You are on page 1of 41

STRATEGI PENINGKATAN MAKANAN BAYI DAN ANAK (PMBA)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI TAHUN 2010

SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA KESEHATAN MASYARAKAT


Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat dan benar merupakan salah satu upaya prioritas dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Upaya tersebut harus dilakukan secara maksimal agar semua bayi mendapatkan ASI Eksklusif segera setelah lahir sampai bayi berusia 6 bulan dan mendapat MPASI mulai usia 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan hingga usia 2 tahun atau lebih. Undang-Undang N0. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan pula bahwa pentingnya pemberian ASI Eksklusif kepada bayi secara tegas tercantum dalam pasal 129 yaitu perlunya suatu Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang pemberian ASI Eksklusif yang saat ini sedang diproses. Sesuai dengan Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat (RAPGM) 2010-2014 terdapat 8 (delapan) sasaran indikator kinerja pembinaan gizi masyarakat diantaranya berkaitan dengan ASI Eksklusif dan MPASI. Pada tahun 2014 target bayi usia 0-6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif akan mencapai 80% dan penyediaan buffer stock MP-ASI sebesar 100 % setiap tahunnya untuk menyelamatkan balita di daerah bencana dan rawan gizi. Seiring dengan RAPGM 2010-2014, Kementerian Kesehatan beserta lintas sektor terkait telah menyusun buku Strategi Peningkatan Makanan Bayi dan Anak (PMBA) yang bertujuan untuk membangun komitmen dan menjadi rujukan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan upaya Strategi PMBA. Dalam buku PMBA tersebut ditetapkan ruang lingkup, tujuan, strategi, indikator keberhasilan, pokok program, peran dan tanggungjawab pihak terkait. Strategi PMBA tersebut disusun berdasarkan rujukan pada Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (IYCF) serta mendapat masukan dari para ahli dan pemerhati ASI dan MP-ASI, organisasi profesi, sektor terkait dari pusat dan daerah serta Lembaga Swadaya Masyarakat. Selanjutnya diharapkan berbagai pihak mulai dari ibu, ayah, keluarga, masyarakat serta sektor terkait diharapkan mempunyai komitmen tinggi dan memberikan dukungan dalam upaya promosi dan aksi nyata untuk meningkatkan upaya Srategi PMBA sesuai misi, tugas, dan fungsi masing-masing. Semoga dengan adanya buku Strategi PMBA dapat mendorong berbagai pihak untuk mengimplementasikannya. Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat

dr. Budihardja, DTM&H, MPH i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR SAMBUTAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Situasi PMBA C. Dasar Hukum BAB II RUANG LINGKUP PMBA A. Inisiasi Menyusu Dini B. ASI Eksklusif C. Makanan Pendamping ASI (MPASI) D. ASI pada situasi darurat E. ASI pada situasi khusus BAB III STRATEGI PMBA A. Tujuan B. Strategi C. Indikator Keberhasilan D. Pokok Program BAB IV BAB V PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PIHAK TERKAIT PEMANTAUAN DAN EVALUASI A. Tujuan B. Komponen C. Metode D. Pelaksana E. Waktu F. Pelaporan BAB VI PENUTUP

i ii

1 4 12

13 13 14 14 15

18 18 19 19 25 28

31 32 33

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

ii

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Anak merupakan potensi dan penerus untuk mewujudkan kualitas dan keberlangsungan bangsa. Sebagai manusia anak berhak untuk mendapatkan pemenuhan, perlindungan serta penghargaan akan hak asasinya. Sebagai generasi penerus bangsa, anak harus dipersiapkan sejak dini dengan upaya yang tepat, terencana, intensif dan berkesinambungan agar tercapai kualitas tumbuh kembang fisik, mental, sosial, dan spiritual tertinggi. Salah satu upaya mendasar untuk menjamin pencapaian tertinggi kualitas tumbuh kembangnya sekaligus memenuhi hak anak adalah pemberian makan yang terbaik sejak lahir hingga usia dua tahun. Makanan yang tepat bagi bayi dan anak usia dini (0 24 bulan) adalah Air Susu Ibu (ASI) eksklusif yakni pemberian ASI saja segera setelah lahir sampai usia 6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Setelah usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi makanan pendamping ASI (MPASI). Selanjutnya pada usia 1 tahun anak sudah diberi makanan keluarga dan ASI masih tetap diberikan sampai anak usia 2 tahun atau lebih. Pola pemberian makan tersebut mendukung pertumbuhan optimal bagi anak. Pada usia 0 6 tahun terjadi pertumbuhan otak hingga mencapai sekitar 75%, masa ini disebut periode emas atau golden periode. Pemberian makan yang optimal pada usia 0 2 tahun memberikan kontribusi bermakna pada pertumbuhan otak anak. Pemberian ASI saja sejak bayi lahir hingga usia 6 bulan (ASI eksklusif enam bulan) dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi bayi, serta melindungi bayi dari berbagai penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernafasan akut yang merupakan penyebab utama kematian balita di Indonesia. Kajian global telah membuktikan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan intervensi kesehatan yang memiliki dampak terbesar terhadap keselamatan balita, yakni 13% kematian balita dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dapat mencegah 22% kematian neonatal (neonatus adalah bayi usia 0 sampai 28 hari). Pemberian makanan pendamping 1

ASI yang tepat waktu dan berkualitas juga dapat menurunkan angka kematian balita sebesar 6 % (Jones et al., The Lancet, July 2003). Pemberian makan yang tidak tepat mengakibatkan masih cukup banyak anak yang menderita kurang gizi. Fenomena gagal tumbuh atau growth faltering pada anak Indonesia mulai terjadi pada usia 4-6 bulan ketika bayi diberi makanan tambahan dan terus memburuk hingga usia 18-24 bulan. Kekurangan gizi memberi kontribusi 2/3 kematian balita. Dua pertiga kematian tersebut terkait dengan praktek pemberian makan yang tidak tepat pada bayi dan anak usia dini. (WHO/UNICEF 2003). Praktek pemberian makan yang tepat pada bayi dan anak juga dapat mempengaruhi ekonomi keluarga. Pemberian ASI ekslusif akan mengurangi beban keluarga untuk membeli susu formula dan perawatan bayi sakit yang saat ini cukup mahal. Dana untuk membeli susu formula 4-5 kali lebih besar dari pada dana untuk membeli suplemen makanan untuk ibu menyusui. Apabila 4,5 juta bayi yang lahir di Indonesia mendapat ASI eksklusif sampai 6 bulan, dapat menghemat devisa negara minimal Rp. 7,92 trilyun. Sedangkan pemberian MPASI yang tepat waktu, adekuat dan aman merupakan investasi kesehatan bagi anak dimasa depan. Sejalan dengan otonomi daerah peningkatan pemberian ASI dapat mengurangi subsidi Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota untuk penanggulangan masalah kesehatan bayi dan anak karena bayi lebih sehat. Kualitas anak yang optimal merupakan sumber daya manusia yang bermanfaat bagi daerah bersangkutan. Peningkatan cakupan pemberian ASI eksklusif dan MPASI akan memberikan kontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Milennium Development Goals - MDGs). Pemberian ASI dan MPASI yang tepat akan mengurangi kemiskinan dan kelaparan, yang merupakan tujuan pertama dari MDG. Dengan tingkat kecerdasan dan perkembangan emosional yang optimal akan mempengaruhi kesiapan anak untuk bersekolah, dan hal ini memberi kontribusi pada percepatan pencapaian target MDG,s nomor dua yakni mencapai pendidikan untuk semua tahun 2015. Terkait dengan tujuan MDG,s ke-empat, melalui PMBA yang tepat dan benar dapat menurunkan angka kematian balita sebanyak 20 persen. Bagi ibu, menyusui dapat mengurangi 2

