You are on page 1of 7

BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan penelitian 1. a.

Analisa Univariat Gambaran responden menurut tingkat umur Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa mayoritas responden berumur 21 tahun yaitu sebanyak 39 orang (78,0 %). Sedangkan yang lainnya berumur 22 tahun (20,0%), dan 20 tahun (2,0%). Menurut Erikson dalam teorinya menyatakan bahwa usia 12-20 tahun adalah tahapan usia remaja dengan tahapan perkembangan mencari identitas diri dan berusaha menemukan peran, sedangkan individu dengan usia 21-30 tahun berada dalam tahapan dewasa awal dengan tahapan perkembangan membentuk hubungan dekat dan sosial yang baik (Potter & Perry, 2005). Masa dewasa awal dalam perubahannya dari murid sekolah lanjutan atas menjadi mahasiswa dapat mengalami reaksi penyesuaian diri antara lain : kecemasan, kegelisahan dan depresi. Apabila kecemasan yang dialami lebih besar akan dapat mempengaruhi prestasi belajarnya (Haristanadi, 2010). Gibson (1999) umur adalah salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar (USU, 2011). b. Jenis kelamin Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden didapatkan 48 orang (96,0%) berjenis kelamin perempuan. Sedangkan responden 38

39

berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2 orang (4,0%). Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa tingkat I Akademi Keperawatan Berkala Widya Husada Jakarta Selatan pada tahun 2008, mengatakan bahwa 18 (31,6 %) responden laki-laki dan 39 (68,4 %) responden perempuan. Dari hasil analisa tersebut dapat dilihat bahwa lebih banyak responden perempuan yang berminat menjadi perawat dibandingkan laki-laki. Penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa wanita cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pria. Secara umum wanita mengalami stres 30 % lebih tinggi dari pada pria (Rindang Gunawati, Sri Hartati, & Anita Listiara, 2006). Pada tahun 2008, gambaran stress di Amerika yan dikeluarkan oleh APA (American Psychological Assosiation) melaporkan secara statistik mengenai wanita dan stress, dikatakan bahwa 33% wanita mengalami tingkat stress yang tinggi (Pardani, 2010). Teori diatas dapat ditarik kesimpulan perempuan memiliki tingkat stres yang paling tinggi dibandingkan laki-laki. Tetapi pada hasil penelitian ini tidak signifikan menggambaran tingkat stres antara laki-laki dan perempuan karna jumlah responden laki-laki hanya 2 orang. c. Gambaran responden menurut tingkat stres Berdasarkan hasil penelitian didapat sebagian besar responden yaitu sebanyak 33 orang (66,0%) memiliki tingkat stres sedang, sedangkan responden dengan tingkat stres tinggi (30,0%), dan yang memiliki tingkat stres rendah hanya 2 orang (4,0%). Penelitian yang dilakukan oleh Timmins dan Kaliszer (2002) tentang aspek-aspek yang menyebabkan stres pada mahasiswa keperawatan,

menjelaskan stres yang dialami oleh mahasiswa baik pada program akademik maupun praktek klinik. Sumber-sumber stres tersebut meliputi faktor-faktor

40

yang berhubungan dengan akademis, hubungan dengan pengajar dan staf, praktek klinik, dan kondisi finansial. Stres belajar merupakan salah satu jenis stres yang banyak dialami oleh mahasiswa (Kustyarini, 2008). Stres seringkali timbul sehingga menyebabkan mahasiswa tidak dapat mengikuti perkuliahan secara efektif. Hasil penelitian Sheu , Lin dan Hwang (2001), tingkat stres yang tinggi dapat berpengaruh terhadap kesehatan mahasiswa keperawatan. Efek stres yang paling banyak dilaporkan adalah perubahan prilaku dan status fisio-psikologi mahasiswa. Respon psikologis yang negatif yang terjadi seperti tertekan, putus asa, gugup, marah, tidak senang, kehilangan rasa percaya diri, tidak ceria. Sedangkan pada respon fisik yang negatif akan terjadi seperti lemah, diare atau gangguan gastrointestinal, insomnia, anemia, anoreksia. Mahasiswa keperawatan memiliki kesamaan stres akademik seperti mahasiswa jurusan lainnya, seperti ujian tengah semester dan ujian akhir semester, skripsi dan tugas-tugas lainnya (Evan & Kelly, 2004 dalam Seyedfatemi, Tafreshi & Hagani 2007). Stres siswa menurut Kompas (2004) siswa rela mengakhiri hidupnya dengan tragis, hal ini disebabkan oleh persoalan-persoalan yang terjadi dalam lingkungan sekolah baik yang bersumber dari guru, pelajaran maupun lingkungan social (farida, 2008). Penelitian dari Virginia (1999) mengungkapkan faktor-faktor penyebab stres mahasiswa dipersentasekan sebagai berikut: stres akademik 26%, konflik dengan orang tua 17%, masalah finansial 10%, pindah rumah dan sekolah 5% (farida, 2008). Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih sering diperdebatkan. KBK bersifat individualis, lebih menekankan outcomes

