You are on page 1of 33

Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam Karena ramainya reaksi atau tanggapan lewat Internet terhadap tulisan Ulil Abshar

Abdalla yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam (Kompas, 18/11/2002), maka website http://perso.clubinternet.fr/kontak/ menjadikan masalah ini sebagai Fokus -nya sekarang. Kalau akhir-akhir ini peristiwa Bom Bali, penahanan Amrozy dan Imam Samudra dll dijadikan fokus website, maka untuk sementara, fokus website ini diarahkan kepada masalah yang sekarang juga menarik perhatian banyak orang ini. Fokus tentang tulisan Ulil Abshara Abdalla ini dilengkapi dengan beraneka-ragam tulisan dalam rubrik Serbaserbi soal Islam . Penyajian fokus tentang tulisan Ulil ini adalah sebagai partisipasi website http://perso.clubinternet.fr/kontak/ dalam mensosialisasikan lebih luas tentang pandangan atau pemahaman terhadap Islam yang dianggap perlu untuk diperbarui. Tukar fikiran yang dicerminkan dalam fokus ini bisa diharapkan sebagai usaha bersama untuk memerangi kepicikan berfikir, dari manapun datangnya, dan meluaskan pandangan kita tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan masalah penting ini. A. Umar Said P.S. Harap baca juga "Serba-serbi soal Islam" *** Duta Masyarakat, 31 Desember 2002 Ulil Dinilai Tak Bersalah SURABAYA Cendekiawan muslim Prof Dr Komarudin Hidayat MA menilai Ulil Abshar Abdalla tidak bersalah terkait dengan tulisannya bertajuk Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam yang dimuat Kompas (18/11) bulan lalu. Selain itu Komarudin juga menyatakan respeknya terhadap pemikiran yang selama ini diusung Ulil, aktivis Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU). Pernyataan ini disampaikan Komarudin seusai menyampaikan ceramah politik di acara Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Hotel Elmi Surabaya, Jumat (27/12) akhir pekan lalu. Secara pribadi saya respek terhadap Ulil. Apa yang ia sampaikan tidak salah, ujar Komarudin. Sayangnya, ketika ditanya tentang fatwa mati bagi Ulil yang dikeluarkan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) belum lama ini, Guru Besar Universitas Paramadina Mulya Jakarta itu enggan berkomentar. Saya tidak berhak menjawab soal itu (fatwa mati bagi Ulil, red). Maaf saja jika saya tidak menjawab pertanyaan itu. Tapi secara pemikiran, Ulil cukup bagus. Namun sekali lagi saya minta maaf, sebab tidak menjawab soal fatwa mati itu, tandas Komarudin yang memang dikenal cukup dekat dengan kelompok Islam formalisfundamentalis itu. Pertanyaan yang ditujukan kepada Komarudin ini terkait dengan fatwa mati yang dikeluarkan FUUI untuk Ulil. Fatwa mati ini dikeluarkan FUUI sebab Ulil dinilai telah menghina Islam. Selain dihukumi mati, Ulil juga pernah dilaporkan FUII ke Mabes Polri atas tuduhan yang sama, yaitu menghina Islam. Menurut Imadadun Rahmat, teman Ulil di PP Lakpesdam NU, Rabu (18/12) lalu, untuk menjernihkan persoalan, menantu KHA Mustofa Bisri yang juga Kordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini siap melayani gugatan FUUI dengan menyiapkan pengacara untuk menghadapi tuntutan itu. Ulil mengatakan pada saya, bila ia sedang mempersiapkan penasehat hukum dan siap meladeni gugatan FUUI. Bahkan kemungkinan ia juga akan melakukan gugatan balik, ujar Imadadun Rahmat dengan mengutip ucapan

Ulil. Namun seperti dituturkan Imadadun, Ulil mengakui bahwa artikelnya yang dimuat Kompas cukup provokatif dan berlebihan. Seperti diketahui, Rabu (18/12) lalu sejumlah orang yang mengaku dari FUUI mendatangi Mabes Polri guna melaporkan Ulil. Dalam pandangan FUUI, Ulil dianggap telah menghina Islam dan menyebarkan rasa permusuhan dengan kelompok Islam yang berbeda pikiran dengan dirinya. Karena itu harus ada sanksi hukum yang jelas bagi orang yang menghina Islam. Syariat Islam mengancam hukuman mati bagi orang yang menghina Islam, kata KH Athian Ali ketua FUUI kepada wartawan di Mabes Polri Jakarta. Tuntutan kepada Ulil, lanjut Athian, berdasarkan keputusan musyawarah para ulama se Jawa di Bandung tanggal 30 November 2002. Athian tidak dapat menjelaskan ulama yang hadir tersebut mewakili organisasi tertentu. Kita tidak bisa menyebut mereka datang dari mana atau mewakili siapa. Pastinya mereka mewakili umat Islam, paparnya. (am) *** Media Indonesia, 29 Desember Hilangkan Cap Teroris Dengan Sikap Toleran Budayawan Frans Magnis Suseno atau Romo Magnis menyatakan, tuduhan adanya pelaku teror dalam tubuh umat Islam tak bisa dihindari lagi sebab fenomena seperti itu memang biasa terjadi bahkan hampir terdapat dikalangan penganut semua agama. "Hanya saja siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut perilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu cap teroris hanya bisa terhapus dengan perilaku nyata yang penuh toleran," ujarnya, Sabtu. Saat berbicara dalam seminar tentang "Islam dan Terorisme" di Yogyakarta, dia mengemukakan, secara kolektif umat Islam tak mungkin bisa menolak atau menafikan adanya sesama penganut agama mereka yang bersikap dan berpandangan ekstrim atau keras. Sebab meski ajaran Islam bersifat universal, katanya, tetapi dalam menjalankannya oleh masing-masing person akan difahami secara personal dengan tingkat penghayatan dan visi keagamaan yang sangat bermacam-macam. "Adanya keberagaman pemahaman itulah yang mustahil untuk dinafikan termasuk fenomena adanya person atau kelompok muslim yang berpandangan keras. Hal itu sangat alami dan biasa terjadi di kalangan penganut agama apa pun, karena itu yang lebih penting untuk dilakukan saat ini adalah bagaimana umat Islam Indonesia bisa menampilkan wajah rahmatan-nya itu supaya bisa bersinar dan dilihat oleh masyarakat dunia," ujarnya. Sikap toleran yang penuh kasih sayang dan pengertian terhadap eksistensi umat beragama lain, katanya, secara historis harus diakui telah menjadi bagian dari perkembangan Islam di dunia yang berlangsung sangat pesat. Sebagai contoh, keberadaan kaum Yahudi dan Nasrani di masa kejayaan Islam jauh lebih terayomi dibanding setelah keruntuhannya lebih-lebih setelah Hitler berkuasa di Jerman. "Demikian pula dengan sikap simpatik yang diperlihatkan para tokoh NU dalam malam Natal yang lalu. Dengan sikap menjaga dan mengayomi saya sebagai penganut Katolik bila melihat anggota Banser tidak lagi memendam prasangka atau merasa asing, tetapi justru merasa aman karena ada yang peduli untuk saling melindungi," katanya.

Romo Magnis juga mencontohkan munculnya sikap tidak simpatik dari sebagian umat Islam telah menorehkan kecemasan yang mendalam di kalangan umat Katolik seperti dirinya seperti dalam kasus rencana adanya sweeping terhadap warga asing, atau terhadap umat non-muslim di daerah tertentu. "Karena itu ketika ada rencana sweeping terhadap umat Katolik kemudian Pak Syafi'i Ma'arif menyatakan akan berdiri di barisan Katolik untuk menolak sweeping itu, sungguh kami umat Katolik merasa sangat tersentuh dan merasa berhutang budi dengan sikap umat Islam yang demikian," ujarnya. Seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Cokroaminoto tersebut juga menghadirkan pengamat politik Indria Samego, Ketua PP Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif serta diikuti 200 peserta dari berbagai kalangan. (Ant/Ol01) ** * Media Indonesia, 28 Desember 2002 PBNU Mengeluarkan Pembelaan Terhadap Ulil Abdalla PBNU akhirnya mengeluarkan pembelaan terhadap pemikir muda NU, Ulil Abshar Abdalla, yang oleh Forum Umat Islam Indonesia (FUII) dicap menghina Islam karena tulisannya di salah satu di harian nasional. "Kami tidak percaya bahwa lontaran gagasan Ulil secara terbuka maupun terselubung dimotivasi oleh maksud menghinakan Allah, Rasulullah ataupun agama Islam," kata Katib Syuriah PBNU KH Masdar F Mas'udi di Jakarta, Jumat. Bahkan, PBNU menilai tuduhan yang ditudingkan FUII melalui juru bicaranya, KH Athian Ali, serta fatwa hukuman mati bagi Ulil oleh FUII terlalu berlebihan dan tidak mendasar. "Ancaman untuk mencelakakan seseorang secara fisik hanya karena pendapat yang dikemukakannya, secara mendasar harus ditolak," kata Masdar. Alasannya, kata Masdar, selain melawan prinsip kebebasan berpikir untuk mencari kebenaran yang dijamin oleh norma-norma universal, sikap seperti yang ditunjukkan FUII juga mencerminkan absolutisme dan kesewenangwenangannya yang tidak pernah bisa dibenarkan oleh Islam. Terkait kontroversi tulisan Uli bertajuk Menyegarkan Kembali Sikap Islam, Masdar mengakui masalah itu menjadi salah satu bahasan dalam rapat harian Syuriah PBNU (23/12) yang juga menghadirkan Ulil untuk dimintai penjelasan. Namun, untuk memberi manfaat yang lebih besar pada umat sekaligus menghindari kesalahpahaman, PBNU menganjurkan Ulil melanjutkan proyek gagasannya dengan pengembangan yang lebih utuh, komprehensif, serta didukung argumen berdasar dalil-dalil agama dan logika. "Ulil kini meninggalkan utang besar pada publik. Karena itu ia harus menjelaskan gagasannya itu secara utuh dan komprehensif," kata Masdar. Kepada kelompok yang tidak sependapat dengan pemikiran Ulil, PBNU menyatakan menghormati hak mereka, namun hendaknya ketidaksetujuan itu dilontarkan melalui adu argumentasi dan kritik, bukan ancaman. "Menyadari bahwa tidak ada pikiran manusia yang mutlak benar, termasuk gagasan Ulil, maka kami pun menghormati hak saudara kami yang tidak sependapat untuk mengkritik atau melawannya, bahkan kalau perlu sekeras-kerasnya, asal dengan pendapat juga, bukan ancaman," kata Masdar. Ulil yang merupakan tokoh Jaringan Islam Liberal, dalam organisasi NU menjabat sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam). (Ant/Ol-01) *** PERNYATAAN KEKATIBAN SYURIAH PBNU, 27 Desember 2002 KONTROVERSI GAGASAN SDR ULIL ABSHAR ABDALLA

BELAKANGAN ini telah terjadi kontroversi panas di kalangan masyarakat pemerhati wacana keagamaan (Islam) menyangkut lontaran gagasan pemikiran saudara Ulil Abshar Abdalla di satu pihak dan reaksi keras Forum Ulama Islam Inonesia (FUII) yang dijuru biacarai oleh Sdr. KH. Athian Ali dkk. yang mengecamnya sebagai penghinaan terhadap Allah, Rasulullah dan Islam. Kami, selaku Katib Syuriah PBNU, merasa perlu memberikan pernyataan sikap atas kontroversi tersebut, terutama karena adanya ancaman fisik atas sdr Ulil yang adalah seorang pengurus dalam jajaran Organisasi kami, Nahdlatul Ulama, yakni sebagai ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Sikap kami dimaksud adalah sbb: 1. Kami tidak percaya bahwa lontaran gagasan saudara Ulil, secara terbuka maupun terselubung, dimotivasi oleh maksud menghinakan Allah, Rasulullah ataupun agama Islam. Naudzubillah min dzaalik. Tuduhan semacam ini sangatlah berlebihan dan tidak berdasar. 2. Ancaman untuk mencelakakan seseorang secara fisik hanya karena pendapat yang dikemukakannya secara mendasar harus ditolak. Karena disamping melawan prinsip kebebasan berfikir untuk mencari kebenaran yang dijamin oleh norma-norma universal, sikap seperti itu juga mencerminkan absolutisme dan kesewenang-wenangan yang tidak pernah bisa dibenarkan oleh Islam. 3. Untuk memberikan manfaat yang lebih besar kepada umat dan sekaligus menghindari kesalah pahaman yang tidak perlu kami menganjurkan kepada saudara Ulil untuk melanjutkan lontaran gagasannya dengan elaborasi yang lebih utuh dan komprehensif serta didukung argumentasi yang kokoh baik naqli maupun aqli, terutama atas sejumlah kata kuci (key word) yang memang rentan terhadap kesalah pahaman. 4. Menghormati hak saudara-saudara kami yang tidak sependapat untuk melawannya bahkan kalau perlu sekeras-kerasnya, asal dengan pendapat juga bukan dengan ancaman, dalam proses adu argumen (dialog) yang santun, berkualitas dan mencerdaskan. Demikianlah, kiranya semua pihak menjadi maklum. Wassalam, Jakarta, 27 Desember 2002 Masdar F Masudi Katib Syuriah PBNU *** Duta Masyarakat, 26 Desember 2002 Darul Islam Bantah Terkait Jemaah Islamiyah * Polisi temukan 6 teroris baru Siapa yang tak ngeri kalau dikaitkan dengan Jemaah Islamiyah (JI). Ini lantaran polisi akan terus memburu aktivis JI di manapun berada. Darul Islam sempat disebut sebagai bentuk baru JI. Kini polisi mendaftar 6 tersangka baru, dua orang dari Malaysia. Tidak bisa dipungkiri, banyak anggota Jemaah Darul Islam yang menjadi aktivis Jamaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi yang dituduh sebagai cikal bakal teroris. Namun aktifis Darul Islam (DI) membantah kalau dikatakan embrio organisasi dari JI. Memang banyak anggota Darul Islam yang menjadi aktifis JI, tetapi tindakan mereka bukan mencerminkan sikap Darul Islam melainkan mencerminkan sikap organisasi masing-masing. Persamaannya, Kita sama-sama memperjuangan penegakan Syariat Islam, kata Yusuf Iskandar Ketua Jamaah Darul Islam, kepada pers di Hotel Sofian Betawi, Jl. Cut Mutia, Menteng, Jakarta Pusat Senin (23/12) kemarin.