risiko perdarahan yang merupakan penyebab utama kematian ibu. Menyusui eksklusif juga dapat merupakan salah satu metode penjarangan kelahiran. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh menyusui terhadap kesehatan ibu yang merupakan tujuan ke-5 MDGs. Dengan tidak memberikan susu formula, tidak ada kegiatan memasak air dan tidak ada kaleng atau dus bekas yang merupakan polusi terhadap lingkungan (kontribusi pada tujuan nomor 7 MDGs yakni memastikan kelestarian lingkungan hidup). Keberhasilan praktek PMBA dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pelayanan/petugas kesehatan, fasilitas menyusui di tempat kerja, pengetahuan dan keterampilan ibu, dukungan keluarga dan masyarakat serta pengendalian pemasaran susu formula. Kenyataannya saat ini fasilitas pelayanan kesehatan yang sebelumnya telah mendapat akreditasi sebagai rumah sakit sayang bayi telah menurun drastis. Rumah Sakit Sayang Bayi yang dimaksud adalah Rumah Sakit yang menerapkan 10 Langkah menuju Keberhasilan menyusui. Sepuluh langkah tersebut adalah; 1. Membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada semua staff pelayanan kesehatan. 2. Melatih semua staff pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan menyusui tersebut. 3. Menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen menyusui. 4. Membantu ibu menyusui dini dalam 30 menit pertama persalinan. * 5. Membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu dipisah dari bayinya. 6. Memberikan ASI saja kepada bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis. 7. Menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu (24 jam). 8. Menganjurkan menyusui sesuai permintaan bayi. 9. Tidak memberi dot kepada bayi. 10. Mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut setelah keluar dari sarana pelayanan.
*) Menengkurapkan bayi diatas perut ibunya agar terjadi kontak kulit antara ibu dan
bayi selama kira-kira 1 jam dan mendorong ibu untuk mengenali kesiapan bayi untuk menyusu, serta menawarkan bantuan bila diperlukan

Sebagian besar dari rumah sakit yang dulunya melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui, memberikan susu formula pada bayi baru lahir. Kapasitas petugas kesehatan untuk memberi konseling menyusui dan pemberian MP-ASI juga belum memadai. Faktor lain adalah makin banyaknya perempuan memasuki dunia kerja tetapi harus tetap memberikan ASI eksklusif. Di tempat kerja, peraturan yang mengharuskan adanya fasilitas dan kesempatan menyusui atau memerah ASI bagi ibu bekerja telah ditetapkan, tetapi pelaksanaannya belum memadai. Masih banyak ibu yang berhenti menyusui oleh karena ibu kembali bekerja. Ibu bekerja selain tidak memahami cara menyusui eksklusif bagi ibu yang bekerja, sebagian besar tempat kerja tidak menyediakan sarana dan fasilitas menyusui. Peraturan mengenai masa cuti melahirkan belum mendukung pemberian ASI eksklusif. Disisi lain masih adanya pelanggaran kode etik pemasaran susu formula merupakan hambatan bermakna bagi praktek pemberian ASI eksklusif Pemasaran susu formula melalui media massa sudah berkurang, namun pemasaran melalui pemberian sponsor pada kegiatan masyarakat maupun langsung kepada ibu hamil dan menyusui masih terjadi. Strategi PMBA disusun untuk memperbarui komitmen, menjadi rujukan dan memberi motivasi bagi pihak-pihak terkait serta pihak-pihak yang potensial untuk berperan dalam meningkatkan cakupan dan kualitas PMBA. Strategi PMBA dilaksanakan berdasarkan prinsip pemenuhan, perlindungan dan penghargaan akan hak asasi anak, kepentingan yang terbaik bagi anak serta koordinasi dan sinkronisasi antar pihak dan program terkait.

B. Situasi PMBA Menyusui merupakan proses alamiah yang dapat dilakukan oleh hampir semua ibu dan bayinya.Fakta menunjukkan bahwa 95% ibu di Indonesia menyusui bayinya (SDKI 2007). Namun ibu yang menyusui bayinya pada 1 jam pertama kelahiran hanya 41,8 %, bahkan di beberapa daerah menunjukkan angka yang jauh lebih rendah. Angka ini akan lebih rendah lagi bila digunakan kriteria ideal yakni membiarkan bayi mencari sendiri puting susu ibunya segera setelah persalinan. Sebagian besar bayi yakni 62% mendapat ASI pada hari I kelahiran. 4

Capaian ASI eksklusif yang pada SDKI 2002-2003 sebesar 39,5% dari keseluruhan bayi, pada SDKI 2007 menurun menjadi 32,8% ( tergambar pada Grafik I ). Grafik I Praktek Pemberian Makanan Pada Bayi Berdasarkan Umur

(DHS 2002 & 2007) Sebaliknya bayi yang mendapat susu formula menjadi 27,9% dari angka sebelumnya (SDKI 2002-2003) sebesar 16,7%. Praktek pemberian MPASI sangat dini masih terjadi. Dari data SDKI menunjukkan 30% bayi usia dibawah enam bulan selain ASI juga di beri makanan, 18% ASI dan susu formula, 9% ASI dan air putih serta 20% ASI dan juice. Masih cukup besar jumlah/presentase bayi yang mendapatkan makanan pralaktasi yakni

makanan/cairan yang diberikan sebelum bayi mendapatkan ASI (data di Kabupaten Bone 1998, 75%). Pemberian MPASI terkadang juga tidak adekuat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Menurut SDKI hanya 41,2 % bayi usia 6 23 bulan diberi makan sesuai anjuran yakni diberi ASI, lebih dari 3 (tiga) kelompok makanan dan dengan frekuensi minimal pemberian makanan. Hal ini 5

diperlihatkan pada grafik II yang menunjukkan kejadiaan gagal tumbuh (growth faltering) pada anak sebelum usia 6 bulan dan makin meningkat sampai anak usia 12 bulan. Makanan pendamping ASI dan formula produk pabrik bila diberikan dalam keadaan terpaksa harus memenuhi standar internasional pembuatan produk makanan bayi dan anak usia dini. GRAFIK II Periode Gagal Tumbuh (Growth Faltering) Pada Balita di Indonesia

Riskesdas 2007 Berbagai faktor mempengaruhi keberhasilan pencapaian pemberian ASI. Berkaitan dengan IMD pihak yang paling memberi kontribusi dalam hal ini adalah penolong persalinan baik individu (praktek swasta) maupun pada sarana pelayanan. Cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan menurut SDKI 2007 sebesar 73%. Meski cakupan tersebut cukup tinggi akan tetapi belum semua fasilitas pelayanan kesehatan maupun petugasnya membantu ibu menyusui dini dan mempersiapkan ibu untuk memberi ASI eksklusif dan MPASI yang optimal Rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan sayang bayi (telah melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui) telah dikembangkan dan sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan telah terakreditasi menggunakan instrumen internasional. Fasilitas pelayanan kesehatan yang dulunya telah terakreditasi juga sarana kesehatan lainnya masih perlu ditingkatkan lagi agar tetap mempunyai komitmen dalam melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. Berkurangnya RS/RSB/RB/puskesmas 6

sayang bayi selain tidak mendukung IMD, memudahkan bayi mendapat susu formula dan akan mengurangi kesempatan ibu hamil untuk mendapatkan informasi khususnya tentang persiapan menyusui dan pemberian ASI eksklusif. Hal ini akan menghambat pemberian ASI eksklusif. Faktor lain yang menghambat IMD adalah kebiasaan atau prosedur standar untuk membersihkan ibu dan bayi dahulu setelah persalinan baru kemudian bayi disusukan kepada ibunya. Berkaitan dengan pemberian ASI eksklusif salah satu masalah yang dapat menghambat adalah masuknya perempuan ke sektor publik. Seharusnya setiap ibu hamil yang bekerja mendapat akses informasi tentang perlindungan hak-hak reproduksi, laktasi dan mendapatkan fasilitas serta kesempatan untuk memerah atau menyusui bayinya di tempat kerja. Di dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 82 pekerja perempuan memperoleh cuti satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan sesudah melahirkan. Pasal 83, pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus di beri kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya, jika hal itu dilakukan selama waktu kerja. Pada pasal 84 disebutkan pekerja/buruh yang menggunakan hak istirahat (cuti) tersebut berhak mendapat upah penuh. Namun hak tenaga kerja perempuan tersebut masih belum terpenuhi. Umumnya perusahaan belum sepenuhnya melindungi tenaga kerja perempuan. Sebagian besar perusahaan belum menyediakan tempat menyusui maupun memberikan waktu istirahat untuk memerah ASI atau menyusui bayinya. UU Ketenagakerjaan pasal 79 menyatakan waktu istirahat bagi pekerja hanya setengah jam setelah 4 jam bekerja terus-menerus. Apabila pasal tersebut dilaksanakan pekerja perempuan tidak mempunyal kesempatan memerah maupun menyusui bayinya. Sebagian perusahaan (umumnya perusahaan besar) mempunyai klinik, di mana pekerja perempuan yang hamil dapat memeriksakan kehamilannya. Namun banyak pekerja perempuan yang tidak mempunyai kesempatan untuk memeriksakan kehamilannya. Akibatnya buruh perempuan tersebut kurang mendapatkan akses terhadap informasi tentang pemberian ASI dan MPASI.

