Professional Documents
Culture Documents
Bolehkah Merayakannya?
Tahun baru tidak termasuk salah satu hari raya Islam sebagaimana ‘Iedul Fitri, ‘Iedul
Adha ataupun hari Jum’at. Bahkan hari tersebut tergolong rangkaian kegiatan hari raya
orang-orang kafir yang tidak boleh diperingati oleh seorang muslim.
Suatu ketika seorang lelaki datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam
untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama
sebuah tempat), maka Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepadanya:
“Apakah disana ada berhala sesembahan orang Jahiliyah?” Dia menjawab, “Tidak”.
Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dirayakannya hari raya mereka?” Dia
menjawab, “Tidak”. Maka Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Tunaikan nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam
maksiat terhadap Alloh dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam”. (HR: Abu
Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)
So, sekadar tahu aja nih, tahun baru masehi itu sebenarnya berhubungan dengan
keyakinan agama Nasrani, lho. Masehi kan nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan
Nasrani. Sejarahnya gini nih, menurut catatan di Encarta Reference Library Premium
2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi
yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika
mengunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Tapi pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang
kemudian ?memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi
sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya,
penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno
Domini yang berarti: in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman
prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi)
Nah, Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan
beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang
harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh negara di dunia dan
berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender
masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The
Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of
Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta.
Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang
digambarkan bermuka dua-ini bukan munafik maksudnya, tapi merupakan Dewa pintu
dan semua permulaan. Jadi mukanya dua: depan dan belakan, depan bisa belakang bisa,
kali ye?). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad
permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya
perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket
dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa kalo ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu:
Merry Christmas and Happy New Year, gitu lho.
Nah, jadi sangat jelas bahwa apa yang ada saat ini, merayakan tahun baru masehi adalah
bukan berasal dari budaya kita, kaum muslimin. Tapi sangat erat dengan keyakinan dan
ibadah kaum Nasrani. Jangankan yang udah jelas perayaan keagamaan seperti Natal,
yang masih bagian dari ritual mereka seperti tahun baru masehi dan ada hubungannya
serta dianggap suci aja udah haram hukumnya dilakukan seorang muslim. Why?
Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar
mereka adalah firman Allah Swt.: ”
“Dan orang-orang yang tidak memberikan perasaksian palsu” (QS al-Furqaan [25]:
72)
Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat para hamba Allah yang beriman. Ulama-ulama
Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata “az-Zuura” (di
dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.
Itu artinya, kalo sampe seorang muslim merayakan tahun baru masehi berarti melakukan
persaksian palsu terhadap hari-hari besar orang kafir. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, kita
udah punya hari raya sendiri, sebagaimana dalam hadits yang shahih dari Anas bin Malik ra,
dia berkata, saat Rasulullah saw. datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari besar ('Ied)
untuk bermain-main. Lalu beliau bertanya, "Dua hari untuk apa ini?" Mereka menjawab, "Dua
hari di mana kami sering bermain-main di masa jahiliyyah". Lantas beliau bersabda:
"Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk keduanya dua hari yang lebih baik
dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul Fithri" (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam
Musnadnya, No. 11595, 13058, 13210)
Terus, boleh nggak sih kita merayakan tahun baru karena niatnya bukan menghormati
kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan agama Nasrani? Ya, sekadar senang-senang aja gitu,
sekadar refreshing deh. Hmm.. ada baiknya kamu menyimak ucapan Umar Ibn Khaththab:
"Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah)
mereka pada hari besar mereka karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas
mereka" (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqy No. 18640) Umar ra. berkata lagi,
"Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka" (ibid, No. 18641)
Dalam keterangan lain, seperti dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ra, dia berkata,
"Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan
festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian,
maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" ('Aun al-Ma'bud Syarh
Sunan Abi Daud, Syarh hadits no. 3512)
Nah, berkaitan dengan larangan menyerupai suatu kaum (baik ibadahnya, adat-istiadanya,
juga gaya hidupnya), Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR Imam Ahmad dalam Musnad-nya
jilid II, hlm. 50)
At-Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru atau
mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri, dan mengikuti. At-Tasybih berarti peniruan.
Dan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Dikatakan artinya serupa dengannya,
meniru dan mengikutinya.
Pada tangga 6 bulan Agustus 610M Rosululloh Muhammad SAW dilantik menjadi Rosul.
Kemudian pada tanggal 28 Juni 623 M belio Hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah.
Tepat pada tanggal 9 Juni 633 Masehi Rosululloh wafat.
Setelah Rosululloh wafat kemudian kepala Negara diganti oleh shohabat Abu Bakar
Shiddiq r.a. selama 2 tahun dan pada tahun 635 M setelah Shohabat Abubakar wafat.
