petani. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi atau paket teknologi usahatani yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio-ekonomi yang ada di daerah (Manwan dan Oka, 1988). Penelitian perikanan menunjang program usahatani dibagi atas dua jenis kegiatan yaitu (1) penelitian perikanan yang bersifat komponen dan (2) penelitian

144

Suriadikarta dan Setyorini

dalam usahatani terpadu. Dalam kegiatan komponen dititik beratkan kepada perekayasaan tata air dan manajemen kolam, produksi benih ikan, kesesuaian komoditas, dan sistem budidaya. Dalam usahatani terpadu, titik berat diberikan kepada optimasi pemanfaatan lahan dengan berbagai komoditas, penelitian komponen perikanan pada berbagai tipe lahan dan model usahatani yang telah dilakukan disajikan dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Hasil penelitian komponen perikanan dan usahatani pada berbagai tipologi lahan
Jenis kegiatan Tata air dan manejemen kolam Pembenihan Komoditas Nila Nila Jenis lahan dan lokasi Produksi Lahan potensial 1,2 t/ha Karang Agung Ulu Lahan Rawa t/ha/th Patratani Lahan lebak 5 kg/m3/3 bln (sungai)

Budidaya ikan di Karamba Toman Koan Jelawat Lampan Balong-itik Nila Budidaya udang galah Mina-padi Udang galah Jelawat Lampan Sepat siam Tawes Jelawat Lampan Sepat siam Tawes Patin dan Nila Patin Gurame Jelawat Patin Nila merah Nila merah Lele dumbo

Lahan potensial Karang Agung Ulu Lahan salin Delta Upang Lahan lebak Kayu Agung

0,9 t/ha/th 4,2 t/ha/th 1,4 t/ha/th

Ikan-padi-palawija

Lahan lebak Kayu Agung

1,5 t/ha/th

Polikultur Budidaya monokultur Budidaya ikan Polikultur Longyam Reklamasi lahan Budidaya lele dalam tong

Lahan pasang surut Mariana Lahan potensial Karang Agung Ulu Lahan lebak Patratani Lahan rawa Patratani Pasang surut Parit Keladi Lahan sulfat masam Palingkau Sulfat masam Palingkau

1.660 kg/ha/3 bln 390 kg/ha/2 bln 330 kg/ha/2 bln 1,15 t/ha/3 bln 4,25 t/ha/bln 5 t/ha/2 bln 2,6 kg/0,2 m
3

Sumber : D.A. Suriadikarta et al. (1999)

145

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Penelitian ikan telah dilakukan di lahan potensial, lahan lebak, lahan pasang surut mempunyai pH air yang relatif lebih baik 4-5 dibandingkan dengan lahan sulfat masam dengan hasil produksi yang bervariasi. Jumlah kapur yang ditambahkan pada lahan potensial 5 t/ha, sedangkan pada lahan sulfat masam dosis pengapuran sekitar 10 t/ha. Kendala yang sering dijumpai pada kolamkolam yang dibangun di lahan pasang surut yang ber-pH air 4 adalah rembesan air dari pematang dan masuknya air hujan yang jatuh dari tepi pematang ke dalam kolam. Air tersebut menyebabkan pH air kolam turun mendadak sampai < 3 sehingga menyebabkan ikan mati. Jenis ikan yang dipelihara antara lain ikan patin, tembakang, lele, gurame, dan nila merah. Ikan tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan pH air kolam yang pada umumnya turun di waktu hujan. Untuk mengatasi penurunan pH di waktu hujan, maka pembuatan kolam harus dilakukan sebagai berikut : 1) lapisan atas tanah 0-10 cm dikupas kemudian hasil tanah kupasan tersebut ditempatkan pada lokasi yang aman, 2) penggalian kolam dilakukan sampai kedalaman tertentu biasanya antara 1-1,2 m, 3) setelah penggalian kolam selesai lalu pembuatan galengan kolam disusun seperti tangga (2-3 tangga) lalu guludan itu ditutup dengan tanah lapisan atas yang kita simpan itu, 4) pengapuran kolam baru dilaksanakan dengan dosis 5-10 ton kaptan/ha. Pada pemeliharaan yang dilakukan polikultur diharapkan ikan dapat memanfaatkan organisme plankton seperti ikan nila sedangkan organisme yang hidup di dasar kolam diharapkan dapat menjadi makanan ikan patin. Sedangkan untuk monokultur, ikan diberi tambahan pakan pelet dan sisa makanan. PENUTUP Lahan sulfat masam adalah lahan yang mempunyai kendala pH yang masam, mempunyai kandungan pirit, dan kandungan hara yang rendah, namun sifat fisiknya cukup baik, oleh karena itu lahan tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Tanaman yang dapat dikembangkan pada lahan ini adalah tanaman padi sawah, palawija, sayuran, perkebunan, dan tanaman kehutanan. Namun dalam pelaksanaan penggunaan lahan untuk pertanian perlu mempertimbangkan dua hal yang penting, yaitu letak kedalaman pirit dan tipe luapan air pasang surut. Kedua faktor itu merupakan penentu di dalam menerapkan teknologi penataan lahan dan tata air, serta pemilihan

146

Suriadikarta dan Setyorini

komoditas yang dikembangkan. Selanjutnya dalam peningkatan produktivitas lahan perlu didukung teknologi ameliorasi dan pemupukan sesuai dengan komoditasnya. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., A. Bambang, K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Perspektif pengembnagan lahan rawa untuk pertanian di Indonesia. Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Diseminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 November 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hal. 33-54. Al-Jabri, M. 2002. Penentapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. Universitas Padjadjaran Bandung. Anonimous. 1993. Sewindu penelitian di lahan rawa. Kontribusi dan prospek pengembangan proyek penelitian pertanian lahan pasang surut dan rawa Swamps II. Puslitbangtanak Bogor. Anonimous. 1999. Penelitian pengembangan sistem usahatani lahan rawa pasang surut di kawasan PLG sejuta hektar. Kapet DAS Kakab Prop. Kalimantan Tengah. Puslittanak, Balitbangtan, Deptan. Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Panduan ekspose Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut. Barito Kuala, 30-31 Juli 2003. Bloomfield, C. and J.K. Coulter. 1973. Genesis and management of Acid sulfate soils. Adv. Agron. 25:265-326. Academic Press. Inc. New York. Boss, M.G. 1990. Research on Acid sulfate soils in humid tropics. Paper workshop on acid sulfate soils in humid tropic. Bogor, 20-22 Nopember, 1990. Brinkman, R. and V.P. Sing. 1982. Rapid reclamation of fish pond in acid sulfate soils. In Proc. Int. Symp. Acid Sulfate Soil. 318-330. Bangkok. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils : a baseline for research and development. International Institute for Land Reclamation and Improvement Publication No.39 Wageningen, the Netherland. Driessen, P.M. and M. Soepraptohardjo. 1974. Soil for Agriculture Expansion in Indonesia. Bulletin 1. Soil Research Institute Bogor.

147

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Djayusman, M., S. Sastraatmaja, I.G. Ismail, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan lahan dan pengelolaan air untuk meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. FAO-Unesco. 1974. Soil map of the word. Vol I. Paris. 1974. Hartatik, W., I B. Aribawa, dan J.S. Adinigsih. 1999. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak, Indonesia. 6-8 Desember 1995. Bogor. Jumberi, A., dan T. Alihamsyah. 2004. Reklamasi dan Agribisnis di lahan pasang surut, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and Potential acidity and related chemical characterities of acid sulfate soil in Pulau Petak Kalimantan. Workshop on acid sulfate soil in the Humid Tropics, 20-22 November, Bogor Indonesia. Kasryno, F., H. Nataatmadja, E. Pasandaran, E.A. Rasahan, dan C.G. Swensen. 1989. Development an integrated farming system research in Indonesia. Workshop on FSC in Indonesia. Sukamandi. 13-16 August, 1989. Mahmud, Z. 1990. Potensi dan keragaan usahatani kelapa pasang surut Propinsi Riau. Laporan Bulanan Balitra, Menado. 072/VIII/90. Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang. 1986. Site specipic soil characteristies and the amelioration of a sulfic Tropaquepts (Acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium Lowland Development in Indonesia. Jakarta, 24-31 August 1986. Menteri Pertanian. 1999. Sambutan Menteri Pertanian Republik Indonesia dalam Pembukaan Temu Pakar dan lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta, 23-26 Nopember 1999. Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Subagjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Peta Areal Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Proyek Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, Puslittanak. Partohardjono, S. 1989. Pemantapan Program Nasional Penelitian Sistem Usahatani. Pulsitbangtan. Makalah Latihan Metodologi Penelitian Usahatani. Sukamandi, 6-26 Pebruari. 1989. Prasetyo, H., J.A.M. Jansen, dan Alkasuma. 1990. Landscape and soils genesis in Pulau Petak, Kalimantan. Workshop on Acid sulfate soils in the Humid Tropics. 20-22 Nopember, 1990. Bogor. Indonesia.

148

Suriadikarta dan Setyorini

Proyek ISDP. 1997. Gelar Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Richard, D.T. 1973. Sedimentary Ion Formation. Proc. Int. Symp. On Acid Sulfate Soil. Vol-I. ILRI. Wegeningen. The Netherland. Satsiyati, M. Januwati, dan H. Supriadi. 1999. Teknik Budidaya dan Potensi Usahatani Sayuran Lahan Rawa di Kalimanatan Tengah. Proseding Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nop. 1999. Hal 79-93. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. Agency For International Development, USDA. Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia : kasus Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, 10 Pebruari 1998 di Bogor. Subagyono, K., I W. Suastika, dan E.E. Ananto. 1999 Penataan Lahan dan Tata Air Mikro: Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut, Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian (SUP) Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. Subiksa, I G.M., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Tata air dan jarak kemalir terhadap kimia tanah dan hasil padi sawah pada tanah sulfic Tropaquents. Pro.Sem.Penel. Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps-II. Palembang. 29-31 Oktober 1990. Subiksa, I G.M. dan I. Basa. 1990. Kemajuan Penelitian Sistem Usahatani pada Lahan Sulfat Masam di Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Risalah Seminar Penlitian Proyek Swamps II. Bogor, 19-21 September 1990. Suping, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam sebagai pengganti SP 36 di lahan sulfat masam. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung 25-29 Juli 2000. Suriadikarta, D.A. dan A. Abdurachman. 1999. Penelitian Teknologi Reklamasi untuk Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat Masam Potensial. Pro. Temu Pakar dan lokakarya Nasional Diseminasi Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa, Jakarta 23 26 Nopember 1999. Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Z. Desmiyati, Suwarno, M. Januwati, dan H.K. Anang. 1999. Kesiapan Teknologi dan Kendala Pengembangan Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding Temu Pakar dan Lokakarya

149

Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam

Nasional Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23-26 Nopember 1999. Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam. Laporan akhir. Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan Iklim. Sutater, T., Satsiyati, A.H. Permadi, dan D. Haryadi. 1990. Daya hasil tanah di lahan sulfat masam. Risalah hasil penelitian. Proyek Swamps-II. Bogor 1921 September 1989. Hal. 275-277. Tim Peneliti Puslittanak. 1997. Survei Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A, Propinsi Kalimantan Tengah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Van Breemen, N. 1976. Genesis and solution chemisty of acid sulfate soils in Thailand. Center of Agricultural Publishing and Documentation. Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation. Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. Jurnal Badan Litbang Pertanian V(1):1-9. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Risalah. PERNAS Pengembangan Pertanian Di lahan Rawa Pasang Surut Dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret 1992 Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995a. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995b. Potensi peluang dan kendala perluasan areal pertanian lahan rawa di Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Sopeng, 7-8 Nopember 1995. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut ; Potensi, Prospek, dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaannya Untuk Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komda HITI, 16-17 Desember 1998.

150

TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA LAHAN GAMBUT


Wiwik Hartatik dan Didi Ardi Suriadikarta

151

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

5.1. PENDAHULUAN Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 11 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Papua), hampir 1/3 luas lahan rawa di Indonesia. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm. Tanah gambut atau tanah organik dikenal juga sebagai Organosol atau Histosol. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, tanah gambut dipilah menjadi: (a) gambut pantai atau pasang surut, yaitu gambut yang dominan dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (b) gambut pedalaman, yaitu gambut yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut; (c) gambut peralihan (transisi), yaitu gambut yang terdapat di antara gambut pantai dan gambut pedalaman. Widjaja-Adhi (1988) menggolongkan tanah gambut berdasarkan ketebalan bahan organik, tanah yang mempunyai ketebalan gambut kurang dari 50 cm sebagai tanah bergambut. Selanjutnya tanah gambut dibedakan berdasar kedalamannya, yaitu: gambut dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm) dan gambut sangat dalam (>300 cm). Tanahtanah lainnya yang tergolong ke dalam tanah yang banyak mengandung bahan organik dan terletak di dataran aluvium ialah tanah gley humus yaitu tanah-tanah yang memiliki ketebalan gambut kurang dari 30 cm dengan kadar karbon antara 15 hingga 30% (Koswara, 1973). Tanah gambut tebal di Indonesia umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik dan sisanya fraksi organik yaitu lebih dari 95%. Fraksi organik terdiri senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20%, sebagian besar terdiri atas senyawa-senyawa non humat yang meliputi senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, sejumlah kecil protein, dan lain-lain. Sedangkan senyawa-senyawa humat terdiri atas asam humat, himatomelanat dan humin (Stevenson, 1994; Tan, 1993). Sebagian besar gambut tropika mempunyai kemasaman yang relatif tinggi (pH 3-5) dan umumnya mengandung kurang dari 5% fraksi inorganik (Driessen, 1978). Polak (1975) mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu 152

Hartatik dan Suriadikarta

komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11%. Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri atas gambut tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat oligotrofik (Radjagukguk, 1997). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut. Air pasang surut mengandung bahan-bahan halus dan bahan terlarut lain yang berasal dari daratan karena terbawa oleh aliran air sungai pada waktu banjir atau berasal dari lautan karena naiknya air laut pada saat terjadinya pasang (Andriesse, 1974; Leiwakabessy, 1978).

5.2. KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT

5.2.1. Kesuburan tanah gambut Kesuburan alamiah tanah gambut sangat beragam, tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat dekomposisi, (b) komposisi tanaman penyusunan gambut, dan (c) tanah mineral yang berada dibawah lapisan tanah gambut (Andriesse, 1974). Polak (1949) menggolongkan gambut kedalam tiga tingkat kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O, dan kadar abunya, yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi, (2) gambut mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang, dan (3) gambut oligotrofik dengan tingkat kesuburan yang rendah (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Kandungan hara pada tiga tingkat kesuburan gambut
Tingkat kesuburan Eutrofik Mesotrofik Oligotrofik Kandungan CaO K2O Abu P2 O 5 .. % bobot kering gambut .. > 0,25 >4 > 0,1 > 10 0,20-0,25 1-4 0,1 5-10 0,05-0,20 0,25-1 0,03-0,1 2-5

Sumber : Polak, 1949.

153

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tingginya kandungan basa-basa gambut eutrofik disebabkan pembentukannya dipengaruhi oleh air payau (campuran air laut dan air sungai). Gambut mesotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air sungai, sedangkan gambut oligotrofik pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Tanah gambut di Indonesia sebagian besar bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0. Hasil penelitian Halim (1987) dan Salampak (1999) diperoleh nilai kisaran pH H2O (1:5) yaitu tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah sebesar 3,25 hingga 3,75. Sedangkan pH H2O tanah gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan lebih tinggi yaitu sebesar 4,1-4,3 (Hartatik et al., 2004). Nilai kapasitas tukar kation tanah gambut berkisar antara 100 hingga 300 me/100 g tanah, hal ini disebabkan oleh muatan negatif bergantung pH yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Menurut Andriesse (1974) dan Driessen (1978), kapasitas tukar kation (KTK) gambut ombrogen di Indonesia sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Tabel 5.2). Tanah gambut di Indonesia, terutama tanah gambut ombrogen mempunyai komposisi vegetasi penyusun gambut yang didominasi oleh tumbuhan yang berasal dari bahan kayukayuan. Bahan kayu-kayuan umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan menghasilkan asam-asam fenolat (Stevenson, 1994). Kandungan kation basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, kandungan abu semakin rendah, kandungan Ca dan Mg menurun dan reaksi tanah menjadi lebih masam (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa-basa yang rendah disertai dengan nilai KTK yang tinggi, sehingga ketersediaan basa-basa menjadi rendah. Rendahnya kandungan basa-basa pada gambut pedalaman berhubungan erat dengan proses pembentukannya yang lebih banyak dipengaruhi oleh air hujan (Leiwakabessy, 1978). Kejenuhan basa (KB) tanah gambut pedalaman pada umumnya sangat rendah. Tanah gambut pedalaman Berengbengkel Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB kurang dari 10% (Tim Institut Pertanian Bogor, 1974), demikian juga nilai KB tanah gambut dataran rendah Riau (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).

154

Hartatik dan Suriadikarta

Tabel 5.2. Komposisi gambut Ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation (Driessen, 1978)
Komposisi Lignin Senyawa humat Selulosa Hemiselulosa Lainnya Total gambut Bobot % 64-74 10-20 0,2-10 1-2 <5 100 KTK me/100g 150-180 40-80 7 1-2 190-270

Unsur fosfor (P) pada tanah gambut sebagian besar dijumpai dalam bentuk P organik, yang selanjutnya akan mengalami proses mineralisasi menjadi P inorganik oleh jasad mikro. Sebagian besar senyawa P organik berada dalam bentuk ester ortofosfat, sebagian lagi dalam bentuk mono dan diester. Ester yang telah diidentifikasi terdiri atas inositol fosfat, fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula fosfat, ketiga senyawa pertama bersifat dominan. Fraksi P organik diperkirakan mengandung 2% P sebagai asam nukleat, 1% sebagai fosfolipid, 35% inositol fosfat, dan sisanya belum teridentifikasi. Di dalam tanah, pelepasan inositol fosfat sangat lambat dibandingkan ester lainnya, sehingga senyawa ini banyak terakumulasi, dan kadarnya di dalam tanah menempati lebih dari setengah P organik atau kira-kira seperempat total P tanah. Senyawa inositol heksafosfat dapat bereaksi dengan Fe atau Al membentuk garam yang sukar larut, demikian juga terhadap Ca. Dalam keadaan demikian, garam ini sukar didegradasi oleh mikroba (Stevenson, 1994). Penelitian pada tanah Histosol yang tidak diusahakan, dan didrainase yang mengandung bahan mineral yang tinggi, termasuk besi feri (Fe3+) dan Ca yang tinggi akan menurunkan mobilitas dan degradasi fosfat. Dari total P fraksi terbesar yaitu fraksi P organik tidak labil dan yang resisten. Asam fulvat berasosiasi dengan P sebesar 12% dari total P. Fosfat residu berturut-turut sebesar 13; 29; dan 8% dari total P tanah pada Histosol yang diusahakan, tidak diusahakan, dan yang digenangi (Ivanoff et al., 1998). Proses mineralisasi P organik oleh jasad mikro sangat dipengaruhi oleh nisbah C dan P. Bila nisbah C dan P mencapai 300 akan terjadi immobilisasi P oleh jasad mikro, P akan digunakan sebagai energi dan penyusun struktur sel

155

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

jasad mikro. Sedangkan bila nisbah C dan P mencapai 200, proses mineralisasi akan berjalan lebih cepat daripada proses immobilisasi, sehingga P akan dapat lebih tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et al. (1985) proses mineralisasi akan lebih konstan bila nisbah C, N, dan P mencapai nilai sebesar 100:10:1. Dengan demikian proses mineralisasi yang terjadi pada tanah gambut berlangsung lambat, karena nisbah C dan P sangat lebar (Miller dan Donahue, 1990). Pada tanah gambut kandungan unsur mikro umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Tanah yang berkadar bahan organik tinggi seperti gambut, sebagian besar hara mikro, terutama Cu dikhelat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Kanapathy, 1972). Grup karboksilat dan fenolat pada tapak reaktif tanah gambut dapat membentuk senyawa kompleks dengan unsur mikro, sehingga mengakibatkan unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Menurut Driessen (1978) kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas. Namun dapat juga kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan tanah mineral yang ada di lapisan bawah gambut tersebut. 5.2.2. Sifat kimia tanah gambut Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat (Andriesse, 1974; Miller dan Donahue, 1990). Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 sampai 95% muatan pada bahan organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut. Dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob akan menghasilkan beberapa senyawa dan gas, antara lain adalah metan, hidrogen sulfida, etilen, asam asetat, asam butirat, asam laktat, dan asam-asam organik lainnya seperti asam-asam fenolat. Sebagian besar dari asam-asam ini bersifat racun bagi

156

Hartatik dan Suriadikarta

tanaman (Tsutsuki dan Ponnamperuma, 1987, Tsutsuki dan Kondo, 1995). Tanah-tanah gambut di Indonesia mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah-tanah gambut yang berada di daerah yang beriklim sedang (Driessen dan Suhardjo, 1976; Driessen, 1978). Lignin tersebut akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat, dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat (Kononova, 1968). Beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah adalah asam vanilat, p-kumarat, p-hidroksibenzoat, salisilat, galat, sinapat, gentisat, dan asam siringat (Tsutsuki, 1984). Asam-asam fenolat tersebut berpengaruh langsung terhadap proses biokimia dan fisiologi tanaman, serta penyediaan hara di dalam tanah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam fenolat bersifat fitotoksik bagi tanaman dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Driessen, 1978; Stevenson, 1994; Tsutsuki, 1984). Konsentrasi asam fenolat sebesar 0,6-3,0 mM dapat menghambat pertumbuhan akar padi sampai 50%, sedangkan pada konsentrasi 0,001 hingga 0,1 mM dapat mengganggu pertumbuhan beberapa tanaman (Takijima 1960, dalam Tsutsuki, 1984). Pengaruh asam p-hidroksibenzoat yang diberikan terusmenerus sampai panen dengan konsentrasi >0,1 mM menurunkan bobot kering tanaman bagian atas dan biji pada saat panen (Tadano et al., 1992). Wang et al. (1967) mendapatkan pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat sebesar 7-70 mM dapat menekan pertumbuhan tanaman jagung, gandum, dan kacang-kacangan. Sedangkan pada konsentrasi 180 mM tidak berpengaruh terhadap tanaman tebu, tetapi pada konsentrasi asam p-hidroksibenzoat 360 mM berpengaruh terhadap pertumbuhan akar tanaman tebu. Hartley dan Whitehead (1984) mengemukakan bahwa asam-asam fenolat pada konsentrasi 250 M menurunkan sangat nyata serapan kalium oleh tanaman barley. Asam salisilat dan ferulat menyebabkan terhambatnya serapan kalium dan fosfor oleh tanaman gandum serta asam ferulat pada konsentrasi 500 hingga 1000 M menurunkan serapan fosfor pada tanaman kedelai. Bahan-bahan fitotoksik hasil dekomposisi bahan organik berpengaruh terhadap perubahan permeabilitas sel tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, nekrosis pada sel akar, menghambat dan menunda perkecambahan. Selain bahan fitotoksik ini dapat mematikan biji, menghambat pertumbuhan akar, pertumbuhan tanaman kerdil, mengganggu serapan hara, klorosis layu, dan akhirnya dapat mematikan tanaman (Patrick, 1971). 157

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

5.3. TEKNOLOGI AMELIORASI DAN PEMUPUKAN PADA LAHAN GAMBUT Rendahnya produktivitas lahan gambut disebabkan oleh adanya berbagai faktor pembatas, diantaranya kandungan asam-asam fenolat yang tinggi, kemasaman yang tinggi, kapasitas tukar kation yang tinggi dengan kejenuhan basa dan ketersediaan P yang rendah. Mengusahakan lahan gambut dengan cara disawahkan, secara tidak langsung dapat menekan terjadinya penurunan permukaan tanah (subsident), namun permasalahan yang dihadapi adalah munculnya asam-asam organik dalam konsentrasi yang tinggi yang meracuni tanaman, terutama asam-asam fenolat (Tadano et al.,1990; Rachim 1995; Prasetyo, 1996; Salampak, 1999). Asam-asam fenolat tersebut merupakan hasil biodegradasi anaerob dari senyawa lignin dalam bahan asal kayu-kayuan (Tsutsuki dan Kondo, 1995). Pengaruh buruk dari derivat asam-asam fenolat dapat dikurangi dengan pemberian kation-kation polivalen seperti Al, Fe, Cu, Zn (Rachim, 1995; Prasetyo, 1996; Saragih 1996). Penurunan asam-asam fenolat disebabkan oleh adanya erapan kation-kation polivalen oleh tapak reaktif gugus fungsional asam-asam organik sehingga membentuk senyawa kompleks yang resisten (Stevenson, 1994). Tapak-tapak reaktif di dalam tanah gambut berasal dari gugus fungsional asam organik yang mengandung oksigen (C=O, OH, dan COOH), terutama dari gugus OH asam fenolat. Penelitian Saragih (1996) menunjukkan bahwa kation Fe+3 lebih efektif dan stabil berikatan dengan senyawa-senyawa organik dalam gambut dibandingkan dengan kation Al+3, Ca+2, Cu+2, dan Fe+2. Penggunaan kation Fe sangat baik bagi pengikatan P sehingga dapat mengkonservasi dan meningkatkan ketersediaan P (Rachim, 1995). Upaya peningkatan produktivitas lahan gambut melalui teknologi pencampuran dengan tanah mineral telah lama dipraktekkan di lahan gambut. Tanah mineral yang sesuai sebagai bahan amelioran untuk menekan aktivitas asam-asam fenolat tergantung kandungan asam-asam fenolat dominan pada gambut. Untuk gambut dari Kalimantan Tengah yang mengandung asam ferulat lebih tinggi, maka tanah mineral yang lebih sesuai yang mengandung besi tinggi. Sedangkan pada gambut Sumatera Selatan yang mengandung asam phidroksibenzoat yang lebih tinggi, maka pemberian tanah mineral perlu

158

Hartatik dan Suriadikarta

dikombinasikan dengan pemberian terusi (sumber Cu). Petani di Belanda mencampurkan tanah mineral yang ada di bawah gambut dengan gambut yang ada diatasnya, tanah mineral diaduk merata dengan gambut hingga kedalaman 40 cm. Sedangkan petani di Rusia mencampurkan tanah mineral dengan gambut dengan cara menyebarkan tanah mineral di atas tanah gambut sebanyak 300400 m3/ha atau setebal 3-4 cm, kemudian dibajak agar tanah mineral tercampur rata dengan tanah gambut. Praktek petani di Jerman untuk meningkatkan produktivitas tanah gambut dengan tanah mineral berbeda dengan Belanda dan Rusia. Tanah mineral yang diangkut dari tempat terdekat, disebar rata di atas permukaan tanah gambut setebal 10 hingga 12 cm atau 1.000 hingga 1.200 m3/ha, tetapi tidak dicampur dengan gambut (Skoropanov, 1968). Pemberian tanah mineral setebal 6 cm atau setara 600 t/ha pada tanah gambut Hokaido Jepang meningkatkan hasil padi 4,3 t/ha (Miyake, 1982). Soepardi dan Surowinoto (1986) melaporkan bahwa pemberian tanah mineral sebanyak 60 t/ha mampu meningkatkan hasil tanaman, hanya saja upaya tersebut harus dibarengi dengan upaya pemupukan. Halim (1987) melakukan pencampuran tanah gambut Sumatera Selatan dengan tanah mineral berasal dari tanggul sungai (levee) sebesar 16 ton bahan tanah dan 3 ton dolomit + 1,5 ton kalsit serta 80 kg besi per hektar meningkatkan hasil kedelai sebesar 17,7 ku/ha. Rachim et al. (1991) melaporkan takaran tanah mineral berpirit sebanyak 20% dari bobot tanah gambut meningkatkan hasil tanaman jagung dan padi. Bila takaran campurannya ditingkatkan menjadi 40%, maka cenderung menurunkan hasil, karena meningkatnya bobot gabah yang hampa. Pencampuran tanah mineral berpirit perlu diwaspadai karena dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman, karena meningkatnya Al-dd, H-dd, dan SO4 2-. Pemanfaatan bahan amelioran lumpur laut dan kapur terhadap peningkatan produksi kedelai pada gambut Kalimantan Barat menunjukkan bahwa lumpur laut dapat memperbaiki produktivitas gambut melalui perbaikan sifat-sifat kimia, antara lain meningkatkan pH, ketersediaan Ca dan Mg, kejenuhan basa, kombinasi kapur 3 t/ha dan lumpur laut 7,5% meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Sagiman, 2001). Ameliorasi dengan tanah mineral berkadar besi tinggi dapat mengurangi pengaruh buruk dari asam-asam fenolat (Salampak, 1999; Mario, 2002; Hartatik, 2003). Salampak (1999) melaporkan pemberian tanah mineral berkadar besi

159

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

tinggi sampai takaran 7,5% erapan maksimum besi pada tanah gambut dari Kalimantan Tengah mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat sekitar 30% dan meningkatkan produksi padi dari 0,73 menjadi 3,24 t/ha (Tabel 5.3). Pemberian tanah mineral juga dapat memperkuat ikatan-ikatan kation dan anion sehingga konservasi terhadap unsur hara yang berasal dari pupuk menjadi lebih baik. Selain itu, ikatan dengan koloid inorganik menyebabkan degradasi bahan gambut menjadi terhambat (Alexander, 1977) sehingga gambut sebagai sumber daya alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama. Tabel 5.3. Rata-rata bobot gabah akibat pemberian bahan amelioran pada dua jenis gambut di Kalteng (Salampak, 1999)
Bahan amelioran % erapan maksimum Fe 0 2,5 5 7,5 10 Bobot gabah pada Gambut pasang surut (Samuda) Gambut transisi (Sampit) ... t /ha ... 0,73 a* 1,22 a 2,06 b 3,24 c 2,15 c 0,57 a 1,19 ab 1,87 c 2,75 d 2,03 d

*) Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Kation besi dari amelioran tanah mineral dapat menciptakan tapak erapan baru pada gambut sehingga ikatan fosfat menjadi lebih kuat dan tidak mudah lepas. Kation besi berperan sebagai jembatan pengikat fosfat pada tapak erapan reaktif gambut sehingga hara P dari tapak reaktif gambut dapat dilepaskan secara lambat dan kebutuhan tanaman dapat dipenuhi. Hartatik (2003) melaporkan pemberian bahan amelioran tanah mineral takaran 7,5% erapan maksimum Fe pada tanah gambut Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan menurunkan konsentrasi asam siringat, asam kumarat dan asam vanilat berturut-turut 88, 67, dan 36% (Tabel 5.4). Menurut Tadano et al. (1992) beberapa jenis asam fenolat yang umum dijumpai dalam tanah gambut di antaranya asam ferulat, asam vanilat, p-kumarat, dan p-hidroksibenzoat pada konsentrasi tertentu dapat bersifat racun terhadap pertumbuhan tanaman. Asam-

160

Hartatik dan Suriadikarta

asam fenolat tersebut berpengaruh menekan aktivitas fisiologi akar, menghambat pertumbuhan akar, dan mengganggu serapan hara. Tabel 5.4. Pengaruh pemberian bahan amelioran tanah mineral terhadap konsentrasi asam-asam fenolat pada gambut Air Sugihan Kiri (Hartatik, 2003)
Perlakuan Amelioran TM 0% Fe 2,5% Fe 5% Fe 7,5% Fe 10% Fe Asam fenolat Vanilat p-kumarat Sinapat Siringat Ferulat p-hidroksi benzoat ..................................................... mM ..................................................... 0,26 0,28 0,21 0,06 1,6 0,006 0,15 0,38 0,15 0,04 0,09 0,004 0,12 0,34 0,21 0,09 0,28 0,004 0,40 0,18 0,07 0,06 0,19 0,003 0,97 0,39 0,14 0,04 0,26 0,002

Penurunan asam-asam fenolat ini disebabkan oleh adanya interaksi antara kation Fe dari bahan amelioran sebagai jembatan kation dan asam-asam fenolat melalui proses polimerisasi. Kation Fe bereaksi dengan ligan organik membentuk ikatan kompleks. Asam-asam organik berperan sebagai penyumbang pasangan elektron (donor), sedangkan kation Fe berperan sebagai penerima elektron (aseptor) (Tan, 1993). Penurunan konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut pada prinsipnya tidak dimaksudkan untuk menghabiskan konsentrasi asam-asam organik tersebut, karena hampir seluruh reaksi kimia yang terjadi di dalam tanah tersebut berada pada tapak reaktif dari berbagai gugus fungsional asam-asam organik yang mengandung oksigen (C=O, OH, dan COOH). Oleh karena itu untuk menurunkan konsentrasi asam-asam organik yang meracun dalam tanah gambut harus dirancang, agar tidak sampai menghilangkan fungsinya sebagai media tumbuh tanaman, serta fungsinya sebagai pusat pertukaran kimia (koloid). Ameliorasi gambut dari Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan dengan tanah mineral berpirit menunjukkan bahwa pencucian pada amelioran tanah mineral yang berkadar pirit rendah maupun tinggi, mampu menurunkan kadar pirit terlarut. Pada tanah mineral yang berkadar pirit rendah, pencucian yang dilakukan empat kali sebulan menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 74% yaitu dari 320 ppm menjadi 84 ppm, bila pencucian dilakukan dua kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut sebesar 69% yaitu dari 317 ppm menjadi 98

161

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

ppm. Sedangkan pada tanah mineral berpirit tinggi pencucian dua dan empat kali sebulan mampu menurunkan kadar sulfat terlarut masing-masing 93 dan 91%. Demikian juga pencucian yang dilakukan setelah tanah mineral berpirit dicampur dengan tanah gambut juga cukup efektif menurunkan kadar sulfat terlarut dalam tanah. Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit, disarankan melakukan pencucian untuk menurunkan kadar sulfat sampai batas tidak menghambat pertumbuhan tanaman, sebaiknya dilakukan percampuran gambut dengan tanah mineral dahulu sebelum dilakukan pencucian, untuk menghindari hilangnya basa-basa dalam gambut dan meningkatkan hasil tanaman (Gambar 5.1).

