You are on page 1of 11

SEKILAS TENTANG PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD*)

A.Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)


1. Sejarah
Serangan penyakit DBD pertama kali tercatat terjadi di Australia
tahun 1897. Kejadian Luar Biasa (KLB) / wabah DBD yang pertama kali
terkonfirmasikan terjadi di Filipina tahun 1953. Selama dua puluh tahun silam
terjadi peningkatan kasus dan wilayah penyebaran yang luar biasa dan saat
ini KLB DBD muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara.
Virus Dengue termasuk genus flavivirus famili flaviviridae. Terdapat
empat serotipe virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Semua tipe virus
tersebut dapat menyebabkan KLB DBD yang mengakibatkan penyakit dan
gejala yang berat dan fatal. Infeksi dari satu serotipe memberikan kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tapi tidak terhadap
serotipe yang lain.
Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk
Aedes. Aedes Aegypti merupakan vektor epidemi paling utama namun
spesies lain seperti Ae. Albopictus, Ae. Polynesiensis anggota dari Ae.
Scutellaris complex dan Ae. Niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder.
Meski mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus dengue
biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding
Ae. Aegypti. Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari
primata rendah. Tubuh manusia merupakan urban reservoir yang utama (4)
2. Mekanisme penularan
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue
merupakan sumber penular penyakit DBD. Virus dengue berada dalam darah
(4)
selama 4 - 7 hari mulai 1 - 2 hari sebelum demam Masa inkubasi 4 - 6 hari
(10)

Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam


darah akan ikut terisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus
akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk
termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira - kira 1 minggu setelah mengisap
darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain
*)
Sutopo Patria Jati, 19 Januari 2009
(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan akan berada dalam tubuh nyamuk
sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Ae.aegypti yang telah
mengisap virus dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit),
sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat
tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur
inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain
3. Perjalanan Penyakit
Pada umumnya kasus DBD ditandai dengan adanya demam tinggi,
fenomena perdarahan, hepatomegali dan seringkali disertai dengan
kegagalan sirkulasi. Trombositopenia ringan atau sedang yang disertai
hemokonsentrasi merupakan petunjuk adanya perubahan patofisiologis
utama menentukan derajat penyakit DBD dan membedakannya dari Demam
Dengue yaitu adanya homeostasis yang abnormal dan kebocoran plasma
yang diperlihatkan sebagai trombositopenia dan meningkatnya hematokrit.
DBD biasanya diawali dengan meningkatnya suhu badan secara
mendadak, disertai dengan memerahnya kulit muka dan gejala klinik tidak
khas seperti tidak ada nafsu makan, muntah, nyeri kepala dan nyeri otot atau
persendian. Suhu badan tinggi biasanya berlangsung selama 2 – 7 hari
o
kemudian jadi normal atau sub normal. Kadang suhu mencapai 40 C dan
dapat disertai kejang demam.
Fenomena perdarahan yang biasa dijumpai adalah uji tornoquet
positif. Daerah tusukan jarum mudah lebam dan berdarah banyak ditemui.
Mimisan dan perdarahan gusi tidak banyak ditemui, namun adanya
perdarahan saluran cerna yang ringan kadang dijumpai
Derajat penyakit DBD dikelompokkan ke dalam empat stadium yaitu:
Derajat I Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas,
satu – satunya gejala perdarahan adalah hasil uji
torniquet yang positif
Derajat II Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah
perdarahan spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan
kulit dan atau lainnya
Derajat III Kegagalan sirkulasi yang ditandai denyut nadi yang
cepat dan lemah, hipotensi, sempitnya selisih tekanan
darah (20 mmHg atau kurang) ditandai dengan kulit
dingin dan lembab serta gelisah
Derajat IV Syok berat dengan tidak terabanya nadi maupun
tekanan darah

Lama dan derajat keparahan penyakit DBD beragam untuk setiap


individu. Masa penyembuhan bisa terjadi cepat dan bisa cukup panjang.
Selain itu bentuk komplikasi perdarahan seperti epistaksis, perdarahan gusi,
perdarahan saluran cerna, hematuria dan menoragia bisa menyertai DBD.

