You are on page 1of 13

ABSTRAK Tujuan dari dijalankannya proses pembelajaran sesuai UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah untuk mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, untuk mencapai tujuan itu pun telah di sediakan serangkaian konsep meliputi konsep standar pendidik, standar isi, standar kompetensi, dan lain sebagainya. Naik turunnya sebuah kurikulum tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan cara tepat dalam menjalankan proses pembelajaran, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan hingga evaluasi semua diarahkan untuk memenuhi target tercapainya tiga ranah pokok yang selalu dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses pendidikan yaitu ranah kognitif, afektif serta psikomotorik peserta didik. Tugas vital seorang pendidik sangat kentara ketika menghadapi puluhan bahkan ratusan peserta didik dengan potensi yang berbeda. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sangatlah menentukan keberhasilan dari proses pembelajaran. Mulai dari kompetensi pedagogik yang meliputi kompetensi dalam ilmu mengajar, sosial, profesional serta leadhership semua harus dimiliki seorang pendidik. Transisi pemahaman dari konvensional ke arah modern mulai digalakkan, proses pembelajaran yang berpusat pada guru [ Teacher Centered Education ] mulai beralih ke pembelajaran yang berpusat pada siswa [ Student Centered Education ]. Ketika konsep pembelajaran dengan menekankan pada Multiple Intelegensi [ kecerdasan majemuk ] telah diterapkan maka tidak ada lagi istilah peserta didik yang bodoh, terbelakang, terasing, lambat dalam pembelajaran, dan sebagainya. Karena semua peserta didik mempunyai kecerdasan yang berbeda satu sama lain, sehingga tugas seorang pendidiklah untuk mengetahui kecerdasan setiap peserta didik. Penerapan Intelegensi memang membutuhkan kerja keras, terutama bagi pendidik, karena mereka dituntut untuk mengerti potensi yang di miliki setiap peserta didik, namun jika bisa teraplikasikan model pembelajaran ini akan memberikan hasil yang menakjubkan. Dengan menekankan keterlibatan jiwa dari peserta didik menjadikan pembelajaran bukan saja berhenti pada taraf Transfer of Knowlege, namun lebih dari itu pendidikan haruslah menekankan Transfer of Values, Disinilah akan terlihat perbedaan nyata antara pendidikan dengan metode lama dengan metode yang digunakan dalam multiple intelegensi. Dan pendidikan akan benar-benar untukmengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB I PENDAHULUAN

Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah lepas dari unsur manusia. Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan itu diberikan atau diselenggarakan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi manusia ke arah yang positif. Pendidikan pada dasarnya adalah proses kumunikasi yang di dalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan

keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long process), dari generasi ke generasi. Pendidikan menjadi salah satu dari beberapa aspek untuk melihat kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang memiliki sumber daya manusia yang tinggi, mampu bersaing dengan negara-negara maju sehingga bangsa kita akandiperhitungkan oleh seluruh negara di dunia. Untuk mencapai hal tersebut tidaklah mudah. Hal ini dipengaruhi oleh

komponen-komponen yang ada dalam pendidikan. Adanya kerjasama dalam komponen pendidikan yang baik maka, pelaksanaan pendidikan di Indonesia juga tidak mengalami hambatan. Pendidikan mampu membentuk kepribadian individu yang akhirnya membentuk kepribadian bangsa. Sumber daya manusia bangsa yang baik akan mempengaruhi pembangunan negara menjadi baik juga karena pendidikan adalah salah satu program pembangunan bangsa Indonesia. Tujuan pendidikan berhubungan dengan tujuan hidup dan kehidupan masyarakat sehingga pendidik dapat menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara tepat dengan rencana yang matang. Dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alenea 4 menyebutkan, esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan

budaya keilmuan, sosial, ekonomi, politik yang lebih baik dalam perspektif tertentu harus mengacu pada masa depan yang jelas. Komponen-komponen yang ada dalam pendidikan antara lain, pendidik, peserta didik, kurikulum, metode dan hasil belajar. Hasil belajar adalah salah satu komponen dalam pendidikan dan untuk memprediksi hasil belajar atau keberhasilan peserta didik dalam akademis adalah penggunaan tes intelegensi. Padahal, penentu keberhasilan peserta didik dalam akademisnya tidak hanya dilihat dari aspek intelegensi. maka menjadi tidak percaya dengan yang mendiagnosa IQ anak tersebut (Azwar, 2008: 166), sebaliknya anak yang memiliki hasil tes IQ rendah dicap tidak akan mampu berprestasi baik, sehingga anak