16 16 14 14
GABAH BERNAS (g/pot) Gabah bernas (G/POT) 13.85 13,85
12,17 12.17

12 12 10 10
8,38 8.38

88 66 44 22 00
KIC0 RC4I RC2I TC4I TC2I KIC0 RIC4 RIC2 TIC4 TIC2

5,42 5.42 3,88 3.88 3,16 3.16

5,3 5.3

5,05 5.05

0,78 0.78

0.78 0,78

DIINKUBASIsetelah dicuci Diinkubasi SETELAH DICUCI

DICUCI SETELAH DIINKUBASI Dicuci setelah diinkubasi

Gambar 5.1 . Pengaruh periode pencucian terhadap gabah bernas


Keterangan :
KIC0 RC4I RC2I TC4I TC2I = = = = = Kontrol Kadar pirit rendah, dicuci empat kali, inkubasi, tanam Kadar pirit rendah, dicuci dua kali, inkubasi, tanam Kadar pirit tinggi, dicuci empat kali, inkubasi, tanam Kadar pirit tinggi, dicuci dua kali, inkubasi, tanam RIC4 = Kadar pirit rendah, diinkubasi dicuci empat kali, tanam RIC2 = Kadar pirit rendah, diinkubasi, dicuci dua kali, tanam TIC4 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci empat kali, tanam TIC2 = Kadar pirit tinggi, diinkubasi, dicuci dua kali, tanam

Sumber : Suastika (2004)

162

Hartatik dan Suriadikarta

Ameliorasi gambut dengan tanah mineral berpirit yang telah diturunkan kadar sulfatnya melalui pencucian dua kali setelah diinkubasi selama satu bulan menunjukkan bahwa dapat menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat dari tanah gambut sebesar 44% untuk p-hidroksi benzoat, 75% untuk asam vanilat, 78% untuk asam p-kumarat, 80% untuk asam sinapat, 96% untuk asam ferulat, dan 85% untuk asam siringat, serta meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Suastika, 2004). Mario (2002) melaporkan peningkatan produktivitas tanah gambut pantai (Samuda), gambut transisi (Sampit) dan gambut pedalaman (Berengbengkel) Kalimantan Tengah, dengan pemberian tanah mineral yang mengandung besi tinggi (Fe2O3 = 22,06%) dengan takaran 5% erapan Fe maksimum yang dikombinasikan dengan terak baja (Fe2O3 = 42,6%) dalam beberapa kombinasi. Kombinasi perlakuan yang dicobakan yaitu 90% tanah mineral + 10% terak baja, 80% tanah mineral + 20% terak baja, 70% tanah mineral + 30% terak baja, 60% tanah mineral + 40% terak baja, 50% tanah mineral dan 50% terak baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengkayaan tanah mineral dengan pemberian terak baja mampu menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat. Penurunan proporsi bahan tanah mineral sebagai bahan amelioran menurunkan kemampuan amelioran tersebut dalam menurunkan konsentrasi asam-asam fenolat. Peningkatan proporsi terak baja dari 10% hingga 50% menyebabkan menurunnya interaksi yang terjadi antara asam-asam fenolat dengan Fe yang terkandung dalam amelioran. Pemberian amelioran meningkatkan ketersediaan hara terutama basabasa dalam tanah gambut, meskipun kecenderungan terjadi penurunan pH tanah, namun demikian peningkatan proporsi terak baja cenderung meningkatkan pH tanah. Pemberian amelioran berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi. Pada gambut Berengbengkel peningkatan proporsi terak baja secara linear meningkatkan produksi padi, sedangkan pada gambut Samuda dan Sampit tidak terjadi perbedaan yang nyata. Peningkatan produktivitas tanah gambut transisi dapat dicapai dengan pemberian 70% setara 4,6 t/ha bahan tanah mineral yang diperkaya dengan 30% setara 1,5 t/ha terak baja, sedangkan untuk gambut pantai hanya dengan pemberian bahan tanah mineral sebesar 7,9 t/ha. Untuk gambut pedalaman penggunaan bahan tanah mineral yang diperkaya oleh terak baja tidak mampu untuk memperbaiki produktivitas tanah gambut yang disawahkan. Hal ini disebabkan pada gambut pedalaman mempunyai kandungan asam fenolat

163

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

potensial yang cukup tinggi, sehingga sulit memprediksi kebutuhan bahan amelioran dalam menurunkan asam-asam fenolat. Pengkayaan tanah mineral insitu oleh bahan berkadar besi tinggi (terak baja) sebagai bahan amelioran pada gambut dari Air Sugihan Kiri untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut yang disawahkan menunjukkan bahwa pemberian amelioran tanah mineral insitu dengan takaran 5% erapan maksimum Fe dengan terak baja 15% meningkatkan hasil gabah kering sebesar 4,6 t/ha (Laporan kerjasama Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2001). Murnita (2001) mempelajari peranan bahan amelioran besi (Fe) dan zeolit terhadap perilaku K dan hasil padi pada tanah gambut pantai dan gambut peralihan Jambi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan amelioran Fe sebanyak 2,5% erapan maksimum Fe dan zeolit 0,25-3% dapat mengurangi konsentrasi asam-asam fenolat dalam tanah gambut pantai saprik dan hemik masing-masing sebesar 9-47% dan 9-52%, serta gambut peralihan saprik dan hemik sebesar 9-53% dan 10-62%. Pemberian Fe berperan lebih besar dalam menekan konsentrasi asam-asam fenolat dibandingkan dengan zeolit. Suriadikarta dan Jayusman (2001), telah mencoba menggunakan pupuk cair shimarock untuk meningkatkan produksi tanah gambut yang disawahkan. Shimarock adalah pupuk cair yang berasal dari Jepang yang dibuat dari ekstrak mineral vermikulit yang mengandung 22 jenis mineral, yaitu : Ca, Mg, K, Na, Se, Si, P, Rb, Ge, Zn, W, Mn, Fe, Cu, Co, Ni, Mo, Li, V, Ti, Al, dan Ba. Mineral-mineral tersebut sangat penting dalam proses fotosintesis, dan merupakan komponen enzim yang penting sebagai katalisator dalam metabolisme tanaman. Shimarock dapat membuat akar tanaman menjadi cepat tumbuh dan banyak membentuk akar-akar halus tumbuh dan ini menjadi penting untuk tanaman (Kondo, 2001). Bahan shimarock telah dicoba di Indonesia pada tanah gambut lahan sawah di daerah Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan dengan tanaman padi varietas lokal Komojoyo. Penelitian dilaksanakan pada MH 2001, dengan dosis 1 cc/lt. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan shimarock pada lahan gambut dapat meningkatkan tanaman padi dua kali lipat lebih (212,5%), yaitu dari 1,6 t/ha menjadi 3,4 t/ha GKG.. Tetapi bila digunakan pada tanah mineral masam (Ultisols) dengan varietas unggul baru IR-64 dapat meningkatkan hasil 20,3%, yaitu dari 6,4 t/ha menjadi 7,7 t/ha GKG, sedangkan dengan varietas 164

Hartatik dan Suriadikarta

hibrida Yaponica peningkatannya kecil hanya 7,3% yaitu dari 6,8 t/ha menjadi 7,3 t/ha GKG. Peningkatan ini kecil karena varietas Yaponica belum dapat beradaptasi dengan tanah Ultisols di Indonesia. Pemberian bahan amelioran zeolit 0,5-1,5% dapat mengurangi kehilangan K dari pupuk pada tanah gambut pantai dan peralihan masing-masing sebesar 0,5-2% dan 0,7-3%. K yang tercuci dari gambut pantai lebih kecil dari gambut peralihan. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan K dalam tanah gambut, maka disarankan untuk melakukan pemupukan K sesuai kebutuhan ke dalam zeolit sebagai amelioran. Semakin tinggi dosis zeolit dan kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan tanpa maupun dengan pencucian, bobot gabah kering semakin meningkat. Kombinasi pemberian zeolit 15 g/kg dan K 375 mg/kg meningkatkan bobot gabah kering (Tabel 5.5). Perlakuan pencucian dan pemberian bahan amelioran Fe3+ pada takaran 2,5% erapan maksimum Fe untuk gambut pantai dan 5% untuk gambut peralihan meningkatkan bobot kering tanaman (Tabel 5.6 ). Tabel 5.5. Rata-rata bobot gabah kering padi akibat pencucian dan pemberian zeolit serta kalium pada tanah gambut pantai dan peralihan
Zeolit g/kg 0 Kalium mg/kg 0 125 250 375 0 125 250 375 0 125 250 375 0 125 250 375 Tanpa Dengan Tanpa Dengan pencucian pencucian pencucian pencucian Gambut pantai Gambut peralihan .............................................. g/pot ............................................. 3,03a 6,83a 0,36a 2,03a 5,54b 8,17b 1,03b 4,48b 6,37bc 8,38b 1,30b 5,37b 7,00c 10,60c 1,30b 6,00b 5,10a 7,34b 7,85b 8,98c 6,34a 6,92ab 7,88b 8,54b 5,95a 8,06b 9,13c 10,65d 7,21a 9,58b 9,68b 13,40c 8,67a 11,65b 12,54b 14,29c 11,00a 14,27b 15,37b 17,60c 1,05a 1,91a 1,65a 2,25b 1,40a 1,70a 2,50b 4,30c 1,75a 2,27a 3,41b 5,58c 4,18a 5,37b 6,86b 7,97c 5,35a 5,95a 6,89b 7,54b 4,90a 7,55b 8,13b 9,60c

10

15

Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf = 0,05

165

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tabel 5.6. Pengaruh interaksi antara pencucian dengan pemberian bahan amelioran Fe3+ terhadap bobot kering tanaman padi pada gambut pantai dan peralihan, Jambi (Murnita, 2001)
Pencucian Fe3+ (% erapan maksimum Fe3+) 0 2,5 5,0 7,5 0 2,5 5,0 7,5 Gambut pantai Tanpa pencucian Dengan pencucian 1,30ax 3,46
a y

Gambut peralihan 3,96bx 6,60


b y

.. Bobot kering (g/pot) .. 7,44cx 13,73


c y

6,88cx 12,81
c y

0,67ax 1,41
a x

2,34bx 6,33
c y

3,58bx 7,05
d y

2,4bx 3,78by

Keterangan : Nilai tengah yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Hartatik et al. (2004) melaporkan pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pencucian P dari kolom tanah menunjukkan bahwa pemberian fosfat alam Maroko, Ciamis, atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terjadi akumulasi P pada lapisan atas. Dari hasil analisis kolom tanah setiap kedalaman 10 cm menunjukkan bahwa bahan amelioran dan fosfat alam Maroko, Ciamis atau SP-36 menyebabkan P lebih banyak terakumulasi pada kedalaman 5 hingga 20 cm. Nisbah kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm masing-masing pada takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,54; 1,90; dan 2,79 untuk fosfat alam Maroko dan 1,64; 1,76; dan 4,11 untuk fosfat alam Ciamis serta 1,31; 2,05; dan 2,79 untuk SP-36 (Gambar 5.2). Pemberian bahan amelioran dan pemupukan fosfat alam Maroko dan Ciamis meningkatkan P pada lapisan atas, sehingga P yang tercuci berkurang dibandingkan SP-36. Sedangkan perlakuan fosfat alam Christmas, P terakumulasi pada kedalaman 30 hingga 40 cm, dengan nisbah kadar P kolom tanah antara kedalaman 0 hingga 30 cm dengan 30 hingga 60 cm pada takaran 50, 100, dan 200% P yaitu 1,05; 1,11; dan 1,38. Diduga hal ini berkaitan dengan rendahnya kelarutan fosfat alam tersebut dalam tanah. Adanya akumulasi P di lapisan bawah menunjukkan bahwa tidak ada peranan Fe dalam fosfat alam terhadap

166

Hartatik dan Suriadikarta

pengikatan P. Hal ini disebabkan karena besi terikat kuat dalam mineral apatit yang sukar larut. Kolom tanah tanpa perlakuan bahan amelioran menunjukkan akumulasi P pada kedalaman 30 hingga 60 cm. Pemberian bahan amelioran mampu meningkatkan ikatan P dalam tanah gambut, sehingga P tidak mudah hilang tercuci dalam tanah. Diduga pemberian bahan amelioran akan membentuk tapaktapak reaktif baru bagi P yang dihasilkan dari interaksi asam organik-Fe, sehingga terbentuk senyawa kompleks organik-Fe-P. Besi dari bahan amelioran berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan asam-asam organik dengan anion fosfat. Adanya kemampuan pengikatan P ini, kehilangan P dari dalam tanah dapat dikurangi, sehingga efisiensi pemupukan P dalam tanah gambut dapat ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Rachim (1995), Salampak (1999), dan Wild (1990) yang mengemukakan bahwa kation polivalen dapat menjembatani ikatan antara P dan asam-asam organik. Diantara sumber P, perlakuan fosfat alam Maroko memberikan kadar P dalam kolom tanah paling tinggi diikuti berturut-turut SP-36, Ciamis, dan terendah Christmas. Hartatik (2003) mempelajari pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap pertumbuhan dan serapan P tanaman padi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fosfat alam Ciamis takaran 50% erapan maksimum P memberikan bobot kering tanaman setara SP-36. Fosfat alam Ciamis meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 82% dibandingkan kontrol. Fosfat alam Maroko dan Christmas umumnya memberikan bobot kering tanaman yang rendah yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.7).

167

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Maroko 0 0-5 Kedalaman kolom tanah (cm) 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 20

P (ppm) 40 60 80

Christmas 0 0-5 10

P (ppm) 20 30 40
Kontrol tanpa

Kedalaman kolom tanah (cm)

5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60

Kontrol Christmas Christmas Christmas

Kontrol tanpa TM Kontrol TM Maroko 50% Maroko 100% Maroko 200%

Ciamis 0 0-5 5 - 10 10 - 20

P (ppm) 20 40 60

SP-36 0 0-5 Kedalaman Kolom Tanah (cm) 5 - 10 10 - 20 20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60 20

P (ppm) 40 60 80

Kedalaman kolom tanah (cm)

20 - 30 30 - 40 40 - 50 50 - 60

Kontrol tanpa TM Kontrol TM Ciamis 50% Ciamis 100% Ciamis 200%

Kontrol tanpa TM Kontrol TM SP-36 50% SP-36 100% SP-36 200%

Gambar 5.2.

Pola distribusi fosfor dalam kolom tanah dari beberapa jenis sumber P

168

Hartatik dan Suriadikarta

Perlakuan fosfat alam Maroko dan Christmas memberikan bobot kering tanaman yang lebih rendah, hal ini disebabkan adanya dominasi asam p-hidroksi benzoat dan p-kumarat yang menghambat pertumbuhan dan bobot kering tanaman. Pemberian SP-36 meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 158% dibandingkan kontrol dan memberikan bobot kering tanaman lebih tinggi daripada fosfat alam. Hal ini berkaitan dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan p-hidroksi benzoat yang terukur dan tingginya P yang diserap tanaman, sehingga pertumbuhan dan bobot kering tanaman lebih optimum dibandingkan perlakuan fosfat alam. Tabel 5.7. Rataan bobot kering tanaman dan serapan P Total padi IR-64 akibat pemberian beberapa jenis fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral
Perlakuan Kontrol - TM Kontrol + TM Maroko 50% + TM Maroko 100% + TM Maroko 150% + TM Christmas 50% + TM Christmas 100% + TM Christmas 150% + TM Ciamis 50% + TM Ciamis 100% + TM Ciamis 150% + TM SP-36 50% + TM SP-36 100% + TM SP-36 150% + TM Bobot kering tanaman g/pot 1,17 d* 1,85 cd 1,72 cd 1,44 cd 1,74 cd 1,83 cd 1,13 d 1,91 cd 3,37 bc 1,01 d 1,47 cd 4,77 ab 5,87 a 4,26 ab Serapan P total mg/pot 5,88 d 8,05 cd 10,47 cd 12,79 cd 10,69 cd 7,76 cd 7,43 cd 10,02 cd 16,57 bc 7,97 cd 14,17 cd 24,98 ab 27,31 a 34,93 a

Keterangan : Angka yang selajur diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% TM = Tanah mineral Sumber : Hartatik (2003)

Serapan P total tanaman cenderung meningkat dengan pemberian bahan amelioran. Adanya kation Fe dalam bahan amelioran akan meningkatkan ikatan antara P dan asam-asam organik melalui jembatan kation, sehingga P dapat dimanfaatkan oleh tanaman.

169

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Perlakuan SP-36 meningkatkan serapan P total sebesar 210% dibandingkan dengan kontrol + TM. Serapan P total yang tinggi pada perlakuan SP-36 ini berkaitan erat dengan rendahnya konsentrasi asam p-kumarat dan phidroksi benzoat, sehingga perakaran tanaman padi relatif berkembang karena pengaruh racun asam-asam organik tersebut relatif kecil. Sedangkan pada fosfat alam Ciamis takaran 50% meningkatkan serapan P sebesar 106% dibandingkan dengan kontrol + TM. Fosfat alam Maroko dan Christmas, serapan P agak terhambat karena perakaran tanaman sebagian telah teracuni oleh asam-asam fenolat. Menurut Tadano et al. (1991) konsentrasi asam-asam fenolat yang tinggi menyebabkan serapan P, K, Cu, dan Zn oleh tanaman padi menurun. Fenomena ini menunjukkan bahwa kurang optimalnya pengaruh fosfat alam terhadap pertumbuhan tanaman padi dan serapan P disebabkan karena pengaruh racun asam-asam fenolat masih lebih dominan dibandingkan dengan perbaikan terhadap perlakuan P dari fosfat alam. Dari fraksi serapan P tanaman Dengan menggunakan isotop 32P dapat diketahui secara kuantitatif dan proporsional jumlah fosfor yang diserap tanaman, baik yang berasal dari tanah gambut maupun dari pupuk P. Proporsi hara P yang diserap tanaman padi dari tanah gambut dan pupuk disajikan pada Gambar 5.3. Rataan persentase serapan P dari fosfat alam Maroko, Christmas, Ciamis dan SP-36 masing-masing sebesar 50,19; 52,96; 54,48; dan 41,92%. Sedangkan rataan persentase serapan P dari tanah gambut masing-masing sebesar 49,81; 47,04; 45,52; dan 58,08%. Secara umum perlakuan pemberian fosfat alam memberikan persentase serapan P dari fosfat alam sedikit lebih tinggi dari persentase serapan P dari tanah gambut dan sebaliknya pada perlakuan SP-36 persentase serapan P dari tanah gambut sedikit lebih tinggi dari persentase serapan P dari SP-36. Tingginya serapan P dari tanah gambut pada perlakuan SP-36 kemungkinan disebabkan karena SP-36 merupakan pupuk P yang mudah larut, sehingga sebagian P digunakan oleh mikroba sebagai hara atau energi untuk mendekomposisi gambut, sehingga proses mineralisasi P sedikit lebih tinggi dari perlakuan fosfat alam (Stevenson, 1994). Peningkatan takaran SP-36 sampai takaran 150% erapan P meningkatkan serapan P dari SP-36. Keragaan pertumbuhan tanaman padi akibat pemberian bahan amelioran dan SP-36 lebih baik karena didukung oleh kondisi perakaran yang lebat dan sehat sehingga serapan P baik dari pupuk maupun tanah gambut

170

Hartatik dan Suriadikarta

tidak terhambat. Sedangkan pada perlakuan fosfat alam terutama fosfat alam Christmas kondisi perakaran memendek dan kurang lebat akibat pengaruh fitotoksik dari asam-asam organik sehingga serapan P baik dari fosfat alam dan tanah gambut terganggu yang berakibat pertumbuhan tanaman kerdil. Persentase serapan P dengan metode isotop perlakuan pemberian bahan amelioran dan SP-36 memberikan persentase serapan P lebih tinggi dari fosfat alam. Persentase serapan P pada perlakuan pemberian bahan amelioran dan SP-36 takaran 50%, 100%, 150% erapan P masing-masing sebesar 9,94; 4,85; dan 5,35% (Gambar 5.4).
Serapan P dari Fosfat Alam Maroko Serapan P dari tanah

100% Serapan P 80% 60% 40% 20% 0% 0 50 100 150


Takaran Fo sfat A lam M aro ko (% erapan P )

Serapan P dari Fosfat Alam Chrismas Serapan P dari tanah

100% Serapan P 80% 60% 40% 20% 0% 0 50 100 150


Takaran Fo sfat A lam Chrismas (% erapan P )

Serapan P dari Fosfat Alam Ciamis Serapan P dari tanah 100%

Serapan P dari SP-36 Serapan P dari tanah 100% 80% Serapan P 60% 40% 20%

Serapan P

80% 60% 40% 20% 0%

50

100

150

0% 0 50 100 150
Takaran SP-36 (%erapan P)

Takaran Fosfat Alam Ciamis (%erapan P)

Gambar 5.3. Pengaruh pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap proporsi serapan P oleh tanaman padi (Hartatik, 2003)

171

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

10 9 8

50% 100% 150%

Serapan P (%)

7 6 5 4 3 2 1 0 Maroko Christmas Ciamis SP-36

Sumber P

Gambar 5.4. Persentase serapan P akibat pemberian beberapa jenis fosfat alam atau SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral. Sumber: Hartatik (2003) Lebih besarnya persentase serapan P dari SP-36 sejalan dengan bobot kering tanaman dan serapan P yang lebih tinggi dibandingkan fosfat alam Maroko, Christmas, dan Ciamis. Diantara beberapa jenis fosfat alam yang dicoba, fosfat alam Ciamis takaran 50% memberikan persentase serapan P yang paling tinggi yaitu sebesar 8,55 hampir menyamai SP-36 pada takaran yang sama. Peningkatan takaran fosfat alam dan SP-36 menurunkan persentase serapan P. Rasjid, Sisworo, dan Sisworo (1997) melaporkan hasil yang sama bahwa peningkatan takaran fosfat alam atau SP-36 menurunkan persentase serapan P untuk tanaman padi-kedelai dan kacang hijau yang ditanam berurutan. Lahan gambut selain memerlukan ameliorasi juga memerlukan pemupukan NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena tanah gambut mempunyai afinitas yang lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman. Pemberian 5 kg terusi (CuSO4) nyata meningkatkan hasil dan mengurangi kehampaan gabah, sedangkan pada gambut dalam diperlukan 15 kg terusi/ha. Pemberian hara mikro Zn dan Cu dikombinasikan dengan pemupukan Urea 100 kg/ha, TSP 100 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha, nyata meningkatkan hasil padi sebesar 0,81 t/ha yaitu dari 3,3 t/ha menjadi 4,1 t/ha pada gambut dalam Indragiri Hilir, Riau (Yusuf et al., 1995).

172

Hartatik dan Suriadikarta

Penelitian respon tanaman jagung terhadap pemupukan P telah dilakukan di lahan gambut Sugihan Kiri, Sumatera Selatan menggunakan beberapa sumber pupuk P yaitu fosfat alam Maroko, Christmas, dan Christmas dikombinasikan dengan abu batubara, dengan takaran pupuk P yaitu 0, 25, 50, dan 100 kg P/ha, dan takaran abu batubara 700 kg/ha. Pupuk dasar yang digunakan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan 2 t/ha kapur. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemupukan P meningkatkan hasil jagung dan fosfat alam Maroko nyata lebih baik dibandingkan fosfat alam Christmas, sedangkan abu batubara tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil jagung (Sholeh, 1999). Pemupukan P pada tanah gambut dengan pupuk P yang mudah larut seringkali tidak memberikan respon yang nyata, hal ini disebabkan sebagian P yang diberikan akan tercuci, dan tidak terserap tanaman. Penelitian penggunaan fosfat alam pada gambut Kelampangan, Kalteng menunjukkan bahwa pemupukan fosfat alam cenderung memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36. Walaupun hasil yang diperoleh belum maksimal, namun terdapat kecenderungan bahwa fosfat alam Christmas yang mengandung seskuioksida tinggi memberikan hasil yang lebih baik dari fosfat alam Ciamis dan SP-36. Adanya seskuioksida (Al2O3 dan Fe2O3) yang tinggi, akan meningkatkan ketersediaan hara P, sehingga dapat diserap tanaman. Penelitian pada gambut dalam yang baru dibuka (dengan pH 4,3 dan P-Bray I 10 ppm) di Kelampangan Kalteng, menunjukkan bahwa penambahan KSP, kaptan fosfatan, dan P-alam Ciamis memberikan hasil yang lebih baik dari SP-36 (Tabel 5.8 ) (Subiksa et al., 1998). Pengaruh ameliorasi dan pemupukan P dan K terhadap kedelai pada lahan gambut Kalimantan Barat dilakukan di Siantan Hilir menggunakan ameliorasi abu gergaji, dolomit, abu gergaji + terak baja dan dolomit + terak baja dan kombinasi pemupukan P dan K. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu gergaji dan dolomit meningkatkan pH tanah, kation tukar Ca, Mg, dan K serta P tersedia. Amelioran abu gergaji nyata lebih baik dari ameliorasi lainnya dengan urutan abu gergaji>abu gergaji + terak baja > dolomit > dolomit + terak baja. Kombinasi pemupukan 40 kg P dan 50 kg K/ha dengan ameliorasi abu gergaji meningkatkan bobot biji kering kedelai yaitu sebesar 12,38 ku/ha (Hartatik et al., 1995).

173

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tabel 5.8. Pengaruh sumber dan takaran P terhadap hasil jagung


Perlakuan Kontrol KSP KSP KSP SP-36 1 + kaptan SP-36 2 + kaptan SP-36 3 + kaptan SP-36 1 + kapur fosfatan SP-36 2 + kapur fosfatan SP-36 3 + kapur fosfatan Fosfat alam Ciamis 1 + kaptan Fosfat alam Ciamis 2 + kaptan Fosfat alam Ciamis 3 + kaptan Sumber : Subiksa et al., 1998 Keterangan SP-36 1 = 50 kg/ha, SP-36 2 = 100 kg/ha, SP-36 3 = 200 kg/ha Hasil Jagung ku/ha 0,48 a 2,47 de 1,02 abc 1,77 b-e 0,52 a 0,87 ab 1,05 abc 2,08 cde 2,00 b-e 2,80 e 1,95 b-e 2,30 de 0,88 ab RAE % 510 138 331 10 100 146 410 390 595 377 467 103

Pengaruh pemberian beberapa jenis dan takaran amelioran terhadap pertumbuhan tanaman jagung pada gambut dari Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan menunjukkan bahwa amelioran abu bakar nyata lebih baik dari dolomit, pupuk kandang dan tanah mineral. Amelioran abu bakar 5 dan 10 t/ha nyata meningkatkan hasil jagung berturut-turut sebesar 3,9 dan 4,5 t/ha (Hartatik, 2001). Pengelolaan hara dengan pemupukan 135 kg N/ha, 90 kg/ha P2O5 SP-36, dan 90-120 kg/ha K2O yang diberi secara tugal atau pemberian 0,5 t/ha setara CaO dalam bentuk dolomit, 300 kg/ha abu sekam atau limbah gergajian, 300 kg/ha brangkasan kering yang telah dipotong halus sebagai sumber N, perlakuan pupuk mikroba biofosfat atau rhizoplus pada biji sewaktu tanam meningkatkan hasil jagung di lahan gambut dangkal (Anwar dan Alwi, 2000). Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut di Lamunti A-1 Blok F Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa kombinasi pemupukan urea 150 kg/ha, fosfat alam Christmas 200 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha nyata meningkatkan bobot gabah kering sebesar 3,5 t/ha (Tabel 5.9). Pemberian

174

Hartatik dan Suriadikarta

kapur dan pupuk kandang mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al dapat ditukar (Hartatik dan Suriadikarta, 2001). Tabel 5.9. Bobot gabah dan jerami kering penelitian pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut di Kalimantan Tengah
Perlakuan N0P1K1 N1P1K1 N2P1K1 N1P0K1 N1P2K1 N1P1K0 N1P1K2 N2P2K2 N1P1K1L + BO N2P2K2L + BO N1P1K1Zn+L N1P1K1ZnCu+L N1P1K1ZnL + BO N1P1K1ZnCuL + BO N1P1K1 + BO+E138 N1P1K1 + BO+E2001 Bobot gabah kering Bobot jerami kering .. ku/ha .. 14,30 e 16,30 c 35,43 ab 33,67 ab 36,17 ab 28,37 b 31,10 ab 35,80 ab 38,20 a 30,80 ab 35,27 ab 28,33 b 28,50 b 32,20 ab 32,70 ab 32,27 ab 32,20 ab 29,43 bcd 43,87 a 32,47 abcd 26,43 bcde 22,10 cde 30,70 abcd 34,77 abc 30,97 abcd 38,27 ab 18,93 de 23,60 cde 27,60 bcde 26,77 bcde 29,27 bcd 25,10 bcde

* Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT. Sumber : Hartatik dan Suriadikarta (2001). Keterangan : Pupuk N yang digunakan urea dengan takaran 0, 150, dan 300 kg/ha (N0, N1, dan N2) Pupuk P yang digunakan P-alam Christmas dengan takaran 0, 200, dan 400 kg/ha (P0, P1, dan P2) Pupuk K yang digunakan KCl dengan takaran 0, 100, dan 200 kg/ha (K0, K1, dan K2) Takarn ZNSO4 dan CuSO4 15 kg/ha

175

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

PENUTUP Dalam mengaplikasikan teknologi pengelolaan lahan gambut harus mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristiknya sebelum lahan gambut dibuka untuk lahan pertanian. Karakteristik itu adalah di antaranya: ketebalan dan kematangan tanah gambut, kesuburan tanah gambut, dan lapisan tanah yang berada di bawahnya. Selain itu, ada beberapa sifat fisik yang perlu diperhatikan, yaitu berat jenis (bulk density), subsidence (penurunan permukaan lapisan tanah gambut), dan sifat kering tak balik (irreversible drying). Jika pembukaan lahan gambut untuk pertanian tidak mengindahkan karakteristiknya maka akan mengalami kegagalan seperti yang terjadi pada beberapa lokasi pemukiman transmigrasi di Indonesia, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, yang perlu diperhatikan dan merupakan kunci utama keberhasilan usaha pertanian di lahan gambut adalah tata air (water management), yaitu bagaimana pengaturan air di lahan usaha dan saluran air agar tidak terjadi kering berlebihan (over drain). Biasanya kedalaman dan lebar saluran harus memperhatikan tipe pasang surut yang terjadi di wilayah itu. Tata air ini sangat erat hubungannya dengan penataan dan pemanfaatan lahan, yaitu antara tipe luapan dan tipologi lahannya. Pola pemanfaatan dan tata air pada gambut di lahan lebak akan berbeda dengan gambut yang berada di pasang surut air tawar, atau di payau. Pengaturan tata air sangat penting untuk : 1) pemanfaatan air pasang untuk pengairan, 2) mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran, 3) mencuci zat-zat toksik bagi tanaman, 4) mengatur tinggi genangan untuk sawah dan tinggi permukaa air, dan 5) mencegah penurunan permukaan tanah yang terlalu cepat untuk tanah gambut. Untuk itu, pola pemanfaatan dari penataan tanah gambut untuk pertanian dapat dilakukan sebagai berikut : a. Untuk tipe luapan/tipe rawa lebak dengan tipologi lahan gambut dangkal, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah sawah/sawah tadah hujan, sistem polder. Sedangkan untuk tipologi lahan gambut sedang-dalam adalah perkebunan, sistem polder. b. Untuk tipe luapan/tipe rawa pasang surut air tawar : Tipologi lahan aluvial bergambut, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah sawah.

176

Hartatik dan Suriadikarta

Tipologi lahan gambut dangkal, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah sawah. Tipologi lahan gambut sedang, pola pemanfaatan dan penataan lahannya tergantung substratum di bawahnya, bisa tanaman pangan dan hortikultura/perkebunan. Tipologi lahan gambut dalam, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah perkebunan. c. Untuk tipe luapan/tipe rawa pasang surut air payau/air asin dengan tipologi lahan gambut payau/air asin, pola pemanfaatan dan penataan lahannya adalah hutan mangrove. DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons Inc. New York. Andriesse, J.P. 1974. Tropical Peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res. Of the Royal Trop. Inst. Comm. 63. Amsterdam 63 p. Anwar, K. dan M. Alwi. 2000. Pengelolaan hara untuk meningkatkan hasil jagung di lahan gambut dangkal. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Driessen, P.M. 1978. Peat soils. pp: 763-779. In: IRRI. Soil and rice. IRRI. Los Banos. Philippines. Driessen, P.M. and H. Suhardjo. 1976. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 44. Bogor. Halim, A. 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. 322p. Hartatik, W. dan D.A. Suriadikarta. 2001. Pengelolaan hara terpadu pada lahan sulfat masam potensial bergambut. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua, 30-31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hartatik, W., D.A. Suriadikarta, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh ameliorasi dan pemupukan terhadap tanaman kedelai pada lahan gambut Kalimantan Barat. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

177

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang. Hartley, R.D. and D C. Whitehead. 1984. Phenolic acids in soil and their influence of plant growth and soil microbial processes. In: D. Vaughan and R.E. Malcolm (ed). Soil organic matter and biological activity. Martinus Nijhoff, DR W. Junk Publisher. Lancaster. pp. 109-149. Ivanoff, D.B., K.R. Reddy, and S. Robinson. 1998. Chemical fractionation of organik phosphorus in selected Histosols. J. Soil Sci. 163(1):36-45. Kononova. M.M. 1968. Transformation of organic matter and their relation to soil fertility. Sov. Soil. Sci. 8:1047-1056. Koswara, O. 1973. Potensi dan pemanfaatan daerah pasang surut : suatu kasus di Sumatera. Seminar Pembangunan Fakultas Pertanian, IPB-Badan Pengendali Bimas, Departemen Pertanian. Laporan Kerjasama Lembaga Penelitian IPB dengan Puslittanak. 2001. Leiwakabessy, F.M. 1978. Sifat lahan yang tersedia pada daerah transmigrasi. Seminar pemantapan usaha-usaha pembangunan di daerah transmigrasi oleh JTKI-PPSM. Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Miller, M.H. and R.L. Donahue. 1990. Soils. An Introduction to Soils and Plant Growth. Prentice Hall Englewood Cliffs. New Jersey. 768p. Murnita. 2001. Peranan bahan amelioran besi (Fe3+) dan zeolit terhadap perilaku kalium dan produksi padi pada tanah gambut pantai dan peralihan Jambi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Patrick, Z.A. 1971. Phytotoxic substance associated with the decomposition in soil of plant residues. Soil Sci. 111: 13-18. Polak, B. 1949. The Rawa Lakbok ( South Priangan, Java ). Investigation into the composition of an eutrophic topogenous bog. Cont. Gen. Agr. Res. Sta. No. 8, Bogor, Indonesia. Polak, B. 1975. Character and occurrence of peat deposits in the Malaysian tropics. In: G.J. Barstra, and W.A. Casparie (Eds.). Modern Quaternary Research in Southeast Asia. Balkema, Rotterdam. Prasetyo, T.B. 1996. Perilaku asam-asam organik meracun pada tanah gambut yang diberi garam Na dan beberapa unsur mikro dalam kaitannya dengan hasil padi. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

178

Hartatik dan Suriadikarta

Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rachim, A., A. Sutandi, S. Anwar, dan B. Nugroho. 1991. Alternatif perbaikan kesuburan tanah gambut tebal. J. Ilmu Pertanian Indonesia 1:72-78. Radjagukguk, B. 1997. Peat soil of Indonesia: Location, classification, and problems for sustainability. In: J.O. Rieley and S.E. Page (Eds.). pp. 45-54. Biodiversity and sustainability of tropical peat and peatland. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, environmental importance and sustainability of tropical peat and peatlands, Palangka Raya, Central Kalimantan 4-8 September 1999. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK. Rasjid, H., E.L. Sisworo, dan W.H. Sisworo 1997. Keefisienan fospat alam sebagai pupuk p tanaman jagung. Risalah pertemuan ilmiah. penelitian dan pengembangan Aplikasi isotop dan radiasi, Jakarta 18-19 Februari 1997 Buku 2 P3TIR-BATAN . Hlm 95-98. Sagiman, S. 2001. Peningkatan produksi kedelai di tanah gambut melalui inokulasi Bradyrhizobium japonicum asal gambut dan pemanfaatan bana amelioran (lumpur dan kapur). Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saragih, E.S. 1996. Pengendalian Asam-Asam Organik Meracun dengan Penambahan Fe (III) pada Tanah Gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sholeh. 1999. Pengaruh penggunaan P-alam dan abu batu bara untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk, Lido-Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions. John Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p. Suastika, I W. 2004. Efektivitas Amelioran Tanah Mineral Berpirit yang Telah Diturunkan Kadar Sulfatnya pada Peningkatan Produktivitas Tanah Gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Subiksa, I G.M., Sulaeman, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Pembandingan pengaruh bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan gambut. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 10-12 Februari 1998. Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30 cms of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 74-92. Soil Res. Inst. Bogor.

179

Teknologi Pengelolaan Hara Lahan Gambut

Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, and W. Pantanahiran. 1991. Occurrence of phenolic compounds and aluminum toxicity in tropical peat soils. In: Tropical peat, Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland. MARDI, Malaysia. Tadano, T., K.B. Ambak, K. Yonebayashi, T. Hara, P. Vijarnsorn, C. Nilnond, and S. Kawaguchi. 1990. Nutritional Factors Limiting Crop Growth in Tropical Peat Soils. In Soil Constraints on Sustainable Plant Production in the Tropics. Proc. 24th inter. Symp. Tropical Agric. Res. Kyoto. Tadano, T., K.Yonebayashi , and N. Saito. 1992 Effect of phenolic acids on the growth and occurrence of sterility in cnop plants. pp: 358-369. In: K. Kyuma, P. Vijarnsorn, and A. Zakaria (Eds). Coastal lowland ecosystems in southern Thailand and Malaysia. Showado-printing Co. Skyoku. Kyoto. Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp. Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Bogor. Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4 th ed. The Macmillan Publ. Co. New York. 694p. Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and low-molecular-weight products of the anaerobic decomposition of organik matter. Inter. Rice Res. inst, Soil Organik Matter. Pp: 329-343 Tsutsuki, K. and F.N. Ponnamperuma. 1987. Behavior of anaerobic decomposition products in submerged soils. Soil Sci. and Plant Nutr. 3(1):13-33. Tsutsuki, K. and R. Kondo. 1995. Lignin-derived phenolic compounds in different types of peat profiles in Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant Nutr. 41(3): 515-527. Wang, T.S.C., T.T. Yang, and T.T. Chang. 1967. Soil phenolic acids as plant growth inhibitors. Soil Sci. 103:239 246. Widjaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and chemical characteristic of peat soil of Indonesia. IARD J. 10:59-64. Wild, A. 1990 . The relation of thosphate by soil : A review . J. soil sci. 1: 221 237. Yusuf, A., E. Rusdi, N. Hasan, dan A. Taher. 1995. Kajian tata air, kalium, dan hara mikro terhadap padi di lahan gambut dalam. Dalam Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian. ________________________________________________________________

180

VI

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN RAWA LEBAK


Trip Alihamsyah dan Isdijanto Ar-Riza

181

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

6.1. PENDAHULUAN Meningkatnya pertambahan penduduk dan perkembangan industri kebutuhan pangan nasional terutama beras dan lapangan kerja serta berkurangnya lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali seiring dengan merupakan masalah dan tantangan serius bagi pembangunan pertanian di Indonesia. Berdasarkan analisis data yang ada, Puslitbangtan (1992) memprediksi bahwa kebutuhan beras nasional pada tahun 2018 dapat dipenuhi apabila produksi padi pada tahun tersebut sebanyak 83,38 juta ton. Di lain pihak telah terjadi penciutan lahan pertanian subur terutama di Jawa dan Bali karena beralih fungsi ke penggunaan non-pertanian atau produksi non pangan yang sangat besar, yaitu 35.000-50.000 ha/tahun (Nasoetion dan Winoto,1995). Untuk memenuhi kebutuhan beras yang makin meningkat tersebut, menurut Adimiharja et al. (2000) diperlukan penambahan areal sawah seluas 20.250 ha/tahun. Salah satu alternatif pemecahan masalah dan sekaligus menjawab tantangan tersebut adalah memanfaatkan lahan rawa lebak sebagai area! produksi pertanian khususnya tanaman pangan, mengingat arealnya sangat luas serta pemanfaatannya belum dilakukan secara intensif dan ekstensif. (WidjajaAdhi et al. 1992 dan Nugroho et al. 1993) memperkirakan luas lahan lebak di Indonesia mencapai 13,28 juta ha yang terdiri atas lebak dangkal 4,167 juta ha, lebak tengahan 6,075 juta ha, dan lebak dalam 3,038 juta ha, tersebar di Sumatera, Papua dan Kalimantan. Lahan tersebut belum diusahakan secara maksimal untuk usaha pertanian. Padahal dengan menerapkan teknologi penataan lahan dan pengelolaan lahan serta komoditas pertanian secara terpadu, lahan lebak dapat dijadikan sebagai salah satu andalan sumber pertumbuhan agribisnis dan pendukung ketahanan pangan nasional. Pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian kedepan perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik agar potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal dan sumberdaya alamnya tetap terpelihara dengan baik. Lahan tersebut juga menyimpan beragam sumber daya genetik aneka komoditas pertanian. Masalah utama pengembangannya adalah rejim air yang sangat fluktuatif dan sulit diduga. Oleh karenanya untuk mengembangkan lahan lebak menjadi areal pertanian, khususnya untuk tanaman padi dalam skala luas memerlukan penataan lahan dan penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya agar diperoleh hasil optimal.

