You are on page 1of 17

AIR SEBAGAI SUMBERDAYA ALAM DAN ASPEK EKONOMINYA

Januari 11, 2008 in umum

1 Votes

karir anda mentok, karena pendidikan tak mendukung ? lanjutkan kuliah di | tempat kuliah paling fleksibel SARJANA NEGERI 3 TAHUN TANPA SKRIPSI ABSENSI HADIR BEBAS BERKUALITAS IJAZAH & GELAR DARI DEPDIKNAS MURAH DAPAT DIANGSUR TIAP BULAN -terima pindahan dari PTN/PTS lain MANAJEMEN AKUNTANSI ILMU KOMUNIKASI ILMU PEMERINTAHAN
022-70314141;7313350 : jl. terusan halimun 37 bandung- utkampus.net

Wan Usman Universitas Terbuka

Air sebagai sumberdaya alam dapat berupa persediaan dan sekaligus sebagai aliran. Air tanah misalnya merupakan persediaan, yang biasanya memerlukan aliran dan pengisian kembali oleh air hujan. Salah satu sifat penting air ialah stokastik, artinya ia diatur oleh proses fisik yang berdistribusi kemungkinan (ranttom). Sumberdaya air bervariasi secara luas dari daerah ke daerah. Pemasokan air tergantung pada topografi dan kondisi meteorologi, karena mereka mempengaruhi peresapan dan penguapan air. Oleh karena sifat stokastik air ini, maka pengambilan keputusan dalam mengembangkan sumberdaya air, didasarkan atas distribusi kemungkinan. Proyek pengembangan air, bermaksud untuk memodifikasikan atau mentransformasikan distribusi kemungkinan aliran air ini ke dalam pohyang lebih bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Ekonomi sumberdaya air, adalah suatu studi tentang proses bagaimana manusia mengambil keputusan, sehingga sumberdaya air yang langka dapat dimanfaatkan secara optimal. Persediaan

dan biaya-biaya untuk mengeksploitasi sumberdaya air akan mempengaruhi ekonomi makro suatu negara. Keseimbangan perdagangan misalnya, ikut dipengaruhi oleh sumber daya air terutama untuk ekspor hasil-hasil pertanian. Suatu pertanyaan dapat diajukan, apakah ekonomi sumberdaya alam (khususnya air) termasuk di dalam ekonomi positif yakni ilmu ekonomi yang menjelaskan bagaimana sesuatu itu terjadi how thing actually happen. Atau apakah ia termasuk ilmu ekonomi normatif yakni bagaimana sesuatu itu seharusnya terjadi to design how thing should be. Dengan tidak ingin memasukkan ke dalam salah satu dari kedua khasanah tersebut, penulis lebih cenderung untuk menerima pendapat Prof. Charles Howe, Guru Besar Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada University of Colorado, Amerika Serikat, dan Guru Besar tamu pada Program Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1981) yang menyatakan: Ekonomi Sumberdaya Alam merupakan suatu analisis ekonomi, dalam arti hasil analisis tersebut diharapkan memberikan informasi terhadap implikasi- implikasi bagi kebijaksanaan alternatif Proyek-proyek, atau pekerjaan- pekerjaan praktis Pengembangan sumberdaya air meliputi pengawasan aliran air, sehingga pola pemasokan air memenuhi pola permintaan di seluruh ruang dan waktu. Sebagaimana diketahui penanganan sumberdaya air biasanya dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu pengembangan dan manajemennya meliputi beberapa tujuan nasional yakni: efsiensi ekonomi, pengawasan kualitas lingkungan, distribusi pendapatan antar daerah, dan mungkin juga untuk tujuan-tujuan khusus seperti, menyelamatkan sekelompok masyarakat tertentu yang bermukim di suatu daerah. Pemanfaatan sumberdaya air terutama ditujukan untuk memasok keperluan kota, irigasi, pembangkit tenaga listrik pengawasan banjir, rekreasi, pengawasan pencemaran, pelayaran, perikanan, dan untuk konservasi binatang di hutan. Mengingat pentingnya pemanfaatan sumberdaya air ini secara optimal, maka pertimbangan untuk penggunaan ganda harus dilakukan, meskipun dengan proyek yang sekecil munglkin. Ancaman Krisis Air di Indonesia Indonesia dengan luas daratan sekitar 1.918.410 km memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2.620 mm setahun. Setelah memperhatikan kehilangan dan penguapan, maka limpahan efektif yang tersedia sekitar 55 persen dari itu yakni sekitar 1.450 mm. Atas dasar data ini dan dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia dalam tahun 1990 sebanyak 179.194.223 maka potensi air per jiwa per tahun ada sekitar 15.523 m3 (angka ini didapat dari perhitungan sebagai berikut: 1.918.410 km x 1.450 mm/179.194.223). Karena aliran sungai berfluktuasi sepanjang tahun, maka aliran mantap (stable run-off) adalah sekitar 25 35 persen dari rerata aliran setahun. Dengan demikian untuk Indonesia aliran mantapnya tersedia sebesar 3.880 m3 per jiwa per tahun. Untuk pulau Jawa dengan memperhatikan luas dataran sekitar 132.200 km2, curah hujan efektif 1.200 mm setahun, sedangkan dalam tahun 1990 jumlah penduduk sekitar 107.517.963, maka

