You are on page 1of 21

7 PENGERTIAN ABSURD Ketika Zarathustranya Nietzsche turun dari pegunungan untuk memberi kabar kepada manusia, dia bertemu

dengan seorang pendeta di hutan. Laki-laki tua itu mengundang Zarathustra untuk tinggal di hutan daripada pergi ke kota. Zarathustra pun bertanya kepada sang pendeta bagaimana dia melewatkan waktunya dalam kesunyian, dia pun menjawab: Aku menggubah lagu dan menyanyikannya; dan ketika aku menggubah lagu aku tertawa, aku menangis, aku merintih; begitulah caraku memuji Tuhan. Zarathustra menolak tawaran sang laki-laki tua itu dan meneruskan perjalanannya. Namun ketika sendirian, dia berbicara sendiri: Mungkinkah! Pendeta tua di hutan itu belum tahun kalau Tuhan sudah mati!1 Zarathustra terbit untuk pertama kali pada tahun 1883. Jumlah orang yang setuju bahwa Tuhan sudah mati semakin banyak sejak jaman Nietszche, dan umat manusia memahami pelajaran pahit akan kekeliruan dan sifat jahat sejumlah pengganti murahan dan vulgar yang sudah disiapkan untuk mengganti posisinya. Maka, sesudah dua peperangan, masih banyak orang yang berusaha memahami berbagai implikasi pesan Zarathustra, suatu cara di mana mereka, dengan bangga, dapat menghadapi alam semesta yang tercerabut dari apa yang dulunya merupakan inti dan tujuan hidupnya, sebuah dunia yang tercerabut dari prinsip terpadu yang diterima secara umum, yang menjadi tercerai berai, tak punya tujuan, absurd. Teater Absurd merupakan salah satu ekspresi pencarian ini. Teater Absurd dengan gagah menghadapi kenyataan bahwa bagi mereka yang merasa dunia ini telah kehilangan penjelasan inti dan maknanya, tidak lagi mungkin untuk menerima bentukbentuk seni yang masih didasarkan pada kesinambungan standar dan konsep yang sudah kehilangan validitas; artinya, kemungkinan untuk mengetahui aturan main dan nilainilai mutlak, sebagai bentuk yang bisa dideduksi dari landasan kokoh keniscayaan yang tersingkap mengenai tujuan manusia di alam semesta ini. Dalam mengungkapkan rasa kehilangan yang tragis dengan hilangnya kepastian mutlak, Teater Absurd dengan paradoksnya yang aneh juga merupakan sebuah gejala dari apa yang mungkin paling mendekati pencarian relijius murni pada jaman kita: sebuah upaya, betapapun remeh dan tentatifnya, untuk bernyanyi, tertawa, menangis dan merintih kalau pun bukan untuk memuji Tuhan (yang namanya, meminjam katakata Adamov, sudah lama terdegradasi dalam pemakaian sehingga kehilangan maknanya), sekurang-kurangnya dalam pencarian sebuah dimensi Yang Sakral; suatu usaha untuk membuat manusia menyadari realitas mutlak kondisinya, untuk mengajarkan kembali kepadanya makna keajaiban kosmis yang hilang dan kegalauan purba, untuk mengejutkan dia dengan eksistensi yang telah sudah menjadi hal rutin, mekanis, terpuaskan, dan tercerabut dari harkat yang berasal dari kesadaran. Karena Tuhan sudah mati, bagaimanapun bagi mereka yang hidup dari hari ke hari dan telah kehilangan kontak dengan kenyataan-kenyataan maupun misteri-misteri -- dasar kondisi manusia yang pada waktu-waktu lampau mereka jalin hubungan melalui ritual agama mereka yang terus bertahan, yang menjadikan mereka bagian dari komunitas riil dan bukan hanya atom-atom dalam sebuah masyarakat yang diatomisasi.

Teater Absurd membentuk bagian-bagian dari usaha tiada hentinya dari para seniman sejati pada jaman kita untuk menerobos dinding mati kepuasan diri dan otomatisme ini dan berusaha untuk membangun kembali kesadaran akan situasi manusia ketika dihadapkan dengan realitas mutlak kondisinya. Maka demikianlah adanya, Teater Absurd mengisi tujuan ganda dan menghadirkan absurditas dua sisi bagi penikmatnya. Absurditas hidup menempati alam tak sadar dan bawah sadar realitas mutlak dalam salah satu aspek yang dihukumnya secara satiris. Inilah perasaan mati dan ketakpahaman mekanis dari hidup yang setengah sadar, perasaan `manusia yang menyembunyikan ketidakmanusiawiannya, seperti yang diuraikan oleh Camus dalam The Myth of Sisyphus (Mite Sisifus; judul asli dalam bahasa Prancis Le Mythe de Sisyphe): Pada saat-saat pikiran jernih, segi otomatis gerakan-gerakan mereka, gerak isyarat mereka yang tak bermakna, menyebabkan semua yang mengelilinginya tampak tolol. Seorang pria berbicara di telepon di balik sebuah kotak kaca, kita mendengar kata-katanya, tapi melihat mimiknya tak menentu. Kita bertanya-tanya mengapa dia hidup? Perasaan tidak enak di hadapan ketidakmanusiawian manusia sendiri, kejatuhan tak terduga di depan gambaran diri kita yang oleh seorang pengarang di jaman kita disebut ` kemuakan (maksudnya Sartre) itu adalah absurd juga.1 Inilah pengalaman yang diungkapkan Ionesco dalam naskah-naskah seperti Biduanita Botak atau Kereta Kencana, Adamov dalam La Parodie, atau N. F. Simpson dalam A Resounding Tinkle. Pengalaman ini merepresentasikan aspek satiris dan parodis Teater Absurd, kritik sosialnya, olok-olok sebuah masyarakat kecil yang tidak otentik. Pengalaman ini merupakan yang paling mudah diakses, dan karenanya juga paling banyak diketahui, menjadi pesan Teater Absurd, tapi sebenarnya bukanlah ciri yang paling hakiki atau paling penting. Pada aspek kedua yang lebih positif, di balik pajanan (exposure) satiris absurditas jalan hidup yang tidak otentik, Teater Absurd berhadapan dengan lapisan yang lebih dalam dari absurditas absurditas kondisi manusia itu sendiri di sebuah dunia di mana runtuhnya keyakinan relijius telah menyingkirkan manusia dari kepastian. Ketika tak lagi mungkin untuk menerima sistem nilai tertutup secara utuh maupun berbagai penyingkapan tujuan ilahi, kehidupan harus dihadapi dalam realitas mutlak yang sebenarnya. Itulah sebabnya, dalam analisis para dramawan Absurd dalam buku ini, kita selalu telah melihat manusia yang terikat berbagai peristiwa kebetulan posisi sosial ataupun konteks historis, dihadapkan dengan pilihan-pilihan dasar, berbagai situasi mendasar eksistensinya: manusia dihadapkan pada waktu dan karenanya harus menunggu, seperti dalam naskah-naskah Beckett atau menunggu antara kelahiran dan kematian dalam naskah-naskah Gelber. Manusia yang lari dari kematian dengan mencapai tempat yang makin tinggi dalam karya-karya Vian atau secara pasrah tenggelam dalam maut dalam naskah Buzzati. Manusia memberontak melawan kematian, menghadapinya dan akhirnya menerimanya dalam Teuer Sans Gages karya

Ionesco. Manusia yang terjebak dalam dunia khayal, cermin memantulkan cermin, dan selamanya menyembunyikan realitas pada naskah-naskah Genet. Manusia yang berusaha memantapkan kedudukannya, atau membebaskan dirinya, hanya untuk mengetahui bahwa dia berada di penjara baru, dalam parabel-parabel Pedrolo. Manusia yang berusaha mengawasi sebuah tempat sederhana bagi dirinya di tengah kedinginan dan kegelapan yang menyelimutinya dalam naskah-naskah Pinter. Manusia yang sia-sia berusaha memahami aturan moral yang selamanya di luar jangkauan pemahaman dalam karya-karya Arrabal. Manusia yang terjebak dalam dilema tak terlerai di mana usaha yang keras menggiring pada hasil yang sama dengan sikap pasif kesia-siaan penuh dan kemutlakan sang maut pada karya awal Adamov. Manusia yang selamanya kesepian, terkurung dalam penjara subyektifitasnya, tidak mampu menjangkau kawannya, dalam sebagian besar naskah-naskah drama tersebut. Yang sama-sama menjadi perhatian seperti halnya realitas mutlak kondisi manusia, berbagai persoalan kehidupan dan kematian, isolasi dan komunikasi, yang relatif mendasar, Teater Absurd betapapun tampaknya aneh, cuek dan tidak nyambung, sebenarnya merepresentasikan suatu titik balik menju fungsi teater yang orisinil dan relijius konfrontasi manusia dengan dunia mitos dan realitas relijius. Seperti halnya tragedi Yunani kuno dan naskah-naskah misteri abad pertengahan maupun alegorialegori barok, Teater Absurd bermaksud membuat penontonnya sadar akan posisi manusia yang genting dan misterius di alam semesta ini. Perbedaannya adalah bahwa dalam tragedi Yunani kuno maupun komedinya dan juga naskah misteri abad pertengahan serta auto sacramental barok, realitas mutlak pada umumnya diketahui dan diterima secara universal sebagai sistem metafisika, sedangkan Teater Absurd mengekspresikan tiadanya sistem nilai kosmis yang diterima secara umum. Maka dari itu, secara jauh lebih sederhana, Teater Absurd tidak berpretensi menjelaskan cara-cara Tuhan kepada manusia. Dalam kecemasan atau cemoohan, Teater Absurd hanya bisa menyajikan intuisi individu manusia akan realitas mutlak sebagaimana yang dialaminya; buah dari masuknya manusia ke kedalaman pribadinya, mimpi-mimpinya, fantasi-fantasinya maupun mimpi-mimpi buruknya. Kendati usaha-usaha terdahulu untuk menghadapkan manusia dengan realitas mutlak kondisinya memproyeksikan suatu versi kebenaran yang koheren dan diketahui secara umum, Teater Absurd hanya mengkomunikasikan intuisi paling akrab dan paling pribadi seorang penyair akan situasi manusia, rasa kediriannya sendiri, visi individunya mengenai dunia ini. Inilah yang menjadi pokok persoalan Teater Absurd, dan ini sekaligus menentukan bentuknya, yang harusnya, karena memang keharusan, merepresentasikan suatu konvensi panggung yang pada dasarnya berbeda dari teater `realis jaman kita. Karena Teater Absurd tidak bermaksud menyampaikan informasi atau menyajikan berbagai persoalan atau takdir tokoh-tokohnya yang ada di luar dunia batin sang penulis, maka Teater Absurd juga tidak berurusan dengan representasi berbagai peristiwa, narasi nasib atau petualangan para tokoh, tapi lebih pada usaha menghadirkan situasi dasar individu. Ini adalah sebuah teater situasi melawan sebuah teater peristiwa secara berangkai, dan karenanya memanfaatkan bahasa yang didasarkan pada pola-pola gambaran konkret dan bukannya pada argumen dan tuturan diskursif. Dan karena teater