Menurut Yusuf, Darul Islam tidak setuju dengan cara-cara kekerasan dalam melakukan perjuangan penegakan Syariat Islam. Darul Islam menolak cara terorisme dan pengeboman. Kami sangat tidak setuju, tandasnya. Dalam kesempatan itu, Jamaah Darul Islam juga membantah pernyataan Perdana Menteri Singapura Goh Cok Tong yang menyatakan bahwa Jemaah Islamiyah adalah embrio yang akan menjadi Darul Islam. Pernyataan tersebut dinilai mengada-ada dalam rangka mencari pembenaran terhadap sikap permusuhan terhadap mujahidin yang konsisten menegakkan Syariat Islam. Pernyataan itu memberi kesan Darul Islam adalah gerakan terorisme, ujar Yusuf. Enam Teroris Baru Sementara, Juru Bicara Tim Investigasi Bom Bali Brigjen Polisi Edward Aritonang mengungkapkan, aparat kepolisian kembali menetapkan enam orang sebagai tersangka baru dalam kasus bom Bali. Keenam orang tersebut saat ini masih dalam daftar pencarian orang (DPO). Tersangka baru tersebut terungkap setelah polisi mempelajari dokumen-dokumen yang ditemukan, ujar Edward Aritonang kepada wartawan di Mabes Polri Jakarta, Senin (23/12), kemarin. Sebelumnya, tim investigasi juga telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sehingga total tersangka baru yang masih terus diburu polisi seluruhnya menjadi berjumlah 11 orang. Dikemukakan Edward penetapan keenam orang tersangka baru itu setelah polisi melakukan rekonstruksi di Solo dan di Lamongan. Dalam rekonstruksi polisi menemukan beberapa kejanggalan. Setelah dipelajari ternyata terdapat enam tersangka baru, tutur Edward. Dari enam tersangka itu, dua diantaranya adalah warga negara Malaysia. Empat orang lainnya warga negara Indonesia. Keenam tersangka baru itu adalah Zulkarnaen alias Daud yang ikut hadir dalam pertemuan Solo. Ia disebut dalam dokumen Solo sebagai Panglima Laskar Jamaah Islamiyah (JI). Tersangka kedua Dr Azhari, warga negara Malaysia, yang dalam dokumen disebut sebagai orang yang membuat persiapan teknis bom Bali. Ketiga, Nurdin Muhamad Top, warga negara Malaysia yang bertugas mempersiapkan dana untuk para pelaku peledakan. Keempat, Saad, pemilik rumah di tempat dokumen Solo dan kelima Heri Harfidin, yang merekrut para tersangka di Serang. Namun Heri Harifudin perannya dalam peristiwa Bom Bali masih dalam penyelidikan, kata Edward. Tersangka keenam adalah Utomo Pamungkas alias Mubarok, berperan sebagai penerima kiriman uang untuk Amrozy. Tersangka lainnya yang sudah diumumkan aparat kepolisi adalah Umar Patek, Umar Wayan, Ali Imron, Dulmatin, dan Idris. Kita sekarang ini tetap pada agenda untuk merampungkan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap 15 tersangka yang telah ditahan dalam kasus Bom Bali, tandas Edward. Menurut Edward polisi terus berupaya melakukan pengejaran terhadap tersangka lainnya yang masih buron. Polisi juga berusaha mengungkap keterkaitan atau jaringan mereka dengan peristiwa ledakan bom lainnya yang terjadi di Indonesia. Dalam waktu dekat polisi segera menangkap tersangka yang masih buron, sebab identitas dan keberadaan mereka sudah diketahui, tegasnya. Di samping itu, polisi juga terus menyelidiki aliran dana dari money changerdi Malaysia yang dikirim ke rekening Imam Samudra. Untuk itu, Polri kemudian melakukan pertemuan dengan jajaran Kepolisan Malaysia. Pertemuan antara Polri dengan Kepolisian Malaysia ini diungkapkan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskim) Mabes Polri Komjen Erwin Mapaseng kepada wartawan di Mabes Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta, Senin (23/12). Kita sedang menyelidiki money changer di Malaysia dan kebetulan semalam ada Kepolisian dari Malaysia. Bersama Kapolri sudah dibicarakan bahwa kita akan meminta bantuan untuk memperdalam soal ini, kata Erwin. (ful,de) ***

Pikiran Rakyat, 25 Desember 2002 Forum Ulama Umat Indonesia tidak Keluarkan Fatwa Mati Bagi Ulil ? Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) membantah bahwa mereka mengeluarkan fatwa hukuman mati terhadap Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla. "Kami hanya mengeluarkan siaran pers yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan penghinaan terhadap Allah, Nabi Muhammad, Islam, dan umat Islam, hukumannya mati," kata Ketua FUUI 'Athian Ali M. Da'i, M.A., kepada "PR", Rabu (25/12). Siaran pers lengkap dikeluarkan FUUI itu untuk mengklarifikasi pemberitaan sejumlah media massa. Penjelasan ini sekaligus untuk menanggapi karikatur yang dimuat HU Pikiran Rakyat tanggal 23 Desember yang mengesankan bahwa FUUI pernah mengeluarkan fatwa dimaksud. Siaran pers itu selengkapnya sebagai berikut: 1. Pada hari Sabtu, tanggal 30 November 2002, bertempat di Sekretariat FUUI berlangsung acara silaturahmi antara para ulama (bukan hanya para ulama yang berhimpun dalam FUUI) serta para Pimpinan Ormas Islam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mengingat visi dan misi yang sama dari para ulama yang hadir saat itu telah melahirkan pula kesamaan dalam hal mendefinisikan permasalahan-permasalahan kontekstual yang dihadapi umat Islam, secara alamiah acara tersebut berkembang menjadi suatu forum diskusi yang argumentatif, yang kemudian disepakati untuk berkembang lebih lanjut menjadi forum musyawarah para ulama. 2. Musyawarah yang berakhir dini hari Ahad, 1 Desember 2002 tersebut melahirkan empat keputusan penting, yang di antaranya berbunyi (secara lengkap): "Ketiga, Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah SWT, Rasulullah SAW, Islam, Umat Islam dan para ulama. Tulisan Ulil Abshar Abdalla pada HU Kompas edisi 18 November 2002 dengan judul " Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" merupakan salah satu contoh perilaku nyata penghinaan tersebut. Oleh karena itu harus ada sanksi hukum yang jelas bagi pelanggaran hukum yang berkualifikasi delik penghinaan agama seperti itu. Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati." 3. Menimbang jumlah para ulama yang hadir dipandang cukup komprehensif dan berasal dari berbagai ormas, institusi serta partai Islam dengan berbagai paradigmanya, maka 4 keputusan itu disebut "Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. 4. Dengan ini diklarifikasi bahwa pertemuan para ulama Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada hari dan tanggal tersebut di atas tidak pernah merekomendasikan dan atau mengeluarkan fatwa mati untuk Koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla. 5. Kalimat-kalimat yang secara eksplisit tertuang pada keputusan ke-3 para ulama Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tersebut mengandung 4 arti. Pertama, para ulama menuntut yang berwenang untuk secara nyata menindak pihak manapun yang melakukan tindak pidana penghinaan terhadap

Islam dan umat Islam, sesuai hukum yang berlaku. Kedua, setelah para ulama melakukan pengkajian dengan seksama baik secara naql (merujuk pada Alquran dan Sunah), mantiq (logis) maupun kalam (theologis) atas artikel berjudul " Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" terbukti bahwa Ulil Abshar Abdalla telah menghina Islam dan umat Islam. Ketiga, para ulama menuntut yang berwenang memberikan sanksi secara nyata terhadap pelaku penghinaan agama, termasuk Ulil Abshar Abdalla dan yang seperti Ulil Abshar Abdalla, berdasarkan hukum yang berlaku. Keempat, sesuai keyakinan para ulama dinyatakan bahwa "Menurut Syariat Islam" Ulil Abshar Abdalla yang telah menghina dan memutarbalikkan ajaran Islam maupun pelaku-pelaku lain yang seperti itu "Dapat diancam dengan hukuman mati." 6. Forum "Ulama Ummat Indonesoa (FUUI) tidak mengeluarkan fatwa khusus berkenaan dengan tindak penghinaan terhadap Islam dan umat Islam yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla. Hal ini karena "Fatwa Forum Ulama Umat Mengenai Penghinaan Terhadap Islam" yang dikeluarkan pada tanggal 7 Zulkaidah 1421 bertepatan dengan tanggal 1 Februari 2001 tidak bersifat terbatas pada dua nama penghina Islam yang secara eksplisit disebutkan di dalamnya, melainkan, sebagaimana bunyi lengkapnya: "1. Berdasar syariat Islam mereka yang menghina Islam seperti Pendeta Suradi dan Pendeta Poernama Winangun wajib dihukum mati. 2. Pemerintah dituntut segera melaksanakan tindakan hukum untuk menghindari umat Islam mengambil tindakan sendiri". Kata "Seperti" dalam fatwa tersebut merujuk pada pihak manapun, kapanpun dan di manapun, baik secara individual maupun kolektif, yang melakukan penghinaan dan pemutarbalikan ajaran Islam sama atau serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh kedua oknum tersebut, maka pihak manapun, kapanpun dan di manapun, yang melakukan penghinaan dan pemutarbalikan ajaran Islam dengan kualifikasi yang sama atau serupa dengan itu termasuk objek fatwa tersebut. Pencantuman kata "Berdasar Syariat Islam" dalam fatwa itu bersifat konfirmatif dan pada saat yang sama sebagai diferensiasi dari hukum yang sedang berlaku. 7. Jika kasus penghinaan terhadap Islam dan umat Islam diredefinisikan melalui proses yang benar-benar sesuai dengan ajaran Islam dan tidak terkooptasi oleh paham liberalisme dan atau paham-paham lain yang bertentangan dengan Alquran dan Sunah, maka redefinisi itu akan memiliki substansi yang sama walaupun redaksi, spektrum atau bentuknya mungkin berbeda, baik dalam bentuk "Fatwa Forum Ulama Ummat Mengenai Penghinaan Terhadap Islam, "Pernyataan Bersama Ulama dan Umat Islam Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur" maupun redefinisi dalam bentuk-bentuk lainnya, termasuk "Tausiyah" hasil Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Miftahul Ulum Trenggareng, Pasuruan, pada tanggal 11 s.d. 13 Oktober 2002 yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: "Kepada institusi PWNU Jatim agar segera menginstruksikan kepada warga NU agar mewaspadai dan mencegah pemikiran "Islam Liberal" dalam masyaraat. Apabila pemikiran "Islam Liberal" tersebut dimunculkan oleh Pengurus NU (di semua tingkatan) diharap ada sanksi baik berupa teguran keras (istitaabah) maupun sanksi organisasi (sekalipun harus dianulir dari kepengurusan NU)". 8. FUUI melaporkan kasus ini secara prosedural dan resmi ke Mabes Polri sebagai pelaksanaan hasil musyawarah para ulama dalam konstelasi negara yang belum berdasar syariat Islam.*** ***

