You are on page 1of 7

Sosiologi Masyarakat Pesisir Sosiologi Masyarakat Pesisir I.

Wilayah Pesisir Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut, dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Ke arah laut, perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar. Definisi wilayah seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir (Dahuri, 2004). Menurut Dahuri 2004, hingga saat ini masih belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan di mana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, bila kewenangan semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan (regulation zone), maka akan menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instansi/lembaga yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. II. Sosiologi Masyarakat Pesisir Merupakan cabang sosiologi yang mempunyai objek khusus yaitu masyarakat pesisir yang hidup dari sumber daya laut seperti nelayan, buruh, pembudidaya, dsb. Populasi masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial (Soerjono Soekanto, 1987). Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), kelompok-kelompok, lembaga-lembaga serta lapisan-lapisan social. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi aspek kehidupan bersama misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dan kehidupan politik. Objek sosiologi adalah masyarakat. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir cenderung digolongkan pada

kelompok miskin yang terdiri dari rumah tangga perikanan menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Kemiskinan yang merupakan indicator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan paling tidak oleh tiga hal utama: kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural, dan kemiskinan kultural. Secara faktual ada dua faktor yang menyebabkan kemiskinan pada masyarakat nelayan, yaitu faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah disebabkan karena fluktuasi musim tangkap ikan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sementara faktor non alamiah berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran hasil tangkapan dan belum berfungsinya koperasi nelayan yang ada. Selain itu, masalah teknologi konservasi atau pengolahan yang sangat tradisional, serta dampak negatif orientasi produktivitas yang dipacu oleh kebijakan motorisasi perahu dan modernisasi peralatan tangkap (revolusi biru) yang telah berlangsung sejak tiga dasawarsa terakhir (Kusnadi, 1998). Kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir sering timbul konflik-konflik yang digolongkan menjadi empat jenis konflik. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional. Kedua, konflik orientasi yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan. Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata. Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah. DAFTAR PUSTAKA Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004. Kusnadi, 1998, Nelayan Buruh: Lapisan Sosial yang Paling Miskin di Desa Pantai, Makalah dipresentasikan di Pusat Studi Komunitas Pantai, 5 Januari 1998. Sinar Harapan. Selasa, 20 September 2005.

Dimensi Ekologis Lingkungan Pesisir Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung, seperti sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (di antaranya sumberdaya perikanan, terumbu karang dan rumput laut), dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat

pulih (di antaranya sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam). Sebagai penyedia sumberdaya alam yang produktif, pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang dapat pulih harus dilakukan dengan tepat agar tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada periode waktu tertentu. Demikian pula diperlukan kecermatan pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang tidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya. Disamping sumberdaya alam yang produktif, ekosistem pesisir merupakan penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, ekosistem pesisir merupakan lokasi yang indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau pariwisata. Ekosistem pesisir juga merupakan tempat penampung limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Dari keempat fungsi tersebut di atas, kemampuan ekosistem pesisir sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia kenyamanan, sangat tergantung dari dua kemampuan lainnya, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam dan penampung limbah. Dari sini terlihat bahwa jika dua kemampuan yang disebut terakhir tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsi ekosistem pesisir sebagai pendukung kehidupan manusia dan penyedia kenyamanan diharapkan dapat dipertahankan dan tetap lestari.

Mencermati Program Relokasi Nelayan Oleh AKHMAD SOLIHIN USAI Peringatan 46 Tahun Deklarasi Djuanda di Aula Universitas Pasundan, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengungkapkan bahwa untuk mengatasi gejala tangkap lebih (over fishing) dan konflik sosial di wilayah pesisir pantai utara (pantura), selama tahun 2003 Kementerian Kelautan dan Perikanan berupaya merelokasikan 100 kepala keluarga (KK) nelayan dari beberapa daerah di kawasan pantura, seperti Indramayu, Cirebon, Subang, dan sebagian Banten ke kawasan Timur Indonesia seperti Maluku, Sulawesi, maupun Papua (Pikiran Rakyat, 31 Desember 2003). Program relokasi nelayan ini disebut-sebut dilakukan tanpa melalui paksaan dan punya tujuan positif dalam mengurangi beban sosial yang terjadi di wilayah Pantura Jawa, khususnya permasalahan kemiskinan nelayan. Meski demikian, program relokasi tersebut harus dicermati secara serius oleh kita

semua, khususnya oleh para pembuat kebijakan. Hal ini disebabkan karakteristik masyarakat nelayan antardaerah berbeda-beda, apalagi dengan kelompok masyarakat lainnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program relokasi nelayan perlu diperhatikan berbagai aspek dan karakteristik masyarakat nelayan itu sendiri. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan program relokasi nelayan tersebut di antaranya kondisi sosial, budaya, ekonomi, sumber daya yang dihadapi, dan teknologi yang biasanya digunakan. Kalau aspekaspek ini diabaikan atau pemerintah melaksanakan homogenisasi dalam program relokasi, kegagalan telah menanti di depan mata. Mengingat selama ini, program-program pembangunan yang ditujukan pada masyarakat nelayan kerap mengabaikan karakteristik masyarakat nelayan sehingga menuai kegagalan di sana-sini. Artinya, apabila aspek-aspek dari karakteristik masyarakat nelayan diabaikan, tujuan peningkatan kesejahteraan, mengurangi eksternalitas negatif di bidang perikanan tangkap, penanggulangan konflik, dan berbagai permasalahan lainnya tidak akan terselesaikan. Bahkan, nelayan akan kian terkukuhkan sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Terlebih pada tahun 2004, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menargetkan relokasi nelayan mencapai 1.000 KK yang konsepnya mirip dengan "bedol desa" atau konsep "hijrah". Dengan demikian, akankah program relokasi nelayan dapat menyelasaikan kompleksitas permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir? Karakteristik masyarakat pesisir Pendekatan untuk memahami fenomena permasalahan kenelayanan tidak bisa diseragamkan sehingga program relokasi pun jangan sampai disamakan dengan program transmigrasi petani (bedol desa atau hijrah). Dalam pendekatan sosiologi, masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat pertanian yang basisnya kegiatan di darat. Hal ini disebabkan sosiologi masyarakat pesisir ini direkonstruksi dari basis sumber daya (resources), sedangkan sosiologi pedesaaan berbasis padasoci et y sehingga

