You are on page 1of 13

UU No.

2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah
Mengkritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembebasan untuk Kepentingan Umum. Dr. F.X. ARSIN, SH 01/10/2012

MENGKRITISI UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembebasan untuk Kepentingan Umum.
UU No. 2 Tahun 2012 sebetulnya sangat ditunggu-tunggu dari sudut bentuk produk undang-undang karena selama ini bentuk produk ketentuan yang ada. Mulai dari PMDN 15/1975 tentang Tatacara Pembebasan Tanah, Keppres 55/1993, Permenag 1/1994, Perpres 36/2005, Perpres 65/2006 jo. Peraturan Ka.BPN 3/2007, telah lama mengatur tentang cara pembebasan tanah, akan tetapi sebetulnya hanya bersifat mengatur ke dalam instansi yang memerlukan tanah, dan karenanya tidak bersifat mengikat ke luar terutama bagi pemilik tanah. Dengan undang-undang ini diharapkan karena bentuknya undang-undang maka akan mengikat bagi kedua belah pihak yaitu mengikat baik bagi yang mempunyai hak atas tanah juga bagi instansi yang membutuhkan tanah.

Permasalahan yang kemudian timbul dengan lain perkataan mengkritisi undang-undang ini maka : 1. Asas-asas apa yang patut dikemukakan berkaitan dengan pembebasan tanah? Point-point kritik apakah yang kiranya menjadi krusial terutama dilihat dari sudut pandang konstitusi? 2. Prinsip-prinsip apakah yang harus ada dalam pengadaan tanah?

ASAS-ASAS YANG BERLAKU. Asas-asas yang berlaku mengenai penguasaan tanah dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Hukum Tanah Nasional kepada para pemegang Hak Atas Tanah. 1. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional. 2. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal) tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana. 3. Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan-gangguan

dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak Penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya. 4. Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu : a. Gangguan oleh sesama anggota masyarakat : gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati / Walikota-madya menurut Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960; b. Gangguan oleh Penguasa : gugatan melalui Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara. 5. Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun (juga untuk proyek-proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya. 6. Bahwa sehubungan dengan apa yang tersebut di atas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaan lembaga penawaran pembayaran yang diikuti dengan konsinyasi pada Pengadilan Negeri seperti yang diatur dalam Pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 7. Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin menggunakan tanah yang lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara pencabutan hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. 8. Bahwa dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasar kesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang haknya berhak memperoleh imbalan atau ganti kerugian, yang bukan hanya meliputi tanahnya, bangunan, dan

tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang dideritanya sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan. 9. Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.1

POTENSI BERTENTANGAN DALAM KONSTITUSI.


UU No. 2 Tahun 2012 berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : No
1.

Pasal UU No. 2 Tahun 2012


Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. [Pasal 9 ayat (1)] Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b sampai dengan huruf r wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta. [Pasal 12 (10)]

UUD 1945
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. [Pasal 28D] *Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. [Pasal 33 (2)] *Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. [Pasal 33 (3)] *Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. [Pasal 28H ayat(4)] *Setiap orang berhak atas

Keterangan
Kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat tidak dijelaskan, sehingga akan menimbulkan multi tafsir dan membuat ketidakpastian hukum.

2.

Badan Usaha Swasta tujuan utamanya mencari keuntungan.

3.

*Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), karena hukum Pihak yang
1

UUD 1945 menjamin hak privat/milik pribadi, sebagai hak asasi.

Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., Komentar Atas Naskah Akademis dan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta : Rapat Dengar Pendapat Umum Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR-RI, 2011). Hlm.2.

Berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). [Pasal 39] *Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. [Pasal 42 (1)] *Pada saat pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), kepemilikan atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. [Pasal 43]

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. [Pasal 28G ayat (1)]

LATAR BELAKANG TERBITNYA Dalam latar belakang urgensinya diterbitkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) harus disebutkan sebagai berikut : Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 (Perpres 36/2005) maupun Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 (Perpres 65/2006) tergolong sebagai keputusan yang berentang umum (besluiten van algemene strekking), karena memenuhi unsur umum, konkret, dan berlaku terus menerus. Ditinjau dari fungsinya maka Perpres 36/2005 maupun Perpres 65/2006 berfungsi menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sedangkan ditinjau dari materi muatannya Perpres ini tergolong sebagai peraturan yang materi muatannya bersifat atribusian.