potensi air per jiwa per tahun tersedia adalah 1.475 m3. Aliran mantap air tersedia sekitar 368,75 m3 per jiwa per tahun. Tahun 1970 potensi air per jiwa per tahun di Jawa sekitar 200 m (Doelhamid, 1972). Dengan memperhitungkan aliran mantapnya, maka dalam tahun 1970 tersedia sekitar 500 m3 air per jiwa per tahun. Dengan demikian setelah 20 tahun terdapat penurunan aliran mantap sekitar 26,4 persen. Perubahan tersebut merupakan suatu penurunan yang cukup drastis. Kebutuhan akan air bersih terutama di kota-kota terus meningkat. Sebagai contoh dalam tahun 1970 apabila diasumsikan kebutuhan orang akan air bersih di kota sebanyak 150 liter/hari/orang (Ditjen Cipta Karya, L Dep. P.U. 1980), maka dibutuhkan air bersih dari 17.884500 m3 per hari pada tahun 1970, naik menjadi 26.879.180 m3per hari dalam tahun 1990 Ini berarti selama 20 tahun ini kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Peningkatan kebutuhan ini akan tampak lebih gawat lagi apabila dilihat kemampuan produksi PAM (Perusahaan Air Minum) dalam melayani kebutuhan air bersih amat terbatas. Untuk DKI Jakarta kapasitas produksi air bersih di tahun 1987 hanya sekitar 17.285 1/detik. Dengan produksi itu DKI Jakarta paling banyak hanya mampu melayani sekitar 30-40 persen penduduk Jakarta yang ada sekarang yakni sekitar delapan juta jiwa lebih. Apabila dimasukkan juga kebutuhan air bersih bagi hotel, perkantoran, industri, rumah sakit, pertamanan, rumahrumah ibadat dan sebagainya, maka ancaman akan defisit air di dalam kota betul-betul meresahkan. Hasil analisis statistik air minum yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik 1987 menunjukkan bahwa kuantitas penyediaan air bersih terus meningkat dari tahun ketahun. Meskipun demikian masib belum cukup untuk memasok kebutuhan penduduk kota, terutama di kota-kota besar sebagai akibat laju urbanisasi dan aktivitas ekonomi yang meningkat. Kemampuan untuk menyediakan kebutuhan air bersih yang cukup, terlebih-lebih untuk keperluan kota, dibatasi oleh kendala alam dan dana. Masalah yang muncul banyak terletak pada bagaimana manajemen sumberdaya air harus dioptimalkan dengan terbatasnya segala sumberdaya yang ada. Erat kaitannya dengan itu masalah yang sering muncul ialah distribusi kuantitas, kualitas dan modus pemakaian yang sangat bervariasi dari suatu lokasi ke lokasi lainnya. Dengan demikian sering terjadi di suatu lokasi terdapat kelebihan air, sedang di tempat lain menderita kekurangan air. Bahan Baku Produksi Air Bersih Penanganan air minum/air bersih di kota-kota di Indonesia dilakukan oleh pemerintah (PAM). Bahan baku produksi air minum/air bersih berasal dari air tanah termasuk air sumber dan air permukaan (sungai, dan danau). Antara tahun 1978-1984 penggunaan air tanah sekitar 52 persen sebagai bahan baku air PAM. Angka ini jauh di atas pemakaian sungai yang hanya 23 persen digunakan sebagai sumber bahan

baku. Sementara itu penduduk yang menggunakan sumur didapat dari air tanah menghadapi beberapa aspek negatif. Air sumur mudah tercemar dan pemilikan tanah yang sempit di kota menyebabkan jarak ideal antara sumur dan sumur peresap minimal 15 m sulit dipenuhi. Selain itu pengggunaan sumur yang berlebihan akan mengganggu stabilitas tanah. Sejak tahun 1984 pemakaian air sungai oleh PAM sebagai bahan baku air bersih mengalami kenaikan tajam dari 28 unit pada tahun 1978 menjadi 100 unit pada tahun 1984, dan terus meningkat sampai tahun 1990. Apabila dilihat kecenderungan pemakaian, maka air sungai menunjukkan kenaikan yang lebih tajam dari pada kecenderungan pemakaian air tanah (mata air) sebagai bahan baku PAM. Sungai sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi/cuci juga mempunyai masalah yang berkaitan dengan sungai sebagai tempat pembuangan limbah industri. Konflik kepentingan antara para pemakai sungai akan muncul dimana-mana, dan mudah menjadi isu politik (ingat kasus fungsi hidrologis kawasan Puncak; Kasus Ciliwung dan Cisadane di DKI Jakarta, sungai Garang di Semarang dan sungai Brantas di Surabaya ). Mengingat kecenderungan penggunaan air sungai sebagai bahan baku air PAM tampak naik dengan tajam setelah tahun 1984, maka pemerintah harus mengambil langkah pengamanan terhadap sungai sebagai sumber air PAM agar tidak tercemar. Dalam jangka pendek pencemaran membawa dampak negatif terhadap biaya produksi air bersih, dan dalam jangka panjang akan mengakibatkan penurunan produktivitas kerja penduduk akibat terkontaminasi dengan air yang tercemar. Cukup banyak bukti menunjukkan adanya pencemaran sungai di kota-kota besar di Indonesia sehingga perlu ditanggulangi segera seperti kasus sungai Ciliwung di Jakarta, sungai Garang di Semarang, sungai Brantas di Surabaya dan beberapa sungai tertentu di luar Jawa. Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Kualitas air merupakan salah satu aspek yang makin banyak mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air. Ini disebabkan karena para konsumen air tidak hanya menginginkan jumlah yang cukup, tetapi juga kualitas yang sesuai dengan keperluan mereka. Timbulnya masalah kualitas air di cekungan (basin) sungai antara lain disebabkan oleh: (a) Meningkatnya kandungan sedimen dalam air sungai, karena terjadinya erosi di daerah hulu sungai. (b)Sistem pembuangan air limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran. (c) Limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air. (d) Akibat negatif intensifikasi pertanian (pestisida). Langkah-langkah untuk mempertahankan kualitas air bukan saja untuk mencapai standar kualitas air yang dikehendaki dari sudut ekologi, tetapi juga harus memperhatikan pertimbangan ekonomi, misalnya sampai seberapa besar biaya untuk mencapai standar tersebut. Langkahlangkah untuk mempertahankan kualitas air, tanpa mengganggu pertumbuhan ekonomi, biasanya memakan biaya yang besar. Akan tetapi apabila pertimbangan untuk mendapatkan strategi biaya yang efsien dilakukan, tentu akan menjadi lebih baik. Untuk itu adalah logis penelitian/pemantauan mengenai strategi tersebut perlu dilakukan. Pertumbuhan industri yang semakin meningkat dan peningkatan intensifikasi pertanian dengan pemakaian lebih banyak