Memberikan ASI eksklusif dan MPASI merupakan kewajiban bagi ibu dengan dukungan keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan. Umumnya ibu memahami bahwa perempuan akan menyusui bayinya. Faktanya hampir semua ibu menyusui bayinya. Tetapi pemahaman dan praktek tentang IMD, ASI eksklusif maupun MPASI masih belum memadai. Pemahaman yang rendah mengakibatkan munculnya pendapat bahwa ASI nya tidak cukup, menyusui mengurangi keindahan tubuh dan lain-lain yang mendorong untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Dalam hal ini yang sangat penting adalah dukungan kepada kelompok ibu tersebut. Namun belum semua petugas kesehatan yang seharusnya memberi dukungan memahami dengan benar tentang pemberian ASI dan MPASI yang tepat, disamping keterampilan dalam komunikasi / konseling masih rendah pula. Meskipun memahami kadang petugas belum bersikap mendukung, melindungi dan mempromosikan ASI dan MPASI. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya fasilitas pelayanan kesehatan yang memberi susu formula. Faktor kebiasaan/tradisi memberikan makanan pralaktasi merupakan kenyataan yang tidak mudah di atasi. Praktek pemberian makan tertentu yang dianggap memberi kekuatan pada bayi memerlukan upaya yang intensif untuk merubahnya. Di tambah lagi adanya tabu atau larangan makanan tertentu ketika memberikan MPASI (misalnya ikan tidak boleh diberikan karena amis). Pemahaman tentang cara memberikan makan agar merangsang selera anak dan mendorong anak agar mau makan masih belum banyak diketahui. Seringkali tidak memberi MPASI dengan alasan anaknya tidak mau makan. Posyandu merupakan langkah awal penyuluhan dan pendukung peningkatan pemberian ASI dan MPASI yang dulunya sangat potensial yang akhir-akhir ini menurun. Satu hambatan terbesar pemberian ASI adalah pemasaran susu formula. Pemasaran susu formula sudah diatur dengan Kepmenkes No. 237/1997 tentang Pemasaran Susu Formula. Pelarangan pemasaran susu formula dioperasionalkan antara lain dalam 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. Dengan pelarangan tersebut pemasaran susu formula untuk bayi melalui iklan media elektronik maupun cetak telah berkurang akan tetapi upaya pendekatan individual masih sangat gencar. Ditemukan beberapa kasus setelah sampai di rumah, ibu 8

menyusui dihubungi oleh pihak perusahaan susu, untuk mempromosikan susu formula. Perusahaan juga memberikan sponsor dan bermacam-macam cara lainnya untuk mempengaruhi petugas kesehatan agar memberikan susu formula kepada pasiennya. Sampai saat ini dipasaran masih beredar susu dengan label untuk anak 0 6 bulan. Di sisi lain tindakan tersebut kurang mendapat pengawasan dan sanksi oleh karena landasan pengaturan pemasaran hanya dengan Kepmenkes. Persoalan lain yang menghambat adalah terjadinya kondisi darurat akibat bencana alam maupun sosial. Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam dan di beberapa daerah rawan bencana sosial. Dalam kondisi tersebut perempuan dan anak-anak seringkali lebih banyak yang menjadi korban. Hampir di semua kejadian (Aceh, Jogya/Bantul, Padang) bantuan yang datang bagi anak-anak adalah susu formula. Padahal di daerah bencana kenyataannya sulit mendapatkan air bersih maupun sarana untuk membuat susu formula. Pelatihan petugas untuk menangani pemberian makan pada bayi dan anak usia dini dilakukan, tetapi seringkali terlambat. Kebijakan PMBA belum terintegrasi dalam kebijakan penanggulangan bencana. Data yang dikumpulkan satu bulan setelah Gempa Bantul pada tahun 2006 menunjukkan meningkatnya penyakit diare sebanyak empat kali lipat pada bayi di bawah umur dua tahun. (29 % setelah gempa dibanding 7 % sebelum gempa). Terbukti, 25 % yang sakit tersebut ternyata minum susu formula, dua kali lipat dari bayi yang tidak diberi susu formula. Situasi sulit lain yang harus mendapat perhatian khusus adalah kasus HIV/AIDS. Saat ini jumlah penderita HIV/AIDS makin meningkat dan telah menyebar di semua propinsi. Terdapat sekitar 4 juta bayi lahir setiap tahun. Sebagian bayi tersebut lahir dari ibu HIV/AIDS. Dalam hal ini telah dilakukan pelatihan pemberian ASI bagi bayi dengan ibu positif HIV/AIDS,akan tetapi cakupan pelatihan bagi petugas kesehatan masih rendah. Kelompok bayi lain yang memerlukan perhatian khusus yakni bayi dengan BBLR serta bayi dengan ibu dalam kondisi khusus (misal sakit berat, sakit jiwa). Perlu di tinjau kembali,disempurnakan dan disosialisasikan tata laksana penanganan bayi tersebut agar ASI tetap diberikan dan MPASI juga diberikan tepat waktu dan sesuai kebutuhan bayi dan anak usia dini. 9

Selain faktor pelayanan kesehatan, dukungan masyarakat dan pengaturan pemasaran susu formula, faktor lain juga mempengaruhi keberhasilan pemberian makan pada bayi dan anak usia dini adalah kurang memadainya keterpaduan berbagai program. Program dimana upaya pemberian ASI dan MPASI dapat diintegrasikan antara lain pencegahan penyakit, penurunan kematian ibu, penanggulangan kemiskinan, penanggulangan bencana, Program Keluarga Harapan, dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri serta penanggulangan gizi buruk. Dengan keterpaduan berbagai program tersebut hasilnya dapat lebih efektif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka situasi yang tidak mendukung PMBA antara lain sebagai berikut: a b c Pemberian ASI dan MPASI belum optimal Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan yang belum memadai RS dan fasilitas pelayanan kesehatan belum melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui d Pemahaman, sikap dan praktek petugas kesehatan belum sepenuhnya mendukung peningkatan pemberian ASI dan MPASI e Belum adanya perlindungan atas hak-hak ibu bekerja serta fasilitas yang mendukung pemberian ASI eksklusif f Pemahaman ibu, ayah dan keluarga tentang ASI dan MPASI masih rendah g Dukungan masyarakat belum memadai, ditambah lagi adanya kebiasaan atau budaya masyarakat yang menghambat pemberian ASI eksklusif dan MPASI yang optimal.