182

Alihamsyah dan Ar-Riza

6.2. EKOSISTEM LAHAN LEBAK DAN ARAHAN PEMANFAATANNYA Lahan rawa lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Genangan air di lahan lebak bisa lebih dari 6 bulan akibat adanya cekungan dalam, dikenal sebagai rawa monoton atau disebut juga bono romo. Berdasarkan tinggi dan lama genangan airnya, Widjaja-Adhi et al. (1992) mengelompokkan lahan lebak menjadi lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Masing-masing lahan lebak tersebut memiliki karakteristik alami berbeda sehingga memerlukan teknologi pemanfaatan yang berbeda pula. 6.2.1. Lebak dangkal Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnyakurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan. Lebak dangkal secara analogis dapat disamakan dengan kategori Watun I-II. Watun I adalah areal sepanjang 300 depa yang diukur dari tepi rawa dalam hal ini adalah lahan pekarangan kearah tengah rawa. Satu depa setara dengan 1,7 m, sehingga Watun I merupakan areal sepanjang 510 m kearah tengah rawa, sedangkan Watun II merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari watun I, yaitu sepanjang 300 depa atau 510 m dari batas akhir Watun I. Lahan ini umumnya mempunyai kesuburan tanah yang lebih baik, karena adanya proses penambahan unsur hara dari luapan air sungai yang membawa lumpur dari daerah hulu (Ismail et al., 1993). Lahan lebak dangkal sangat potensial untuk budidaya tanaman pangan terutama padi. Dengan pengetahuan dan pengalamannya, petani telah memanfaatkan lahan ini untuk budidaya padi. 6.2.2. Lebak tengahan Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya 50-100 cm selama 3-6 bulan. Lahan lebak tengahan dapat dianalogiskan dengan Watun III-IV. Watun III merupakan areal yang posisinya lebih dalam dari Watun II, yaitu sepanjang 510 m dari batas akhir Watun II, sedangkan posisi Watun IV lebih dalam dari Watun III. Karena genangan air di lahan lebak tengahan lebih dalam dan lebih lama dari pada di lahan lebak dangkal, maka masa pertanaman

183

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

padi di lahan ini lebih belakangan dari pada di lahan lebak dangkal. Pada lokasi tertentu dimana sirkulasi air sangat jelek, maka akan terjadi pemasaman air akibat dari hasil pembusukan bahan organik yang dikenal sebagai air bacam . atau air bangai, yang ditandai oleh air yang berwarna coklat kehitaman, berbau busuk yang menyengat, pH air sekitar 2,5 sehingga dapat mematikan tanaman. Wilayah yang demikian tidak cocok untuk budidaya padi surung, tetapi sangat potensial untuk padi rintak. Usahatani padi di lahan lebak tengahan hanya dilaksanakan pada musim kemarau sesuai dengan kondisi genangan airnya. Dengan pembuatan jaringan tata air, beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak tengahan. Jaringan tata air di lahan lebak tengahan berupa pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada musim kemarau. Potensi lahan tengahan untuk pertanian masih luas, yang sekarang umumnya hanya ditumbuhi oleh gulma dan semak belukar. 6.2.3. Lebak dalam Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan. Kategori lebak dalam dapat dianalogikan dengan kategori Watun V yang merupakan areal dengan posisi lebih dalam dari Watun IV. Pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal, umumnya lahan masih digenangi air dan ini ditumbuhi oleh beragam gulma terutama dari jenis rumput Paspalidium yang tumbuh subur pada kondisi lahan berair. Sehingga wilayah ini merupakan reservoir air dan sumber bibit ikan perairan bebas. Lahan lebak dalam jarang digunakan untuk budidaya tanaman, kecuali pada musim kering yang panjang akibat adanya anomali iklim seperti EI-Nino. Pada kondisi demikian beberapa wilayah memang potensial untuk perluasan areal tanaman. Namun demikian, dengan pembuatan jaringan tata air seperti pada Iahan lebak tengahan, beragam pola tanam bisa diterapkan di lahan lebak dalam. Jaringan tata air di lahan lebak dalam berupa pembuatan saluran besar yang berfungsi menyalurkan air dari lahan ke sungai dan parit yang berfungsi selain menyalurkan air dari petakan lahan ke saluran besar, juga menampung air pada musim hujan untuk mengairi tanaman pada musim kemarau.

184

Alihamsyah dan Ar-Riza

6.3. TEKNOLOGI PENATAAN LAHAN DAN TANAMAN

6.3.1. Penataan lahan dan pola tanam Penataan lahan perlu dilakukan guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan lebak untuk usaha pertanian. Karena genangan airnya kurang dari 50 cm, lahan lebak dangkal dapat ditata sebagai sawah tadah hujan atau kombinasi sawah dan tukungan maupun sistem surjan (Gambar 6.1). Sedangkan Iahan lebak tengahan karena genangan airnya lebih dari 50 cm hendaknya ditata sebagai sawah tadah hujan atau kombinasi sawah dan tukungan. Untuk lebak dalam yang karena selalu tergenang air cukup tinggi dalam waktu yang lama seyogyanya dibiarkan alami untuk usaha perikanan dan tanaman palawija maupun hortikultura pada musim kemaraunya. Guna menyeragamkan tinggi genangan air dan kesuburan tanah di petakan lahannya. maka lahan perlu diratakan bersamaan dengan kegiatan pengolahan tanah.

Gambar 6.1. Penataan lahan sistem surjan pada lebak dangkal (dok. Ar-Riza) (a) Pola tanam padi-padi (tabukan) + ubi Alabio (surjan) (b) Pola tanam padi-padi (tabukan) + labu merah (surjan)

Pola tanam untuk sawah dan bagian tabukan pada sistem surjan bisa padi rancah gogo (rintak)-padi gogo rancah (surung), padi rintak-palawija/hortikulturapadi surung dan padi rintak-palawija/hortikultura-palawija/hortikultura. Pola tanam untuk sawah di lahan lebak tengahan adalah padi rintak-padi surung, padi rintak-

185

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

palawija dan padi rintak hortikultura. Pola tanam pada bagian guludan pada sistem surjan bisa palawija/hortikultura palawija/hortikultura atau ditumpangsarikan dengan buah-buahan tahunan dan pada tukungan ditanami tanaman buahbuahan tahunan. Pola tanam di lahan lebak dalam yang dilengkapi dengan jaringan tata air dan pada musim kemaraunya tidak tergenang air 4-6 bulan adalah tumpang sisip jagung + kacang hijau, jagung + sayuran berumur pendek, hortikultura berjarak tanam lebar + sayuran berumur pendek. 6.3.2. Jenis dan varietas tanaman Melalui penataan lahan dan pengaturan tata air, berbagai komoditas tanaman pangan (padi dan palawija) dan hortikultura (sayur-sayuran dan buahbuahan) dapat dikembangkan di lahan lebak. Penanaman padi yang dilakukan pada musim hujan dikenal sebagai padi surung, yang juga sering juga disebut padi sawah barat karena dilakukan pada musim barat (Noorsjamsi dan Hidayat 1970) sedangkan padi yang ditanam di akhir musim hujan disebut padi rintak. Penanaman padi surung membutuhkan varietas padi yang tinggi tanamannya Iebih tinggi dari tinggi genangan air seperti Tapus, Alabio, dan Negara (Gambar 6.2).

Gambar 6.2. Sistem monokultur padi pada lebak tengahan (a) padi surung (b) padi rintak (dok. Ar-Riza) Permasalahannya adalah fluktuasi perubahan tinggi genangan air yang sering sangat besar dan mendadak serta kecepatan tinggi genangan air lebih

186

Alihamsyah dan Ar-Riza

besar dari kecepatan tumbuh tanaman padi, mengakibatkan bibit yang baru ditanam terendam air dan mati. Pertanaman padi rintak masalah utamanya kekeringan, maka memerlukan varietas padi yang berumur pendek (genjah) dan tahan kekeringan. Varietas umur genjah pada saat terkena kekeringan telah berada pada fase pengisian biji atau masak susu sementara varietas umur sedang atau dalam masih berada fase berbunga, sehingga varietas umur genjah dapat terhindar dari kekeringan dan hasilnya tidak turun drastis seperti varietas umur dalam. Varietas yang telah teruji kehandalannya diantaranya : Tajum, Secangkir, Progo, Cisokan (Ar-Riza, 2000). Varietas lain seperti IR-36, IR-64, IR-66, dan beberapa varietas padi adaptif lahan rawa pasang surut seperti Indragiri, Punggur, Lambur, Mendawak, Banyuasin, Margasari dan Martapura dinilai sesuai untuk padi rintak (Ar-Riza dan Rina, 2003). Deskripsi padi adaptif lahan pasang surut disajikan pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Varietas unggul padi rawa pasang surut yang bisa ditanam di lahan lebak
Nama varietas Tahun dilepas 1981 1983 1984 1988 1991 1991 1997 1997 1999 1999 2000 2000 2000 2000 2001 2001 2001 2001 Umur panen hari 140-145 135-140 127 135-140 115-125 125-130 125-130 115-120 125 125 117 117 120-125 120-125 125 125 120 115 Hasil t/ha 3 3-4 4-5 4,5 4-6 4-6 4-6 4-6 4-6 3-5 4,5-5,5 4,5-5 3-4 3-4 5 5 4 4 Tekstur nasi Ketahanan hama dan penyakit WCk HDB AT AT AT T T T T BCk T AT T BIas T AP AT T T T AT T T T T T T T AT

Barito Mahakam Kapuas Musi Sei Lilin Lematang Lalan Banyuasin Batanghari Dendang Indragiri Punggur Margasari Martapura Air Tenggulang Siak Raya Lambur Mendawak

Pera 1-1 Pera P- 1.2,3 Sedang 1-1 Pera 1-2 Pera AI-2 Pera 1-1 Pera 1-1.2,3 Pulen 1-3 Pera T-1,2 Pulen 1-1,2 Sedang 1-2 Sedang 1-2,3 Sedang AI-2 Sedang AP Pera 1 1.2,3 Pera 1 IR26 Pulen AI-3 Pulen AI-3

T = tahan; At = Agak Tahan; AP = Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1,2,3 = Biotipe 1,2,3; HDB = Hawar daun bakteri; BCk = Bercak coklat Sumber' : Khairullah dan Sulaeman (2002)

187

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Namun demikian, pemilihan varietas padi yang akan ditanam di lahan lebak perlu disesuaikan dengan preferensi petani dan konsumen di wilayah pengembangannya. Lokasi yang cocok untuk penanaman padi surung adalah lahan lebak dangkal sedangkan untuk padi rintak bisa lahan lebak dangkal dan tengahan. Penanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak dilakukan pada musim kemarau atau MK II, bila lahan sudah mengering atau di bagian guludan pada lahan yang ditata dengan sistem surjan (Gambar 6.3).

Gambar 6.3. Pertanaman palawija dan hortikultura di lahan lebak pada musim kemarau. (a) jagung lokal var. Kima, (b) terong var. Mustang Tanaman palawija yang dapat dikembangkan di lahan lebak adalah jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar dan talas, sedangkan untuk tanaman sayuran adalah cabai, tomat, terong, waluh, timun, kacang panjang, buncis, kubis, bawang, dan aneka sayuran cabut seperti sawi, slada, bayam, dan kangkung (Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004). Tanaman buah buahan semusim yang dapat ditanam di lahan lebak adalah semangka, timun suri, dan melon. Pilihan jenis dan varietas tanaman palawija dan hortikultura yang dapat dikembangkan di lahan lebak disajikan pada Tabel 6.2.

188

Alihamsyah dan Ar-Riza

Tabel 6.2. Jenis dan varietas tanaman palawija dan hortikultura adaptif lahan lebak
Jenis tanaman Jagung Varietas Hasil t/ha 4-5 1,5-2,4 1,8-3.5 1,5 10-15 4-6 30-40 20-25 15-28 6-8 35-40 4,1-7,6 15-20 12-15 10-12 25-30

Arjuna, Kalingga, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Ga!unggung, Slamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas, Tanggamus, Menyapa Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, Mahesa Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, A V-22, Ratna Cabai Tanjung-I, Tanjung-2, Barito, Bengkuiu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 Kubis KK Cross, KY Cross Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-I, KP-2, Lebar Buncis Horti-I, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf Timun Saturnus, Mars, Pluto Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157 Slada New Grand Rapids Bayam Maestro, Giti Hijau dan Merah, Cimangkok, Kakap Hijau Kangkung LP-I, LP-2, Sutera Sumber : Alihamsyah dan Ar-Riza, 2004.

6.4. TEKNOLOGI BUDIDAYA TANAMAN

6.4.1. Penyiapan lahan Penyiapan lahan adalah kegiatan pembersihan rerumputan dan atau pengolahan tanah, yang ditujukan agar lahan menjadi rata dan lebih seragam sehingga pelaksanaan tanam dapat dilakukan lebih mudah dan memberikan hasil yang lebih baik. Penyiapan lahan pada penanaman padi surung bisa dilakukan dengan pengolahan tanah seksama baik maupun tanpa pengolahan tanah, yaitu dengan menebas rerumputan dan menyemprot herbisida efektif tergantung kepada kondisi lahannya. Pengolahan tanah di lahan lebak diperlukan selain

189

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

untuk memperbaiki kondisi lahan menjadi lebih seragam dan rata dengan adanya penggemburan dan perataan, juga untuk pencampuran bahan organik maupun pupuk dengan tanah. Khusus pada tanah yang keras dan berbongkah, sebaiknya tanah diolah sampai gembur atau melumpur. Bila tanahnya sudah gembur atau berlumpur dan rata, pengolahan tanah secara intensif tidak diperlukan tetapi diganti dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT) yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif. Penyiapan lahan pada penanaman padi rintak jarang dilakukan dengan pengolahan tanah karena selain tanahnya sudah lunak (kepadatan tanah atau soil bulk density <1). juga untuk percepatan tanam karena jangka waktunya relatif singkat. Penyiapan lahan dilakukan dengan cara menebas rerumputan dan mengkaitnya ke pematang petakan lahan, yang dikenal sebagai cara tebas-kait. Biomasa rerumputan yang sudah lapuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik atau mulsa untuk menghambat laju evaporasi, agar tanah tetap dalam keadaan lembab dan sekaligus memperbaiki kesuburan tanahnya. Penyiapan lahan dapat juga dilakukan dengan menggunakan herbisida tetapi harus mempertimbangkan kondisi lahan dan ketebalan rerumputan di petak sawah. Pada kondisi lahan yang rerumputannya sangat tebal, utamanya jika didominasi oleh jenis Paspalidium sp. penyemprotan herbisida harus dilakukan lebih awal agar pada saat tanam, rerumputan tersebut sudah terdekomposisi dengan baik. Proses dekomposisi dapat menyebabkan naiknya kemasaman tanah dan berkurangnya nitrogen karena digunakan oleh bakteri dekomposer. Oleh karena itu, penanaman bibit yang bersamaan dengan proses pembusukan bahan organik harus dihindari karena dapat menyebabkan kematian bibit, sehingga dapat mengurangi populasi tananam. Pada kondisi lahan yang tergenang air, dianjurkan penggunaan herbisida kontak agar rerumputan lebih cepat mati (Chaerudin dan Ar-Riza, 2001). Penyiapan lahan untuk penanaman palawija dan hortikultura juga bisa dilakukan dengan pengolahan tanah disertai pemberian mulsa maupun tanpa olah tanah atau olah tanah minimum, tergantung kepada kondisi lahannya. Bila tanahnya padat, lahan diolah sampai gembur dengan cangkul atau traktor, sedangkan bila tanahnya sudah gembur dan rata, penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah dengan cara menebas rerumputan yang dikombinasikan dengan penggunaan herbisida efektif. Khusus untuk lahan bergambut, penyiapan lahan hanya dilakukan dengan menebas rerumputan kemudian disemprot herbisida efektif.

190

Alihamsyah dan Ar-Riza

6.4.2. Penyemaian dan penanaman Sistem persemaian merupakan salah satu komponen penting yang perlu diperhatikan dalam usahatani padi rintak. Bibit yang ditanam harus sehat, umur bibit tidak tua, bibit cukup tinggi agar tidak terendam air saat ditanam. Untuk memperoleh bibit yang baik dan sehat perlu digunakan benih yang baik dan sistem persemaian yang dapat mendorong pertumbuhan bibit lebih cepat. Karena padi rintak ditanam pada awal musim kemarau, yaitu saat menjelang surutnya air, maka persemaian harus telah disiapkan lebih dahulu pada saat genangan air rawa masih dalam. Ada dua macam teknologi persemaian, yaitu persemaian kering-basah dan persemaian apung. Persemaian kering-basah yaitu penyemaian dengan kepadatan benih 200-250 g/m2 dilakukan di tempat kering yang letaknya agak tinggi seperti di tepi rawa atau pematang dan setelah berumur 10 hari dipindahkan ke tempat basah (Ar-Riza dan Noor, 1993). Pada umur 25 hari bibit pada sistem semai kering-basah telah tumbuh kuat dan tinggi sehingga dapat ditanam pada lahan dengan tinggi genangan air 5-15 cm, dan jika kondisi lapangan belum memungkinkan bibit dapat dipelihara sampai umur 30 hari. Persemaian apung adalah persemaian yang dilakukan pada tempat persemaian dari rakit batang pisang yang telah diberi lumpur dan diikat pada suatu tempat agar tidak terbawa arus air rawa. Pada padi rintak, penanaman dilakukan dengan cara tanam jajar pada saat genangan air sudah dangkal sehingga selain jumlah bibit yang diperIukan relatif lebih sedikit, pengendalian gulma juga menjadi lebih mudah. Populasi tanaman sebaiknya antara 250.000 sampai 330.000 rumpun per ha, tergantung kepada kondisi lahan dan varietas yang digunakan. Varietas yang berkanopi kecil dan tegak seperti Cisokan atau IR-66 ditanam lebih rapat, tetapi sebaliknya varietas yang berkanopi setengah menyebar seperti Margasari perIu ditanam agak renggang agar tidak saling menaungi. Penanaman padi surung dapat dilakukan dengan cara tanam pindah maupun tanam benih langsung pada awal musim hujan. Dengan sistem tanam benih sebar langsung atau tanam pindah yang dipercepat waktu tanamnya dengan pemberian air dengan menggunakan pompa air pada fase awal pertumbuhan tanaman, maka resiko terendamnya tanaman dapat dihindari, karena saat air mulai menggenang petakan lahan, tanaman padi sudah cukup tinggi. Dengan percepatan waktu tanam tersebut resiko kegagalan panen dapat

191

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

diperkecil. Model percepatan waktu tanam ini bisa diterapkan juga untuk mengatasi kekeringan pada pertanaman padi rintak. Penanaman palawija dilakukan dengan sistem tugal atau sistem alur, yaitu dengan cara membuat lubang atau alur pada tanah dengan alat tugal atau pembuat alur kemudian benih dimasukkan kedalam lubang atau alur tersebut lalu ditutup kembali dengan tanah. Sedangkan penanaman hortikultura ada yang dilakukan dengan cara tanam benih langsung seperti : timun, semangka, kacang panjang, waluh, dan buncis maupun cara tanam bibit atau tanam pindah seperti : tomat, cabai, terong, kubis, bayam, sawi, dan slada sehingga diperIukan penyemaian benih yang baik. 6.4.3. Pemupukan Lahan lebak memiliki keragaman kesuburan tanah yang tinggi dengan kandungan hara N-total sedang (0,33%), P-tersedia rendah (11,3 me/100 g), Ktersedia rendah (0,20 me/100 g), dan C-organik 10,8%. Tingkat kesuburan tanah di lahan lebak dapat dikatakan kurang sampai sedang sehingga untuk meningkatkan produktivitasnya perIu dilakukan pemupukan. Takaran pupuk yang diperlukan sangat tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan varietas yang ditanam sehingga untuk pemberian pupuk yang tepat dan efisien perlu dilakukan uji tanah di setiap wilayah pengembangan. Pada umumnya varietas padi yang berkanopi tegak sangat responsif terhadap pemupukan, sehingga memerIukan takaran yang lebih tinggi, sedangkan yang berkanopi menyebar memerIukan pupuk lebih sedikit. Takaran pupuk yang dianjurkan untuk padi surung adalah 45-90 kg N + 4590 kg P205 + 25-50 kg K20 per ha dan untuk padi rintak dengan varietas resposif pemupukan adalah 90-135 kg N + 50-70 kg P205 + 50 kg K20 per ha, sedangkan untuk varietas yang tidak rensposif pemupukan seperti Martapura dan Margasari adalah 45-70 kg N + 70 kg P205 + 60 kg K20 per ha (Ar-Riza dan Rina, 2003). Pupuk N diberikan dua tahap yaitu 1/3 bagian diberikan bersamaan dengan pupuk P dan K pada saat tanam sedangkan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur 30 hari. Takaran pupuk untuk tanaman jagung adalah 90-135 kg N + 45-90 kg P205 + 25-50 kg K20 per ha. Untuk tanaman kacang-kacangan pemberian pupuk sebanyak 45 kg N + 75 kg P205 + 50 kg K20 sudah cukup memadai, sedangkan untuk tanaman hortikultura, selain pemberian pupuk anorganik diperlukan juga pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang

192

Alihamsyah dan Ar-Riza

sebanyak 3-5 t/ha. Belum tersedia informasi takaran pupuk yang pasti untuk tanaman hortikultura di lahan lebak, namun demikian informasi takaran pupuk di lahan rawa pasang surut dapat dipakai sebagai acuan (Tabel 6.3). Tabel 6.3. Takaran pupuk pada tanaman hortikultura di lahan pasang surut
Tanaman Cabai Tomat Bawang merah Sawi Semangka **) Tipologi Potensial Gambut Potensial Gambut Potensial Potensial Potensial Takaran pupuk K2O Pupuk kandang N P2O5 . kg/ha . 5.000 90 90 50 5.000 45 90 60 5.000 135 90 60 5.000 90 90 60 10.000 90 90 75 5.000 90 90 75 10.000 0,027 0,020 0.006

*) Satuan g/pohon. Sumber : Alihamsyah (2003)

6.4.4. Pengelolaan gulma dan bahan organik Gulma atau rerumputan di lahan lebak tumbuh subur dan berkembang cepat serta merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman terutama padi di lahan lebak serta dapat menurunkan hasil padi sampai 74,2%. Potensi gulma yang sangat melimpah di lahan lebak tersebut perlu dikelola sehingga tidak merugikan tanaman tetapi malah meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan. Gulma pada pertanaman padi rintak umumnya didominasi oleh gulma berdaun lebar seperti Alternatera sp., Heliotropium sp., gulma berdaun sempit Axonopus sp., golongan teki (Cyperus) dan Fimbristylis sp. (Chaerudin dan Ar-Riza, 2001). Pengendalian gulma untuk pernyiapan lahan berbeda dengan pengendalian gulma untuk penyiangan. Selain secara tradisional, pengendalian gulma dapat dilakukan juga dengan herbisida efektif, yaitu untuk pertanaman padi dan kedelai dapat digunakan Diuron 80 WP, Metachlor 500 EC, Oxyfluorfen 2EC, Oxadiazon 25 EC atau 2-4-DA mine, maupun MPCA dengan takaran 1,5 l/ha (Ar-Riza et al., 1998, 2000 dan Chaerudin et al., 2000). Gulma atau rerumputan tersebut bisa digunakan sebagai mulsa guna menekan evaporasi dan menekan pertumbuhan gulma baru serta meningkatkan kualitas lahan. Dengan takaran kompos gulma sebanyak 2-3 t/ha ternyata dapat meningkatkan hasil padi rintak. Dari kedua macam gulma yang dapat digunakan

193

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

sebagai mulsa, Sulvinia memberikan hasil yang lebih baik daripada Paspalidium karena C/N rasionya lebih rendah sehingga mudah mengalami dekomposisi. Pemanfaatan rumput Paspalidium dan Salvinia pada pertanaman padi rintak dapat meningkatkan hasil sebesar 24,0-31,9% (Ar-Riza, 2002). Sedangkan pupuk nitrogen yang dikombinasikan dengan biomasa Salvinia molesta sebanyak 1 t/ha dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N sebesar 19,6% (Ar-Riza, 2002). 6.4.5. Pengendalian OPT Pada dasarnya pengendalian hama dan penyakit dilakukan Secara terpadu menggunakan teknologi PHT melalui penggunaan varietas tahan, musuh alami, penerapan teknik budidaya yang baik dan sanitasi lingkungan sedangkan penggunaan pestisida kimiawi dilakukan sebagai tindakan terakhir (Balitra, 2001). Hama utama tanaman kususnya padi adalah tikus dan penggerek batang padi putih. Serangan hama tikus umumnya terjadi pada saat tanaman memasuki fase bunting, sehingga upaya pengendalian dini sangat bermanfaat dalam menurunkan populasi tikus. Pengendalian hama secara dini dilaksanakan dengan cara pembongkaran lubang-Iubang persembunyian dan memasang umpan beracun sejak 15 hari sebelum semai sampai fase awal pertumbuhan generatif setelah itu, dilakukan pengendalian dengan cara fumigasi dan pemasangan bubu serta pagar plastik pada fase pertumbuhan generatif. Sedangkan penggerek batang padi putih dapat dikendalikan dengan insektisida BPMC takaran 2-2,5 cc/air dengan volume semprot 600 lt air/ha. Untuk keberhasilan pengendalian hama dari penyakit ini diperlukan partisipasi aktif petani dan dukungan aparat pemerintah serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Tabel 6.4. Strategi dan taktik pengendalian terpadu hama tikus di lahan lebak
Stadia tanaman padi Bera Persemaian Anakan aktif Bunting Bermalai Panen Komponen teknologi pengendalian Umpan Fumigasi SPP beracun x x x x x x x x x x Perangkap bambu

Gropyokan x x

x x x

SPP : Sistem pagar perangkap untuk 1 ha dengan 40 buah bagi 20 ha tanaman padi. Sumber : Balittra (2001).

194

Alihamsyah dan Ar-Riza

6.4.6. Penanganan panen dan pasca panen Kehilangan hasil padi di lahan lebak masih cukup tinggi, yaitu mencapai 12,5% dan mutunya rendah, karena belum baiknya penanganan panen dan pasca panen, yaitu penentuan saat panen, cara panen, dan prosessing serta terbatasnya tenaga kerja. Saat panen yang tepat adalah saat gabah padi telah dalam fase masak fisiologis, yaitu hampir semua gabah matang. Pada fase ini, prosentase kerontokan gabah akibat panen sedikit. Panen dilakukan dengan cara memotong malai padi menggunakan sabit bergerigi kemudian hasilnya dikumpulkan dan dirontok dengan mesin perontok (power thresher) atau digebot. Penggunaan sabit bergerigi untuk panen padi dapat mengurangi kebutuhan waktu kerja dari 388 jam/ha menjadi 130 jam/ha dengan susut hasil dan hasil padi yang tidak berbeda. Sedangkan penggunaan power thresher selain dapat meningkatkan kapasitas kerja dari 34,5 kg/jam menjadi 224,5 kg/jam juga mengurangi kehilangan hasil dengan biaya jasa sewa lebih murah (Ananto et al., 1999; Balittra, 2001). 6.5. UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI Pada umumnya, produksi tanaman khususnya padi di lahan lebak masih relatif rendah padahal peluang peningkatan produksi tersebut cukup besar mengingat potensi arealnya cukup luas dan teknologi pemanfaatannya sudah cukup tersedia. Karena upaya peningkatan produksi pertanian terutama tanaman pangan di lahan lebak guna mendukung ketahanan pangan nasional, secara garis besar dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu : (1) peningkatan produktivitas lahan, dan (2) perluasan areal tanam. Penerapan kedua cara tersebut memerlukan prasyarat atau prakondisi tertentu agar dapat dilaksanakan dengan hasil baik.

6.5.1. Peningkatan produktivitas lahan Peningkatan produktivitas, dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi yang tersedia seperti yang diterangkan pada bab teknologi budidaya, dengan mengitegrasikan secara sinergis masing-masing komponen teknologi yang disesuaikan dengan karakteristik lahannya.

195

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Selain penerapan komponen teknologi yang sinergis dan sesuai, agar mencapai hasil maksimal maka harus didukung oleh penataan lahan dan jaringan tata air. Dalam jangka panjang, penataan lahan dan sekaligus penataan jaringan tata air sangat diperlukan, agar dapat memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap ptoduksi padi dan sekaligus dapat meningkatkan diversifikasi hasil pertanian. Lahan lebak dangkal mempunyai potensi yang lebih baik, karena posisinya yang lebih dekat dengan sungai besar. Lahan lebak dangkal bisa ditata sebagai surjan dengan ukuran tinggi sekitar 60-75 cm, dengan lebar 1-2 m atau sawah dan tukungan dengan diameter sekitar 2 m. Pada petakan lahan yang ditata sistem surjan, pada salah satu sisinya digali saluran berukuran (dalam 0,6 m, lebar 1 m), fungsinya sebagai pengatur kelengasan tanah pada petak sawah dan tempat hidup atau perangkap ikan alami. Sementara pada bagian guludan surjan dapat dimanfaatkan untuk tanaman palawija atau hortikuitura. Pembuatan dan perataan petak sawah diperlukan guna membantu pengaturan air. Pada lahan lebak tengahan dan lebak dalam perlu dibuat jaringan tata air berupa saluran besar yang menghubungkan petakan lahan ke sungai guna mengalirkan air dari kawasan lahan kesungai sehingga air genangan cepat surut dan sekaligus sebagai prasarana transportasi. Sedangkan pada petakan lahan perlu dibuat parit berukuran lebar 1 m dan dalam 0,6 m yang dilengkapi dengan pintu air sistem tabat guna mengalirkan air dari petakan lahan ke saluran besar dan menampung air pada musim kemarau untuk mengairi tanaman palawija atau hortikultura serta sekaligus sebagai tempat hidup atau perangkap ikan alami Sistem jaringan tata air ini akan lebih baik jika dikombinasikan dengan penggunaan pompa air untuk memanfaatkan sungai yang posisinya tidak terlalu jauh dari kawasan lahan lebak. Dengan demikian, bantuan pemerintah sangat diperlukan terutama untuk sistem tata air menggunakan pompa. Sedangkan untuk penataan lahan sistem surjan atau tukungan dapat dilakukan oleh petani tetapi perlu percontohan dan penyuluhan yang lebih intensif. 6.5.2. Perluasan areal pertanaman Perluasan areal tanam dilakukan dengan meningkatkan intensitas pertanaman (IP) dan penambahan luas baku lahan melalui pembukaan lahan baru.

196

Alihamsyah dan Ar-Riza

Saat ini, intensitas pertanaman di lahan lebak umumnya masih rendah, yaitu sekitar 110% padahal dengan penerapan teknologi, IP di lahan lebak dangkal bisa mencapai 300% dengan menerapkan pola tanam padi rintakpalawija/hortikultura-padi surung, dengan menerapkan teknologi percepatan tanam. Adapun di lahan lebak tengahan bisa mencapai 200% dengan menerapkan padi rintak-padi surung atau padi rintak-palawija/hortikultura. Untuk meningkatkan keberhasilan penerapan pola tanam tersebut diperlukan upaya pemanfaatan air secara efisien dengan memanfaatkan air sungai menggunakan pompa yang disertai pembuatan jaringan tata air. Pengairan dengan pompa air dapat dimanfaatkan untuk mempercepat waktu tanam padi surung dengan pemberian air ke petakan lahan sebelum banyak turun hujan karena air yang diperlukan tanaman padi pada fase awal pertumbuhan tanaman sedikit. Dengan percepatan waktu tanam tersebut resiko terendamnya tanaman dapat dihindari, karena saat air rawa mulai menggenang tanaman padi telah cukup tinggi. Dalam jangka panjang, perluasan areal pertanaman di lahan lebak hendaknya dilakukan juga melalui pembukaan lahan baru, mengingat potensinya luas sedangkan yang diusahakan masih terbatas karena berbagai masalah dan kendala terutama dalam kaitannya dengan infrastruktur dan kemampuan petani. Lahan lebak yang berpotensi ditanami tanaman pangan khususnya padi adalah lahan lebak dangkal dan lebak tengahan yang luas totalnya diperkirakan 4.186.000 ha untuk lebak dangkal dan 6.075.000 ha untuk lebak tengahan, sedangkan yang sudah diusahakan hanya sekitar 729.000 ha. Lahan lebak dalam pada musim kemarau dengan kondisi iklim yang normal masih tergenang air, tetapi pada kondisi tertentu seperti saat terjadi EI-Nino pada sebagian lokasi airnya surut dan menjadi lahan yang potensial untuk usahatani padi. Dalam hubungannya dengan hal tersebut Alkusuma et al. (2002) cit Irianto et al. (2002) melalui interpretasi citra landsat di Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Kalimantan Selatan, menginformasikan bahwa lebak dalam pada saat terjadi EINino sekitar 174.851 ha, dan lebak tengahan sekitar 35.431 ha bisa diubah menjadi lahan yang sesuai untuk usahatani padi. Masalahnya adalah dimana saja dan berapa luas efektifnya serta bagaimana karakteristik rinci lahan tersebut. Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah menginventarisir dan mengkarakterisasi sebaik mungkin lahan-lahan tersebut guna menentukan pola pemanfaatan lahannya dan penerapan teknologi pengembangannya secara tepat dan efisien serta ramah lingkungan.

197

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

6.6. PRAKONDISI DAN TAHAPAN LANGKAH OPERASIONAL

6.6.1. Prakondisi Sebelum program dijalankan, maka diperlukan informasi unsur penunjang yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan program: (1) peta dan informasi karakteristik wilayah, (2) kemampuan dan partisipasi masyarakat, (3) ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, (4) kebijaksanaan pemerintah. Peta dan informasi karakteristik wilayah. Peta dan informasi karakteristik wilayah diperlukan untuk menentukan pola pemanfaatan lahan dan perakitan komponen teknologi. Peta tersebut minimal memuat informasi penyebaran tipe lahan dan sifat fisiko-kimia penting tanah dan air, termasuk masalah biofisiknya. Apabila hal ini tidak tersedia, maka tahap awal perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi lahan di calon lokasi pengembangan. Informasi lainnya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kelembagaan penunjang. Kemampuan dan partisipasi masyarakat. Pengetahuan petani dan penyuluh tentang pengelolaan usahatani di lahan lebak melalui penerapan teknologi secara benar pada umumnya masih kurang. Oleh karena itu, kemampuan mereka harus ditingkatkan melalui berbagai cara, antara lain pelatihan dan pembinaan secara intensif serta kunjungan ke demplot. Kemampuan masyarakat khususnya petani, bukan hanya pengetahuan tapi juga dalam hal permodalan untuk usahataninya. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan lembaga perkreditan atau keuangan yang dapat menyediakan modal usaha bagi petani secara cepat dengan prosedur yang sederhana dan mudah. Partisipasi masyarakat diperlukan dalam penerapan teknologi pemanfaatan lebak tidak hanya terbatas pada masyarakat petani dengan kelompoknya, tetapi juga pihak swasta atau pengusaha dan aparat pemerintah. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang. Teknologi pemanfaatan lahan lebak baru bisa diterapkan dengan baik oleh petani apabila tersedia sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Penerapan teknologi varietas, ameliorasi dan pemupukan perIu didukung oleh penyediaan benih bermutu, bahan ameliorasi dan pupuk yang memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu. Penerapan teknologi pengolahan tanah dan penanganan pasca panen memerIukan dukungan alat dan mesin pertanian berupa traktor, mesin perontok

198

Alihamsyah dan Ar-Riza

dan pengering mengingat terbatasanya tenaga kerja. Sedangkan penerapan teknologi pengendalian OPT memerIukan bahan pengendali OPT dan peralatan untuk aplikasinya. Sarana dan prasarana tersebut harus memadai secara tepat jumlah, jenis dan waktu serta terjangkau agar penerapan teknologi di lahan lebak dapat berjalan dengan baik. Dalam kaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diperIukan pengembangan kelembagaan agribisnis yang sesuai, terutama yang melibatkan kelompok atau koperasi petani dan pengusaha swasta lokal. Kebijaksanaan pemerintah. Dari berbagai pengalaman pengembangan pertanian di daerah rawa menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang perIu diperhatikan oleh pemerintah untuk mendukung pengembangan teknologi pertanian di lahan rawa secara berkelanjutan mencakup beberapa hal, terutama : (1) identifikasi dan karakterisasi daerah pengembangan potensial, (2) rehabilitasi dan peningkatan prasarana tata air, (3) peningkatan kemampuan petugas dan petani termasuk fasilitas dan sarana penyuluhan, (4) insentif harga yang layak serta fasilitas kredit dan permodalan, (5) penyediaan dan deregulasi tata niaga sarana produksi dan pemasaran hasil, (6) pengembangan kelembagaan, terutama yang berakar dari masyarakat termasuk lembaga keuangan pedesaan, (7) pengembangan jaringan perhubungan antar wilayah, dan (8) peningkatan koordinasi dan keterpaduan kerja antar instansi terkait melalui pendekatan mekanisme fungsional maupun struktural. 6.6.2. Tahapan dan langkah operasional Untuk mendukung keberhasilan pengembangan teknologi pemanfaatan lahan lebak perlu dilakukan beberapa langkah operasional berikut : 1. Identifikasi atau inventarisasi dan karakterisasi calon wilayah pengembangan oleh Dinas Pertanian, Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas Kimpraswil. 2. Menyusun tata ruang dan menentukan alternatif paket teknologi sesuai karakteristik lahan dan sosial ekonomi setempat oleh Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas Pertanian. 3. Menyusun program pengembangan oleh Dinas Pertanian, Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Dinas Kimpraswil dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

199

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

4. Apresiasi dan sosialisasi program pengembangan pada berbagai tingkatan terutama kepada penyuluh, petani dan kelompok tani oleh Dinas Pertanian. 5. Meningkatkan pengetahuan maupun motivasi petani dan petugas terutama penyuluh melalui pelatihan dan percontohan serta kunjungan lapang oleh Dinas Pertanian bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian (BPTP) dan Balai Diklat Deptan. 6. Menyediakan dan mendistribusikan sarana produksi khususnya benih, pupuk dan pestisida serta alsintan oleh Dinas Pertanian dengan melibatkan berbagai pihak terkait dan lembaga agribisnis termasuk koperasi tani. 7. Meningkatkan prasarana pendukung terutama jaringan tata air dan perhubungan oleh Dinas Kimpraswil. 8. Memonitor, membina dan mengevaluasi pelaksanaan program pengembangan secara berkala oleh Dinas Pertanian dan Badan Litbang Pertanian (BPTP) dengan melibatkan berbagai pihak terkait.

PENUTUP Lahan rawa lebak memiliki potensi besar dan merupakan salah satu pilihan untuk sumber pertumbuhan agribisnis dan mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional. Namun untuk keberhasilannya, maka pengembangannya harus dilakukan secara terencana melalui penerapan teknologi tepat guna dengan pendekatan holistik, dan partisipatif dengan fokus optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alamnya. Oleh karena itu, komitmen, koordinasi dan sinkronisasi serta keterpaduan kerja antar pihak terkait khususnya Dinas Pertanian dan Kimpraswil serta Badan Litbang Pertanian dan petani atau kelompok tani perlu diwujudkan. Sebaiknya mulai dari perencanaan sampai kepada pelaksanaan serta monitoring dan pembinaannya di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Pengembangan Lahan Pasang Surut : keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru.