B.Nyamuk Penular DBD


Demam berdarah dengue dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti
maupun Aedes albopictus. Sampai saat ini yang paling berperan dalam
penularan penyakit ini ialah Aedes aegypti karena hidupnya di dalam rumah,
sedangkan Aedes albopictus di kebun - kebun sehingga lebih jarang kontak
dengan manusia.
1. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorphosis sempurna yaitu :
telur - jentik - kepompong - nyamuk. Stadium telur, jentik, kepompong hidup
di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu
kurang lebih 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya 6 - 8
hari. Stadium pupa / kepompong 2 - 4 hari. Telur menjadi nyamuk dewasa
mencapai 9 - 10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2 -3 bulan.
2. Perilaku Nyamuk dewasa
Setelah lahir (keluar dari kepompong) nyamuk istirahat di kulit
kepompong untuk sementara waktu sampai sayap meregang / kaku
sehingga mampu untuk terbang. Nyamuk jantan mengisap cairan tumbuhan
atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan nyamuk betina
mengisap darah. Darah manusia lebih disukai daripada darah binatang
(bersifat antrofilik). Darah (proteinnya) diperlukan untuk mematangkan telur
agar jika dibuahi oleh nyamuk jantan dapat menetas. Waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap
darah sampai telur dikeluarkan antara 3 - 4 hari. Jangka waktu tersebut
disebut satu siklus gonotropik.
Setelah mengisap darah nyamuk hinggap / beristirahat di dalam
atau kadang di luar rumah. Tempat hinggap yang disenagi ialah benda -
benda yang bergantung, seperti pakaian, kelambu atau tumbuhan di dekat
tempat perkembangbiakan, tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat
ini nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Setelah proses
pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakkan telurnya di
(2)
dinding tempat perkembangbiakan sedikit di atas permukaan air .
Kebiasaan nyamuk ae. Aegypti mengisap darah siang hari. Aktif mengisap
pada jam 08.00 - 13.00 dan 15.00 - 17.00 sehingga mempunyai 2 puncak
waktu pengisapan darah (13)
3. Tempat perkembangbiakan
Tempat perkembangbiakan utama ialah tempat penampungan air /
bejana atau genangan air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah,
di dalam atau sekitar rumah atau tempat - tempat umum, biasanya tidak
melebihi jarak 500 meter dari rumah.
4. Variasi musiman
Pada musim hujan tempat perkembangbiakan nyamuk yang pada
waktu kemarau kosong, mulai terisi air. Telur yang belum sempat menetas
dalam tempo singkat menetas. Semakin banyak tempat penampungan air
alamiah yang terisi air hujan dan dapat dipergunakan sebagai tempat
perkembangbiakan. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah
satu faktor peningkatan penularan virus dengue

A.Program Pencegahan dan Penanggulangan DBD


Program pemberantasan DBD adalah suatu upaya terpadu yang
melibatkan berbagai instansi pemerintah maupun seluruh masyarakat di dalam
mencegah dan menanggulangi adanya kasus DBD.
Tujuan Program :
1. Tujuan jangka panjang : Membatasi penularan dan penyebaran penyakit
DBD agar tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
2. Tujuan jangka pendek : Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian
akibat DBD, mencegah dan menanggulangi adanya KLB DBD

Strategi Penanggulangan DBD :