Perpres 36/2005 maupun Perpres 65/2006 merupakan peraturan yang berisikan pedoman melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Perpres ini tidak mempunyai daya ikat keluar, tetapi justru kedalam sehingga yang wajib menaatinya adalah pelaksana pengadaan tanah yang disebut sebagai Panitia Pengadaan Tanah, sedangkan masyarakat yang tanahnya akan dilepaskan guna pembangunan proyek untuk kepentingan umum tidak terikat pada ketentuan tersebut.

Dalam latar belakang lingkup pengadaan tanah tidak cukup hanya berhenti sampai pada proses pemberian imbalan kepada yang berhak atas tanah tersebut. Perpres 36/2005 maupun Perpres 65/2006 sebagai suatu pedoman bagi pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum harus memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang terkena dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah tersebut.

Untuk itu ruang lingkup kegiatan pengadaan tanah harus meliputi pula pada proses dimana mereka yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tetap terpelihara kesejahteraan hidupnya seperti semula, bahkan menjadi lebih baik daripada sebelum dilakukannya proyek tersebut. Untuk itu kami merekomendasikan untuk memperluas ruang lingkup proses pengadaan tanah menjadi suatu kegiatan yang mengikutsertakan pihak yang berhak atas tanah, bangunan, tanaman serta benda-benda lain yang ada diatasnya, termasuk pemukiman kembali dan pembinaan.2

MENGKRITISI ISTILAH KEPENTINGAN UMUM DALAM BEBERAPA PRODUK KETENTUAN. Persandingan kepentingan umum dalam Keppres, Perpu, dan UU No. 2/2012. KEPPRES 55/1993 Pasal 1 angka 3 : Kepentingan umum adalah kepentingan
2

PERPRES 36/2005 Pasal 1 angka 5 : Kepentingan umum adalah kepentingan

PERPRES 65/2006

UU No. 2/2012 Pasal 1 angka 6 : Kepentingan umum adalah kepentingan

Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., Komentar Atas Naskah Akademis dan Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Jakarta : Rapat Dengar Pendapat Umum Rancangan Undang-Undang (RUU) DPR-RI, 2011). Hlm.7.

seluruh lapisan masyarakat.

sebagian besar lapisan masyarakat.

Pasal 5 angka 1 : Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut :

Pasal 5 : Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi :

Pasal 5 : Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi : a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minim/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul

bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal 4 : Tanah untuk Kepentingan Umum digunakan bagi pembangunan : a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika

a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, a. Jalan umum, ataupun di ruang saluran bawah tanah), pembuangan air; saluran air b. Waduk, bendungan minum/air bersih, dan bangunan saluran pengairan lainnya pembuangan air termasuk saluran dan sanitasi; irigasi; b. waduk, bendungan, c. Rumah Sakit bendung, irigasi, Umum dan Pusatdan bangunan pusat Kesehatan pengairan lainnya; Masyarakat; c. rumah sakit umum d. Pelabuhan atau dan pusat bandar udara atau kesehatan terminal; masyarakat; e. Peribadatan; d. pelabuhan, bandar f. Pendidikan atau udara, stasiun sekolahan; kereta api dan g. Pasar Umum atau terminal; Pasar INPRES; e. peribadatan; h. Fasilitas f. pendidikan atau pemakaman sekolah; umum; g. pasar umum; i. Fasilitas h. fasilitas Keselamatan pemakaman Umum seperti umum;

j. k. l.

m. n.

antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar lain-lain bencana; Pos dan Telekomunikasi; Sarana Olah Raga; Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; Kantor Pemerintah; Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

i. fasilitas keselamatan umum; j. pos dan telekomunikasi; k. sarana olah raga; l. stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya; m. kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembagalembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa; n. fasilitas tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan; p. rumah susun sederhana; q. tempat pembuangan sampah; r. cagar alam dan cagar budaya; s. pertamanan; t. panti sosial; u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan cagar budaya; g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

h.

i.

j.

k.

l.

m. n.

o.

p.

q.