200

Alihamsyah dan Ar-Riza

Alihamsyah, T. dan I. Ar-Riza. 2004. Potensi dan teknologi pemanfaatan lahan rawa lebak untuk pertanian. Makalah Utama. Workshop Nasional Pengembangan Lahan Rawa Lebak. Kerjasama Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa-Pemda Kabupaten Hulu Sungai- Dinas Pertanian Prop. Kalimantan Selatan, Kandangan, 11-12 Oktober 2004. Alihamsyah, T. 2003. Hasil penelitian pertanian pada lahan pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional. Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian JambiBadan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi. Hlm 20-26. Ananto, E.E., Astanto, dan Sutrisno. 1999. Sistem panen dan pasca panen padi di lahan pasang surut. Laporan Proyek Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Hlm 30. Ar-Riza, I. dan Y. Rina. 2003. Optimasi pemanfaatan lahan rawa lebak untuk peningkatan produksi padi. Dalam. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Ar-Riza, I., H.Dj. Noor, D. Nazemi, dan Chairudin. 1993. Varietas padi rintak berdaya hasil tinggi di lahan lebak Kalimantan Selatan. Dalam. Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa TerpaduISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Ar-Riza, I. 2000. Prospek pengembangan lahan rawa lebak Kalimantan Selatan dalam mendukung peningkatan produksi padi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. 19(3):92. Ar-Riza, I. 2002. Upaya peningkatan produksi dalam budidaya padi rintak di lahan rawa lebak. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). 29-30 Oktober 2002. Bogor. Balittra. 2001. Laporan Tahunan 2001. Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Chaerudin, R.S. Simatupang, dan D. Nazemi. 2000. Pengelolaan gulma di lahan rawa lebak menunjang sistem budidaya pertanian konservasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional. Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIGI) dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Banjarbaru. Hlm 82-92. Chaerudin dan I. Ar-Riza. 2001. Pengaruh penyiapan lahan pada wilayah yang didominasi pertumbuhan gulma Paspalidium sp. terhadap hasil padi rintak. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Pusat

201

Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa Lebak

Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Banjarbaru. (tidak dipublikasi). Irianto, G., H. Syahbuddin, W. Estiningtyas, E. Surmaini, dan I. Las. 2002. Pendayagunaan keragaman iklim untuk meningkatkan produksi padi. Dalam. Suprihatno, B.l. Soeyitno, M. Syam, A.K. Makarim, Suwandi, L.N. Widiarta, dan Hermanto (Eds). 2002. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku-l. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hlm 142. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, H. Tati, R. Tahir, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa (19851993). Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Khairullah, I. dan S. Sulaeman. 2002. Varietas unggul dan galur harapan padi adaptif lahan rawa. Monograf : Varietas Tanaman Pangan Adaptif Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Nasoetion, L.T. dan T. Winoto. 1995. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. Makalah. Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air: Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan, Cipayung, Bogor, 31 Oktober-2 November 1995. Noorsjamsi and O. Hidayat. 1970. the Tidal Swamps Rice Culture in South Kalimantan. Central Research Institute For Agricultural Representation. Kalimantan Indonesia. Puslitbangtan. 1992. Arah dan strategi penelitian dan pengembangan tanaman pangan dalam PIP II. Makalah disampaikan pada Raker Badan Litbang Pertanian, 15-17 Juni 1992. Cisarua, Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan pasang surut, rawa dan pantai: Keterbatasan dan Pemanfaatan. Dalam. Partohardjono dan M. Syam (Ed). 1992. Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

202

VII

SUMBERDAYA HAYATI PERTANIAN LAHAN RAWA


Izhar Khairullah, Mawardi, dan Muhrizal Sarwani

203

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara pemilik "mega diversity "sumber daya hayati yang melimpah diantaranya terdapat di lahan rawa. Lahan rawa di Indonesia diperkirakan meliputi areal 33,4-39,4 juta ha yang tersebar umumnya di empat pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya (Papua), dan Sulawesi. Sebagai sebuah ekosistem yang spesifik, lahan rawa dicirikan oleh sifat hidrologi dan tanah yang khas. Sifat hidrologinya dipengaruhi oleh diurnal pasang surut atau ketergenangan melebihi tiga bulan, sedangkan sitat tanahnya yang khas adalah adanya mineral pirit sebagai pembentuk tanah sulfat masam dan gambut sebagai bahan dasar pembentuk tanah gambut. Sifat yang khas ini mendukung tumbuhan, binatang dan mikroba yang khas rawa. Misalnya tumbuhan rotan akan berkembang dengan baik pada suasana "recalcitrant" yang tinggi yaitu pada tanah gambut. Dalam keadaan alami, lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang memiliki keanekaan hayati yang cukup tinggi dan kompleks meliputi beragam tanaman, pohon komersial (38 jenis), ikan ( 200-300 jenis). dan ternak yang khas rawa (Chairuddin, 1989). Selain itu, lahan rawa memiliki beragam tanaman yang mempunyai sifat unggul. Sebagai contoh adalah padi lokal pasang surut yang sebagian mempunyai kemampuan adaptasi terhadap kondisi genangan maupun kondisi pH yang rendah. Beberapa buah lokal memiliki keunggulan seperti durian liar (Durio lowianus) diketahui mempunyai ketahanan terhadap durian "patch cancer" (yang disebabkan Phytoptora palmivora) dan mempunyai batang lebih tegar sehingga berprospek digunakan sebagai rootstock plants bagi durian komersial. Mangga hambuku adalah sejenis mangga yang tumbuh dan bertahan hidup meskipun dalam keadaan terendam. Oleh karena itu, upaya menjaring keberagaman sifat-sifat genetik tanaman sangat diperlukan untuk memperbaiki produktivitas dan kualitas tanaman, Perakitan varietas padi unggul modern adalah contoh keberhasilan pemanfaatan sumber daya genetik. Lebih dari 100 varietas padi lokal asal Indonesia telah digunakan dalam program pembentukan padi tipe baru (Fagi et aI., 2002). Karena itu, informasi tentang potensi dan karakteristik lahan dan sumberdaya hayati dapat dimanfaatkan untuk strategi peningkatan produktivitas dan kualitas jenis-jenis lahan rawa: Sukses yang dicapai dalam menggali potensi sumberdaya lahan secara nasional dan pengumpulan bahan genetik lahan rawa berarti sumbangan yang

204

Khairullah et al.

besar bagi pencapaian penggunaan lahan rawa yang rasional untuk pertanian yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berorientasi agribisnis. Penggunaan varietas unggul padi Margasari dan Martapura oleh petani lahan pasang surut di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah merupakan keberhasilan pemanfaatan plasma nutfah padi. Padi varietas Margasari dan Martapura yang dilepas olen Balittra pada tahun 2000 berasal dari tetua varietas Siam Unus, varietas padi lokal adaptif lahan pasang surut (Sulaiman et al., 2000). 7.2. SUMBERDAYA HAYATI TANAMAN PANGAN DI LAHAN RAWA Sumber daya hayati berbeda pengertian dengan plasma nutfah. Sumberdaya hayati didefinisikan sebagai kekayaan alamiah yang terdiri atas satu species atau lebih yang diperkirakan atau diketahui memberikan kemanfaatan ekonomis bagi manusia. Sedangkan plasma nutfah diartikan sebagai sumber genetik dalam suatu species tanaman yang memiliki keragaman genetik yang luas, yang ditimbulkan oleh perbedaan varietas, strain, galur, sub-species atau populasi. Dengan demikian koleksi plasma nutfah adalah kumpulan varietas, populasi, strain, galur klon, mutan dari satu species yang sama yang berasal dari lokasi, agroklimat atau asal usul yang berlainan (Sumarno, 1994). Dengan demikian nampak jelas bahwa sumberdaya hayati memiliki cakupan yang lebih luas dari pada plasma nutfah. Padi, jagung, kedelai, dan umbi-umbian adalah tanaman pangan yang dapat tumbuh di lahan rawa. Tetapi hanya padi dan umbi-umbian yang memiliki kekhasan di lahan rawa. Padi varietas lokal sangat banyak di jumpai di lahan rawa, baik di lahan pasang surut maupun di lahan lebak. Hal ini mungkin karena sifat adaptasinya yang tinggi pada kondisi lingkungan lahan rawa, meskipun hasilnya termasuk rendah. Sementara ubi ubian lebih banyak ditemukan .di lahan lebak. (Sastrapraja dan Rifai 1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan pusat keragaman genetik untuk Dioschorea sp. (uwi, yam). 7.2.1. Padi lahan rawa Varietas lokal padi rawa yang telah dikoleksi dari tahun 1994 sampai 2002 sebanyak 221 asesi. Koleksi tersebut dilakukan di lahan rawa Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung.

205

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Dari jumlah tersebut, 175 asesi berasal dari lahan pasang surut dan 46 asesi berasal dari lahan lebak. Diperkirakan lebih dari 300 asesi padi yang terdapat di lahan rawa. Pada umumnya umur tanaman padi varieras lokal yang ditanam di lahan lebak (4-5 bulan) lebih genjah dari pada yang ditanam di lahan pasang surut (7-9 bulan). Hasil gabah bervariasi antara 1-3 t/ha. Berdasarkan informasi petani setempat, mereka menanam varietas lokal padi tersebut antara lain karena sifat adaptasinya yang tinggi dan rasa nasinya yang dianggap enak dengan tekstur nasi pera dan pulen. Beberapa varietas lokal yang ditanam di lahan lebak (Sumatera Selatan) dianggap lebih toleran kekeringan, seperti varietas Banal, Serai Rampak, dan Senapi. Sedangkan di lahan pasang surut (Kalimantan Selatan) terdapat varietas Datu yang secara in situ, berbatang kuat dan besar dengan tinggi tanaman lebih dari 2 m, malai panjang dan lebat dengan bentuk gabah besar. Varietas ini juga pada fase matang ditemukan masih tergenang air asin (salin) sekirar 30-40 cm. Varietas lainnya di lahan pasang surut yang memiliki kelebihan adalah varietas Pudak, dimana gabah/berasnya harum (aromatik) (Khairullah et al., 2003). Tinggi tanaman varietas lokal padi pasang surut bervariasi antara 105-180 cm dan jumlah anakan antara 10-24 batang. Malainya umumnya muncul penuh dengan tingkat kerontokan gabah sedang (6-25%). Sudut daun datar dan sudut daun bendera antara sedang sampai datar, tidak ada sudut daun bendera yang tegak seperti halnya varietas unggul. Demikian pula sudut batang umumnya sedang (antara tegak sampai membuka). Tanaman yang tinggi dan kuat cocok untuk lahan pasang surut yang pada umumnya genangannya tinggi. Sedangkan malai yang mulai penuh memudahkan bagi petani yang memanen dengan menggunakan ani-ani. Sudut daun yang datar mungkin dapat menekan pertumbuhan gulma yang berada di bawahnya dan dengan demikian beberapa karakteristik padi varietas lokal yang akan mengurangi biaya penyiangan banyak dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 7.1. Varietas lokal yang dikenal luas di lahan pasang surut Kalimantan Selatan adalah 'kelompok' varietas Siam, Bayar, Pandak, dan Lema. Kelompok varietas Siam paling banyak dijumpai dengan berbagai variasi namanya di tingkat petani. Variasi nama ini dapat berdasarkan bentuk gabah, rasa nasi, nama petani ataupun ciri-ciri khusus yang diterima petani setempat (Khairullah et al., 1998). Varietas Bayar bahkan sudah dibudidayakan petani pasang surut Kalimantan 206

Khairullah et al.

Selatan sejak tahun 1920, sedangkan varietas Lemo sekitar tahun 1956 (Idak, 1982). Tabel 7.1. Beberapa sifat padi varietas lokal yang banyak dijumpai di lahan pasang surut di Kalimantan Selatan
Karakter Jumlah anakan Tinggi tanaman Umur (hari) Panjang daun (cm) Lebar daun (mm) Panjang batang (cm) Diameter batang (cm) Panjang gabah (mm) Lebar gabah (mm) Kerebahan (%) Siam Unus 20 142 291 58 12 118 6,9 7,7 1,7 5 Pandak 18 121 305 44 12 95 6,7 8,2 1,7 0 Bayar Palas 15 140 305 46 12 116 7,3 8,8 1,8 0 Lemo Kwatik Lakatan Gadur 14 15 182 149 272 295 44 47 11 13 154 121 6,8 7,9 8,5 8,8 1,9 1,8 10 25

Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan pada umumnya memiliki sifat antara lain sebagai berikut (Khairullah et al., 2004): Sudut daun : tegak sampai miring Sudut daun bendera : bervariasi dari miring sampai datar, datar sampai merunduk. dan tegak sampai miring Panjang daun : 33-46 cm Panjang daun bendera : 24-36 cm Lebar daun : 0,8-1,2 cm Lebar daun bendera : 0,8-1,2 cm Sudut batang : tegak sampai miring Jumlah anakan : 7-19 anakan Anakan produktif : 7-17 anakan Bentuk lidah : bercelah Panjang lidah : 0,5-2,3 cm Gabah : tidak berekor, ramping Malai : keluar penuh (tangkai panjang) dan kompak Beras : kecil-ramping dan jernih Tinggi tanaman : 80-125 cm

207

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Gambar 7.1. Plasma nutfah padi lokal pasang surut yang memiliki kenggulan toleran keracunan besi, gabah lebih ramping, rasa nasi disukai, dan harga jual relatif lebih tinggi

Sebagian besar varietas yang dikarakterisasi relatif tahan rebah, seperti varietas Bayar Palas, Pandak Putih, Siam Unus, dan Lemo Putih. Hal ini antara lain disebabkan oleh batangnya yang cukup besar dan kuat sehingga cukup mampu menopang pertumbuhan tanaman. Kisaran diameter batang bawah dari varietas lokal antara 4,9-8,9 mm. Varietas-varietas lokal yang dikarakterisasi di lapangan secara visual tidak menampakkan adanya gejala keracunan besi. Hal ini mungkin disebabkan umur bibitnya yang tua (sekitar empat bulan) sehingga bibit saat ditanam dalam keadaan kuat dan besar. Di samping itu mungkin pula kondisi sawah sudah mulai turun kadar besi terlarutnya dalam tanah sehingga bibit terhindar dari keracunan besi. Karakterisasi (skrining) toleransi keracunan besi terhadap 130 varietas lokal yang berasal dari lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan menunjukkan variasi yang berbeda. Kandungan besi tanah 156 ppm Fe; sedangkan kandungan besi pada air tanah pada awalnya tinggi

208

Khairullah et al.

(0,44 me/L) kemudian menurun seiring dengan waktu (minggu ke-13 = 0,06 me/L). Berturut-turut kandungan besi pada air tanah.pada minggu ke- 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12. 13, dan 14 masing masing adalah 0,44; 1.71; 0,13; 0,01; 0,008; 0,079; 0,006; 0,56; 0.34; 0,08; 0,06; dan 0,47 me/L Fe. Hasil penilaian (skoring) gejala keracunan besi (IRRI, 1996) menunjukkan bahwa adanya variasi yang cukup besar antar umur bibit. Umur bibit satu minggu menampakkan ketahanan yang lebih tinggi, disusul dengan umur bibit dua minggu dan tiga minggu. Terdapat 35 varietas lokal padi yang tahan keracunan besi pada umur bibit satu minggu, sedangkan pada umur bibit dua minggu terdapat 29 varietas yang tahan, sementara untuk umur bibit tiga minggu hanya ada 20 varietas yang tahan (Tabel 7.2). Pengamatan per minggu (selama empat minggu) menunjukkan bahwa respon umur bibit varietas lokal tidak konsisten terhadap keracunan besi. Beberapa varietas lokal menunjukkan adanya upaya pemulihan/perbaikan tumbuh pada umur tanaman yang lebih tua, tetapi pada varietas lain justru semakin tua tanaman, gejala keracunan cenderung meningkat. Hasil analisis kadar Fe dan Zn terhadap 71 beras varietas lokal menunjukkan bahwa kandungan Fe dan Zn sangat bervariasi (Gambar 7.2). Kandungan Fe berkisar antara 11-83 ppm. di mana kadar tersebut dibandingkan dengan varietas unggul galur harapan maka kandungan Fe pada beras varietas lokal tergolong cukup tinggi. Kadar Zn juga sangat bervariasi dengan selang yang cukup lebar, yaitu berkisar antara 20-108 ppm Zn. Kadar tersebut juga tergolang tinggi. Informasi kadar Fe dan Zn dari beras varietas lokal ini sangat bermanfaat bagi para pemulia yang akan merakit suatu varietas unggul dengan kadar Fe dan Zn tinggi. Varietas unggul demikian akan membantu mengurangi asupan zat besi dan Zn dari sumber makanan lainnya (Khairullah et al., 2003). Hasil pengujian ketahanan terhadap hama dan penyakit pada beberapa varietas lokal, terseleksi sebanyak 22 varietas yang memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit untuk dapat dijadikan sebagai sumber genetik bagi perbaikan varietas padi di lahan rawa pasang surut dan lebak (Tabel 7.3) (Balittra, 2001).

209

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Tabel 7.2. Ketahanan varietas lokal padi rawa terhadap keracunan besi yang diuji dalam bak plastik bertanah sulfat masam di KP Belandean, MK 2003
No. ACC 4 5 6 7 8 42 44 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 Varietas Siam Halus Siam Perak Siam Brandal Siam Perak Halus Siam Karang Dukuh Kuning Pandak Siam Pontianak Tinggi Kutut Siam Unus Kuning Siam gumpal Siam PX Siam Arjuna Siam Karta Siam Randah Putih Pal 6 Pal 11 Lakatan Raden Rata Kawi Siam Puntal Siam Randah Kuning Pirak Pandak Kembang Palon Siam rata Bayar Palas Unus Organik Siam Pontianak Halus Siam Pangling Siam Tanggung Unus Gampa Adil Kuning Siam Iantik Selumbung Bonai Putih Rampak Petek Bibit umur 1 minggu * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Bibit umur 2 minggu * * * Bibit umur 3 minggu *

* * * * * * * * * * * * * * * * * * *

* * * * * * * * * * * * * * *

* * * * * * * * *

(*) skor: 1-3 (sangat tahan sampai tahan).

210

Khairullah et al.

Gambar 7.2. Kandungan Fe dan Zn dari beras varietas lokal padi pasang surut

Tabel 7.3. Ketahanan beberapa varietas lokal padi lahan pasang surut dan lebak terhadap hama dan penyakit
Varietas lokal Siam Arjan Palui Lakatan Jambu Siam Pontianak Badagai Latur Siam unus Isip Siam Pandak Sabat Jalan Siam Cinta Sanggul Siam Bamban Sasak Jalan Siam Sanah Lemo Ketahanan terhadap hama dan penyakit Tahan bias daun ras-002, bercak coklat Tahan wereng coklat biotipe I, agak tahan bercak coklat Agak tahan bercak coklat Tahan blas daun ras 002 Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan bias daun ras-002 Tahan wereng coklat biotipe-1. agak tahan blas daun ras-002 Agak tahan blas daun ras-002 Tahan wereng coklat biotipe 1 Tahan bercak coklat daun Tahan blas daun ras-002 Tahan bIas daun ras-002 Tahan blas daun ras-002 Tahan blas daun ras-002 Agak tahan blas daun ras-002 Agak tahan blas daun ras-002 Agak tahan kekeringan

211

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.2.2. Ubi-ubian Ubi-ubian lokal yang dibudidayakan di lahan lebak Kalimantan Selatan adalah ubi alabio (Dioscorea sp.) dan ubi jalar (Ipomoea sp). Kedua jenis ubiubian ini merupakan komoditas primadona dan khas bagi petani lahan lebak. Sumbangan ubi alabio terhadap pendapatan petani di lahan rawa lebak mencapai 31,8-39,1% (SWAMPS II, 1990; SWAMPS II, 1991). Sedangkan ubi negara dapat mencapai 60% (Galib et al., 1994). Biasanya ubi-ubian ini ditanam petani setempat pada musim kemarau, saat air kering. Varietas lokal ubi alabio yang ditanam petani sangat beragam jenisnya, diantaranya ubi habang harum, ubi kesumba, ubi tongkat, ubi ketan, ubi nyiur, ubi jawa, ubi cina, ubi putih, dan ubi habang carang (BlP, 1994). Potensi hasil ubi putih, habang harum, dan habang carang masing-masing adalah 30,4; 22,4; dan 51,2 t/ha. Varietas putih dan habang harum lebih disukai daripada habang carang (Saleh, 1995). Karakteristik ketiga jenis ubi alabio tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.4. Tabel 7.4. Beberapa varietas lokal ubi alabio (ubi putih, habang harum, dan habang carang) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Tipe Umur panen Bentuk daun Wama daun Warna tangkai daun Duduk daun Warna batang Bentuk batang Wama kulit umbi Warna daging umbi Bentuk umbi Rasa umbi Ubi putih Menjalar pada turus 6 bulan Jantung Hijau Berhadapan Hijau Bersegi empat Coklat Putih Panjang Lembut Ubi habang harum Menjalar pada turus 6 bulan Jantung Hijau Berhadapan Hijau Bersegi empat Coklat Merah keunguan Bundar Lembut agak berlendir, beraroma yang khas 22,4 Ubi habang carang Menjalar pada turus 6 bulan Jantung Hijau Merah Berhadapan & berseling Hijau Bersegi empat dan lima Coklat Merah keunguan Panjang bercabang Lembut agak berlendir, air rebusan berwarna merah 51,2

Hijau muda keputihan Merah

Potensi hasil (t/ha) Sumber: Saleh (1995)

30,4

212

Khairullah et al.

Untuk ubi jalar terdapat empat varietas lokal yang dikelola petani di lahan lebak Kalimantan Selatan- yaitu varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan varietas negara. Potensi hasil varietas kyai lama, kyai baru, labu, dan negara, masingmasing 7,39; 10,80; 9,60; dan 7,14 t/ha (William et al., 1995). Karakteristik keempat varietas lokal ubi jalar tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.5. Tabel 7.5. Beberapa varietas lokal ubi jalar (kyai lama, kyai baru, labu, dan negara) asal lahan lebak Kalimantan Selatan
Karakteristik Wama daun tua Wama daun muda Warna tangkai daun atas Wama tangkai daun bawah Wama batang tua Wama batang muda Bentuk batang Bentuk daun Wama umbi luar Warna umbi dalam Rasa umbi Panjang umbi (cm) Diameter umbi (cm) Potensi hasil (t/ha) Sumber : William et al. (1995) Kyai lama Hijau Hijau Ungu Hijau Hijau Hijau Bulat Menjalar Putih Putih Tawar, empuk 15,0 2,76 7,39 Kyai baru Hijau Hijau Ungu Hijau Hijau Hijau Bulat Menjalar Kuning Kuning Sedang, liat 14,2 4,43 10,80 Labu Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau Bulat Bulat Putih Jingga Manis, empuk 12,0 3,87 9,60 Negara Hijau Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Bulat Menjalar Putih Kuning Sedang, empuk 11,8 3,55 7,14

7.3. SUMBERDAYA HAYATI TANAMAN BUAH-BUAHAN Tanaman buah-buahan yang telah dikumpulkan berupa mangga rawa (Kasturi, Hambuku, Kuini, Ampalam, Hambawang, Kebembem), durian (durian Kuning, Pampakin, Lai, Lahung, Mahrawin, Si hijau), jenis manggis (Biasa, Mundar, Liar), lengkeng liar (Ihau/Babuku Hijau dan Kuning), rambutan (Garuda, Antalagi, Sibatuk, Timbul, Zaenal serta jenis liarnya seperti Maritam dan Siwau), jenis nangka (Cempedak Malinau dan Batu Mandi, Tarap, dan Kopuan). Selain itu, diidentifikasi/dikoleksi pula buah-buahan seperti buah Kapul, Balangkasua, Mentega, Pitanak, Gitaan Ramania, Rambai, dan Langsat.

213

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Dari tanaman yang dikumpulkan dapat disebutkan keunggulannya antara lain: mangga rawa mempunyai kemampuan terhadap genangan lebih dari 3 bulan (mangga lebak yaitu mangga Kasturi dan mangga Hambuku) dan terhadap genangan harian dan kemasaman tanah yang cukup ekstrim (pH 4) (mangga kueni Anjir). Durian pasang surut (durian Anjir) tahan terendam harian dan kemasaman tanah ekstrim sehingga cocok digunakan sebagai batang bawah untuk pengembangan durian kawasan pasang surut. Lai dan Pampakin merupakan jenis durian yang warna daging buahnya kuning dan ada juga kuning kemerahan, tanpa bau menyengat yang umum pada durian serta sangat jarang dijumpai hama-hama penggerek di daging buahnya sehingga cocok dikembangkan sebagai bahan plasma nutfah durian untuk pengembangan durian tanpa aroma dan tahan penggerek batang. Beberapa buah lokal seperti buah mentega dan ramania masih belum digali potensinya terutama sebagai buah meja atau sebagai penghasil jus atau tumbuhan obat mengingat kemungkinan kandungan vitaminnya. Rambutan (Siwau, Maritam), gitaan (tampirik), durian Lahong, kopuan, pitanal balangkasua, putaran, dan babuku termasuk buah langka yang perlu segera diselamatkan dan belum banyak digali potensinya. Tanaman buah-buahan yang dieksplorasi di lahan rawa lebak di Kalimantan Timur adalah manggis besar, sarikaya besar, lai-lai lidung, duyan, kelidang, durian merah, jelutung, manggis hutan, kalambuku, cempedak malinau. maritam, dan rambutan malinau. Umur tanaman ini antara 10 sampai lebih dari 50 tahun. Tanaman duyan mirip dengan durian tetapi buahnya tidak jatuh walaupun telah matang. Isi buah akan jatuh sendiri apabila buah telah matang, sedangkan kulit buahnya masih di pohonnya. Biasanya masyarakat setempat mengkonsumsinya untuk dijadikan bahan sayuran. Durian merah memiliki isi buah yang berwama merah, tetapi rasanya tidak selezat durian biasa. Manggis hutan buahnya lebih kecil dari manggis biasa, sedangkan manggis besar buahnya jauh lebih besar dari pada buah manggis biasa. Di lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan telah dieksplorasi dan dikoleksi sejumlah tanaman buah-buahan. Dikoleksi sejumlah durian seperti Si japang, Si dodol, Si lanjung, Enam hapat, Si kerikil, Malang dewa, Si pisang, Si lakatan, Si habuk, Si hanau, dan Si buaya guntung, dan Si itik. Selain itu dikoleksi pula jenisjenis rambutan, seperti: Padangin 1 dan 2, Geronggong, Pamarangan kiwa 1 dan 2, Sungai Pimping 1 dan 2, Banyu Tajun 1, 2, dan 3, serta Duyun Baru 1 dan 2. Buah-buahan lain yang dikoleksi Pampaken kasumba, Balangkasua, dan Mangga hambuku.

214

Khairullah et al.

Di lahan rawa pasang surut di Kalimantan Tengah diperoleh durian Serangga, Landak, Mentega, Kuning, Tipis, Waluh, Gantang Belimbing, dan Bainah. Selain itu juga didapatkan rambutan Antalagi, Garuda, Gula Batu, Buaya, Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut. Karakterisasi morfologi dilakukan terutama untuk tanaman durian dan rambutan, mengingat tanaman ini banyak keragamannya. Tanaman durian dan rambutan yang telah dikarakterisasi dibuat dalam database tanaman. Ada 18 jenis durian yang dikarakterisasi, yaitu si itik, si pisang, si kerikil malang dewa, si Hanau, si Lakatan, Buaya Guntung, Serangga, Landak, Mentega. Kuning, Tipis, Waluh, Gantang, Belimbing, dan Sainah. Sedangkan rambutan ada 20 macam yang dikarakterisasi, yaitu: rambutan Padangin, Geronggong, Pamarangan Kiwa, Sungai Pimping, Banyu Tajun, Duyun Baru, Dangut Antalagi, Garuda, Gula Batu, Buaya, Timbul Batuk, Batuk Ganal, dan Dangut. Tinggi tanaman durian berkisar dari 20-40 m, lingkar batang 1,1-2,6 m, dan panjang daun 11-17 cm. Buah umumnya bulat dan sebagian berlekuk, panjang buah 13-20 cm, lingkar buah 38-49 cm, dan bobot buah 0,8-1,6 kg serta tebal daging 5-13 mm. Cita rasa dari kurang manis sampai sangat manis dengan cita alkoholik cukup dan sedang. Bobot biji antara 15-30 g/biji. Selain durian dan rambutan diketahui pula karakteristik beberapa tanaman buah-buahan eksotik seperti Lembutung, Manggis besar, Manggis hutan, Kalambuku, Kelidang, dan Srikaya besar (Tabel 7.8). Manggis besar ukurannya lebih besar daripada manggis biasa, sedangkan manggis hutan ukurannya lebih kecil dari manggis biasa. Srikaya besar, selain ukurannya yang jauh lebih besar dari srikaya biasa juga rasa daging buahnya agak mirip dengan sirsak.

215

Tabel 7.6. Karakterisasi buah durian yang berasal dari lahan rawa di Kalimantan Selatan dan Tengah, 2003
Karakteristik Tinggi tanaman (cm) Tinggi cabang pertama (cm) Lingkar batang (m) Bentuk batang Warna batang Itik 40 10 2,63 Bulat Abu-2 Pisang 30 4 2 Bulat Abu-2 Kerikil 40 4 2,35 Bulat Abu-2 Mono podial Tunggal bersirip 17-18 Rata Runcing Hijau Lonjong Tumpul 19 47 1,6 5 0 10 Malang Dewa 30 10 2,27 Bulat Abu-2 Sim podial Hanau 40 15 2,63 Bulat Abu-2 Mono podial Membulat Tunggal bersirip 1 Rata Runcing Hijau Lonjong Tumpul 20,5 44 1,5 5 0 10 Lakatan 20 5 1,12 Membulat Abu-2 Buaya Guntung 30 20 2 Bulat Abu-2 Lai 30 20 2 Bulat Abu-2 Mono podial Bulat Tunggal bersirip 15-17 Rata Runcing Hijau Duyan 15 3 1,35 Bulat Coklat Mono podial Tdk teratur Tunggal bersirip 30 Rata Runcing Hijau Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

216

Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Bentuk kanopi Susunan daun Pnjang daun (cm) Pinggir daun Bentuk ujung daun Warna daun Bentuk buah Bagian ujung buah Panjang buah (cm) Lingkar buah (cm) Bobot buah (kg) Jumlah juring berbiji Jumlah juring tak berbiji Tebal daging buah (mm) Tdk teratur Tunggal bersirip 14-17 Rata Runcing Hijau Bundar Runcing 18 46 1,20 5 0 13 Tdk teratur Tunggal bersirip 12,5 Rata Runcing Hijau Bundar Tumpul 13 38 0,62 5 0 5

Mono podial Mono podial Tdk teratur Tunggal bersirip 11-13 Rata Runcing Hijau Lonjong Tumpul 19,5 43 0,80 5 0 10 Bulat Tunggal bersirip 15-17 Rata Runcing Hijau Above Tumpul 16 41 1,5 5 0 10

Tdk teratur Tdk teratur Tunggal bersirip 14-16 Rata Runcing Hijau Above Tumpul 18 49 1,5 5 0 10

Karakteristik Citarasa manis Cita alkoholik Bobot biji (gr) Bentuk biji Warna biji

Itik Kurang manis Sedang 30 Lonjong Kuning

Pisang Sangat manis Sedang 10 Agak bulat Putih

Kerikil Cukup manis Sedang 15 Lonjong Kuning

Malang Dewa Sangat manis Cukup 25 Lonjong Putih muda

Hanau Sedang Sedang 20 Lonjong Putih

Lakatan Sangat manis Sedang 10 Lonjong Putih

Buaya Guntung Sedang Sedang 10 Lonjong Putih

Lai

Duyan

Lanjutan Tabel 7.6


Khairullah et al. Karakteristik Tinggi tanaman (m) Tinggi cabang pertama (m) Lingkar batang (m) Bentuk batang Warna batang Serangga 40 5 1,90 Bulat Coklat Landak 35 10 2,15 Bulat Coklat Mentega 35 6 1,91 Bulat Abu-2 Mono podial Membulat Tunggal bersirip 20 Rata Runcing Hijau Kuning 26 13 1,35 Bulat Coklat Sim podial Tipis 35 10 2.00 Bulat Coklat Mono podial Tunggal bersirip 15 Rata Runcing Hijau Waluh 20 15 1.00 Bulat Abu-abu Mono podial Tdk teratur Tunggal bersirip 12 Rata Runcing Hijau Gantang 35 8 2,20 Bulat Abu-abu kehitaman Mono podial Membulat Tunggal bersirip 17 Rata Runcing Hijau Belimbing 40 10 2,30 Bulat Coklat tua Mono podial Membulat Tunggal bersirip 15 Rata Runcing Hijau Bainan 10 7 2,20 Bulat Mono Mono podial Membulat Tunggal bersirip 15 Rata Runcing Hijau

Bentuk percabangan Mono podial Mono podial Bentuk kanopi Susunan daun Panjang daun (cm) Pinggir daun Tdk teratur Tunggal bersirip 15 Rata Runcing Hijau Tdk teratur Tunggal bersirip 13,5 Rata Runcing Hijau

Tidk teratur Tdk teratur Tunggal bersirip 15 Rata Runcing Hijau

217

Bentuk ujung daun Warna daun

Karakteristik Bentuk buah Bagian ujung buah Panjang buah (cm) Lingkar buah (cm) Bobot buah (kg) Jumlah juring berbiji Jumlah juring tak berbiji Tebal daging buah (mm) Citarasa manis Cita alkoholik Bobot biji (gr) Bentuk biji Warna biji

Serangga Tdk teratur Tumpul 14 44 0,92 5 0 9 Manis Sangat tinggi 13 Lonjong Coklat muda

Landak Bundar Tumpul 12 42 0,75 5 0 5 Kurang manis Sangat tinggi 12 Agak bulat Coklat muda

Mentega Tdk teratur Tumpul 15 45 1,0 5 0 8 Sedang Kurang 15 Lonjong Coklat muda

Kuning Lonjong Tumpul 22 47 1,3 5 0 10 Sedang Sedang 15 Lonjong Kuning muda

Tipis Lonjong Runcing 19 45 1,1 5 0 3 Cukup manis Cukup 16 Lonjong Coklat muda

Waluh Bulat persegi Tumpul 22 52 1,9 5 0 9 Sedang Cukup 20 Lonjong Coklat muda

Gantang Lonjong Tumpul 14 49 1,2 5 0 8 Sangat manis Tinggi 20 Lonjong Coklat muda

Belimbing

Bainan

218

Tdk teratur Tdk teratur Runcing 24 46 1,9 5 0 7 Manis Tinggi 17 Lonjong Coklat muda Tumpul 21 51 1,9 5 0 9 Sedang Sedang 16 Lonjong Coklat muda Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Tabel 7.7. Karakterisasi buah rambutan yang berasal dari lahan rawa di Kalimantan Selatan
Karakteristik Tinggi tanaman (m) Lingkar batang (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) Warna buah Berat buah (g) Diameter buah (mm) Panjang buah (cm) Panjang rambut (mm) Kerapatan bulu Tebal daging (mm) Tebal kulit (mm) Panjang biji (mm) Diameter biji (mm) Citarasa Padangin 1 1 32 11,5 5 Merah 25 29 5.2 17 Jarang 6 4 32 4 Asam Padangin 2 12 55 11,5 5 Merah 30 28 4.5 10 Sedang 7 2 23 5 Manis sedikit asam Geronggong 9 67 13 5.5 Merah muda 20 25 5 15 Sedang 5 4 25 5 Agak asam Pamarangan Kiwa 1 6.5 43 13 5.5 Merah 15 30 4 11 Sedang 5 3 25 10 Agak asam Pamarangan Kiwa 2 9 64 10,5 5 Merah tua 20 28 5 15 Rapat 8 4 25 9 Manis Sungai Sungai Pimping 1 Pimping 2 10 59 7 7.5 Merah 22 25 4.5 15 Sedang 5 1.3 24 9 Manis 4 46 8,5 4.5 Merah 20 28 4.5 15 Jarang 6 4 25 12 Manis Banyu Tajun 1 7 100 6,5 8 Merah tua 15 32 4.5 11 Jarang 9 3 25 9 Manis Banyu Tajun 2 7,5 43 15 6 Merah 13 24 5 13 Sedang 5 4 24 10 Manis sedikit asam Banyu Tajun 3 8 70 12 7 Merah Khairullah et al. 22 12 4 12 Sedang 4 1,2 18 12 Agak asam

219

Lanjutan Tabel 7.7


Karakteristik Tinggi tanaman (m) Lingkar batang (cm) Panjang daun (cm) Lebar daun(cm) Warna buah Duyun Baru 1 30 30 10 3,4 - 4,5 Merah kekuningan 25 28 4 12 Sedang 5 3 22 10 Agak asam Duyun Baru 2 12 12 55 3 - 4,5 Merah Antalagi 5 5 100 8-9 Merah agak kuning 35 15 6 0.8 Jarang 6 4 33 10 Manis Gula Batu 5 5 90 5 - 5,5 Merah Buaya 8 8 80 4,3 - 4,7 Merah tua Timbul 9 9 120 7,5 - 8 Merah Batuk Ganal 10 10 80 9 - 9,5 Merah muda 35 35 5 13 Rapat 8 4 30 10 Sangat manis Garuda 5 5 80 5,2 - 5,5 Merah Batuk 5 5 70 4,6 - 5 Merah Dangut 6 6 120 5,3 - 5,5 Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa Merah

220

Berat buah (g) Diameter buah (mm) Panjang buah (cm) Panjang rambut (mm) Kerapatan bulu Tebal daging (mm) Tebal kulit (mm) Panjang biji (mm) Diameter biji (mm) Citarasa

50 40 5.5 15 Sedang 10 7 28 10 Sangat manis

28 31 4.5 10 Sedang 5 3 26 10 Manis sedikit asam

63 40 7 11 Jarang 9 7 35 11 Manis agak asam

40 40 5.2 15 Sedang 10 4 30 8 Sangat manis

54 37 6.2 17 Jarang 8 6 33 10 Manis

49 33 5.5 11 Sedang 6 4 30 10 Sangat manis

44 35 3.5 13 Sedang 8 3 33 8 Manis agak asam

Tabel 7.8. Karakteristik beberapa sifat buah-buahan eksotik lahan rawa asal Kalimantan Timur, 2003
Karakteristik Tinggi tanaman (m) Lingkar batang (cm) Lebar tajuk (m) Bentuk daun Pangkal daun Lebar helaian daun (cm) Panjang daun (cm) Ujung daun Tipe tulang daun Tepi daun Daging daun Permukaan daun Bentuk batang Arah tumbuh batang Percabangan pada batang Diameter buah (cm) Panjang buah (cm) Tipe buah Warna kulit buah Warna daging buah Rasa daging buah Habitat Sifat khas/keunggulan Lembutung 20 2 10 Memanjang Membelah 12 30 Meruncing Menyirip Rata Spt. Kertas Agak kasar Bulat Tegak lurus Monopodial 5 6-8 Carnosius Merah Putih Manis Tanah lembab Bentuk seperti belimbing Manggis besar 10 3 3 Jorong Membelah 12 30 Meruncing Menyirip Rata Spt. Perkemen Licin Bulat Ke atas Monopodial 10-15 10-15 Lonjong Hitam Putih lunak Manggis hutan 4 1 4 Lonjong Membelah 8 20 Meruncing Menyirip Rata Spt. Perkemen Licin Bulat Ke atas Monopodial Kalambuku 20 1.5 7 Jorong majemuk menyirip Terbelah 7 15-20 Meruncing Menyirip Rata Spt. Kertas Agak kasar Bulat Tegak lurus Simpodial 4 7 Carnosus Kelidang 30 4.55 15 Jorong Runcing 10 30 Meruncing Menyirip Rata Spt. Kertas Licin Bulat Tegak lurus Simpodial Srikaya besar 4 0.5 3 Memanjang Runcing 10 15-20 Meruncing Menyirip Rata Spt. Kertas Licin Bulat Tegak lurus Simpodial 10-15 15-20 Majemuk Abu-abu Lunak manis Berair Tanah lembab Ukuran buah lebih besar dari pada srikaya biasa

Khairullah et al.