Di samping adanya faktor yang tidak mendukung peningkatan PMBA, telah ada peluang yang dapat dimanfaatkan antara lain adanya berbagai komitmen Nasional maupun Global baik dalam bentuk kesepakatan pencapaian program, deklarasi, inisiatif maupun kebijakan. Berkembangnya peran organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat serta tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility) berkaitan dengan tumbuh kembang anak, 10

merupakan potensi yang harus lebih di tingkatkan, terutama mengenai peningkatan PMBA. Salah satu kebijakan nasional yang mendukung adalah terbitnya Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada pasal 128 dari undangundang tersebut mengatur tentang ASI eksklusif. Ayat 1 dari pasal tersebut menyatakan setiap anak berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus (ayat 2). Ayat 3 menyebutkan fasilitas khusus yang dimaksud pada ayat 2 diadakan ditempat kerja dan tempat sarana umum. Pasal 200 mengatur sangsi bagi setiap orang yang sengaja menghalangi program pemberian ASI ekslusif yakni pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). Pasal ini dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan advokasi serta penyusunan kebijakan operasional dan pemberian sanksi bagi yang melanggar. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi juga merupakan peluang yang dapat didayagunakan untuk keberhasilan pelaksanaan strategi. Menurut WHO dan UNICEF, praktek PMBA akan berhasil bila; a. Ibu, bapak atau pengasuh bayi mendapatkan informasi yang benar dan lengkap tentang PMBA dan bebas dari pengaruh pemasaran susu formula. b. Ibu mendapatkan akses dukungan untuk menyusui, mencegah dan menyelesaikan masalah dalam PMBA baik dari petugas kesehatan, kelompok ibu menyusui maupun masyarakat sekitar. c. Bagi ibu bekerja, menyusui ekslusif dapat dilakukan bila ibu mendapatkan cuti melahirkan dan mendapatkan kesempatan serta fasilitas istirahat menyusui atau memerah ASI ketika sudah kembali bekerja. d. Adanya riset berbasis populasi dan investigasi hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan PMBA.

11

C. Dasar Hukum Beberapa produk hukum yang mendukung pelaksanaan Strategi PMBA, meliputi : 1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1984 tentang Perindustrian 2. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan 3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 4. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 5. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 6. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah 7. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 8. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 9. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 11. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota 13. Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak 14. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 237/SK/MENKES/IV/1997 tahun 1997 tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu (PASI) 15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 450/SK/MENKES/VIII/2004 tahun 2004 tentang ASI Eksklusif 16. Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan Nomor

48/Men.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008, dan Menkes/PB/XII/2008 TAHUN 2008 tentang Peningkatan Pemberian ASI selama waktu kerja di tempat kerja

12

BAB II RUANG LINGKUP PMBA

Ruang lingkup PMBA yang telah disepakati secara nasional maupun global meliputi:

A. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) IMD yang di maksud adalah memberikan kesempatan pada bayi untuk menyusu sendiri segera setelah lahir dengan cara bayi di tengkurapkan pada perut ibu dan dibiarkan selama kurang lebih 1 jam agar menemukan sendiri puting susu ibunya. Cara ini akan memberikan kehangatan pada bayi karena adanya kontak kulit ibu dan bayi (skin to skin contact). Dengan IMD bayi mendapat kolostrum pertama. Pemberian kolostrum yaitu ASI yang keluar pada minggu pertama sangat penting karena kolostrum mengandung zat kekebalan dan menjadi makanan bayi yang utama. Kolostrum tersebut meskipun jumlahnya sedikit namun telah dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi untuk hari-hari pertama kelahirannya. IMD tidak dilakukan hanya pada keadaan dimana ibu dan anak dalam kondisi umum yang buruk dan tidak stabil

B. ASI Eksklusif ASI eksklusif yang dimaksud adalah pemberian ASI saja tanpa ditambah apapun. ASI diberikan sesering mungkin tanpa di jadwal sampai bayi usia 6 bulan. Telah terbukti bahwa ASI saja tanpa ditambah apapun, telah memenuhi kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Bagi ibu yang harus segera kembali bekerja bayi harus tetap mendapat ASI. Bayi tetap dapat menyusu ketika ibu dirumah. Ibu bekerja dapat memerah ASI nya kemudian disimpan dalam kulkas dan diberikan kepada bayinya dengan gelas ketika ibu sedang bekerja, setelah ASI tersebut lebih dulu dihangatkan. Ibu juga dapat menyusui atau memerah ASI di tempat kerja. Untuk itu perusahaan/kantor perlu menyediakan fasilitas untuk memerah, menyimpan ASI atau tempat menyusui. ASI eksklusif akan memberikan perlindungan pada bayi dan memperkecil risiko terhadap berbagai penyakit antara lain diare, ISPA dan penyakit alergi. Dengan ASI 13

eksklusif perkembangan fisik, mental dan emosional bayi akan lebih optimal. Pemberian ASI eksklusif pada masa bayi juga terbukti memiliki dampak jangka panjang, contohnya penurunan resiko obesitas (kegemukan), diabetes (penyakit gula) dan penyakit jantung pada masa dewasa.

C. Makanan Pendamping ASI (MPASI) MPASI mulai diberikan setelah bayi berusia 6 bulan. Setelah 6 bulan ASI saja tidak cukup memenuhi kebutuhan bayi, sehingga perlu di tambah makanan lumat (bubur) sebagai makanan pendamping ASI. MPASI selain harus diberikan tepat waktu juga harus adekuat yakni cukup energi, protein, lemak, vitamin dan mineral. Untuk usia 6 8 bulan diberikan 2 3 kali makan perhari ditambah 12 kali camilan. Setiap kali makan diberikan dengan takaran 2 atau 3 sendok makan. Untuk usia 9 11 bulan diberikan 3 4 kali sehari dengan takaran setiap kali makan gelas ( 250 ml ), ditambah 1 2 kali camilan. MPASI harus pula dipersiapkan secara higienis dan menggunakan alat serta tangan yang bersih. Disamping tepat waktu, adekuat dan aman, MPASI juga harus diberikan sesuai selera dan tingkat kekenyangan bayi. Cara penyiapan dan pemberian harus mendorong secara aktif agar anak mau makan meskipun anak sedang sakit. Selanjutnya setelah usia 1 tahun anak mulai diberi makan makanan keluarga. ASI dapat terus diberikan sampai anak usia 2 tahun atau lebih. Meskipun telah ada MPASI produk pabrik, disarankan menggunakan bahan makanan local/alami yang tersedia di masing-masing daerah dengan menambahkan zat gizi mikro.

D. ASI Pada Situasi Darurat Bayi dan anak merupakan kelompok yang paling rawan pada situasi darurat karena bencana alam maupun bencana sosial. Pembagian susu formula pada situasi darurat di pengungsian dapat mengakibatkan penghentian pemberian ASI yang seharusnya tidak perlu terjadi. Penghentian menyusui dan pemberian MP-ASI yang tidak benar meningkatkan risiko kurang gizi, penyakit dan kematian. Dalam kondisi darurat, justru perlu di tekankan upaya perlindungan, promosi dan bantuan menyusui serta pemberian MPASI yang tepat waktu, aman dan cukup. Ibu-ibu perlu didukung agar bisa meneruskan pemberian ASI. Ibu 14

yang berhenti menyusui dalam situasi bencana sebaiknya dibantu untuk dapat menyusui kembali (relaktasi). Pada situasi bencana ibu hamil dan menyusui harus mendapat prioritas distribusi makanan dan harus diberi tambahan makanan yang lebih banyak dari jatah ransum korban yang lainnya. Susu formula hanya diberikan bila ASI benar-benar tidak tersedia baik dari ibu sendiri atau ibu menyusui lainnya. Susu formula dapat diberikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu bayi piatu dan bayi yang sebelum keadaan darurat sudah mendapat susu formula serta bayi yang terpisah dari ibunya.Bila menggunakan susu formula harus diusahakan untuk mengurangi dampak buruk pemberian susu formula dengan memastikan cukup persediaan yang

berkelanjutan, aman penyiapannya, tersedia air minum dan peralatan yang bersih, higienis dan cukup bahan bakar. Orang tua/ keluarga harus diberi informasi agar benar-benar mengerti dan mampu menyiapkan dan memberikan susu formula dengan benar. Dalam hal ini petugas kesehatan harus lebih intensif memberikan bimbingan. Sumbangan susu formula harus diatur dengan ketat agar hanya digunakan bagi anak yang benar-benar membutuhkannya

