You are on page 1of 49

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dicapai melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan genetika. Kalangan ilmuwan umumnya berpendapat bahwa determinan utama dari derajat kesehatan masyarakat tersebut selain kondisi lingkungan adalah perilaku masyarakat (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Salah satu penyakit terbanyak yang disebabkan oleh buruknya sanitasi di lingkungan masyarakat adalah diare, yaitu buang air besar yang tidak normal berbentuk tinja encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Hiswani, 2003). Faktor lingkungan yang memiliki pengaruh sangat dominan terhadap kejadian penyakit ini adalah sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama perilaku manusia, apabila faktor lingkungan yang tidak sehat karena tercemar bakteri atau virus berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Depkes RI, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Sucipto (2003), penyebab diare pada anak balita di Puskesmas Sinokidul adalah ketersediaan air bersih dan perilaku hidup bersih dan sehat. Menurut penelitian Nilton, dkk (2008) faktor-faktor penyebab diare adalah menggunakan air sumur, minum air yang tidak dimasak, sumur < 10 meter, tidak mempunyai jamban, tidak menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan tidak cuci tangan. Sedangkan hasil penelitian Apriyanti, dkk (2009), menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara, kebiasaan cuci tangan, dan penggunaan jamban dengan kejadian diare pada balita.

Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2004, diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di dunia. Bahkan, UNICEF melaporkan setiap detik satu anak meninggal karena diare. Hal ini banyak terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia karena buruknya perilaku higiene perorangan dan sanitasi masyarakat yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial, ekonomi dan pendidikan (Novick and Marr, 2003). Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa. Data dari profil kesehatan Indonesia tahun 2000-2010 terlihat kecenderungan insiden diare meningkat. Pada tahun 2000 IR (incidence rate) penyakit diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Pada tahun 2010 dilaporkan terjadi KLB dengan jumlah kasus 2.580 dengan kematian sebanyak 77 kasus (CFR: 2,98%) (Kemenkes RI, 2011). Di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali terjadi peningkatan morbiditas diare secara signifikan. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Karangasem, IR diare meningkat dari 18,6/1000 penduduk tahun 2009 dan 20,06/1000 penduduk tahun 2010, menjadi 51/1000 penduduk pada tahun 2011. Sebesar 55% dari 18.601 kasus yang tercatat merupakan kasus diare pada balita. Berdasarkan pengkajian di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, jumlah balita diare mengalami peningkatan dari 188 balita tahun 2009 dan 231 balita tahun 2010 menjadi 238 balita pada tahun 2011. Dari 8 (delapan) desa di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Desa Bungaya Kangin memiliki insiden diare pada balita tertinggi dalam tiga tahun berturut turut (Gambar 01). Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan menciptakan lingkungan sehat di rumah tangga. Menurut Green (1990) dalam Notoatmodjo S. (2007) salah satu faktor seseorang melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat adalah faktor pemungkin (enambling factor) yaitu faktor pemicu terhadap perilaku yang memungkinkan suatu tindakan atau motivasi. Faktor pemicu

tersebut mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, ketersediaan jamban, makanan bergizi dan sebagainya.

Gambar 01. Jumlah Balita Diare Berdasarkan Desa di Wilayah Kerja Puskesmas Bebandem Tahun 2009 s.d. 2011 Berdasarkan 7 indikator PHBS dan 3 indikator gaya hidup sehat yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita adalah mencuci tangan pakai sabun, menggunakan air bersih, dan menggunakan jamban (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Hasil studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006 dalam KepMenKes RI No. 852 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah setelah buang air besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan makanan 6%. Dan perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli. Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di Indonesia. Beranjak dari hasil studi pendahuluan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga

dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimanakah gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. 1.3.2 Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan, antara lain: 1. 2. 3. Untuk mengetahui karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. Untuk mengetahui kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. Untuk mengetahui gambaran PHBS (penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. 4. 5. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan karakteristik responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. Untuk mengetahui kejadian diare berdasarkan gambaran PHBS (penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan) rumah tangga di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1.

Bagi Masyarakat Setempat

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang gambaran PHBS rumah tangga dengan kejadian diare pada balita sehingga masyarakat dapat mengetahui pentingnya PHBS dan menerapkan PHBS dalam ke hidupan sehari-hari untuk mencegah penyakit diare. 2. Bagi Instansi Puskesmas Memberikan informasi bagi Puskesmas Bebandem tentang hubungan PHBS rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Sehingga hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar evaluasi maupun perancangan dalam rangka pengambilan keputusan penanggulangan penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dan dapat menurunkan angka kejadian kasus diare. 3. Bagi Peneliti Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian yang lebih lanjut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 2.1.1 Pengertian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga,kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Dengan demikian,PHBS mencakup beratus-ratus bahkan mungkin beribu-ribu perilaku yang harus dipraktikkan dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Dibidang pencegahan dan penanngulangan penyakit serta kesehatan lingkungan harus dipraktikkan perilaku mencuci tangan dengan sabun, pengelolaan air minum dan makanan yang memenuhi syarat, menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, pengelolaan limbah cair yang memenuhi syarat, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di dalam ruangan dan lain-lain. Di bidang kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana harus dipraktikkan perilaku meminta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, menimbang balita setiap bulan,menimbang, imunisasi lengkap bayi, menjadi akseptor keluaran berencana dan lain-lain. Di bidang gizi dan farmasi harus dipraktikkan perilaku makan dengan sehat seimbang, minum Tablet Tambah Darah selama hamil, memberi bayi air susu ibu (ASI) eksklusif, mengonsumsi Garam Beryodium dan lainlain. Sedangkan di bidang pemeliharaan kesehatan harus dipraktikkan perilaku ikut serta dalam jaminan pemeliharaan kesehatan, aktif mengurus dan atau memanfaatkan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM), memanfaatkan Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dan lain-lain. 2.1.2 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Berbagai Tatanan PHBS mencakup semua perilaku yang harus dipraktikkan di bidang pencegahan dan penanggulangan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, gizi, farmasi dan pemeliharaan kesehatan. Perilaku-perilaku tersebut harus dipraktikkan dimana pun seseorang berada di rumah tangga, di institusi pendidikan, di

tempat kerja, di tempat umum dan di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dijumpai. 1. PHBS di Rumah Tangga Di rumah tangga, sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Rumah Tangga Ber- PHBS, yang mencakup persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, pengelolaan air minum dan makan di rumah tangga, menggunakan jamban sehat (Stop Buang Air Besar Sembarangan/Stop BABS), pengelolaan limbah cair di rumah tangga, membuang sampah di tempat sampah, memberantas jentik nyamuk, makan buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitast fisik setiap hari, tidak merokok di dalam rumah dan lain-lain. 2. PHBS di Institusi Pendidikan Di institusi pendidikan (kampus, sekolah, pesantren, seminari, padepokan dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Insttusi Pendidikan Ber-PHBS, yang mencakup antara lain mencuci tangan menggunakan sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA), tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 3. PHBS di Tempat Kerja Di tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Kerja Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 4. PHBS di Tempat Umum Di tempat umum (tempat ibadah, pasar, pertokoan, terminal, dermaga dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Tempat Umum Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat,

membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 5. PHBS di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Di fasilitas pelayanan kesehatan (klinik, Puskesmas, rumah sakit dan lain-lain), sasaran primer harus mempraktikkan perilaku yang dapat menciptakan Fasilitas pelayanan kesehatan Ber-PHBS, yang mencakup mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, membuang sampah di tempat sampah, tidak merokok, tidak mengkonsumsi NAPZA, tidak meludah di sembarang tempat, memberantas jentik nyamuk dan lain-lain. 2.2. Gambaran Umum Diare 2.2.1. Pengertian Diare Diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diarroi yang berarti mengalir terus. Terdapat beberapa pendapat tentang defenisi penyakit diare. Hipocrates mendefinisikan diare sebagai buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair. Menurut WHO (2005), penyakit diare adalah gejala yang umum, di mana penderita diare buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah. Sedangkan menurut Depkes RI (2005) secara operasinoal diare adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 14 hari. 2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Diare Menurut Widoyono (2008), diare dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: 1. Faktor infeksi Infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus atau parasite. 2. Faktor Malabsorsi Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat

asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. 3. Faktor makanan Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita. 4. Faktor lingkungan Dapat terjadi pada lingkungan yang tidak saniter seperti : Pasokan air tidak memadai, air terkontaminasi tinja, jamban tidak memenuhi syarat kesehatan. Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI,2004). Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2004). 5. Faktor perilaku pengasuh Menurut Depkes RI (2005), faktor perilaku pengasuh yang dapat menyebabkan penyebaran bakteri patogen dan meningkatkan risiko terjadinya diare adalah sebagai berikut : a. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. b. Menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran bakteri pathogen, karena botol susu susah dibersihkan. c. Menyimpan makanan pada suhu kamar, yang jika didiamkan beberapa jam bakteri pathogen akan berkembang biak.