Duta Masyarakat, 24 Desember 2002 Menjaga Kedamaian Natal dan Tahun Baru Oleh: Imam Cahyono Semarak perayaan hari-hari besar di penghujung tahun, yaitu Natal dan Tahun Baru, nampaknya akan berlangsung dengan penuh kewaspadaan dan kesiagaan. Setidaknya, pihak Kepolisian RI menurunkan ribuan personel untuk mengamankan pelaksanaan ibadah Natal 2002 dan malam Tahun Baru 2003. Di beberapa kota besar, pihak kepolisian bekerja sama dengan TNI, Banser GP Ansor (NU), Satgas Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda) Muhammadiyah, dan Satgas PDIP untuk memaksimalkan pengamanan. Hal ini tentu saja dilakukan bukan tanpa alasan. Beberapa waktu sebelumnya, malam Lebaran di Makasar yang mestinya berlangsung syahdu, khidmat dan damai ternyata dinodai dengan teror bom. Bom meledak tepat pada saat umat Islam sedang bersiap-siap mengagungkan Allah dengan mengumandangkan kalimat takbir dan tahmid. Salah satu sasarannya, restoran cepat saji McDonalds di kompleks Mal Ratu Indah, sebuah restoran berbau AS, salah satu objek yang diancam dijadikan sasaran teroris. Ruang pamer mobil Toyota milik keluarga Kalla pun tak luput dari sasaran. Kewaspadaan malam Natal tahun ini menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Meski perayaan natal 2001 relatif aman, namun trauma bom malam Natal 2000 telah meninggalkan luka yang cukup dalam. Malam Natal 2000 telah menjadi malam kelabu. Malam Natal 2000 berubah menjadi malam teror. Sedikitnya 38 bom meledak di 11 kota. Sejumlah gereja porak-poranda. Darah berceceran dimana-mana. Jerit tangis ibu-ibu dan anaknya menghentikan suasana hening saat berdoa memuliakan Allah. Laporan resmi menyebutkan, sedikitnya 20 jiwa terenggut, 35 luka berat dan 48 luka ringan. Peristiwa ini mengejutkan masyarakat Indonesia dan dunia internasional. Rumah Allah tak lagi dihormati, bahkan dijadikan target kekerasan. Aksi peledakan bom pada saat umat beribadah, entah itu di masjid atau gereja adalah perbuatan keji, biadab dan terkutuk. Menurut hasil penyelidikan tim investigasi Polri, terdapat pula indikasi adanya keterkaitan keterkaitan bom-bom pada Malam Natal itu dengan perkembangan penyelidikan pelaku pengeboman di Bali 12 Oktober lalu. Yaitu, adanya mata rantai antara pelaku pengeboman tersebut dan bom malam Natal. Setidaknya ada indikasi ke sana, meskipun segalanya masih terus dalam penyelidikan polisi. Salah satu yang disebut-sebut, Ustaz Abu Bakar Baasyir, Amir Majlis Mujahidin Indonesia yang kini dalam tahanan polisi di Jakarta. Apakah benar ustaz itu terlibat, masih kita tunggu kebenarannya lewat pemeriksaan polisi serta proses peradilan kelak. Indikasi lain, bom yang meledak di Makasar juga memiliki kaitan erat dengan kasus bom Bali. Salah seorang tersangka saat dimintai keterangan, mengaku kenal dengan Imam Samudra dan bahkan pernah mendapatkan tugas khusus darinya. Selain itu, karakteristik serta jenis bom yang digunakan juga memiliki beberapa kesamaan. Apakah malam Natal tahun ini akan berlangsung dengan tenang, aman, dan damai, ataukah akan menjadi malam yang penuh ketakutan seperti dua tahun lalu? Itulah pertanyaan dan perasaan yang bergejolak di hati. Kita berharap, malam syahdu bagi umat Kristus itu akan berjalan tanpa hambatan. Juga malam Tahun Baru 1 Januari 2003 yang dirayakan oleh semua umat manusia di muka bumi ini, diharapkan akan berjalan khidmat. Sebagian masyarakat lain menyambut kedatangan tahun baru dengan berbagai acara meriah sebagai kenangan terakhir penutup tahun. Semua merayakan dengan berbagai cara dan tradisi. Tanpa membedakan agama, kepercayaan, bangsa, ras dan berbagai sekat sosial, politik, dan faktor kemasyarakatan lain. Itulah yang kita harapkan, agar ketenangan dan kedamaian hidup di negeri ini pulih kembali. Hari-hari besar bukan lagi membayangkan kedatangan teror. Melainkan hari-hari bahagia yang penuh dengan kedamaian, kebahagiaan, dan rasa persaudaraan antarumat manusia.

Sebagai manusia, kita sangat menyesalkan dan mengutuk setiap aksi teror bom. Sungguh sangat disayangkan, mengapa ada orang yang sampai hati meledakkan bom pada malam syahdu itu. Manusia macam apa yang tega melakukan tindakan biadab dan sekeji itu? Padahal, hasil dari setiap aksi teror bom selalu saja sama, yaitu jatuhnya korban dari kalangan yang tak berdosa, yang tidak tahu apa-apa. Setiap aksi teror selalu menimbulkan efek psikologis yang dahsyat. Teror telah melahirkan depresi, melankolia, trauma, keputusasaan, paranioa, meninggalkan luka mendalam, ketakutan dan perasaan tak berdaya. Kisah keganasan dan kekerasan menjadi kenyataan pengalaman pahit sehingga meninggalkan ingatan kolektif yang terus mengendap. Kepedihan tak kunjung reda. Kepedihan masih terasa meski beberapa waktu teror telah berlalu. Aksi teror bom juta menambah luka, mencabik-cabik serta memporak-porandakan tubuh bangsa yang sedang sakit ini. Aksi teror juga menghadirkan prasangka, kebencian dan permusuhan antarumat beragama, antar kelompok serta antar golongan. Betapa sangat besar dampak buruk dari aksi teror. Kita semua berharap, perayaan Natal dan tahun baru kali ini dapat berjalan dengan mulus tanpa ada kekerasan, tak perlu ada bom meledak dan tak perlu ada lagi korban yang jatuh. Sungguh sangat indah apabila perayaan Natal dan tahun baru dapat berjalan tanpa desingan bom, tanpa ceceran darah dan tanpa tetesan air mata kesedihan. Melainkan perayaan Natal dan tahun baru yang tenteram, damai, penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Seluruh lapisan masyarakat yang sedang merayakan Natal dan tahun baru, mau tidak mau memang perlu waspada. Namun, tidak perlu was-was dan cemas berlebihan. Menjaga kedamaian perayaan hari-hari besar di penghujung tahun adalah tugas segenap anggota masyarakat tanpa terkecuali. Semestinya, ada kerjasama, bahu-membahu antar elemen masyarakat demi menjaga keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Sedia payung sebelum hujan. Kewaspadaan sangatlah diperlukan demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Sudah menjadi harapan kita semua agar tak ada lagi teror. Kita menanti hari-hari tanpa teror. Tentu saja tidak hanya pada malam Natal dan tahun baru. Akan tetapi untuk seterusnya, selanjutnya dan selamanya. Semoga. [] *** Tempo Interaktif, 23 Desember 2002 Fatwa Mati Ulil Termasuk Ancaman Pembunuhan Fatwa mati terhadap Ulil Abshar Abdalla yang diserukan Forum Ulama Umat Islam Indonesia (FUUI), 20 Desember 2002, termasuk kualifikasi ancaman pembunuhan dan kebebasan berfikir seseorang. Oleh karena itulah, aparat pemerintah hendaknya menindaklanjuti munculnya ancaman-ancaman yang bersifat fisik dan cenderung merugikan seseorang atau sekelompok orang di Indonesia. Hal tersebut dikatakan Hamid Basyaip dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam jumpa pers di Utan Kayu, Senin (23/12). Jumpa pers dilakukan berkaitan dengan fatwa mati yang merupakan reaksi dari tulisan Ulil di harian Kompas, 18 Desember 2002. Tulisan itu tidak ditujukan untuk menghina Islam atau nabi Muhammad seperti yang dituduhkan FUUI,Kata Hamid Basyaip. Atas laporan FUUI terhadap Ulil kepada Polda Metro Jaya, JIL telah mempersiapkan tim pengacara dari Amir Syamsuddin dan Partner untuk mendampingi Ulil dan saksi-saksi lainnya selama proses hukumnya berlangsung. Menanggapi seruan FUUI untuk membongkar JIL, Hamid menegaskan bahwa JIL adalah wadah tukar menukar pemikiran dan kegiatan yang berorientasi pada ide-ide Islam toleran, inklusif dan damai. JIL bukan Jamaah Islamiyah yang konotasinya gerakan bawah tanah. Tidak ada yang aneh dan gelap, ujar Hamid. Dalam acara tersebut, hadir pula Rizal Malarangeng, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Nazarudin Uma, aktivis perempuan Kapal Perempuan Neng Dara, Ketua LP3M Zuhairi Misrawi dan penulis

Gunawan Muhamad. Namun, tidak tampak orang yang dibela yaitu Ulil Abshar Abdalla dalam jumpa pers tersebut. Menanggapi kasus seruan fatwa mati ini, Rizal berkomentar perlu diajukannnya kasus ini ke pengadilan agar ada kejelasan apa yang boleh dan tidak boleh dalam kehidupan publik. Atas saran itu, menurut rencana dalam waktu dekat JIL juga akan melaporkan FUUI. Berkaitan dengan fatwa mati mereka terhadap Ulil karena dianggap telah mengancam Ulil, Hamid mengatakan, Sampai saat ini,Ulil telah menerima ancaman melalui telepon, SMS, maupun e-mail. (Fitri Oktarini-Tempo) *** SUARA PEMBARUAN , 23 Desember 2002 Islam Tolak Teror Natal Terorisme Tidak Pernah Diajarkan oleh Agama Islam menolak perilaku yang bisa menjadi teror untuk gereja, yang bisamemojokkan kehidupan beragama, khususnya umat Kristiani. "Kami menegaskan tidak ada dan tidak diperbolehkan siapa pun melakukan teror," demikian ditegaskan tokoh Islam Hidayat Nur Wahid pada "Temu Wicara Tokoh-tokoh Agama dan Pesan Perdamaian Tokoh Agama" di Jakarta, Senin (23/12) siang. Dijelaskan, segenap umat Islam di Indonesia berharap agar umat Kristen bisa melaksanakan Natal dengan aman dan damai. Selain tokoh Islam Hidayat Nur Wahid, tampil menyampaikan pesan perdamaian antara lain I Nyoman Suwanta dari Hindu, Tokoh Protestan Bonar Simangunsong, Tokoh Katolik Frans Meak Parera, dan tokoh Buddha Bikshu Padmasatia. "Kami menegaskan tidak ada dan tidak diperbolehkan siapa pun melakukan teror. Islam jelas menolak perilaku yang bisa menjadi teror kepada gereja, yang bisa memojokkan kehidupan beragama, khususnya umat Kristiani,'' kata Hidayat yang juga Presiden Partai Keadilan. Menolak Dengan tegas Hidayat mengatakan semua agama menolak terorisme. Terorisme apa pun tidak pernah diajarkan oleh agama. Karena siapa pun yang melakukan terorisme jelas justru tidak melaksanakan ajaran agama. Dia sedang melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama apa pun. "Karena itu, hendaknya dalam suasana yang penuh dengan semangat untuk mengembalikan religi yang damai, hendaknya kita waspada dan sadar agar jangan sampai kita kemudian diseret atau terseret kepada perilakuperilaku yang tidak damai, yang sebetulnya perbuatan itu ditolak oleh ajaran agama kita,'' kata Hidayat. Hidayat juga menuntut kepada aparat keamanan untuk bekerja sungguh-sungguh menjaga keamanan agar perayaan Natal nanti berlangsung aman. ''Kami mengingatkan kepada siapapun juga, mereka tidak boleh membawa ajaran agama apapun juga untuk melakukan teror pada perayaan Natal mendatang,'' tambah Hidayat. Bila ada orang yang mengaku beragama Islam dan melakukan teror pada malam Natal, Hidayat mengatakan, mereka jelas bukan mewakili umat Islam. Mereka jelas tidak sedang melakukan ajaran Islam. Mereka sedang melakukan sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mereka sedang melakukan tindakan kriminal. Oleh karena itu pihak keamanan tidak boleh mengkaitkan itu dengan agama apapun.