Pemerintah; tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit Pemerintah/ Pemerintah Daerah; fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum Pemerintah/ Pemerintah Daerah; fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; cagar alam dan cagar budaya; kantor Pemerintah/ Pemerintah Daerah/desa; penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/ Pemerintah Daerah; prasarana olahraga Pemerintah/ Pemerintah Daerah; dan

Catatan :

Catatan : Tidak ada batasan kriteria kepentingan umum. 21 (dua puluh satu) jenis kegiatan, perluasan ruang lingkup kegiatan.

Catatan : Ada batasan kriteria tetapi berbeda dengan Keppres karena menyebutkan akan dimiliki, serta menghilangkan kriteria tidak digunakan mencari keuntungan. 7 (tujuh) jenis kegiatan.

r. pasar umum dan lapangan parkir umum. Catatan : Tidak ada batasan kriteria kepentingan umum. 18 (delapan belas) jenis kegiatan.3

Ada batasan kriteria kepentingan umum. 14 (empat belas) jenis kegiatan.

Ada beberapa hal yang menjadi concern dari Undang-Undang ini adalah : 1. KONSINYASI. Kendala utama yang sering terjadi dalam proses pengadaan tanah adalah tidak tercapainya kesepakatan antara pihak pemerintah dengan pihak pemilik hak atas tanah. Hal ini dikarenakan pengadaan tanah sering dilakukan dengan saat terdesak dan pihak pemerintah selalu menyatakan untuk kepentingan umum, maka pihak pemerintah melalui panitia pengadaan tanah, selalu mengadakan ganti kerugian secara sepihak dengan harga yang telah ditentukan, yang kemudian dilanjutkan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk konsinyasi. Penerapan konsinyasi merupakan suatu cara dan/atau titik tengah yang harus ditempuh untuk mengadakan tanah, namun hal ini menurut saya justru lebih memperlihatkan adanya kesewenangan oleh pihak pemerintah yang sesukanya menerapkan pengusiran dan/atau pengosongan lahan yang bersifat memaksa. Sehingga proses konsinyasi tidak bersifat efektif dalam pengadaan tanah, hal ini terlihat dari pihak pemerintah yang memberikan besaran uang ganti kerugian sebagai
3

Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., Anatomi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis (Jakarta : 2012). Hlm.4.

konsinyasi melalui pengadilan negeri dan kemudian pihak pemerintah berpikir jikalau kewajibannya telah selesai dan langsung menjalankan pembangunan dilahan tersebut. Pengaturan mengenai lembaga konsinyasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Pasal 1381 menyatakan bahwa debitur dapat melunasi hutangnya dengan menitipkan objek hutang ke Pengadilan Negeri dan/atau dengan cara penawaran tunai, sehingga hutang debitur kepada kreditur dapat dihapuskan. Sedangkan dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 pada Pasal 10 ayat (2) mengatur konsinyasi untuk pengadaan tanah demi kepentingan umum merupakan hasil pengadopsian dari KUHPer.

Kesimpulan dan Saran : Menurut pendapat saya, konsinyasi tidaklah berjalan dengan efektif dalam hal penerapannya pada pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebab pada hakikatnya berbenturan dengan ketentuan hokum positif yang telah ada yakni Pasal 1381 KUHPer karena saya beranggapan bahwa ketentuan konsinyasi yang ada dalam Perpres No. 65 Tahun 2006 dapat berjalan efektif jika diselaraskan dengan pengaturan lembaga konsinyasi yang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan KUHPer, sebab pada dasarnya prinsip konsinyasi yang ada dalam system pengadaan tanah adalah hasil adopsi daripada KUHPer itu sendiri khususnya Pasal 1381.4

2. Kerancuan antara pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah. a. menabrak prinsip hukum sebagai sistem. Jika dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pengadaan tanah sebelum UU No. 2/2012 yakni Keppres No. 55/1993 (Keppres) dan Perpres No. 36/2005 jo. No. 65/2006 (Perpres), konsepsi yang membedakan antara pengadaan tanah dan pencabutan hak atas tanah diterapkan sebagaimana mestinya, UU No. 2/2012 meninggalkan konsepsi ini dengan tidak menyinggung
4