ini berusaha menghadirkan suatu rasa kedirian, maka teater ini tidak bisa melakukan penyelidikan persoalan perilaku atau moral. Karena Teater Absurd memproyeksikan dunia pribadi penulisnya, maka secara obyektif tidak memiliki tokoh-tokoh yang valid. Teater ini tidak bisa menunjukkan pertentangan antara sifat-sifat yang berbeda atau mempelajari hasrat manusia yang terjebak dalam konflik, dan karenanya tidak dramatis dalam pengertian umum. Teater ini juga tidak bermaksud mengisahkan sebuah cerita untuk menyampaikan hikmah moral atau sosial, karena itu adalah tujuan teater `epik naratifnya Brecht. Lakuan dalam sebuah drama Teater Absurd tidaklah dimaksudkan untuk bercerita tapi untuk menyampaikan suatu pola citraan puitik. Salah satu contohnya adalah: berbagai hal terjadi dalam Waiting for Godot tapi peristiwa-peristiwa ini tidak membangun sebuah cerita atau alur. Peristiwaperistiwa itu merupakan suatu gambaran tentang intuisi Beckett bahwa tidak ada yang benar-benar terjadi dalam eksistensi manusia. Seluruh permainan drama ini adalah suatu gambaran puitik yang kompleks yang terdiri atas suatu pola gambaran maupun tema tambahan yang rumit, yang terjalin seperti tema-tema komposisi musik, seperti kebanyakan naskah-naskah konvensional, bukannya menyajikan suatu garis perkembangan, tapi untuk menciptakan kesan kompleks dan menyeluruh dalam pikiran penontonnya mengenai suatu situasi mendasar dan statis. Dalam hal ini, Teater Absurd dapat dianalogkan dengan puisi seorang Simbolis atau Imajis, yang juga menghadirkan suatu pola gambaran dan asosiasi dalam struktur yang saling bergantungan. Kendati teater epik Brechtian berusaha memperluas rentang drama dengan memperkenalkan unsur-unsur epik naratif, Teater Absurd bertujuan pada konsentrasi juga kedalaman dalam suatu pola yang pada hakikatnya liris dan puitik. Sudah barang tentu, unsur-unsur dramatik, naratif dan liris ada dalam semua drama. Teater Brecht sendiri, seperti halnya teater Shakespeare, berisi sisipan-sisipan liris dalam bentuk lagulagu; bahkan yang sangat didaktik seperti Ibsen dan Shaw pun penuh dengan momenmomen yang amat puitik. Namun demikian, Teater Absurd, dengan menangguhkan psikologi, kehalusan karakterisasi maupun alur dalam pengertian konvensional, memberikan penekanan besar pada unsur puitik. Meskipun drama dengan alur linier menggambarkan perkembangan seiring waktu, dalam sebuah bentuk dramatik yang menghadirkan suatu citraan puitik konkret perluasan drama itu seiring waktu sematamata kebetulan belaka. Dengan mengekspresikan intuisi yang mendalam, hendaknya ia dipahami dalam momen tunggal, dan hanya karena secara fisik mustahil untuk menghadirkan citraan yang sedemikian kompleks secara singkat, maka harus disebar selama jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, struktur formal naskah semacam ini semata-mata merupakan alat untuk mengekspresikan citraan total yang kompleks dengan cara menyingkapnya dalam suatu rangkaian unsur yang saling berinteraksi. Usaha untuk mengkomunikasikan suatu rasa kedirian yang utuh merupakan suatu usaha untuk menghadirkan gambaran yang lebih sejati menganai realitas itu sendiri, sebagaimana dipahami oleh seorang individu. Teater Absurd merupakan mata rantai terakhir perkembangan yang dimulai dengan naturalisme. Keyakinan Platonis idealis dalam hakikat yang tak berubah-ubah bentuk-bentuk ideal yang merupakan tugas seniman untuk menghadirkan keadaan yang lebih murni dibandingkan dengan yang bisa mereka jumpai secara alami yang dihancurkan dalam filsafat Locke maupun Kant, yang mendasarkan realitas pada persepsi dan struktur batin pikiran manusia. Maka seni

semata-mata menjadi peniruan alam luar. Sekalipun demikian, peniruan pada tingkat permukaan ternyata tidak memuaskan dan tak ayal lagi menggiring ke tahap berikutnya eksplorasi realitas pikiran. Ibsen dan Strindberg menjadi contoh perkembangan selama rentang waktu eskplorasi realitas sepanjang hayat mereka sendiri. James Joyce memulai dengan kisah-kisah yang sangat realistis dan mengakhiri denagn struktur yang amat kompleks dalam Finnegans Wake. Karya para dramawan Absurd meneruskan perkembangan yang sama. Setiap naskah merupakan jawaban atas pertanyaanpertanyaan Bagaimana perasaan individu ketika dihadapkan pada situasi manusia? Suasana batin mendasar bagaimana ketika dia menghadapi dunia? Bagaimana rasanya menjadi dia? Jawaban adalah sebuah citraan puitik tunggal dan menyeluruh tapi kompleks sekaligus kontradiktif sebuah drama atau serangkaian citraan semacam itu yang saling melengkapi uvre sang dramawan. Dalam memahami dunia kapan saja, secara bersamaan kita menerima seluruh kompleksitas persepsi dan perasaan yang berbeda-beda. Kita hanya bisa berkomunikasi dengan visi instan ini dengan cara menjabarkannya menjadi unsur-unsur yang berbeda yang kemudian dapat dibangun menjadi suatu rangkaian dalam waktu, dalam sebuah kalimat atau serangkaian kalimat. Untuk mengubah persepsi kita menjadi pengertianpengertian konseptual, ke dalam pikiran logis maupun bahasa, maka kita melakukan suatu operasi yang bersifat analogis dengan sistem operasi scanner yang menganalisis gambar di sebuah kamera televisi menjadi deretan-deretan impuls tunggal. Citraan puitik, dengan segala ambiguitas dan dorongan simultan berbagai unsur rasa asosiasinya, betapapun tidak sempurnanya, merupakan salah satu metode di mana kita dapat mengkomunikasikan realitas intuisi kita mengenai dunia ini. Filsuf Jerman yang sangat eksentrik, Ludwig Klages yang nyaris sama sekali tidak dikenal, dan betapa tak adilnya yang demikian itu, di negara-negara penutur bahasa Inggris telah merumuskan suatu psikologi persepsi yang didasarkan pada pemahaman bahwa indera kita menyajikan gambar-gambar (Bilder) kepada kita yang tersusun dari banyak kesan simultan yang pada akhirnya dianalisis dan dicerai beraikan dalam proses penerjemahan ke dalam pemikiran konseptual. Menurut Klages, ini merupakan bagian dari tindakan hina kecerdasan kritis terhadap unsur kreatif pikiran judul magnum opusnya (maha karya) adalah Der Geist als Widersacher der Seele (The Intellect as Antagonist of the Soul; Kecerdasan sebagai Tokoh Antagonis Jiwa) tapi betapapun usahanya untuk mengubah pertentangan ini menjadi suatu pertarungan kosmis antara yang kreatif dan yang analitis disalahartikan, gagasan dasar bahwa pikiran konseptual dan diskursif mengurangi kepenuhan citraan hasil tangkapan yang tak terlukiskan masih tetap sah, sekurang-kurangnya sebagai sebuah ilustrasi persoalan dari apa yang dikomunikasikan dalam imaji puitik. Dalam usaha mengkomunikasikan suatu totalitas persepsi yang mendasar dan tak terurai inilah, suatu intuisi kedirian, kita dapat menemukan suatu kunci menuju devaluasi dan disintegrasi bahasa dalam Teater Absurd. Karena jika itu merupakan penerjemahan intuisi kedirian total menjadi rangkaian pemikiran yang logis dan temporer yang menyingkirkannya dari kompleksitas yang bersih dan kebenaran puitis, ia dapat dipahami sehingga sang seniman harus berusaha mencari berbagai macam cara untuk menghindari pengaruh tuturan dan logika diskursif ini. Di sini lah letak perbedaan utama antara puisi dan prosa: puisi bersifat ambigu dan asosiatif, berusaha menaksir