Tanah lembab Tanah lembab Ukuran buah lebih besar dari pada. manggis biasa

Tanah lembab

Tanah lembab

221

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.4. SUMBERDAYA HAYATI BIOTA TANAH Sumberdaya hayati biota tanah yang dimaksud di sini mencakup makrofauna, mesofauna, dan bakteri selulotik tanah baik di lahan lebak maupun lahan gambut. Di lahan lebak Kalimantan Selatan, beberapa famili makrofauna yang aktif di permukaan tanah dan di dalam tanah adalah : Gryllidae, Lycosidae, Carabidae, Spirobolidae, Araneidae, Polydesmidae, Formicidae, Staphylinidae, Pyrrocoridae, Pentatomidae, Glomeridae, Thomisidae, Megascolecidae, Glosscolecidae, dan Blatidae. Sedangkan mesofauna tanah dominan pada semua tipe penggunaan lahan adalah Ordo Acarina, kecuali pada lahan parupuk yang didominasi oleh Ordo Hymenoptera (Famili Formicidae) (Raihan, 2004). Populasi makrofauna yang aktif di permukaan tanah berbeda menurut penggunaan lahan lebak dan musim. Pada musim hujan populasi makrofauna tertinggi ditemui pada lahan waluh dan terendah pada lahan karet. Pada musim kemarau, lahan jagung menunjukkan populasi tertinggi dan yang terendah lahan karet (Raihan, 2004). Populasi makrofauna tanah ini lebih dominan ditemui pada musim hujan daripada musim kemarau. Tipe penggunaan lahan sangat mempengaruhi komposisi dan populasi makrofauna tanah. Iklim mikro (kelembaban dan suhu tanah) serta sumber makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi diversitas dan populasi makrofauna tanah (Levelle, 1994). Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah pada musim hujan tertinggi dijumpai pada lahan parupuk dan terendah pada lahan karet. Pada musim kemarau, populasi makrofauna di dalam tanah tertinggi ditemui pada lahan jagung dan yang terendah pada lahan (Raihan, 2004). Dominasi makrofauna ini pada musim hujan terdapat pada lahan yang ditanami padi dan lahan parupuk, sedangkan lahan lainnya dominasinya terjadi pada musim hujan, terutama lahan waluh/jagung. Perbedaan ini disebabkan adanya dominasi formicidae (semut) pada lahan bekas waluh akibat adanya sisa-sisa bahan organik dari tanaman waluh yang belum terdekomposisi. Semut dapat bertindak sebagai dekomposer bahan organik dan meningkatkan pori makro, sehingga meningkatkan aerasi tanah (Coleman dan Crossley, 1995). Diversitas makrofauna yang aktif di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau yang terendah dijumpai pada lahan terlantar, sedangkan pada musim hujan tertinggi ditemui pada lahan parupuk. Pada musim kemarau diversitas makrofauna di permukaan tanah tertinggi pada lahan waluh dan makrofauna di dalam tanah tertinggi pada lahan parupuk. Tingginya diversitas makrofauna yang

222

Khairullah et al.

aktif di dalam tanah pada lahan parupuk disebabkan oleh kondisi pH tanah, kelembaban, dan suhu tanah yang sesuai untuk mendukung aktivitas dan kehidupan makrofauna tanah. Terdapat hubungan yang nyata antara diversitas makrofauna yang aktif di dalam tanah dengan dengan pH tanah dan kandungan N-total tanah. Makrofauna tanah dominan yang mempunyai hubungan dengan kualitas tanah lebak adalah populasi cacing tanah, biomassa cacing tanah, dan populasi semut besar (Raihan, 2004). Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi dijadikan bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa cacing, populasi semut (Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Populasi makrofauna yang aktif di permukaan dan di dalam tanah pada beberapa penggunaan lahan menunjukkan adanya perbedaan. Makrofauna tanah yang aktif di permukaan tanah tertinggi saat musim hujan dijumpai pada lahan hortikultura dan yang terendah pada lahan terlantar. Pada musim kemarau populasi tertinggi di lahan karet dan yang terendah di lahan terlantar. Populasi makrofauna yang aktif di dalam tanah baik pada musim hujan maupun kemarau yang tertinggi pada lahan nanas dan terendah pada lahan terlantar (Alwi et al., 2004). Perbedaan populasi ini menunjukkan adanya perbedaan kondisi lingkungan. Di lahan nanas didominasi oleh rayap (termitidae) yang memakan sisa-sisa tanaman yang telah mati. Rayap berperan dalam dekomposisi bahan organik, pembentukan struktur tanah, dan ketersediaan unsur hara (Black dan Okwako, 1997). Diversitas makrofauna tanah yang aktif di permukaan dan di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau tertinggi di lahan hortikultura. Hal ini karena adanya pengelolaan lahan dengan pemberian abu, kapur, dan pupuk kandang sehingga memperbaiki kualitas tanah sekaligus lingkungan hidup mikroorganisme tanah (Alwi et al., 2004). Menurut Baker (1998), kelimpahan biomassa dan diversitas makrofauna tanah dipengaruhi oleh pktek pengelolaan lahan dan penggunaan lahan. Diversitas makrofauna yang aktif di permukaan tanah pada musim hujan menunjukkan hubungan nyata dengan C-organik dan C/N rasio tanah, sedangkan makrofauna di dalam tanah pada musim hujan dan kemarau menunjukkan hubungan nyata dengan pH, C-organik, C/N rasio, dan kadar air tanah gambut. Populasi bakteri selulotik pada lahan gambut di Kalimantan Tengah sangat beragam. Isolasi bakteri selulotik pada tanah gambut diperoleh 28 isolat, dan dua isolat diantaranya mempunyai kemampuan menghidrolisa selulosa yang tinggi, yaitu BarH 4,2 dan Bar5K 4,1 (Alwi et al., 2004).

223

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

7.5. SUMBERDAYA HAYATI PERIKANAN Lahan lebak di Kalimantan Selatan memiliki peranan penting sebagai tempat ikan mencari makan, selain peranannya sebagai tempat pembesaran dan pemijahan ikan. Peranan lahan lebak dalam musim hujan meningkatkan keanekaan jenis ikan. Pada awal musim hujan ditemukan 96 jenis ikan : yang termasuk dalam 47 famili dan 11 ordo. Diperkirakan sekurang-kurangnya ada 200-300 jenis ikan yang terdapat di lahan lebak. Penangkapan ikan merupakan sumber ekonomi yang penting di lahan lebak. Usaha ini merupakan pekerjaan utama bagi penduduk pada awal musim hujan dan sebagai pekerjaan sambilan di luar musim tersebut (Chairuddin, 1989). Di tingkat nelayan di lahan rawa Kalimantan Selatan, jenis ikan digolongkan atas ikan sungai dan ikan danau-rawa. Ikan sungai disebut ikan putih tak bersisik, ikan putih bersisik dan ordo Ostariophysi. Umumnya jenis ikan ini termasuk pendatang di perairan danau-rawa. Sedangkan ikan danau-rawa disebut ikan hitam, yang umumnya termasuk dalam ardo Labyrinthici. Kepadatan relatif ikan di lahan lebak berturut-turut dari yang tertinggi sampai rendah adalah papuyu, haruan (Ophiocephalus striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis), dan biawan (Helestome temminckii) (Chairuddin, 1989). Kondisi hidrologi lahan lebak memungkinkan kesinambungan rantai makanan berdasarkan proses penggenangan di awal musim hujan dan penurunan kedalaman di musim kemarau. Pada musim kemarau Iahan lebak menjadi kering atau pada cekungan lahan masih berair. Saat itu hanya ikan jenis Labyrinthici yang dapat bertahan hidup. Di awal musim hujan, ikan rawa mulai memijah, anak ikan mulai menyebar dengan sedikit gangguan dari pemangsa yang belum memasuki perairan ini. Pada pertengahan musim hujan, banyak ikan sungai yang masuk lebak untuk aktivitas makan dan pemijahan. Ikan putih tergolong herbivora seperti payau, jelawat, dan kelabau (famili Cyprinidae) yang memanfaatkan ketersediaan makanan di perairan ini ikan omnivor memperoleh organisme yang beragam dan berlimpah. Keadaan ini dimanfaatkan pula oleh ikan carnivor untuk memangsa ikan-ikan kecil yang mengalami pertumbuhan pesat (Chairuddin, 1989). Fluktuasi air baik kuantitas maupun kualitas yang terlampau besar pada awal musim hujan sering menentukan kehidupan ikan. istilah "air bangai yang dicirikan oleh kemasaman yang tinggi, Kadar sulfat yang tinggi. Kadar oksigen

224

Khairullah et al.

yang rendah, padatan tersuspensi yang tinggi yang umumnya terjadi pada awal musim hujan, dapat menyebabkan kematian ikan yang cukup tinggi. Pada saat itu populasi ikan sungai menurun di perairan lebak. tetapi setelah satu atau dua bulan "air bangai yang berwarna hitam digantikan oleh air putih. di mana banyak ikan sungai yang bermigrasi ke perairan lebak (Chairuddin, 1989). PENUTUP Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang memiliki keanekaan hayati yang cukup tinggi dan kompleks meliputi beragam tanaman yang mempunyai sifat unggul, pohon komersial, ikan, dan ternak yang khas rawa. Selain itu juga terdapat keragaman biota tanah berupa makroflora. Tanaman pangan yang banyak terdapat di lahan rawa adalah padi varietas lokal. Selain disukai oleh masyarakat setempat, padi lokal ini memiliki keunggulan toleran terhadap keracunan besi dan memiliki kadar Fe dan Zn dalam beras yang cukup tinggi. Tanaman buah-buahan in-situ di lahan rawa seperti jenis rambutan, durian, mangga, manggis, nangka. Selain itu, terdapat pula jenis tanaman eksotik seperti lembutung, kalambuku, kelidang, manggis besar, srikaya besa, dan durian merah (lahong). Tanaman-tanaman ini memiliki kekhasan dan keunggulan tertentu yang merupakan sumber genetik potensial untuk dijadikan sebagai sumber gen di dalam perakitan varietas unggul baru. Terdapat sekitar 96 jenis ikan yang termasuk dalam 47 famili dan 11 ordo. Diperkirakan sekurang-kurangnya ada 200-300 jenis ikan yang terdapat di lahan rawa lebak. Ikan danau-rawa alami (ikan hitam) termasuk dalam ordo Labyrinthici. Kepadatan relatif ikan di lahan rawa lebak adalah papuyu, haruan (Ophiocephalus striatus), sepat siam (Trichopodus pectoralis), dan biawan (Helestome temminckii). Sumberdaya hayati biota tanah mencakup makrofauna, mesofauna, dan bakteri selulotik tanah. Beberapa famili makrofauna yang aktif di permukaan dan di dalam tanah di lahan rawa lebak adalah: Gryllidae, Lycosidae, Carabidae, Spirobolidae, Araneidae, Polydesmidae, Formicidae, Staphylinidae, Pyrrocoridae, Pentatomidae, Glomeridae, Thomisidae, Megascolecidae, Glosscolecidae, Blatidae. Mesofauna tanah dominan adalah ordo Acarina dan Hymenoptera (Famili Formicidae). Di lahan gambut, makrofauna tanah yang berpotensi

225

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

dijadikan bioindikator kualitas tanah gambut adalah populasi cacing, biomassa cacing, populasi semut (Formicidae), dan milipida (Polydesmidae). Informasi keragaman jenis dan varietas tanaman, species ikan, dan biota tanah sangat penting artinya baik ditinjau dari segi sumberdaya genetik maupun pemanfaatannya secara langsung dan tidak langsung. Sifat adaptif dari beragam jenis tanaman dan ikan dapat dijadikan sebagai sumber gen dalam perakitan varietas unggul yang baru. Ikan selain dapat dimanfaatkan secara langsung dapat pula dijadikan sebagai salah satu sumber genetik perikanan khas rawa. Keragaman makrofauna dapat dijadikan sebagai bioindikator kesuburan di lahan rawa, sehingga memudahkan di dalam pengelolaan lahan tersebut untuk berbagai komoditas unggulan.

DAFTAR PUSTAKA Alwi, M., S. Saragih, dan Y. Lestari. 2004. Komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk meningkatkan produktivitas dan konservasi lahan gambut. Dalam Laporan Akhir TA 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. BIP Banjarbaru. 1984. Mengenal ubi alabio Liptan. Balai Informasi Pertanian. Banjarbaru. Baker, G.H. 1998. Recognising and responding to the influences of agriculture and other land use practices on soil fauna in Australia. App. Soil Ecol. 9:303-310. Balittra. 2001. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Black, H.I.J. and Okwakol. 1996. Agricultural intensification, soil biodiversity, and agroecosystem function in tropic: the rore of termites. App.Soil Ecol. 6:3753. Chairuddin, T. 1989. Keberadaan dan konservasi lahan basah Kalimantan Selatan: peranannya sebagai "feeding ground" dan keanekaan jenis ikan. Workshop Conservation of Sungai Negara Wetlands. Barito Basin, South Kalimantan. Kerjasama UNLAM, Kompas Borneo, Ditjen PHPA, dan Asian Wetland Bureau. Banjarbaru, 6-8 March 1989. Coleman, D.C. and D.A. Crossley. 1995. Fundamental of Soil Ecology. Academic Press. New York.

226

Khairullah et al.

Galib, R., D.I. Saderi, H.R. Itjin, M. Saleh, dan Chairuddin. 1994. Analisis sistem komoditas ubi jalar, ubi alabio dan ubi negara, dan perbaikan teknologi budidayanya. Dalam. Laporan Hasil Penelitian Proyek Penelitian Tanaman Pallgan Banjarbaru. Balittan Banjarbaru. Hlm 131-359. Idak, H. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan. Pemda Tk. I Kalimantan Selatan. Banjarmasin. Hlm 40. IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice. Int. Ric. Test. Prog. Int. Ric. Res. Ins. Manila, Philippines. Khairullah, I., M. Imberan, dan S. Subowo. 1998. Adaptabilitas dan akseptabilitas varietas padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientiae 47:38-50. Khairullah, I., Mawardi, S. Sulaiman, dan M. Sarwani. 2003. Inventarisasi dan karakterisasi plasma nutfah tanaman pangan di lahan rawa. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Khairullah, I., R. Humairie, M. Imberan, S. Subowo, dan S. Sulaiman. 2004, Varietas lokal padi pasang surut Kalimantan Selatan: karakterisasi dan pemanfaatan. Dalam. Astanto, et al. (Eds.). Prosiding Lokakarya Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) VII. Dukungan Pemuliaan terhadap Industri Perbenihan pada Era Pertanian Kompetitif. PERIPI-Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Ubi-ubian. Malang. Lavelle, P. 1994. Sil fauna and sustainable land use in the humid tropics. In D.J. Greenland and I. Szaboles (Eds.). Soil resiliense and sustainable land use. CAB. International, OXON.. Raihan, S. 2004. Penelitian komponen teknologi pengelolaan lahan terpadu untuk optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan lebak. Dalam Laporan Akhir TA 2004. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Saleh, M. 1995. Kinerja beberapa varietas lokal ubi alabio di lahan rawa lebak Kalimantan Selatan. Dalam M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib, dan Sjachrani A (Eds.). Aspek Teknologi Budidaya dan Sosial Ekonomi Ubi-ubian di Kalimantan Se!atan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru. Sastrapraja, S.D. dan M.A. Rifai. 1989. Mengenal sumber pangan nabati dan plasma nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah NasionalPuslitbangtan Bioteknologi-LIPI Bogor. Sulaiman, S., M. Imberan, dan I.K. Muhammad. 2000. Galur harapan padi pasang surut hasil persilangan Siam unus dengan varietas unggul. Dalam: T. Alihamsyah, M. Sabran, S. Sulaiman, R. Ramli, A. Hartono, dan D.

227

Sumberdaya Hayati Pertanian Lahan Rawa

Djauhari (Eds.). Prosiding Hasil-hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Palangkaraya. Palangkaraya. Sumarno. 1994. Strategi pengelolaan plasma nutfah nasional. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Plasma Nutfah Pertanian. BLPP Ketindan-Balittan Malang. SWAMPS-II. 1990. Laporan tahunan 1988/89. Proyek Pengembangan Lahan Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian. SWAMPS-II. 1991. Laporan tahunan 1989/99. Proyek Pengembangan Lahan Pasang Surut dan Rawa. Badan Litbang Pertanian. William, E., M. Imberan, dan I. Khairullah. 1995. Identifikasi klon; klon lokal ubi jalar di Kalimantan Selatan. Dalam. M.Y. Maamun, Masganti, Mukhlis, R. Galib, dan Sjachrani A. (Eds.). Aspek Teknologi Budidaya dan Sosial Ekonomi Ubi-ubian di Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Banjarbaru.

228

VIII

KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA


Abdurachman Adimihardja, Kasdi Subagyono, dan M. Al-Jabri

229

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

8.1. PENGERTIAN Pada umumnya lahan pertanian di Indonesia, baik lahan sawah, lahan kering maupun lahan rawa selalu mengalami proses degradasi dengan intensitas yang berlainan, yang disebabkan oleh perlakuan manusia dan faktor alam. Proses yang destruktif tersebut mengakibatkan penurunan kualitas tanah dan tingkat produktivitas lahan. Apabila dibiarkan terus berlanjut, produktivitasnya akan menurun terus, sehingga mencapai tingkat yang sangat rendah atau tidak produktif sama sekali. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan melalui penerapan tindakan konservasi tanah dan air, serta rehabilitasi lahan, yang seharusnya merupakan bagian dari usaha budidaya pertanian. Konservasi diartikan sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya proses degradasi lahan pertanian. Sedangkan rehabilitasi merupakan upaya meningkatkan kembali produktivitas lahan yang sebelumnya telah mengalami degradasi. Apabila dibandingkan dengan lahan sawah maupun lahan kering, lahan rawa lebih memerlukan upaya konservasi, dan kehati-hatian dalam mengelolanya. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), lahan rawa tergolong ekosistem yang tidak saja marginal tetapi juga fragil, sehingga untuk menjadikannya produktif diperlukan perencanaan yang teliti, pemanfatan dan penerapan teknologi yang sesuai, serta pengelolaan tanah dan air yang tepat. Pengelolaan lahan pertanian rawa yang salah di berbagai lokasi di Kalimantan dan Sumatera, telah mengakibatkan perubahan karakteristik tanah, dan menurunkan produktivitasnya, bahkan sebagian menjadi tidak produktif sama sekali. Lahan yang telah mengalami degradasi berat, biasanya sulit sekali direhabilitasi dan memerlukan biaya tinggi. Untuk menilai apakah degradasi lahan sudah mencapai suatu batas yang merugikan, telah ditetapkan kriteria kerusakan beberapa sifat tanah, seperti tercantum pada Tabel 8.1 (Peraturan Pemerintah No. 150, tahun 2000). Agar kondisi lahan tidak lebih rendah dari batas ambangnya, maka penggunaan lahan rawa seyogyanya mengikuti pola yang teratur. Dalam kondisi belum terganggu, pada dasarnya di antara sungai-sungai alami di kawasan rawa pasang surut dijumpai lahan dengan gambut sangat dalam. Dari tengah ke arah sungai-sungai alami dijumpai gambut dangkal, tanah sulfat masam potensial, dan lahan-lahan yang terpengaruh oleh luapan sungai. Variabilitas tanah ini berimplikasi pada pola penggunaannya yang juga bervariasi tergantung pada hidrotopografi.

230

Abdurachman et al.

Tabel 8.1. Kriteria kerusakan tanah untuk lahan rawa


No. 1 2 Sifat dasar tanah Subsidensi gambut dari atas parit Kedalaman lapisan berpirit dari permukaan tanah Kedalaman air tanah dangkal Redoks untuk tanah bergambut (mV) Redoks untuk gambut (mV) pH (H2O) 1: 2,5 Daya hantar listrik (DHL) Jumlah mikroba Ambang kritis > 35 cm / 5 tahun < 25 cm, pH H202 < 2,5 > 25 cm > 100 Metode ukur Pengukuran langsung Reaksi oksidasi & pengukuran langsung Pengukuran langsung Tegangan listrik Peralatan Patok subsidensi Cepuk plastik H2O2, pH meter, meteran Meteran pH meter, elektroda platina pH meter.elektroda platina pH meter, pH stik EC meter Petridish, colony counter

3 4

5 6 7 8

> 200 < 4,0 ; > 7,0 > 4,0 mS/cm < 100 cfu/g tanah

Tegangan listrik Potensiometrik Tahanan listrik Plating technique

Sumber: PP No. 150, 2000

8.2. DEGRADASI LAHAN Berdasarkan kondisi hidrologinya, lahan rawa dapat dibedakan menjadi lahan rawa pasang surut dan non pasang surut yang disebut juga lahan rawa lebak. Lahan rawa pasang surut lebih sensitif terhadap proses degradasi dibandingkan dengan lahan rawa lebak, karena pada lahan tersebut dijumpai tanah-tanah bermasalah, yaitu tanah sulfat masam dan tanah gambut. Kemasaman, keracunan (toxicity), penurunan permukaan tanah (subsidence), gambut kering tak balik (irreversible drying effect), kualitas air yang buruk merupakan masalah-masalah utama yang akan muncul jika salah dalam mengelola lahan rawa pasang surut. Sedangkan pada lahan rawa lebak hampir tidak dijumpai proses degradasi tersebut. Ada 2 prinsip dasar yang harus dipertimbangkan di dalam pengelolaan lahan rawa, yaitu (a) apakah lahan rawa akan direklamasi secara total (total reclaimed), atau (b) hanya direklamasi sebagian (minimum disturbance). Kedua prinsip tersebut perlu ditetapkan sebelum memutuskan untuk mengelola lahan

231

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

rawa, baik untuk pertanian, pemukiman transmigran maupun untuk penggunaan yang lainnya. Strategi yang akan dikembangkan di dalam mengelola lahan rawa berbeda antara kedua prinsip tersebut. Widjaja-Adhi (1997) mengemukakan beberapa faktor penyebab degradasi pada lahan rawa, antara lain (a) reklamasi lahan dengan membangun saluran drainase dalam dimensi besar, yang memungkinkan drainase berlebihan (over drain) yang mengakibatkan pirit teroksidasi dan gambut mengering tak balik (irreversible drying effect), (b) penerapan sistem pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan, (c) pembakaran gambut yang berakibat pada munculnya tanah sulfat masam yang umumnya berada di bawahnya. Di Indonesia, seluas 20,1 juta ha lahan rawa pasang surut telah direklamasi untuk pertanian yang dimulai sejak Repelita I tahun 1969. Kondisi lahan setelah reklamasi menjadi rusak karena proses pemasaman tanah. Pembukaan lahan untuk menunjang program transmigrasi dilaksanakan dengan membangun jaringan irigasi/drainase dalam dimensi besar. Penggalian saluran dalam ukuran besar tersebut mengakibatkan tereksposnya lapisan pirit (FeS2) hingga teroksidasi, dan tanah menjadi masam. Pengalaman-pengalaman di dalam mengkonservasi, mereklamasi, dan merehabilitasi lahan rawa pasang surut dilakukan melalui berbagai proyek seperti P4S, P3S, LAWOO-AARD, SWAMPS I dan II, ISDP, dan SUP serta kegiatan-kegiatan penelitian yang dilaksanakan oleh Proyek Pengelolaan Sumberdaya Lahan Balai Penelitian Tanah akan diuraikan dan didiskusikan. Analisis kebijakan disertakan sebagai implikasi pengelolaan lahan rawa pasang surut dan dampaknya terhadap lingkungan. 8.2.1. Degradasi lahan sulfat masam Tanah sulfat masam berkembang dari bahan induk besi sulfida yang kaya kandungan besi dan sulfur (FeS). Pirit terakumulasi pada tanah tergenang yang kaya kandungan bahan organik dan mendapat tambahan sulfur yang umumnya dari air laut (Dent, 1986). Pembentukan pirit digambarkan dengan reaksi sebagai berikut : Fe2O3 + 4 SO42- + 8 CH2O + O2 2 FeS2 + 8 HCO3- + 4 H2O ...... (1)

232

Abdurachman et al.

Pembentukan pirit membutuhkan sumber unsur besi (dari sedimen), unsur sulfur (umumnya dari air laut), bakteri pereduksi (telah ada di hampir seluruh kawasan pantai), sumber energi (bahan organik dari bakau), dan pada kondisi pasang surut (Van Mensvoort, 1996). Tanah sulfat masam terbentuk oleh oksidasi bahan sulfidik dimana konsentrasi asam sulfat yang dihasilkan dari oksidasi senyawa sulfur tersebut melebihi konsentrasi basa-basa yang mempunyai kemampuan menetralisir kemasaman dan pH menurun di bawah 4 (Pons dan van Breemen, 1982). Degradasi pada lahan sulfat masam umumnya didominasi oleh (a) proses pemasaman tanah dan air sebagai akibat dari oksidasi pirit, dan (b) pencucian basa-basa sebagai dampak dari pencucian asam. Pemasaman yang terjadi dapat dibedakan menjadi dua yaitu, (a) pemasaman in-situ, dan (b) pemasaman akibat aliran air. a. Pemasaman in-situ Pada kondisi tereduksi (saat tergenang air), pirit dapat dipertahankan stabil. Tetapi pada saat permukaan air bawah permukaan (groundwater) menurun hingga melebihi kedalaman lapisan pirit, pirit akan teroksidasi dan tanah menjadi masam. Kondisi ini bisa terjadi pada saat reklamasi dijalankan dengan menggali saluran-saluran irigasi/drainase berdimensi besar, seperti saluran primer, sekunder, dan tersier. Pirit teroksidasi menghasilkan asam sulfat dengan tahapan reaksi sebagai berikut : FeS2(s) + 7/2 O2 (aq,g) + H2O Fe2+ (aq) + 1/4 O2 (aq,g) + H+ FeS2(s) + 14 Fe3+(aq) + 8 H2O Fe2+(aq) + 1/4O2(aq,g) + 3/2H2O Fe2+ (aq) + 2 SO42- (aq) + 2 H+ .................(2) Fe3+ (aq) + H2O ....................................(3) 15 Fe2+(aq) + 16 H+(aq) + 2SO42-(aq) .....(4) FeO.OH(s) + 2 H+............................(5)

Meskipun besi III oksida merupakan hasil reaksi, jarosite umumnya terbentuk lebih awal, dengan reaksi sebagai berikut (Van Breemen, 1972) : FeS2+15O2+5/2H2O+ K+ KFe3(SO4)2(OH)6+4/3SO42-+3H+ ......(6)

233

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Jarosite stabil pada kondisi teroksidasi dan masam, yaitu pada nilai redoks potensial > 400-500 mV dengan pH 2-4. Jika konsentrasi asam sulfat (H2SO4) yang terbentuk pada reaksi (4) melebihi kapasitas penyangga (buffering capacity) tanah, pH tanah akan menurun kurang dari 4. Pemasaman akibat oksidasi pirit merupakan proses degradasi yang berakibat pada penurunan produktivitas lahan. Pada kondisi pH kurang dari 4, aluminium akan terlarut dalam larutan tanah yang akan mencapai konsentrasi yang meracuni tanaman (Moorman dan Van Breemen, 1978). Dent (1986) mereview beberapa penelitian sebelumnya mengenai masalah-masalah yang akan muncul jika tanah sulfat masam dikelola untuk tanaman lahan kering, yaitu kelarutan aluminium (Al3+), besi III (Fe3+), mangan (Mn2+), dan ion hidrogen (H+) meningkat, ketersediaan fosfat menurun akibat terbentuknya aluminium-fosfat yang tidak larut, basa-basa tertukar menjadi menurun, dan terjadi defisiensi hara. Pada kondisi tergenang, misalnya jika tanah sulfat masam dikelola untuk padi sawah atau kolam ikan, kemasaman bisa dikurangi, tetapi akan muncul permasalahan baru, yaitu keracunan besi II (Fe2+), keracunan hidrogen sulfida (H2S), dan keracunan CO2 dan asam-asam organik jika bahan organik tinggi. Keracunan besi pada lahan sawah berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman padi (Gambar 8.1). Pada musim kering, tanah-tanah di daerah rawa pasang surut secara fisik mengalami retakan (cracking) tergantung dari tipe mineral liat tanahnya. Meskipun tidak semua tanah sulfat masam didominasi mineral liat tipe 2:1 (smectite), tetapi jika proporsinya cukup tinggi maka pada kondisi kering tanah mudah menjadi retak, dan pada kondisi tergenang pada saat musim hujan tanah mengembang. Retakan-retakan di permukaan (top soil) ini bisa mengakibatkan masuknya oksigen ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, dan pirit akan teroksidasi. Menurut Hanhart dan Duong van Ni (1993), proses pemasaman dapat disebabkan oleh 3 proses, yaitu (a) difusi, (b) retakan (cracking), dan (c) pencucian (leaching) asam-asam dari saluran-saluran air. Pengaruh ketiga proses tersebut terhadap proses pemasaman tanah diilustrasikan pada Gambar 8.2.

234

Abdurachman et al.

Gambar 8.1. Keracunan besi pada lahan sawah di kawasan lahan pasang surut bertanah sulfat masam

Gambar 8.2. Pengaruh proses difusi, retakan (cracking) dan pencucian (leaching) terhadap pemasaman pada tanah sulfat masam (Sumber: Hanhart dan Duong van Ni, 1993)

235

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

b. Pemasaman akibat aliran air Selain proses in-situ sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses pemasaman di suatu tempat di kawasan lahan rawa pasang surut bertanah sulfat masam atau gambut dapat disebabkan oleh aliran air masam yang berasal dari tempat-tempat yang telah mengalami pemasaman. Salah satu contoh proses pemasaman yang disebabkan oleh aliran air yang berasal dari hutan sekunder yang telah mengalami pemasaman akibat reklamasi dan aktivitas manusia di dalam hutan tersebut dijumpai di Unit Tatas, Kalimantan Tengah (Kselik et al., 1993). Pengaruh buruk dari aliran air masam tersebut dapat ditanggulangi dengan membangun saluran drainase intersepsi (interceptor drained) antara hutan sekunder dengan lahan yang dikelola (Gambar 8.3). Saluran drainase intersepsi sangat nyata pengaruhnya dalam memperbaiki kualitas air di lahan pertanian (Gambar 8.3). Konsentrasi sulfat (SO42-) pada lahan di dekat hutan sekunder jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dikelola untuk padi sawah. Demikian juga hal yang sama dijumpai untuk konsentrasi besi II (Fe2+). Sebaliknya pH meningkat ke arah menjauh dari hutan sekunder. Hal ini karena aliran air yang masam dengan konsentrasi SO42- dan Fe2+ yang tinggi dari hutan sekunder terhalang oleh saluran drainase intersepsi. Air dari hutan sekunder yang masuk ke saluran drainase tersebut selanjutnya dibuang pada saat air surut. Saluran drainase intersepsi yang diaplikasikan di Unit Tatas, Kalimantan Tengah berdimensi lebar 1 m dan dalam 1 m dengan panjang yang mengikuti lebar petakan lahan sawah. Meskipun kemasaman yang timbul bisa dinetralisir dengan pemanfaatan kapur (Charoenchamratcheep et al., 1982; Ponnamperuma dan Solivas, 1982; Moctar Toure, 1982; Smilde, 1990), tetapi kebutuhan kapur tergolong tinggi terutama jika kandungan pirit di dalam tanah masih tinggi (Dent, 1986). Pencucian (flushing) sebagai salah satu strategi pengelolaan air tidak hanya mengurangi kemasaman, tetapi berdampak pada tercucinya basa-basa yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Dari penelitiannya di Unit Tatas, Kalimantan Tengah pada tanah sulfat masam aktual dengan tipe luapan B dengan menerapkan sistem aliran satu arah untuk pencucian, Subagyono et al. (1994) menemukan bahwa selain mencuci, asam Ca2+ dan Mg2+ juga ikut tercuci. Hal ini terbukti bahwa kandungan Ca2+ dan Mg2+ di dalam tanah pada lahan yang dicuci lebih rendah dari pada lahan yang digenangi (Gambar 8.4). Tanpa introduksi kapur sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+, tanah akan mengalami defisiensi unsur hara tersebut. 236

Abdurachman et al.

Musim kemarau Lahan pertanian

Hutan

Zona dengan oksidasi pirit intensif, kemasaman, dan keracunan

Musim hujan

Tinggi muka air tanah

Aliran air masam dan unsur beracun dari hutan ke saluran sekunder melalui lahan pertanian

Musim hujan

Saluran drainase intersepsi

Saluran drainase intersepsi, ke saluran sekunder

Aliran air masam dan unsur beracun ke saluran drainase intersepsi

Gambar 8.3. Aliran air masam bawah tanah dari hutan sekunder ke lahan pertanian dan pengaruh saluran drainase intersepsi dengan modifikasi (interceptor drain) (Sumber: Kselik et al., 1993)

237

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

3.5 Penggenangan Pencucian

Konsentrasi (me/100 g)

2.5

1.5

0.5

0
Fe Fe2+
2+

Ca2+

Ca Mg2+

2+

Mg

2+

Gambar 8.4. Dampak negatif pencucian terhadap konsentrasi basa-basa pada kedalaman tanah 0-20 cm yang berpotensi sebagai penyebab degradasi lahan dengan modifikasi (Sumber: Subagyono et al., 1994)

8.2.2. Degradasi lahan gambut Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai lapisan gambut pada berbagai ketebalan (Widjaja-Adhi, 1988) : (a) gambut dangkal (50-100 cm), (b) gambut sedang (100-200 cm), (c) gambut dalam (200-300 cm), dan (d) gambut sangat dalam (> 300 cm). Sedangkan lahan dengan ketebalan gambut < 50 cm disebut lahan bergambut. Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992), gambut dalam sering disebut lahan tidak layak huni, oleh karena itu lahan gambut yang direkomendasikan untuk program transmigrasi hanya yang ketebalannya < 200 cm. Hal ini didasarkan pada pengalaman selama program Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S), petani transmigran pada lahan dengan gambut 238

Abdurachman et al.

dalam, sebagian besar meninggalkan lahannya. Gambut dalam memang tidak cocok untuk sawah (Widjaja-Adhi, 1988), karena tingginya perkolasi dan rendahnya daya topang (low bearing capacity). Namun petani-petani di Riau dapat mengusahakan kebun, terutama kelapa dan membangun rumah mereka di lahan gambut. Secara umum gambut mempunyai berat isi (bulk density) yang rendah, berkisar antara 0,05-0,25 g/cm3, dan gambut yang telah direklamasi akan lebih padat dengan berat isi berkisar antara 0,1-0,4 g/cm3. Berat isi ini meningkat, sejalan dengan bertambahnya kandungan mineral atau semakin halusnya ukuran partikel, sesuai dengan tingkat pelapukan gambut (Bouman dan Driessen, 1985). Berat isi dapat dijadikan indikasi kepadatan tanah, sekaligus merupakan indikasi daya topang gambut terhadap beban di atasnya, seperti tanaman, bangunan irigasi, jalan, dan mesin-mesin pertanian. Sesuai dengan tingkat pelapukannya gambut dengan pelapukan rendah (fibric) mempunyai porositas lebih tinggi dari 95%. Gambut dengan pelapukan lanjut (sapric) memiliki porositas yang lebih rendah, tetapi masih lebih tinggi dari 80%. Gambut dengan tingkat pelapukan menengah mempunyai porositas di antara kedua nilai tersebut. Proses dominan yang menyebabkan degradasi pada lahan gambut adalah penurunan muka tanah (subsidence). Gambut akan mengalami penyusutan volume bila didrainase. Akibatnya lahan ini mengalami penurunan permukaan (subsidence), yang tidak dapat dikembalikan seperti permukaan semula. Sifat ini lebih dikenal dengan irreversible drying effect. Selain itu gambut mempunyai kemampuan menahan beban yang relatif rendah. Menurut Bouman dan Driessen (1985), gambut mempunyai ketahanan penetrasi antara 0-40 kPa, jauh lebih rendah dari tanah-tanah mineral yang mempunyai ketahanan penetrasi bervariasi yaitu 10, 100 atau 1.000 kPa. Ketahanan penetrasi yang rendah ini sangat menyulitkan dalam mekanisasi pertanian. Ketahan geser (shear strength) pada tanah gambut dengan batangbatang kayu yang belum terdekomposisi umumnya sangat rendah. Nilainya berkisar antara 5-20 kPa. Gambut dengan campuran liat (peaty clay) mempunyai ketahanan geser antara 50-120 kPa (Bouman dan Driessen, 1985). Pada umumnya gambut mempunyai permeabilitas yang relatif cepat. Permeabilitas horizontal (lateral permeability) lebih cepat dibanding vertikal. Hal ini harus diperhatikan dalam upaya pengaturan sistem pengelolaan air, baik pada

239

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

tingkat tersier maupun tata air mikro. Beberapa masalah telah dikemukakan oleh Segeren dan Smith (1980) sehubungan dengan drainase lahan gambut. Gambut mempunyai pori-pori yang cukup tinggi dengan kandungan air yang sangat tinggi, karena kemampuannya menahan air yang tinggi dan dengan koefisien konsolidasi yang rendah. Bila lahan gambut dikeringkan (drained), tekanan efektif gambut meningkat. Berat isi gambut pada saat dikeringkan mencapai 1,59 g/cm3, dan menjadi sangat rendah yaitu 0,59 g/cm3 bila tergenang air. Setelah lahan ini dikeringkan, tekanan efektif meningkat sesuai dengan persamaan berikut: (1,590,59)/0,59 x 100% = 169%. Untuk tanah mineral peningkatan ini hanya mencapai 60%. Akibat lain yang timbul apabila lahan gambut dikeringkan adalah terjadinya oksidasi, yang mengakibatkan CO2 dan H2O berkurang atau hilang. Penurunan muka tanah (subsidence) disebabkan oleh 3 proses utama, yaitu (a) hilangnya vegetasi pada lahan gambut, (b) drainase, dan (c) pengurangan bahan-bahan penyusun gambut secara fisik, kimia dan biologi. Drainase pada lahan gambut mempunyai empat pengaruh utama, dan tiga yang pertama berhubungan dengan penurunan permukaan : 1. Pengerutan (shrinkage) di lapisan tanah atas. Tingkat pengerutan tergantung pada ketebalan gambut, iklim dan kondisi drainase. Pengerutan ini mengakibatkan terbentuknya retakan yang akan mempercepat permeabilitas tanah. 2. Oksidasi bahan organik. Kecepatan oksidasi tergantung pada iklim, penggunaan lahan, kedalaman muka air tanah, dan kandungan bahan organik. 3. Tekanan pada lapisan di bawah air tanah. Besarnya tekanan tergantung pada ketebalan lapisan tersebut, kompresibilitas, dan kedalaman muka air tanah setelah didrainase. 4. Pengeringan tak balik (irreversible drying). Penyusutan volume gambut akibat hilangnya volume besar air bisa mencapai kurang lebih 80%. Bila diairi atau digenangi gambut yang telah menyusut ini tidak dapat kembali pada volume semula. Penurunan permukaan gambut sangat bervariasi tergantung pada berat isi dan berat jenis partikel gambut, kedalaman gambut, kedalaman saluran drainase dan periode drainase (Bouman dan Driessen, 1985). Pada Gambar 8.5 dan 8.6 diilustrasikan penurunan muka tanah pada lahan gambut tropika. 240

Abdurachman et al.