pestisida, ditambah lagi dengan berkembangnya penduduk kota, akan memberi pengaruh buruk kepada tingkat pencemaran air. Usaha mencegah pencemaran air sebagai baian dari penyediaan air bersih secara efisien perlu dilakukan. Dari sekarang perlu diambil langkah-langkah untuk menyelamatkan air baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi di masa depan. Langkah-langkah tersebut sebaiknya dilakukan melalui berbagai pendekatan dan analisis, termasuk analisis ekonomi. Pengembangan sumberdaya air memainkan peranan yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan. Tidak saja efisiensi ekonomi yang harus diperhatikan, tetapi juga pembangunan regional, kualitas lingkungan, distribusi manfaat dan biaya, serta lain-lain dimensi kesejahteraan manusia dijadikan tujuan yang eksplisit, yang harus dicapai oleh pengambil keputusan. Oleh karena itu informasi yang lengkap dengan analisis yang tajam dan terpadu perlu disampaikan kepada para pengambil keputusan. Pendekatan Antar Disiplin untuk Perencanaan dan Manajemen Sumberdaya Air Pada mulanya masalah manajemen sumberdaya air dan lingkungan tidaklah terlalu kompleks. Ini disebabkan karena penduduk masih relatif sedikit dan kuantitas air berlimpah. Keadaan berubah dengan cepat setelah adanya perkembangan industri. Para pekerja dari sektor pertanian tertarik untuk berpindah ke sektor industri, karena sektor pertanian telah jenuh. Dengan demikian migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan mulai terjadi dan kecenderungan ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan berkembangnya industri di daerah kota, migrasi dari daerah pedesaan terus bertambah dan ini akan merangsang terus pertumbuhan industri. Dengan demikian antara migrasi dan pertumbuhan industri di kota merupakan lingkaran setan. Sangat disayangkan industri-industri ini kebanyakan didirikan berdekatan dengan daerah aliran sungai, dengan tujuan untuk memudahkan membuang limbah produksi tanpa biaya ekonomi. Disamping itu limbah rumah tangga ikut juga dibuang ke sungai tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu, sehingga menambah beban polusi pada air di aliran sungai. Oleh karena bertambahnya penduduk, demikian juga dengan meningkatnya pemakaian air per kapita, serta perkembangan teknologi dan industri, maka sisa produk atau limbah ikut bertambah tekanannya terhadap lingkungan. Bersamaan dengan itu masyarakat juga memuntut adanya kualitas hidup dan lingkungan yang baik. Dengan memperhatikan semua jenis sikap masyarakat ini, maka pengembangan sumberdaya air dan proses manajemennya menjadi lebih kompleks dari pada sebelumnya. Proses perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini dan akan bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis baru yang muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu dari alat baru itu ialah analisis sistem, sebagai suatu alat untuk memecahkan masalah dengan pendekatan antar disiplin. Berikut ini disajikan teknik-teknik yang berhubungan dengan pendekatan antar disiplin. Model Matematika

Berkembangnya komputer dan matematika lanjutan, telah menciptakan suatu bidang analisis baru yang dikenal dengan mathematical model building. Sebelum tahun 1950-an pemakaian model di bidang lingkungan dan manajemen sumberdaya alam amat terbatas. Sesudah tahun 1950-an pemakaian model untuk pembuatan kebijakan dan teknik pemecahan masalah, berkembang pesat khususnya dibidang pertahanan dan keamanan, serta industri angkasa, dengan nama: analisis sistem, riset operasi, programasi linier, teknik simulasi dan lain sebagainya. Dengan berhasilnya jenis analisis ini untuk pemecahan masalah, maka hubungan yang sehat antara para perencana dan para pengambil keputusan dapat tercipta. Mereka dapat mengembangkan kebijakan yang rasional dalam beberapa bidang yang menjadi perhatian nasional, termasuk manajemen sumberdaya alam dan lingkungan. Analisis Sistem Analisis sistem dapat didefinisikan sebagai suatu studi analitik untuk membantu pengambil keputusan memilih tindakan yang lebih disukai diantara beberapa alternatif yang ada. Ia merupakan pendekatan yang logik dan sistematik dimana asumsi, tujuan, dan kriteria, secara jelas didefinisikan. Ia dapat membantu pengambil keputusan sampai pada keputusan yang terbaik dengan cara memperluas dasar informasinya. Meskipun metode kuantitatif lebih banyak digunakan dalam analisis sistem, namun analisis kualitatif dapat dimasukkan di dalam prosesnya. Penggunaan komputer disini tidaklah terlalu penting, kecuali sistem yang telah dimodelkan amat kompleks serta berdimensi banyak, barulah komputer digunakan. Pada hakekatnya analisis sistem adalah teknik pemecahan masalah dengan cara membuat duplikat (model) sistem dari fenomena nyata yang sesungguhnya. Sistem ini dinyatakan dengan sederetan hubungan-hubungan matematika sedemikian rupa sehingga hubungan yang ada itu menggambarkan fenomena nyata yang ditelaah itu. Variabel-variabel yang mempengaruhi sistem itu dimasukkan sebagaimana juga parameter yang mempengaruhi variabel itu. Untuk menerapkan analisis sistem pada manajemen sumberdaya air, umumnya dilakukan tahaptahap sebagai berikut: 1. Identifikasi dan pernyataan secara eksplisit tujuan yang ingin dicapai. 2. Penerjemahan tujuan itu ke dalam kriteria yang dapat diukur, sehingga dapat digunakan untuk menilai sampai berapa jauh tujuan itu dapat dicapai. 3. Identifikasi beberapa alternatif cara yang akan memenuhi kriteria dimaksud. Ini berarti dibuat suatu model sistem sumberdaya air yang akan menguji dan menilai alternatif yang ada. 4. Penentuan konsekwensi yang timbul dari masing-masing alternatif yang ada. 5. Perbandingan penilaian alternatif konsekwensi yang ada dengan kriteria yang telah ditetapkan. Model