bahasa musik yang sama sekali tidak konseptual. Teater Absurd, dalam melakukan usaha puitik yang sama untuk membawanya ke dalam imaji konkret panggung, bisa lebih jauh dari puisi murni dalam hal melepaskan logika, pemikiran diskursif, dan bahasa. Panggung adalah sebuah wahana multidimensional. Ia memberi ruang bagi pemanafaatan berbagai unsur visual, gerak, cahaya maupun bahasa secara bersamaan. Oleh karena itu, panggung sangat cocok dengan komunikasi gambaran-gambaran kompleks yang berupa interaksi kontrapuntal dari semua unsur tersebut. Dalam teater `literer, bahasa masih menjadi unsur yang dominan. Dalam teater sirkus anti-literer atau music hall, bahasa direduksi perannya menjadi amat subordinat. Teater Absurd telah mendapatkan kebebasannya kembali dalam memanfaatkan bahasa kadang-kadang dominan, kadang-kadang ditenggelamkan hanya sebagai salah satu unsur imaji puisi multidimensional. Dengan menempatkan bahasa dari sebuah adegan secara kontras dengan lakuannya, dengan mereduksinya menjadi ucapan tanpa makna, atau dengan menangguhkan logika diskursifnya demi logika puitik asosiasi atau asonansi, Teater Absurd telah membuka suatu dimensi baru dalam dunia panggung. Dengan devaluasi bahasanya, Teater Absurd cukup selaras dengan kecenderungan jaman kita. Sebagaimana telah disampaikan oleh George Steiner dalam dua kali program dialog di radio dengan judul The Retreat from the Word, devaluasi bahasa bersifat khas bukan hanya pada perkembangan puisi kontemporer atau pemikiran filosofis, tapi lebih dari itu, pada matematika modern dan ilmu-ilmu alam. Tidaklah bersifat paradoks jika ditegaskan, kata Steiner, bahwa kebanyakan realitas sekarang memulakan bahasa luar1 ....Banyak wilayah pengalaman bermakna yang kini menjadi milik bahasa-bahasa non verbal seperti rumus matematika dan simbolisme logis. Bidang-bidang lain merupakan bagian dari anti-bahasa seperti praktik tanpa tujuan atau musik tak bernada. Dunia kata telah menyusut. Selain itu, penangguhan bahasa sebagai alat notasi terbaik dalam bidang matematika maupun logika simbolis selaras dengan reduksi nyata pada keyakinan umum akan manfaat praktisnya. Bahasa makin sering berkontradiksi dengan realitas. Berbagai kecenderungan pemikiran yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap pemikiran populer semuanya menunjukkan kecenderungan ini. Ambillah contoh Marxisme. Di dalamnya ada suatu pemilihan antara relasirelasi sosial nyata dengan realitas sosial yang ada di baliknya. Secara obyektif, seorang majikan dipandang sebagai pengeksploitasi sehingga dianggap musuh kelas pekerja. Maka, jika seorang majikan mengatakan kepada seorang pekerja, Aku bersimpati pada pandangan kamu, dia sendiri mungkin meyakini bahwa yang dia katakan itu obyektif, tapi tetap saja tidak ada artinya. Betapapun dia berusaha menegaskan rasa simpatinya kepada sang pekerja, dia tetap saja menjadi musuhnya. Di sini bahasa masuk ke dalam dunia subyektif murni, karenanya tidak memiliki realitas obyektif. Hal yang sama berlaku pada psikologi dalam modern (modern depth psychology) dan psikoanalisis. Dewasa ini setiap anak mengetahui bahwa ada kesenjangan besar antara apa yang dipikirkan secara sadar dan apa yang dinyatakan dan realitas psikologis di balik kata-kata yang terucap. Seorang anak laki-laki yang mengatakan kepada ayahnya bahwa dia mencintai dan menghormatinya secara obyektif terikat pada kenyataan bahwa dia memiliki kebencian Oedipal kepada ayahnya.

Mungkin saja dia tidak menyadarinya, tapi sebenarnya yang ingin dia katakan adalah hal sebaliknya. Dan alam bawah sadar memiliki kandungan realitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ucapan alam sadar. Relativisasi, devaluasi dan kritik bahasa juga merupakan kecenderungan umum dalam filsafat kontemporer, sebagaimana dijabarkan melalui keyakinan Wittgenstein pada fase terakhir pemikirannya, bahwa sang filsuf harus berusaha melepaskan pikiran dari berbagai aturan dan kaidah tata bahasa, yang secara salah kaprah dianggap sebagai kaidah logika. Sebuah gambar membuat kita terperangkap. Dan kita tidak bisa keluar dari sana karena ia berada dalam bahasa kita, dan bahasa secara tak terelakkan mengulanginya buat kita. ... Lantas dari mana arti pentingnya penyelidikan kita, karena tanpaknya hanya menghancurkan segala sesuatu yang menarik; yaitu semua yang hebat dan penting? (Sebagaimana adanya dahulu, seluruh bangunan, hanya menyisakan batuan dan puing-puin). Yang kita hancurkan tak lain dan tak bukan adalah rumah-rumah kartu, dan kita tengah membersihkan landasan bahasa yang menjadi tempat berdirinya.1 Melalui kritik bahasa yang kaku, para pengikut Wittgenstein telah menyatakan banyak kategori pernyataan yang tidak memiliki makna obyektif. `Permainan kata Wittgenstein banyak memiliki kesamaan dengan Teater Absurd. Yang lebih penting lagi dibandingkan kecenderungan-kecenderungan itu dalam pemikiran Marxis, psikologi maupun filsafat adalah jaman dalam dunia keseharian orang di jalanan. Menghadapi serangan yang amat cerewet dan tiada hentinya dari media massa, pers dan iklan, orang di jalanan menjadi semakin skeptis terhadap bahasa yang menjadi alat pajanannya. Para warga negara di negeri-negeri totaliter sepenuhnya sadar bahwa apa yang disampaikan kepada mereka adalah pembicaraan ganda, tidak memiliki makna sebenarnya. Mereka jadi terbiasa membaca apa yang tersirat; artinya menebak realitas yang tersembunyi dan bukannya yang tersingkap dari bahasa. Di Barat, eufimisme dan sirkumlokusi (penghamburan kata) mengisi pers dan menggema dari mimbar-mimbar. Dan iklan, yang selalu memanfaatkan bentuk-bentuk superlatif, telah berhasil mendevaluasi bahasa sampai pada suatu titik dimana ada suatu dalil yang diterima secara umum bahwa sebagian besar kata-kata yang kita saksikan di papanpapan iklan atau halaman-halaman berwarna majalah tidaklah bermakna, sama halnya dengan jingle-jingle iklan televisi. Sebuah jurang menganga telah terbuka antara bahasa dan realitas. Terlepas dari devaluasi bahasa pada umumnya dalam banjir komunikasi massa, semakin berkembangnya spesialisasi kehidupan telah memungkinkan terjadinya pertukaran berbagai gagasan tentang banyak hal di antara para anggota berbagai bidang kehidupan yang masing-masing mengembangkan istilah khususnya sendiri. Sebagaimana dikatakan Ionesco, yang meringkas sekaligus memperluas pandanganpandangan Artaud: Karena pengetahuan kita jadi terpisah dari kehidupan, maka kebudayaan kita

tak lagi memuat diri kita sendiri (atau hanya bagian tak penting dari diri kita sendiri) karena ia membentuk sebuah konteks `sosial yang kita tidak masuk di dalamnya. Maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana caranya membawa kembali kehidupan kita agar menjalin hubungan dengan kebudayaan kita, membuatnya sekali lagi menjadi sebuah kebudayaan yang terus hidup. Untuk mencapai hal ini, pertama-tama kita harus membunuh `rasa hormat atas apa yang tertulis hitam di atas putih ...menjabarkan bahasa kita sehingga dapat dikumpulkan kembali bersama-sama untuk membangun hubungan lagi dengan `yang absolut, atau saya lebih suka mengatakan `dengan realitas yang bermacam-macam. Adalah keharusan untuk `mendorong manusia agar memandang diri mereka sendiri sebagaimana adanya.1 Itulah sebabnya komunikasi antar manusia amat kerap ditunjukkan dalam keadaan terputus dalam Teater Absurd. Itu semata-mata merupakan pembesaran satiris atas keadaan yang sedang berlangsung. Bahasa telah melakukan pemberontakan pada jaman komunikasi massa. Ia harus direduksi ke fungsi yang seharusnya ekspresi kandungan otentik dan bukannya penyembunyian. Namun ini hanya mungkin jika rasa hormat manusia terhadap kata-kata yang terucap maupun tertulis sebagai sarana komunikasi dipulihkan, dan klise-klise kaku yang mendominasi pemikiran (seperti yang ada dalam limerik-limerik Edward Lear atau dunia Humpty Dumpty) diganti dengan bahasa hidup yang melayani fungsinya. Dan pada gilirannya, hal ini hanya dapat dicapai jika batasanbatasan logika maupun bahasa diskursif diakui dan dihormati, dan pemanfaatan bahasa puitik juga dihargai. Sarana-sarana yang digunakan oleh para dramawan Teater Absurd untuk mengungkapkan kritik mereka sebagian besar bersifat instingtif dan tidak disengaja mengenai masyarakat kita yang tercerai berai didasarkan pada menyodorkan secara tiba-tiba kepada penonton gambaran terdistorsi dan sangat aneh mengenai sebuah dunia yang sudah gila. Ini adalah sebuah shock therapy yang secara teoritis mencapai apa yang didalilkan dalam doktrin Brecht sebagai `efek alienasi, tapi gagal dicapai dalam tataran praktisnya hambatan identifikasi penonton terhadap tokoh-tokoh yang ada di atas panggung (yang merupakan metode kuno dan sangat efektif dalam teater tradisional) dan penggantiannya dengan sikap kritis dan tidak memihak. Jika kita mengidentifikasi diri kita dengan tokoh utama dalam sebuah drama, maka secara otomatis kita menerima sudut pandangnya, memandang dunia tempat dia bergerak dari kacamatanya, merasakan emosi-emosinya. Dari sudut pandang teater Sosialis didaktik, Brecht berpendapat bahwa keterkaitan psikologis penghargaan waktu antara aktor dan penonton ini haruslah dipatahkan. Bagaimana bisa seorang penonton disuruh melihat berbagai lakuan tokoh-tokoh dalam sebuah drama secara kritis jika mereka harus menggunakan sudut pandang tokoh-tokoh itu? Maka dari itu, Brecht, pada periode Marxisnya, berusaha memperkenalkan sejumlah perangkat yang dirancang untuk menghapus mantra ini (konvensi ini). Sekalipun demikian, dia tidak pernah sepenuhnya berhasil mencapai tujuannya. Kendati diberi lagu-lagu, slogan-slogan, latar non representasional dan sarana-sarana penghalang lainnya, penonton masih saja terus mengindentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang digambarkan secara cerdas oleh Brecht dan karenanya kerapkali cenderung kehilangan sikap kritis yang ingin dibangun