10

d. Menggunakan air minum yang tercemar. e. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar atau sesudah makan dan menyuapi anak. f. Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi) dengan benar. Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa. 6. Faktor psikologis Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada anak balita,umumnya terjadi pada anak yang lebih besar. 7. Faktor Sosiodemografi Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan perubahanperubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-komponen perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga menghasilkan suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin tertentu (Lembaga Demografi FE UI, 2000). Dalam pengertian yang lebih luas, demografi juga memperhatikan berbagai karakteristik individu maupun kelompok yang meliputi karakteristik sosial dan demografi, karakteristik pendidikan dan karakteristik ekonomi. Karakteristik sosial dan demografi meliputi: jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan agama. Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat pendidikan. Karakteristik ekonomi meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan pendapatan (Mantra, 2000). Faktor sosiodemografi meliputi tingkat pendidikan ibu, jenis pekerjaan ibu, dan umur ibu. a. Tingkat pendidikan

11

Jenjang

pendidikan

memegang

peranan

cukup

penting

dalam kesehatan

masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya higiene perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare. Dengan sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti, 2005). b. Pendapatan Menurut Sarwono (2004) keluarga dengan penghasilan yang tinggi memungkinkan keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan sarana sanita si lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri pathogen penyebab penya kit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan rendah. Selain itu disebutkan juga bahwa pendapatan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan makanan bagi keluarga sehingga status gizi anak juga akan terpengaruh. c. Umur ibu Umur merupakan salah satu variabel terkuat yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan, dan karena saling diperbandingkan maka kekuatan variabel umur menjadi mudah dilihat (Widyastuti, 2005). Notoatmodjo (2003) juga menyebutkan bahwa umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. 2.2.3. Gejala dan Tanda Diare Menurut Widoyono (2008), beberapa gejala dan tanda diare antara lain: 1. Gejala Umum a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare

12

b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis, bahkan gelisah. 2. Gejala Spesifik a. Vibrio cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis. b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah. 2.2.4. Pengobatan Diare Menurut Widoyono (2008), pengobatan diare yaitu: berdasarkan derajat dehidrasinya, yaitu: 1. Rehidrasi (pengembalian cairan yang hilang) Pengobatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan memberikan minuman yang ada di rumah seperti air mineral, air kelapa, larutan gula garam (LGG), air teh, maupun oralit. 2. Teruskan pemberian makanan. Pemberian makanan seperti semula diberikan sedini mungkin dan disesuaikan dengan kebutuhan. Makanan tambahan diperlukan pada masa penyembuhan. Untuk bayi, ASI tetap diberikan bila sebelumnya mendapatkan ASI, namun bila sebelumnya tidak mendapatkan ASI dapat diteruskan dengan memberikan susu formula. 3. Antibiotik bila perlu. Sebagian besar penyebab diare adalah rotavirus yang tidak memerlukan antibiotik dalam penatalaksanaan kasus diare karena tidak bermanfaat dan efek sampingnya bahkan merugikan penderita. 4. Memberikan tablet Zinc Untuk usia kurang dari enam buln diberikan tablet zinc 10mg/KgBB dan apabila usia lebih dari enam bulan diberikan tablet Zinc sebanyak 20mg/KgBB. 2.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Dalam Rumah Tangga yang Berkaitan dengan Penularan Diare pada Balita PHBS di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan di masyarakat. PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai

13

Rumah Tangga Sehat. Rumah tangga sehat berarti mampu menjaga, meningkatkan, dan melindungi kesehatan setiap anggota rumah tangga dari gangguan ancaman penyakit dan lingkungan yang kurang kondusif untuk hidup sehat (Depkes RI, 2007). Adapun tujuan serta manfaat PHBS dalam rumah tangga yaitu,: Meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melaksanakan PHBS, berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat, setiap rumah tangga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit, anak tumbuh sehat dan cerdas, serta produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan, pemenuhan gizi keluarga dan modal usaha untuk peningkatan pendapatan keluarga. Rumah Tangga Ber-PHBS adalah rumah tangga yang melakukan 10 PHBS di Rumah Tangga yaitu: 1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 2. Memberi bayi ASI eksklusif 3. Menimbang balita setiap bulan 4. Menggunakan air bersih 5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun 6. Menggunakan jamban sehat 7. Memberantas jentik di rumah sekali seminngu 8. Makan buah dan sayur setiap hari 9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari 10.Tidak merokok di dalam rumah Dari sepuluh indikator PHBS di atas yang berhubungan dengan kejadian diare adalah: menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, dan cuci tangan dengan air dan sabun. 2.3.1. Penyediaan Air Bersih 2.3.1.1 Air Dalam Kehidupan Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan manusia setelah udara. Sekitar tiga per empat tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa air minum. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total berat

14

badannya, dan volume tersebut sangat bervariasi pada masing-masing orang, bahkan juga bervariasi antara bagian-bagian tubuh seseorang. (Chandra, 2007). Dalam kehidupan sehari-hari air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, tranportasi, dan lain-lain. Menurut perhitungan WHO di negara-negara maju volume rata-rata kebutuhan air setiap individu per hari antara 60 120 liter dan untuk Negara berkembang termasuk Indonesia setiap orang membutuhkan air antara 30-60 liter per hari. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan, dan kebiasaan masyarakat. Ditinjau dari sudut ilmu kesehatan masyarakat, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena persediaan air yang terbatas memudahkan timbulnya penyakit di masyarakat. 2.3.1.2 Sumber-Sumber Air Bersih Menurut Chandra (2007) air yang berada di permukaaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air hujan, air permukaan, dan air tanah. 1. Air Angkasa (Hujan) Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walau pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme dan gas, misalnya karbon dioksida, nitrogen, dan amonia. 2. Air Permukaan Air permukaan merupakan salah satu sumber penting bahan baku air bersih. Faktorfaktor yamg harus diperhatikan, antara lain: mutu atau kualitas baku, jumlah atau kuantitasnya, dan kontinuitasnya. Dibandingkan dengan sumber air lain, air permukaan merupakan sumber air yang paling tercemar akibat kegiatan manusia, fauna, flora dan zat-zat lain. Sumber-sumber air permukaan antara lain sungai, selokan, rawa, parit, bendungan, danau, laut, dan air terjun. Air terjun dapat dipakai

15

untuk sumber air di kota-kota besar karena air tersebut sebelumnya sudah dibendung oleh alam dan jatuh secara gravitasi. Air ini tidak tercemar sehingga tidak membutuhkan purifikasi bakterial. Sumber air permukaan yang berasal dari sungai, selokan, dan parit mempunyai persamaan, yaitu airnya mengalir dan dapat menghanyutkan bahan yang tercemar. Sumber air permukaan yang berasal dari rawa, bendungan dan danau memiliki air yang tidak mengalir, tersimpan dalam waktu yang lama, dan mengandung sisa-sisa pembusukan alam, misalnya pembusukan tumbuhtumbuhan, ganggang, fungi, dan lain-lain. Air permukaan yang berasal dari air laut mengandung kadar garam yang tinggi sehingga jika akan digunakan untuk air minum, air tersebut harus menjalani proses ion-exchange. 3. Air Tanah Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses fertilisasi secara alamiah. Proses-proses yang telah dialami air hujan tersebut, di dalam perjalanannya ke bawah tanah membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibandingkan dengan air permukaan. Air tanah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses purifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat musim kemarau sekalipun. Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau kelemahan disbanding sumber lainnya. Air tanah mengandung zat-zat mineral dalam konsentrasi yang tinggi. Kosentrasi yang tinggi dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan logam berat seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air. Selain itu, untuk mengisap dan mengalirkan air ke permukaan diperlukan pompa. 2.3.1.3. Syarat-Syarat Air Bersih Kelayakan air dapat diukur secara kualitas dan kuantitas. Kualitas air adalah sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air yang mencakup kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003). Menurut Kusnaedi (2004), syarat-syarat kualitas air bersih, antara lain: 1. Syarat Fisik