''Kami menolak terorisme bila dikaitkan dengan agama apapun dan kami berharap saudara-saudara kami umat Kristiani dapat merayakan Natal mendatang dengan aman,'' kata Hidayat. Mengamalkan Sedangkan Biksu Atmasatia, tokoh agama Buddha mengatakan, umat manusia harus terus memantapkan ajaran agama masing-masing dengan menghayati, mempelajari dan mengamalkannya. Semua itu tidak cukup hanya di bibir saja tetapi harus ditindaklanjuti sesuai dengan ajaran masing-masing demi terciptanya perdamaian bangsa Indonesia dan perdamaian internasional. Bonar Simangunsong mengatakan, perdamaian itu merupakan pesan dari surga, dan wajib dilakukan oleh umat manusia. Alkitab mengajarkan, "kasihilah musuh-musuhmu, kasihilah yang membenci engkau". Oleh karena itu segenap umat manusia harus hidup berdampingan, dan saling mengasihi. Kalau ada yang berbuat salah, yang lain jangan berbuat salah, tetapi harus berani memaafkan. Sedangkan Frans Meak Parera mengatakan, agama Katolik disimbolkan dengan salib. Salib itu rahasia dari perdamaian. Perdamaian hanya tercapai kalau ada keseimbangan antara vertikalisme, fundamentalisme, dan horizontalisme pada setiap orang beragama. "Oleh karena itu, kami umat Katolik dalam menyambut Natal merefleksikan kembali mengapa di dunia sekarang ini tidak ada kedamaian. Jangan-jangan kita orang yang beragama kurang menyadari peranan kita di dunia ini," kata Parera. (M-11) *** Duta Masyarakat, 21 Desember 2002 Ulil dan Eksekusi Intelektual Oleh: Moch Eksan Eksekusi intelektual terhadap Ulil Abshar-Abdalla baru-baru ini dilakukan. Athian Ali dengan mengatasnamakan ulama se-Jawa memberikan vonis hukuman mati terhadap Ulil, terkait dengan tulisannya di Kompas (18/11/2002) yang dianggap menghina Islam, dan Nabi Muhammad SAW. Ulil yang identik dengan Islam Liberal sekarang sedang jadi ikon gerakan pemikiran baru Islam Indonesia. Sekalipun pemikiran yang disebarluaskan hampir bahkan sama satu garis dengan para reformis Islam Indonesia terdahulu. Ulil sesungguhnya anak ideologi dari Gus Dur yang menggotong demokrasi, pluralisme, toleransi, HAM, dan lain sebagainya dalam lapangan pemikiran Islam. Tema-tema besar tersebut sudah banyak dibicarakan oleh para pemikir Islam sebelumnya, dan sama sekali bukan hal yang baru. Pertanyaannya, mengapa banyak kalangan yang merasa ketakutan? Padahal, apa yang dikerjakan oleh Ulil tidak lebih sekadar menguatkan kembali rasionalisme yang hilang dalam Islam, serta menyampaikan skeptisme terhadap faham agama yang mapan. Banyak kalangan ketakutan terhadap pemikiran Ulil tersebut lantaran beberapa hal berikut ini: Pertama, kecurigaan berlebihan terhadap unsur Barat dan non Islam di balik defusi pemikiran Ulil. Islam Liberal disinyalir didanai oleh lembaga donor internasional. Kerjasama dengan media massa dalam menggembangkan pemikiran ala Ulil ini tidaklah mungkin tanpa ditopang dengan dana yang besar. Dan dana tersebut diperoleh dari lembaga donor yang tidak seteril dari kepentingan ideologis maupun politis. Kedua, media massa yang membuilt-up pengembangkan ide-ide pemikiran Islam Liberal, yang melahirkan ketidakadilan media. Kurangnya opini banding dalam politik media, semakin memperparah rasa tersisih dari sekompok pemikir Islam yang tidak segaris dengan Ulil. Pemuatan tulisan dan penampilan nara sumber dalam diskusi di Kajian Islam Utan Kayu terlihat berpihak terhadap pada yang segaris (in-line), dan sedikit menganaktirikan yang di luar garis (out-line) Ulil.

Ketiga, keberanian Ulil beserta sekawanan pemikir muda dan pembaru untuk membongkar bangunan pemikiran yang sudah mapan, menyebabkan ada sebagian kalangan yang merasa dirugikan. Ulil menjadi ancaman serius bagi stabilitas dan hegemoni pemikiran yang dianut mereka. Banyak sesuatu ajaran yang mengalami relatifikasi. Inilah yang menimbulkan mereka gerang terhadap ulah Ulil dan kawan-kawan yang telah mengeser posisi mereka dalam domain pemikiran umat. Keempat, liberalisasi pemikiran Islam Ulil dipandang sudah sampai tahapan yang mengkhawatirkan. Sebab yang dibongkar tidak saja pemikiran Islam yang merupakan buah dari ijtihad para ulama sebelumnya, melainkan juga ajaran Islam yang tidak senafas dengan trend perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia di era posmodern ini. Liberalisasi ini dikhawatirkan akan menimbulkan pendangkalan terhadap keyakinan agama umat, serta konservasi aqidah menuju pada Islam sekuler. Sudah menjadi maklum bahwa eksekusi intelektual terhadap Ulil itu pertanda bahwa kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat terancam. Juga, bukti bahwa ada elemen ulama yang tidak siap berbeda pendapat dan gampang menyalahgunakan kekuasaan spiritual untuk membungkam orang yang tidak sependapat. Semua itu merupakan potret suram dari masa depan intelektualisme Islam Indonesia. Hasil analisa historis menyimpulkan bahwa, kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam pada abad pertengahan ditandai dengan semaraknya intelektualisme Islam tersebut. Kehidupan intelektual pada masa itu benar-benar hidup dinamis. Kendatipun demikian, ada juga catatan sejarah yang menunjukkan bahwa eksekusi intelektual sebagaimana yang dialami oleh Ulil, pun dialami oleh Imam Hambali. Saat iman yang terakhir dari madzahibul-arba berbeda dengan Al-Makmun, Khalifah Dinasti Umayyah yang berideologi Muktazilah. Ia tidak mau menerima doktrin bahwa Al-Quran itu hadits (bersifat baru) tidak qadim (bersifat lama). Konsekuensinya, ia dihukum penjara dan cambuk oleh kerajaan, dan akhirnya dibebaskan. Eksekusi intelektual yang paling parah, sampai berujung pada kematian di tangan algojo kerajaan, apa yang dialami oleh Al-Hallaj (dalam kasus Timur Tengah) dan Syekh Siti Jenar (dalam kasus bumi Jawa). Demi mempertahankan keyakinannya, dua tokoh teosufi Islam itu rela mati, dan menukar nyawa dengan prinsip agama. Dengan demikian dunia intelektualisme Islam juga tidak luput dari arogansi intelektual, adanya monopoli kebenaran, dan berlumuran darah. Sebab itu, eksekusi intelektual terhadap Ulil bukanlah hal yang baru dalam dunia intelektualisme Islam. Ulil tentu sudah tahu hal itu, sekaligus sudah siap menghadapi segala resiko kontroversi yang sengaja dirancang dan dibuatnya. Seorang pemikir reformis sedikit banyak pasti pernah keluar dari mainstream besar. Dan karena itu, ia tidak jarang mendapatkan kecaman dan hujatan dari para pemikir konservatif. Itu perkara yang lumrah dan biasa dalam pergumulan pemikiran. Tidak seperti Cak Nur dan Gus Dur yang seringkali mendapatkan kecaman dan hujatan, serta tudingan sebagai agensi Yahudi dan Zeonis, Ulil tampaknya lebih dari itu. Ada sekolompok umat yang bukan saja apriori terhadap pemikiran Ulil, melainkan juga sangat paranoid. Sehingga, perang wacana di media massa dirasa tidak cukup. Perlawanan terhadap gerakan pemikiran Ulil yang antiteokrasi, dan mengembangkan misi sekularisasi agama, sampai dilakukan melalui vonis sepihak tanpa pembelaan dari dalam forun pengadilan intelektual yang terbuka dan fair. Mereka juga belum puas dengan itu, sehingga melaporkan kepada aparat keamanan dengan tudingan menyebar permusuhan antar sesama umat. Oleh sebab itu, perang wacana antara Ulil dengan Athian Ali beserta Islam garis keras itu sungguh sudah tidak sehat. Klaim-klaim yang dilontarkannya sudah jauh dari obyektifitas dan rasionalitas. Jujur, dialog tidaklah mungkin digelar, dan menghasilkan kesepahaman untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Kedua belah pihak terlihat berdiri di kutub ideologi pemikiran Islam yang berseberangan. Dan selamanya, tidak ada yang mau menyerah, sekaligus mengakui kedaulatan pemikiran dari pihak lain. Ini ghazw-fikr (perang pemikiran) warisan klasik antara apa yang disebut dengan ahl-rayi dengan ahl-hadits. Sampai sekarang, kedua belah pihak berjuang untuk tetap hidup dan menguasai domain pemikiran umat. Suatu ironi, lantaran artikelnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, Ulil harus berurusan dengan pihak kepolisian. Sekelompok umat Islam yang menamakan FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) tampak sudah kehilangan akal untuk melawan ekspansi intelektual Ulil. Langkah ini ditempuh karena usaha untuk

menghandle laju perkembangan pemikiran Islam Liberal tidak mempan lagi melalui media massa. Sekalipun langkah memperkarakan Ulil ke Mabes Polri, merupakan fedback bagi pergumulan pemikiran Islam di Indonesia. Suatu langkah koyol yang menyeret pihak kepolisian dalam menengahi konflik pemikiran. Padahal, apa otoritas dan pretensi intelektual pihak kepolisian?[] Moch Eksan Litbang LDNU Jember, dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu-ilmu Sosial Unair. *** Suara Merdeka 18 Desember 2002 Ulil: Mertua Tak Keberatan MENANTU Gus Mus (KH Mustofa Bisri), Ulil Abshar Abdalla, kembali bikin geger kalangan pimpinan ormas Islam, setelah mengangkat tema "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam". Alumnus Pondok Pesantren Maslakul Huda asuhan KH Sahal Mahfudh itu mengajak berdiskusi tentang Islam pascatragedi 11 September, teror bom Bali, dan tuduhan terhadap Jamaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi teroris. Ini untuk kali kedua setelah "Islam Warna-warni", sebuah iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi, mendapat reaksi sejumlah pimpinan ormas Islam berhaluan keras. Menurutnya, umat Islam jelas dalam posisi sulit, karena propaganda pihak Barat yang gencar itu bisa melahirkan stigma yang tidak mengenakkan. Berangkat dari situlah, bapak dua putra yang sekarang mengibarkan bendera organisasi dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) itu mengajak untuk keluar dari kejumudan (kebekuan). Sebagai alumnus pesantren, dia menganggap berdiskusi sebagai satu hal yang biasa, sebagaimana di perguruan tinggi. Berdiskusi, katanya, akan memberikan jalan keluar jika terjadi kebuntuan menghadapi masalah. ''Pikiran yang saya sampaikan bukan hal baru, tapi hanya merefleksi pendapat yang sering saya lontarkan dalam berbagai kesempatan sebelumnya,'' ujar pemikir muda NU itu kepada Suara Merdeka, dalam perbincangan sekitar munculnya reaksi atas tulisan opininya di media terkemuka di Jakarta belum lama ini. Menurut dia, kalangan pesantren atau akademisi Islam, mereka tidak melihat ada yang aneh dalam pemikirannya itu. Termasuk mertuanya sendiri, Gus Mus, juga tidak mempermasalahkan substansi yang dia lontarkan. Hanya metode dan cara penyampaiannya berbeda dari apa yang disampaikan kalangan kiai sepuh. ''Mertua saya tak keberatan atas substansi yang saya sampaikan,'' ujarnya. Reaksi berlebihan datang dari kalangan pimpinan ormas Islam yang sering disebut garis keras, yang selama ini sering melontarkan gagasan untuk menerapkan syariat Islam di negeri ini. Ulil dinilai melecehkan Islam dan diancam hukuman mati. Saat menanggapi reaksi itu, dia mengatakan, mari berdiskusi dengan sehat, tidak perlu menghakimi seperti tudingan melecehkan Islam. Ulil mencoba meletakkan Islam sebagai sebuah "organisme" yang hidup dan dinamis sesuai dengan perkembangan manusia. Bukan monumen yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai "patung" indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah. Maka diperlukan penyegaran kembali pemikiran Islam yang cenderung membeku, menjadi "paket" yang sulit didebat dan dipersoalkan. Pemikiran demikian, menurutnya, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Untuk menuju ke arah itu, diperlukan penafsiran yang nonliteral, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah. Juga, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. ''Mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.'' tulis Ulil. Kontekstual, dalam pengertian nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan tidak diwajibkan mengikutinya. Ulil mencoba membuat contoh aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab yang tak perlu diikuti. Misalnya jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang terpenting adalah nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Kepantasan sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. Selain itu, dia juga melontarkan pemikiran tentang umat Islam yang universal. Umat Islam sebagai "masyarakat" atau "umat" yang tak terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Alquran pun tidak pernah dengan tegas melarang hal itu, karena menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini. Juga dibutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama. Keadilan Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam paling penting adalah bagaimana menegakkan keadilan, terutama di bidang politik dan ekonomi, budaya, bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana yang bersifat furu'iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan. Upaya menegakkan syariat Islam, menurut pemikiran Ulil, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka bumi. Masalah kemanusiaan bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk pada nilai-nilai ketuhanan yang universal, atau sunah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya. Ulil mengutip salah satu hadis, man araadad dunya fa'alaihi bil 'ilmi, wa man araadal aakhirata fa 'alaihi bil 'ilmi (barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di akhirat, juga harus pakai ilmu.

Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai dengan perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang. Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal. Bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri. Pandangan bahwa syariat adalah suatu "paket lengkap" yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebagai bentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan. Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Ulil menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah. Rasul memang berhasil menerjemahkan citacita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual. Tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara "yang universal" dan "yang partikular". Di sinilah, umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. "Islam"-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi. Karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Ulil memiliki pendapat, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Alquran, tetapi wahyu nonverbal, dalam bentuk ijtihad akal manusia, terus berlangsung. Dalam tulisannya, Ulil melihat temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan, adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam. Bagi Ulil, umat Islam dituntut mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandang sendiri. Yang harus dilawan adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu. Dalam konteks ini, Ulil berpandangan lebih maju: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai islami juga. Islam, seperti pernah dikemukakan Nurcholish Madjid dan sejumlah pemikir lain, adalah "nilai generis" yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran "Islam" bisa ada dalam filosofi Marxisme. Dia tidak memandang bentuk, tetapi substansi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah "baju", bukan itu yang penting, tapi nilai yang tersembunyi di baliknya.

Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan "baju" yang dipakai, sementara mereka lupa, inti "memakai baju" adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Mahabenar. Ada periode di mana umat beragama menganggap "baju" bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini. Musuh Islam Musuh Islam paling berbahaya sekarang adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa. Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara "kami" dan "mereka", antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara "Barat" dan "Islam"; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu. Pemisah antara "kami" dan "mereka" sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut "kami" itu, tetapi juga bisa di lingkungan "mereka". ''Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaranlembaran Alquran.'' Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, ''Semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Demikian pandangan Ulil. Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri. Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini. Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia. ''Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri. Demikian pandangan Ulil yang dikenal cendekiwan muda dari kalangan NU yang sering mengangkat nilai-nilai kebangsaan dalam Islam. (A Adib-29t) *** Majalah Gatra 16-17 Desember 2002 Islam Liberal Tafsir Agama Pemicu Fatwa GATRA.com - PROVOKASI Ulil Abshar Abdalla telak mengenai sasaran. Sejak tulisannya berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" dimuat di harian Kompas, 18 November lalu, reaksi keras bermunculan. Tak hanya

berpolemik di media, beragam caci maki juga dialamatkan kepada Ulil, 35 tahun, lewat surat elektronik hingga pesan pendek telepon genggam (SMS). Artikel yang menurut Ulil dirangkai dalam bahasa provokatif ini memang sengaja untuk memancing reaksi. "Saya ingin mengajak umat Islam berpikir maju," kata Koordinator Jaringan Islam Liberal, Jakarta, ini. Lembaga yang dipimpinnya itu, sejak tahun lalu, gencar mengusung pemahaman Islam liberal. Walaupun hanya meracik kembali ide-ide lama, kemasannya lebih rapi dan terstruktur. Media kampanyenya pun beragam, mulai penerbitan buku, koran, internet, hingga radio. Ibarat berperang, Ulil sebenarnya sudah siap dengan senjata penghadang. Tapi, ancaman hukuman mati seperti yang dikumandangkan KH Athian Ali M. Da'i, 51 tahun, Ketua Forum Ulama Umat Indonesia, dan beberapa ulama lainnya di Bandung, Jawa Barat, awal Desember lalu, di luar perhitungannya. Selama ini, mereka belum pernah berdebat langsung. Untuk menangkap intisari pemikiran dua orang tokoh Islam ini, pekan lalu Gatra mewawancari keduanya dalam kesempatan berbeda. Berikut ini beberapa poin penting yang menjadi perdebatan: 1. Wahyu Progresif Ulil: Satu di antara keunikan syariat yang dibawa Nabi Muhammad adalah menganut prinsip tadarruj (berangsurangsur). Nabi Muhammad sebagai Khatiman Nabiyyin seperti disebut dalam Al-Quran tak diartikan sebagai penutup para nabi. Yang lebih tepat maknanya cincin. Ibarat jari di antara jari-jari lainnya, maka jari yang memakai cincin begitu diistimewakan. Karena itu, sejarah kenabian akan tetap berlangsung setelah wafatnya Rasul. Sayangnya, kaum fundamentalis Islam cukup puas membuat replika dari sejarah Muhammad, dengan mengabaikan sejarah yang progresif. Tidak ada hadis yang menyatakan, "susunlah model kemasyarakatan sebagaimana model yang pernah aku laksanakan". Athian: Islam membolehkan menggunakan akal, tapi ruangnya terbatas berupa ijtihad. Ketika Al-Quran dan assunnah tidak merinci aturan hukumnya, maka ijtihad boleh dilakukan. Mungkin saja ayat dan hadis sudah ada, tapi termasuki dzanni, meragukan. Allah memberikan manusia akal untuk berpikir. Tapi, berpikir tidak boleh keluar dari Al-Quran sebagai sumber hukum. 2. Tidak Ada Hukum Tuhan Ulil: Dalam pemikiran hukum Islam dibedakan antara wilayah ibadah dan muamalah. Wilayah ibadah sudah diatur secara detail. Semua tata cara ibadah harus sesuai dengan ketentuan agama. Misalnya salat, jumlah rakaatnya tak bisa ditambah. Tapi, muamalah itu progresif dan dinamis, sesuai dengan perkembangan manusia. Sedangkan hukum Tuhan yang diibaratkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tak pernah ada. Walaupun pernah diterapkan pada masa Nabi, hanya berlaku pada saat itu saja. Misalnya potong tangan, qishash, dan rajam. Ini praktek yang lahir karena pengaruh kultur Arab. Yang terpenting dalam hukum adalah mencakup lima pokok kemaslahan (maqasidusy-syariah), yaitu untuk menjaga jiwa, akal, agama, harta, dan kehormatan. Misalnya, perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk pelarangan minuman keras (khamar). Jadi, haramnya khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin. Athian: Pernyataan tidak ada hukum Allah termasuk penghinaan luar biasa. Sama saja dengan memosisikan akal sebagai Tuhan. Yang dianggap hukum sebenarnya tradisi Arab sangat tak bisa dipahami. Misalnya, dalam sejarah Islam, budaya Arab itu melakukan peribadatan saja di Ka'bah dalam keadaan telanjang. Jadi, Islam datang untuk merombak budaya agar sesuai dengan hukum Islam. Budaya manusia harus menyesuaikan dengan nilai dalam Al-Quran, bukan Al-Quran yang harus disesuaikan dengan budaya sekitarnya. 3. Rajam, Qishash, Potong Tangan, dan Jilbab

Ulil: Ini adalah satu paket yang dianggap sebagai ketentuan agama, karena disampaikan dalam bentuk imperatif (perintah). Hukumnya wajib. Padahal, nilainya lebih bersifat historis dan bukan hukum Tuhan. Praktek hukumnya ada sejak masa Kristen dan sudah lama diterapkan dalam masyarakat Arab. Kemudian Nabi Muhammad melanjutkan praktek tersebut. Hukum pidana bisa saja tetap diterapkan pada saat ini dengan syarat ada konsensus politik, jika cara ini mampu menciptakan tata sosial yang lebih baik. Sebab, yang mengikat itu adalah konsensus publik, bukan hukum Tuhan. Athian: Rajam, qishash, potong tangan, dan jilbab adalah hukum yang sepanjang sejarah tidak pernah diutak-atik karena hukumnya qathi' (pasti). Kalau hukum itu sebagai budaya Arab, bagaimana batasannya? Wilayah hukum yang sudah jelas dalilnya tidak ada ruang lagi bagi akal untuk ijtihad. 4. Posisi Nabi Muhammad SAW Ulil: Nabi itu manusia biasa, tapi diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme, tapi tak semuanya bisa terwujud karena struktur sosial tak bisa diubah sepenuhnya. Islam yang diwujudkan di Madinah partikular, historis, dan kontekstual-sempurna untuk ukuran zamannya, tapi tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others. Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi. Memang, Nabi tidak bicara atas hawa nafsu. Tapi, ada yang salah dalam memahami ayat tersebut. Ini tidak berlaku untuk semua tindakan Nabi, kecuali yang sifatnya ibadah ritual. Athian: Nabi itu tak hanya bagi orang Arab. Dalam Al-Quran surat An-Najm ayat 234, Nabi itu tidak membuat hukum, hanya menyampaikan hukum yang difirmankan Allah. Nabi sebagai manusia yang dilindungi Allah tak berarti harus dikultuskan. Tapi, Nabi punya fungsi membawa risalah. Kalaupun berbuat kesalahan, dia akan segera ditegur Allah. Jadi tak mungkin berbuat kesalahan, dibiarkan sampai akhir hayatnya. 5. Islam di Antara Agama-agama Lain Ulil: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama berabab-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru pada 1965 Masehi, Gereja Katolik di Vatikan merevisi paham ini. Sedangkan Islam, yang berusia 1.423 tahun dari hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti Katolik. Kalau semua agama dikatakan sama, benarkah orang akan mudah pindah agama? Kenapa harus pindah jika semua agama sama saja. Yang menyebabkan orang itu pindah agama justru karena pandangan eksklusif ada agama yang paling benar. Athian: Semua agama sama. Ini sudah menyalahi Al-Quran surat Ali-Imron ayat 19 dan 85, "Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalah Islam." Islam tidak pernah mengajarkan harus mengakui semua agama itu sama. Tapi juga tidak boleh mengatakan bahwa hanya diri kita yang akan masuk surga. Kebenaran itu tetap mutlak tunggal, tidak mungkin ada dua. Tidak mungkin Allah menurunkan beberapa agama dengan ajaran yang berbeda-beda. 6. Kawin Beda Agama Ulil: Larangan beda agama bersifat kontekstual. Pada zaman Nabi, umat Islam sedang bersaing untuk memperbanyak umat. Nah, saat ini Islam sudah semilyar lebih, kenapa harus takut kawin dengan yang di luar Islam. Islam sendiri sebenarnya sudah mencapai kemajuan kala itu, membolehkan laki-laki muslim kawin dengan wanita ahli kitab. Ahli kitab hingga saat ini masih ada. Malah, agama-agama selain Nasrani dan Yahudi pun bisa disebut ahli kitab. Kawin beda agama hambatannya bukan teologi, melainkan sosial.

Athian: Hukum perkawinan beda agama jelas tercantum dalam Al-Quran. Dilarang bagi wanita muslim, tapi dibolehkan bagi laki-laki muslim, dengan syarat menikahi wanita ahli kitab, bukan wanita musyrik. 7. Negara dan Syariat Islam Ulil: Islam sebagai agama adalah masalah privat. Tapi, ketika masuk ke urusan publik, tak perlu lagi membawa label agama. Sebab, label itu akan menjadikan yang di luar sistem terasing. Persoalan zakat, haji, dan perkawinan tak perlu diatur oleh negara. Cukup dikelola umat Islam sendiri. Pemberlakuan syariat Islam sama saja melibatkan secara penuh peran negara dalam kehidupan beragama. Padahal, cara ini bisa mempersempit cara pandang Islam itu sendiri. Syariat menjadi terjebak pada urusan, misalnya, larangan minuman keras, jilbab, dan perzinaan. Athian: Dalam prinsip kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tidak ada suatu rincian yang jelas. Yang diatur hanya prinsip dasarnya. Misalnya asas musyawarah dan keadilan. Untuk menerjemahkannya secara teknis diserahkan kepada akal manusia. [Kholis Bahtiar Bakri dan Asrori S. Karni] [Laporan Utama, GATRA, Nomor 05 Beredar Senin 16 Desember 2002] *** Duta Masyarakat, 17 Desember 2002 KH Muhaiminan Gunardo: Bobrok Moral, Bikin Bingung Ulama kharismatis dari Parakan, Temanggung, agaknya sangat penting bagi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Termasuk dari empat kiai yang perintahnya dipatuhi ketua Dewan Syura PKB itu. TEMANGGUNG Ketika Islam diseret-seret ketika ada aksi kekerasan, seperti citra Islam dikaitkan dengan aksi terorisme, Kiai Muhaiminan Gunardo termasuk yang gelisah. Ya gejala kurang manut pada kiai. Kami ini bukan termasuk aliran yang keras-keras itu, kok. Aliran kami baik, jadi tak ada kekerasan model gitu. Dulu sebelum Islam datang, di Indonesia sudah ada agama, Buddha dan Hindu. Kita sekarang seharusnya berpikir bersama, bagaimana agar negeri ini bisa jadi baik. Kita harus saling menghormati, tutur KH Muhaiminan Gunardo. Ia mencontohkan, Sunan Kudus dulu ketika membangun Masjid Kudus, orang-orang Hindu dan Buddha juga membantu. Mereka menyucikan sapi, ya kita menghormat jangan sampai motong sapi di Kudus, supaya tidak melukai rasa keagamaan mereka. Saling menghormatlah. Jadi, model kekerasan bukan ajaran Islam yang saya ikuti, tegasnya, seperti dikutip Suara Merdeka. Mereka melakukan kekerasan juga mendasarkan kepada dalil-dalil Al-Quran dan hadis? Orang, kalau bukan ahlinya, cenderung merusak. Seseorang mengaku montir, lalu ada bagian mobil yang rusak dan harus diperbaiki, tetapi dia tak punya obeng, kemudian memakai pisau. Pakai pisau ya bisa, tapi jadinya kan tidak baik, sebab lubangnya pasti jadi tambah lebar, jawab Kiai Muhaiminan. Ditambahkannya, Kita sebagai orang awam, yang baik nganut karo sing ahli. Soal agama, ndhereklah para ulama. Ulama adalah pewaris para Nabi. Tak ada pewaris Nabi kok ngajak barang olo (kekerasan) itu. Murid mau pintar ya harus ndherek guru. Mau memahami agama ya harus ndherek kiai. Orang sakit kalau ingin sembuh ya harus menuruti perintah dokter. Sebab sepandai-pandai kita soal kesehatan, pasti masih lebih pandai dokter. Sepandai-pandai kita soal agama, ya masih pandai ulama.