oleh Brecht pada mereka. Sihir kuno teater terlalu kuat. Tarikan menuju identifikasi, yang lahir dari suatu karakteristik dasar psikologis manusia, masih terlalu besar. Jika kita menyaksikan Ibu Bumi sedang meratapi putranya, kita tidak bisa menghindar dari ikut merasakan penderitaannya dan karenanya tidak mampu mengutuknya karena penerimaannya atas perang sebagai sebuah urusan, yang tak pelak lagi akan menggiring pada kehilangan anak-anaknya. Semakin bagus perwatakan manusia dibangun di atas panggung, maka proses identifikasi pun semakin tak terelakkan pula. Di lain pihak, dalam Teater Absurd penonton dihadapkan pada tokoh-tokoh yang motif maupun lakuannya sebagian besar tak dapat dipahami. Dengan tokoh-tokoh yang demikian itu, nyaris tidak mungkin untuk melakukan identifikasi. Semakin misterius lakuan dan sifat mereka, semakin tidak seperti manusia pula mereka jadinya, sehingga semakin sukar pula memandang dunia dari sudut pandang mereka. Tokoh-tokoh yang tidak mampu diidentifikasi penonton tak pelak lagi menjadi bersifat komik. Jika kita mengidentifikasikan diri dengan tokoh farce yang celananya melorot, maka kita akan merasa malu dan terlecehkan. Namun demikian, jika kecenderungan kita untuk melakukan identifikasi dihalangi dengan cara menciptakan tokoh yang aneh, maka kita akan mentertawakan berbagai kesukaran yang dialami tokoh itu. Kita melihat apa yang terjadi padanya dari luar, bukan dari sudut pandangnya. Karena motif-motifnya tidak terpahami, dan sifat lakuan tokoh-tokoh dalam Teater Absurd yang seringkali tidak dapat dijelaskan dan misterius secara efektif menghalangi identifikasi, maka teater semacam ini menjadi teater komik kendati sebenarnya persoalan yang diangkat menyedihkan, keras dan getir. Itulah sebabnya Teater Absurd mentransendensikan kategori komedi dan tragedi, sekaligus memadukan antara tawa dan kengerian. Akan tetapi, secara alami Teater Absurd tidak bisa membangkitkan sikap serius kritik sosial tidak memihak yang menjadi tujuan Brecht. Teater Absurd tidak menghadirkan fakta-fakta sosial maupun contoh-contoh perilaku politik kepada penontonnya. Ia menghadirkan kepada penontonnya sebuah dunia yang tercerai berai yang telah kehilangan prinsip penyatuannya, maknanya dan tujuannya sebuah dunia yang absurd. Apa yang dilakukan oleh penonton terhadap konfrontasi membingungkan dengan dunia yang benar-benar teralienasi, yang telah kehilangan prinsip rasionalnya, yang dalam arti harfiah sudah gila ini? Di sini kita berhadapan langsung dengan masalah pokok efek, keunggulan dan validitas estetis Teater Absurd. Sudah menjadi bukti empiris bahwa naskah-naskah terbaik Teater Absurd, yang menolak semua kaidah drama yang diterima selama ini memang cukup efektif sebagai teater maka konvensi Teater Absurd berjalan dengan baik. Tapi bagaimana hal itu bisa berfungsi? Dalam takaran tertentu, jawaban yang sudah diberikan adalah penjelasan terdahulu mengenai ciri efek-efek komis dan farsial. Kemalangan para tokohnya yang kita pandang dengan kacamata yang dingin, kritis dan tanpa identifikasi adalah menggelikan. Tokoh-tokoh pandir yang berakting gila-gilaan selalu saja menjadi bahan ejekan di sirkus, music hall dan teater. Namun biasanya tokoh-tokoh lucu semacam ini hadir dalam kerangka rasional dan diciptakan oleh tokoh-tokoh positif yang bisa diidentifikasi oleh penonton. Dalam Teater Absurd, seluruh lakuan yang bersifat misterius, tanpa motivasi, dan pada mulanya tampak seperti omong kosong. Efek alienasi dalam teater Brechtian dimaksudkan untuk membangkitkan sikap

intelektual kritis penonton. Teater Absurd berbicara kepada lapis yang lebih dalam dari pikiran manusia. Ia mengaktifkan kekuatan-kekuatan psikologis, melepaskan dan membebaskan ketakutan-ketakutan tersembunyi maupun agresi-agresi yang ditindas, dan lebih dari itu semua, dengan menghadapkan penontonnya pada suatu gambaran disintegrasi, maka teater Brechtian menggerakkan suatu proses aktif dari berbagai kekuatan terpadu dalam pikiran setiap individu penonton. Eva Metman menulis dalam sebuah esai yang luar biasa tentang Brecht: Pada masa-masa pengekangan relijius, [seni drama] telah menampilkan manusia sebagai yang terlindungi, ditunjuki dan kadang dihukum oleh kekuatan-kekuatan [arketipal], namun dalam epos-epos lain ia telah menampilkan dunia sementara yang kasat mata, di mana manusia memenuhi takdirnya, sebagaimana diserap oleh hakikat iblis sebagai mahluk gaib dan abadi. Dalam drama kontemporer, orientasi ketiga yang baru mengkristal, di mana manusia ditampilkan bukan di sebuah dunia di mana kekuatan ilahi dan iblis diproyeksikan, tapi sendirian bersama mereka. Bentuk drama baru ini memaksa penonton melepaskan diri dari orientasi yang biasa. Ia menciptakan sebuah ruang hampa antara drama dan penonton sehingga penonton dipaksa mengalami sesuatu itu dengan sendirinya, entah itu berupa kebangkitan kembali kesadaran akan kekuatan-kekuatan arketipal atau suatu reorientasi ego, atau keduanya...1 Kita tidak perlu menjadi seorang Jungian atau menggunakan kategori-kategori Jungian untuk melihat kekuatan diagnosis ini. Manusia yang dalam kesehariannya berhadapan dengan dunia yang telah terbelah menjadi serangkaian fragmen yang tidak berhubungan dan kehilangan tujuannya, tapi tak lagi sadar akan keadaan ini maupun efek penceraiberaiannya terhadap kepribadian mereka, dihadapkan secara langsung pada representasi alam skizofrenik yang makin memanas. Ruang hampa yang ada di antara apa yang ditampilkan di atas panggung dan penonton tak lagi tertangguhkan sehingga penonton tak punya pilihan lain selain menolak dan memalingkan muka atau terseret ke dalam enigma permainan di mana tak ada sesuatu pun yang mengingatkan dia pada tujuannya maupun reaksinya terhadap dunia di sekitarnya.2 Setelah terseret ke dalam misteri permainan, penonton dipaksa untuk berdamai dengan pengalamannya. Panggung memberikan padanya sejumlah petunjuk yang tercerai-berai yang harus dimasukkan ke dalam suatu pola yang bermakna. Dengan cara seperti ini, maka penonton dipaksa untuk melakukan usaha kreatifnya sendiri, suatu upaya interpretasi dan integrasi. Segala sesuatunya tak lagi menggembirakan. Penonton Teater Absurd dipaksa untuk meluruskan dan bukan sekedar menyaksikan dunia yang telah menjadi absurd, dengan mengakui kenyataan bahwa tahap pertamanya adalah berdamai dengan kenyataan. Kegilaan jaman secara persis terletak pada eksistensi, secara berdampingan, dari sedemikian banyak keyakinan dan sikap yang tak dapat didamaikan misalnya saja moralitas konvensional pada satu sisi, dan nilai-nilai iklan pada sisi yang lain; pernyataan-pernyataan yang bertentangan antara sains dan agama; atau usaha keras dari