16

Persyaratan fisik untuk air bersih, antara lain: airnya jernih tidak keruh, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, suhunya normal (20- 260C), tidak mengandung zat padatan. 2. Syarat Kimia Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia, antara lain: pH netral, tidak mengandung zat kimia beracun, tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam, kesadahan rendah, tidak mengandung bahan kimia anorganik. 3. Syarat Biologis Air tidak boleh mengandung Coliform. Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi dengan kotoran manusia (Sutrisno, 2004). Berdasarkan PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan bakteriologis air bersih adalah dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air dengan kadar maksimum yang diperbolehkan adalah 50. 2.3.1.4 Menggunakan Air Bersih Penyakit diare dapat ditularkan melalui makanan dan air yang tercemar oleh bakteri pathogen. Keluarga dapat mengurangi resiko diare dengan menggunakan air bersih yang tersedia dan melindunginya dari kontaminasi baik dari sumbernya maupun di rumah. Sumber air bersih yang memenuhi syarat adalah paling sedikit jaraknya 10 meter dari sumber pencemar seperti penampungan air kotor, tempat pembuangan sampah, jamban/kakus. Menurut Depkes RI (2007), kegiatan yang dapat dilakukan keluarga adalah: 1. Ambil air dari sumber air yang bersih 2. Tempat penampungan air harus selalu bersih 3. Wadah penyimpanan air harus tertutup dan sering dibersihkan 4. Gayung pengambil air juga harus bersih 5. Masaklah air sampai mendidih sebelum diminum 6. Gunakan alat-alat minum yang bersih 2.3.2 Penggunaan Jamban 2.3.2.1 Pengertian dan Manfaat Jamban

17

Jamban atau kakus adalah tempat pembuangan kotoran manusia berupa tinja dan air seni. Yang dimaksud dengan kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh (Notoatmodjo, 2007). Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, kotoran manusia merupakan masalah yang sangat penting. Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang paling diutamakan. Manfaat penggunaan jamban adalah untuk menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau, tidak mencemari sumber air yang ada disekitarnya, dan tidak mengundang datangnya agen penular penyakit. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah berjangkit. Yang termasuk waterborne disease adalah tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral dan sebagainya (Chandra, 2007). Di negara berkembang, masih banyak terjadi pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekononi yang rendah, pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi.

2.3.2.2. Penggunaan Jamban Sehat Untuk mencegah sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, pembuangan kotoran harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Menurut Departemen Kesehatan (2009), suatu jamban disebut sehat apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang penampungan minimal 10 meter) 2.Tidak berbau 3.Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga atau tikus 4.Tidak mencemari tana disekitarnya 5.Mudah dibersihkan dan aman digunakan

18

6.Dilengkapi dinding dan atap pelindung 7.Penerangan dan ventilasi cukup 8.Lantai kedap air dan luas ruangan memaadai 9.Tersedia air, sabun, dan alat pembersih Menurut Depkes RI (2007), dalam menjaga jamban jamban tetap sehat dan bersih keluarga dapat melakukan beberapa cara yaitu, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air. Membersihkan jamban secara teratur sehingga ruangan jamban selalu dalam Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih) Bila ada kerusakan, segera diperbaiki

keadaan bersih.

Menurut Soeparman (2002), jamban sehat juga harus mempertimbangkan pada pemenuhan berbagai keiinginan berikut: 1. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan orang dengan tenang tanpa terganggu privasinya. 2. Sedapat mungkin pembuangan tinja dilakukan dengan nyaman (comfort) dalam posisi dan suasana yang disukainya. 3. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan oleh orang yang sedang menderita penyakit saluran pencernaan dengan tidak menimbulkan risiko bahaya penularan bagi orang lain. 4. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang dengan semaksimal mungkin memperoleh manfaat dari tinja yang dibuang, yang dapat diproses menjadi kompos atau bio gas. 5. Sedapat mungkin pembuangan tinja dapat dilakukan orang di berbagai daerah dengan teknik yang sesuai dengan kondisi setempat. 2.3.2.3. Tinja dan Cara Penularan Penyakit Diare Menurut Depkes RI (2007), jalur penularan penyakit dari tinja atau kotoran manusia sebagai sumber penyakit melalui mulut sehingga menjadi sakit dapat digambarkan sebagai berikut:

19

1. Tinja atau kotoran manusia mengandung agent penyakit sebagai sumber penularan bila pembuangannya tidak aman maka dapat mencemari tangan, air, tanah, atau dapat menempel pada lalat dan serangga lainnya yang menghinggapinya. 2. Air yang tercemar tinja dapat mencemari makanan yang selanjutnya makanan tersebut dimakan oleh manusia atau air yang tercemar diminum oleh manusia. 3. Tinja dapat mencemari tangan atau jari-jari manusia selanjutnya dapat mencemari makanan pada waktu memasak atau menyiapkan makanan, demikian juga yang telah tercemar dapat langsung kontak dengan mulut. 4. Tinja secara langsung dapat mencemari makanan yang kemudian makanan tersebut dimakan oleh manusia, melalui lalat/serangga kuman penyakit dapat mencemari makanan yang kemudian dimakan oleh manusia. 5. Melalui lalat atau serangga lainnya kuman penyakit dapat mencemari makanan sewaktu hinggap dimakanan yang kemudian dimakan oleh manusia. 6. Tinja juga dapat mencemari tanah sebagai akibat tidak baiknya sarana pembuangan tinja atau membuang tinja disembarang tempat di mana tanah tersebut selanjutnya dapat mencemari makanan atau kontak langsung dengan mulut manusia. 2.3.3 Cuci Tangan Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan hewan, ataupun cairan tubuh lain seperti ingus dan air ludah dapat terkontaminasi oleh kuman-kuman penyakit seperti bakteri, virus dan parasit yang dapat menempel pada permukaaan kulit. Oleh karena itu tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan melalui mulut, misalnya diare. Menurut Depkes (2009) tangan akan bebas dari kuman penyakit apabila cuci tangan dengan baik dan benar. 2.3.3.1. Pengertian Cuci Tangan Pakai Sabun dan Air Mengalir Menurut Depkes (2009) cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Mencuci tangan dengan sabun dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Mencuci tangan dengan air saja tidak cukup. Penggunaan sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/

20

kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan sabun. 2.3.3.2. Waktu Yang Tepat Cuci Tangan Kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya diare pada balita. Seorang ibu atau anggota keluarga harus membiasakan mencuci tangan dengan benar sebelum dan setelah melakukan kegiatan di bawah ini, sesuai dengan Departemen Kesehatan (2009) : Setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, berkebun, dll). Setelah buang air besar Setelah menceboki bayi atau anak Sebelum makan dan menyuapi anak Sebelum memegang makanan Sebelum menyusui bayi

2.3.4. Cara Cuci Tangan Yang Benar Mencuci tangan yang benar harus menggunakan sabun dan di bawah air yang mengalir. Menurut Departemen Kesehatan (2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut,: 1. Basahi tangan dengan air di bawah kran atau air mengalir. 2. Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh tangan. 3. Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai ke ujung jari. 4. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau sebaliknya) dengan jarijari saling mengunci (berselang-seling) antara tangan kanan dan kiri. Gosok sela-sela jari tersebut. Lakukan sebaliknya. 5. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya dan saling mengunci. 6. Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan berputar. Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri.