menjadi down dan kehilangan motivasi belajar sehingga bukan tidak mungkin prestasinya rendah. Intelegensi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik. Inteligensi dianggap sebagai komponen kognitif yang penting dalam mempengaruhi keberhasilan peserta didik dalam akademis. Hal ini dijelaskan oleh Azwar (2008:165). Peran intelegensi dalam dunia pendidikan tidak hanya digunakan untuk memprediksi keberhasilan peserta didik dalam akademis, tetapi banyak hal yang dapat diungkap dengan menggunakan hasil dari intelegensi tersebut. Peran inteligensi tidak secara pasti

(dijamin) keberhasilannya karena intelegensi dipengaruhi oleh faktor bawaan, lingkungan stabilitas inteligensi dan IQ, pengaruh factor kematangan, pengaruh factor pembentukan, minat dan pembawaan yang khas dan kebebasan (Baryon, 2009). Dengan mengetahui isi dari inteligensi maka digunakan sekolah untuk membimbing peserta didik secara maksimal dalam bidang akademisnya.

BAB II PENGEMBANGAN INTELEGENSI DALAM PENDIDIKAN MODERN

Pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan, seperti kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan adveritas atau berketahanan hidup (AQ). Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengenali emosi diri sendiri dan emosi orang lain, serta mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan spiritual merupakan kecakapan untuk melaksanakan kegiatan yang didasari oleh perilaku ketaqwan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan norma yang berlaku di masyarakat, termasuk kepatuhan kepada peraturan sekolah. Namun demikian suatu kecerdasan yang matang barangkali hanya bisa diwujudkan dengan cara mengimbangkan (equilibrium) kekuatan-kekuatan jiwa manusia pada kemampuan mengoptimalkan fungsi otak belahan kiri dan otak belahan kanan. Menurut para pakar psikologi otak belahan kiri merupakan sumber kecerdasan intelektual (IQ) sebagai wilayah persemaian dan

pengembangan potensi akal-penalaran yang bersifat analitislogik dan detail, sedangkan otak belahan kanan adalah sumber kecerdasan emosional (EQ) sebagai wilayah persemaian dan pengembangan segala potensi yang berkaitan dengan rasa-perasaan (emosi-kreatif) yang bersifat menyeluruh. Otak kiri bertanggung jawab terhadap kemampuan verbal dan matematik, seperti berbicara, membaca, menulis, dan berhitung. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sistematis, dan analitis sehingga termasuk short term memory (memori jangka pendek). Akal sebagai bagian penting dari jiwa manusia berfungsi untuk menemukan kebenaran dan kesalahan. Dengan akal manusia mampu mengarahkan seluruh aktivitas jasmani dan kejiwaannya guna menggapai kehidupan yang relatif lebih sejahtera. Sebaliknya, otak kanan berurusan dengan emosi, irama,

musik, imajinasi, warna, gambar, dan diagram. Cara berpikir otak kanan bersifat kreatif, tidak teratur, dan menyeluruh sehingga tergolong long term memory (memori jangka panjang). Emosi merupakan kekuatan penggerak kehidupan yang paling konkret dalam diri manusia karena terbentuk dari segenap keinginan dan selera yang erat hubungannya dengan fungsifungsi jasmaniah, seperti melakukan apa yang baik dan buruk, mengikuti apa yang etis dan norak, serta yang indah dan jelek. Kekuatan emosi terasa tampak ketika mampu menjalankan berbagai alternatif gagasan yang telah diputuskan oleh akal. Sebagai bukti bahwa daya ingat otak kanan lebih panjang dari otak kiri yaitu ketika kita bertemu dengan teman lama. Barangkali kita masih ingat wajahnya tetapi lupa namanya. Fenomena ini terjadi karena gambar wajah diproses oleh otak kanan dengan memori jangka panjang, sedangkan nama (kata-kata) diproses oleh otak kiri yang jangka memorinya pendek.

Beberapa uraian tentang pengertian kecerdasan/intelegensi menurut para ahli : 1. S.C. Utami Munandar : kemampuan berpikir, belajar, menyesuaikan diri. 2. Alferd Binet : kemampuan beradaptasi, mengadakan kritik terhadap masalah yang dihadapi, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. 2. L.L. Thurstone : kecakapan mengamati dan menafsirkan, kecakapan dan kefasihan untuk menggunakan kata kata, kecakapan mengingat. 3. Edward Thorndike : kemampuan individu untuk memberikan respon yang tepat terhadap stimulasi yang diterimanya. 4. George D. Stodard : kecakapan dalam menyatakan tingkah laku. 5. William Stern : kapasitas atau kecakapan umum pada individu secara sadar untuk menyesuaikan pikirannya pada situasi yang dihadapinya.