10

semua bidang yang dalam kenyataannya masing-masing bermuara pada tujuan khusus yang egois dan sangat picik. Pada setiap halaman surat kabar, orang di jalanan dihadapkan dengan suatu pola nilai yang berbeda dan kontradiktif. Maka tak heran kiranya kalau kesenian pada era semacam ini menujukkan banyak kemiripan dengan gejala-gejala skizofrenia. Tapi bukan senimannya yang mengalami skizofrenia, sebagaimana disampaikan Jung dalam sebuah esai tentang Ulysses karya Joyce: Deskripsi medis skizofrenia hanya menawarkan sebuah analogi, dalam artian bahwa sang penderita skizofrenia jelas memiliki kecenderungan yang sama untuk memperlakukan realitas seolah sesuatu yang asing baginya, atau sebaliknya, mengasingkan dirinya dari realitas. Pada seniman modern, kecenderungan ini tidak disebabkan oleh penyakit apapun pada individu, tapi merupakan suatu manifestasi jaman kita.1 Oleh karena itu, tantangan untuk menalar apa yang tampaknya berupa lakuan yang tak bermakna dan terfragmentasi, pengakuan akan kenyataan bahwa dunia modern telah kehilangan prinsip penyatuannya yang merupakan sumber sifatnya yang membingungkan dan menghancurkan jiwa, lebih dari sekedar sebuah latihan intelektual. Tantangan ini memiliki efek penyembuhan/terapautis. Dalam tragedi Yunani, para penonton dibuat sadar akan kemalangan manusia tapi memiliki pandangan heroik terhadap kekuatan nasib yang tak bisa ditawar-tawar maupun kehendak para dewa -dan ini memiliki efek katarsis terhadap mereka dan membuat mereka mampu menghadapi jamannya secara lebih baik. Dalam Teater Absurd, penonton yang dihadapkan pada kegilaan kondisi manusia, sehingga mampu memandang situasinya dengan segala kepedihan dan keputusasaan. Sesudah terbebas dari berbagai ilusi dan secara samar merasakan kengerian dan kecemasan, dia mampu menghadapi situasi ini secara sadar, bukannya mengalaminya secara samar di bawah permukaan eufimisme dan berbagai ilusi optimis. Dengan mengetahui kecemasan-kecemasannya diformulasikan, maka dia bisa membebaskan diri dari kecemasan-kecemasan itu. Ini merupakan ciri semua humor tiang gantungan (gallows humour) dan humour noir sastra dunia, dimana Teater Absurd merupakan contoh terkininya. Kegelisahan yang disebabkan oleh adanya ilusi-ilusi yang jelas tidak selaras dengan realitas inilah yang dilenyapkan dan dilepaskan melalui tawa membebaskan dengan mengakui absurditas mendasar dunia ini. Semakin besar kecemasan dan dorongan untuk bermain-main dengan ilusi, semakin menguntungkan pula efek terapautis ini sehingga membuahkan keberhasilan pementasan Waiting for Godot di penjara San Quentin. Adalah suatu kelegaan tersendiri bagi para tahanan untuk mengakui situasi tragikomik para gelandangan akan kesia-siaan penantian mereka akan sebuah keajaiban. Mereka bisa menertawakan para gelandangan itu dan juga diri mereka sendiri. Karena realitas yang ada di Teater Absurd adalah suatu realitas psikologis yang dieskpresikan dalam citraan-citraan yang merupakan proyeksi keluar dari keadaan pikiran, ketakutan, mimpi, mimpi buruk dan berbagai konflik dalam kepribadian penulisnya, maka tegangan dramatik yang dihasilkan oleh drama semacam ini pada dasarnya berbeda dengan tegangan yang diciptakan oleh teater. Perhatian utamanya pada pengungkapan tokoh-tokoh obyektif melalui penyingkapan suatu alur cerita. Pola

11

paparan, konflik dan solusi akhir mencerminkan suatu pandangan tentang sebuah dunia yang memungkinkan adanya solusi. Suatu pandangan yang didasarkan pada suatu pola yang diketahui dan diterima secara umum atas realitas obyektif yang dapat dipahami sehingga tujuan eksistensi manusia maupun aturan-aturan yang mengikatnya dapat dideduksi dari sana. Hal ini juga terjadi pada jenis komedi kamar tamu yang sangat ringan. Lakuan berlangsung pada suatu pandangan dunia terbatas secara sengaja bahwa satu-satunya tokoh yang terlibat di dalamnya adalah setiap anak laki-laki mendapatkan gadisnya. Bahkan pada tragedi-tragedi pesimis paling gelap dari teater naturalis atau Ekspresionis sekalipun, ketika layar turun penonton bisa pulang membawa pesan atau filosofi yang dirumuskan dalam benak masing-masing: solusinya mungkin merupakan sebuah solusi yang menyedihkan, tapi toh itu tetap merupakan sebuah kesimpulan yang dirumuskan. Sebagaimana sudah saya sampaikan pada bagian pendahuluan, hal ini juga berlaku pada teaternya Sartre dan Camus, yang didasarkan pada suatu filsafat absurditas eksistensi manusia. Bahkan naskah-naskah seperti Huis Clos (Pintu Tertutup), Le Diable et le Bon Dieu (Lucifer and the Lord; Lucifer dan Tuhan) maupun Caligula memberikan kesempatan kepada penonton untuk pulang dengan membawa pelajaran filosofis yang dirumuskan secara intelektual. Namun demikian, Teater Absurd yang tidak berjalan melalui konsep-konsep intelektual tapi melalui citraan-citraan puitik, tidak mengajukan suatu persoalan intelektual dalam pemaparannya ataupun memberikan solusi yang jelas yang dapat direduksi menjadi sebuah pelajaran atau sebuah dalil. Banyak di antara naskah Teater Absurd yang mempunyai struktur sirkuler, berakhir tepat seperti ketika dimulai. Naskah-naskah lainnya memiliki progresi hanya melalui intensifikasi yang makin membesar dari situasi awal. Teater Absurd menolak gagasan bahwa adalah mungkin untuk memotivasi seluruh perilaku manusia, atau bahwa watak manusia didasarkan pada suatu hakikat yang tidak bisa berubah. Adalah mustahil untuk mendasarkan efeknya pada tegangan yang pada konvensi-konvensi dramatik lainnya berasal dari penantian solusi suatu persamaan dramatik yang didasarkan pada usaha menyelesaikan sebuah persoalan yang jelas-jelas melibatkan kuantitas-kuantitas yang didefinisikan secara gamblang yang diperkenalkan pada adegan-adegan pembuka. Pada kebanyakan konvensi dramatik, penonton terus menerus bertanya pada dirinya sendiri Apa yang akan terjadi selanjutnya? Pada Teater Absurd, penonton dihadapkan dengan lakuan-lakuan yang kurang jelas motivasinya, tokoh-tokoh yang terus menerus berubah, dan seringkali peristiwaperistiwa jelas-jelas berada di luar pengalaman rasional. Di sini penonton juga bisa bertanya Apa yang akan terjadi selanjutnya? Tapi selanjutnya apa saja mungkin terjadi, sehingga jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa dituntaskan menurut kaidah probabilitas biasa yang didasarkan pada motif dan karakterisasi yang akan tetap sepanjang permainan. Pertanyaan yang lebih relevan bukan apa yang akan terjadi kemudian tapi apa yang sedang terjadi? Lakuan dalam permainan itu merepresentasikan apa? Drama ini memang mengandung suatu tegangan dramatik yang berbeda, tapi bukannya kurang valid. Bukannya diberi sebuah solusi, malahan penonton ditantang untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang akan dia sodorkan jika ingin

12

mendekati makna drama tersebut. Seluruh lakuan yang berlangsung, bukan bergerak dari titik A ke titik B seperti pada konvensi dramatik lainnya, namun secara perlahan membangun pola citraan puitik yang kompleks yang ingin diekspresikannya. Tegangan penonton berupa penantian akan tuntasnya pola ini yang akan memberi kesempatan kepadanya untuk memandang gambaran itu secara keseluruhan. Dan hanya ketika gambaran itu sudah dirangkai sesudah layar turun maka dia bisa mulai mengeksplorasi, lebih banyak pada struktur, tekstur dan dampaknya dari pada maknanya. Tentunya masih dapat diperdebatkan bahwa jenis tegangan baru ini merepresentasikan suatu tataran tegangan dramatik yang lebih tinggi dan membangkitkan suatu pengalaman estetis yang lebih memuaskan bagi penontonnya karena sifatnya yang lebih menantang. Sudah barang tentu sifat-sifat puitik drama besar seperti karya Shakespeare, Ibsen dan Chekhov selalu menyodori pola asosiasi dan makna puitik yang sangat kompleks pada para penontonnya. Betatapapun sederhananya motivasi-motivasi yang tampak di permukaan, intuisi mendalam yang menjadi alat penggambaran tokoh-tokoh itu, berbagai wilayah tempat berlangsungnya lakuan, sifat kompleks bahasa yang benar-benar puitik berpadu dalam sebuah pola yang mentransendesikan upaya apapun dengan suatu pemahaman sederhana dan rasional mengenai lakuan atau solusinya. Tegangan pada sebuah naskah seperti Hamlet atau The Three Sisters terletak bukan pada suatu harap-harap cemas bagaimana drama itu akan berakhir. Kebaruan yang kekal dan kekuatan terletak pada sifat puitik yang tiada habisnya dan gambaran ambigu kondisi manusia yang tak terbatas yang dihadirkannya. Dalam sebuah drama seperti Hamlet, kita benar-benar mengajukan pertanyaan, Apa yang sedang terjadi? Dan jelas jawabannya bukan hanya konflik dinasti atau serangkaian pembunuhan dan pertarungan dengan pedang. Kita dihadapkan pada suatu proyeksi realitas psikologis dan arketipe-arketipe manusia yang tersembunyi dalam misteri nan abadi. Unsur inilah yang oleh Teater Absurd berusaha dijadikan sebagai inti konvensi dramatiknya (tanpa mengklaim telah mencapai puncak yang telah dicapai oleh para dramawan besar melalui intuisi dan kekayaan daya kreatif mereka). Jika dalam usahanya melacak tradisi yang merupakan bagiannya Ionesco menghadirkan adeganadegan kesendirian dan degradasi Richard II, karena itu semua merupakan gambaran yang sangat puitis tentang kondisi manusia: Semua manusia mati dalam kesunyian; seluruh nilai terdegradasi dalam kemalangan: itulah yang ingin disampaikan Shakespeare kepada saya...Mungkin Shakespeare ingin menghubungkan kisah Richard II: seandainya dia hanya menceritakan hal itu, cerita tentang manusia yang lain, mungkin tidak akan membuat saya tergerak. Akan tetapi penjara Richard II bukanlah sebuah kebenaran yang dijemput oleh arus sejarah. Dinding-dindingnya yang gaib masih berdiri tegak, sedangkan begitu banyak filsafat, begitu banyak ideologi yang sudah tumbang untuk selamanya. Semua ini bertahan dikarenakan bahasa ini adalah bahasa bukti yang hidup, dan bukannya bahasa pemikiran diskursif maupun demonstratif. Teaterlah yang memberikan kehadiran abadi dan hidup ini. Tak pelak lagi, hal ini sesuai dengan struktur hakiki kebenaran tragis realitas panggung...Ini adalah persoalan arketipe-