21

7. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan gerakan ke depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya. 8. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri. 9. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir. 10. Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila menggunakan kran, tutup kran dengan tissue. 2.4 Keterkaitan Kebiasaan Mencuci Tangan, Penggunaan Air Bersih, dan Penggunaan Jamban dengan Kejadian Diare Sejumlah penelitian yang menyatakan hubungan penggunaan jamban dan penyediaan air bersih dengan kejadian diare disajikan dalam tabel berikut. Tabel 1. Ringkasan Penelitian Hubungan Penggunaan Jamban dan Penyediaan Air Bersih dengan Kejadian Diare NO 1 PENELITI Suwantoro, 2006 RANCANGAN Deskriptif analitik cross sectional 2 3 Apriyanti, dkk., 2009 Arie, dkk., 2011 Survey cross sectional Survey analitik cross sectional HASIL PENELITIAN Ketersediaan sarana air bersih (p=0.003), pemanfaatan sarana air bersih (p=0.0001), ketersediaan jamban (p=0.024) dan pemanfaatan jamban (p=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare Terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan jamban (p value=0,046; =0,05) dengan kejadian diare pada anak. ada hubungan yang bermakna antara variabel pemberian penggunaan air bersih (p= 0,006, OR= 4,021), penggunaan jamban sehat (p= 0,024, OR= 3,043), kebiasaan mencuci tangan (p=0,000, OR= 7,667) ada pengaruh tempat pembuangan tinja (p = 0,030); tempat pembuangan sampah (p = 0,007), sumber air minum (p = 0,002), kebiasaan ibu mencuci tangan (p = 0,003), dan kebiasaan ibu merebus botol susu (p = 0,000) ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan setelah Buang Air Besar dengan kejadian diare (p=0,024), ada hubungan kebiasaan mencuci

Indah, 2011

Survey analitik cross sectional

Tintisnowati, 2010

Survey analitik cross sectional

22

tangan sebelum menyuapi anak dengan kejadian diare (p value=0,02), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum memasak dengan kejadian diare (p=0,072), tidak ada hubungan antara kebiasaan mencuci botol dengan sabun dengan kejadian diare (p=0,924). 5 Anggraeni, 2004 Survey cross sectional ada hubungan antara kondisi jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,010),ada hubungan antara kondisi tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,001),tidak ada hubungan antara kondisi SPAL dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,129).Ada hubungan antara kebiasaan cuci tangan dengan kejadian siare pada anak balita (p=0.035) Ada hubungan antara cakupan air bersih non perpipaan dengan kejadian diare (p=0.011). Ada hubungan antara cakupan jamban keluarga dengan kejadian diare (p=0,005). Ada hubungan antara kondisi penggunaan air bersih dengan kejadian diare pada anak balita (p=0,004), ada hubungan antara pemanfaatan jamban (p value=0.019) memiliki hubungan signifikan dengan kejadian diare pada balita praktik mencuci tangan dengan sabun yang memenuhi syarat sebesar 39 responden,p value = 0,030 (39%)ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita, praktik ibu menyiapkan makanan dan minuman yang memenuhi syarat sebesar 79 responden,p value = 0,591 (79%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita,praktik ibu mensterilkan botol susu yang memenuhi syarat sebesar 54 responden,p value = 0,260 (54%)tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita

Longginus, 2004

Deskriptif analitik cross sectional Survey cross sectional

Sulistyowati, 2004

Fitriatun, 2011

Deskriptif analitik cross sectional

23

24

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Gambar Kerangka Konsep Faktor makanan Faktor infeksi Faktor malabsorpsi

Faktor psikologis

Kejadian diare pada balita

Faktor lingkungan

Faktor perilaku pengasuh

Karakteristik Responden : 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pendapatan Keluarga

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) : 1. Menggunakan air bersih 2. Menggunakan jamban 3. Mencuci tangan dengan sabun

= variabel yang tidak diteliti = variabel yang diteliti

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

25

BAB IV METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan crosssectional. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem pada bulan Juli-Agustus 2012. 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak balita (anak umur 1-5 tahun) yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem dimana dipilih 4 dari 8 desa berdasarkan peningkatan insiden diare pada balita selama 3 tahun terakhir dengan perkiraan jumlah 3140 orang.

3.3.2

Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini merupakan keluarga yang memiliki balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Bebandem Kabupaten Karangasem. 3.3.2.1 Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan didapatkan berdasarkan perhitungan studi cross-sectional:

Keterangan: n : besar sampel

26

Z p

: sama dengan 1,96 pada confidence interval 95% : proporsi balita yang mengalami diare dengan menggunakan data Riskesdas Indonesia tahun 2007 (p=0,17)

q d

: 1p = 0,83 : ketepatan absolut yang dipakai (ditetapkan oleh peneliti = 10%)

Maka, akan didapatkan perhitungan sebagai berikut:

Karena jumlah populasi kurang dari 10.000 orang (3140 orang), maka dilakukan koreksi jumlah sampel dengan menggunakan formula:

Keterangan: nk : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian < 10.000 orang n N : jumlah sampel yang diperlukan bila jumlah populasi penelitian 10.000 : perkiraan jumlah populasi penelitian

Sampel minimal yang digunakan pada penelitian sebesar 53 orang. Dengan alasan convinence peneliti menetapkan sampel sebesar 60 orang. 3.3.2.2 Cara Pengambilan Sampel Dari 8 desa yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Bebandem dipilih 4 desa yang memiliki peningkatan insiden diare pada balita selama 3 tahun terakhir berdasarkan data register Puskesmas Bebandem. Desa tersebut yaitu Desa Bungaya Kangin, Desa Bungaya, Desa Bebandem, dan Desa Sibetan. Jumlah sampel dari masing-masing desa dipilih berdasarkan proporsi masing-masing desa dengan rumus:

27

Keterangan: nd: jumlah sampel masing-masing desa x : jumlah populasi balita masing-masing desa y : jumlah total populasi balita dari keempat desa sampel. Adapun jumlah sampel masing-masing desa sebagai berikut:

Sampel masing-masing desa dipilih secara random yang berdasar pada daftar nama keluarga yang memiliki balita yang tercatat di register kantor puskesmas pembantu masingmasing.

3.3.2.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Subjek direkrut setelah memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan dan bersedia menjadi responden. Adapun kriteria inklusi yang dimaksud, yakni: 1. Ibu yang memiliki anak balita yang berdomisili di Desa Bungaya Kangin Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan bersedia menjadi responden. 2. 3. Ibu yang memiliki sumber air dari PDAM (pemerintah/desa) atau sumur. Ibu yang memiliki jamban.

28

Subjek yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian apabila memiliki satu atau lebih kondisi dalam kriteria eksklusi. Subjek yang dieksklusi adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Tidak mampu diwawancarai disebabkan kondisi medis umum yang berat. Menolak untuk mengikuti penelitian ini Tidak berada di tempat saat penelitian berlangsung

3.4 Responden Penelitian Berdasarkan survey singkat yang dilakukan di Puskesmas Bebandem, pengasuhan balita di wilayah kerja puskesmas ini lebih banyak dilakukan oleh ibu. Sehingga, subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita yang terpilih menjadi sampel penelitian pada wilayah kerja Puskesmas Bebandem.

3.5 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 3.5.1. Variabel Penelitian Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Umur 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Kejadian diare pada balita. 5. Pendapatan keluarga. 6. Penggunan air bersih. 7. Penggunaan jamban. 8. Mencuci tangan. 3.5.2. Defenisi Operasional Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah tangga adalah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga yang paling sering memiliki kontak dengan balita, dalam hal ini ibu, di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dapat

29

menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan terutama perilaku yang dapat mencegah terjadinya penyakit diare pada balita, yang meliputi: a. Umur adalah usia terakhir responden dalam tahun yang disampaikan saat wawancara yang dihitung dari selisih tahun wawancara dengan tahun lahir. b. Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh responden. Pendidikan diklasifikasikan berdasarkan skala ordinal, meliputi: (1) pendidikan rendah (tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD dan tamat SMP) dan (2) pendidikan tinggi (tamat/tidak tamat SMA dan tamat/tidak tamat perguruan tinggi). c. Pendapatan keluarga adalah rata-rata pendapatan responden dan suami per bulan yang dinyatakan dalam rupiah. Pendapatan keluarga diklasifikasikan menjadi: (1) cukup (bila pendapatan keluarga Rp 953.750,00 per bulan) dan (2) kurang (bila pendapatan keluarga < Rp 953.750,00 per bulan), sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Karangasem tahun 2012. d. Kejadian diare pada balita adalah keadaan yang dialami balita berupa buang air besar lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dan yang diderita sebulan terakhir. e. Penggunaan air bersih adalah air bersih yang dipergunakan dalam kehidupan seharihari sesuai dengan syarat-syarat air bersih serta digunakan untuk kegiatan membuat makanan dan memelihara peralatan makan balita. f. Penggunaan jamban adalah kepemilikan jamban berdasarkan syarat-syarat jamban sehat dan menggunakan jamban sebagai sarana sanitasi individu. g. Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air mengalir dan sabun yang dilakukan pada saat sebelum dan sesudah kontak dengan balita. 3.6 Instrumen atau Alat Pengumpulan Data Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari sejumlah pertanyaan dan lembar observasi. Kuesioner dan lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang dirancang oleh peneliti yang berdasarkan

30

teori kepustakaan dan disesuaikan dengan beberapa jenis kuesioner yang telah digunakan dalam beberapa penelitian yang hampir mendekati penelitian ini.