6. Carl Whitherington : kemampuan bertindak sebagaimana dimanifestasikan dalam kemampuan kemampuan/kegiatan kegiatan. 7. J.P. Chaplin (1975) : kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. 8. Anita E. Woolfok (1995) : kemampuan untuk belajar, memperoleh dan menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan lingkungan. Teori teori intelegensi yang dikembangkan beberapa orang ahli antara lain sebagai berikut : 1. Teori two factor oleh Charles Spearman (1904) yang berisi teori g (general factor) dan s (specific factor). 2. Teori primary mental abilities oleh Thurstone (1938) yang berisi kemampuan verbal/berbahasa, kemampuan nalar/berpikir logis, kemampuan tilikan ruang, kemampuan menghitung, kemampuan mengamati dengan cermat. 3. Teori multiple intelligence oleh J.P. Guilford dan Howard Gardner. Teori ini berisi operasi mental (proses berpikir), content (isi yang dipikirkan), product (hasil berpikir). 4. Teori triachic of intelligence oleh Robert Stenberg (1985, 1990). Teori ini berisi tentang psoses berpikir, meniru/belajar dari pengalaman baru, dan adaptasi dengan lingkungan.

Tingkatan intelegensi : 1. Idiot (IQ 0 29). 2. Imbecile (IQ 30 40). 3. Moron atau debil (IQ 50 59). 4. Bodoh (IQ 70 79). 5. Normal rendah (IQ 90 109). 6. Normal tinggi (IQ 110 119).

7. Cerdas/superior (IQ 120 129). 8. Sangat cerdas/gifted (IQ 130 139). 9. Genius (IQ > 140).

Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan Anak Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas kemampuan intelektual dan kemampuan non-intelektual. Demikian juga kemampuan Kemampuan intelektual inelektual ada yang bersifat dapat potensial dan aktual. dengan

potensial

dipresentasikan

kecerdasan atau inteligensi, sedangkan kemampuan intelektual aktual sering digambarkan dengan prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat dengan kecerdasan (inteligensi) bahkan prestasi belajar sangat ditentukan oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa Intelligence should not be defined as general learning ability, but it is clearly related to school success and to the kinds of life achievement that are dependent on schooling.(Kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan keberhasilan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada pendidikan). Ada sejumlah hasil penelitian yang memperkuat pendapat tersebut diatas. 1. Studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino Hadisubroto, 1984), menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas mampu bertahan berdiskusi loebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua, kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentatif dan lebih kaya; dan ketiga, kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.

2. Henderson dkk. (1976) melalui studinya berkesimpulan bahwa kecerdasan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Demikian juga Entwisle dan Hayduk (1981:188) melaporkan bahwa inteligensi akan membentuk penampilan awal siswa dan selanjutnya akan menentukan penampilan akademiknya. 3. Korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan Swasta di Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesi sebesar 0,518, IPS sebeesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang semuanya signifikan pada taraf signifikasi 0,001. 4. Studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979), menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan. Berdasar uraian tersebut diatas kiranya dapat ditegaskan lagi bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian? Laura E. Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, IQ dan prestasi belajar bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi faktor G Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan G faktor, cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan disekolah. Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yag sama dari informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak mempengaruhi penampilannya pada kedua tes. Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah kompleks, bahkan

sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi dan karakteristik kepribadiannya. Selanjutnya, bagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak? Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laura E. Berk (1994) mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap pentingnya intervensi dini. Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya. Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan

perlakuan. Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969) dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk diubah. Kedua, studi yang bersifat longitudinal, yang dikoordinasikan oleh konsorsium. Hasil studi menunjukkan bahwa anakanak yang mendapatkan perlakuan cenderung menunjukkan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD. Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika berada disekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Cecci (1990, 1991) menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur menimbulkan pengaruh yang lebih besar terhadap IQ. Sebaliknya anak yang mendapatkan perlakuan disekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikia juga halnya anak yang memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun sekitar 7 poin. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa, sekolah dapat berpengaruh positif terhdap tingkat kecerdasan, paling tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan

faktual sesuai denmga pertanyaan yang diujikan; mempromosikan ketrampilan memproses informasi seperti strategi mengingat dan