Ia menambahkan, firman Allah Ud u ila Rabbika bilhikmati wal mauidhatul hasanah. Ajaklah ke arah jalan Tuhanmu dengan cara bijaksana dan nasihat yang bagus. Kalau mereka mau berdialog atau diskusi, wa ja dilhum billati hiya ahsan. Kita berdebat dengan cara yang sebaik-baiknya. Amalkan Pancasila dengan benar. Itu sudah baik. Kami, orang NU, tidak pernah menginginkan negara Islam, meskipun sejak dulu terus berjuang untuk negara. NU belum pernah berontak. Tak ada sejarahnya. Agama itu kon gawe apik. Agama mengajak kita untuk baik. La bagaimana bisa berprestasi yang baik, kalau kita merambah jalan yang tidak baik. Cita-citanya baik, tetapi jalannya tak baik, jadinya ya ndak baik. Apakah kelompok Islam yang sekarang memperjuangkan negara Islam dengan diberlakukannya syariat Islam di Indonesia masih merupakan kelanjutan dari gerakan yang dulu juga memperjuangkan hal serupa pada awal kemerdekaan? Wallahu alam. Dulu sejarahnya kita dijajah 350 tahun. Susah, orang dijajah kan tidak enak. Karena itu ulama mendidik supaya pandai. Sedangkan Belanda menekan kita supaya bodoh, biar gampang ditipu. Kita tak boleh sekolah seperti mereka. Setelah mendapat didikan para ulama, masyarakat jadi mengerti. Maka timbullah pemberontakan di mana-mana, guna membela bangsa dan tanah air. Untuk mempersatukan umat Islam dalam melawan penjajah, akhirnya ada jamiyah Islam yang namanya Sarikat Dagang Islam (SDI). Itu katanya untuk mempersatukan umat Islam, tapi akhirnya pecah. Setelah itu ada Sarikat Islam (SI), kemudian Muhammadiyah. Lalu para ulama membikin NU. Itu juga untuk mempersatukan umat Islam. Kemudian cekcok ramai untuk persoalan-persoalan khilafiyah. Kami, orang NU, tidak mau ramai-ramai. Akhirnya disepakati untuk tetap rukun, berjuang bersama untuk nusa dan bangsa. Tapi ada Muktamar Alami Islam, waktu itu di Cirebon. Orang NU tidak diundang, tak diajak. Lantas mengadakan sendiri. Berkumpullah para ulama di Surabaya. Muktamar Ulama memutuskan wajib bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam untuk berjihad mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini ada sekelompok kaum muslim yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk memperjuangkan Islam. Apakah itu pertanda negara ini belum baik? Saat ini akhlaknya bejat semua. Kalau tidak keliru, sudah 32 tahun tak ada pendidikan budi pekerti. Kita bisa lihat sendiri, ada orang umur 19 tahun mengenakan pakaian anak umur sembilan tahun, nganti wudele ketok. Lha kini kita sedang bingung karena kebobrokan akhlak. Apa yang diperlukan saat ini adalah perbaikan akhlak. Pelajaran budi pekerti harus diajarkan lagi. Tapi gurunya siapa? Lihat saja, Jaksa Agung saja seperti itu. Siapa yang mau melangkah? Ini kan membingungkan. Sebaiknya kembali ke jalan Allah, kembali ke ajaran Allah. Kita berjuang, hingga akhirnya merah-putih berkibar. Putih itu artinya suci, ya jangan dikotori. Merah itu artinya berani, tapi bukan nekat. Ada peraturan, kan? Kita kembali mengamalkan Pancasila. Itu baik. Tidak usah mendirikan negara Islam. Yang sudah ada disyukuri. Insya Allah baik, tandas Kiai Muhaiminan. (*) *** Kompas 13 Desember 2002 Menyoal Fatwa Hukuman Mati Oleh : Muhamad Ali Tiba fatwa hukuman mati disebut-sebut sekelompok orang terhadap Ulil Abshar-Abdala, berkaitan dengan artikelnya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas). SIAPA pun bisa tidak sependapat dengan isi atau metode tulisan Ulil. Namun, bila sampai mengarah fatwa penghilangan nyawa, ini sudah melampaui kepantasan akal sehat manusia. Bagi Ulil dan kawan-kawan seperjuangannya, fatwa semacam ini bisa menjadi bentuk terorisme baru. Akibatnya, perbedaan pendapat semacam ini bisa menjadi kontraproduktif.

Di sini saya melihat pentingnya tokoh-tokoh agama memahami dan mengamalkan etika berbeda pendapat (fiq alikhlitaf). Tokoh Islam seperti Yusuf Qardhawi saja dalam buku Fiqh Al-Ikhtilaf tidak menganjurkan fatwa-fatwa semacam itu ketika terjadi beda pendapat. Dia bahkan memperkuat argumen, perbedaan pendapat adalah rahmat. Apakah benar Ulil menghina Islam, amat problematik dan dapat diperdebatkan. Jalur hukum bisa menjadi jalan yang baik karena mungkin dapat diketahui siapa yang menghina Islam. Banyak kalangan yang justru berpendapat, apa yang ditulis Ulil tidak lain membarui pemahaman atau penafsiran atas Islam. Bagi kalangan ini, perlu dibedakan antara penafsiran Islam dan Islam sendiri. Apa yang akan kita katakan bila maksud Ulil yang paling dalam adalah ingin mengagungkan Islam itu sendiri? Fatwa dengan mengatasnamakan "umat Islam" saya kira amat problematik. Umat Islam yang mana? Umat Islam di Indonesia berjumlah 180 juta lebih. Bagaimana mereka mengetahui bahwa tulisan Ulil menghina Islam seperti dianut 180 juta umat? Siapakah representasi umat Islam di Indonesia yang sebenarnya? Adakah representasi itu pada kemajemukan cara berpikir dan beragama dewasa ini? Mungkinkah kita mengklaim bahwa kita representasi umat Islam? Jawabannya, sulit berbicara representasi umat Islam saat ini ketika umat Islam mengalami krisis kepemimpinan. MENGENAI fatwa, beberapa pekan lalu, Isioma Daniel-seorang jurnalis Kristen Nigeria-difatwakan hukuman mati oleh pemerintah dan sekelompok ulama Nigeria karena menulis artikel di sebuah koran Nigeria yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Sementara Hashem Aghajari, seorang kiai di Republik Islam Iran, mendapat fatwa hukuman mati karena mengkritik para mullah negeri itu. Ribuan mahasiswa pun berdemonstrasi menolak fatwa itu. Sudah jelas, menghina Nabi Muhammad SAW-seperti nabi-nabi lainnya-adalah perbuatan tercela secara agama. Umat Islam dan seluruh umat beragama diperintahkan untuk menghormati seluruh nabi tanpa diskriminasi. Namun, persoalan apakah seseorang dapat dicap telah menghina Nabi amat sulit dipastikan sebelum terjadi proses klarifikasi dari yang bersangkutan. Persepsi umum atau bahkan segelintir orang tentang tulisan atau ucapan seseorang belum bisa menjadi alasan memadai untuk menjatuhkan vonis teologis tertentu, termasuk fatwa semacam hukuman mati. Tidak hanya itu. Kita perlu berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, baik individual maupun organisasi. Fatwa dalam sejarah Islam memegang peran penting dan mulia dalam menjawab persoalan-persoalan agama, umumnya masalah-masalah fikih. Fatwa itu sendiri merupakan pendapat mengenai masalah- masalah agama yang bisa benar bisa juga salah karena merupakan bagian dari ijtihad itu sendiri. Bagi umat Islam kini, rasanya sulit untuk menerima "absolutisme fatwa". Pengeluaran fatwa tidak hanya memerlukan ilmu memadai tentang Al Quran dan hadis, tetapi juga tentang sejarah, konteks, dan bahasa zaman. Karena itu, fatwa bisa bersifat moderat. Di negeri kita pernah muncul fatwa-fatwa kontroversial, seperti fatwa kawin beda agama, fatwa menghadiri Natal bagi umat Islam, fatwa pelarangan sekte-sekte agama, dan lainnya. Kedudukan fatwa-fatwa semacam itu bukan merupakan agama itu sendiri. Itu adalah pemahaman kelompok elite agama yang berniat menjaga kesatuan umat, namun pada saat yang sama dirasakan diskriminatif bagi sebagian umat Islam lainnya. Apalagi fatwa hukuman mati. Nyawa adalah paling berharga dalam pandangan Islam dan agama-agama lain. Menjaga nyawa (nafs) adalah bagian dari maksud syariat agama itu sendiri, selain akal, keturunan, agama, dan harta. Siapa yang membunuh seseorang, berarti ia membunuh semua umat manusia, begitu bunyi salah satu ayat Al Quran.

Benar bahwa dalam Islam, halal dan haram sudah "jelas", namun pemahaman mana yang halal dan mana yang haram bisa saja berbeda, dan perbedaan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks. Apalagi yang disebut subhat (samar-samar), ini berkait akal dan konteks manusia. Jika wahyu dan akal sama- sama sumber ajaran agama, terlepas mana yang paling utama, maka pemahaman terhadap wahyu, disadari atau tidak, mengikutsertakan akal. SEJARAH Islam membuktikan, tafsir terhadap apa yang disebut "syariat Islam" tidak tunggal. Penafsiran atas syariat Islam yang didasari ilmu, ketulusan, dan tanggung jawab tidak bisa diancam vonis fisik atau psikologis yang bisa menjadi teror. Tulisan perlu ditanggapi dengan tulisan. Pikiran perlu dihadapi dengan pikiran. Kiranya, ini yang bisa dikatakan adil. Salah satu hikmah-paling tidak bagi saya-dari kontroversi tulisan Ulil adalah empati terhadap the Other amat penting dalam interaksi sosial. Meski bersikap toleran, tidak berarti membiarkan segala hal tanpa kecuali. Paling tidak, bagi kebanyakan umat beragama kini, memahami pluralitas dalam Islam sendiri-selain pluralitas agamaagama-menjadi kian penting. Hemat saya, fatwa semacam hukuman mati terhadap sebuah "pikiran" tidak perlu terulang lagi di negeri yang mengutamakan toleransi, pluralisme, dan perdamaian manusia. Sebagai penutup, saya mengutip ayat Al Quran, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal." (AlHujurat:13). Hanya Tuhan saja yang mengetahui takwa-tidaknya seseorang. Penilaian terhadap keimanan seseorang adalah hak prerogratif Tuhan. Muhamad Ali Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta *** Kompas, 13 Desember 2002 Memahami Kontroversi Tulisan Ulil Oleh : Ratno Lukito TULISAN Ulil Abshar Abdalla Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam ternyata menuai badai. Beberapa tokoh ulama Islam yang tergabung dalam berbagai organisasi masyarakat beberapa waktu lalu menggugat tulisan tersebut karena dianggap telah melecehkan dan menghina ajaran Islam. Mereka bahkan sampai pada pendapat hukuman mati bagi penulis semacam itu. TOKOH muda penggagas pemikiran Islam liberal ini sejak beberapa tahun lalu memang dikenal sangat vokal memperjuangkan pencerahan pemikiran Islam di negeri ini. Pemikiran semacam itu sejatinya bukanlah hal yang baru. Tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib maupun Nurcholish Majid, untuk menyebut beberapa saja, sudah sejak tahun tujuh puluhan mendahului dia menjadi lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia. Hanya saja kemunculan tulisan Ulil tersebut tampaknya memang bertepatan dengan situasi dalam negeri pada akhir-akhir ini yang belum reda dengan isu-isu global diseputar Islam dan Barat. Sehingga seolah-olah tulisan itu keluar dari konspirasi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan Islam. Kontinuitas vs perubahan