4.7 Cara Pengumpulan Data Data diperoleh secara primer dengan cara menanyakan pertanyaan yang ada di dalam kuesioner kepada responden dan melihat langsung hal-hal yang harus dinilai pada lembar observasi. Kemudian surveyor mencatat jawaban responden ke dalam kuesioner dan lembar observasi. Pengisian kuesioner dilakukan di rumah masing-masing responden. Untuk data sekunder didapatkan dari literatur, referensi dari internet dan untuk data kejadian diare serta data kependudukan yang diperlukan dari register puskesmas, puskesmas pembantu serta kantor kepala desa. 3.8 Kriteria Pengukuran Variabel 3.8.1 Kejadian Diare Untuk mengetahui adanya kejadian diare yang diderita balita dalam keluarga responden selama satu bulan terakhir dengan kriteria sebagai berikut: a. Mengalami penyakit diare, jika BAB dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir. b. Tidak mengalami penyakit diare, jika responden tidak BAB dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dalam satu bulan terakhir. 3.8.2 Pengukuran Menggunakan Air Bersih Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 10 pertanyaan dengan total skor 8, untuk jawaban YA diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban TIDAK diberi skor 0 (nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori sebagai berikut : a. Baik, jika skor yang diperoleh responden 6 b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6 3.8.3 Pengukuran Menggunakan Jamban

31

Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 8 pertanyaan dengan total skor 9, untuk jawaban YA diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban TIDAK diberi skor 0 (nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori sebagai berikut : a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden 6 b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 6 3.8.4 Pengukuran Cuci Tangan Pengukuran variabel didasarkan pada Skala Guttman dari 15 pertanyaan dengan total skor 17, untuk jawaban YA diberi skor 1 (satu) dan untuk jawaban TIDAK diberi skor 0 (nol), kemudian dikategorikan berdasarkan jumlah skor yang diperoleh dengan kategori sebagai berikut : a. Baik, jika skor ya ng diperoleh responden 11 b. Buruk, jika skor yang diperoleh responden < 11 3.9 Analisis Data

Analisis yang dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat. Kemudian disajikan dalam bentuk naratif atau tabel. Seluruh data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0. Adapun data yang dianalisis berupa: a. Analisis univariat terhadap variabel tingkat umur ibu, pendidikan, dan pendapatan keluarga untuk karakteristik sosio demografi responden. b. Analisis univariat terhadap variabel penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan untuk gambaran perilaku hidup bersih dan sehat responden. c. Analisis univariat terhadap variabel kejadian diare pada balita untuk menentukan prevalensi. d. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara karakteristik responden dengan kejadian diare pada balita e. Analisis bivariat melalui tabulasi silang antara variabel PHBS rumah tangga dengan kejadian diare pada balita.

32

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, yang telah memberikan persetujuan untuk mengikuti penelitian ini. Responden diwawancarai saat responden berada di rumah masing-masing. Data dikumpulkan dari kuisioner yang telah diisi oleh surveyor sesuai dengan jawaban responden. Dari 60 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini, diperoleh karakteristik responden yang meliputi umur, tingkat pendidikan, serta pendapatan kelurga seperti yang tercantum dalam tabel 5.1. Tabel 5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan, serta Pendapatan Keluarga Karakteristik Usia - 30 tahun - >30 tahun Pendidikan - Rendah - Tinggi Pendapatan - Kurang - Cukup Jumlah (N=60) 28 32 43 17 34 26 Persentase (%) 46,7 53,3 71,7 28,3 56,7 43,3

Tabel di atas menunjukkan karakteristik bahwa sebagian besar ibu yang memiliki balita berusia di atas 30 tahun dengan pendidikan rendah dan pendapatan keluarga kurang.

33

5.2 Gambaran Kejadian Penyakit Diare pada Balita Berdasarkan data kuesioner mengenai apakah dalam satu bulan terakhir balita terkena diare, dapat dicari gambaran kejadian dari diare yang ditunjukkan pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada Balita dalam Rentang Waktu 1 Bulan Terakhir Kejadian Diare Ya Tidak Jumlah (N=60) 11 49 Persentase (%) 18,3 81,7

Berdasarkan tabel di atas, dari 60 keluarga yang diteliti, didapatkan persentase kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem dalam rentang waktu 1 bulan terakhir mencapai 18,3% (11 orang). 5.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga 5.3.1 Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Responden Berdasarkan data dari kuesioner, didapatkan distribusi frekuensi dan persentase gambaran perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) setelah dilakukan skoring seperti yang tercantum dalam tabel 5.3.1 Tabel 5.3.1 Tabel Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Variabel Penggunaan air bersih Penggunaan jamban Kebiasaan cuci tangan Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Frekuensi (N=60) 5 55 11 49 31 29 Persentase (%) 8,3 91,7 18,3 81,7 51,7 48,3

34

Tabel di atas menggambarkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat sebagian besar ibu yang memiliki balita yaitu menggunakan air bersih dengan kategori baik, menggunakan jamban dengan kategori baik, dan mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang buruk. 5.3.2. Frekuensi dan Presentase Jawaban Responden Mengenai Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga Responden Berdasarkan data kuesioner yang diperoleh, didapatkan frekuensi dan persentase jawaban pada masing-masing blok mengenai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pertanyaan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat ini sendiri dibagi menjadi 3 blok yaitu, blok 1 mengenai penggunaan air bersih dibagi menjadi 9 pertanyaan, blok 2 mengenai penggunaan jamban dibagi menjadi 10 pertanyaan, dan blok 3 mengenai kebiasaan mencuci tangan dibagi menjadi 17 pertanyaan. Data mengenai frekuensi dan persentase jawaban dari masingmasing pertanyaan dapat dilihat pada tabel 5.3.2.1, tabel 5.3.2.2, dan tabel 5.3.2.3. 5.3.2.1 Tabel Deskripsi Perilaku Penggunaan Air Bersih Sub variable Ya Jumlah Blok 1. Penggunaan Air Bersih - Mencuci dot dengan air mendidih - Membuat susu dengan air mendidih - Penampungan air tertutup - Membersihkan penampungan air - Syarat fisik (tidak berasa) - Sumber air PDAM - Jarak sumur 10 meter - Syarat fisik (tidak berbau) - Syarat fisik (tidak berwarna) 40 54 45 49 58 50 3 59 59 66,7 90,0 75,0 81,7 96,7 83,3 5,0 98,3 98,3 20 6 15 11 2 10 57 1 1 33,33 10,0 25,0 18,3 3,3 16,7 95,0 1,7 1,7 % Tidak Jumlah %

35

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan air bersih didapatkan hasil, lebih banyak responden yang menggunakan air bersih lebih banyak dibandingkan yang tidak menggunakan air bersih. Dilihat dari pertanyaan mencuci dot dengan air mendidih yang menjawab ya sebanyak 40 orang (66,7%) sedangkan responden yang menjawab ya pada pertanyaan membuat susu dengan air mendidih sebanyak 54 orang (90%). Untuk pertanyaan mengenai penampungan air yang tertutup, responden yang menjawab ya sebanyak 45 orang (75%), pertanyaan mengenai membersihkan penampungan air yang menjawab ya sebanyak 49 orang (81,7%). Untuk pertanyaan mengenai persyaratan fisik air (tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna) masing-masing yang menjawab ya sebanyak 58 orang (96,7%), 59 orang (98,3%), dan 59 orang (98,3%). Pertanyaan tentang sumber air yang menggunakan PDAM serta jarak sumur yang lebih dari sama dengan 10 m masing-masing responden yang menjawab ya sebanyak 50 orang (83,3%) dan 3 (5,0%). 5.3.2.2 Tabel Deksripsi Perilaku Penggunaan Jamban Sub variable Ya Jumlah Blok 2. Penggunaan Jamban - Ibu menggunakan jamban untuk BAB - Membersihkan jamban - Balita menggunakan jamban - Seluruh keluarga menggunakan jamban - BAB di jamban umum - Jamban leher angsa - Mempunyai Septic tank - Tersedia air cukup - Mempunyai ventilasi - Lantai dan licin,tidak bau dinding bersih,tidak 60 47 47 35 5 50 58 53 44 24 100,0 78,3 78,3 58,3 8,3 83,3 96,7 88,3 73,3 40,0 0 13 13 25 55 10 2 7 16 36 0,00 21,7 21,7 41,7 91,7 16,7 3,3 11,7 26,7 60,0 % Tidak Jumlah %