41

(apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh seorang individu). KBK sangat simplistis, berpendekatan kompetensi tunggal, terlalu mahal, birokratis, sarat beban, dan memerlukan banyak waktu. Collins menyebutkan bahwa KBK mengingkari hasil penelitian yang pernah dilakukan selama 100 tahun di bidang psikologi, pendidikan, organisasi, maupun dalam bidang kebudayaan (Tantra, 2009). KBK tidak cocok diterapkan pada lembaga pendidikan tinggi (Hayland, 1994 dalam Dewa, 2009), karena kompetensi meniadakan keberadaan sebuah kurikulum serta mempersempit materi (Jackson dkk,1994 dalam Tantra, 2009). Hasil penelitian menunujukkan bahwa tingkat stres pada mahasiswa program A 2008 PSIK UR mayoritas berada pada tingkat stres sedang selama menjalani kurikulum berbasis kompetensi, hal ini dikarenakan sudah banyak mahasiswa yang telah beradaptasi selama menjalani KBK. d. Gambaran responden menurut mekanisme koping Berdasarkan hasil penelitian responden yang memiliki mekanisme koping yang berjumlah sama banyak dengan responden yang memilki mekanisme koping negatif yaitu masing-masing berjumlah 25 orang (50,0 %). Rasmun (2004) mengatakan keefektifan strategi koping yang digunakan oleh individu, artinya dalam menghadapi stressor jika strategi yang digunakan efektif maka menghasilkan adaptasi yang baik dan menjadi suatu pola baru dalam kehidupan, tetapi jika sebaliknya dapat mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun psikologis. Menurut (Stuart & Laraia, 2005) mekanisme koping positif itu sendiri berupa mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Katagorinya adalah berbicara dengan orang lain,

42

memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Sedangkan mekanisme koping negatif berupa mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi mencegah pertumbuan menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Katagorinya adalah makan berlebihan atau tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar. Dari hasil observasi peneliti kepada program A 2008 mahasiswa yang memiliki mekanisme koping yang positif memiliki pemecahan masalah seperti berbicara dengan teman, jika ada tugas yang tidak dimengerti mereka saling membantu satu dengan yang lainnya, dan melakukan aktivitas yang disenangi pada akhir pekan. Sedangkan mahasiswa yang memiliki mekanisme koping yang negatif mahasiswa lebih cenderung menghindar dan tidak memecahkan masalah yang sedang dihadapi. 2. Analisa bivariat Hasil analisa hubungan antara tingkat stres dengan mekanisme koping pada mahasiswa program A 2008 yang sedang menjalankan kurikulum berbasis kompetensi, diperoleh bahwa responden dengan tingkat stres rendah sampai sedang memiliki jumlah berimbang antara yang menggunakan mekanisme koping positif dan negatif (48,6 % dan 51,4 %). Sedangkan responden dengan tingkat stres tinggi menggunakan mekanisme koping yang positif (53,3 %). Berdasarkan hasil penelitian terhadap 50 responden didapatkan hasil uji statistik (Chi Square) yaitu P value sebesar 1,000 yang berarti besar dari (0,05), maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dengan mekanisme koping dalam menjalani kurikulum berbasis kompetensi (Ho gagal ditolak). Hal ini didukung oleh penelitian yang menjelaskan bahwa tidak adanya hubungan antara munculnya indikator-indikator stres dengan mekanisme

43

koping yang digunakan mahasiswa (Walton, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan, Dewani (2012) yang berjudul Stres dan Koping Mahasiswa Kepribadian Tipe A dan Tipe B dalam Menyusun Skripsi di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara mengatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat stres dan mekanisme koping. Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Gatiningsih (2010), mengatakan terdapat hubungan antara tingkat stres mahasiswa dengan mekanisme koping pada mahasiswa UMS yang sedang melaksanakan praktik belajar lapangan di rumah sakit, dengan menggunakan metode pengambilan sampel proporsional random sampling. Semakin tinggi tingkat stres mahasiswa, semakin mekanisme koping mahasiswa UMS yang sedang melaksanakan praktik belajar lapangan di rumah sakit cenderung ke maladaptif. Penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2009) tentang Hubungan tingkat stres dengan mekanisme koping mahasiswa profesi Ners Regular angkatan 2009 Universitas Muhammadiyah Semarang. Dengan sampel berjumlah 57 responden. Mekanisme koping mahasiswa profesi ners Unimus sebagian besar

adaptif. Dari uji statistik didapatkan ada hubungan antara tingkat stress dengan mekanisme koping, dengan P value 0,01 < Alpha 0,05. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang digunakan peneliti hanya 50 responden, jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah sampel yang digunakan oleh Ningsih (2010) yang berjumlah 57 responden. Selain itu pada penelitian ini, jumlah populasi dalam penelitian Ningsih sebanyak 87 orang dengan menggunakan metode pengambilan sampel proporsional random sampling dengan jumlah sampel yang diambil adalah 47 sampel. Sedangkan peneliti menggunakan metode total sampling sebanyak 50 sampel.

44

Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki tingkat stres dengan kategori sedang. Menurut Rasmun (2004), terdapat 3 tingkatan stres yaitu stres ringan, umumnya dirasakan semua orang, seperti kemacetan dan kritikan, tingkat stres sedang terjadi lebih lama beberapa hari dibandingkan dengan stres ringan, seperti tugas dan pekerjaan yang belum selesai, dan stres berat terjadi selama beberapa minggu hingga beberapa tahun, seperti kesulitan dalam finansial serta penyakit yang lama. Dengan demikian, dapat disimpulkan tugas-tugas perkuliahan merupakan salah satu faktor-faktor yang menyebabkan stres. B. Keterbatasan penelitian 1. Waktu penelitian Waktu penyebaran kuesioner penelitian juga bertepatan dengan waktu dilaksanakannya ujian akhir semester pada responden penelitian, sehingga hasil tingkat stres yang ditemukan pada responden bisa saja dipengaruhi oleh kondisi emosional responden setelah menghadapi ujian. 2. Sampel penelitian Sampel pada penelitian ini hanya berjumlah 50 orang, sehingga hasil yang diperoleh kurang menggambarkan tingkat stres mahasiswa yang menjalani kurikulum berbasis kompetensi.

You might also like