Pada umumnya model dapat dibagi dalam tiga bagian besar yaitu model programasi, model diskriptif dan model predikti Pemakaiannya tergantung pada bagaimana hubungannya dengan penyelesaian masalah. Model programasi, digunakan untuk menentukan kebijaksanaan yang optimal, apabila fungsi tujuan telah ditentukan. Model deskriptif digunakan untuk menjelaskan struktur suatu sistem atas dasar variabel endogen dan eksogen. Model prediktif digunakan untuk meramalkan akibat-akibat yang mungkin terjadi disebabkan kita mengasumsikan adanya variabel eksogen dan alternatif kebijaksanaan tertentu yang diambil. Secara teoritik manajer sumber daya air harus mengkonstruksi suatu model programasi yang sesuai sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan. Ini disebabkan karena ia ingin mengetahui kebijaksanaan optimal baik langsung atau tak langsung. Programasi linier kebanyakan valid untuk sistem yang telah disederhanakan seperti hubungan- hubungan linier antar variabel. Perencanaan Dengan Tujuan Ganda: Suatu Proses Optimasi Sejak dua puluh tahun yang lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menaruh perhatian terhadap sumberdaya air. Salah satu publikasi yang ditulis mengenai air ialah Integrated River Basin Development. Dalam publikasi ini dimuat masalah besar tentang perencanaan, pelaksanaan, dan manajemen proyek air dalam konteks basin suatu sungai yakni: interdepedensi hidrologi, evaluasi ekonomi, masalah pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan kerja sama internasional. Telah disadari bahwa pengembangan sumberdaya air memainkanl peranan yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan politik, dimana tidak saja efisiensi ekonomi yang harus diperhatikan, tetapi juga pembangunan regional, kualitas lingkungan, distribusi manfaat dan biayal serta lain-lain dimensi kesejahteraan manusia, dijadikan tujuan yang eksplisit, yang harus dicapai oleh pengambil keputusan. Oleh karena itu, tujuan perencanaan tidak akan dapat diukur hanya dengan monetary cost and benefit semata-mata. Yang dimaksud dengan perencanaan dengan tujuan ganda adalah suatu perencanaan untuk mencapai beberapa tujuan (multiple objectives). Dalam hal pengembangan dan manajemen sumberdaya air, tujuan ganda ini antara lain sebagai berikut: 1. Menambah pendapatan nasional yang diukur dengan manfaat ekonomi dari proyek yang dibangun. 2. Menjaga kemampuan pemulihan kelestarian lingkungan, yang diukur dengan indeks kualitas air, kualitas udara, estetika, keragaman species, keindahan alam dan sebagainya. 3. Memenuhi tujuan-tujuan sosial, yang tak dapat dinilai dengan uang seperti, mengurangi penyakit, melestarikan nilai-nilai budaya, pemerataan kesehatan, kesempatan kerja dan sebagainya. Dengan mengadakan suatu abstraksi, kita definisikan net economic benefit sebagai NB1 (x1, xm) net environmental benefit sebagai NB2 (x1, xm) dan net social benefit sebagai NB3 (x1, xm). Seandainya pihak pengambil keputusan telah mempunyai pandangan tertentu kepada tiga tujuan tersebut, yakni dengan cara memberikan bobot tertentu W1, W2 dan W3, maka perencanaan dengan tujuan ganda dapat dirumuskan sebagai memilih x1*, xm* sehingga tujuannya diformulasikan sebagai:

(1) Memaksimumkan [W1, NB1, (x1, ... xm) + W2.NB2 (x1, ... xm) + W3.NB3 (x2, ... xm)] dengan kendala: teknologi dan hidrologi. Formulasi lain dari masalah ini juga dapat disajikan sebagai memaksimalkan satu tujuan dengan kendala tujuan-tujuan lainnya, yang barus mencapai tingkat indeks tertentu. Secara matematika masalah ini dapat dimodelkan sebagai memilih nilai x1*, xm* sehingga: (2) Memaksimumkan [NB1 (x1, ... xm)] dengan kendala: NB2 (x1, xm) > al NB3 (x1, xm) > a2 al: indeks lingkungan a2: indeks sosial Dalam praktek, yang dimaksimumkan biasanya manfaat ekonomi (sebagai fungsi obyektif), sedang manfaat lingkungan dan manfaat sosial dianggap sebagai kendala. Model matematika ini akan menjamin adanya kepuasan bagi tujuan lingkungan dan tujuan sosial. Sedangkan manfaat ekonomi dapat dibuat semaksimal mungkin. Penerapan Model Pengendalian Kualitas Air di Basin Sungai: Hasil Studi Empirik untuk Kasus Sungai Garang di Jawa Tengah Kemungkinan dan kegunaan mengkonstruksi suatu model pengendalian kualitas air di daerah cekungan (basin) suatu sungai di Indonesia telah dipertanyakan oleh penulis sejak tahun 1982/1983. Salah satu sebabnya ialah kondisi khusus yang ada di Indonesia yakni: terbatasnya data hidrologi dan data aktivitas ekonomi di suatu basin sungai, kurangnya pengalaman dalam pembentukan model yang sifatnya antar disiplin, serta terbatasnya fasilitas komputer yang ada pada waktu itu. Meskipun demikian pekerjaan ini harus dilakukan, karena kerusakan-kerusakan oleh pencemaran air sering terjadi. Di teluk Jakarta pencemaran mercuri bagi kehidupan kerang, sedangkan di sungai Garang di Jawa Tengah, terdapat konsentrasi oksigen terlarut (DO) yang amat rendah sehingga mengancam dan menurunkan hasil perikanan di daerah muara. Sungai Garang merupakan suatu kasus yang menarik untuk diteliti pada waktu itu, karena di basin sungai ini terdapat berbagai macam aktivitas ekonomi yang memanfaatkan sungai itu. Sungai ini mengalir mulai dari gunung Ungaran ke arah Utara, melalui daerah pertanian, daerah pemukiman penduduk dan dibagian tengah dipadati oleh aktivitas industri (pabrik), akhirnya melewati kota Semarang hingga ke muara di laut Jawa. Menurunnya kualitas air di basin sungai ini menyebabkan beberapa masalah yakni: kerusakan keseimbangan ekologi di aliran sungai, masalah kesehatan penduduk yang memanfaatkan air sungai secara langsung untuk mandi dan mencuci; bertambahnya biaya pengolahan sir (water intake treatment) oleh perusahaan air minum (PAM) untuk pemasokan air bersih bagi kota Semarang, serta kerusakan perikanan di daerah muara.