36

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan jamban didapatkan hasil bahwa seluruh ibu yang memiliki balita menggunakan jamban untuk BAB (100%), sedangkan untuk balita yang menggunakan jamban hanya 47 orang (78,3%) saja, dan anggota keluarga yang seluruhnya menggunakan jamban hanya 35 orang (58,3%), yang menggunakan jamban umum sebanyak 5 orang (8,3%). Ibu yang membersihkan jamban hanya 47 orang (78,3%). Responden yang menggunakan jamban leher angsa dirumahnya yaitu, sebanyak 50 orang (83,3%), hampir seluruh responden memiliki septic tank dirumahnya, yaitu sebanyak 98 orang (96,7%). Untuk pertanyaan ketersediaan air yang cukup, adanya ventilasi,serta lantai dan dinding bersih, tidak licin, tidak berbau didaptkan hasil yang bervariasi, yaitu masing-masing yang menjawab ya sebanyak 53orang (88,3%), 44 orang (73,3%), dan hanya 24 orang (40,0%). 5.3.2.3 Tabel Deskripsi Perilaku Kebiasaan Mencuci Tangan Sub variable Ya Jumlah Blok 3. Kebiasaan Mencuci Tangan - Sebelum ibu memberi makan anak - Sebelum menyusui balita - Sebelum membuat makanan - Setelah anak BAB - Setelah anak BAK - Setelah ibu BAB - Setiap tangan ibu kotor - Anak mencuci tangan sebelum makan - Anak mencuci tangan setelah BAB - Tersedia sabun di tempat cuci tangan - Mencuci tangan dengan sabun - Mencuci tangan dengan air mengalir 34 19 50 60 38 59 38 11 48 28 36 57 56,7 31,7 83,3 100,0 63,3 98,3 63,3 18,3 80,0 46,7 60,0 95,0 26 41 10 0 22 1 22 49 16 32 24 3 43,3 68,3 16,7 0,0 36,7 1,7 36,7 81,7 20,0 53,3 40,0 5,0 % Tidak Jumlah %

37

- Menggunakan lap bersih - Menggosok telapak tangan - Menggosok punggung tangan - Membersihkan sela jari - Membersihkan kuku

28 59 24 31 6

46,7 98,3 40,0 51,7 10,0

32 1 36 29 54

53,3 1,7 60,0 48,3 90,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk pertanyaan mengenai kapan saja cuci tangan dilakukan didapatkan hasil yang menjawab ya sebanyak 34 orang (56,7%) untuk pertanyaan ibu mencuci tangan sebelum memberi makan anak, hanya sebanyak 19 orang (31,7%) yang mencuci tangan sebelum menyusui balitanya, setengah dari responden yaitu 50 orang (83,3%) yang sudah mencuci tangannya sebelum membuat makanan, sebanyak 59 orang (98,3%) yang mencuci tangan setelah ibu BAB, seluruh responden yaitu sebanyak 60 orang (100%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAB, tetapi hanya 38 orang (63,3%) yang mencuci tangan setelah balitanya BAK, 38 orang (63,3%) responden yang mencuci tangannya apabila tangan kotor. Untuk kebiasaan mencuci tangan balita didapatkan hasil, 11 orang (18,3%) balita yang mencuci tangannya sebelum makan dan 40 orang (80%) yang sudah mencuci tangannya setelah BAB. Untuk pertanyaan di setiap tempat cuci tangan apakah ada sabun atau tidak hanya 28 orang (46,7%) responden yang menjawab ya. Pertanyaan mengenai cara mencuci tangan didapatkan hasil 36 (60%) orang yang mencuci tangan dengan menggunakan sabun, 57 orang (95%) orang yang menggunakan air mengalir untuk mencuci tangan, hanya 28 (46,7%) orang yang menggunakan lap bersih untuk mengeringkan tangannya, hampir seluruh responden yaitu 59 (98,3%) orang yang mencuci tangannya dengan cara menggosokkan kedua telapak tangan, 24 orang (40%) yang sudah mencuci tangannya dengan cara menggosokkan punggung tangannya, 31 (51,7%) orang yang mencuci tangan dengan cara membersihkan sela jari, dan hanya 6 orang (10%) saja yang sudah mencuci tangan dengan cara membersihkan ke bagian kuku. 5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden

38

Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian diare pada balita dengan karakteristik responden yaitu umur, tingkat pendidikan, dan pendapatan keluarga. Data mengenai tabulasi silang ini dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita Dengan Karakteristik Responden Variabel Ya (F/%) Umur 30 tahun >30 tahun Tingkat pendidikan Rendah Tinggi Pendapatan Kurang Cukup 6(21,4) 5(15,6) 7(16,3) 4(23,5) 5(14,7) 6(23,1) Kejadian Diare Tidak (F/%) 22 (78,6) 27 (84,4) 36 (78,6) 13 (84,4) 29(85,3) 20(76,9)

Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada balita lebih banyak terjadi pada responden dengan usia kurang dari sama dengan 30 tahun, responden dengan tingkat pendidikan tinggi, dan responden dengan pendapatan cukup. 5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare Pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga Berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner, dilakukan tabulasi silang antara kejadian diare dengan perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga, yaitu: penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan kebiasaan mencuci tangan. Data mengenai tabulasi silang ini dapat dilihat pada tabel 5.5. Tabel 5.5 Tabulasi Silang Kejadian Diare pada Balita dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Rumah Tangga Responden Variabel Kejadian Diare

39

Ya (F/%) Penggunaan air bersih buruk baik Penggunaan jamban buruk baik Kebiasaan cuci tangan buruk baik 2(40,0) 9(16,4) 1(9,1) 10(20,4) 8 (25,8) 3 (10,3)

Tidak (F/%) 3(60,0) 46(83,6) 10(90,9) 39(79,6) 23(74,2) 26(89,7)

Berdasarkan data dari tabel di atas, didapatkan bahwa proporsi kejadian diare pada balita lebih banyak terjadi pada kelompok responden yang menggunakan air bersih dengan kategori buruk, kelompok responden yang menggunakan dengan kategori baik, dan pada kelompok responden yang memiliki kebiasaan cuci tangan dengan kategori buruk.

40

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Kejadian Diare pada Balita

Dari penelitian ini ditemukan kejadian diare pada balita sebulan terakhir di wilayah Kerja Puskesmas Bebandem adalah 11 orang (18,3%). Angka ini lebih rendah dari angka prevalensi kejadian diare berdasarkan data Risketdas Karangasem tahun 2007 yaitu sebesar 32% dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun 2007 (32,2%). Hasil penelitian menunjukkan angka refatif kejadian diare pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Bebandem lebih rendah mungkin dikarenakan oleh singkatnya batasan waktu yang digunakan yakni hanya selama satu bulan saja. Peneliti menggunakan batasan waktu hanya sebulan untuk mengurangi bias pada penelitian sebab ditakutkan responden yang menjawab akan lupa mengingat kejadian diare yang dialami anak balitanya jika waktunya lebih panjang. Selain itu, teori juga menyatakan bahwa diare pada balita disebabkan juga oleh makanan. Biasanya kejadian diare akan meningkat pada musim buah-buahan. Sedangkan, saat penelitian dilaksanakan di desa sampel sedang tidak musim buah. Menurut Depkes (2005), penyakit diare merupakan penyakit berbasis lingkungan dan perilaku manusia. Kejadian diare pada anak balita sangat ditentukan oleh perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terutama ibu sebagai pengasuh utama. Dan PHBS ibu akan sangat ditentukan dengan tersedianya sarana air. Pada musim kering, terutama di wilayah karangasem yang sulit mendapatkan sumber air, ibu-ibu akan jarang mencuci tangan dan meminimalisir penggunaan air untuk menghemat persediaan. Ini tentunya akan memperbesar resiko penularan kuman diare pada anak balita sehingga kejadian diare akan meningkat pada musim kering. 6.2 Gambaran Karakteristik Ibu (Umur, Pendidikan, Pendapatan Keluarga)

terhadap Kejadian Diare pada Balita 6.2.1 Umur Ditinjau berdasarkan usia, jumlah responden dengan usia di bawah 30 tahun dan di atas 30 tahun hampir berimbang, dimana responden dengan usia di atas 30 merupakan setengah lebih