Total subsidence terhitung (St)

Waktu (tahun)

Gambar 8.5. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam hubungannya dengan berat isi dan kerapatan partikel (particle density) dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)

Total subsidence terhitung (St)

Waktu (tahun)

Gambar 8.6. Total subsidence terhitung (St) pada lahan gambut tropika dalam hubungannya dengan kedalaman awal saluran drainase dengan modifikasi (Sumber: Bouman dan Driessen, 1985)

241

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Umumnya tanah gambut sangat masam, pH 3-4,5 dan kandungan bahan organik < 5%. Fraksi organik tanah gambut mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa, dan protein, tannin, resin dalam jumlah yang relatif sedikit. Kandungan abu, K2O, P2O5, dan SiO2 pada tanah lapisan atas menurun setelah deforestasi, tetapi CaO dan MgO cenderung meningkat. Kandungan nitrogen tanah gambut berkisar antara 2.000-4.000 kg/ha pada kedalaman 0-20 cm, tetapi hanya sebagian kecil yang tersedia bagi tanaman (Driessen dan Dudal, 1989).

8.3. TEKNOLOGI KONSERVASI Konservasi lahan rawa mencakup kegiatan perlindungan, pengawetan dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya lahan rawa dibedakan menjadi tiga kawasan, yaitu (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan, dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-reklamasi atau non-budidya, sedangkan kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya. Pengelolaan lahan rawa menjaga keseimbangan antara kawasan budidaya dan non-budidaya serta kelestarian sumberdaya alam rawa (Widjaja-Adhi, 1997). 8.3.1. Kawasan non reklamasi Kawasan non reklamasi adalah lahan-lahan yang relatif belum terganggu oleh tindakan manusia, terdiri atas lahan gambut sangat dalam (> 3 m) dengan vegetasi alami. Menurut Widjaja-Adhi (1997), lahan tersebut dapat dijadikan kawasan konservasi dengan berbagai tujuan, antara lain : (a) sebagai kawasan tampung hujan, (b) sebagai kawasan untuk perlindungan hewan dan tanaman langka, dan (c) untuk keperluan penelitian masa depan yang melibatkan ekosistem gambut di lahan rawa pasang surut. Kawasan tampung hujan merupakan daerah penyangga yang berfungsi sebagai penampung dan pendistribusian air untuk keperluan irigasi di musim kemarau untuk sawah-sawah di sekelilingnya. Hutan suaka alam praktis bisa dikembangkan di kawasan ini, karena umumnya masih memiliki vegetasi alami dan sebagai tempat hewan-hewan langka hidup dan berkembang biak.

242

Abdurachman et al.

Di bawah lapisan gambut umumnya adalah tanah sulfat masam potensial, yaitu tanah sulfat masam yang belum mengalami pemasaman karena terpeliharanya kondisi reduksi. Konservasi lahan gambut sekaligus menghindari munculnya tanah sulfat masam di permukaan, dan menghindari degradasi lahan akibat pemasaman tanah. 8.3.2. Kawasan reklamasi Lahan-lahan di kawasan ini umumnya telah mengalami degradasi yang sebagian besar disebabkan oleh proses pemasaman. Penyebab lain dari penurunan produktivitas lahan di kawasan ini antara lain adalah penurunan permukaan tanah (subsidence), genangan (water logging), polusi lingkungan perairan oleh asam-asam organik dan anorganik serta unsur beracun seperti besi (Fe2+), dan keracunan (toxicity) oleh unsur bersifat racun bagi tanaman. Untuk tidak terjadi proses degradasi yang berkelanjutan, maka lahan-lahan di kawasan ini perlu tindakan konservasi. Kawasan ini dicirikan dengan telah dibangunnya jaringan irigasi/drainase. Untuk lahan dengan tanah sulfat masam, mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit merupakan strategi yang bisa dilakukan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tereduksi dan mencegah terjadinya pemasaman akibat oksidasi pirit. Pengelolaan air sekaligus dapat difungsikan sebagai tindakan konservasi tanah. Untuk menghindari kerusakan lahan yang berkelanjutan, sistem pengelolaan lahan harus didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Pada dasarnya sawah merupakan alternatif yang sangat memungkinkan untuk mempertahankan tanah dalam kondisi tergenang dan reduktif. Namun demikian, bervariasinya tipologi lahan pada setiap kawasan dengan tipe luapan yang berbeda berimplikasi pada pola pengelolaan yang berbeda. Widjaja-Adhi et al. (1992) mengetengahkan alternatif sistem pengelolaan rawa pasang surut berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan (Tabel 8.2).

243

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Tabel 8.2. Sistem pengelolaan lahan rawa pasang surut


Tipologi lahan Lahan potensial Lahan sulfat masam Lahan bergambut Gambut dangkal Lahan gambut dalam
1

Tipe luapan/Penggunaan lahan A B C 1 1 Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah/surjan Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah+kbb Sawah/skp 3 skp Sawah+kbb Gogo-sawah/ 4 Surjan Surjan 2 1

D Lahan kering, tan. tahunan, kelapa sawit Lahan kering, tan. tahunan, karet Lahan kering, hortikultura Lahan kering, hortikultura, Kelapa, kelapa sawit

Keterangan : kbb = kedelai budidaya basah, menggunakan pintu tabat (stop log) di saluran tersier, 3 4 skp = surjan kredit dimulai dengan puntukan, 10-15 cm lapisan gambut dicampur dengan tanah mineral di bawahnya Sumber : Widjaja-Adhi et al. (1992)

8.4. REHABILITASI LAHAN RAWA Lahan rawa yang telah terdegradasi dan menurun produktivitasnya perlu direhabilitasi terlebih dahulu, agar usaha pertanian menjadi lebih efisien dan menguntungkan. Pengalaman menunjukkan bahwa pengelolaan air memegang peranan penting dalam keberhasilan rehabilitasi dan pengelolaan lahan rawa (Kselik, 1990; Sevenhuysen, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1990; Ritzema et al., 1993; Mansur et al., 1995; Hanhart dan Duong van Ni, 1993; Subagyono et al., 1997; Kselik et al., 1993; Subagyono et al., 1998). Peningkatan produktivitas lahan dan produksi tanaman akan lebih tinggi jika pengelolaan air ini dikombinasikan dengan pengelolaan tanah melalui pengapuran (liming), pemupukan dan pemberian bahan amelioran. 8.4.1. Pengelolaan air Pengelolaan air berperan sangat penting di dalam rehabilitasi lahan rawa pasang surut bertanah sulfat masam dan gambut. Selama hampir 2 dasa warsa terakhir (1985-2001), penelitian-penelitian pengelolaan air yang dilaksanakan oleh berbagai proyek seperti Proyek SWAMPS II, Proyek kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan Land and Water Research

244

Abdurachman et al.

Group (LAWOO) Belanda, Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu atau Integrated Swamp Development Project (ISDP), Proyek Lahan gambut Sejuta Hektar (PLG) maupun Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat telah menghasilkan komponen teknologi utama pengelolaan air yang meliputi (a) sistem aliran satu arah (oneway flow system), (b) sistem drainase dangkal intensif, (c) sistem drainase intersepsi (interceptor drain), (d) sistem drainase berkala (intermittent drain), (e) irigasi dengan air pasang dan pencucian, dan (f) sistem tabat. a. Konsep dasar Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa pasang surut, pengelolaan air memegang peranan sangat penting. Pada lahan rawa pasang surut bertanah gambut, konservasi air merupakan upaya penting selain upaya drainase lahan. Pengelolaan air dilakukan dengan memperhatikan kedalaman gambut, tingkat pelapukan gambut, lapisan bawah gambut (substratum), ada tidaknya bahan pengkayaan, dan tipe luapan pasang surut. Kawasan konservasi sebagai kawasan tampung hujan dialokasikan di bagian hulu sungai rawa (Widjaja-Adhi et al., 1992). Sementara itu, untuk menanggulangi, mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta untuk meningkatkan hasil komoditas yang dibudidayakan di lahan sulfat masam, pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al., 1993). Berdasarkan kemampuan arus pasang mencapai daratan, maka tipe luapan pada lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi 4 macam tipe luapan (Kselik, 1990; Widjaja-Adhi et al., 1992). Tipe A : Lahan yang selalu terluapi air pasang, baik pada saat pasang maksimum (spring tide) maupun pasang minimum (neap tide). Tipe B : Lahan yang terluapi air pasang pada saat pasang besar. Tipe C : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedalaman muka air tanah kurang dari 50 cm. Tipe D : Lahan yang tidak pernah terluapi air pasang, tetapi air pasang berpengaruh pada air tanah dan kedalaman muka air tanah lebih dari 50 cm. 245

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Gambar 8.7. Tipe luapan air pada lahan rawa pasang surut
(Sumber : Widjaja-Adhi et al., 1992)

Klasifikasi tipe luapan ini didasarkan pada pasang maksimum dan minimum pada saat musim hujan (Gambar 8.7). Untuk musim kemarau, kemampuan arus pasang mencapai daratan berkurang, sehingga perlu perancangan teknik pengelolaan air harus disesuaikan. b. Strategi pengelolaan air Strategi pengelolaan air didasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan. Masing-masing tipologi lahan mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda, sehingga strategi pengelolaan airnya perlu dibedakan. Strategi pengelolaan air secara spesifik dibedakan menjadi 2, yaitu (a) pengelolaan air di tingkat tersier, dan (b) pengelolaan air mikro di lahan petani. Keduanya harus sinergis dengan sistem irigasi/drainase di tingkat makro (primer dan sekunder) yang telah dibangun. Beberapa sistem irigasi/drainase yang telah dibangun sejak Pelita I tahun 1969, antara lain adalah sistem garpu (fork system) atau disebut juga sistem kolam (kolam system), sistem anjir dan handil dan kombinasinya yang dijumpai di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sistem sisir tunggal (single comb system) dan ganda (couple comb system), kombinasi sistem garpu dan sistem sisir dan sistem tangga dijumpai di Sumatera Selatan. Sistem anjir dan handil adalah dua sistem drainase khas penduduk Banjar yang merupakan teknologi lokal. 246

Abdurachman et al.

Pengelolaan air di tingkat tersier Pengelolaan air di tingkat tersier menjembatani pengelolaan air makro dan mikro. Pengalaman di kawasan pasang surut Delta Pulau Petak, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa degradasi lahan akibat pemasaman tanah terjadi setelah saluran-saluran dengan dimensi besar dibangun. Beberapa tahun setelah reklamasi, hasil padi menurun disebabkan oleh keracunan (Roesle et al., tidak dipublikasi). Oleh karena itu, penggalian saluran hendaknya disesuaikan dengan kedalaman lapisan pirit (pada tanah sulfat masam) dan kemungkinan subsidence pada tanah gambut. Sebagaimana dijumpai di Delta Pulau Petak, pengelolaan air di tingkat tersier dilaksanakan diantara 2 saluran tersier, dengan jarak antara saluran tersier 150 m, 200 m, dan 400 m, mengikuti jarak saluran tersier dari sistem drainase garpu (fork system) yang telah ada. Untuk menerapkan sistem pengelolaan air yang sesuai dengan masalah di masing-masing lokasi, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu otomatis (flapgate) atau pintu tabat (stoplog), tergantung strategi pengelolaan air yang diterapkan. Untuk menerapkan pencucian, maka di saluran-saluran tersier dipasang pintu-pintu otomatis yang berbeda arah untuk menciptakan sistem aliran satu arah (one-way flow system), sehingga tercipta saluran tersier sebagai saluran irigasi dan sebagai saluran drainase. Lahan tipe luapan A Prinsip dasar pengelolaan air pada tipologi ini adalah menanggulangi terjadinya proses pemasaman tanah. Banjir sering menjadi kendala pada lahan dengan tipe luapan ini. Oleh karena itu, pengelolaan air dirancang untuk menanggulangi bahaya banjir (Ritzema et al., 1993). Pada musim kemarau panjang, salinitas menjadi masalah yang lebih menonjol dibandingkan dengan kemasaman, sehingga strategi pengelolaan air diarahkan untuk menanggulangi masalah tersebut. Untuk mencegah terjadinya pemasaman tanah, tinggi muka air harus dipertahankan di atas lapisan pirit. Pada lahan ini, lapisan pirit terletak pada

247

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

kedalaman kurang dari 50 cm. Pembuatan saluran irigasi/drainase harus memperhatikan kedalaman lapisan tersebut. Bila kedalaman saluran harus digali melebihi lapisan pirit, tinggi muka air di saluran harus dipertahankan di atas lapisan tersebut dengan pintu tabat (stoplog). Pengelolaan tanah minimum (minimum disturbance) harus dijadikan prinsip dasar agar lahan tetap lestari dan aman. Pembuatan tanggul-tanggul dan penggunaan pompa air merupakan alternatif pengelolaan air untuk mengatasi bahaya banjir dan masalah drainase lahan. Tinggi tanggul harus di atas tinggi luapan maksimum yang mungkin terjadi. Pemompaan dilaksanakan jika perbedaan gradien potensial antara lahan dengan saluran dan sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase secara gravitasi. Perancangan pompa hendaknya memanfaatkan sumberdaya yang ada seperti angin sebagai tenaga, dengan terlebih dulu merancang baling-baling atau kincir angin. Dalam kondisi belum didrainase, mempertahankan air di atas lapisan pirit tidak menjadi masalah karena lahan ini selalu terluapi arus pasang. Namun bila sistem drainase telah dibangun, penurunan muka air harus dikontrol dengan merancang dimensi saluran drainase yang tepat. Untuk mencegah masuknya air pasang yang bergaram, pemasangan pintu-pintu otomatis (flapgate) di saluran tersier sangat dianjurkan. Montoroi et al. (1993) merancang teknik pengelolaan air untuk mengurangi salinitas di lahan sawah dengan strategi (a) mencuci garam pada awal musim hujan, (b) mempertahankan tinggi muka air optimal di lahan sawah selama musim hujan, (c) menghindari genangan air di bagian cekungan lahan, dan (d) membuka pintu dam jika beda tinggi muka air di upstream dan downstream mencapai sekurang-kurangnya 4 cm. Pengaruh teknik pengelolaan air tersebut terhadap salinitas disajikan pada Gambar 8.8. Rancangan pintu ini sangat bervariasi menurut kondisinya. Bila saluran tersier digunakan untuk sarana transportasi, seperti dijumpai di daerah Tabunganen, Kalimantan Selatan, maka pintu air tersebut harus bisa membuka dan menutup ke samping. Bila tidak digunakan untuk transportasi, pintu tersebut dirancang untuk bisa membuka dan menutup ke atas dan ke bawah. Rancangan pintu ini sangat efektif bila bisa berfungsi secara otomatis.

248

Abdurachman et al.

Gambar 8.8. Pengaruh pengelolaan air terhadap daya hantar listrik (DHL) pada tanah sulfat masam di Djiguinoum, Senegal (Sumber: Montoroi et al.,1993) Lahan tipe luapan B Kemasaman pada tanah lapisan atas dan terbatasnya air untuk pencucian merupakan kendala di dalam penerapan teknik pengelolaan air di lahan ini. Tanah sulfat masam aktual umumnya dijumpai di lahan ini, dicirikan oleh reaksi tanah masam dan munculnya keracunan besi (Fe2+) dan aluminium (Al3+) pada tanaman. Untuk mengurangi bahaya kemasaman dan unsur bersifat racun, pencucian dengan sistem aliran satu arah (Gambar 8.9) bisa diterapkan. pengalaman penelitian di Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa kualitas tanah dan hasil tanaman padi dapat diperbaiki (Tabel 8.3) dengan menggunakan sistem tersebut (Subagyono et al., 1997). Pemanfaatan arus pasang dengan sistem aliran satu arah mampu merubah konsentrasi Fe2+ di dalam tanah dari konsentrasi awal 2,8 me/kg (akhir

DHL (dS/M)

249

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

MK 1988) menjadi 0,2 me/kg (awal MK 1992). Konsentrasi Al3+ menurun, dari konsentrasi awal 37,1 me/kg menjadi 17,0 me/kg (Subagyono et al., 1992). Namun demikian konsentrasi kedua unsur tersebut berfluktuasi dari musim ke musim (Gambar 8.10). Selain pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah, fluktuasi konsentrasi tersebut juga sangat ditentukan oleh kondisi iklim dan hidrologi terhadap proses oksidasi dan reduksi di dalam tanah. Pada kondisi tergenang terjadi reduksi besi feri (Fe3+) menjadi besi fero (Fe2+), sehingga konsentrasi Fe2+ terlarut meningkat.

Saluran primer Pintu klep (pemasukan) Saluran sekunder Pintu klep (pemasukan) Pintu klep (pembuangan) Saluran tersier

Saluran kuarter

Pintu klep (pembuangan)

Gambar 8.9. Sistem aliran satu arah (one-way flow system) untuk lahan tipe B dan bertanah sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al., 1997)

250

Abdurachman et al.

5 4.5 4 Fe2+ (me/kg) 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 I II III IV V VI VII VIII Musim Tanam (1988-1992)

Gambar 8.10.

Perubahan konsentrasi Fe2+ di dalam tanah oleh pengaruh penerapan sistem aliran satu arah pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah dengan modifikasi (Sumber : Subagyono et al.,1992)

Tabel 8.3. Pengaruh pencucian dengan sistem aliran satu arah terhadap kualitas tanah dan hasil padi pada tanah Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan B di Unit Tatas, Kalimantan Tengah
Sifat kimia tanah KTP (cmol/kg) KTA (cmol/kg) Bahan organik (%) pH H2O DHL (S/cm) Fe
2+

Pencucian 26,00 44,00 11,12 3,68 84,00 17,94 23,89 3,53

Penggenangan 36,00 45,00 9,28 3,42 98,00 16,98 25,46 2,61

(me/kg)

Al3+ (me/kg) Hasil padi IR-42 (t/ha)

KTP : Kemasaman Total Potensial; KTA : Kemasaman Total Aktual; DHL : Daya Hantar Listrik Sumber : Subagyono et al. (1994)

251

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Lahan tipe luapan C Pada umumnya lahan yang telah direklamasi akan kehilangan lapisan gambut yang berada di atas tanah mineral, yang berpotensi munculnya tanah sulfat masam. Lahan ini terpengaruh arus pasang secara tidak langsung melalui fluktuasi tinggi muka air tanah. Air pasang tidak mampu meluapi permukaan lahan, hanya berfluktuasi di saluran-saluran tersier. Lahan di kawasan pasang surut tipe C didominasi tanah sulfat masam aktual dengan tingkat kerusakan akibat kemasaman cukup tinggi. Keracunan besi dan aluminium umumnya lebih parah dibandingkan dengan tanah-tanah di lahan tipe luapan B. Sebagai contoh dijumpai di Barambai-1 (Sulfic Hydraquent dengan tipe luapan C). Vadari et al. (1990) melaporkan bahwa tanah tersebut sangat masam sampai masam (pH 3,67-5,24), dan kandungan Al3+ mencapai 33,49 me/kg. Pengendalian air dilakukan pada saluran-saluran tersier, yakni dengan mempertahankan muka air yang cukup tinggi di lahan yang dibudidayakan. Oleh karena itu, pada saluran tersier dipasang pintu tabat (stoplog) yang ditujukan untuk mencapai tinggi muka air di atas rata-rata lapisan pirit (Gambar 8.11). Menurut Ritzema et al., (1993), perbaikan sistem drainase dapat dilakukan pada tingkat sekunder dan primer untuk membuang air yang masam pada awal musim hujan. Dari hasil penelitiannya di Karang Agung I, Mansur et al. (1995) melaporkan bahwa produksi padi pada lahan yang dicuci dengan air pasang dan didrainase sedalam 60 cm mencapai 2,6 t/ha, dan hasil padi meningkat hingga 4,3 t/ha jika pengelolaan air dengan cara pencucian ini dikombinasikan dengan pencampuran gambut pada tanah lapisan atas. Lahan tipe luapan D Lahan ini dijumpai pada bagian hulu sungai rawa dan bila belum terganggu masih ditemukan gambut tebal yang pada umumnya masih berupa hutan primer. Untuk sumber air bagi kawasan di sekelilingnya, maka lahan ini harus dikonservasi untuk dijadikan kawasan tampung hujan. Arus pasang surut praktis tidak banyak mempengaruhi hidrologi di kawasan ini. Umumnya tanah sulfat masam di lahan tipologi ini tertutup oleh gambut. Daerah Sakalagun, Kalimantan Tengah adalah salah satu contoh yang mempunyai tipologi lahan seperti ini. Menurut Ritzema et al., (1993), pencucian

252

Abdurachman et al.

tidak dapat dilakukan dengan menggunakan arus pasang, karena posisinya yang cukup tinggi dari pada luapan maksimum arus pasang. Jika daerah-daerah tersebut sudah tidak tertutup oleh gambut karena gambutnya telah habis, maka perlu tindakan konservasi untuk melestarikan sumberdaya alam gambut.

Saluran primer Pintu tabat Saluran sekunder


Pintu tabat

Pintu tabat Saluran primer

Saluran keliling

Saluran tengah

Saluran cacing Saluran kuarter


Pintu tabat

Pintu tabat

Gambar 8.11. Sistem tabat untuk mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit pada lahan tipe C dan bertanah sulfat masam aktual (Sumber : Subagyono et al., 1997)

Kawasan dengan kubah gambut ini menjadi sumber air bagi daerah sekelilingnya, karena kawasan ini mampu menyangga air hujan dan air akan mengalir secara gravitasi. Daerah ini menjadi sumber air irigasi untuk kawasan budidaya di sekelilingnya. Pengelolaan air dirancang dengan menggunakan sumberdaya air dari kubah gambut tersebut. Pembuatan embung penampung air dari daerah tangkapan akan membantu distribusi air secara terkontrol. Bila prinsip-prinsip pengelolaan air tersebut diterapkan, maka lahan tipe ini bisa

253

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

disawahkan. Namun, drainase diperlukan untuk mengurangi genangan pada saat musim hujan. 8.4.2. Pengapuran (liming) Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan sulfat masam aktual (SMA) di daerah rawa pasang surut adalah kapur. Kapur sebagai bahan pembenah tanah sangat beralasan untuk diberikan pada tanah SMA untuk padi sawah selama penggenangan tanah belum dapat menaikkan pH tanah di atas 4,25-4,50. Sesuai dengan tingkat sensivitas dari beberapa tanaman pangan terhadap kemasaman tanah dari yang paling tahan sampai sangat sensitif, maka padi sangat tahan terhadap kemasaman tanah, kemudian diikuti jagung dan kedele. Tanaman pangan dapat tumbuh di tanah SMA setelah tanahnya diberi kapur, sehinga pH tanah disekitar akar > 4,25-4,50 untuk padi, > pH 4,50-5,00 untuk jagung, dan > 5,00-5,50 untuk kedele. Konsep pengapuran yang mencapai puluhan sampai ratusan ton per ha untuk tanaman pangan hendaknya ditinggalkan, kemudian perlu diteliti lebih lanjut mengingat keberadaan mineral liat 2:1 (smektit) yang telah rusak sebagaimana dicirikan bentuk difraksi sinar-X liat 2:1 yang cembung. Kebutuhan kapur (KK) tanah SMA yang ditetapkan berdasarkan 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N menghasilkan ekuivalen takaran kapur yang berlebihan atau overestimasi. Al-Jabri (2002a) memperoleh bahwa KK untuk padi pada tanah SMA sekitar < 3 t/ha, jika KK ditetapkan berdasarkan Al-dd dengan KCl 0,25 N. Sebaliknya, jika KK tanah SMA Belawang ditetapkan berdasarkan Al-dd dengan KCl 1 N maka takarannya dapat mencapai 14-15 t/ha. KK yang tinggi tersebut disebabkan Al yang semula dalam bentuk tidak dapat ditukar dalam struktur mineral liat 2:1 yang telah rusak oleh oksidasi pirit turut terekstrak oleh KCl 1 N. KK berdasarkan 100% nilai Al-dd KCl 1 N tidak akurat, sebab keberadaan liat 2:1 yang rusak mensuplai Al tidak hanya dalam bentuk tidak dapat ditukar, tetapi juga Al dapat ditukar (Al-Jabri et al., 2000b). Fakta-fakta diperoleh bahwa KK berdasarkan 100% kali nilai Al-dd 1 N KCl terlalu tinggi ditunjukkan oleh hasil penelitian berikut: (1) KK optimum untuk jagung varietas Arjuna 1,50 t/ha, atau setara 24% nilai Al-dd 1 N KCl ( nilai Al-dd tanah SMA di Tri Mulyo 6,36 cmol/kg) dan 2,71 t/ha, atau setara 38% nilai Al-dd 1 N KCl (nilai Al-dd tanah SMA di Harapan Makmur 6.98 cmol/kg) (Al-Jabri et al.,

254

Abdurachman et al.

2000a). Takaran kapur 1,50 dan 2,71 t/ha tersebut berdasarkan turunan pertama dari persamaan kuadratiknya. Takaran kapur berdasar turunan pertama dari persamaan kuadratik ternyata lebih rendah dari nilai Al-dd dengan KCl 0.25 N (Tabel 8.4). Sehubungan dengan KK ekuivalen dari 100% nilai Al-dd KCl 0,25 N sedikit lebih tinggi, maka larutan garam KCl masih perlu diencerkan dengan normalitas < 0,25 N. Tabel 8.4. Nilai pH dan Al-dd dengan penetapan KCl 0; 0,25; 0,50; dan 1,00 N untuk tanah SMA Trimulyo dan Harapan Makmur, Jambi
Lokasi pH-H2O Al-dd KCl 0 N KCl 0,25 N KCl 0,50 N KCl 1,0 N ................................ cmol/kg ................................. 0,25 2,44 2,93 4,18 0,34 3,26 4,20 4,43

Trimulyo Harapan Makmur

3,9 3,6

Demikian juga, pertumbuhan tanaman padi varietas IR-64 di rumah kaca dengan menggunakan tanah SMA dari Harapan Jaya (Rengat, Riau) dan Pamusiran (Jambi), tanpa perlakuan kapur hampir sama baiknya dibandingkan dengan yang dikapur. Sebaliknya, jika menggunakan contoh tanah SMA dari Rantau Rasau (Jambi) dan Basarang (Kalteng), maka pertumbuhan tanaman padi tanpa perlakuan kapur lebih jelek dari perlakuan kapur (Tabel 8.5). Tabel 8.5. Pengaruh kapur terhadap bobot gabah kering giling padi varietas IR64
Perlakuan Harapan Jaya (Riau) 4,731 4,669 Lokasi Pamusiran R. Rasau (Jambi) (Jambi) 5,990 6,506 1,502 3,947 Basarang (Kalteng) 0,030 4,627 -

t/ha 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 12.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 3.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam 0 kg CaCO3 + 111 kg P alam 6.000 kg CaCO3 + 111 kg P alam Sumber : Al-Jabri et al. (2000b)

255

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan respons tanaman pada tanah SMA terhadap kapur tersebut antara lain varietas padi, banyak sedikitnya smektit, kedalaman pirit, oksidasi pirit sudah berlangsung sempurna atau belum. Berdasarkan difraksi sinar-X, persentase smektit (liat 2:1) dan kaolinit (liat 1:1) dari tanah SMA Pamusiran masing-masing 18 dan 70%, sedangkan liat 2:1 dan liat 1:1 dari tanah SMA Basarang masing-masing 47 dan 42% (Tabel 8.6). Tabel 8.6. Pengaruh keberadaan liat 2:1 (smektit) dan liat 1:1 terhadap kebutuhan kapur (KK) berdasarkan metode inkubasi dan 100% kali ekuivalen nilai Al-dd KCl 1,00 N t/ha untuk tanaman padi pada tanah SMA
Asal tanah Pamusiran (Jambi) Basarang (Kalteng) Kebutuhan kapur (K) Inkubasi dengan H2O* 0 t/ha 7,99 t/ha Al-dd KCl 1 N** 6,35 cmol/kg 9,22 cmol/kg 18 % 47 % Jenis liat 2:1 (smektit) 1:1 (kaolinit) 70 % 42 %

Keterangan: * = KK berdasarkan inkubasi dengan H2O selama 2 minggu menunjukkan bahwa pH tanah tanpa perlakuan kapur adalah 4,50, sehingga padi pada tanah SMA Pamusiran tidak respons terhadap kapur (Tabel 8.5); **KK berdasarkan 100% kali nilai Aldd KCl 1 N untuk tanah SMA Pamusiran = 6,35 t/ha dan untuk tanah SMA Basarang = 9,22 t/ha Sumber : Al-Jabri et al. (2000b)

Fakta ini memperkuat hipotesis bahwa metode pengukuran KK ekuivalen 100% kali nilai Al-dd KCl 1 N tidak berlaku umum untuk semua tanah SMA, sebab garam KCl 1 N terlalu kuat. Formulasi model adalah cara lain untuk menetapkan KK yang lebih realistik. Penetapan KK secara tidak langsung dengan formulasi model sudah digunakan sejak lama, tetapi tidak berlaku umum. Penetapan KK dengan formulasi model spesifik lokasi dengan tipologi lahan SMA untuk tanaman padi telah diperoleh (Al-Jabri, 2002b). Pada awalnya formulasi model dibangun dengan mengukur kemasaman tanah secara langsung terhadap respons tanaman. Kemudian, takaran KK diestimasi dari sifat-sifat tanah yang dianggap paling berpengaruh tanpa harus mengukur kemasaman tanah secara langsung.

256

Abdurachman et al.

Beberapa formulasi model KK yang pernah dikembangkan, antara lain: (1) KK = 0,11[% liat + (5 x % bahan organik)] (Joret et al., 1990); (2) KK = [pH 6,50pH tanah] x % bahan organik untuk tanah-tanah dengan Al-dd rendah (Keeny dan Corey , 1963); (3) KK = faktor. [Al-dd - % kejenuhan Al . (KTK efektif)] untuk kedelai yang ditanam pada tanah Ultisols di Sitiung (Sumatera Barat) yang didominasi mineral liat 1:1 (Wade et al., 1987). Formulasi model KK bersifat kondisional dapat digunakan untuk menentukan takaran kapur, sebab aktivitas komponen-komponen kemasaman tersebut sangat kompleks dan interaksinya dalam keadaan yang sebenarnya sangat sulit dideteksi. Formulasi model dalam bentuk persamaan regresi linear, dimana KK-inkubasi = fungsi Al-dd dengan KCl yang dimodifikasi dengan normalitas garam KCl diencerkan < 1 N. Beberapa keuntungan penggunaan formulasi model, antara lain: (1) tidak hanya menjelaskan fakta-fakta yang teramati, tetapi juga meramal kejadian-kejadian yang pada saat itu tidak teramati, (2) mengatasi masalah ketidak akuratan data yang terukur, (3) menjelaskan bahwa dua atau lebih elemen pembentuk sistem saling berhubungan, sebab pada dasarnya suatu sistem terdiri atas peubahpeubah yang saling tergantung satu sama lain dan bekerja sama dalam menjelaskan sekumpulan fakta untuk mencapai suatu tujuan (Gaspersz, 1991). Formulasi model dapat dikatakan tidak mantap jika nilai dugaan dari parameter memiliki ragam yang besar maka harus dimodifikasi, sehingga teori dapat menjawab masalah dengan lebih tepat dan benar. Peramalan KK dari data aktual laboratorium sebaiknya divalidasi dengan nilai aktual produksi tanaman, sebab data peubah bebas dan peubah tidak bebas bersifat kondisional. Oleh karena itu, pada waktu mengkonstruksinya harus dilakukan dengan cermat (Hasibuan, 1988). Informasi yang harus diketahui sehubungan dengan KK, maka dipastikan dahulu bahwa % kejenuhan Ca terhadap KTK < 25% (Haby et al., 1990). Jika pH tanah SMA < 4,00 dengan % kejenuhan Ca < 25% dipastikan tanaman padi perlu kapur. Meskipun % kejenuhan Ca ditingkatkan > 25% dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, tetapi KK disesuaikan dengan batas pH terendah dimana tanaman padi dapat tumbuh. Sesuai dengan McLean et al. (1983), bahwa pH tanah berkorelasi lebih baik terhadap hasil dari pada % kejenuhan basa. Jadi, jika padi akan ditanam pada tanah SMA maka % kejenuhan Ca diatas 25% dan pH tanah terendah 4,50. Telah dilaporkan oleh Liebhardt (1981) dan Sholeh et al. (2001), bahwa kation-kation basa tidak signifikan terhadap peningkatan hasil.

257

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

8.4.3. Pemupukan Tanaman padi yang dikembangkan di daerah pasang surut yang didominasi oleh tanah sulfat masam setelah pirit teroksidasi (pH tanah 3,0) setelah musim tanam kedua tidak mau tumbuh. Kemudian lahan dibiarkan terlantar dan ditumbuhi tanaman semak dan menjadikannya sebagai lahan bongkor. Lahan bongkor tersebut bertipologi lahan SMA atau gambut tidak produktif. Meskipun demikian, produktivitas lahan bongkor tersebut sangat rendah, tetapi dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk hara makro primer (N, P, dan K), hara sekundair (Ca) dan hara mikro (Cu dan Zn). Jumlah pupuk yang diberikan dapat ditentukan melalui analisis tanah secara preskriptif. Tanaman padi varietas IR-42 yang ditanam pada tanah SMA di Karang Agung Ulu (Sumsel) dengan perlakuan 1,50 ton kapur dan 140 kg P/ha (700 kg TSP/ha) untuk mencapai 100% kebutuhan P eksternal (P larutan 0,02 ppm P) menghasilkan gabah kering giling (GKG) tertinggi sebanyak 8,67 t/ha (Tabel 8.7). Perlu diingat bahwa tanaman tidak respons terhadap pupuk P jika pH tanah < 3,00. Oleh karena itu, pH tanah harus diketahui dahulu sebelum pupuk P diberikan. Jadi, jika pH tanah berkisar antara 4,25-4,50, maka kapur tidak harus diberikan. Tabel 8.7. Pengaruh pupuk P dan kapur terhadap persentase gabah hampa dan hasil GKG di Karang Agung Ulu, MH 1996/97
Perlakuan Persentase gabah hampa % 0 ton kapur + 0 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 0 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 175 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 350 kg TSP/ha 1,50 ton kapur + 770 kg TSP/ha 30,97 c* 25,25 bc 21,99 b 15,47 a 14,70 a Hasil GKG t/ha 4,32 a 6,99 b 7,63 bc 8,35 cd 8,67 d

* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata DMRT 0,05 Sumber : Sri Ratmini et al. (2000)

Tanaman kedelai dapat ditanam pada tanah SMA di Basarang (Kalteng) pada akhir musim hujan dengan perlakuan 8 ton kapur/ha dan 100 kg P/ha (500 kg TSP/ha) menghasilkan biji tertinggi sebanyak 2,12 t/ha (Tabel 8.8).

258

Abdurachman et al.