13

arketipe teater, hakikat teater, bahasa teater.1 Bahasa citraan-citraan panggung inilah yang mewujudkan suatu kebenaran yang menembus batas kekuatan pemikiran diskursif semata di mana Teater Absurd berada di pusat upaya untuk membangun sebuah konvensi dramatik baru, membawahi seluruh unsur seni panggung lainnya. Namun jika Teater Absurd memusatkan perhatian pada kekuatan imaji panggung, pada proyeksi visi tentang dunia yang dibangkitkan dari kedalaman alam bawah sadar; jika Teater Absurd mengabaikan bahan-bahan teater yang diukur secara rasional pengolahan alur yang sangat halus dan kontra alur naskah konvensional, imitasi realitas yang bisa diukur berlawanan dengan realitas itu sendiri, motivasi cerdas dari tokohnya lantas bagaimana mungkin Teater Absurd dinilai melalui analisis rasional, bagaimana mungkin ia tunduk pada kritik melalui standar-standar sah secara obyektif? Jika ia semata-mata merupakan sebuah ekspresi subyektif murni visi maupun emosi penulisnya, bagaimana khalayak bisa membedakan karya seni murni yang dirasa amat dalam dengan yang hanya pura-pura? Itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan usang yang diajukan pada setiap fase perkembangan sastra dan seni modern. Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar relevan. Sudah jelas bagi siapa saja yang telah mengetahui berbagai upaya sadar para kritikus profesional sepakat untuk mengurusi karya-karya dengan konvensi baru ini. Para kritikus seni melewatkan sifat `keindahan klasik dari lukisan-lukisan Picasso yang lebih muram maupun para kritikus drama yang mengabaikan Ionesco atau Beckett. Para kritikus tersebut mengabaikannya dikarenakan tokoh-tokoh mereka kurang menyerupai yang sebenarnya atau karena melanggar kaidah-kaidah perilaku sopan yang diharapkan ada pada komedi ruang tamu. Tapi kesenian memang bersifat subyektif dan standar-standar yang digunakan oleh para kritikus untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan selalu dilakukan secara a posteriori dari sebuah analisis karya-karya yang diterima dan terbukti berhasil secara empiris. Pada kasus sebuah fenomena seperti Teater Absurd, yang bukan merupakan hasil dari usaha sadar dari sebuah program yang dilakukan secara kolektif ataupun sebuah teori (sebagaimana gerakan Romantik misalnya) tapi dari respon tak direncanakan oleh sejumlah penulis secara mandiri terhadap berbagai kecenderungan yang ada pada gerakan pemikiran umum pada masa transisi, maka kita harus menganalisis karya-karya mereka sendiri maupun berbagai bentuk pemikiran yang mereka ungkapkan, untuk memperoleh suatu gambaran akan tujuan artistik mereka. Dan setelah kita mendapatkan suatu gagasan yang gamblang mengenai kecenderungan umum dan tujuan mereka, maka kita bisa sampai pada suatu penilaian yang benar-benar valid tentang bagaimana mereka menilai apa yang telah mulai mereka kerjakan. Oleh karena itu, jika dalam buku ini telah kami nyatakan bahwa Teater Absurd pada hakikatnya berurusan dengan usaha membangkitkan citraan-citraan puitik konkret yang dirancang untuk mengkomunikasikan rasa kebingungan yang dirasakan penulisnya ketika dihadapkan pada situasi manusia kepada penonton/pembaca, maka kita harus menilai keberhasilan atau kegagalan karya-karya itu berdasarkan kadar keberhasilannya dalam mengkomunikasikan perpaduan antara puisi dan kengerian tragikomik yang

14

aneh. Pada gilirannya, hal ini akan bergantung pada kualitas maupun kekuatan citraancitraan puitik yang ditimbulkan. Bagaimana kita bisa menilai kualitas suatu citraan puitik atau sebuah pola yang kompleks dari citraan-citraan semacam itu? Seperti halnya dalam kritik puisi, tentunya akan senantiasa ada sebuah unsur subyektif berupa selera atau tanggapan personal atas asosiasi-asosiasi tertentu, namun secara keseluruhan masih memungkinkan untuk menerapkan standar-standar obyektif. Standar-standar tersebut didasarkan pada unsurunsur seperti daya sugestif, orisinalitas penemuan dan kebenaran psikologis citraancitraan yang ada. Standar tersebut juga didasarkan pada kedalaman maupun sifat universalnya juga kadar keterampilan penerjemahannya ke dalam bahasa panggung. Superioritas citraan-citraan kompleks seperti para gelandangan yang menunggu Godot, atau membesarnya kursi-kursi dalam mahakarya Ionesco, pada sejumlah kelakar kekanak-kanakan teater Dadais awal sama nyatanya dengan superioritas Four Quartets karya Elliot pada gurauan soal kartu ucapan natal, dan bukti nyata yang sama maupun alasan-alasan yang murni obyektif lebih kompleks, lebih mendalam, lebih cerdas dan temuan yang tahan lama, serta keterampilan yang jauh lebih hebat. Adamov sendiri secara tepat menempatkan sebuah naskah seperti La Professeur Taranne di atas sebuah naskah yang memiliki materi yang sama seperti Le Retrouvailles karena La Professeur Tarrane lahir dari citraan mimpi murni sedangkan naskah satunya hanya dihasilkan secara artifisial. Yang menjadi kriteria di sini adalah kebenaran psikologis, dan bahkan sekalipun kita tidak punya bukti dari penulisnya sendiri sekalipun, kita masih dapat mendeduksi kebenaran psikologis yang lebih besar sehingga berarti juga validitas yang lebih besar pada La Professeur Tarrane dari analisis imaji-imajinya, Naskah ini jelas lebih organis, kurang simetris dan dibangun secara kurang mekanis, jauh lebih pekat dan koheren dibandingkan dengan imaji La Retrouvailles. Batu-batu ujian penilaian semacam ini kedalaman, orisinalitas penemuan, kebenaran psikologis mungkin tidak dapat direduksi ke dalam pengertian-pengertian kuantitatif, tapi bukannya kurang obyektif dibandingkan dengan kriteria-kriteria serupa yang digunakan untuk memilah antara sebuah karya lukis Rembrandt dengan seorang maneris, atau antara puisi Pope dan Settle. Sudah barang tentu ada kriteria-kriteria valid untuk mengukur keberhasilan karya-karya yang masuk dalam kategori Teater Absurd. Kiranya lebih sukar lagi menempatkan karya-karya terbaik dalam konvensi ini ke dalam sebuah hirarki umum seni drama secara keseluruhan, tapi bagaimanapun itu adalah sebuah pekerjaan yang mustahil. Apakah Raphael adalah seorang pelukis yang lebih besar dibandingkan dengan Brueghel, ataukah Mir adalah pelukis yang lebih besar dari Murillo? Kendati sia-sia untuk berdebat, sebagaimana yang sering terjadi ketika membahas lukisan abstrak atau karya-karya Teater Absurd, apakah karya-karya hasil imajinasi yang demikian tampak tidak banyak mengeluarkan keringat itu layak dianggap sebagai karya seni, hanya karena kurang memiliki usaha keras dan ketidakmurnian yang ada dalam sebuah potret kelompok atau naskah konvensional. Kiranya di sini perlu disampaikan beberapa bantahan atas sejumlah miskonsepsi yang menggejala itu. Tidaklah benar jika dikatakan bahwa jauh lebih sukar untuk membangun sebuah alur rasional dari pada menghadirkan imaji irasional pada Teater Absurd. Sama juga tidak benarnya dengan mengatakan bahwa anak kecil pun bisa menggambar sebagus