katagorisasi melalui item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara kinerja dalam menyelesaikan ujian secara sukses, sperti medengarkan dengan sungguh-sungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab dengan ketentuan waktu dan mencoba bekerja keras. Uraian multikecerdasan mengindikasikan bahwa pendidikan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan berbagai potensi pada otak kanan, dan sekaligus berfungsi untuk mengimbangkan kerja otak kiri. Dalam pembelajaran pendidikan, meskipun wilayah rasa emosi relatif dominan tetapi tidak berarti menafikan wilayah intelektual, jelas tidak dapat digantikan oleh mata pelajaran sehingga sangat penting dan mendasar bagi dunia pendidikan umumnya. Kedudukan rasa-emosi bukan saja penting dalam kehidupan, melainkan juga menjadi sumber daya yang ampuh yang dimiliki manusia. Menurut Daniel Goleman (dalam M. jazuli, 2008: 119), bahwa potensi kecerdasan emosi dapat menentukan 80% kesuksesan seseorang, sedangkan 20% lainnya ditentukan oleh

kecerdasan akal. Oleh karena itu, sungguh ironis bila ada orang beranggapan bahwa IQ menjadi penentu segala aktivitas, bahkan dipandang sebagai cara yang jitu untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang dihadapi manusia. Pada hal justru dengan menafikan atau memendam potensi EQ sering menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan manusia, seperti sering terjadi kerusuhan, kenakalan remaja, pornografi dan pornoaksi, sikap agresif dan anarkhis, dan bentuk tingkah laku menyimpang lainnya. Peran pendidikan dalam upaya meningkatkan multikecerdasan di antaranya: (1) membantu siswa mempunyai sensitivitas, intuitif,

kreativitas, dan kritis terhadap lingkungannya; (2) dengan cara belajar yang menyenangkan lewat kegiatan apresiasi dan kreasi dapat

meningkatkan motivasi belajar dan mendapatkan kesempatan luas untuk memecahkan permasalahan; (3) Siswa dapat mengekspresikan gagasan

melalui goresan, gerakan, pemeranan dan permainan lainnya sebagai manifestasi aktualisasi diri maupun wahana berkornunikasi dengan lingkungan sekitarnya; (4) kepekaan inderawi yang selalu dilatihkan melalui kegiatan berapresiasi, berkreasi, bereksplorasi, bereksperimen dengan diri sendiri maupun dengan lingkungannya akan merangsang kemunculan multikecerdasan siswa secara optimal.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sistern pendidikan yang sedang berjalan, yang harus menyediakan sumber-sumber yang diperlukan untuk pembangunan, kurang atau bahkan mungkin tidak berjalan seperti yang dikehendaki. Hasil pendidikan juga menunjukkan kurang kuatnya dorongan tumbuhnya potensi masyarakat dan kekuatan populer yang kreatif. Di segi yang lain tampak semakin kuatnya rekayasa (non-masyarakat) atas perilaku manusia (masyarakat). Gejala-gejala ini secara tidak langsung menunjukkan kelapukan sistem pendidikan yang ada, yang bertumpu pada paradigma mainstream, yang setidak-tidaknya sudah dijalankan di negara kita hampir tiga dasawarsa ini. Sudah saatnya pendidikan nasional dalam pelaksanaannya

diarahkan untuk memproduksi diri sendiri yang berdasar atas human agency. Para pelaku pendidikan bukan bertindak sebagai penerima tetapi juga pakem. Sehingga dengan demikian, akan tampak dinamika pendidikan. Para pelaku pendidikan masuk ke dalam permainan sebagai pemain, pengamat, penganalisis dan penggembira sekaligus. Di sinilah saya kira intelegensi menjadi fungsional dalam pendidikan.. Perlu adanya campur tangan yang tepat dalam produksi dan reproduksi sistem pendidikan, sehingga dengan demikian kurikulum dengan berbagai implementasi dan implikasinya sesuai dengan harapan, baik secara konseptual maupun praktikal. Campur tangan dari para pendidik,, pakar pendidikan, dalam produksi dan reproduksi kurikulum pendidikan bukan hanya sekedar sebagai penggembira atau penyetuju semata-mata.

Di lapangan perlu adanya kajian yang terus menerus mengenai pelaksanaan pendidikan dengan cara pandang yang multiperspektif, yang memungkinkan munculnya makna-makna, konsep-konsep, dan

terobosan-terobosan baru, yang menjadikan pendidikan relevan dengan kebutuhan

You might also like