E. ASI Pada Situasi khusus Yang dimaksud situasi khusus antara lain adalah situasi dimana ibu bayi HIV positif, bayi dengan berat lahir rendah, anak yatim/piatu, ibu sakit berat, ibu cacat mental, ibu dalam penjara , serta ibu dalam ketergantungan obat a. ASI dengan ibu HIV positif. Pada dasarnya pemberian ASI pada ibu HIV positif adalah meningkatkan kelangsungan hidup anak dengan mempromosikan ASI, akan tetapi juga harus mengurangi sekecil mungkin risiko penularan HIV/AIDS melalui menyusui. WHO (November 2009) merekomendasikan untuk bayi dengan ibu HIV diberikan ASI eksklusif 0 6 bulan, diberikan MPASI mulai usia bayi 6 bulan dan ASI diteruskan sampai usia 1 tahun. Risiko penularan tergantung pada lama menyusui dan pemberian makanan campuran. Pada keluarga miskin, pilihan pertama tetap diberikan ASI eksklusif, dengan pertimbangan risiko penularan lebih rendah dibanding bila diberi susu

15

formula yang tidak memenuhi syarat. Apabila terpaksa menggunakan susu formula perlu 5 syarat yang harus dipenuhi kelima-limanya, yakni 1. Acceptable : tidak ada hambatan sosial budaya apabila ibu memberikan susu formula. 2. Feasible : orang tua/keluarga mempunyai pengetahuan dan keterampilan memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula. 3. Affordable : orang tua/keluarga mampu membeli susu formula. 4. Sustainable : menjamin ketersediaan susu formula untuk diberikan sampai usia bayi 12 bulan. 5. Safe : susu disimpan dengan benar, disiapkan dan diminumkan dengan higienis.

Semua ibu yang terinfeksi HIV harus mendapat konseling termasuk informasi umum tentang bagaimana memenuhi kebutuhan gizinya sendiri, risiko dan manfaat beberapa jenis makanan bayi, serta bimbingan khusus untuk memilih makanan bayi yang sesuai untuk kondisi ibu. Informasi mengenai berbagai manfaat ASI harus dijelaskan kepada ibu HIV positif, meskipun terdapat risiko penularan virus HIV melalui pemberian ASI. Bahaya dari kebiasaan ibu memberikan makanan campuran (mixed feeding atau pemberian ASI dan susu lainnya) juga harus dijelaskan pada ibu dengan HIV positif. Bayi yang mendapatkan hanya ASI mempunyai risiko yang lebih kecil dari bayi yang mendapatkan makanan campuran. Untuk negara dengan keadaan sosial ekonomi dan keadaan lingkungan yang belum baik, risiko penularan atau terinfeksi HIV/AIDS dari ibu kepada bayi lebih kecil bila disusui eksklusif selama 6 bulan daripada bayi diberi susu formula atau campuran susu formula dan ASI. Semua ibu menyusui dengan HIV/AIDS harus dibantu untuk menyusui selama 6 bulan (ASI eksklusif). Apabila ibu memilih untuk tidak menyusui, harus dibantu bagaimana memberikan susu formula yang benar dan aman. Selain untuk membantu ibu memutuskan pilihan yang paling tepat sesuai kondisinya, tujuan konseling bagi ibu dengan HIV positif juga untuk mencegah pemberian makanan campuran.

16

b. ASI pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) IMD tetap dilakukan bila bayi lahir cukup bulan atau mendekati cukup bulan. Bila bayi sangat kecil dan lemah ASI tetap diberikan dengan menggunakan sendok atau gelas. Bila bayi tersebut mulai dapat mengisap ASI biasanya hanya mampu mengisap sebentar saja. Dalam hal ini ibu kemudian dapat memerah ASI nya setelah bayi menyusui. Bila bayi telah cukup baik menghisap, kadang-kadang perlu waktu lama karena bayi sering istirahat. Bagi bayi sangat kecil justru ASI sangat penting, karena bayi tersebut mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi, sakit lama dan kematian. c. ASI dengan kondisi khusus lain Pada anak yatim, piatu, ibu yang mengalami sakit berat atau cacat mental, ketergantungan obat dan alkohol serta ibu dalam penjara perlu lebih mendapat perhatian dari sistem pelayanan kesehatan maupun kesejahteraan sosial. Kondisi tersebut mengakibatkan risiko terjadinya kurang gizi dan sakit pada bayi lebih tinggi bahkan kematian dini. Pilihan pemberian makan tergantung pada kondisi individual, akan tetapi pemberian ASI tetap merupakan pertimbangan prioritas. Ibu-ibu dalam kondisi khusus ini perlu mendapat bimbingan/konseling lebih intensif.

17

BAB III STRATEGI PMBA

A. Tujuan Umum : Meningkatkan status gizi dan kesehatan, tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak di Indonesia, melalui strategi peningkatan makanan bayi dan anak (PMBA) dengan optimal. Khusus : 1. Meningkatnya cakupan bayi baru lahir yang mendapatkan ASI dalam 1 (satu) jam pertama. 2. Meningkatnya cakupan pemberian ASI eksklusif 6 bulan. 3. Meningkatnya cakupan pemberian MPASI pada bayi mulai usia 6 bulan. 4. Meningkatnya cakupan anak yang mendapat ASI sampai 24 bulan atau lebih. 5. Meningkatnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang

melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui

B. Strategi Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dan mempertimbangkan perkembangan situasi dan kondisi berkaitan dengan PMBA, maka Strategi PMBA ditetapkan sebagai berikut : 1. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap perilaku menyusui melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan 2. Penguatan fasilitas pelayanan kesehatan dalam menerapkan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui 3. Peningkatan komitmen dan kapasitas stakeholder dalam meningkatkan, melindungi dan mendukung PMBA 4. Pemberdayaan ibu, keluarga dan masyarakat dalam praktek PMBA

18

C. Indikator Keberhasilan Indikator keberhasilan pelaksanaan Strategi PMBA, meliputi : a. Peningkatan cakupan bayi yang mendapat ASI dalam 1 (satu) jam pertama (IMD) b. Peningkatan cakupan menyusui ASI eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan. c. Peningkatan cakupan anak usia 6 24 bulan yang mengkonsumsi lebih dari 4 kelompok bahan makanan 24 jam sebelumnya d. Peningkatan cakupan anak usia 6 8 bulan yang mengkonsumsi makanan lumat dan lembek 24 jam sebelumnya. e. Peningkatan cakupan bayi yang diberi MPASI sesuai frekuensi yang di anjurkan f. Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. g. Menurunnya angka kematian bayi dan balita. h. Menurunnya angka prevalensi gizi kurang

D. Pokok Program Dari ke-empat strategi di atas (Sub bab B) ditetapkan, Program PMBA meliputi : 1. Pengembangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan. Tujuan : Penyusunan dan harmonisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang berkaitan dengan PMBA Kegiatan : a. Review peraturan perundangan dan kebijakan yang telah ditetapkan b. Revisi kebijakan yang tidak mendukung PMBA c. Penyusunan peraturan perundangan dan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung peningkatan PMBA d. Sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan, antara lain tentang ibu bekerja, fasilitas menyusui / memerah ASI di tempat kerja dan tempat umum serta kebijakan dalam integrasi PMBA dengan program terkait

19

2. Pengawasan pemasaran susu formula Tujuan : Terlaksananya kode etik pemasaran susu formula

Kegiatan : a. Penyusunan dan sosialisasi Peraturan Pemerintah yang mengatur pemasaran susu formula. b. Memperketat pengawasan pemasaran susu formula c. Penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar.