Tabel 8.8. Rata-rata hasil biji kedelai pada perlakuan rehabilitasi dengan pupuk P dan kapur di Basarang (Kalteng)
Perlakuan 0 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 0 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 250 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 500 kg TSP/ha 8 ton kapur/ha + 750 kg TSP/ha Bobot biji kedelai t/ha 0,28 a* 1,93 b 1,98 b 2,12 b 2,11 b

* Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata DMRT 0,05 Sumber : Aribawa et al. (1997)

Kebutuhan kapur yang tinggi (8 ton kapur/ha) masih bersifat mencari-cari, karena metode penetapannya bukan metode untuk tanah dari daerah rawa, sehingga tidak dapat disamakan dengan tanah mineral masam berasal dari daerah rawa pasang surut. Kebutuhan pupuk P dapat ditentukan melalui pendekatan kurva erapan P jika batas kritis P larutan untuk suatu jenis tanaman telah diketahui (Fox dan Kamprath, 1970). Meskipun sampai saat ini hanya batas kritis P larutan untuk padi saja yang baru diketahui pada tanah mineral masam adalah 0,015 ppm P (Al-Jabri et al., 1997), tetapi untuk tanah SMA tidak jauh berbeda. Batas kritis P larutan untuk tanaman pangan lainnya (jagung dan kedele) yang ditanam pada lahan rawa yang didominasi tanah mineral dan gambut belum didokumentasikan. Lahan gambut dangkal tebal 50-100 cm (G-1), gambut sedang tebal 100200 cm (G-2), dan gambut dalam tebal 200-300 cm (G-3) yang berupa lahan bongkor sangat beralasan untuk direhabilitasi, dan ditanami berbagai jenis komoditas tanaman sesuai dengan kesesuaian lahannya. Meskipun setiap tipologi lahan gambut tersebut berbeda, tetapi pada umumnya lahan gambut dihadapkan pada kendala-kendala sifat fisik, kimia, dan biologi (Widjaja-Adhi, 1988). Kendala sifat fisik tanah gambut antara lain subsidence jika didrainase, mengering tidak balik dan mudah tererosi, permeabilitas horizontal tinggi. Kendala sifat kimia tanah gambut antara lain pH dan kejenuhan basa sangat rendah, rasio C/N tinggi, status hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn rendah. Kendala sifat biologi tanah gambut dicirikan oleh keterbatasan aktivitas mikrobiologi karena kemasaman tanahnya sangat tinggi. Produktivitas lahan gambut dapat

259

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

ditingkatkan dengan pemberian unsur hara P, K, Ca, Mg, Cu, Zn sebagai pupuk anorganik tunggal atau majemuk. 8.4.4. Ameliorasi Selain kapur dan pupuk hara makro dan mikro, pemberian tanah mineral dan abu bakaran dapat diberikan sebagai bahan ameliorasi. Agar produktivitas tanah pada lahan rawa bongkor dapat ditingkatkan, maka tanaman yang digunakan adalah varietas tanaman yang toleran terhadap kondisi tersebut, dan tata airnya dapat dikendalikan. Pemberian tanah mineral pada tanah gambut kurang dari > 50 cm berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman, dan bobot gabah kering tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan pemberian kapur (Tabel 8.9). Tabel 8.9. Pengaruh pemberian tanah mineral dan kapur pada gambut asal Air Sugihan (Sumsel) terhadap bobot kering jerami dan gabah isi padi varietas IR-36 pada kondisi di rumah kaca
Perlakuan Bobot kering Gabah isi Jerami ... kg/ha ..... 3 506 5 288 5 568 3 026 3 568 5 888

G* G + 500 gram M**/pot G + 1 000 gram M**/pot G + 20 gram CaCO3/pot

* = tanah gambut; M** = tanah mineral diambil dari bawah lahan gambut dangkal kurang dari 50-100 cm Sumber: Al-Jabri dan Suwardjo (1986)

Tanaman jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis yang ditanam pada lahan gambut dengan tipologi lahan gambut sedang (G-2) di Sugihan Kiri (Sumsel) dengan perlakuan lengkap, yaitu, 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha menghasilkan biji jagung pipilan 1,44 t/ha dan biji kedele 2,33 t/ha (Tabel 8.10). Meskipun perlakuan lengkap (312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4/ha) menghasilkan bobot biji kering jagung tertinggi 1,44 t/ha, tetapi belum mencapai tingkat hasil yang sesungguhnya (Tabel 8.10). Hal ini

260

Abdurachman et al.

mungkin disebabkan banyak unsur hara dari pupuk hilang tercuci. Kehilangan unsur hara dari pupuk melalui pencucian dapat ditekan seminimal mungkin dengan pemberian tanah mineral atau pemadatan tanah gambut. Bobot biji jagung dan kedele dengan perlakuan lengkap lebih tinggi dari pada perlakuan pupuk Sulfomag. Efisiensi pupuk Sulfomag relatif rendah, mungkin disebabkan karena kandungan Mg tanah gambut sudah tinggi sebagaima hasil analisis Mg dapat ditukar tergolong tinggi (Hartatik et al., 2000). Jadi, kandungan Mg tanah yang tinggi kemudian adanya kontribusi Mg dari pupuk Sulfomag menurunkan serapan K, sebab adanya sifat antagonisme antara Mg dan K. Hal ini dapat dibuktikan dari analisis daun dari tanaman kedele, dimana serapan unsur K pada perlakuan pupuk Sulfomag 0,32 gram K per pot lebih rendah dari perlakuan lengkap 0,47 gram K per pot. Penurunan serapan unsur hara K pada perlakuan pupuk Sulfomag menghasilkan bobot biji kedele 1,39 t/ha, sedangkan perlakuan lengkap menghasilkan bobot biji kedele lebih inggi yaitu 2,33 t/ha (Tabel 8.10). Tabel 8.10. Ameliorasi pada lahan gambut di Air Sugihan Kiri (Sumsel) terhadap bobot kering jagung varietas Arjuna dan kedele varietas Wilis
Perlakuan Lengkap (L)* L-sulfur L-P alam L-dolomit L-(C+Zn) L + Fe Sulfomag Sulfomag + Fe Kontrol parsial Kontrol lengkap * Bobot biji jagung pipilan Bobot biji kedele . t/ha . 1,44 2,33 a** 1,05 1,77 ab 1,35 1,81 ab 0,68 0,92 bc 0,42 1,45 abc 1,19 1,87 ab 0,20 1,39 abc 0,73 1,46 abc 0,80 1,28 bc 0,40 0,68 c

L = 312 kg P alam Chrismast, 620 kg dolomit, 50 kg sulfur, 10 kg CuSO4, dan 15 kg ZnSO4 /ha ** Angka-angka pada kolom sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda pada taraf nyata DMRT 0,05 Sumber: Hartatik et al. (2000)

Pemberian abu bakaran dari abu sawmill dapat digunakan sebagai bahan amelioran, terutama pada gambut miskin dengan semakin tebalnya gambut dengan tipologi gambut dalam 200-300 cm (G-3) dan gambut sangat dalam > 300 cm (G-4) (Tabel 8.11). Untuk menghindari petani membakar gambut kering, maka disarankan agar abu yang digunakan adalah abu dari hasil pembakaran serasah

261

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

terkendali atau abu sawmill gergajian. Pembakaran serasah terkendali adalah pembakaran serasah pada tempat khusus, sehingga tidak terjadi perluasan areal yang terbakar. Sebaliknya, jika abu yang digunakan diperoleh dengan cara membakar gambut kering dari permukaan tanah di ladang, maka cara ini sangat berbahaya bagi kelestarian gambut, karena gambut mudah terbakar dan api sulit dipadamkan. Tabel 8.11. Pengaruh abu sawmill dan residunya terhadap hasil beberapa jenis tanaman
Takaran abu sawmill t/ha 0 10 20 30 40 Kontrol Sumber: Subiksa (2000) Hasil tanaman Kedele Jagung Kacang tanah MK 1993 MH 1993/1994 MK 1994 . kg/ha . 5.070 1.131 310 1.440 3.008 480 1.587 2.935 840 4.292 930 1.973 2.237 4.940 1.110 953 220 440

Teknologi untuk rehabilitasi lahan rawa pasang surut selain kapur, pupuk, dan pengendalian tata air, adalah penanaman varietas unggul. Kajian beberapa varietas unggul padi pada lahan pasang surut di beberapa tempat telah didokumentasikan. Hasil padi varietas Batanghari mampu beradaptasi di masingmasing tipologi lahan pasang surut dan sangat toleran terhadap kemasaman tanah tinggi dan keracunan Fe, serta memberikan hasil tertinggi (Tabel 8.12). Tabel 8.12. Hasil kajian beberapa varietas padi unggul pada beberapa tipologi lahan pasang surut di Jambi MH 1999/2000
Varietas padi Rantau Jaya Harapan Makmur Trimulyo Lambur II Sidomukti Catur Rahayu Potensial Sulfat masam Sulfat masam Bergambut Potensial Potensial sulfida dalam potensial aktual sulfida dangkal tanpa sulfida sulfida dalam t/ha ... 4,24 3,76 2,50 2,45 6,20 4,85 3,62 3,29 2,80 2,08 -* 4,32 3,12 1,45 2,08 2,40 2,37 1,90 2,08 2,08 4,00 3,64 2,15 2,72 4,50 3,51 3,68 2,83 1,76 2,29 5,80 2,13 0,80 1,50 1,55 3,18 1,76 -

Batanghari Banyuasin Dendang Lalan Lematang IR-4 IR-64 Cisanggarung

* tidak ada data Sumber : Jumakir et al. (2000)

262

Abdurachman et al.

8.4.5. Dampak lingkungan reklamasi lahan rawa Sebagian besar proyek-proyek reklamasi yang telah dimulai sejak tahun 1970-an dilaksanakan dengan membangun saluran-saluran drainase berdimensi besar. Sebagai contoh, sistem drainase garpu di Kalimantan Selatan memiliki panjang saluran primer 1 sampai 2 km yang bercabang menjadi 2 saluran sekunder dengan panjang 8 sampai 12 km. Di ujung saluran sekunder dilengkapi kolam yang berukuran 300 m x 300 m. Jarak antara 2 saluran sekunder mencapai 3 sampai 4 km. Setiap saluran sekunder dilengkapi dengan saluran tersier yang berjarak 200 m. Hal ini berakibat pada tingkat drainase yang berlebih (over drain) yang sangat potensial untuk tereksposenya pirit hingga teroksidasi menjadi masam. Kebakaran hutan juga merupakan penyebab degradasi lahan di kawasan rawa pasang surut. Kebakaran hutan ini, selain menyebabkan hilangnya sebagian besar vegetasi juga menipisnya lapisan gambut yang semakin berisiko terhadap tereksposnya lapisan pirit ke permukaan, karena pada umumnya tanah sulfat masam dijumpai di bawah lapisan gambut. Sekali pirit terekspos ke permukaan, oksigen akan masuk ke dalam tanah dan pirit akan teroksidasi. Inilah awal rusaknya lahan rawa akibat kemasaman tanah dan air yang meningkat, dan munculnya unsur-unsur yang bersifat racun ke lingkungan perairan. Kandungan besi (Fe2+), aluminium (Al3+), ion hidrogen (H+) dan sulfat (SO42-) pada lahan yang didrainase lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang tidak/belum didrainase (Gambar 8.12). Hal ini memberikan implikasi bahwa setelah lahan direklamasi dengan membangun sistem dan jaringan drainase akan mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan tanah dan air. Total SO42- yang tercuci (leached) dari lahan yang didrainase 3,34 mol/m2/tahun, sebanding dengan 1,17 mol FeS2/m2/tahun atau 140 g pirit/m2/ tahun. Pada lahan yang tidak didrainase, total SO42- yang tercuci 1,18 mol FeS2 /m2/tahun yang sebanding dengan 0,59 mol FeS2/m2/tahun atau 71 g pirit/m2/ tahun. Menurut Chairuddin et al. (1990), kemasaman dan meningkatnya unsur beracun seperti besi berakibat pada buruknya lingkungan hidup ikan di lahan rawa pasang surut. Jumlah spesies ikan dan hasil tangkapan ikan berkurang hingga 50% dari kondisi normal (sebelum terjadi pemasaman), meskipun ada spesies ikan seperti gabus (Channa striata) dan papuyu (Anabas testudineus) yang toleran terhadap air dengan pH < 3. Adaptasi spesies ikan berbeda untuk kondisi tingkat kemasaman yang berbeda. Ikan papuyu masih relatif banyak dijumpai pada lahan yang sangat masam, sedangkan gandaria (Dangila ocellata) dan baung (Mystus nemurus) dominan pada lahan yang agak masam. Hasil 263

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

tangkapan ikan pada lahan yang kurang masam di Tabunganen (Kalimantan Selatan) lebih banyak dibanding pada lahan yang sangat masam seperti di Barambai dan Belawang (Kalimantan Selatan), dan Unit Tatas (Kalimantan Tengah) (Gambar 8.13).
8 7
Didrainase Tidak didrainase

Konsentrasi (me/m 2)

6 5 4 3 2 1 0

H+

Fe2+
2+ 3+ +

Al3+
2-

SO42-

Gambar 8.12.

Konsentrasi Fe , Al , H , dan SO4 pada lahan yang didrainase dan yang tidak didrainase dengan modifikasi (Sumber: Konsten et al.,1990)

60 50 Jumlah ikan/tangkapan 40 30 20 10 0

Musim hujan Musim kemarau

Tabunganen Barambai

Belawang

Uniit Tatas

Gambar 8.13.

Perbandingan hasil tangkapan ikan pada lahan dengan tingkat kemasaman yang berbeda dengan modifikasi (Sumber: Chairuddin et al.,1990)

264

Abdurachman et al.

8.5. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN RAWA

8.5.1. Kendala Berbagai kendala dan kompleksnya permasalahan di lahan rawa pasang surut menjadikan hambatan dalam pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi lahan. Selain faktor biofisik lahan, kendala lain menyangkut kondisi sosial ekonomi masyarakat petani dan minimnya kelembagaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan di kawasan ini. Secara rinci, faktor-faktor tersebut adalah (a) dominannya tanah bermasalah (gambut dan sulfat masam) dengan berbagai dampak pengelolaannya, (b) permodalan petani yang sangat minim untuk mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola lahan, (c) keterbatasan tenaga kerja, (d) kelembagaan penunjang yang minim, dan (e) kesadaran petani dalam mengkonservasi, merehabilitasi dan mengelola lahannya. a. Tanah bermasalah Sebagaimana telah diuraikan dalam bahasan degradasi lahan rawa, sekali proses pemasaman terjadi, maka kualitas lahan akan makin memburuk yang ditandai dengan turunnya pH tanah dan air, munculnya unsur bersifat racun bagi tanaman, makin tidak tersediaanya unsur hara penting bagi tanaman seperti fosfor dan kalium, dan kualitas air minum yang juga makin buruk. Penurunan permukaan tanah (subsidence), khususnya pada lahan gambut makin mempersulit petani dalam mengelola lahannya. Permasalahan ini muncul sebagai dampak dari dibangunnya sistem drainase dengan dimensi besar. Pengalaman buruk dalam pengembangan lahan gambut sejuta hektar (PLG) di Kalimantan Tengah adalah contoh yang harus dijadikan pelajaran yang berharga. Saluran drainase dengan ukuran sangat besar dibangun menembus kawasan gambut sangat dalam yang seharusnya dikonservasi. Sebagai dampaknya adalah lepasnya asam-asam organik di perairan yang lebih dikenal dengan black water stream. Dampak lain sudah barang tentu hilangnya sebagian besar vegetasi alami dan biota. Untuk mengurangi permasalahan tersebut diperlukan biaya yang besar dan waktu yang tidak bisa singkat.

265

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Dalam berbagai kasus, pembangunan sistem drainase merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Pengalaman reklamasi lahan rawa pasang surut untuk alokasi masyarakat transmigran sejak Pelita I, menunjukkan bahwa sistem drainase diperlukan untuk mempercepat pematangan tanah, sehingga mampu menopang bangunan rumah dan infrastruktur lain. Namun demikian, pengalaman juga menunjukkan bahwa kelebihan laju drainase (over drainage) tidak bisa dihindarkan karena sistem drainase yang dibangun dengan dimensi besar. Selain untuk bangunan dan infrastruktur, pembangunan sistem drainase juga memberikan peluang untuk pengelolaan lahan rawa pasang surut yang ditanami tanaman palawija (jagung, kedelai, kacang tanah) dan tanaman tahunan (kelapa dan kelapa sawit). b. Modal Pada umumnya petani di lahan rawa pasang surut adalah petani-petani yang mengelola lahannya untuk tanaman semusim, khususnya padi sawah dan tanaman palawija sebagai tanaman kedua. Di era pemerintah menyediakan fasilitas kredit, kredit usahatani (KUT) adalah yang paling utama diperoleh petani, meskipun realisasi kredit tersebut tidak seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh petani. Skim kredit ini untuk memenuhi sarana produksi yang meliputi pupuk, obat-obatan dan biaya pengolahan tanah, tidak ada yang dialokasikan untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya implementasi teknologi konservasi dan rehabilitasi di lahan rawa. c. Tenaga kerja Tidak seperti di Jawa, petani-petani transmigran di lahan rawa memiliki 2 ha lahan pengelolaan. Kepemilikan lahan ini umumnya tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia, yang sebagian besar telah tercurah pada kegiatan penyiapan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan panen. Hampir tidak ada tenaga kerja khusus untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Kalaupun tersedia, umumnya dengan upah yang relatif mahal. Khusus untuk tindakan pengelolaan air di tingkat tersier sebagai salah satu kegiatan rehabilitasi lahan dilakukan secara bergotong-royong dan waktunya tidak sebanyak yang harus dicurahkan ke lahan masing-masing.

266

Abdurachman et al.

d. Kelembagaan Operasionalisasi tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan mengalami berbagai kendala. Khusus mengenai pengelolaan air, operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase serta bangunan air umumnya tidak optimal, bahkan sebagian tidak terealisasi. Hal ini berakibat pada makin buruknya kondisi saluran dan bangunan air yang menghambat sirkulasi air dari saluran ke lahan yang dikelola. Untuk lahan dengan tipe luapan A, kondisi ini berdampak pada makin buruknya kondisi drainase. Salah satu kelembagaan yang dibentuk Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil, dulu Departemen Pekerjaan Umum) adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang memiliki wewenang untuk operasionalisasi jaringan irigasi dan drainase, umumnya sudah tidak berfungsi. Operasionalisasi jaringan tata air lebih banyak dilakukan oleh kelompok tani sebagai suatu rangkaian kegiatan sistem usahatani. Namun demikian, kelompok tani ini hanya menangani operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di tingkat tersier, sedangkan untuk tingkat primer dan sekunder dikelola oleh Depkimpraswil. Terbatasnya dana operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air berdampak pada makin buruknya fungsi jaringan tersebut di dalam upaya konservasi dan rehabilitasi lahan. e. Kesadaran (awareness) petani Dari hasil penelitiannya di Delta Pulau Petak Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Tengah, Subagyono et al. (1992) melaporkan bahwa kesadaran petani di dalam menangani tata air sebagai suatu tindakan rehabilitasi lahan sangat rendah. Kondisi yang sama dijumpai juga di lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan. Keterlibatan petani di dalam operasionalisasi sistem pengelolaan air terbatas pada lahan mereka masing-masing. Kegiatan operasionalisasi dan pemeliharaan jaringan tata air di tingkat tersier jarang sekali dilakukan. 8.5.2. Strategi pengembangan teknologi konservasi Meskipun secara teknis teknologi konservasi dan rehabilitasi memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap kelestarian sumberdaya alam di lahan rawa, namun penerapannya tidak mudah. Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada petani khususnya yang menyangkut biaya, tenaga kerja dan kesadaran

267

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

petani akan pentingnya teknologi tersebut perlu dicari pemecahannya. Strategi pengembangan teknologi konservasi dan rehabilitasi lahan harus dilakukan dengan memperhatikan berbagai masalah yang dihadapi petani di lahan rawa. Terbatasnya biaya konservasi dan rehabilitasi khususnya, dan biaya usahatani pada umumnya memerlukan dukungan terhadap pengembangan skim kredit yang memadai. Pembinaan terhadap kelompok tani didalam mengelola alsintan atau ternak merupakan salah satu alternatif sumber dana untuk usahatani dan tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Sistem penyewaan traktor kepada anggota akan memberikan masukan dana ke kelompok, selanjutnya dana ini digunakan untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Alternatif lain, yaitu dengan introduksi ternak melalui program penggemukan atau perbanyakan ternak. Sisa hasil penjualan ternak dapat dijadikan modal untuk tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan. Menanamkan kesadaran kepada petani terhadap pentingnya melakukan tindakan konservasi dan rehabilitasi lahan secara kelompok tidak mudah dilakukan. Demikian juga terbatasnya sosialisasi kebijakan pemerintah didalam pemanfaatan dan penggunaan lahan berakibat pada makin maraknya perambahan hutan yang seharusnya untuk kawasan konservasi. Delineasi kawasan gambut sangat dalam (> 300 cm) sebagai kawasan konservasi perlu dilakukan dan disosialisasikan kepada masyarakat petani di lahan rawa. Untuk kawasan budidaya, pengelolaan lahan diarahkan untuk selalu memperhatikan aspek tipologi lahan dan tipe luapan. Meskipun sawah merupakan alternatif yang aman terhadap pencegahan proses pemasaman yang berlanjut, introduksi dan sosialisasi teknologi pengelolaan air masih diperlukan. Tindakan konservasi pada lahan di kawasan budidaya harus diarahkan untuk meminimalkan terjadinya proses pemasaman (acidification). Mempertahankan tinggi muka air di atas lapisan pirit harus menjadi strategi pengelolaan air utama, selain secara berkala dilakukan pencucian dengan sistem aliran satu arah (oneway flow system). Di dalam penerapan teknologi pengelolaan air, petani masih memikirkan lahannya masing-masing yang akan berpengaruh buruk terhadap kondisi tata air secara makro (tingkat sekunder dan primer). Operasionalisasi teknik pengelolaan air sebagai upaya konservasi dan rehabilitasi lahan di tingkat mikro (lahan petani) harus menyesuaikan dengan tingkat tersier dan makro. Beberapa kesalahan sistem tata air di tingkat makro hendaknya diperbaiki, yaitu dengan mendasarkan pada tipologi lahan dan tipe luapan.

268

Abdurachman et al.

PENUTUP Mengingat cukup luasnya lahan rawa di Indonesia, yaitu lebih dari 33 juta ha, maka keberadaan dan perkembangan lahan yang memiliki sifat tidak stabil ini perlu terus dipantau. Pengalaman terdahulu mengajarkan bahwa kesalahan langkah dalam mereklamasi lahan rawa mengakibatkan kerusakan lahan itu sendiri beserta lingkungannya, seperti terlihat pada Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta ha di Kalimantan Tengah. Sekali lahan rawa mengalami kerusakan atau degradasi berat, maka proses pemulihannya kembali memerlukan waktu yang sangat panjang, dapat mencapai waktu ratusan tahun. Selain itu, kegiatan penelitian reklamasi, pengelolaan dan rehabilitasi lahan rawa perlu terus direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih baik, agar dapat ditemukan metoda yang lebih efektif dan efisien. Teknologi dan informasi yang diperoleh perlu didiseminasikan kepada para pengguna lahan rawa khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Jaringan komunikasi antar peneliti dan peminat lahan rawa perlu dibangun, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga seyogyanya meluas ke tataran internasional, karena permasalahan lahan rawa merupakan permasalahan semua negara yang memiliki lahan rawa.

DAFTAR PUSTAKA Al-Jabri, M. 2002a. Penetapan kebutuhan kapur dan pupuk fosfat untuk tanaman padi (Oryza sativa L.) pada tanah sulfat masam aktual BelawangKalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. UNPAD. Bandung. Al-Jabri, M. 2002b. Formulasi Model untuk Rekomendasi Kebutuhan Kapur terhadap Tanaman Padi Sawah pada Tanah Sulfat Masam Aktual di Daerah Pasang Surut Belawang Kalimantan Selatan. Belum dipublikasikan. Al-Jabri, M., Sulaini, dan Suwalan. 2000a. Pemupukan kapur, fosfat, dan kalium pada tanaman jagung dan padi di tanah sulfat masam lahan pasang surut Jambi. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Al-Jabri, M., Maryono, M.E. Suryadi, K. Kusumah, S. Dwiningsih, dan D.A. Suriadikarta. 2000b. Pengaruh keberadaan mineral liat smektit terhadap pengukuran kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam aktual. Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung-Bogor, 31 Oktober-2 November.

269

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Al-Jabri, M., Sholeh, L.R. Widowati, A. Hamid, J.S. Adiningsih, dan I P.G. WidjajaAdhi. 1997. Penelitian uji fosfat tanah dan analisis tanaman sebagai dasar rekomendasi pemupukan sawah bukaan baru. Pros. No. 13/Pen. Tanah. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian. Al-Jabri, M. dan H. Suwardjo. 1986. Penelitian pengaruh cara pengelolaan tanah gambut terhadap pertumbuhan tanaman padi. Pros. No. 6/Pen. Tanah. Hal: 341-355. Cipayung, Bogor, 18-20 Maret 1986. Aribawa, I B., A. Supardi, M. Al-Jabri, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1997. Rehabilitasi lahan tidur pasang surut jenis sulfat masam di Basarang, Kuala Kapuas, Kalteng. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kimia dan Biologi Tanah. Cisarua, Bogor, 4-6 Maret 1997. Auxtero, E.A. and J. Shamsuddin. 1991. Growth of oil palm (Elaeis guinensis) seedlings on acid sulfate soils as affected water regime and Al. Plant and Soil. 137:243-257. Bouman, S.A.M. and P.M. Driessen. 1985. Physical properties of peat soils affecting rice-based cropping systems. p 71-83 In IRRI. Soil Physics and Rice. International Rice Research Institute. Los Banos. Laguna. Philippines. Chairuddin, Iriansyah, O. Klepper, and H.D. Rijksen. 1990. Environmental and socio-economic aspects of fish and fisheries in an area of acid sulphate soils, Pulau Petak, Indonesia. p 374-392. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Charoenchamratcheep, C., B. Tantisira, P. Chitnuson, and V. Sinaiem. 1982. Effect of liming and fertilizer application on acid sulphate soils for improvement of rice production in Thailand. p 157-171. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. De Geus and Jan G. 1973. Fertlizer guide for the tropics and subtropics. Centre dEtude de lAzote, Zurich. Second Edition. 774 p. Dent, D. 1986. Acid Sulphate Soils: A baseline for research and development. ILRI Publ. 39. International Land Reclamation and Improvement. Wageningen. The Netherlands. 204 p. Driessen, P.M. and R. Dudal. 1989. Lecture Notes on the Geography, Formation, Properties and Use of the Major Soils of the World. Agricultural University Wageningen and Katholieke Universiteit Leuven. Wageningen. Leuven. Belgium. Fox, R.L., and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption isotherms for evaluating the phosphate requirements of soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 34: 902-907. Gaspersz , V. 1991. Metode perancangan percobaan. Penerbit. CV. ARMICO. Bandung. 270

Abdurachman et al.

Haby, V.A., M.P. Russelle, and E.O. Skogley. 1990. Testing soils for potassium, calcium, and magnesium, pp. 181 228. In Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison, Wisconsin. USA. Hanhart, K., and Duong van Ni. 1993. Water management on rice fields at Hoa An, Mekong Delta, Vietnam. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p. Hartatik, W., I G.M. Subiksa, dan D.A. Suriadikarta. 2000. Ameliorasi lahan gambut di Ai Sugihan Kiri, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Hasibuan, K.M. 1988. Pemodelan matematik di dalam biologi populasi. PAU-IPB bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Joret, G., H. Malterre, and M. Cabazan. 1990. Lappreciation des besoins en chaux des sols de limon dapres leur etat de saturation en bases exchangeables, p: 105-126. In Westerman, R. L (Ed.). Soil testing and plant analysis. Soil Science Society of America., Inc. Madison, Wisconsin. USA. Jumakir, S. Suwalan, K. Bambang, dan T. Alihamsyah. 2000. Kajian beberapa varietas unggul padi di lahan pasang surut. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Keeny, D.R., and R.B. Corey. 1963. Factor affecting the lime requirement of Wisconsin soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27: 277-280. Konsten, C.J.M., S. Suping, I B. Aribawa, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1990. Chemical processes in acid sulphate soils in Pulau Petak, South and Central Kalimantan, Indonesia. p 109-135. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Kselik, R.A.L. 1990. Water Management on Acid Sulphate Soils at Pulau Petak, Kalimantan. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Kselik, R.A.L., K.W. Smilde, H.P. Ritzema, K. Subagyono, S. Saragih, M. Damanik, and H. Suwardjo. 1993. Integrated research on water management, soil fertility and cropping systems on acid sulphate soils in South Kalimantan, Indonesia. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 pp.

271

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Liebhardt W.C. 1981. The basic cation saturation ratio concept of lime and potassium recommendations on Delawares Coastal Plain Soils . Soil Sci. Soc. Am. J. 45: 544-549. Lindsay, W.L. 1979. Chemical equilibria in soils. John Wiley & Sons, New York. Chichester. Brisbane. Toronto. 449p. Mansur, D., D.A. Suriadikarta, I G.M. Subiksa, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Pengaruh tata air dan pencampuran gambut terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lahan bergambut. hal. 113-120 Dalam Sunihardi, A. Musaddad, Trip Alihamsyah dan Inu G. Ismail (Eds.) Teknologi Produksi dan Pengembangan Sistem Usahatani di Lahan Rawa. Kumpulan Hasil Penelitian. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa TerpaduISDP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. McLean, E.O., R.C. Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic cation saturation ratios as a basis for fertilizing and liming agronomic crops. II. Field studies. Agron. J. 75:635-639. Moctar Toure. 1982. Improvement of acid sulphate soils: Effects of lime, wood ash, green manure and preflooding. p. 223-236. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. Montoroi, J.P., J. Albergel, A. Dobos, M. Fall, S. Sall, A. Bernard, D. Brunet, G. Dubee, and P. Zante. 1993. Rehabilitation of rice fields in the acid sulphate soils of lower casamance, Senegal. In Dent and Van Mensvoort (Eds.). Selected Papers of the Ho Chi Minh City Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 53. International Institute for Land Reclamation and Improvement. Wageningen. The Netherlands. 425 p. Moorman, F.R. and N. Van Breemen. 1978. Rice: Soil, water and land. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. Ponnamperuma, F.N. and J.L. Solivas. 1982. Field Amelioration on an Acid Sulphate Soil For Rice with Manganese Dioxide and Lime. p 213-222. In Dost and Van Breemen (Eds.). Proceedings of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. Pons, L.J. and van Breemen. 1982. Factors Influencing the Foremation of Potential Acidity in Tidal Swamps. P. 37-51. In Dost and ven Breemen (Eds.). Proceeding of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILPI Publ. 31. Wageningen. The Netherlands. Ritzema, H.P., R.A.L. Kselik, and K. Subagyono. 1993. Water Management Strategies to Ameliorate and Use Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. ILRI. Wageningen. The Netherlands. Sabiham, S., T.B. Prasetyo, and S. Dohong. 1995. Phenolic acids in Indonesian peat. P. 289-292 In Rieley and Page (Eds.). Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatland Proceedings of the International Symposium on

272

Abdurachman et al.

Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability o Tropical Peats and Peatland. Palangkaraya, 4-8 September 1995. Segeren, W.A. and H. Smith. 1980. Drainage of Newly Reclaimed Marine Clayey Sediments, Peat Soils, and Acis Sulphate Soils. In Drainage Principles and Applications. Vol. IV. Design and Management of Drainage Systems. ILRI Publ. 16. Wageningen. The Netherlands. Sevenhuysen, R.J. 1990. The water management puzzle: A Summary of the Research. p 338-346 In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Shamshuddin, J., S.R. Syed Omar, and A.R. Anuar. 2003. A New Paradigm in Tropical Soil Management. Department of Land Management, Faculty of Agriculture Universiti Putra Malaysia, 43000 Serdang, Selangor, Malaysia. Kongres Nasional VIII. Padang 21-23 Juli 2003. Sholeh, U. Sudiatna, dan Maryam. 2001. Nisbah kejenuhan kation basa sebagai dasar pemupukan Ca, Mg, dan K untuk padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Cisarua-Bogor 3031 Oktober 2001. Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Smilde, K.W. 1990. Lime and Fertilizer Application for Crop Yield Improvement. p 224-237. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Sri Ratmini, N.P., I G.M. Subiksa, dan Komaruddin. 2000. Rehabilitasi lahan sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Subagyono, K., E. Ananto, I M.O. Adnyana, and I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Water management strategies for farming system development in tidal swamp areas of South Sumatra. IARD Journal, Vol. 20 No. 4:83-90. Subagyono, K., I P.G. Widjaja-Adhi, T. Alihamsyah, E. Ananto, dan I G.M. Subiksa. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Penataan Lahan dan Air untuk Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Proyek Pengembangan SUP Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. (Tidak dipublikasi). Subagyono, K., H. Suwardjo, A. Abas Id., dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1994. Pengaruh pencucian, kapur, dan pemupukan K terhadap sifat kimia tanah, kualitas air, dan hasil padi pada tanah sulfat masam di Unit Tatas, Kalimantan Tengah. Pemb. Pen. Tanah dan Pupuk, No. 12: 35-47. Subagyono, K., H. Suwardjo, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1992. Kontribusi Beberapa Teknik Reklamasi terhadap Perbaikan Mutu Lahan Pasang Surut Bertanah Sulfat Masam. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan

273

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Rawa

Terpadu Kawasan Pasang Surut di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasi). Subiksa, I G.M. 2000. Ameliorasi lahan gambut untuk usahatani yang berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli. ISDP. Puslitbangtan. Badan Litbang. Pertanian. Tim Puslitbangtanak. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Puslitbangtanak. Badan Litbang Pertanian. Edisi pertama. 266 halaman. Vadari, T., K. Subagyono, H. Suwardjo, and A. Abas Id. 1990. The effect of water management and soil amelioration on water quality and soil properties in acid sulphate soils at Pulau Petak Delta, South Kalimantan, Indonesia. p. 277-294. In AARD/LAWOO Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in the Humid Tropics. Bogor. Wade, M.K., M. Al-Jabri, and M. Sudjadi. 1987. The effect of liming on soybean yield and soil acidity parameters of three red yellow podzolic soils of West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8. Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. Van Breemen, N. 1972. Soils forming processes in acid sulphate soils. In Dost (ed.): Acid Sulphate Soils. Proc. Intern. Symp. ILRI Publ. 18, vol. 1. p. 66130. Van Mensvoort, M.E.F. 1996. Soil Knowledge for Farmers, Farmer Knowledge for Soil Scientists. The case of acid sulphate soils in the Mekong Delta, Viet Nam. PhD Thesis Landbouwuniversiteit Wageningen, Wageningen, The Netherlands. Widjaja-Adhi, I P.G., I G.M. Subiksa., Sutjipto Ph., dan B. Radjagukguk. 1990. Pengelolaan tanah dan air lahan pasang surut: Studi Kasus Karang Agung, Sumatera Selatan. Hal. 121-131 dalam Mahyuddin Syam et al. (Eds.) Usahatani di Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Bogor 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G., IPG. 1988. Physical and chemical characteristics of peat soil of Indonesia. IARD Journal, Vol. 10 No. 3: 59-64. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatan. Makalah Utama disajikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor. Widjaja-Adhi, I P.G. 1997. Mencegah Degradasi dan Merehabilitasi Lahan Sulfat Masam. Makalah disajikan dalam Pertemuan Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Selatan, 18 Maret 1997 di Banjarmasin. (Tidak dipublikasi).

274

IX

USAHA AGRIBISNIS DI LAHAN RAWA PASANG SURUT


Achmadi Jumberi dan Trip Alihamsyah

275

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.1. POTENSI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN LAPANGAN KERJA Potensi pengembangan pertanian di lahan pasang surut sangat besar mengingat arealnya luas dan dan teknologi pengelolaannya sudah tersedia secara memadai. Adanya potensi peningkatan dan diversifikasi produksi memberi peluang besar terhadap pengembangan agribisnis dan agroindustri. Berbagai usaha sebagai bagian dari subsistem agribisnis dapat dikembangkan, mulai dari usaha penyediaan benih dan sarana produksi sampai kepada usaha jasa tenaga kerja dan keuangan serta pengolahan dan pemasaran hasil berbagai komoditas pertanian. Sedangkan pengembangan agroindustri atau industri hasil olahan komoditas pertanian ditujukan terutama untuk meningkatkan nilai tambah, seperti kelapa menjadi kopra dan minyak kelapa atau cabai dan tomat menjadi sambal dan saus serta buah-buahan menjadi selai dan sirup atau buah-buahan dalam kaleng untuk ekspor. Pengembangan agroindustri hasil pertanian dapat dilakukan oleh petani dalam skala rumah tangga atau oleh perusahaan besar, seperti industri aneka panganan seperti gula dan minyak kelapa, kripik, krupuk, jagung marning, selai, dan sirup nenas serta pakan ternak dan ikan. Pengembangan agribisnis dan agroindustri ini tentunya secara otomatis meningkatkan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pengembangan pertanian baik oleh petani dalam skala kecil maupun oleh pengusaha dalam skala luas. Hal ini pada akhirnya akan membuka peluang kesempatan kerja, baik tenaga kasar atau buruh tani maupun tenaga terdidik dan aktivitas ekonomi setempat serta pendapatan masyarakat maupun pengembangan wilayah setempat. Beberapa contoh disini adalah berkembangnya wilayah pasang surut di berbagai lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, serta Kalimantan Barat, Tengah, dan Selatan sebagai daerah pemasok hasil pertanian terutama tanaman pangan dan hortikultura dan ternak.