15

Klee atau Picasso. Ada perbedaan besar antara omong kosong yang valid secara artistik maupun dramatis dengan omong kosong semata. Siapa pun yang pernah berusaha menulis puisi omong kosong atau sebuah naskah omong kosong akan membenarkan pernyataan ini. Ketika membangun sebuah alur realis, seperti ketika melukis seorang model, senantiasa ada realitas itu sendiri dan pengalaman maupun pengamatan penulisnya sendiri yang menjadi landasannya tokoh-tokohnya dia kenal, peristiwaperistiwanya dia saksikan. Di lain pihak, menulis dengan sebuah media yang di dalamnya terdapat kebebasan penuh untuk mencari, membutuhkan kemampuan untuk menciptakan gambaran-gambaran dan situasi-situasi yang tidak ada padanannya dalam kenyataan sekalipun pada saat yang sama, membangun sebuah dunianya sendiri, tanpa logika dan konsistensi yang akan segera dapat diterima oleh penikmatnya. Perpaduan berbagai keganjilan saja hanya akan menghasilkan kedangkalan. Barangsiapa berusaha megerjakan media ini hanya dengan menulis apa saja yang muncul di benaknya akan menemukan bahwa berbagai temuan spontan yang diandaikan tidak pernah punya dasar, bahwa semua itu hanya berisi potongan-potongan tidak koheren dari realitas yang belum dijajarkan menjadi sebuah keutuhan imajinatif yang valid. Contoh-contoh Teater Absurd yang tidak berhasil, seperti halnya juga lukisan-lukisan abstrak yang gagal, biasanya ditandai dengan cara transparan di mana karya-karya itu masih menyisakan jejak potongan-potongan realitas yang menyusunnya. Karya-karya itu belum mengalami perubahan di mana sifat negatif karena kurangnya logika atau kebenaran yang tampak itu diubah menjadi sifat positif sebuah dunia baru yang menciptakan makna imajinatifnya sendiri. Di sini kita mendapatkan salah satu tonggak kebesaran Teater Absurd. Hanya ketika temuannya lahir dari lapis-lapis dalam dari emosi pengalaman yang mendalam, cerminan obsesi, mimpi dan citraan-citraan valid yang sebenarnya berada di alam bawah sadar penulisnya, maka karya seni semacam ini bisa dikatakan memiliki kualitas kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang segera terlihat secara umum, berbeda dengan yang bersifat pribadi semata, validitas yang membedakan antara visi seorang penyair dengan khayalan orang yang mengalami gangguan jiwa. Kualitas kedalaman dan kesatuan visi segera dapat diketahui dan melampaui tipuan. Tidak ada kadar pencapaian teknis maupun kecerdasan semata di sini, sebagaimana halnya juga pada seni atau drama representasional, yang menutupi kemiskinan inti batin karya yang dipertanyakan. Oleh karena itu, menulis sebuah naskah dengan persoalan yang terjalin rapi atau sebuah komedi perilaku yang cerdas mungkin sudah lebih atau membutuhkan kadar ketidakmurnian atau kecerdasan yang lebih tinggi. Di lain pihak, untuk menciptakan suatu citraan puitik yang secara umum valid dari kondisi manusia membutuhkan kedalaman perasaan dan intensitas emosi yang luar biasa, serta kadar visi kreatif murni yang jauh lebih tinggi pendek kata, inspirasi. Sudah menjadi salah kaprah yang vulgar untuk mendasarkan hirarki capaian artistik hanya pada kesulitan atau susah payahnya proses penciptaan. Seandainya tidak sia-sia sedari awal untuk mengatakan dalam pengertian sebuah skala nilai, skala semacam itu hanya bisa didasarkan pada kualitas, validitas universal, kedalaman visi dan wawasan karya itu sendiri, baik itu dihasilkan melalui penantian yang sangat lama atau hanya dari sebuah kilasan inspirasi sesaat saja. Kriteria-kriteria pencapaian Teater Absurd bukan hanya pada kualitas temuan,

16

kompleksitas citraan-citraan puitik yang ditimbulkan maupun keterampilan untuk memadukan dan mempertahankannya, tapi yang lebih penting lagi adalah realitas dan kebenaran visi yang diwadahi oleh citraan-citraan itu. Dikarenakan segala kebebasan penemuannya dan spontanitasnya, Teater Absurd berkaitan dengan mengkomunikasikan suatu pengalaman kedirian, dan dalam melakukannya berusaha untuk benar-benar jujur dan tak kenal rasa takut dalam memaparkan realitas kondisi manusia. Pertimbangan inilah yang memungkinkan untuk menuntaskan kontroversi antara teater `realis dengan Teater Absurd. Secara tepat Kenneth Tynan mengemukakan dalam perdebatannya dengan Ionesco bahwa dia mengharapkan agar yang disampaikan oleh seorang seniman benar adanya. Tapi dengan mengatakan bahwa dia ingin menyampaikan visi pribadinya, maka Ionesco tidak berkontradiksi dengan dalil Tynan tersebut. Ionesco juga berusaha menyampaikan kebenaran kebenaran akan intuisinya tentang kondisi manusia. Eksplorasi yang benar atas suatu realitas batin psikologis bagaimanapun juga tidak bisa dianggap kurang benar dari eksplorasi realitas obyektif luar. Sesungguhnya realitas visi lebih langsung terasa dan lebih dekat dengan inti pengalaman dibandingkan denga uraian apapun tentang sebuah realitas obyektif. Apakah sebuah lukisan bunga matahari karya Van Gogh kurang nyata, kurang benar secara obyektif dibandingkan sebuah foto bunga matahari di dalam sebuah buku ajar ilmu botani? Mungkin dalam pengertian tertentu, tapi tidak pada yang lainnya. Bahkan lukisan van Gogh akan memiliki kadar kebenaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan ilustrasi ilmiah apapun, sekalipun semisal bunga mataharinya van Gogh jumlah kuncupnya keliru. Berbagai realitas visi maupun persepsi sama riilnya dengan realitas-realitas eksternal yang dapat diverifikasi secara kuantitatif. Sebenarnya tidak ada kontradiksi antara apa yang dinyatakan sebagai sebuah teater realitas obyektif dengan teater realitas subyektif. Keduanya sama-sama realitas tapi berhubungan dengan aspek-aspek realitas yang berbeda dalam kompleksitasnya yang luas. Hal ini akan meredakan konflik antara teater yang berorientasi ideolologis politis dengan Teater Absurd yang tampaknya apolitik dan anti-ideologi. Sebuah pice thse, katakanlah begitu, merupakan subyek yang sama pentingnya dengan hukuman kapital yang berusaha menyajikan serangkaian argumen dan situasi untuk menggambarkan kasusnya. Jika situasi-situasi yang dihadirkan memang benar, maka drama itu akan meyakinkan. Jika situasi-situasi itu jelas-jelas dibiaskan dan dimanipulasi, maka drama itu akan gagal. Namun ujian akan kebenaran drama itu pada akhirnya tentu terletak pada kemampuannya menyampaikan kebenaran pengalaman tokoh-tokoh yang terlibat. Maka di sini ujuan akan kebenaran dan realisme pada akhirnya akan bersentuhan dengan realitas batinnya. Betapa pun tepatnya data statistik maupun detil deskriptif naskah drama itu, kebenaran dramatiknya akan terletak pada kemampuan penulisnya menyampaikan rasa takut korban akan maut, realitas kemalangan manusianya. Di sini pula ujian kebenaran akan terletak pada kemampuan kreatif dan imajinasi puitik penulisnya. Dan dengan kriteria inilah kita bisa menilai kebenaran kreasi-kreasi subyektif tetaer yang tidak ada hubungannya dengan realitas sosial. Kontradiksinya bukan terletak pada teater realis dan tidak realis, subyektif dan obyektif, tapi semata-mata pada visi puitik, kebenaran puitik dan realitas imajinatif pada

17

satu sisi, dengan tulisan yang tidak benar secara puitik, tidak berjiwa, mekanis dan kering pada sisi yang lain. Sebuah pice thse yang ditulis oleh seorang penyair besar seperti Brecht sama benarnya dengan sebuah eksplorasi mimpi buruk pribadi seperti dalam Kereta Kencananya Ionesco. Dan secara paradoks sebagian naskah drama yang ditulis Brecht di mana kebenaran puitik penyairnya terbukti lebih kuat dibandingkan dengan tesisnya yang mungkin secara pollitik kurang efektif dibandingkan dengan naskah Ionesco itu, yang benar menyerang absurditas masyarakat dan percakapan borjuis yang sopan. Dalam usahanya mengatasi kemutlakan kondisi manusia bukan dalam pengertian pemahaman intelektual tapi dalam hal menyampaikan suatu kebenaran metafisis melalui sebuah pengalaman hidup, Teater Absurd yang menyentuh sisi relijius. Ada perbedaan besar antara mengetahui/memahami (knowing) sesuatu dalam tataran konseptual dengan mengalaminya sebuah pengalaman yang hidup. Inilah yang menjadi penanda semua agama besar bahwasanya agama-agama itu tidak hanya memiliki segudang pengetahuan yang dapat diajarkan dalam bentuk informasi kosmologis atau aturan-aturan etis tapi juga mengkomunikasikan esensi setumpuk doktrin tersebut dalam wujud imaji puitik ritual yang terus berulang dan hidup. Kehilangan sisi relijius inilah, yang menyentuh kebutuhan batin mendalam pada semua manusia, sehingga keruntuhan agama telah menyisakan kekurangan dalam peradaban kita. Sekurang-kurangnya kita mempunyai suatu perkiraan terhadap sebuah filosofi koheren dalam metode ilmiah, tapi kita tidak mempunyai sarana-sarana untuk menjadikannya sebagai sebuah realitas yang hidup, sebuah fokus kehidupan manusia yang dialami. Itulah sebabnya teater, sebuah tempat di mana manusia berkumpul untuk mengalami wawasan puitik atau artistik, dalam banyak hal menjalankan fungsi sebagai pengganti gereja. Maka dari itu arti penting yang amat sangat dari teater diberikan oleh kredo-kredo totaliter, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan untuk membuat doktrindoktrin itu menjadi sebuah realitas yang dialami dan hidup bagi para pengikutnya. Teater Absurd, sekalipun pada mulanya tampak paradoks, bisa dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengkomunikasikan pengalama metafisis yang ada di balik sikap ilmiah dan pada saat yang sama melengkapinya dengan cara membulatkan pandangan parsial akan dunia yang disajikannya dan mengintegrasikannya dalam visi dunia yang lebih luas beserta misterinya. Karena jika Teater Absurd menghadirkan dunia sebagai tidak bermakna dan kurang memiliki sebuah prinsip yang menyatukan, Teater Absurd hanya melakukannya dalam pengertian filsafat-filsafat yang dipicu dari gagasan bahwa pemikiran manusia bisa mereduksi totalitas alam semesta menjadi sebuah sistem yang utuh, menyatu dan koheren. Hanya dari sudut pandang mereka yang tidak tahan pada dunia yang mustahil diketahui kenapa diciptakan, apa peranan manusia di dalamnya dan perbuatan apa saja yang dikatakan baik dan buruk, bahwasanya sebuah gambaran tentang alam semesta yang tidak memiliki definisi yang jelas, tampaknya tercerabut dari nalar dan kewarasan, dan secara tragis bersifat absurd. Namun demikian, sikap ilmiah modern menolak dalil suatu penjelasan yang sederhana dan sepenuhnya koheren yang harus menerangkan seluruh fenomena, tujuan maupun aturan-aturan moral dunia ini. Dalam memusatkan perhatian pada eksplorasi yang lambat dan menyakitkan atas wilayah realitas terbatas melalui metode coba-coba -- melalui penciptaan, pengujian dan penghapusan berbagai