Penerapan model programasi, guna menemukan suatu strategi biaya total minimum untuk pengolahan air limbah, perlu dilakukan agar air sungai tidak tercemar. Terdapat 20 aktivitas ekonomi yang ada di basin tersebut, 1 perusahaan air minum, 26 desa dengan 144.580 penduduk bermukim di basin tersebut, ternyata ikut sebagai sumber pencemaran. Hasil penelitian kualitas air di aliran sungai menunjukkan bahwa kerendahan oksigen terlarut didalam air dissolved oxygen (DO) disebabkan karena beban kebutuhan oksigen biologi biochemical oxygen demand (BOD) dari aktivitas pabrik dan penduduk, serta chemical oxygen demand (COD) dari pabrik. Konsentrasi DO, BOD, COD biasa digunakan sebagai kriteria untuk menentukan kualitas air di aliran sungai. Pengolahan air limbah pabrik (treatment) menunjukkan bahwa alternatif teknologi yang dipakai adalah pengolahan tingkat satu (primary treatment), dapat menghilangkan 30 persen BOD, 60 persen COD, dan 60 persen SS (Suspended Solid) yakni zat tersuspensi. Pengolahan tingkat dua (Secondary treatment) dapat menghilangkan 70 persen BOD, COD dan SS dari permulaan, dan lagoon atau kolam stabilisasi dapat menghilangkan BOD 80 90 persen. Kolam stabilisasi memungkinkan bagi daerah yang mempunyai cukup luas tanah dan di luar kota (misalnya di daerah muara). Pengolahan tingkat dua harus didahului oleh pengolahan tingkat satu, sedangkan pemakaian lagoon diasumsikan tanpa melalui pengolahan tingkat satu maupun tingkat dua. Adapun limbah penduduk, alternatif teknologi yang dipakai adalah septic tank atau langsung ke sungai. Septic tank yang baik umumnya dapat menghilangkan BOD sekitar 40 persen. Untuk keperluan konstruksi model programasi ini, kali Garang dibagi atas 5 zone, yang tiap zone diwakili oleh satu noktah, yakni titik dimana limbah pabrik terpusat (Gambar 1). Noktah keenam ditetapkan pada muara sungai di laut Jawa, sehingga standar-standar kualitas air dikenakan pada tiap noktah tersebut. Standar disusun untuk BOD dan D0 sedangkan SS diperhitungkan pengaruhnya terhadap biaya memproduksi air minum pada Perusahaan Air Minum yang berlokasi di zone bagian tengah. Untuk melihat perilaku kerendahan oksigen terlarut di dalam air dari noktah ke noktah, digunakan model BOD-DO dari Streeter-Phelps (dengan asumsi steady-state untuk musim kemarau dan musim hujan). Ini berarti koefisien transfer, yakni angka yang menunjukkan pengurangan konsentrasi BOD adalah tetap untuk masing-masing zone, masing-masing untuk musim kemarau dan musim hujan. Penduduk ditiap zone diketahui jumlahnya (baik sekarang maupun ditahun-tahun mendatang), dengan BOD per kapita per hari 0,08 kg (Reid, 1982). Keluaran (output) produksi bagi tiap pabrik diketahui (baik sekarang maupun yang akan datang). Jumlah beban BOD, COD dan SS yang dihasilkan per unit keluaran produksi, serta harga satuan diukur untuk tahun 1982, yakni saat penelitian dilakukan. Dengan adanya data dan asumsi-asumsi tersebut di atas, baik data ekonomi maupun data lingkungan, maka telah berhasil dikonstruksi model ekonomi terpadu dengan bantuan model programasi linier. Model programasi linier ini terdiri atas 210 persamaan dan pertidaksamaan, dengan 242 variabel keputusan, termasuk artificial variables, sehingga matriks terdiri dari 210 x 242. Matriks struktural ini berisi 1.149 elemen yang tidak nol, dengan kepadatan 2,26 persen.

Bentuk model tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut: Minimumkan fungsi obyektif: Biaya pengolahan air limbah industri dan penduduk, serta tambahan biaya pengolahan pengambilan air untuk produksi air minum bagi PAM. Dengan kendala: (1) Keluaran (output) produksi pabrik, pusat perdagangan dan pelayanan. (2) Jumlah penduduk. (3) Model BOD-DO yang ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut: Cs AX NPS > Standar DO yang ditetapkan oleh Menteri KLH. (4) BOD + NPS < Standar BOD yang ditetapkan oleh Menteri KLH. (5) Zat tersuspensi SS. (6) Skala ekonomi (economics of scale Keterangan: Cs = Konsentrasi kejenuhan oksigen di dalam air. A = Matriks koefisien transfer. X = Beban BOD (kg/hari) NPS = Non Point Source Pollution (sumber polusi yang tak terditeksi). Komponen biaya untuk pengolahan air limbah antara lain adalah: biaya konstruksi, pompa sirkulasi, penyampur, gelas ukur, listrik/disel, gas, minyak, kemikalium, upah tenaga kerja, dan lain-lain pengeluaran yang berhubungan dengan pengolahan air limbah. Biaya satuan (unit cost) bagi tiap alternatif pengolahan dinyatakan dalam rupiah per kg BOD. Dengan bantuan komputer Universitas Gadjah Mada, model ini berbasil dioperasikan dengan basil sebagai berikut: 1. Biaya Total Minimum pengolahan air limbah per hari naik dengan tajam (yakni: Rp 741.000,- hingga Rpl.060.000,-) untuk mencapai standar oksigen terlarut (DO) 5-6 mg/l, suatu standar yang dikehendaki olch ahli kesehatan lingkungan (Iihat Tabel 1). 2. Untuk standar oksigen terlarut DO = 2 mgll, tak ada satupun pabrik terkena kewajiban untuk melakukan pengolahan air limbah sebelum dibuang ke sungai. Akan tetapi pada solusi ini menuntut pengolahan secara luas limbah penduduk (di zone dimana kota Semarang terletak) dengan menggunakan septic tank. Biaya total minimum Rp 707.854,- per hari. 3. Apabila standar dinaikkan, bukan saja biaya pengolahan akan naik, tetapi komposisi teknik pengolahan juga berubah. Untuk standar DO : 3 mg/l, di semua zone, maka solusi optimal menunjukkan bahwa kolam stabilisasi (lagoon) diperlukan pada zone di daerah muara. 4. Apabila model ini dioperasikan pada musim hujan, maka standar DO dan BOD mudah dicapai. Ini disebabkan karena pada musim hujan, debit air menjadi besar. Namun demikian konsentrasi zat tersuspensi SS menjadi naik, karena kadar Iumpur di musim hujan berkorelasi positif dengan kadar SS. Kenaikan SS ini mengakibatkan tambahan biaya pengolahan per hari bagi PAM Semarang untuk memproduksi air minum. 5. Model ini juga dapat dioperasikan untuk menunjukkan bahwa penyelesaian dengan strategi biaya total minimum, lebih murah jika dibandingkan dengan cara pengurangan persentase air limbah secara seragam. Strategi biaya total minimum, menghasilkan setengah sampai dua pertiga dari biaya pengurangan persentase limbah secara seragam (uniform percentage cut-back). 6. Model ini juga dapat meneliti secara hipotetik lokasi industri (pabrik) sebagai alat yang mungkin untuk mengatur kualitas air, di aliran sungai.