9.2. KELAYAKAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS Hasil analisis usahatani eks-ante pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala tahun 2003 menunjukkan bahwa melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tanaman secara terpadu, usahatani berbagai komoditas pertanian adaptif baik secara tunggal maupun dalam suatu

276

Jumberi dan Alihamsyah

sistem usahatani terpadu di lahan pasang surut cukup layak pengembangannya secara ekonomi (Tabel 9.1 dan 9.2). Secara umum terlihat bahwa tanaman sayuran memberikan nilai keuntungan dan R/C lebih tinggi daripada tanaman pangan, hanya saja memerlukan pemeliharaan lebih intensif dan biaya lebih tinggi sehingga pengusahaannya oleh petani tidak bisa.secara ekstensif. Sedangkan usahatani terpadu antara tanaman padi dengan jeruk dan sayuran khususnya cabai memberikan keuntungan dan nilai R/C yang tinggi (Tabel 56), sehingga layak untuk dikembangkan secara komersial. Tabel 9.1. Keragaan ekonomi berbagai tanaman di lahan sulfat masam pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003
Jenis tanaman Tanaman pangan Padi lokal Padi Margasari Padi unggul Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Jagung a Tanaman sayur ) Cabai Tomat Kubis Timun Buncis Biaya Penerimaan Keuntungan ................................. Rp/ha ................................. 1.103.300 2.499.000 3.086.000 4.368.000 3.080.000 3.561.000 2.400.000 1.380.000 1.231.000 1.926.000 1.713.000 1.820.000 3.750.000 4.500.000 4.200.000 6.300.000 8.000.000 6.750.000 4.000.000 4.800.000 7.680.000 7.168.000 4.608.000 3.072.000 2.647.000 2.001.000 1.114.000 1.932.000 4.920.000 3.190.000 1.600.000 3.420.000 6.449.000 5.242.000 2.895.000 1.252.000 R/C

3.40 1.80 1,36 1.44 2.60 1.90 1.67 3.48 6.24 3.72 2.69 1.69

a) Tanaman sayuran ditanam pada bagian guludan surjan seluas 0,224 ha/ha lahan Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)

Seberapa hasil penelitian pengembangan sistem usahatani di Sumatera Selatan, Jambi, Riau dan Kalimantan Barat dan Selatan menunjukkan bahwa walaupun keragaan pengembangan pertanian beragam antar lokasi lahan pasang surut tapi masih layak, dimana tanaman padi memberikan kontribusi paling besar terhadap penerimaan usahatani di semua tipologi lahan (Proyek Swamp II, 1993 dan Alihamsyah dan Ananto, 1998). Nilai Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) sistem usahatani masing-masing sebesar 3,55; 2,65; 1,54; dan 2,14 pada lahan potensial, sulfat masam, gambut, dan salin. Sedangkan kombinasi usahatani sistem longyam di lahan pekarangan dan sistem surjan di

277

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

lahan usaha seluas 1,75 ha yang ditanami tanaman pangan dan sayuran memberikan nilai IBCR sebesar 1,74. Komoditas ikan dan tanaman industri umumnya memberikan kontribusi yang kecil terhadap penerimaan usahatani, disebabkan usahatani ikan kurang menarik sedangkan tanaman industri membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan. Ternak memberikan kontribusi cukup besar terhadap penerimaan usahatani, selain itu berfungsi juga sebagai penangkal kesulitan dalam memperoleh uang kontan dan pupuk kandangnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman. Tabel 9.2. Hasil analisis usahatani sistem surjan di lahan sulfat masam pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003
Jenis tanaman Biaya Penerimaan Keuntungan .................................. Rp/ha .................................. Pola padi lokal pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan 856.000 2.910.000 2.054.000 1.162.000 10.070.000 8.908.000 810.000 1.500.000 690.000 2.828.000 14.480.000 11.652.000 R/C

Padi lokal Jeruk Cabai Jumlah

3,40 8,67 1,85 4,93 1,84 8,67 1,85 3,21

Pola padi-padi unggul pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan Padi unggul 3.794.000 6.984.000 3.190.000 Jeruk 1.162.000 10.070.000 8.908.000 Cabai 810.000 1.500.000 690.000 Jumlah 5.766.000 18.554.000 12.788.000 Sumber: Badan Litbang Pertanian (2003)

9.5. ARAH PENGEMBANGAN DAN ALTERNATIF MODEL AGRIBISNIS Pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut menurut Alihamsyah et al. (2000) harus diarahkan kepada pengembangan agribisnis aneka komoditas dalam suatu sistem usaha terpadu sesuai dengan karakteristik biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditasnya dalam perspektif pengembangan wilayah. Model atau sistem usaha terpadu bertitik tolak kepada optimalisasi pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistem agribisnisnya serta bersifat spesifik dan dinamis sehingga pengembangannya disesuaikan dengan karakteristik biofisik lahan dan prospek pemasaran hasil komoditas yang akan diusahakan. Model agribisnis yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut bisa berupa model agribisnis yang dibangun baru sesuai dengan kebutuhan inovasi 278

Jumberi dan Alihamsyah

teknologi yang akan dikembangkan, maupun penyempurnaan model agribisnis yang ada. Dengan demikian, model agribisnis tersebut hendaknya merupakan reformasi dan revitalisasi serta renovasi dari teknologi dan kelembagaan yang sudah ada disesuaikan dengan kebutuhan sistem pendukung inovasi teknologi yang akan dikembangkan dan kondisi wilayah. Dilihat dari pelaku dan tujuan pengembangannya, secara garis besar ada dua model usaha agribisnis terpadu yang cocok dikembangkan di lahan pasang surut, yaitu usaha agribisnis berbasis tanaman pangan dan usaha agribisnis berbasis komoditas andalan (Alihamsyah dan Ananto, 1998 dan Suprihatno et al., 1999). Usaha agribisnis berbasis tanaman pangan ditujukan utamanya untuk menjamin keamanan pangan bagi petani, sedangkan usaha agribisnis berbasis komoditas andalan dapat dikembangkan dalam skala luas dalam perspektif usaha komersial. Usaha agribisnisnya perlu mencakup sistem agribisnis yang holistik. mulai dari subsistem agribisnis hulu sampai subsistem agribisnis hilir yang bisa berupa: subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem jasa tenaga kerja, produksi, subsistem pasca panen dan subsistem pemasaran hasil. Oleh karena itu. perlu dibangun kelembagaan dari setiap subsistem tersebut dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui pemberdayaan masyarakat serta rekayasa atau peningkatan kelembagaan yang sudah ada.

9.4. POLA TANAM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TIPE LUAPAN AIR SERTA IKLIM Pemilihan pola tanam dan komoditas pertanian berkaitan erat dengan pola penataan lahan dan ketersediaan air, dimana sumber air di lahan pasang surut berasal dari air pasang dan air hujan atau hanya air hujan saja tergantung kepada tipe luapan airnya. Bervariasinya jangkauan air pasang di lahan pasang surut mengakibatkan adanya perbedaan suplai air ke petakan lahan untuk menunjang keperluan tanaman. Anjuran pola tanam yang dapat dikembangkan di lahan pasang surut diberikan oleh Suprihatno et al. (1999). Pada lahan bertipe luapan air A yang umumnya berada di sepanjang sisi sungai ditata sebagai sawah, dimana air pasang sudah mampu mensuplai keperluan air tanaman baik pada musim hujan maupun kemarau, sehingga walaupun curah hujan bulanan kurang dari 100 mm, penanaman padi tetap dapat dilakukan. Kendala pada lahan ini adalah tingginya genangan air pada musim hujan sehingga diperlukan 279

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

varietas lebih tinggi dari genangan maksimum. Namun demikian, lahan di daerah tersebut pada musim kemarau panjang sering mengalami intrusi air laut. Oleh karena itu, pada musim kemarau diperlukan varietas yang toleran kegaraman seperti Sei Lalan. Dengan demikian pola tanam yang sesuai dengan kondisi lahan bertipe luapan air A adalah padi-padi. Pada lahan bertipe luapan air B, dimana lahan hanya dapat terluapi air pasang besar di musim hujan, maka untuk penanaman padi pada musim hujan, air tidak menjadi masalah. Sedangkan penanaman padi pada musim kemarau, sering menghadapi masalah kekurangan air karena selama musim kemarau ada bulan-bulan tertentu yang curah hujan bulanannya kurang dari 100 mm, di lain pihak kemampuan air pasang masuk ke petakan lahan berkurang, mengikuti pola curah hujan. Oleh karena itu, pola tanam yang dapat dikembangkan harus dikaitkan dengan agroklimat yang ada di Indonesia, yaitu padi-padi untuk tipe iklim At B1 dan B2, sedangkan untuk tipe iklim C1 dan C2 adalah padi-padi atau padi palawija. Penanaman palawija di lahan bertipe luapan air B pada musim hujan membutuhkan tata air tertentu pada petakan lahan agar terhindar dari genangan air. Pada lahan bertipe luapan air C, sumber air utama berasal dari curah hujan sehingga penanaman padi sawah di lahan tersebut hanya dapat dilakukan pada musim hujan yaitu, seperti halnya sawah tadah hujan. Karena pola dan distribusi hujan selalu berubah, maka padi sering mengalami kekurangan air. Penanaman palawija pada lahan tersebut sangat dimungkinkan, baik pada musim kemarau maupun musim hujan, berkat dukungan curah hujan dan besarnya kandungan bahan organik dengan daya serap yang besar terhadap air. Sebagai konsekuensi dari sifat tersebut maka penanaman palawija membutuhkan drainase yang baik, karena itu perlu dibuat saluran-saluran drainase. Lahan bertipe luapan air D lebih bersifat seperti lahan kering dengan sumber utama airnya adalah hujan, maka penanaman padi dilakukan pada musim hujan saja dengan syarat masa pertanamannya berada pada bulan-bulan basah. Karena besarnya porositas tanahnya maka perlu digunakan varietas padi yang toleran terhadap kekeringan seperti : Cisanggarung, Sei Lalan, Banyuasin, Batanghari, dan Dendang. Penanaman palawija dapat dilakukan pada musim hujan maupun pada musim kemarau, sehingga pola tanam yang sesuai untuk tipe lahan ini adalah padipalawija/sayuran atau palawija-palawija/sayuran.

280

Jumberi dan Alihamsyah

Gambar 9.1. Pola tanam padi-jeruk di lahan pasang surut tipe luapan B, kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan

9.5. PEMILIHAN KOMODITAS DAN VARIETAS TANAMAN Identifikasi jenis komoditas dan varietas tanaman untuk pengembangan agribisnis di lahan pasang surut sangat penting agar dapat memberikan hasil optimal. Karena kondisi lahannya yang spesifik menyebabkan hanya beberapa jenis komoditas dan varietas tertentu saja yang dapat tumbuh dan memberikan hasil baik. Dari hasil pengujian dan pengalaman pengembangan di lapangan, Badan Litbang Pertanian telah mengidentifikasi berbagai jenis komoditas pertanian dan varietas tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di lahan pasang surut. baik berupa varietas unggul lokal maupun varietas unggul nasional. Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut meliputi : tanaman pangan (padi. jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi-ubian), tanaman sayuran (tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong, buncis, kubis, bawang merah, sawi, slada, bayam, dan kangkung), tanaman buah-buahan (nenas, semangka, jeruk rambutan, dan pisang), tanaman perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, lada, dan jahe), ternak (unggas, ruminansia kecil dan besar), dan ikan (nila, patin, jelawat, betutu, tambakan) (Ismail et al., 1993 dan Alihamsyah et al., 2003). Untuk mendukung pengembangan pertanian di lahan pasang surut, Badan Litbang Pertanian juga telah menghasilkan berbagai varietas unggul tanaman 281

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

khususnya padi dan palawija yang adaptif di lahan pasang surut (Ismail et al., 1993; Suwarno et al., 1993; Suprihatno et al., 1999; Alihamsyah et al., 2000; Alihamsyah et al., 2001). Varietas unggul padi sawah yang beradaptasi baik di lahan pasang surut yang tingkat kemasaman dan kadar besinya tidak terlalu tinggi adalah Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR-42, IR-66, Lematang, Sei Lilin, Sei Lalan, Banyuasin, Dendang, dan Batanghari. Sedangkan untuk lahan yang kemasaman dan kadar besinya tinggi dapat digunakan beberapa varietas unggul lokal seperti Talang, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran hanya saja umurnya panjang, yaitu 120-150 hari. Penanaman padi dapat dilakukan melalui dua pola tanam, yaitu pola padi varietas unggul-unggul dan pola padi varietas unggul-Iokal. Pada pola padi varietas unggul-Iokal, varietas unggul ditanam pada musim hujan dengan luasan sekitar 75-80% dari luas petak lahan sedangkan 20-25% sisanya untuk persemaian padi varietas lokal yang akan ditanam setelah padi varietas unggul dipanen. Dengan demikian intensitas pertanaman pada pola ini antara 175180%. Dari serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian, maka sampai dengan tahun 2001 telah dilepas 18 varietas padi unggul adaptif lahan pasang surut dengan berbagai sifat (Tabel 9.3) yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi biofisik lahan dan preferensi petani.

Gambar 9.2.

Tampilan varietas ungul padi Margasari dan Ciherang di lahan eks PLG, Dadahup, kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

282

Jumberi dan Alihamsyah

Tabel 9.3. Varietas unggul padi pasang surut yang telah dilepas sampai tahun 2002
Nama varietas Barito Mahakam Kapuas Musi Sei Lilin Lematang Lalan Banyuasin Batanghari Oendang Indragiri Punggur Margasari Martapura Air Tenggulang Siak Raya Lambur Mendawak Tahun dilepas 1981 1983 1984 1988 1991 1991 1997 1997 1999 1999 2000 2000 2000 2000 2001 2001 2001 2001 Umur panen hari 140-145 135-140 127 135-140 115-125 125-130 125-130 115-120 125 125 117 117 120-125 120-125 125 125 120 115 Hasil t/ha 3 3-4 4-5 4,5 4-6 4-6 4-6 4-6 4-6 3-5 4,5-5,5 4,5-5 3-4 3-4 5 5 4 4 Tekstur nasi Pera Pera Sedang Pera Pera Pera Pera Pulen Pera Pulen Sedang Sedang Sedan Sedang Pera Pera Pulen Pulen Ketahanan hama dan penyakit WCk HOB BCk Blas T-1 P-1,2,3 T -1 T-2 AT-2 T-1 T-1,2, 3 T -3 T -1,2 T-1,2 T-2 T-2,3 AT-2 AP T-1,2,3 T-IR26 A T-3 AT -3 AT AT AT T T T T T AT T T T AP AT T T T AT T T T T T T AT

T = Tahan; AT = Agak Tahan; AP = Agak Peka; P = Peka; WCk = Wereng coklat; 1, 2, 3 = Biotipe 1, 2, 3; HOB = Hawar daun bakteri; BCk = Bercak coklat Sumber : Khairullah dan Sulaiman (2002).

Pemilihan komoditas selain padi sangat dimungkinkan bila lahan ditata dengan sistem surjan atau tukungan terutama pada lahan bertipe luapan air BIC dan tegalan pada lahan bertipe luapan air C dan D yang disertai dengan pembuatan drainase dangkal intensif. Tanaman palawija dan hortikultura atau tanaman industri dapat diusahakan pada guludan surjan dan pada lahan bertipe luapan air C dan D terutama pada musim kemarau Varietas unggul tanaman palawija yang beradaptasi baik di lahan pasang surut adalah Arjuna, Wiyasa, dan Kalingga untuk jagung; Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, dan Galunggung untuk kedelai; Gajah, Pelanduk, dan Kerinci untuk kacang tanah; Betet dan Walet untuk kacang hijau. Daftar jenis dan varietas tanaman palawija, sayuran, buahbuahan, dan tanaman industri yang adaptif lahan pasang surut secara rinci disajikan pada Tabel 9.4. Hal ini menunjukkan bahwa tersedia beragam pilihan komoditas dan varietas yang dapat dikembangkan untuk usaha agribisnis di lahan pasang surut disesuaikan dengan preferensi pasar atau konsumen.

283

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Dengan demikian, pengembangan agribisnis di lahan pasang surut dengan beragam pilihan komoditas dan varietas sesuai dengan preferensi pasar atau konsumen sangat prospektif. Tabel 9.4. Jenis dan varietas tanaman non padi adaptif lahan pasang surut
Jenis tanaman Jagung Varietas Daya toleransi Sedang Sedang Tahan Tahan Sedang Sedang Tahan Sedang Tahan Sedang Sedang Sedang Tahan Sedang Sedang Sedang Sedang Tahan Sedang Sedang Tahan Tahan Hasil t/ha 4-5 1,5-2,4 1,8-3,5 1,5 10-15 4-6 30-40 20-25 15-28 6-8 35-40 4,1-7,6 15-20 12-15 10-12 25-30 15-25 40 20-24 21,6 2,5-4,1 kopra 19

Arjuna, Kalingga, Wiyasa, Bisma, Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga, H6, Bisi Dua Kedelai Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo, Galunggung, Siamet, Lawit, Merbabu, Petek, Kerinci, Tampomas,Tanggamus, Menyapa Kacang tanah Gajah, Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo,Mahesa Kacang hijau Betet, Walet, Gelatik Tomat Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV-22 , Ratna Cabai Tanjung-1, Tanjung-2, Barito, Bengkulu, Tampar, Keriting, Rawit Hijau dan Putih Terong Mustang, Kopek Ungu, Ungu Panjang, No. 4000 Kubis KK Cross, KY Cross, Grand 33 Kacang panjang Super King, Pontianak, KP-1, KP-2 Buncis Horti-1, Horti-2, Prosessor, Farmer Early, Green Leaf Timun Saturnus, Mars, Pluto Bawang merah Ampenan, Bima, Menteng, Sumenep, Kuning Sawi Asveg#1, Sangihe, Talaud, Tosakan, Putih Jabung, Sawi Hijau, Sawi Huma, No. 82-157 Slada New Grand Rapids Bayam Maestro, Giti dan Kakap Hijau dan Merah, Cimangkok Kangkung LP-1, LP-2, Sutera Semangka Sugar Baby, New Dragon Nenas Madu, Bangka, Paun Jahe Merah Kencur Kelapa Dalam Riau Kelapa sawit Sumber : Alihamsyah et al. (2003)

284

Jumberi dan Alihamsyah

Komoditas hortikultura, baik sayuran maupun buah-buahan, memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari pada tanaman pangan, tetapi teknik budidayanya lebih rumit dan memerlukan ketekunan. Selain itu, komoditas ini sangat rentan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, seperti curah hujan tinggi, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman. Tanaman industri atau perkebunan walaupun memiliki prospek besar untuk agribisnis di lahan pasang surut, namun pengusahaannya harus dilakukan dalam skala lebih luas untuk efisiensi pengolahan hasil dan peningkatan nilai tambah.

Gambar 9.3. Tampilan kacang tanah dan tanaman sayuran di lahan eks PLG, Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

9.6. KOMPONEN UTAMA SISTEM AGRIBISNIS Seperti pada agro-ekosistem lainnya, sistem agribisnis di lahan pasang surut perlu mencakup : (1) subsistem produksi berupa penerapan teknologi produks! (2) subsistem sarana dan prasarana pertanian seperti pengembangan prasarana tata air serta penyediaan sarana produksi dan jasa tenaga kerja, (3) subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, (4) subsistem pemasaran dan distribusi, dan (5) subsistem pendukung. Setiap subsistem tersebut memerlukan kelembagaan yang sesuai dan ditata dalam suatu tatanan yang sinergis dan harmonis melalui peningkatan kemampuan dan pemberdayaan masyarakat maupun kelembagaan yang sudah ada (Alihamsyah et al., 2003).

285

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.6.1. Model usahatani sebagai subsistem produksi Adanya keragaman karakteristik biofisik lahan dan sosial ekonomi, maka model usahatani yang dapat dikembangkan adalah model usahatani yang berbasis sumberdaya lokal yaitu kondisi lahan dan komoditas yang sesuai. Model usahataninya bersifat spesifik dan dinamis disesuaikan dengan tipologi lahan dan tipe luapan air serta sosial ekonomi dan kemampuan masyarakat setempat maupun prospek pemasaran komoditasnya. Usahataninya harus diarahkan kepada pengembangan aneka komoditas dalam suatu sistem usaha terpadu baik antar komoditas yang diusahakan maupun antar komponen teknologi budidayanya yang pemilihannya disesuaikan dengan kondisi lahan dan prospek pemasarannya. Penganekaragam komoditas ini perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi risiko kegagalan usahatani. Sistem usahataninya mencakup : aspek penataan lahan dan jaringan pengairan, pola tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi produksinya disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya. Dengan demikian, sistem usahanya bersifat spesifik dan dinamis disesuaikan dengan karakteristik lahan dan kondisi sosial ekonomi setempat serta prospek pemasaran hasil komoditas yang bisa dikembangkan. Sistem usaha terpadu tersebut didasarkan kepada sistem usaha yang bertitik tolak kepada pemanfaatan hubungan sinergistik antar subsistemnya agar kelestarian sumberdaya alam dan keberlanjutan pertaniannya tetap terjamin. Dilihat dari pelaku dan tujuan pengembangannya, secara garis besar ada dua model usahatani yang cocok dikembangkan di lahan pasang surut, yaitu : usahatani berbasis tanaman pangan dan usaha tani berbasis komoditas unggulan (Alihamsyah dan Ananto, 1998; Suprihatno et aI., 1999; Alihamsyah et aI., 2000). Usahatani berbasis tanaman pangan ditujukan untuk menjamin keamanan pangan bagi petaninya, sedangkan usahatani berbasis komoditas unggulan dikembangkan pada skala luas dalam perspektif agribisnis oleh pengusaha. Komoditas yang bisa dikembangkan di lahan pasang surut meliputi : tanaman pangan, tanaman sayuran, tanaman buah-buahan, tanaman perkebunan, ternak, dan ikan. Pemilihan komoditas untuk suatu wilayah pengembangan perlu disesuaikan dengan kondisi lahan serta prospek pemasarannya. Sedangkan pemilihan varietas tanamannya didasarkan kepada daya adaptabilitasnya terhadap kondisi lahan pasang surut yang beragam,

286

Jumberi dan Alihamsyah

termasuk preferensi petani dan konsumen. Dari prospek pemasarannya, berbagai komoditas andalan yang memiliki keunggulan komparatif ataupun kompetitif dapat dikembangkan, antara lain: kelapa, sawit, lada, jahe, nenas, pisang, cabe, tomat, ternak ruminansia dan unggas, ikan patin, nila, dan jelawat. Beberapa contoh model dan penerapan usahatani di lahan pasang surut baik secara terpadu maupun parsial dikemukakan dalam Ar-Riza et al. (1993), Ismail et al. (1993), Areo et al. (1998), Sabran et al. (1998), Area et al. (1999), Alihamsyah et al. (2000), Ananto et al. (2000), Ismail et al. (2000), Herawati et al. (2000), dan Supriadi et al. (2000). 9.6.2. Subsistem penyediaan sarana dan jasa tenaga kerja Subsistem ini merupakan subsistem pendukung utama pada subsistem produksi. Subsistem penyediaan sarana produksi pertanian mencakup terutama : perbenihan dan pembibitan, amelioran dan pupuk serta obat-obatan, alat dan mesin pertanian (alsintan), serta bahan pendukung lainnya. Sedangkan subsistem jasa tenaga kerja terkait dengan kelangkaan tenaga kerja di wilayah lahan pasang surut. Dengan terbatasnya modal dan keterampilan serta jiwa wirausaha petani dan mahalnya harga alsintan, pengembangan alsintan diarahkan kepada sistem penyewaan melalui usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) sehingga petani tidak menanggung risiko kerugian. Subsistem ini bisa berupa UPJA untuk kegiatan penyiapan lahan. penanaman, pemeliharaan tanaman, pemompaan air, panen dan pasca panen. Sarana produksi yang penyediaannya sering bermasalah adalah benih, bibit dan pupuk. Dalam kaitan dengan penyediaan benih, petani penangkar benih yang dibina oleh dan bermitra dengan pihak swasta perlu ditumbuhkembangkan. Selain itu, keperluan benih atau bibit untuk setiap lokasi pengembangan termasuk varietas dan waktunya perlu diinventarisir, agar penyediaannya tepat sasaran, efektif dan efisien. Sedangkan dalam hal penyediaan pupuk dan obat-obatan peranan koperasi desa dan kios sarana produksi perlu ditingkatkan. Peranan pihak swasta dalam penanganan subsistem ini sangat diperlukan agar sarana produksi dan pelayanan jasa tersebut dapat tersedia dengan baik.

287

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

9.6.3. Subsistem pasca panen dan pemasaran hasil Masalah utama dalam subsistem pasca panen di lahan pasang surut adalah belum baiknya penanganan panen dan pasca panen, disebabkan oleh musim panen bersamaan dengan musim hujan serta terbatasnya tenaga kerja dan prasarana penunjangnya. Hal ini mengakibatkan tingginya kehilangan dan rendahnya mutu hasil tanaman sehingga harga jual hasil pertanian juga rendah. Pengembangan alsintan panen dan pasca panen baik pasca panen primer maupun pasca panen sekunder bertujuan selain untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja juga untuk menekan kehilangan dan memperbaiki mutu serta meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Hal ini memerlukan pengembangan UPJA untuk kegiatan pasca panen primer dan pengembangan industri pengolahan hasil atau agroindustri yang dapat menghasilkan beragam produk olahan. Berbagai komoditas pertanian telah diusahakan oleh petani di berbagai wilayah lahan pasang surut dan memberikan hasil yang cukup tinggi. Namun hasil pertanian tersebut tidak bisa dipasarkan dengan baik dan kadang-kadang harganya sangat murah karena sistem pemasaran yang tidak baik. Masalah pemasaran hasil pertanian di wilayah lahan pasang surut terkait juga dengan keterbatasan aksesibilitas wilayah dan informasi pasar serta kemampuan petani dalam memasarkan hasil pertaniannya. Hal ini mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani terlebih lagi pada saat panen raya dan dalam jangka panjang akan berpengaruh jelek terhadap keberlanjutan usahatani. Oleh karena itu. kelembagaan tata niaga atau pemasaran hasil pertanian sistem informasi pasar perlu dibangun dan kemampuan petani atau kelompoknya dalam memasarkan hasil pertaniaannya ditingkatkan sehingga petani memiliki posisi tawar yang lebih baik dan menerima keuntungan yang lebih layak. 9.6.4. Subsistem keuangan dan permodalan Pada wilayah lahan pasang surut yang sudah dikembangkan, terbatasnya modal merupakan salah satu kendala utama petani dalam mengembangkan usahatani yang intensif dan ekstensif. Terlebih lagi lembaga keuangan belum berkembang di lokasi tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah termasuk memberikan bantuan dana bergulir dan mengembangkan berbagai

288

Jumberi dan Alihamsyah

skem kredit seperti kredit usahatani dan kredit ketahanan pangan, namun pada umumnya tidak berhasil baik dan bahkan banyak yang macet. Oleh karena itu, perlu dikembangkan lembaga keuangan atau permodalan alternatif seperti lembaga keuangan desa dan Grameen Bank yang fungsinya selain menyalurkan kredit, juga melayani berbagai transaksi keuangan di wilayah pengembangan mengingat lokasi pengembangan umumnya jauh dari kota. Prosedur pengajuan kreditnya harus sesederhana mungkin dan biayanya murah serta pencairan dananya cepat dan jangka waktu pengembalian kreditnya lebih lama atau fleksibel, misalnya minimal satu tahun dan bukan satu musim tanam seperti yang dilaksanakan sebelumnya. 9.6.5. Subsistem informasi dan penyuluhan Peranan subsistem informasi dan penyuluhan penting dalam penyediaan dan penyebaran informasi terkini dari berbagai aspek terkait dengan pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut dan sekaligus meningkatkan kemampuan petani dalam berusahatani atau beragribisnis. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem informasi pertanian atau agribisnis yang baik agar mampu menyediakan informasi terkini mengenai potensi lahan dan karakteristiknya serta ketersediaan teknologi dan perkembangan pasar komoditas pertanian. Kemampuan Balai informasi dan penyuluhan pertanian yang ada perlu ditingkatkan, baik sarana dan prasarananya maupun sumberdaya manusianya agar mampu mengelola sistem informasi dan penyuluhan pertanian maju. Sebagai ujung tombak pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut, penyuluh pertanian perlu ditingkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keterampilannya dalam berbagai aspek pengembangan agribisnis. Selain itu, kepada mereka seyogyanya diberikan insentif dan dana operasional serta sarana dan prasarana yang memadai agar gairah dan semangat kerjanya meningkat. 9.7. KENDALA PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS Selain memiliki prospek yang baik, pengembangan agribisnis di lahan pasang surut juga menghadapi berbagai kendala sosial ekonomi dan dukungan eksternal yang terkait antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, untuk

289

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan agribisnis di lahan pasang surut harus diupayakan semaksimal mungkin pemecahan kendala tersebut. 9.7.1. Kendala sosial ekonomi petani Kendala sosial ekonomi pengembangan agribisnis di daerah pasang surut yang umumnya dihuni oleh penduduk lokal atau sebagai daerah transmigrasi meliputi : (1) rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan petani, (2) masih kuatnya adat budaya tradisional, dan (3) terbatasnya tenaga kerja. Hal ini menyebabkan sulit dan lambannya adopsi teknologi baru oleh petani. Untuk mendukung keberhasilan pengembangan usahatani atau agribisnis, maka petani atau buruh tani sebagai pelaksana dalam subsistem produksi perlu ditingkatkan kemampuan dan partisipasi aktifnya melalui berbagai upaya termasuk sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan. 9.7.2. Kendala dukungan eksternal Dukungan eksternal yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut mencakup : (1) terbatasnya infrastruktur atau prasarana penunjang terutama jaringan tata air dan perhubungan serta air bersih, (2) rendahnya aksesibilitas lokasi, dan (3) belum berkembang dan berfungsinya secara baik kelembagaan agribisnis terutama penyediaan sarana produksi, keuangan atau permodalan, pengelolaan pasca panen, pemasaran hasil, sistem informasi dan penyuluhan. Sarana dan prasarana transpotasi di daerah pasang surut terbatas dan umumnya berupa transportasi air, sedangkan pasar hanya dimiliki oleh wilayah yang sudah lama dibuka dan perkembangannya pun sangat lamban. Lembaga keuangan formal untuk perkreditan maupun penyimpanan uang umumnya belum tersedia di wilayah pasang surut sehingga fasilitas perkreditan dan mobilitas dana sulit berkembang. Keadaan transpotasi dan pemasaran yang demikian akan menghambat penyaluran sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian. Lembaga penyuluhan seperti Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian sebagai penyedia informasi dan penyebaran teknologi pertanian walaupun ada, tetapi sarana dan prasarananya umumnya terbatas serta kemampuan tenaga penyuluhnya relatif masih rendah.

290

Jumberi dan Alihamsyah

9.8. PERANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS Perancangan model usaha pertanian atau agribisnis di lahan pasang surut harus didasarkan kepada kondisi dan karakteristik wilayah pengembangannya, sehingga akan bersifat spesifik wilayah. Perancangan dan pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut perlu dilakukan dengan pendekatan holistik terpadu, artinya bahwa perancangan. dan pengembangannya dilakukan dalam suatu sistem terpadu yang sinergi dan serasi antar komponen atau subsistemnya, baik komoditas yang dikembangkan maupun teknologi yang digunakan serta dukungan eksternalnya (Gambar 9.4). Oleh karena itu, Identifikasi dan karakterisasi wilayah lahan pasang surut secara rinci merupakan langkah pertama dan utama yang harus dilakukan guna tercapainya sasaran pengembangan agribisnis di lahan pasang surut.

Penataan lahan: Sawah Surjan Tukungan Sistem caren

Jaringan tata air : Tata letak saluran Tipe dan dimensi saluran Bangunan tata air

Sistem Usahatani : Pola tanam Komoditas & varietas tanaman Teknik budidaya

Model Usaha Agribisnis di Lahan Pasang Surut Spesifik Lokasi

Kapasitas Petani : Pengetahuan & Ketrampilan Tenaga & model kerja Motivasi & partisipasi Kelompok tani

Prasarana Lainnya : Jalan usahatani Gudang & Prasarana prosesing Prasarana lainnya

Kelembagaan : Sarana Produksi Keuangan & permodalan Jasa Alsintan Pemasaran hasil Informasi & penyuluhan

Gambar 9.4. Gambaran perancangan model agribisnis di lahan pasang surut

291

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Dalam mengoptimalkan pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut, masalahnya adalah dimana saja dan berapa luas efektifnya serta bagaimana karakteristik lahannya. Oleh karena itu, salah satu langkah awal yang merupakan tahapan sangat penting dalam pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi atau inventarisasi dan karakterisasi sebaik mungkin terhadap lahan-Iahan tersebut. Informasi dalam bentuk peta minimal memuat penyebaran tipologi lahan dan tipe luapan air serta sifat fisiko-kimia penting tanah dan airnya dapat digunakan dalam penyusunan kembali tata ruang wilayah serta pola penataan lahan dan jaringan tata air maupun pola tanam dan pemilihan komoditas serta teknologi budidayanya. Sedangkan karakterisasi sosial ekonomi dan persepsi petani, prospek pemasaran komoditas dan kelembagaan serta prasarana penunjang digunakan untuk menyempurnakan prasarana usahatani, prasarana ekonomi, dan kelembagaan yang lebih sesuai serta pola peningkatan kapasitas petani. Pola pikir dalam perancangan model usaha agribisnis dalam kaitannya dengan karakterisasi wilayah lahan pasang surut disajikan pada Gambar 9.5.

Karakteristik biofisik lahan

Karakteristik sistem usahatani Karakteristik Wilayah Karakteristik Sosek & kelembagaan

Calon lokasi/petani Penataan lahan Pilihan komoditas Budidaya tanaman Model Usaha Agribisnis di lahan Pasang Surut

Karakteristik prasarana wilayah

Calon lokasi/petani Prasarana usahatani Prasarana ekonomi Lembaga penunjang Kapasitas petani

Peningkatan : Produksi pangan Pendapatan Kesejahteraan Kelestarian SDA

SASARAN Gambar 9.5. Pola pikir perancangan model usaha agribisnis di lahan pasang surut

292

Jumberi dan Alihamsyah

Agar kelestarian sumberdaya alamnya tetap terpelihara, pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut selain penerapan teknologi secara benar juga memerlukan pengaturan tata ruang yang cermat. Tata ruang pada pengembangan lahan pasang surut perlu diatur, baik untuk tata ruang skala makro maupun untuk tata ruang budidaya pertanian pada suatu wilayah pengembangan. Untuk pengaturan tata ruang, maka karakteristik dari setiap tipologi lahan pasang surut dapat dipakai sebagai acuan peruntukan atau pemanfaatan dan penataan lahan serta pemilihan komoditas yang sesuai. Sedangkan tata ruang pertanian disusun berdasarkan hasil karakterisasi wilayah terutama arahan kesesuaian lahan. Untuk skala makro, maka areal lahan perlu dibagi menjadi kawasan non budidaya, kawasan budidaya atau reklamasi dan kawasan prasarana penunjang seperti pemukiman dan fasilitas umum. Kawasan non budidaya diperuntukkan sebagai wilayah penyangga guna mempertahankan kelestarian sumberdaya alam, yang bisa berupa kawasan lindung dan suaka alam. Kawasan lindung meliputi kawasan gambut sangat dalam beserta hutannya, sempadan pantai dan sungai serta kawasan hutan bakau, sedangkan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem khas dan merupakan habitat alami fauna atau flora tertentu yang langka dengan tujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati. Kawasan budidaya atau reklamasi bisa berupa kawasan hutan tanaman industri, kawasan perkebunan dan kawasan pertanian. Sesuai dengan karakteristik lahannya, maka lahan gambut dalam dan lahan sulfat masam aktual dijadikan kawasan perhutanan atau konservasi, sedangkan lahan gambut sedang dan sulfat masam dijadikan kawasan perkebunan. Kawasan pertanian dipilih pada lokasi bertipologi lahan potensial, sulfat masam potensial, bergambut dan gambut dangkal, sedangkan untuk kawasan permukiman atau penunjang sedapat mungkin diletakan pada tipologi lahan sulfat masam. Gambar 9.6 adalah contoh pengaturan tata ruang umum bersifat hipotetik untuk pengembangan usaha agribisnis di lahan pasang surut. Pada kawasan budidaya pertanian, wilayah pengembangan ditata menjadi beberapa sub kawasan, yaitu bisa berupa sub kawasan tanaman pangan sub kawasan tanaman buah-buahan, sub kawasan tanaman sayuran, dan sub kawasan kombinasi dari aneka komoditas pertanian disesuaikan dengan penataan kesesuian lahan serta prospek pasar komoditas yang akan dikembangkan.

293

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Gambar 9.6. Contoh susunan tata ruang hipotetik di lahan pasang surut 294

Jumberi dan Alihamsyah

PENUTUP Lahan pasang surut di Indonesia, karena merupakan lahan marjinal dan rapuh dengan berbagai masalah dan kendala pengembangan yang kompleks, maka reklamasi dan pengelolaannya harus benar-benar dilakukan secara terencana, cermat, dan hati-hati melalui penerapan teknologi reklamasi dan pengelolaan lahan yang tepat sesuai dengan karakteristik fisiko-kimia lahannya. Agar pemanfaatannya untuk usaha agribisnis dapat berkelanjutan dan berhasil baik, maka fokus utama pengembangannya adalah optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan serta pengembangan infrastruktur dan kelembagaan. Untuk itu, identifikasi dan karakterisasi wilayah mutlak perlu dilakukan secara rinci, baik menyangkut aspek biofisik lahan dan sistem usahatani yang ada maupun sosial ekonomi dan persepsi petani serta infrastruktur dan kelembagaan penunjang yang ada.

DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasan surut. M. Sabran dkk. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Alihamsyah, T. dan E.E. Ananto. 1998. Sintesis hasil penelitian budidaya tanaman dan alsintan pada lahan pasang surut. M. Sabran dkk. Dalam Presiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Alihamsyah, T., E.E. Ananto, H. Supriadi, I.G. Ismail, dan D.E. Sianturi. 2000. Dwi Windu Penelitian Lahan Rawa : Mendukung Pertanian Masa Depan. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentore, Hermanto, Y. Soelaeman, I W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Areo, Z.A., D. Djauhari, M.S. Mokhtar, S. Fahri, dan M.A. Firmansyah. 1998. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian untuk Mendukung

295

Usaha Agribisnis di Lahan Rawa Pasang Surut

Pengembangan Lahan Rawa/Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Palangkaraya, 3-4 Januari 1998. BPTP Palangkaraya. Areo, Z.A, D. Djauhari, R. Ramli, Sriansyah, dan M.S. Mokhtar 1999. Presiding Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Palangkaraya, 26-27 Agustus 1999. BPTP Palangkaraya. Ar-Riza, I., R. Ramli, H.D. Noor, dan H. Susanto. 1993. Sistem usahatani dan teknologi penunjang di lahan pasang surut dan lebak Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan Ekspose Nasional Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut. Barito Kuala, Kalimantan Selatan, 30-31 Juli 2003. Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan. 1995. Luas penggunaan lahan rawa pasang surut, lebak, polder, dan rawa lainnya di tujuh propinsi. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian. Jakarta. Herawati, T., E.E. Ananto, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP Riau. Pekanbaru, 27-28 Maret 2000. Puslitbang Tanaman Pangan. Idak, H. 1982. Perkembangan dan sejarah persawahan di Kalimantan Selatan. Mimeographi, Pemda Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa : Kontribusi dan Prospek Pengembangan. Proyek Swamps II. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Khairullah, I. and S. Sulaiman. 2002. Varietas unggul dan galur harapan padi adaptif lahan pasang surut. Monograf: Varietas Tanaman Pangan Adaptif Lahan Pasang Surut. ISSN 1410-637 X. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru, Indonesia Noorsyamsi, H. and O.O. Hidayat. 1974. The tidal swamp rice culture in South Kalimantan. Contrib. Cent. Res. Inst. Agric. 10: 1-8. Sabran, M., M.Y. Maamum, S. Abdussamad, B. Prayudi, I. Noar, dan S. Sulaiman. 1998. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru, 2122 M8'et 1998 Schophuys, H.J. 1969. Perspectives of lifting water for irrigation and drainage in Indonesia in general, in Sumatra and Kalimantan in particular (Mimeographed) Bogor, Indonesia.

296

Jumberi dan Alihamsyah

Supriadi, H., Ruhendi, dan A.S. Karama. 2000. Prosiding Seminar Hasil Penelitian, dan Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut-ISOP Kalimantan Barat Pontianak, 22-23 Maret 2000. Puslitbang Tanaman Pangan Suprihatno, B., T. Alihamsyah, dan E.E. Ananto. 1999. Teknologi pemanfaatan lahan pasang surut dan lebak untuk pertanian tanaman pangan. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV di Bogor tanggal 2224 November 1999. Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V(1), Januari 1986. Badan Litbang Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995, Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah. 1998. Pengembangan lahan pasang surut : potensi, prospek dan kendala serta teknologi pengelolaannya untuk pertanian. Dalam Prosiding Seminar Himpunan IImu Tanah Jawa Timur. Malang, 18 Desember 1998.

297

You might also like