Tapi apa benar ia telah melakukan penghinaan terhadap Islam gara-gara tulisan tersebut? Pertanyaan ini tentu tidak mudah menjawabnya sebab secara legal istilah "penghinaan" itu sendiri tidak pernah secara gamblang bisa didefinisikan. Apakah bisa dikatakan menghina Islam kalau seseorang mengemukakan pemikirannya tentang agama yang berbeda dengan pendapat orang lain? Apakah gara-gara pemikiran Ulil berlawanan dengan warna mayoritas ulama di negeri ini sehingga ia bisa dengan mudah dianggap telah melakukan penghinaan dan pemutarbalikan ajaran Islam? Agaknya memang tidak mudah bagi tokoh pemikir Islam semacam Ulil menghadapi kenyataan masih banyaknya masyarakat kita yang memahami Islam sebagai "pakaian jadi" yang tinggal dipakai di manapun dan kapan pun. Situasi semacam ini sesungguhnya tidak spesifik Indonesia. Di belahan dunia Islam mana pun pemahaman semacam itu masih menjadi nomenklatur umum, sehingga usaha pencerahan dan pembaruan pemikiran agama senantiasa menemui masalah karena dianggap sebagai pendobrakan terhadap institusi yang sudah mapan. Dalam hal seperti ini kelompok penentang pembaruan senantiasa menampilkan dirinya sebagai guardian of the faith, yang pada prakteknya menjadi agen utama pemertahanan institusi agama tersebut dari segala macam pengaruh gelombang perubahan. Doktrin bidah bagi mereka menjadi sangat luas pemakaiannya, tidak hanya spesifik pada aspek ibadah mahdlah tetapi juga aspek diluar itu, yaitu aspek agama itu sendiri secara umum. Islam karenanya menjadi sangat rigid dan antirejuvenalisasi karena segala upaya pemikiran ulang ajarannya senantiasa dihakimi sebagai tindakan bidah yang sesat dan menyesatkan (kullu bidatin dlalalatun wa kullu dlalalatin finnaar). Tulisan Ulil sejatinya hanya sekedar contoh dari suara sebagian anak muda cerdas yang jenuh dengan situasi kekinian di mana agama (Islam) tidak mampu lagi ditangkap lan vita-nya oleh masyarakat. Anak-anak muda itu dalam setiap kesempatan senantiasa berpikir bagaimana agar ajaran agama mampu memberikan tuntunan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. Bagaimana agama dapat dipahami sedemikian rupa sehingga ajaran-ajarannya senantiasa memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bagaimana doktrin-doktrin Islam dapat diterima dalam alam kehidupan yang sudah sangat berbeda dengan masa di mana Islam pertama kali diturunkan. Disini Ulil sebetulnya hanya menuliskan suara hati kegelisahan anak-anak muda tersebut. Cobalah simak kalimat pertama yang ia goreskan ketika membuka tulisannya yang kontroversial itu: "Saya meletakkan Islam pertamatama sebagai sebuah organisme yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia." Dengan sangat gamblang, Ulil hanya ingin mengatakan bahwa Islam bukanlah barang mati, tetapi subyek yang berkembang searah jarum jam perjalanan sejarah manusia. Islam, karenanya berada dalam sejarah itu sendiri dan bukannya di luarnya. Walhasil, Islam harus tidak dilepaskan dari ikatan kultur di mana Islam itu tumbuh dan berkembang. Performen keagamaan dalam Islam senantiasa dipengaruhi oleh variabel budaya tempatan. Artinya, harus dipahami bahwa penampilan Islam di suatu tempat tidaklah harus disamakan dengan penampilannya di lain ruang dan waktu. Islam di Arab tentu bersifat kearaban, karena itu wajar jika Muslim di Indonesia berkeinginan untuk menampilkan Islam secara keindonesiaan pula. Inilah poin lanjutan dari tulisan Ulil tersebut. Menempatkan Islam dalam relativitas ruang dan waktu sebagaimana di atas sejatinya juga bukan hal yang baru dalam sejarah pemikiran Islam. Tapi harus pula dipahami, bahwa pemikiran ini memang selalu mengundang kontroversi, karena oleh para oponennya ia dikhawatirkan akan melahirkan ketidakpastian dalam ajaran agama. Batas antara yang kekal (continuity) dan yang berubah (change) menjadi tidak jelas lagi. Dalam fenomena hukum Islam (Syariah), tarik ulur antara dua ekstrem ini juga tidak pernah selesai (N.J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Law). Memang, membedakan mana dari aspek agama yang rigid dan mana yang fleksibel terhadap perubahan bukan pekerjaan yang mudah. Sakral vs profan Berkenaan dengan Syariah sebagai salah satu inti ajaran Islam, saya melihat bahwa sebetulnya Ulil sekadar ingin merefleksikan kembali pendapat bahwa institusi hukum dalam Islam sebetulnya senantiasa bertalian dengan tradisi tempatan masyarakat. Dalam proses pembentukan dan perkembangannya Islam senantiasa membuka diri dengan nilai-nilai ranah sosial masyarakat. Karenanya mengapa substansi hukum yang diderivasikan dari budaya

masyarakat lokal (Arab, saat itu) sering diadopsi oleh Nabi untuk masuk dalam lingkup sistem hukum agama yang sakral (Wael Hallaq, History of Sunni Ushul Fiqh). Ambil contoh institusi hukum warisan, qisas, maupun hukum keluarga lainnya. Kita melihat betapa nilai-nilai adat masyarakat Arab sangat kental dalam filsafat bangunan hukumnya. Dengan demikian, dalam proses perkembangan berikutnya bangunan Syariah Islam perlu juga mengadopsi tradisi hukum dalam masyarakat tertentu di mana ia dikembangkan. Inilah esensi kaidah usul fiqh AlAdah Muhakkamah. Walaupun terasa emosional, tapi Ulil benar ketika ia memberi contoh beberapa tradisi seperti berjenggot, berjubah, berjilbab, maupun hukum potong tangan sebagai tradisi Arab yang tidak perlu diikuti. Ia sebetulnya hanya ingin memisahkan mana yang sakral dan mana yang profan. Yang sakral dan immutable dalam sistem hukum Islam adalah nilai-nilai hukum universal (the values of universal law) yang dibawa Islam itu sendiri sedangkan aspek substantive hukumnya bersifat profan dan mutable. Terlepas dari pro dan kontra, tulisan itu harus dilihat secara jernih sebagai bagian dari perkembangan cara berpikir tentang agama yang dalam situasi kekinian perlu untuk terus didengungkan di Tanah Air. Kekeliruan Ulil mungkin hanya pada metode penyampaiannya yang terasa meledak-ledak dan emosional. Tapi ini tentu khas anak muda kan? Kenyataan bahwa ia telah berhasil mengekspresikan fenomena pemikiran Islam yang selama ini tidak berhasil diungkap secara sederhana dan lugas oleh orang lain tentu harus diakui. Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengarahkan konflik pemikiran Islam di Tanah Air menjadi wacana yang sehat dan membangun. Kita harus menyadarkan diri kita masing-masing bahwa sebetulnya "kebenaran" itu banyak (the truth is not singular). Oleh karena itu apa yang pernah dikemukakan oleh JK Bernstein (Beyond Objectivism and Relativism, 1983) sebagai dialogue of the truth sungguh sangat perlu dilakukan dalam menghadapi pluralisme kebenaran itu. Dan bukan justru mengancamnya dengan hukuman mati. Ratno Lukito, Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta *** Duta Masyarakat; 13 Desember 2002 Polisi Pelototi Laskar Jundullah * Dua Anggota DPR Jadi Donaturnya Diakui, seluruh tersangka pelaku peledakan bom di McDonalds Mall Ratu Indah (MaRI), Makassar adalah anggota Komite Penegak Syariat Islam (KPSI). Tiga di antaranya tercatat sebagai anggota Laskar Jundullah. Demikian diungkapkan oleh Ketua Tim Advokasi KPSI sekaligus Wakil Ketua Laskar Jundullah Iswari Al Farizi kepada wartawan di Makassar, Kamis (12/12). Setelah saya buka registrasi KPSI dan Laskar Jundullah, Agung Abdul Hamid, Muhtar Daeng Lau, Masnur, Ilham dan Usman tercatat sebagai anggota KPSI. Dari kelimanya, Usman tercatat hanya sebagai simpatisan, kata Iswari. Masih kata Iswari, dari kelima orang tersebut yakni, Muhtar, Masnur dan Usman juga tercatat sebagai anggota Laskar Jundullah. Meski demikian Iswari menegaskan, dirinya tidak tahu menahu soal kegiatan kelima orang tersebut. Dalam garis kebijakan Laskar Jundullah dan KPSI, tidak ada cara-cara seperti ini (peledakan) dalam menjalankan misi, tegasnya. Seperti diberitakan Duta beberapa waktu lalu, polisi diam-diam memelototi Laskar jundullah yang juga merupakan organisasi Agus Dwikarna, yang sekarang mendekam di penjara Filipina. Bahkan sumber Duta di Mabes Polri mengungkapkan, ada dua anggota DPR RI yang menjadi donaturnya. Mereka telah menyalurkan aliran dana kurang lebih Rp100 juta. Kedua anggota DPR itu berinisial AF dan FB. Kami punya banyak data soal keterkaitan beberapa anggota legislatif dengan jaringan radikal tersebut. Tapi, belum berani membuka, karena nanti dikatakan menyudutkan kelompok Islam, ujar sumber tersebut kepada wartawan di Jakarta, Kamis (12/12) kemarin.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Polisi Dai Bachtiar mengungkapkan peristiwa bom di restoran siap saji McDonald Makasar Sulawesi Selatan memiliki benang merah dengan kasus bom Bali. Namun Dai mengakui belum memiliki bukti secara secara yuridis atas pernyataanya tersebut. Memang belum ada pengakuan dari para tersangka, tapi antara kelompok pelaku bom Bali dan kelompok pelaku bom Makassar terlihat ada benang merah-nya, ujarnya usai bersilaturahmi dengan staf dan jajaran Mabes Polri di Jakarta, Kamis (12/12). Dai menuturkan, bom yang terjadi mulai dari Batam, Pekan Baru, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Mojokerto, Bali, Mataram, Makassar, Palu, dan Menado, seluruhnya ada keterkaitan. Ia juga mengungkapkan, dalam kasus bom di Palu setelah perjanjian Malinio I dan malam tahun baru, diidentifikasi pelakunya bernama Jono yang saat ini juga diduga terkait bom di Makassar. Kota-kota yang saya sebut itu merupakan suatu rangkaian peledakan bom yang satu dan lain tampaknya ada keterkaitan, ungkap Dai. Kapolri menambahkan, walau bahan peledak yang mereka gunakan berbeda dan belum ada bukti yuridis, tapi secara personal mereka tampak saling kenal dan mereka juga sering bertemu. Oleh karena itu, pihak polisi belum dapat memberi keterangan secara utuh soal keterkaitan itu, namun dari fakta yang ditemukan erlihat mereka saling terkait. Kita lihatlah perkembangannya nanti, masih perlu pendalam lebih lanjut, ungkap mantan Kapolda Jawa Timur ini. Kapolri juga menyebut pihaknya melihat kemungkinan adanya peran organisasi tertentu di balik aksi terror bom tersebut. Polisi menemukan bukti dan keterangan berupa dokumen-dokumen yang menguatkan keterlibatan sebuah organisasi dengan jaringan luas, kuat dan militan. Ketika didesak wartawan apakah organisasi yang dimaksudkan adalah Jamaah Islamiyah (JI)? Jenderal berbintang empat ini enggan menjelaskan lebih lanjut. Pada kesempatan sama di tempat terpisah kepada wartawan Kepala Badan Reserse dan Kriminologi Mabes Polri Irjen Erwin Mappaseng mengatakan polisi menemukan indikasi hubungan antara pelaku peledakan bom di Makassar dengan Agus Dwikarna yang ditangkap polisi Filipina dalam kasus bahan peledak. Kita baru menemukan indikasi, faktanya sedang kita kembangkan, kata Erwin. Lebih lanjut Erwin menyatakan pihaknya tengah mengejar tiga orang tersangka lain dalam kasus bom Makasar, yaitu Kahar Mustafa, Hisbullah dan Agung Hamid. Dalam waktu dekat mudah-mudah mereka dapat kita tangkap, karena tempat persembunyiannya sudah diketahui, ungkapnya. Baasyir Membantah Amirul Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Baasyir, sang tersangka bom Natal dan rencana pembunuhan Presiden Mega, tetap membantah kalau dirinya terkait dengan peledakan Makassar. Hal itu dikemukakan Baasyir di ruang perawatannya di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (12/12) kepada wartawan. Saya tidak kenal satu pun. Kalau mereka, seandainya ada yang mengaku kenal saya, itu wajar-wajar saja, karena memang saya pernah diundang untuk menjadi pembicara Kongres Umat Islam di Makassar dalam rangka pembentukan KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam). Waktu itu saya menjadi pemakalah. Makalah saya juga dibagikan, tegasnya. Baasyir tetap ngotot merasa jadi korban politik. Saya menduga ada suatu kepentingan politik bagi Mabes untuk meningkatkan citra polisi khususnya dan pemerintah Indonesia umumnya di hadapan Amerika Serikat dalam rangka kepentingan-kepentingan bantuan dan utang negara, jelasnya. Jadi, tambahnya, mengenai persoalan dirinya, kepentingan pokok bagi polisi dan pemerintah Indonesia adalah untuk menggembirakan atau menyenangkan hati Amerika. (ful) *** TEMPO, 11 Dec 2002 Sydney Jones: Jamaah Islamiyah Ada di Balik Rangkaian Pemboman