Hendrianto Jaya, Tugas Kritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Terhadap Peraturan Yang Berkaitan Dengan Peraturan Berkaitan Lainnya (Jakarta : Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2012). Hlm.2.

sama sekali acara pencabutan hak atas tanah ketika musyawarah untuk mencapai kesepakatan lokasi pembangunan maupun pemberian ganti kerugian menemui kegagalan sedangkan lokasi tidak dapat dipindahkan. Semua keberatan/penolakan pemegang hak atas tanah diselesaikan melalui lembaga peradilan dengan sama sekali menafikan acara pencabutan hak atas tanah. Dalam ilmu hukum, salah satu prinsip dasar adalah hukum sebagai sistem. Secara ringkas artinya adalah bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur yang berkaitan erat satu sama lain. Sistem hukum itu bersifat kontinyu, sekalipun peraturan berubah-ubah, namun sistemnya selalu sama, bersifat kontinyu, berkesinambungan dan otonom (Sudikno Mertokusumo dalam Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2003). Dengan demikian, walaupun pengaturan terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum berubah-ubah, tapi sistemnya selalu sama, yakni : jika tercapai kesepakatan melalui musyawarah dengan pemegang hak atas tanah, maka rezim pengaturannya adalah Pengadaan Tanah, tetapi bila segala cara melalui musyawarah menemui kegagalan, jalan keluarnya adalah (jika kepentingan umum menghendaki dan lokasi tidak dapat dipindah ke tempat lain) Pencabutan Hak atas Tanah.

3. SANKSI. Dalam Undang-Undang tidak dijumpai pasal (pasal) tentang sanksi. Undang-Undang yang memberikan bobot kepastian hukum yang lebih kepada pihak yang memerlukan tanah melalui pengetatan jangka waktu (seluruh proses pengadaan Tanah tidak melebihi 2 (dua) tahun) itu tidak memuat ketentuan tentang sanksi. Pertanyaannya adalah, bagaimana bila terjadi hal-hal sebagai berikut : a. Keterlambatan pembayaran ganti kerugian. b. Pengadaan tanah berlarut-larut atau tidak sesuai jadwal maupun perpanjangannya. c. Pengadaan tanah dibatalkan. d. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan perencanaan awal.

Sebagai perbandingan, di Malaysia ada late payment charges dengan denda 8% (delapan persen) per tahun (Pasal 32 Land Acquisition Act 1960). Hal serupa ada juga di Singapura (Pasal 41 Land Acquisition Act 1966).

4. Lain-lain. 4.1. Pengadaan Tanah Skala Kecil. UU ini tidak memuat pengecualian penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (bandingkan dengan Keppres dan Perpres). Hal ini akan merepotkan jika untuk pengadaan tanah yang luasnya kurang dari 1 (satu) hektar dan dapat ditempuh perolehannya secara langsung dengan pemegang hak atas tanah melalui jual beli, dan sebagainya, justru akan merepotkan ketika harus ditempuh sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU ini. (Catatan : karena pengadaan tanah skala kecil ini tidak diatur dalam UndangUndang, maka hal tersebut tidak dapat dimuat dalam Perpres!!).5

Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., Anatomi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis (Jakarta : 2012). Hlm.7

DAFTAR PUSTAKA.
Hendrianto Jaya, 2012. Tugas Kritisi UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Terhadap Peraturan Yang Berkaitan Dengan Peraturan Berkaitan Lainnya. Tugas tidak Diterbitkan. Jakarta. Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Prof. Boedi Harsono, Edisi 2007. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. Prof. DR. Maria S.W. Sumardjono, SH., MCL., MPA., 2012. Anatomi UndangUndang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Tinjauan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis. Jakarta: hlm. 4. Prof. Ny. Arie S. Hutagalung, SH., MLI., 2011. Komentar Atas Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Makalah yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, yang diselenggarakan oleh DPR-RI, tanggal 2 Maret 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, 2012. Jakarta. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

You might also like