3. Pengawasan produk makanan bayi dan anak usia dini sesuai Standar produksi makanan (codex alimentarius) Tujuan : Tersedianya produk makanan bayi sesuai standar produksi makanan bayi Kegiatan : a. Sosialisasi kebijakan dan pedoman yang mengatur produksi makanan bayi b. Pengawasan produksi, pemasaran dan distribusi makanan bayi c. Penerapan sanksi pihak yang melanggar

4. Revitalisasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Sayang Bayi. Tujuan : Peningkatan jumlah dan kualitas rumah sakit/fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui Kegiatan : a. Membangun kembali komitmen pemerintah, pemerintah daerah dan pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam pengembangan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. b. Pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui meliputi sosialisasi kebijakan, pelatihan, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan. c. Menetapkan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui dalam akreditasi Rumah Sakit dan menerapkan sangsi bagi yang tidak melaksanakan d. Menyelenggarakan penilaian tahunan 20

5. Peningkatan kapasitas petugas Tujuan : Semua petugas di fasilitas pelayanan kesehatan yang terkait dengan pelayanan ibu dan anak 0 24 bulan memahami dan mampu

memberi pelayanan dan promosi dalam PMBA Kegiatan: a. Memperluas pengintegrasikan PMBA ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan (pre-service dan in-service) b. Pelatihan berkelanjutan bagi petugas kesehatan, antara lain tentang ASI, MPASI, strategi peningkatan pemberian, komunikasi / konseling,

permasalahan serta solusinya c. Sosialisasi standar pelayanan dan konseling ASI dan MPASI d. Integrasi pelayanan konseling ASI dan MPASI pada pelayanan kesehatan ibu dan anak, baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat

6. Advokasi dan Promosi Peningkatan PMBA Tujuan : Meningkatkan pemahaman dan komitmen semua pemangku

kepentingan (stake holders) dalam peningkatan PMBA Kegiatan: a. Advokasi kepada semua pemangku kepentingan b. Promosi PMBA melalui berbagai media dan saluran komunikasi.

7. Perlindungan pekerja perempuan Tujuan : Adanya kebijakan dan fasilitas perusahaan yang mendukung pekerja perempuan memberikan ASI eksklusif. Kegiatan: a. Advokasi dan sosialisasi agar ada kebijakan perusahaan tentang

perlindungan pekerja perempuan dan diimplementasikan b. Perusahaan menyediakan fasilitas untuk memerah ASI dan ruang menyusui c. Kampanye PMBA bagi pekerja perempuan. d. Pengawasan pelaksanaan perlindungan pekerja perempuan. 21

8. Pemberdayaan masyarakat Tujuan : Meningkatnya kelompok dalam masyarakat yang mau dan mampu berperan dalam peningkatan PMBA. Kegiatan: a. Mengembangkan konselor, peer group dan kelompok pendukung PMBA. b. Menggiatkan kembali kelompok pendukung menyusui yang telah ada c. Komunikasi perubahan perilaku (untuk mengurangi faktor budaya yang tidak mendukung). d. Pemberian informasi berkala dan konseling tentang ASI dan MPASI.

9.

Pemberdayaan Ibu, Ayah dan Keluarga. Tujuan : Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam PMBA serta memecahkan masalah yang timbul berkaitan dengan praktek pemberian PMBA. Kegiatan: a. Meningkatkan cakupan pemeriksaan kehamilan b. Pelatihan keterampilan pemberian ASI dan MPASI. c. Komunikasi, informasi, dan edukasi berkala tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ASI dan MPASI kepada remaja putri, ibu hamil dan ibu menyusui, ayah serta keluarga d. Integrasi PMBA pada pelatihan pra nikah e. Mengintegrasikan peningkatan PMBA pada upaya kesehatan berbasis masyarakat (Gerakan Sayang Ibu, Posyandu dan lain-lain)

10. PMBA Pada Situasi Sulit Tujuan : Mendukung dan melindungi praktek PMBA yang optimal pada situasi darurat dan situasi khusus

Kegiatan: a. Mengembangkan dan memutakhirkan pedoman PMBA pada situasi sulit. b. Sosialisasi pedoman PMBA pada situasi darurat dan khusus kepada pihakpihak yang terkait termasuk fasilitas pelayanan kesehatan. 22

c. Mengintegrasikan PMBA pada kebijakan, program dan tata laksana penanggulangan bencana. d. Meningkatkan kesadaran dan ketrampilan petugas kesehatan mengenai prinsip-prinsip pemberian makanan bayi dan balita pada situasi darurat dan situasi khusus. e. Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan mengenai konseling

pemberian ASI dan MPASI termasuk pada ibu dengan HIV, serta integrasi pelayanan konseling tersebut dengan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.

11. Data dan Informasi Tujuan : Tersedianya data dan informasi tentang penyelenggaraan dan pencapaian peningkatan PMBA Kegiatan: a. Pengumpulan dan pemetaan data ( kuantitatif dan kualitatif ) b. Distribusi data dan informasi c. Pemanfaatan data untuk dasar pengembangan kebijakan, program dan kegiatan peningkatan PMBA

12. Riset dan Pengembangan Tekhnologi Tujuan : Melakukan identifikasi tradisi yang mempengaruhi PMBA dan pengembangan teknologi sederhana dalam memanfaatkan bahan lokal untuk MPASI Kegiatan: a. Riset operasi untuk menekan tradisi negatif yang tidak mendukung PMBA b. Riset evaluasi c. Pengembangan teknologi sederhana dengan memanfaatkan bahan makanan lokal dan murah untuk MPASI.

23

BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PIHAK TERKAIT

Untuk menjamin terlaksananya strategi PMBA, pihak terkait harus mensepakati dan konsekuen dalam melaksanakan peran dalam wadah koordinasi. Peran dan tanggung jawab sebagai berikut :

PERAN
1. Pengembangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan

TANGGUNG JAWAB
Sekretariat Negara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Dalam Negeri Bappenas Kementerian Kesehatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota, DPR, DPRD Propinsi / Kabupaten / Kota

2.

Pengawasan pemasaran susu formula.

Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian Kementerian Kesehatan Badan POM & Balai POM Pemerintah Propinsi / Kabupatan / Kota PKK LSM

3.

Pengawasan produk makanan bayi dan anak usia dini sesuai standar produksi makanan (codex alimentarius)

Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian Kementerian Kesehatan Kementerian Pertanian Kementerian Kelautan dan Perikanan Badan POM & Balai POM Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota PKK LSM

24

4.

Pelaksanaan revitalisasi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan sayang bayi

Kementerian Kesehatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Komisi Akreditasi Rumah Sakit Organisasi profesi antara lain IDI, IDAI, POGI, IBI, PPNI, PERSAGI Asosiasi RS (Persi, Arsada) Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta

5.

Peningkatan kapasitas petugas kesehatan

Kementerian Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Kementerian Pendidikan Nasional Organisasi Profesi Perguruan Tinggi Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota

6. Advokasi dan promosi PMBA

Kementerian Menko Kesra Kementerian Komunikasi dan Informasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Kesehatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian Pendidikan Nasional Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota Mass Media PKK LSM

7.

Perlindungan pekerja perempuan

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kementerian Kesehatan Kementerian Perdagangan Kementerian Perindustrian Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota Sektor Swasta (pemberi kerja)

25

Asosiasi Buruh 8. Pemberdayaan masyarakat Kementerian Dalam Negeri Badan Pemberdayaan Masyarakat Propinsi Kementerian Kesehatan Kementerian Agama Kementerian Sosial Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota Organisasi Profesi PKK LSM 9. Pemberdayaan ibu, bapak dan keluarga Sektor Kesehatan Sektor Agama Sektor Pemberdayaan Perempuan Pemda Propinsi / Kabupaten / Kota PKK LSM Organisasi Profesi Mass Media 10. Pelaksanaan pemberian ASI dan MPASI pada situasi sulit Kementerian Kesehatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Daerah Organisasi Profesi PKK dan LSM Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota 11. Data dan Informasi Badan Pusat Statistik (BPS) Kementerian Kesehatan Pemerintah propinsi/kabupaten/kota Perguruan Tinggi 12. Riset dan pengembangan tekhnologi Pusat Kajian / Penelitian Perguruan Tinggi Kementerian Kesehatan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Propinsi / Kabupaten / Kota

26

BAB V PEMANTAUAN DAN EVALUASI

Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan PMBA merupakan bagian penting untuk mengetahui proses pelaksanaan dan hasil kegiatan PMBA. Pemantauan dilaksanakan sejak tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan kegiatan PMBA agar diketahui permasalahan yang dihadapi dan dilakukan perbaikan segera apabila timbul permasalahan.