Selanjutnya kepala Negara diganti oleh Shohabat Umar bin Khottob selama 10 tahun.
Jadi Rosululloh SAW menjanat sebagai ROSUL selama 13 tahun dan kemudian menjadi
Rosul dan Kepala Negara di Madinah selama 10 tahun. Shohabat Abu Bakar Shiddiq r.a.
menjadi kepala Negara di Madinah selama 2 tahun. Shohabat Umar Bin Khothob r.a.
menjadi kepala Negara di Madinah selama 10 tahun.
Pada waktu shohabat Umar bin Khottob menjadi kepala Negara di Madinah, banyak
Negara-negara yang takluk dengan Madinah seperti :
• Negara Mesir
• Negara Irak atau Mesopotamia
• Negara Yaman
• Negara Bahrain
• Negara Persi atau Iran
• Negara Palestina
• Negara Syiria
• Negara Turki
Sebelum Negara-negara seperti Syiria, Turki, Mesir dan Palestina masuk wilayah
Medinah, Negara-negara tersebut masuk wilayah Negara Rumawi yang Kristen.
Negara Negara seperti Kuffah, Baghdad , Basroh di Irak masuk wilayah Negara Persi.
Setelah Shohabat Umar bin Khottob r.a. menjadi kepala Negara Madinah selama 10 tahun
beberapa Negara tersebut di atas dikuasai dan pusat pemerintahannya berada di
Madinatul Munawaroh. Selama Shohabat Umar menjadi kepala Negara, kemudian
mengangkat beberapa Gubernur yaitu antara lain :
Ibu Kota Negara sebagai pusat kendali pemerintahan dibawah seorang Kepala Negara
yang disebut Amirul Mukminin adalah di Madinah dibawah pimpinan Shohabat Umar
Bin Khothob.
Ketika Sayyina Umar bin khothob menjabat Kepala Negara mencapai tahun ke 5 beliau
mendapat surat dari Shohabat Musa Al As’ari Gubernur Kuffah, adapun isi suratnya
adalah sebagai berikut :
Artinya: Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin
Khothob. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi
surat-surat itu tidak ada tanggalnya.
Kemudian Kholifah Umar bin Khothob mengumpulkan para tokoh-tokoh dan shohabat-
shohabat yang ada di Madinah.
Didalam musyawarah itu membicarakan rencana akan membuat Tarikh atau kalender
Islam. Dan didalam musyawarah muncul bermacam-macam perbedaan pendapat.
Diantara pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
• Ada yang berpendapat sebaiknya tarikh Islam dimulai ari tahun lahirnya Nabi
Muhammad SAW.
• Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Nabi Muhammad
SAW diangkat menjadi rosululloh.
• Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari Rosululloh di Isro
Mi’roj kan .
• Ada yang berpendapat sebaiknya kalender Islam dimulai dari wafatnya Nabi
Muhammad SAW.
• Sayyidina Ali krw. Berpendapat, sebaiknya kalender Islam dimulai dari tahun
Hijriyahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah atau pisahnya
negeri syirik ke negeri mukmin. Pada waktu itu Mekkah dinamakan Negeri
Syirik, bumi syirik.
Akhirnya musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mukminin Umar Bin Khothob sepakat
memilih awal yang dijadikan kalender Islam adalah dimulai dari tahun Hijriyah nya Nabi
Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Kemudian kalender Islam tersebut
dinamakan Tahun Hijriyah.
Jadi adanya ditetapkan tahun Hijriyah itu dimulai dari Sayyina Umar bin Khothob
menjabat Kepala Negara setelah 5 tahun. Sebelum itu belum ada tahun Hijriyah baikpun
jaman Rosululloh hidup maupun jaman shohabat. Dan tahun Hijriyah mulai diberlakukan
bertepatan dengan tahun 640M. Setelah tahun Hijriyah berjalan 5 tahun kemudian
Shohabat Umar Bin Khothob wafat.
( Keterangan ini diambil dari Kitab Tarikh Umam wal Muluk, ditulis oleh Muhammad
bin Jarir At Thobari, yang dikenal dengan nama Tarikh Thobari. Kitab ini jumlahnya 12
jilid besar, setiap satu jilid tebalnya 250 halaman).