7. Apabila diproyeksikan pada tahun-tahun PELITA IV dan V, model ini dapat mengestimasi struktur biaya pengolahan limbah industri dan penduduk, serta komposisi pengolahan masing-masing industri dan penduduk, di masing-masing zone (lihat Tabel 5).

Kesimpulan
1. Pengembangan dan manajemen sumberdaya air meliputi beberapa tujuan nasional yakni: efisiensi ekonomi, pengendalian kualitas lingkungan, distribusi pendapatan antar daerah, serta untuk memenuhi tujuan-tujuan khusus lainnya termasuk menyelamatkan sekelompok masyarakat tertentu yang bermukim di suatu daerah. 2. Selama duapuluh tahun terakhir ini, Indonesia telah mengalami penurunan aliran mantap air sebanyak 26,4 persen, suatu penurunan yang cukup drastis. Dilain pihak, dalam kurun waktu yang sama kebutuhan akan air bersih naik sekitar 50 persen. Oleh karena itu pengendalian air permukaan menjadi semakin penting. 3. Pengendalian sumberdaya air meliputi kuantitas dan kualitas. Timbulnya masalah kualitas air di basin sungai bagi beberapa sungai Indonesia antara lain disebabkan karena: terjadinya erosi di daerah hulu sungai; sistem pembuangan limbah industri di sepanjang sungai sehingga terjadi pencemaran; limbah rumah tangga yang ikut mempengaruhi kualitas air; akibat negatif intensifikasi pertanian yakni pemakaian obat anti hama (pestisida). 4. Proses perencanaan sumberdaya air menjadi sangat kompleks sekarang ini, dan akan bertambah lagi dimasa depan, oleh karena itu para perencana dan pengambil keputusan harus melengkapi diri dengan beberapa konsep dan alat analisis yang baru muncul beberapa dekade terakhir. Salah satu alat baru itu ialah analisis sistem yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah dengan, pendekatan antar disiplin. 5. Penerapan analisis sistem berupa pembentukan model programasi linier untuk menangani masalah pencemaran air di basin kali Garang di Jawa Tengah telah berhasil dilakukan (1983). Pengoperasian model ini untuk kasus sungai Garang dan sungai-sungai lain yang kondisinya sama, sangat mungkin dilakukan.

Upaya Melindungi Sumber Air Upaya melindungi sumber air, saat ini mendapatkan perhatian yang cukup serius dari pemerintah. Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat dan pemerintah bahwa sumber air sebagai unsur lingkungan yang vital merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat menjamin berlanjutnya kehidupan. Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan seperti Ketentuanketentuan Payung, yang dituangkan dalam Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Peraturan-peraturan pelaksanaannya antara lain dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air, PP 27/1991 tentang Rawa, PP 35/1991 tentang Sungai, PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, PP 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah dan Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Untuk mendukung upaya-upaya hukum tersebut, Pemda, Prov. Jabar menindaklanjuti dengan mengeluarkan beberapa perda, antara lain Perda No. 3/2001 tentang Pola Induk Pengelolaan Sumber daya Air di Provinsi Jawa Barat, Perda No. 2/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, Perda No. 1/2004 tentang Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Perda No. 3/2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Perda No. 8/2005 tentang Sempadan Sumber Air, yang memperbarui perda-perda yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, antara lain Perda No. 20/1995 tentang Garis Sempadan Sungai dan Sumber Air dan Perda No. 12/1997 tentang Pembangunan di Pinggir Sungai dan Sumber Air, merupakan upaya komprehensif dalam melakukan perlindungan, pengembangan pemanfaatan, dan pengendalian sumber daya air. Oleh karena itu, perda ini dimaksudkan untuk penataan bangunan di pinggir sumber air, perlindungan masyarakat dari daya rusak air, penataan lingkungan, dan pengembangan potensi ekonomi agar dapat dilaksanakan sesuai tujuannya. Dengan kata lain, penetapan daerah sempadan sumber air bertujuan agar : 1. Fungsi sumber air tidak terganggung oleh aktivitas yang berkembang di sekitarnya; 2. Daya rusak air pada sumber air dan lingkungannya dapat dibatasi dan dikendalikan; 3. Kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber air dapat memberikan hasil secara optimal, sekaligus menjaga kelestarian fisik dan kelangsungan fungsi sumber air; 4. Pembangunan dan/atau bangunan di pinggir sumber air wajib memerhatikan kaidah-kaidah ketertiban, keamanan, keserasian, kebersihan dan keindahan daerah sempadan sumber air; 5. Para penghuni dan/atau pemanfaat bangunan serta lahan di pinggir sumber air, wajib berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumber air. Ruang lingkup pengaturan daerah sempadan sumber air lintas kabupaten/kota yang dikelola oleh pemerintah daerah, meliputi penetapan garis sempadan, pengaturan bangunan di pinggir garis sempadan, pembinaan dan pengawasan, penataan dan pemanfaatan daerah sempadan. Dalam hal pengelolaan daerah sempadan sumber air tersebut, pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. Sedangkan dalam hal penataan dan pemanfaatannya dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Penataan daerah sempadan sumber air air harus memerhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Bebas dari bangunan permanen, semipermanen dan permukiman; 2. Bebas pembuangan sampah, limbah padat dan limbah cair yang berbahaya terhadap lingkungan; 3. Seoptimal mungkin digunakan untuk jalur hijau; 4. Tidak mengganggu kelangsungan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber air. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan untuk kegiatan-kegiatan :