41

(53,3%) dari seluruh responden. Umur ibu 30 tahun proporsi kejadian diarenya lebih tinggi. Hal ini mungkin terkait dengan pengetahuan dan pengalaman ibu dalam pengasuhan anak. Semakin tua umur ibu biasanya akan memiliki pengalaman dan tingkat pengetahuan yang lebih baik (Notoatmodjo, 2003). Responden yang berumur > 30 th sebagian besar memang telah memiliki minimal lebih dari satu anak sehingga pengalaman dalam hal pengasuhan anak termasuk pencegahan terhadap penyakit akan lebih baik. Semakin tua umur ibu dan semakin banyak memiliki anak maka pengasuhan anak akan relatif semakin baik sehingga proteksi terhadap penyakit akan semakin baik pula (Sulistyowati, 2004). 6.2.2 Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden di wilayah kerja Puskesmas Bebandem lebih banyak pendidikan rendah yaitu 43 orang (71,7%). Menurut Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya tentang kesehatan. Pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Menurut Widyastuti (2005), orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Teori tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa proporsi kejadian diare pada responden dengan tingkat pendidikan rendah ternyata lebih rendah dari pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal tersebut memberi arti bahwa tingkat pendidikan seseorang belum menjamin dimilikinya pengetahuan tentang diare dan pencegahannya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sander (2005), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian diare. Tetapi hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Yulisa (2008), yang menunjukkan ada pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai p = 0,001. Hal ini mungkin karena karakteristik responden di suatu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, sehingga pemahaman terhadap diare dan penanganannya pun juga berbeda. 6.2.3 Pendapatan Keluarga

42

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang lebih banyak adalah < Rp 953.750,00 per bulan yaitu 34 keluarga (56,7%). Pendapatan termasuk dalam kategori kurang karena di bawah nilai upah minimum regional (UMR) Kabupaten Karangasem tahun 2011. Menurut Irwanto (2002), keluarga yang berpenghasilan rendah, biasanya pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang diperhatikan kualitasnya, hanya kuantitasnya saja sehingga kualitas gizi pada anak bisa berkurang. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi akan lebih memperhatikan kualitas nutrisi sehingga lebih sedikit menderita penyakit infeksi dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan yang rendah. Menurut Sarwono (2004), keluarga dengan penghasilan yang tinggi memungkinkan keluarga tersebut melaksanakan kebersihan lingkungan dan ketersediaan sarana sanitasi lingkungan yang baik sehingga resiko kontak keluarga dengan bakteri patogen penyebab penyakit lebih rendah dibandingkan dengan keluarga dengan pendapatan rendah. Hal ini tentu berkaitan juga dengan penyediaan jamban keluarga dan sabun di setiap tempat cuci tangan. Meskipun demikian, jika dianalisa lebih lanjut ternyata keluarga dengan pendapatan cukup memiliki angka kejadian diare lebih tinggi daripada pendapatan kurang. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Rian (2008) di Kelurahan Majennang bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian diare pada balita dengan nilai p=0,04 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa bisa saja keluarga dengan pendapatan cukup berdasarkan UMR Kabupaten Karangasem memiliki pemenuhan kebutuhan lebih banyak. Misalnya, keluarga dengan pendapatan 2 juta perbulan harus menghidupi 4 orang anak. Sedangkan keluarga dengan pendapatan 900 ribu sebulan hanya memiliki 1 anak balita. Selain itu, dalam penelitian ini mungkin terjadi bias karena responden tidak mau jujur dalam menginformasikan pendapatan keluarganya. Sebagian besar responden dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga sehingga yang menyumbangkan pendapatan keluarga adalah dari suami. Dan kebanyakan suami bekerja sebagai wiraswata, petani salah, atau buruh harian. Hal ini menyebabkan ibu yang menjadi responden penelitian tidak tau pasti berapa angka pendapatan keluarga rata-rata per bulannya.

43

6.3

Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga

terhadap Kejadian Diare pada Balita Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran PHBS rumah tangga terhadap kejadian diare pada balita. Adapun PHBS rumah tangga yang berkaitan dengan kejadian diare adalah penggunaan air bersih, penggunaan jamban, dan mencuci tangan. 6.3.1 Gambaran Penggunaan Air Bersih terhadap Kejadian Diare pada Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria dalam penggunaan air bersih lebih banyak pada kategori baik yaitu 55 responden. Dapat dilihat bahwa pada kategori baik maupun buruk, kejadian diare selama satu bulan terakhir lebih rendah daripada balita yang tidak mengalami diare dengan persentase 16,4% dan 40%. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu yang memiliki balita telah menggunakan air bersih sebagai salah satu PHBS dalam upaya pencegahan diare sehingga angka kejadian diare yang meningkat 3 tahun terakhir di desa sampel disebabkan oleh faktor resiko yang lain. Jika dilihat dari masing-masing sub variable pada blok pertanyaan penggunaan air bersih, sumber air responden lebih banyak berasal dari PDAM (83,3%). Dan walaupun sumber air adalah sumur, kualitas fisik air yakni tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna sudah memenuhi syarat air bersih. Selain itu, sebagian besar ibu telah sadar untuk menutup dan membersihkan tempat penampungan air minimal seminggu sekali untuk mencegah perkembangbiakan bakteri patogen. Sebanyak 90% responden juga telah menggunakan air mendidih untuk membuat susu balita dan mencuci dot dengan air mendidih sebelum digunakan. Tahu ataupun tidak, perilaku tersebut mampu membunuh bakteri penyebab diare yang sebelumnya ada pada air dan botol susu. Apabila dibandingkan proporsi kejadian diare pada kedua kategori penggunaan air bersih didapatkan gambaran bahwa balita dengan riwayat diare sebulan terakhir lebih banyak terjadi pada kategori buruk daripada baik. Ini mungkin disebabkan karena sebagian besar keluarga yang menggunakan sumber air sumur tidak memperhatikan syarat-syarat sumur sehat. Dapat dilihat bahwa masih banyak keluarga yang membuat sumur dengan jarak sumur < 10 meter terhadap pusat pencemaran seperti WC atau tempat pembuangan sampah (95%).

44

Hal tersebut tentunya membuat resiko kontaminasi air sumur oleh bakteri pathogen penyebab penyakit diare semakin besar. Sumber air minum merupakan salah satu sarana sanitasi yang berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian besar kuman kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Menurut Soemirat (2007), salah satu peran air dalam penyebaran penyakit menular adalah air sebagai penyebar mikroba patogen atau disebut dengan water borne diseases. Penyakit-penyakit ini hanya dapat menyebar apabila mikrobamikroba penyebabnya ada pada air yang digunakan masyarakat dan salah satunya adalah penyakit diare. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Edi (2002) di Puskesmas Sinokidul menyatakan bahwa ada hubungan secara signifikan menggunakan sarana air bersih dengan kejadian diare. Demikian juga dengan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan kejadian diare lebih tinggi terjadi pada kelompok yang tidak menggunakan/ tidak memanfaatkan sarana air bersih. 6.3.2 Gambaran Penggunaan Jamban terhadap Kejadian Diare pada Balita Menggunakan jamban sehat adalah setiap rumah tangga harus memiliki dan menggunakan jamban leher angsa dengan tangki septic atau lubang penampungan kotoran sebagai pembuangan akhir (Depkes RI, 2007). Penggunaan jamban di wilayah kerja Puskesmas Bebandem sudah termasuk menggunakan jamban yang sehat sebab sebanyak 49 responden (81,7%) masuk ke dalam kategori baik. Meskipun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare pada balita ternyata lebih tinggi pada ibu yang menggunakan jamban dengan baik dibandingkan pada ibu yang masuk kategori penggunaan jamban buruk. Padahal seluruh ibu yang menjadi responden menjawab menggunakan jamban pribadi untuk buang air besar. Sebanyak 78,3% responden juga mengaku telah membersihkan jamban minimal seminggu sekali. Jamban yang dimiliki pun sebagian besar telah memenuhi kriteria jamban sehat yakni menggunakan jamban leher angsa, telah memiliki septik tank, terdapat ventilasi ruangan yang memadai, serta tersedia air yang cukup.