Kesimpulan :
Yang tersebut di atas adalah sejarah singkat nya tahun Hijriyah. Tahun Hijriyah itu
dimulai pada waktu Shohabat Umar bin Khothob menjabat kepala Negara mendapat 5
tahun jalan. Yang asal mulanya dari adanya surat dari Shohabat Musa Al As’ari, Gubernur
Kuffah. Pada waktu Kuffah masuk wilayah Negara Madinah. Adapun sekarang Kuffah
menjadi wilayah Negara Irak. Mesir sekarang sudah menjadi Negara sendiri, Yordania
sudah jadi Negara sendirim, Turki jadi Negara sendiri, Palestina jadi Negara sendiri, Persi
menjadi Negara Iran. Yaman, Syiria, Bahrain, Emirat Arab, Quait, Qatar dan lainnya
menjadi Negara sendiri semua Pada waktu dulu semua Negara itu dibawah kendali
pemerintahan Sayyidina Umar bin Khottob. Padahal waktu itu umat Islam masih sedikit
akan tetapi bisa mengusai Negara yang sangat luas itu. Sebabnya umat Islam waktu itu
TIDAK SEPERTI BUIH. Adapun sekarang banyak umat Islam akan tetapi dalamnya
keropos. Siapa yang takut dengan buih?.
(Syaih Muchammad Muchtar Bin Al Hajj Abdul Mu’thi, Dalam Pengajian Peringatan
Tahun Baru Hijriyah 3 Muharrom 1425H/ 23 FeBruari 2004M).
Hukum Merayakan Tahun Baru
Beberapa hari setelah natal berlalu, masyarakat mulai disibukkan dengan persiapan
menyambut tahun baru masehi pada tanggal satu Januari. Bagaimana Islam memandang
hal ini?
Saudariku, Allah telah menganugerahkan dua hari raya kepada kita, yaitu Idul Fitri dan
Idul Adha dimana kedua hari raya ini disandingkan dengan pelaksanaan dua rukun yang
agung dari rukun Islam, yaitu ibadah haji dan puasa Ramadhan. Di dalamnya, Allah
memberi ampunan kepada orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan orang-orang
yang berpuasa, serta menebarkan rahmat kepada seluruh makhluk.
Ukhti, hanya dua hari raya inilah yang disyariatkan oleh agama Islam. Diriwayatkan dari
Anas radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-
main di hari raya itu pada masa jahiliyyah, lalu beliau bersabda: ‘Aku datang kepada
kalian sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bermain di hari itu pada
masa jahiliyyah. Dan sungguh Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan dua
hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul Adha dan idul Fitri.’” (Shahih,
dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Al-Baghawi)
Maka tidak boleh umat Islam memiliki hari raya selain dua hari raya di atas, misalnya
Tahun Baru. Tahun Baru adalah hari raya yang tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Disamping itu, perayaan Tahun Baru sangat kental dengan kemaksiatan dan mempunyai
hubungan yang erat dengan perayaan natal. Lihatlah ketika para remaja berduyun-duyun
pergi ke pantai saat malam tahun baru untuk begadang demi melihat matahari terbit pada
awal tahun, kebanyakan dari mereka adalah berpasang-pasangan sehingga tentu saja
malam tahun baru ini tidak lepas dari sarana-sarana menuju perzinaan. Jika tidak terdapat
sarana menuju zina, maka hal ini dapat dihukumi sebagai perbuatan yang sia-sia. Ingatlah
saudariku, ada dua kenikmatan dari Allah yang banyak dilalaikan oleh manusia, yaitu
kesehatan dan waktu luang (HR Bukhari). Maka janganlah kita isi waktu luang kita
dengan hal sia-sia yang hanya membawa kita ke jurang kenistaan dan menjadikan kita
sebagai insan yang merugi.
Saudariku, Allah telah menyempurnakan agama ini dan tidak ada satupun amal
ibadahpun yang belum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada
umatnya. Maka tidak ada lagi syari’at dalam Islam selain yang telah Allah wahyukan
kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada lagi syari’at dalam Islam
selain yang telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan pada kita. Saudariku,
ikutilah apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tuntunkan kepada kita,
janganlah engkau meniru-niru orang kafir dalam ciri khas mereka. Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut (Hadits dari Ibnu
‘Umar dengan sanad yang bagus). Setiap diri kita adalah pemimpin bagi dirinya sendiri
dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin.
Semoga Allah senantiasa menyelamatkan agama kita. Wallaahu a’lam.
Memaknai Tahun Baru Hijriyah
14 Januari, 2008 — pmiingalah
Dalam sejarah terhitung tiga kali nabi dan para sahabat berhijrah
sebelum hijrah terakhir ke Kota Madinah. Pertama dan kedua nabi dan
para sahabat hijrah ke negri Habasyah dan yang ketiga ke negri Thoif.
Dalam hijrah ketiga itu malah tambah tidak menuai kesuksesan,
seluruh kaum muslimin diusir hingga kembali ke kota Mekkah dalam
keadaan yang lebih memprihatinkan. baru setelah mendapat perintah
hijrah selanjutnya dari Alloh ke Kota Madinah barulah Umat Islam
menemukan titik terang dan inilah awal kebangkitan umat Islam.