18

hipotesis sikap ilmiah dengan senang hati menerima pandangan bahwa kita harus bisa hidup bersama perwujudan banyak bidang pengetahuan dan pengalaman yang akan tetap ada untuk jangka waktu lama, bahkan mungkin untuk selamanya, berada di luar jangkauan pengetahuan kita. Tujuan-tujuan akhir itu tidak bisa, dan tidak akan pernah bisa, diketahui. Oleh karena itu, kita harus bisa menerima kenyataan bahwa sebagian besar sistem metafisis, mistis, relijius ataupun filosofis terdahulu berusaha menjelaskan apa yang selamanya tidak dapat dijelaskan. Dari sudut pandang ini, segala keterikatan pada sistem pemikiran yang memberikan, atau bermaksud memberikan penjelasan utuh mengenai dunia ini dan manusia yang ada di dalamnya akan tampak kekanak-kanakan dan tidak matang, suatu pelarian dari realitas menuju ilusi dan penipuan diri. Teater Absurd mengekspresikan kecemasan dan keputusasaan yang berasal dari pengetahuan bahwa manusia diliputi oleh wilayah-wilayah gelap, bahwa dia tidak akan pernah mengetahui sifat dan tujuan sejatinya, dan bahwa tak seorang pun akan memberikannya aturan-aturan perilaku siap pakai. Sebagaimana dikatakan Camus dalam Mite Sisifus: Keniscayaan eksistensi sesosok Tuhan yang memberikan makna pada kehidupan ini menjadi suatu daya tarik yang lebih besar dibandingkan dengan pengetahuan bahwa tanpa dia manusia bisa melakukan kejahatan tanpa ada hukuman. Pilihan antara alternatif-alternatif ini tidaklah sulit. Tapi ternyata tidak ada pilihan, di sanalah kegetiran bermula.1 Namun dengan menghadapi kecemasan dan keputusasaan maupun tiadanya alternatif-alternatif yang terungkap secara ilahiah, maka kecemasan dan keputusasaan dapat diatasi. Rasa kehilangan atas disintegrasi solusi yang mudah dan hilangnya ilusiilusi yang disambut gembira hanya menyisakan kekuatannya ketika pikiran masih condong pada ilusi-ilusi yang dimaksud. Setelah ilusi-ilusi itu menyerah, kita harus menyesuaikan diri kembali dengan situasi dan baru dan menghadapi realitas itu sendiri. Dan karena ilusi-ilusi yang kita alami semakin menyulitkan kita untuk menghadapi realitas, pada akhirnya rasa kehilangan mereka akan terasa menyenangkan. Meminjam kata-kata Demokritus yang sering dikutip Beckett, Tiada yang lebih nyata dari Tiada. Menghadapi batas-batas kondisi manusia tidak hanya sama seperti menghadapi landasan filosofis sikap ilmiah, tapi juga merupakan sebuah pengalaman mistis yang mendalam. Pengalaman yang tak terlukiskan, kehampaan, ketiadaan dengan landasan alam semesta yang memberikan kepuasan pengalaman mistis Timur maupun Kristiani. Karena itu, jika Lao-tzu berkata, Langit dan Bumi lahir dari yang tak bernama, yang dinamai tak lain hanyalah ibu yang mengasuh puluhan ribu makhluk, masing-masing mengasuh bangsanya sendiri,2 maka St.John of the Cross pun berbicara mengenai intuisi jiwa yang sama sekali tidak bisa memahami Tuhan,1 dan Meister Eckhart mengungkapkan pengalaman yang sama dalam kata-katanya, Keilahian itu papa, telanjang dan hampa, seolah tidak begitu; ia belum, tidak akan, tidak ingin, tidak bekerja, tidak mendapat....Keilahian itu hampa seolah tidak begitu.1 Dengan kata lain, dalam menghadapi ketidakberdayaan manusia untuk memahami makna semesta, dalam mengenal transedensi total keilahian, sifat menyeluruh yang lain yang sanggup kita

19

pahami dengan indera, para mistikus agung mengelami suatu rasa kegembiraan dan pembebasan. Kegembiraan ini juga berasal dari pengetahuan bahwa bahasa dan logika kognitif tidak mampu memberikan penilaian adil terhadap sifat mutlak realitas. Maka dari itu, sebuah filosofi mistis mendalam seperti Budhisme Zen mendasarkan dirinya pada penolakan pemikiran konseptual itu sendiri: Pengingkaran realitas berarti penegasan atasnya, Dan penegasan kehampaan berarti pengingkaran atasnya.1 Kebangkitan minat pada Zen di negara-negara Barat belakangan ini merupakan sebuah ekspresi kecenderungan-kecenderungan serupa yang menjelaskan keberhasilan Teater Absurd suatu keasyikan dengan realitas mutlak dan pengakuan bahwa realitas mutlak itu tak terjamah melalui pemikiran konseptual saja. Syahdan, Ionesco dikatakan menggambarkan kesejajaran metode para Buddis Zen dengan dengan metode Teater Absurd,3 dan sebenarnya berbagai metode pengajaran para suhu Zen, pemanfaatan guyonan dan dagelan untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai sifat pencerahan dan penyelesaian berbagai persoalan omong kosong, sangat mirip dengan prosedurprosedur Teater Absurd. Dipandang dari sudut ini, pelucutan bahasa dan logika menghasilkan bagian sikap yang pada hakikatnya mistis menuju ke landasan realitas yang terlalu kompleks sekaligus terlalu menyatu, terlalu berlebihan untuk secara sah diekspresikan melalui berbagai sarana analitis pemikiran sintaksis dan konseptual yang tertata rapi. Sebagaimana para mistikus yang terpaksa menggunakan citraan-citraan puitik, demikian pula halnya dengan Teater Absurd. Namun jika Teater Absurd menyajikan analogianalogi dengan berbagai metode dan imaji mistisme, bagaimana pada saat bersamaan ia bisa dianggap mengekspresikan skeptisme, penolakan yang papa untuk memberikan suatu penjelasan mengenai yang mutlak, yang menjadi ciri sikap ilmiah? Secara sederhana jawabannya adalah bahwa tidak ada kontradiksi antara pengakuan keterbatasan kemampuan manusia untuk memahami seluruh realitas sebagai sistem nilai tunggal dengan pengakuan keesaan yang misterius dan tak terlukiskan, yang berada di luar jangkauan pemahaman rasional, yang pernah dialami, yang memberikan ketentraman pikiran dan kekuatan untuk menghadapi kondisi manusia. Sebenarnya ini seperti dua sisi mata uang pengalaman mistis yang lain yang mutlak dan ketakterlukisan realitas mutlak merupakan padanan puitik relijius bagi pengakuan rasional atas keterbatasan indera maupun kecerdasan manusia, yang mereduksi dia dalam mengeksplorasi dunia secara perlahan-lahan melalui metode coba-coba. Kedua sikap ini pada dasarnya berkontradiksi dengan sistem pemikiran, relijius ataupun ideologis (mis., Marxisme), yang menyatakan memberikan jabwan yang lengkap atas semua pertanyaan tujuan mutlak maupun keseharian. Pada akhirnya, sebuah fenomena seperti Teater Absurd tidak mencerminkan keputusasaan atau titik balik ke arah kekuatan-kekuatan irasional, melainkan justru mengekspresikan usaha manusia modern untuk berdamai dengan dunia yang ditempatinya. Teater Absurd berusaha mengajak manusia modern ini menghadapi kondisi manusia sebagaimana adanya, membebaskan dia dari ilusi-ilusi yang

20

menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri secara terus meneurs dan kekecewaan. Banyak sekali tekanan pada dunia kita yang berusaha membujuk manusia untuk menanggung hilangnya keyakinan dan kepastian moral dengan jalan membiusnya dalam kealpaan melalui hiburan massal, kepuasan materi yang dangkal, penjelasan pura-pura atas realitas, dan ideologi-ideologi murahan. Dan ujung jalan itu terletak pada Dunia Baru Huxley yang berani (diambil dari judul novel Huxley, The Brave New World, pent.) yang berisi robot-robot euforik yang tak berakal. Dewasa ini, ketika kematian dan usia tua semakin tersembunyi di balik eufimisme dan nina bobok bayi, dan kehidupan terancam akan tenggelam dalam konsumsi massa dari vulgaritas mesin hipnotis, kebutuhan untuk menghadapkan manusia pada realitas situasinya lebih besar dari yang sudah-sudah. Karena martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk menghadapi realitas dengan segala ketakbernalarannya. Untuk menerimanya secara bebas, tanpa rasa takut, tanpa ilusi dan mentertawakannya. Itulah sebabnya, dengan berbagai cara mereka yang bersifat individual, biasabiasa dan tidak realis, para dramawan Absurd mengabdikan dirinya.

21

You might also like