45

Fenomena ini menunjukkan bahwa mungkin faktor resiko lain memiliki pengaruh yang lebih kuat untuk menyebabkan kejadian diare pada balita tetap tinggi selain faktor resiko penggunaan jamban ibu yang tidak sehat. Mungkin saja hal itu lebih disebabkan karena imunitas balitanya sendiri, faktor makanan, faktor lingkungan, atau faktor perilaku dari balita itu sendiri. Berdasarkan pengakuan para ibu yang memiliki balita yang sudah mampu buang air sendiri (kurang lebih balita dengan umur > 3 th), anak balita tersebut menggunakan jamban pribadi di rumah (78,3%) dan tidak BAB di sembarang tempat seperti di kebun atau sungai. Hal ini mungkin berkontribusi terhadap hasil penelitiaan yang menunjukkan bahwa proporsi kejadian diare pada PHBS rumah tngga dalam menggunakan jamban dengan kategori baik lebih besar daripada kategori buruk. Penyebab lainnya mungkin karena PHBS dari anggota keluarga lain dalam penggunaan jamban masih ada yang tidak baik. Hal ini dibuktikan dengan berimbangnya jumlah anggota keluarga responden yang BAB dengan menggunakan jamban pribadi dan yang tidak yakni 58,3% dan 41,7%. Dan ternyata, anggota keluarga yang tidak BAB di jamban pribadi lebih memilih BAB di sungai daripada BAB di jamban umum. Berdasarkan pengakuan salah satu keluarga responden yang sempat ditanyai menjawab bahwa mereka lebih senang BAB di sungai daripada di jamban. Mereka mengatakan jika BAB di sungai perut mereka akan terasa dingin (tis) dan sensasi yang didapatkan setelahnya terasa lebih nyaman dan nikmat. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nilton, dkk (2008) menyatakan bahwa responden yang menggunakan jamban sehat kejadian diarenya lebih rendah dibandingkan yang tidak menggunakan jamban sehat. Begitu pula dengan penelitian Yusnani (2008) menyatakan bahwa ada hubungan memanfaatkan jamban dengan kejadian diare. 6.3.3 Gambaran Mencuci Tangan terhadap Kejadian Diare pada Balita Aspek yang dimuat dalam kuisioner pada blok mencuci tangan adalah cara dan waktu mencuci tangan sesuai dengan PHBS rumah tangga yang benar. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa sebagian besar ibu yang memiliki balita telah masuk ke dalam kategori baik untuk perilaku mencuci tangan (89,7%). Meskipun demikian, untuk cara mencuci tangan yang benar kebanyakan responden belum tahu benar dan belum dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

46

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kejadian diare pada responden dengan kategori buruk lebih tinggi daripada kategori baik yakni 25,8% berbanding 10,3%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi (2002) yang menyatakan bahwa ada hubungan cuci tangan pakai sabun dengan kejadian diare di Puskesmas Sinokidul Kecamatan Kunduran. Dan penelitian Nilton, dkk (2008) yang menyatakan bahwa kejadian diare lebih banyak terjadi pada responden yang tidak cuci tangan pakai sabun di Desa Klopo Sepuluh Kecamatan Sukodono. Jika dilihat dari variable mencuci tangan, sebagian besar responden telah mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berisiko menularkan penyakit diare seperti sebelum memberi makan anak balita, sebelum membuat makanan untuk, setelah menceboki anak BAB, setelah anak BAK, setelah ibu BAB, dan setiap kali tangan kotor misalnya setelah memegang uang atau hewan peliharaan. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu akan pentingnya mencuci tangan untuk pencegahan penulara penyakit sudah baik jika dilihat dari segi waktu. Jika dilihat segi perilaku anak balita sendiri, menurut pengakuan ibunya, anak-anak lebih sering tidak mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan terutama sebelum makan makanan ringan. Ini dibuktikan dari jumlah responden yang menjawab anak balita tidak mencuci tangan sebelum makan adalah 49 orang (81,7%). Dari hasil observasi langsung untuk meng-crosscheck jawaban juga terlihat bahwa anak langsung mengambil makanan yang diberikan peneliti dan langsung memakannya begitu saja meskipun tangan mereka masih kotor setelah bermain dengan hewan atau bermain tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengawasan dan didikan ibu terhadap anak sehingga anak tersebut langsung memakan makanan dengan tangan yang kotor tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Inilah yang dapat menyebabkan bakteri penyebab diare masuk ke dalam tubuh anak tersebut, sehingga bagi anak yang berumur 1-5 tahun yang masih mempunyai daya tahan tubuh yang rendah akan mudah menderita diare. Mencuci tangan pakai sabun merupakan aktivitas yang selama ini dianggap biasa-biasa saja oleh kebanyakan orang, bahkan ada yang menanggap cuci tanga pakai sabun tidak ada gunanya. Tetapi sebaliknya bahwa mencuci tangan pakai sabun sebenarnya sangat besar

47

manfaatnya. Berdasarkan kajian Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), cuci tangan pakai sabun terbukti mampu mencegah angka kejadian diare hingga 45 persen. Para ibu yang dipakai sebagai responden sepertinya sudah mulai menyadari pentingnya menggunakan sabun saat mencuci tangan. Meskipun masih ada 40% dari mereka yang tidak menunjukkannya saat observasi mencuci tangan dengan sabun dan sebanyak 32 responden tidak menyediakan sabun di tempat cuci tangan dengan alasan habis atau memang sengaja tidak disediakan. Dari hasil kuisioner juga terlihat bahwa hampir seluruh responden telah mencuci tangan dengan air mengalir (95%) sehingga kuman dan kotoran yang menempel pada tangan dapat dihilangkan dengan baik. Sayangnya, kebanyakan dari mereka tidak mengeringkan tangan dengan lap bersih atau tissue kering (53,3%) sehingga kemungkinan menempelnya kuman dan debu baru bisa saja terjadi. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa hampir seluruh responden tidak mempraktekkan 6 langkah cara mencuci tangan yang baik dan benar sesuai anjuran Depkes RI. Hal ini diperlihatkan dari hasil observasi langsung bahwa sebagian besar ibu hanya menggosokkan telapak tangan saja dan hampir berimbang jumlah ibu yang membersihkan punggung tangan dan sela jari. Bahkan untuk aktivitas membersihkan sela kuku hanya 6 orang saja yang melakukannya. Hal inilah yang mungkin berkontribusi terhadap angka kejadian diare yang lebih tinggi pada responden dengan kategori buruk untuk variable mencuci tangan. Mencuci tangan harus dilakukan dengan cara yang benar dan pada waktu yang tepat. Mencuci tangan hendaknya menggunakan air mengalir baik langsung dari kran air maupun langsung mengalirkan dari gayung sehingga kotoran dan kuman yang menempel pada tangan dapat langsung dibersihkan. Namun, cuci tangan pakai air saja tidak cukup karena cuci tangan pakai sabun selain membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun dapat menghilangkan bakteri yang tidak tampak, minyak/ lemak/ kotoran di permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang diperoleh setelah menggunakan sabun (Depkes 2009). BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

48

7.1 Simpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dibuat simpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik sebagian besar responden adalah ibu berusia di atas 30 tahun (53,3%) dengan pendidikan rendah (71,7%) dan pendapatan keluarga kurang (56,7%). 2. Presentase kejadian diare pada anak balita dalam rentang waktu 1 bulan terakhir adalah 18,3%. Ini lebih rendah dari angka kejadian diare berdasarkan data Risketdas Karangasem dan hasil analisis data Riskesdas seluruh Indonesia tahun 2007. 3. Sebagian besar responden telah menggunakan air bersih dengan baik (91,7%), menggunakan jamban dengan baik (81,7%), namun masih memiliki kebiasaan mencuci tangan yang buruk (51,7%). 4. Proporsi kejadian diare pada anak balita lebih tinggi pada responden yang berumur 30 tahun. Namun, lebih tinggi pada responden dengan tingkat pendidikan tinggi dan memiliki pendapatan keluarga yang cukup. 5. Berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga angka kejadian diare pada anak balita lebih tinggi pada responden dengan kategori penggunaan air dan mencuci tangan yang buruk namun kategori penggunaan jamban yang baik. 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui signifikansi hubungan sejumlah variabel perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) rumah tangga terhadap kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bebandem. 2. Mengingat pentingnya pengetahuan tentang PHBS rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari, maka kepada dinas kesehatan Kabupaten Karangasem dan pihak puskesmas Bebandem diharapkan memberikan penyuluhan mengenai PHBS rumah tangga terutama yang berkaitan dengan kejadian diare.

49

3. Untuk menunjang keberhasilan kegiatan PHBS rumah tangga maka perlu diimbangi dengan kerjasama lintas program oleh dinas kesehatan maupun puskesmas dengan instansi terkait lainnya. 4. Diperlukan pembentukan dan pemberdayaan kader-kader kesehatan lingkungan dimasing-masing banjar agar pembinaan kesehatan tentang pentingnya PHBS rumah tangga terhadap pencegahan penyakit diare pada balita dapat menjangkau keseluruhan wilayah kerja puskesmas Bebandem secara baik.

You might also like