A. Tujuan Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk : 1. Mengetahui perkembangan kegiatan dalam pelaksanaan Strategi Peningkatan PMBA. 2. Mengidentifikasi masalah yang ditemukan dan upaya pemecahan masalah. 3. Mengetahui keberhasilan kegiatan peningkatan PMBA. 4. Mengetahui dampak pelaksanaan Strategi Peningkatan PMBA

B. Komponen Komponen yang dipantau dan dievaluasi adalah komponen masukan (input), proses, hasil dan dampak pelaksanaan strategi meliputi: 1. Forum koordinasi pelaksanaan kegiatan lintas sektor terkait dalam peningkatan PMBA. 2. Pemenuhan kebijakan, norma standar, prosedur, kriteria pemberian ASI dan MPASI pada Sektor / Propinsi / Kabupaten / Kota. 3. Terlaksananya Standar Pelayanan Minimal (SPM) 4. Program Peningkatan PMBA. 5. Kelompok pendukung ASI di tingkat masyarakat. 6. Konselor ASI. 7. Jumlah tenaga kesehatan yang telah dilatih mengenai konseling menyusui dan pemberian MPASI 8. Jumlah Rumah sakit / fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui. 27

9. Kegiatan pemantauan dan penegakan hukum pemasaran susu formula. 10. Perusahaan yang memberikan fasilitas menyusui. 11. Cakupan bayi yang mendapat ASI pada 1 jam pertama kelahiran (IMD) 12. Cakupan menyusui ASI eksklusif 6 bulan. 13. Cakupan pemberian ASI pada anak usia 12-15 bulan 14. Cakupan pemberian MPASI mulai 6 bulan. 15. Cakupan anak usia 24 bulan yang masih mendapat ASI. 16. Prevalensi balita kurang gizi (BB/U z-score < -2SD). 17. Prevalensi balita pendek (TB/U z-score < -2SD) 18. Angka kematian bayi/balita. 19. Permasalahan pelaksanaan strategi PMBA.

C. Metoda 1. Self assessment (Penilaian Diri Sendiri) 2. Pengamatan lapangan dan wawancara menggunakan instrument yang telah ditetapkan. 3. Pertemuan koordinasi. 4. Pencatatan dan pelaporan rutin. 5. Studi evaluasi. 6. Survei nasional (seperti SDKI, Susenas, Riskesdas)

D. Pelaksana Pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan sendiri oleh pihak yang melaksanakan Strategi PMBA maupun dari luar pihak pelaksana, misalnya lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi.

E. Waktu Pemantauan dilaksanakan secara periodik minimal dua kali setahun mulai tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan kegiatan Strategi PMBA. Sedangkan evaluasi dapat dilaksanakan setiap tahun.

28

F. Pelaporan 1. Setiap pihak menyampaikan laporan hasil pelaksanaan kegiatan PMBA kepada koordinator atau ketua kelompok kerja masing-masing selanjutnya secara langsung disampaikan kepada Camat, Bupati/Walikota, Gubernur dan Menko Kesra. 2. Hal - hal yang dilaporkan meliputi antara lain komponen yang dipantau (BAB V B), sesuai dengan tugas pilihan program/kegiatan yang dilakukan. Pelaporan menggunakan format dan sistem yang berlaku di masing-masing pihak.

29

BAB VI PENUTUP

Strategi PMBA disusun untuk menjadi rujukan dalam menetapkan kebijakan, program dan kegiatan terkait dengan PMBA. Strategi juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran dan menserasikan langkah dalam meningkatkan kualitas hidup dan tumbuh kembang melalui PMBA yang optimal. Dalam strategi ditetapkan cara pemberian makan bayi dan anak usia dini dalan kondisi normal dan dalam situasi sulit (darurat dan khusus). Ditetapkan pula strategi untuk meningkatkan kualitas dan cakupan PMBA. Pelaksanaan program dan kegiatan PMBA melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, perguruan tinggi, pihak swasta, organisasi profesi, PKK, LSM juga keluarga dan masyarakat. Strategi akan berhasil bila ada upaya intensif untuk meningkatkan komitmen politik, investasi publik, kesadaran dan sikap petugas kesehatan, peran keluarga dan masyarakat dan kolaborasi berbagai pihak dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Setiap program dan kegiatan seharusnya dilakukan berkesinambungan dalam satu forum koordinasi yang efektif pada setiap lembaga, wilayah maupun kelompok kerja. Forum koordinasi tersebut diharapkan secara berkala memantau kemajuan program dan menserasikan langkah kedepan. Selain koordinasi hal penting lainnya yang menjamin keberhasilan PMBA adalah adanya data baik kuantitatif maupun kualitatif yang mendukung pelaksanaan Strategi PMBA. Keberhasilan PMBA merupakan jaminan kualitas anak kini dan masa depan.

30

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, 2008, Statistik Kesejahteraan Rakyat Welfare Statistics, 2007. Kementerian Dalam Negeri, dkk, 2005. Strategi Nasional Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Sampai Tahun 2005. Jakarta: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan, Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan

Penanggulangan Gizi Buruk, Depkes, 2005. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Profil Kesehatan. Indonesia, 2005. Kementerian Kesehatan, 2005. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Perbaikan Gizi Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta Kementerian Kesehatan, 2006. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2005-2009. Kementerian Kesehatan. Jakarta Innocenti Declaration 2005 on Infant and Young Child Feeding. Florence, Italy, 2005. WHO/UNICEF, 1981. International Code of Marketing of Breastmilk Substitutes WHO/UNICEF, 2002. Global Strategy on Infant and Young Child Feeding WHO/UNICEF, 2003. Planning Guide for National Implementation of the Global Strategy on Infant and Young Child Feeding

31

Lampiran 1. KEGIATAN PMBA OLEH PARA PEMANGKU KEPENTINGAN ( STAKE HOLDERS ) 1. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat a. Mengkoordinasikan kebijakan sektor terkait dalam PMBA b. Mengkoordinasikan sektor terkait dalam melakukan advokasi dan sosialisasi kepada Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan PMBA. c. Mensinergikan kemitraan dengan badan dunia dan lembaga donor internasional. d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA. 2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional a. Mengkoordinasikan dan mensinkronkan perencanaan kegiatan PMBA di masing-masing sektor terkait. b. Mengintegrasikan kegiatan PMBA ke dalam rencana pembangunan jangka panjang, menengah dan tahunan di masing-masing sektor terkait. c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 3. Kementerian Kesehatan a. Membuat peraturan dan pedoman yang mendukung pelaksanaan PMBA di Rumah Sakit, Puskesmas dan jaringannya. b. Membuat kebijakan penerapan pelaksanaan PMBA dalam situasi khusus dan darurat. c. Menyusun dan mensosialisasikan standarisasi makanan bayi dan anak. d. Mengembangkan materi KIE tentang PMBA Menyediakan dan memperluas media KIE tentang PMBA e. Menyediakan tenaga konselor menyusui di Rumah Sakit dan Puskesmas. f. Mengkoordinasikan kegiatan PMBA yang dilaksanakan sektor kesehatan di daerah. g. Memberdayakan keluarga untuk mampu menerapkan PMBA h. Mengintegrasikan materi PMBA pada kurikulum pendidikan tenaga kesehatan, formal, non formal dan informal. i. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA

32

4. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi a. Membuat peraturan yang mendukung praktek menyusui di tempat kerja, misalnya cuti bersalin, tersedianya ruang menyusui dan fasilitas untuk memerah ASI b. Memantau pelaksanaan peraturan PMBA di tempat kerja c. Melakukan pembinaan dan memberikan penghargaan terhadap perusahaan agar melaksanakan kegiatan PMBA d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 5. Kementerian Agama a. Memfasilitasi lembaga keagamaan yang berkompeten mengeluarkan fatwa atau pernyataan menurut pandangan agama yang mendukung PMBA b. Mengintegrasikan materi PMBA dalam konseling pra nikah c. Mengintegrasikan materi PMBA pada nasihat pernikahan d. Mengintegarasikan materi PMBA pada kurikulum pendidikan agama e. Menyebarluaskan KIE tentang PMBA kepada orgasnisasi, lembaga keagamaan dan tempat-tempat ibadah f. Melakukan pembinaan dan sosialisasi tentang pemberian makanan yang halal pada bayi dan anak g. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pemberian ASI dan MPASI 6. Kementerian Dalam Negeri a. Mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan PMBA di Daerah. b. Mengkoordinasikan pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat sehingga masyarakat mampu secara mandiri melaksanakan kegiatan PMBA c. Memfasilitasi peningkatan peran serta masyarakat termasuk PKK dan LSM PMBA. d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA. 7. Kementerian Komunikasi dan Informatika a. Menyebarluaskan materi KIE tentang PMBA melalui jaringan media massa b. Melaksanakan kampanye PMBA c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA

33

8. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak a. Melaksanakan fungsi sebagai focal point Komite Nasional Peningkatan Pemberian ASI dan MPASI b. Memotivasi LSM dan organisasi perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kegiatan PMBA c. Memberdayakan perempuan untuk melaksanakan kegiatan PMBA d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 9. Badan Pengawas Obat dan Makanan a. Membuat standard dan pedoman teknis produk pangan makanan bayi dan anak b. Mengeluarkan izin edar produk makanan bayi dan anak sesuai standar c. Melakukan pengawasan pemasaran produk pangan makanan bayi dan anak yang beredar termasuk iklan d. Mengeluarkan sertifikat untuk produsen makanan bayi dan anak yang telah memenuhi persyaratan cara produksi pangan bayi dan anak yang baik e. Memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 10. Kementerian Perindustrian a. Melakukan advokasi pelaksanaan PMBA bersama dengan Kemenkokesra dan instansi terkait lainnya b. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 11. Kementerian Perdagangan a. Melakukan pengendalian dan pengawasan promosi susu formula, susu formula lanjutan dan MPASI b. Membina dan atau mengawasi peredaran makanan bayi dan anak di masyarakat c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 12. Kementerian Pendidikan Nasional a. Membuat kebijakan dan pedoman yang mendukung penerapan Strategi PMBA b. Mengintegrasikan materi PMBA dalam kurikulum pendidikan formal, non formal dan informal c. Mengintegrasikan PMBA pada kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan satuan PAUD sejenis) 34

d. Melakukan monitoring dan evaluasi penerapan PMBA terintegrasi dengan program pendidikan e. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 13. Kementerian Sosial a. Membuat pedoman dan peraturan yang mendukung penerapan PMBA pada situasi khusus dan darurat b. Menerapkan pelaksanaan PMBA dalam situasi khusus dan keadaan darurat c. Mengintegrasikan pelaksanaan kegiatan PMBA di Taman Penitipan Anak (TPA), panti sosial anak dan lain-lain d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 14. Kementerian Pertanian a. Meningkatkan permintaan pangan masyarakat dalam menerapkan PMBA berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal b. Mengembangkan aneka pangan berbasis sumberdaya lokal yang aman dan terjangkau c. Meningkatkan peran pemerintah daerah dan seluruh potensi daerah dalam memfasilitasi dan pengembangan program dan kegiatan PMBA berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 15. Kementerian Kelautan dan Perikanan a. Melakukan advokasi pelaksanaan PMBA yang teringrasi dengan proram gerakan memasyarakatkan makan ikan (Gemarikan) bersama instansi terkait b. Mensosialisasikan teknologi pengolahan hasil perikanan untuk pembuatan MP-ASI c. Meningkatkan ketersediaan produk olahannya sesuai potensi wilayah untuk mendukung pembuatan MP-ASI d. Meningkatkan mutu dan keamanan produk perikanan dalam upaya mendukung pembuatan MP-ASI dan pelaksanaan PMBA e. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 16. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Peran dan tanggung jawab a. Memberdayakan keluarga untuk mampu menerapkan PMBA melalui kegiatan BKB b. Mengintegrasikan PMBA pada kegiatan konseling Keluarga berencana

35

c.

Menyebarluaskan informasi tentang PMBA melalui kader Bina Keluarga Balita (BKB) d. Menfasilitasi pelatihan petugas lapangan KB dan kader tentang PMBA e. Mengintegrasikan materi PMBA ke dalam materi BKB f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Pemberian ASI dan MPASI 17. Pemerintah Propinsi a. Menyusun dan/atau merevisi berbagai kebijakan propinsi terkait PMBA b. Koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan c. Mendorong pengembangan Rumah Sakit dan sarana kesehatan yang melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui d. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat e. Melaksanakan KIE PMBA f. Membina Pelaksanaan PMBA di kab/kota g. Pemantauan dan evaluasi 18. Pemerintah Kabupaten/Kota a. Menyusun dan/atau merevisi berbagai kebijakan kabupaten/kota terkait PMBA b. Koordinasi dalam pelaksanaan kebijakan c. Mendorong pengembangan Rumah Sakit dan sarana kesehatan yang melaksanakan 10 langkah menuju keberhasilan menyusui d. Melaksanakan pemberdayaan masyarakat e. Melaksanakan KIE PMBA f. Mengembangkan data dan informasi g. Pemantauan dan evaluasi 19. Organisasi Profesi (IDI, IDAI, PDGMI, POGI, IBI, PPNI, PERSAGI, ASDI, dll) a. Mendorong terbitnya peraturan yang mendukung pelaksanaan PMBA di tempat kerja (cuti bersalin, tersedianya ruang menyusui, tempat penyimpanan ASI, TPA dan lain-lain) b. Melakukan konseling untuk membantu keluarga dan masyarakat agar mampu melaksanakan kegiatan PMBA c. Mengintegrasikan materi PMBA dalam kurikulum pendidikan profesi d. Menyebarluaskan informasi tentang PMBA e. Memotivasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk melaksanakan kegiatan PMBA f. Mengeluarkan regulasi bagi anggota untuk mendukung pelaksanaan PMBA, termasuk memberi sanksi bagi yang melanggar peraturan terkait PMBA 36

g. Menggerakkan masyarakat untuk mampu menerapkan PMBA h. Melakukan pemantauan tumbuh kembang bayi dan anak sebagai penerapan PMBA i. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 20. Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi a. Melakukan review dan evaluasi pelaksanaan kegiatan PMBA b. Melakukan penelitian dan pengembangan yang terkait dengan PMBA c. Memberikan rekomendasi yang evidence base kepada pengambil kebijakan d. Mengintegrasikan materi PMBA pada kegiatan pengabdian masyarakat maupun kurikulum perguruan tinggi e. Mempublikasikan hasil penelitian kepada semua sektor dan mitra terkait f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 21. Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga a. Memotivasi TP-PKK daerah untuk melaksanakan PMBA b. Menggerakkan masyarakat untuk menerapkan PMBA c. Menyebarluaskan informasi PMBA melalui berbagai media d. Melaksanakan kegiatan Peningkatan PMBA melalui Posyandu dan kelompok dana wisma e. Memberdayakan keluarga untuk mampu menerapkan PMBA f. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA 22. Lembaga Swadaya Masyarakat (lokal, nasional dan internasional) a. Mendorong pemerintah untuk menegakkan sanksi terhadap produsen makanan bayi dan anak, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan b. Menyebarluaskan informasi tentang PMBA c. Membentuk kelompok pendukung menyusui sebagai bagian dari tujuan peningkatan PMBA d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PMBA

37

You might also like