pendekatannya pun harus berbeda. Dengan demikian, kajian-kajian sosiologi masyarakat pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan (Satria, 2002). Dalam buku Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir (2002), Arif Satria menjelaskan bahwa secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris seiring dengan perbedaan karakteristik sumber daya yang dihadapinya. Di mana masyarakat agraris yang direpresentasikan kaum petani menghadapi sumber daya yang terkontrol, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas denganout put yang relatif dapat diprediksi sehingga mobilitas usaha yang terjadi relatif rendah dan elemen resiko tidak terlalu besar. Hal ini berbeda jauh dengan karakteristik masyarakat nelayan, di mana mereka menghadapi sumber daya yang hingga saat ini masih bersifat open access. Karakteristik sumber daya seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal dan konsekuensi yang harus diterima dari mekanisme ini adalah elemen risiko yang sangat tinggi karena lebih bersifat spekulatif (gambling) sehingga menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas, dan terbuka. Selain itu, karakteristik masyarakat pesisir yang direpresentasikan sebagai komunitas desa pantai dan desa terisolasi (tribal village) punya berbagai aspek lain, yaitu, pertama, sistem pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang dimiliki masyarakat nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan merupakan kekayaan intelektual yang perlu dipertahankan. Misalnya, pengetahuan lokal nelayan Desa Kirdowono yang menggunakandugo-dugo (seutas tali dengan batu pemberat) untuk mengetahui arah arus. Mereka juga mengenal rasi bintang untuk penunjuk arah, yakni Lintang Lumbung, Lintang Waluku, Lintang Wuluh, Lintang Gubug, dan Lintang Lanjar (Juwono, 1998). Kedua, struktur sosial masyarakat nelayan yang umumnya dicirikan dengan kentalnya hubunganpat ron-

klien akibat kegiatan penangkapan ikan yang penuh risiko (high risk) dan ketidakpastian sehingga perlu pemahaman khusus untuk menuntaskan permasalahan sosial ekonomi mereka dalam perangkap hubungan patron-klien. Alasannya, seperti ditunjukkan studi Najib (1999) dalam Satria (2002), mekanisme hubungan patron-klien sering bersifat eksploitatif dan sengaja dipelihara patron, inilah sisi negatif dari pola patron- klien. Di samping bersisi negatif, polapat ron-kl i en ini dianggap juga memiliki sisi positif karena mampu mendorong terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Sisi positif ini muncul karena secara riil hubungan patron-klien mampu menjadi cambuk bagi nelayan untuk keluar dari perangkap keterbelakangan. Hal ini disebabkan hubunganpatron- kl i en dalam masyarakat nelayan berfungsi sebagai jaminan sosial ekonomi dalam menjaga kelangsungan hidup masyarakat nelayan. Artinya, bahwapat ron-kl i en merupakan hubungan asimetris yang tidak dapat digeneralisasi dalam konteks penyebab kemiskinan nelayan. Sementara itu, munculnya polapat ron-kl i en di masyarakat nelayan disebabkan belum ada institusi formal yang mampu berperan sebagaimana patron dalam menjamin kepentingan ekonomi mereka. Institusiinstitusi bentukan yang ada selama ini belum berhasil secara efektif karena ada kesenjangan kultur institusi yang dibangun secara formal dengan kultur nelayan yang masih menekankan aspek personalitas. Tidak hanya itu, di sisi lain, nelayan sendiri belum mampu membangun institusi baru secara mandiri, khususnya kemampuan dalam mengorganisasikan diri untuk kepentingan ekonomi (koperasi) maupun profesi. P enutup Menuntaskan kompleksnya permasalahan yang melilit masyarakat nelayan merupakan suatu keharusan karena selama ini mereka kerap dijadikan tumbal pembangunan. Namun, setiap program atau kebijakan pembangunan yang ditujukan kepada masyarakat nelayan harus memerhatikan karakteristik masyarakatnya

yang berbeda antardaerah, apalagi dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan homogenisasi kebijakan-kebijakan pembangunan masyarakat nelayan banyak mengalami kegagalan. Selain itu, yang harus disiapkan oleh pemerintah dalam program relokasi nelayan adalah pembangunan infrastruktur hingga suprastruktur di kawasan pesisir, di saat masyarakat nelayan akan ditempatkan. Oleh karena itu, dengan penuh kehati-hatian dan pemahaman serta pengakuan terhadap karakteristik masyarakat pesisir maka program relokasi nelayan diharapkan berhasil gemilang.*** Penulis staf Peneliti Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) dan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Internasional Universitas Padjadjaran. www.pikiran rakyat.com artikel

You might also like