1. Budi daya perikanan dan pertanian dengan jenis tanaman tertentu; 2. Pemasangan papan reklame, papan penyuluhan, dan peringatan, serta rambu-rambu pekerjaan; 3. Pemasangan jaringan kabel dan jaringan perpipaan, baik di atas maupun di dalam tanah; 4. Pemancangan tiang fondasi prasarana transportasi; 5. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomi dan sosial kemasyarakatan lainnya, yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sumber air; 6. Pembangunan prasarana lalulintas air; 7. Pembangunan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Apabila melanggar ketentuan tentang perizinan, maka pelanggar diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling tinggi Rp 50.000.000,00. Akan tetapi, jika tindak pidananya mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan/atau mengakibatkan pencemaran lingkungan, dikenakan ancaman pidana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembangunan fasilitas umum dan/atau yang melintas di atas maupun di bawah dasar sumber air, harus mempertimbangkan ruang bebas di atas permukaan air tertinggi serta dasar sumber air yang terdalam. Gubernur dapat menetapkan suatu ruas di daerah sempadan yang merupakan lahan masyarakat untuk membangun jalan inspeksi dan/atau bangunan pengairan yang diperlukan, dengan ketentuan lahan tersebut dibebaskan. Pembangunan bangunan hunian dan/atau sarana pelayanan umum yang didirikan di luar batas garis sempadan sumber air, harus mempunyai penampang muka atau bagian muka yang menghadap ke sumber air. Pembangunan tersebut harus mendapatkan izin dari pihak berwenang. Apabila bangunan yang sudah terbangun tidak sesuai dengan persyaratan tersebut, maka Perda No. 8/2005 memberikan toleransi waktu untuk menyesuaikan paling lambat dalam jangka waktu 5 tahun, terhitung diberlakukannya tanggal 9 September 2005. Penetapan garis sempadan

Gubernur menetapkan garis sempadan di sekeliling dan di sepanjang kirin kanan sumber air, baik pada lokasi yang telah terbangun maupun yang belum terbangun, dengan mempertimbangkan perencanaan kapasitas daya tampung sumber air, kondisi tanah tebing sumber air, bangunan perlindungan tebing sumber air, jalur lintasan pemeliharaan sumber air dan pengaruh surut air laut. Khusus untuk mata air, sungai, danau, waduk, rawa, dan pantai pada lokasi yang belum terbangun harus mempertimbangkan hal-hal tersebut, serta batas minimal garis sempadannya. Batas garis sempadan sumber air yang diatur di dalam pasal-pasal Perda No. 8/2005, antara lain : 1. Mata air ditetapkan sekurang-kurangnya dengan radius 200 meter di sekitar mata air; 2. Sungai bertanggul di kawasan pedesaan sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggung; 3. Sungai bertanggul di kawasan perkotaan sekurang-kurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar kaki tanggul; 4. Sungai tidak bertanggul dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah tangkapan air; 5. Sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan : a. Kedalaman tidak lebih dari 3 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 10 meter dari tepi sungai;

b. Kedalaman lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 15 meter dari tepi sungai; c. Kedalaman maksimum lebih dari 20 meter, garis sempadan sekurang-kurangnya 30 meter dari tepi sungai. 6. Sungai yang terpengaruh pasang surut air laut ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai dan berfungsi sebagai jalur hijau. 7. Sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, garis sempadan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan. 8. Situ, danau, waduk, dan rawa ditetapkan sekurang-kurangnya 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 9. Rawa yang terpengaruh pasang surut air laut, ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi rawa ke arah darat dan berfungsi sebagai jalur hijau. 10. Daerah sempadan pantai lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, ditetapkan sekurang-kurangnya 100 meter dari titik pasak tertinggi ke arah darat. 11. Bagian atas dan bawah sumber air ditetapkan oleh gubernur dengan mempertimbangkan ruas bebas di atas permukaan tertinggi serta dasar sumber air terdalam. Berdasarkan Pasal 22 Perda No. 8/2005, daerah - daerah sempadan sumber air tersebut dilarang untuk dimanfaatkan membuang sampah domestik, sampah industri, limbah padat dan limbah cair, mendirikan bangunan semipermanen dan permanen, serta mengeksploitasi dan mengeksplorasi di luar kepentingan konservasi sumber daya air. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 22 merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda tinggi banyak Rp 50.000.000,00. Apabila tindak pidana tersebut mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan/atau mengakibatkan pencemaran lingkungan, maka akan dikenakan ancaman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada saat Perda No. 8/2005 mulai berlaku, maka Perda No. 20/1995 tentang Garis Sempadan Sungai dan Sumber Air dan Perda No. 12/1997 tentang Pembangunan di Pinggir Sungai dan Sumber Air, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal-hal yang berkaitan dengan izin-izin pemanfaatan daerah sempadan yang dikeluarkan sebelum Perda ini, sepanjang tidak bertentangan, dinyatakan tetap belaku. Sedangkan izin-izin yang berkaitan dengan hal tersebut, yang telah dikeluarkan sebelumnya, diberikan kesempatan untuk menyesuaikan paling lama dalam jangka waktu 5 tahun terhitung sejak berlakunya Perda No. 8/2005. (Sumber : Biro Hukum Pemprov Jabar)Oleh KARTONO SARKIM