1. PSN secara lintas sektoral mengikutsertakan peran serta aktif masyarakat
secara rutin dan berkesinambungan
2. Fogging massal
3. Fogging focus
4. Abatisasi selektif
5. Pemberantasan terpadu
6. Promosi kesehatan
Monitoring dan Evaluasi (14)
1. Penemuan dan Pelaporan kasus DBD
2. Pemantauan jumlah kasus DBD per minggu per desa melalui Pemantauan
Wilayah Setempat (PWS) P2DBD
3. Angka Bebas Jentik pada 100 rumah sampel > 95 %
4. Abatisasi selektif di desa endemis dan sporadis dilaksanakan 4 kali / tahun
5. PSN dengan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) 4 kali / tahun
6. Cakupan fogging focus
7. Penyelidikan Epidemiologi
8. Penerapan sistem stratifikasi desa berdasar ketentuan sbb :
• Desa rawan I (Endemis) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir setiap
tahun ditemukan kasus DBD
• Desa rawan II (Sporadis) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir
ditemukan kasus tetapi tidak setiap tahun berturut - turut
• Desa rawan III (Potensial) : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir
tidak pernah ditemukan kasus DBD tapi memiliki potensial besar dengan
melihat prosentase rumah yang memiliki jentik > = 5 %, perumahan padat
penduduk dan mempunyai hubungan transportasi yang ramai dengan
wilayah lain sehingga mempunyai resiko terjadi kasus / Kejadian Luar
Biasa (KLB)
• Desa bebas : yaitu desa yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah
ditemukan kasus memiliki potensi kecil untuk terjadinya penularan
(1)
dengan melihat prosentase rumah yang memiliki jentik < 5 %
Adapun tentang KLB / outbreak adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian
kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun
(15)
waktu dan daerah tertentu Pedoman penyelidikan dan penanggulangan KLB
Depkes RI th 2004 menyatakan bahwa KLB DBD pada suatu wilayah dapat
ditetapkan apabila memenuhi salah satu kriteria (16)
1Angka kesakitan / kematian DBD di suatu kecamatan / desa menunjukkan
kenaikan mencolok selama 3 kali waktu observasi berturut - turut (hari / minggu)
2Jumlah penderita atau kematian DBD di kecamatan / desa menunjukkan
kenaikan 2 kali lipat atau lebih dalam periode waktu tertentu (hari, minggu,
bulan) dibandingkan rata - rata dalam satu tahun terakhir
3Peningkatan Case Fatality Rate (CFR) DBD dalam waktu 1 bulan dibandingkan
CFR bulan lalu
4Peningkatan jumlah kesakitan atau kematian DBD dalam periode waktu yang
sama dibandingkan periode tahun sebelumnya (17)
Bentuk program penanggulangan DBD antara lain :
1.Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) adalah memberantas nyamuk
dengan memberantas jentik - jentiknya di sarang tempat berkembang biak
yaitu tempat penampungan air dan barang - barang yang memungkinkan air
tergenang di rumah dan tempat umum sekurang - kurangnya seminggu
sekali. Kegiatan ini lebih lanjut berkembang dengan metode menutup,
menguras dan mengubur (3M).
PSN dimaksudkan untuk memotong daur hidup nyamuk dengan
menghilangkan telur dan jentik nyamuk sebelum siap beregenerasi (telur
nyamuk siap menetas dalam waktu 1 minggu).
Sasaran PSN adalah di daerah dengan potensi penularan tinggi
(endemis, sporadis dan daerah dengan angka bebas jentik < 95 %) tempat -
tempat yang diduga menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti di rumah
ataupun di kantor - kantor dan tempat - tempat umum yaitu semua tempat
penampungan air, barang bekas, ember, ban, kaleng, potongan bambu,
talang air dan tempat di mana air tertampung yang tidak berhubungan
langsung dengan tanah.
PSN dengan menguras dilakukan 1 minggu sekali dilakukan di daerah
yang cukup air bersih sehingga memungkinkan untuk dikuras terutama pada
saat musim penularan DBD yaitu pada awal sampai dengan menjelang akhir
musim penghujan. Menutup tempat penampungan air, dan menimbun barang
bekas yang dapat menampung air, dan intensif saat penularan, pemeriksaan
jentik berkala adalah 3 bulan sekali.
PSN dilakukan oleh semua pihak di masyarakat. PSN 3M ini akan
efektif bila dilakukan secara serempak, rutin dan berkesinambungan dengan
melihat potensi yang ada di masyarakat.
2.Abatisasi selektif
Abatisasi adalah penaburan bubuk insektisida pembasmi jentik berupa
bahan kimia larvasida / temephos sebagai salah satu satu cara untuk
menghentikan daur perkembangbiakan nyamuk dalam penampungan air.
Abatisasi dimaksudkan untuk memutus daur hidup nyamuk / membunuh
jentik nyamuk dengan memanfaatkan efek residu pada larvasida.
Abatisasi dilakukan di daerah rawan I dan II khususnya diberikan di
wilayah yang sulit air bersih dan tidak memungkinkan untuk dikuras secara
berkala. Sedangkan untuk daerah cukup air bersih disarankan untuk
melakukan PSN 3M secara rutin dan berkesinambungan.
Efek residu larvasida selama 3 bulan sehingga dilakukan abatisasi
sebanyak 4 kali setahun. Permintaan masyarakat atas abate dilakukan
melalui Puskesmas dan hanya dapat dilayani oleh puskesmas setempat
sesuai seleksi prioritas di puskesmas.
Abatisasi selektif dilakukan berdasarkan hasil pemantauan jentik berkala
oleh kader jumantik atau untuk daerah yang termasuk dalam kategori
endemis. Dengan demikian diharapkan bahwa setiap kegiatan abatisasi
selalu didahului dengan kegiatan pemeriksaan jentik rutin.
Dosis abatisasi dengan perbandingan 1 ml (sendok makan) terhadap 100
liter air sehingga setiap keluarga sasaran abatisasi memerlukan minimal 1 ml
abate. Dengan demikian alokasi akan menjadi cukup besar dan mengingat
mahalnya abate maka biaya yang dialokasikan untuk pembelian abate juga
besar. Mengingat keterbatasan anggaran dari pemerintah maka kegiatan
abatisasi perlu dilakukan dengan selektif (seleksi prioritas ). Pertimbangan
lain upaya selektif adalah efek toksisitas bila diberikan terus - menerus dan
demi keamanan pemakaian, pemberian dosis abate harus memperhatikan
petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh produsen.