HUTAN SEBAGAI HABITAT MANUSIA Friday, 24 June 2011 02:29

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparanlahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.( UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi: (a) Suatu kesatuan ekosistem(b) Berupa hamparan lahan (c) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. (d) Mampu memberi manfaat secara lestari. Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia.Sebagai satu kesatuan ekosistem, fungsi hutan tidak dapat dibagi menurut daerah admisnistrasi sehingga hal tersebut kadang menyulitkan dalam pengelolaannya. Hutan yang kita umpamakan adalah hutan hujan tropis yang ideal, dimana biodiversitasnya tinggi. Sehingga fungsi hutan dapat mempunyai fungsi yang ideal seperti: - sebagai paru-paru dunia - sebagai sumber air (fungsi hidrologi) - sebagai habitat flora dan fauna, - sebagai sumber daya alam, yang mempunyai nilai ekonomi dan sosial, dll. banyak sebutan yang diberikan pada peranan hutan bagi manusia dan lingunngannya maka tidak salah kalau ada orang yang mengatakan jalmo moro jalmo mulyo ( maknanya secara umum yaitu orang yang datang ke hutan akan sejahtera). Pemanasan global, penebangan kayu di di hutan dituding sebagai penyebab utama. Hutan sebagai mesin pendingin panasnya iklim bumi telah terdegradasi, selanjutnya larangan pengurangan areal hutan juga dibatasi. Adanya peristiwa pemanasan global, hutan

dianalogikan dengan paru-paru, mampu mengurangi gas CO2. Gas CO2 dianggap sebagai penyebab utama naiknya suhu bumi, gerakan menanam tanaman dilakukan. Pohon Trembesi dianggap sebagai tanaman yang mampu menyerap CO2 terbanyak diantara tanaman lain. Pohon Trembesi (Albizia saman) disebut juga sebagai Pohon Hujan atau Ki Hujan lantaran air yang sering menetes dari tajuknya karena kemampuannya menyerap air tanah yang kuat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, satu batang Pohon Trembesi mampu menyerap 28.442 kg karbondioksida (CO2) setiap tahunnya. Keyakinan bahwa hutan berfungsi sebagai sumber air juga diyakini oleh warga masyarakat Desa Mlowo Karangtalun, Kecamatan Pulokulon, Grobogan, Jawa Tengah menolak penebangan hutan jati di sekitar Sendang Coyo karena akan mematikan sumber-sumber air untuk kecamatan Pulokulon dan Kradenan. Hal tersebut juga dinyatakan oleh Kabid Pemulihan Lingkungan dan Pelestarian Sumber Daya Alam Badan Lingkungan Hidup (BLH) Karanganyar, Sri Sukapti. Beberapa penyebab turunnya debit sumber air ini ditengarai sebagai akibat dari rusaknya lingkungan hutan di wilayah lereng Gunung Lawu. Sebagian besar karena penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab dan alih fungsi lahan yang semula ditanami tanaman keras menjadi tanaman berakar pendek seperti sayur-sayuran,. Kebakaran hutan menjadi persoalan asap, kasus kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan menjadikan protes negara Malaysia dan Singapura, selain karena alasan kesehatan, juga menggangu aktivitas perekonomian. Sejumlah penerbangan dihentikan. Kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah sudah menjadi kado tahunan yang rutin terjadi. Pembukaan lahan dengan pembakaran secara besar-besaran untuk kebutuhan hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan proyek lahan gambut sejuta hektar yang mengakibatkan kerusakan parah menjadi penyebab utama tak terkendalinya kebakaran hutan di Kalteng. Gajah mengamuk, dua gajah liar mengamuk dan menyerbu kota Mysore, India, menginjakinjak seorang warga hingga tewas dan menyebabkan kepanikan kota tersebut. Gajah-gajah liar tersebut memasuki kota sekitar 06:00 pagi dari hutan terdekat (8/6/2011). Sebanyak 15 hektar lahan perkebunan sawit milik masyarakat di Desa Pulo Teungoh, Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat, hingga kini ikut rusak akibat amukan gajah (27/05/2011). Ini bukti adanya masalah terhadap rantai maknanan yang terputus akibat makin berkurangnya hutan sebagai habitat hutan atau hutan telah kehilangan fungsi

sebagai habitat gajah. Menurut laporan Indonesia tahun 2001, tentang Keadaan Hutan Indonesia, bahwa deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatanyang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politikdan keuntungan pribadi. Pengambilan kayu hutan secara resmi melalui HPH dan HTI tidak dapat terpenuhi persyatannya untuk mengembalikan kayu ke alam. Masyarakatpun secara tidak resmi juga ikut ambil bagian dalam degradasi hutan misalnya kasus illegal logging oleh warga Dusun Losari, Desa Sumur, Kecamatan Brangsong, Kendal, Jawa Tengah, ditangkap petugas setelah kedapatan memikul kayu hasil curian dari tengah hutan.(26/5/2011). Sudah banyak permasalahan hutan yang kita jumpai saat ini, baik yang mengarah pada kerusakan dan akibatnya. Dalam pembangunan berkelanjutan pengembangan hutan dapat diperhatian memperhatikan tiga aspek yaitu sosial, ekonomi dan ekologi/ ekosistem. Aspek sosial hutan adalah, hutan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aspek ekonomi hutan yaitu hutan mampu menggerakkan roda perkonomian masyarakat, sebab hutan sebagai sumber daya alam yang mempunyai nilai ekonomi. Aspek ekologi hutan yaitu kemampuan hutan dalam melestarikan fungsinya sebagai habitat flora dan fauna serta manusia. Hutan apabila telah menjadi tujuan habitat manusia yang aman dan nyaman, maka usaha menuju hutan lestari akan terwujud. Lebih jauh lagi (padangan Deep Ecology) yaitu apabila hutan dipandang oleh manusia sebagai bagian dalam hidupnya, maka kerusakan hutan adalah kerusakan dirinya, dengan demikian kondisi hutan akan terjamin fungsinya secara lestari sepanjang masa.

You might also like