3.Fogging / Pengasapan
Fogging adalah penyemprotan menggunakan insektisida yang dilakukan
di sebagian atau seluruh wilayah desa rawan I untuk membunuh nyamuk
dewasa. dilaksanakan dalam mendukung penanggulangan penyakit DBD
dengan memutus rantai penularan secara cepat pada daerah - daerah yang
terjangkit penyakit DBD.
Dimaksudkan untuk mencegah penularan lebih lanjut dengan membunuh
nyamuk dewasa pembawa virus dengue atau populasi nyamuk penular
ditekan serendah - rendahnya.
Fogging dilakukan di desa rawan I, dengan sasaran di rumah penderita
dan sekitarnya dalam radius 200 meter. 2 siklus dengan interval kira - kira 1
minggu.
Fogging dilakukan sebelum musim penularan dan dilaksanakan oleh
pihak pemerintah dengan puskesmas sebagai pelaksana teknisnya (5)
Menurut Kepmenkes 582/1992 penggunaan fogging untuk tujuan
penyemprotan massal sebelum musim penularan hanya dilakukan dengan
pertimbangan - pertimbangan khusus dapat dipertanggungjawabkan hasilnya
dari analisis Dinas Kesehatan Kabupaten berdasarkan Penyelidikan
Epidemiologis (PE). Fogging dilaksanakan sebagai cara terakhir, jika cara
lain telah diupayakan tetapi hasilnya belum dapat memperbaiki keadaan
dengan memperhatikan efektivitas, azas kemanfaatan, efisiensi sumber
daya, minimalisasi dampak kesehatan bagi mereka yang terpapar zat kimia,
kemungkinan resistensi nyamuk, dan dampak psikososial masyarakat dalam
menghentikan penularan penyakit DBD.
4.Fogging swadaya
Daerah - daerah yang telah memenuhi syarat untuk dilakukan fogging
tetapi tidak terjangkau oleh pelaksanaan fogging karena keterbatasan
pemerintah, pilihan swadaya masyarakat bisa dilakukan. Prosedur teknis,
alat dan bahan untuk fogging swadaya sama dengan pedoman fogging
secara umum.
Tata cara fogging swadaya sbb :
a. Kelompok masyarakat yang menghendaki fogging secara swadaya,
mengorganisir kegiatan penggalangan komitmen dan dana secara
mandiri.
b. Mengajukan permintaan fogging kepada pokjanal kecamatan /
puskesmas setempat dengan surat dari kepala desa / dusun / RT
setempat. Atas dasar surat ini selanjutnya puskesmas melakukan PE di
lokasi untuk memperoleh data lengkap. Atas dasar surat dan masukan
dari puskesmas maka Pokjanal kecamatan memberikan rekomendasi
untuk mengajukan fogging ke dinas kesehatan. Persetujuan fogging
diberikan dinas kesehatan dengan pertimbangan yang sama seperti
prinsip fogging secara umum.
c. Fogging dilakukan oleh puskesmas maksimal 4 x 24 jam setelah
rekomendasi pokjanal kecamatan diberikan. Bila puskesmas
berhalangan maka fogging dilaksanakan oleh dinas kesehatan dalam
jangka waktu yang sama.
d. Koordinasi di lapangan dilakukan oleh petugas puskesmas termasuk
dalam dana swadaya (17)
Besar biaya untuk satu kali fogging swadaya adalah Rp 200.000,-
dengan rincian sebagai berikut : bahan yang digunakan di Kabupaten
Gunungkidul adalah icon 1 liter dan solar pelarut 20 liter. BBM mesin fogging
adalah bensin 10 liter. BBM kendaraan 10 – 20 liter tergantung jarak lokasi.
Upah tenaga pengasapan 4 orang @ Rp 15.000,- Upah supervisor fogging
sebanyak 1 orang Rp 20.000,- Batu baterai dan maintenance busi,
Pencatatan, pelaporan dan koordinasi
5.Pelaksanaan fogging oleh swasta
Dalam rangka meningkatkan keterlibatan peran swasta dalam
menangulangi penyakit DBD, peran perusahaan swasta dapat melakukan
pemberantasan vektor dengan syarat :
a. Memiliki ijin operasional untuk melaksanakan fogging yang dikeluarkan
dari pihak yang berwenang
b. Sanggup mengikuti syarat yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yaitu
Dinas Kesehatan Kab. Gunungkidul
c. Setiap pelaksanaan fogging tidak memaksa masyarakat dan berdasar
rekomendasi Pokjanal Kecamatan dan Dinkes Kab. Gunungkidul
d. Setiap perencanaan fogging disyaratkan untuk melaksanakan PE dan
mengajukan permohonan kepada Dinkes, penyuluhan dan pemeriksaan
jentik
e. Setiap selesai melaksanakan fogging memberi laporan kepada Dinkes
dengan bentuk dan format sebagaimana pada fogging di puskesmas
f. Setiap usaha swasta dalam fogging memiliki tanggung jawab atas segala
dampak negatif yang mungkin muncul sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku
g. Ijin atas usaha swasta dalam pelaksanaan fogging dimungkinkan untuk
dicabut oleh Pemerintah Daerah atas dasar pertimbangan teknis oleh
Dinkes karena sesuatu hal yang merugikan masyarakat atau menyalahi
prosedur yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat


2010. Jakarta, 1999

2. Depkes RI. Petunjuk Teknis Penemuan. Pertolongan dan Pelaporan


Penderita Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta , 1992

3. Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam


Berdarah Dengue. Jakarta, 1992

4. WHO SEARO. Terjemahan Prevention and Control of Dengue and


Dengue Haemorrhagie Fever. Jakarta, 2000

5. Soegeng S. Penatalaksanaan DBD pada anak. IDI, Jakarta, 2001

6. Depkes RI. Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Penanggulangan seperlunya dan penyemprotan massal dalam
pemberantasan penyakit DBD. Jakarta, 1992

7. Indar Entjang. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Alumni, Bandung, 1999

8. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Penyelenggaraan Puskesmas


di Era Desentralisasi. Jakarta, 2001

9. Lumenta, Benyamin. Pelayanan Medis Tujuan Fenomena Sosial. Kanisius,


Yogyakarta, 1989

10. Depkes RI. Journal of public health no 63; hal 30; Jakarta, 2000

11. ______. Data Kasus P2MPL Kab. Gunungkidul. Wonosari, 2005

12. ______. Data P2DBD Puskesmas Wonosari II. Wonosari, 2004

13. Auly Tarmali. Tesis : Penggunaan Perangkap telur guna Mengendalikan


Populasi Vektor DBD. UGM, 1996

14. Depkes RI. Pemberantasan Demam Berdarah. Jakarta, 1996


15. Hoedojo. Vektor DBD dan Upaya penanggulangannya, Majalah Parasitologi
Indonesia . Edisi 6; Jakarta, 1993

16. Depkes RI. Petunjuk Pelaksanaan UU Wabah. Jakarta, 1991

17. Pemkab. Gunungkidul. Surat edaran kebijakan P2DBD. 2005

18. FJ Bennet, Diagnosa Komunitas dan Program Kesehatan, Yayasan Essentia


Medica, Jakarta, 1987

You might also like