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sydney Jones: Jamaah Islamiyah Ada di Balik Rangkaian Pemboman Direktur International Crisis Group (ICG) Sydney Jones memastikan bahwa Jamaah Islamiyah (JI) berada di balik rangkaian pengeboman di Indonesia. Ada 50-an aksi pengeboman, 38 kasus diantaranya terjadi di 11 kota saat malam Natal 2000 lalu. Tetapi Sydney mengaku tidak tahu pasti apa peranan Abu Bakar Basyir yang disebutnya sebagai ketua organisasi ini. Tidak ada bukti dia merestui atau memerintahkan, katanya kepada Tempo News Room yang menghubunginya, Rabu (11/12) malam. Baasyir, kata Sydney, pasti tahu banyak soal struktur Jamaah Islamiyah dan seluk-beluknya. Ia juga tahu mengenai banyak rencana yang akan dilakukan anak buahnya. Tetapi belum tentu Basyir memberikan persetujuannya. Ada pihak lain yang ikut mengendalikan organisasinya, jelas peneliti ini. Ia menunjuk Hambali alias Riduan Ishamudin, atau organisasi yang lebih besar seperi Al Qaidah. Ada beberapa sebab Baasyir tidak memiliki kekuasaan penuh di JI. Antara lain, ia dianggap tidak memiliki kharisma sebesar tokoh pendiri lain, Abdullah Sungkar. Ajaran Baasyir pun dianggap tidak sekeras Sungkar. Oleh karena itu ada beberapa pihak di dalam tubuh JI yang kecewa. Meskipun demikian Baasyir tetap dihormati sebagai pemimpin spiritual dan ketua. Tetapi akibatnya ada banyak rencana yang tidak sepenuhnya diketahui dan seizin Basyir dilakukan orang-orangnya. Untuk kasus bom Bali, terang Sydney, bahkan ada indikasi Basyir kurang menyetujuinya. Menurutnya saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan-tindakan semacam itu. Tetapi dengan penjelasan yang berputar-putar, Sydney menolak mengatakan bahwa ada akses yang sama yang dimiliki organisasi semacam Al Qaidah ataupun militer dan badan intelijen manapun, untuk memanfaatkan Jamaah Islamiyah. Ia mengakui ada banyak kemajuan dalam hal profesionalisme para pelaku dalam kasus Bali. Dan itu berbeda dengan aksi-aksi pemboman yang dilakukan JI terdahulu. Tetapi, Sydney kurang mendukung spekulasi yang mengatakan adanya keterlibatan militer atau aparat intelijen di dalam serangan tersebut. Menurutnya, ada tiga penjelasn dalam kaitan itu. Pertama, orang-orang JI belajar dari kesalahan dan kegagalan mereka sebelumnya. Kedua, mereka beruntung. Sehingga bom yang mereka rangkai bekerja sesuai rencana. Dan ketiga, ada bantuan dari luar JI, misalnya dari Al Qaidah, atau siapa saja. Saya tidak tahu siapa, kilahnya. Ketika disinggung mengenai penelitiannya yang menemukan adanya orang intelijen yang memiliki hubungan dekat dengan JI, Sydney juga tidak setuju jika itu dijadikan indikasi adanya keterlibatan intelijen secara organisasional dalam operasi teror mereka. Ia menjelaskan bahwa itu hanya sebuah persinggungan dari kesamaan kepentingan dalam menghadapi Gerakan Aceh Merdeka. Kebetulan ada orang Aceh di intelijen yang punya akses ke JI, tapi sejauh mana intelijen tahu operasi JI, itu harus diteliti lagi, jelasnya. Sydney baru saja selesai mengikuti acara makan malam di kediaman Duta Besar Amerika Serikat di Taman Suropati, Menteng, Jakarta, saat dihubungi. Tetapi ia menolak bahwa acara malam itu merupakan acara khusus, apalagi pertemuanya dengan wakil pemerintah AS. Saya bahkan tak sempat bicara pada Duta Besar, ujarnya. Ia juga menolak jika dikatakan ada pesan khusus untuknya dari pemerintah AS berkaitan dengan penelitiannya. Tak ada orang pemerintah manapun yang kami hubungi dalam penelitian ini. Itu mutlak, katanya tegas. Bahkan, lanjutnya, hasil penelitiannya pun belum ada yang diberikan pada pemerintah negara adi kuasa itu. y. tomi aryanto Tempo News Room *** Suara Karya, 11 Desember 2002 Islam Tak Bisa Dikaitkan Dengan Terorisme

MAKASSAR (Suara Karya): Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof Dr Achmad Ali menyatakan, Islam tidak bisa dikaitkan dengan terorisme sebab agama ini anti kekerasan apalagi terorisme. "Kalau ada pelaku teror yang secara kebetulan beragama Islam, tidak boleh diidentikkan dengan Islam, " katanya di Makassar, Selasa, menanggapi pelaku pengeboman di dua tempat di Makassar berasal dari kalangan muslim. Menurut pakar hukum Unhas itu, Islam adalah agama kedamaian, agama yang menyejukkan dan keselamatan yang rahmatan `Lil-alamin`, dan untuk seluruh alam semesta. Salah satu simbol keselamatan dalam Islam adalah "salam" yang artinya mendoakan kepada orang yang disalami untuk keselamatannya. Karena itu, polisi harus bisa membedakan yang mana merupakan tindakan oknum serta tidak bisa digeneralis. "Adalah keliru mengidentikkan Islam dengan teroris," katanya. Ia berharap, kasus pengeboman di restoran cepat saji Mc Donald Mal Ratu Indah Jl. Ratulangi yang menewaskan tiga orang maupun di show room NV. Haji Kalla dapat diungkap dalam waktu dekat, sebab peledakan bom tersebut telah mengganggu kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan maupun dunia. Sementara itu, mantan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Prof Dr H. A. Basalamah menilai, pengeboman di malam takbiran di dua tempat tersebut sangat tidak menggembirakan dan merupakan perbuatan terkutuk. Kejadian ini membuat umat Islam harus lebih meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran bernegara, serta jangan mudah terpancing dengan gejolak maupun ragam kepentingan yang muncul. "Islam menolak bentuk teror dan aksi serupa sebab Islam agama kedamaian," ujarnya dan menambahkan, perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam. Sementara itu Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr Ahmad Syafi`i Ma`arif mengingatkan, supaya umat Islam di Indonesia tidak kehilangan akal sehat dalam menanggapi berbagai tekanan pihak luar demi persatuan dan kesatuan umat sendiri. Hal itu dikemukakannya di Jakarta, Selasa, menanggapi isu adanya ratusan kelompok Islam radikal di Indonesia. "Kita tahu bahwa selama ini Islam merasa menjadi tertuduh dalam setiap kegiatan yang berkenaan dengan aksi teror, tetapi jangan lalu kita kehilangan akal sehat," ujarnya mengingatkan. Umat Islam, lanjut Syafi`i, harus mampu bersatu dan bertahan dalam menghadapi setiap tekanan demi keberlangsungan pesan Islam yakni rahmatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta. Perspektif itu hendakya dipahami oleh seluruh umat Islam di Tanah Air, baik kelompok moderat maupun kelompok-kelompok radikal dan militan sehingga Islam di Indonesia menjadi lebih kuat dan kokoh dalam menghadapi setiap tekanan disertai sikap yang lebih bijaksana. Diakuinya, munculnya sikap keras dari beberapa kelompok Islam di Tanah Air, khususnya yang radikal atau militan, merupakan sikap yang wajar apalagi selama ini kelompok garis keras itu muncul akibat sikap represif pemerintah terdahulu.

Saat ini, keadaan umat Islam baik di Indonesia maupun secara global sudah tidak berdaya lagi menghadapi tekanan yang bertubi-tubi, sehingga menyebabkan sebagian dari kelompok Umat Islam di Tanah Air menempuh jalan pintas, tuturnya. "Jadi sikap mereka itu dapat dipahami juga, tetapi bukan lantas umat Islam di Tanah Air bisa kehilangan akal sehat dalam menghadapi berbagai tekanan itu yang justru dapat merugikan umat Islam sendiri," demikian Syafi`i. (Ant/L-2) *** Gusdur.net 8 Desember 2002 Gus Dur: Isu negara Islam Indonesia tidak pernah didukung ummat Islam Tokoh Muslim Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyesalkan pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew yang menyatakan Islam garis keras akan berhasil mendirikan negara Islam di Indonesia, karena institusi politik Indonesia yang lemah. Pernyataan Lee itu mencerminkan bahwa dia tidak sungguh-sungguh memahami umt Islam Indonesia khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, kata Gus Dur kepada gusdur.net via telepon, Minggu (8/12) siang. Sebenarnya, kata Gus Dur, kelompok Islam garis keras seperti yang dikatakan Lee Kuan Yew hanyalah kelompok Islam yang kecil di Indonesia. Cuma karena sepak terjangnya selalu di beritakan media massa, jadi solah-olah kelompok itu menjadi besar. Gus Dur memaparkan sebenarnya mayoritas umat Islam Indonesia adalah umat yang demokratis. Contohnya NU sendiri yang secara kultural sangat mempengaruhi umat Islam Indonesia. Oleh sebab itu, mayoritas umat Islam Indonesia yang demokratis tidak terpancing oleh pernyataan Lee Kuan Yew, yang tidak sungguh memahami umat Islam Indonesia. Dia menambahkan, apa yang dikatakan Lee Kuan Yew tidak benar. Isu didirikannya negara Islam Indonesia tidak pernah didukung oleh umat Islam Indonesia sendiri. Justru yang tidak setuju dengan didirikannya negara Islam Indonesia bukan dari umat non muslim, tetapi dari tokoh-tokoh muslim Indonesia sendiri. Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final, tegas Gus Dur. Seperti diberitakan Far Eastren Economics Review (FEER) untuk edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew mengatakan kelompok Islam garis keras akan mendirikan daulah Islamiyah di Asia Tenggara. Meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura dan Selatan Filipina. Itu adalah sebuah ancaman. Lebih-lebih bagi negara-negara yang memiliki institusi politik yang lemah, seperti Indonesia, kata Lee seperti dikutip reuters. Kompas 4 Desember 2002 Menyegarkan Kembali Sikap Islam * Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla Oleh A. Mustofa BisriKETIKA harian Kompas (18/11/2002) menurunkan tulisan Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, saya menduga bakal muncul banyak

reaksi. Benar. HP saya dibanjiri komentar reaktif beberapa orang atas artikel itu. Semuanya bernada "mempertanyakan". Tulisan itu bernada "teror". Saya nyaris yakin, saat menulis, di depan Ulil ada bayangan orang-orang berjubah dan berjenggot, membawa pedang yang di bayangan Ulil terus meneriakinya agar dia juga berpakaian dan berjenggot seperti mereka jika tidak mau masuk neraka. Dari awal tulisan, nada geram sudah tercium. Selanjutnya, Ulil seperti hanya ingin membuat geram mereka yang membayanginya. Mereka yang ia sebut sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan "me-monumen-kan" Islam. Maka diulang-ulangnya kalimat yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis Barat yang paling dibenci oleh mereka yang "membayangi Ulil" itu. Bila dugaan saya benar, inilah kesalahan pertama Ulil. Tulisan itu mestinya bukan di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram. Pembaca Kompas-wallahua lam-umumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Melihat nada tulisannya, Ulil jelas hanya menujukan kepada mereka yang ia sendiri sepertinya sudah yakin tidak akan mau "mendengarkan"-nya. Akibat salah memilih media, tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe sebagaimana sasarannya. Mereka yang selama ini menyikapi artikel sebagai penuangan pikiran-bukan untuk hal lain, seperti men-"teror" orang-akan bertanya-tanya, apa maunya Ulil? Kesalahan kedua, sekali lagi bila dugaan saya itu benar: Ulil menulis dengan geram! Kegeraman, sebagaimana sikap-sikap athifie lainnya, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Ulil pasti sudah hafal mahfuzhat yang berbunyi "Kaifa yastiqiemudzillu wal uudu a waj?", "Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkat yang menimbulkan bayangan, bengkok?" Ya bagaimana kita akan meluruskan kalau kita sendiri kacau? KESALAHAN lain yang mestinya tidak boleh terjadi dari seorang intelektual ialah menggunakan kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan "nafsu". Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Inna akhwafa maa akhaafu alaa ummatie: asyirku billah. Alaa inni laa aquulu ta buduuna watsanan walaa qamaran walaa syamsan; walaakin al-a maal lighairillahi wa syahwatin khafiyyah." Au kamaa qaala Rasulullah SAW. "Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku ialah menyekutukan Allah. Ingat, aku tidak berkata kalian akan menyembah berhala, rembulan, atau matahari; tapi yang kumaksud: amal-amal yang dilakukan bukan karena Allah dan adanya kepentingan yang tersamar. Amar makruf nahi munkar yang populer itu, hakikatnya adalah manifestasi dari kasih-sayang. Maka, ada dawuh, "Amar makruf nahi munkar, hendaklah dilakukan secara makruf dan tidak boleh dilakukan secara munkar." Untuk dapat ber-amar-makruf-nahi-munkar secara benar, menurut saya, harus didahului kasih sayang. Orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang, sulit dibayangkan dapat melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain, amar makruf nahi munkar adalah istilah lain dari rahmatan lil alamien. Wallahu a lam.

Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh. Apalagi, bila tidak disertai pemahaman yang cukup atas apa yang disemangati. Ulil sudah tahu, bahkan tampak sudah menjadi "obsesi"-nya, banyak di antara kaum beragama yang terlalu bersemangat dan tidak disertai pemahaman cukup atas agamanya, justru terbukti lebih banyak merugikan, terutama bagi citra agama itu sendiri. Maka sudah semestinya Ulil tidak bersikap sama. Terlalu bersemangat dalam "memerangi" apa yang dianggapnya "musuh Islam", sehingga justru mengaburkan pikiran jernih yang ingin dikemukakan. Kesalahan terakhir-mudah-mudahan benar-benar terakhir-Ulil menulis itu pada bulan suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama. Sengaja saya tidak menanggapi isi atau materi tulisan, karena seperti dikemukakan di atas, saya tidak melihat tulisan Ulil kali ini dimaksudkan untuk mengutarakan pikiran, bahkan wacana sekali pun. Saya yakin kalau membaca lagi tulisannya, dia akan menyesal, minimal agak menyesal, atau saya mengharapkan begitu. A. Mustofa Bisri, Mertua Ulil Abshar Abdalla *** Dari Haidar Bagir 4 Desember 2002 Beberapa Pertanyaan untuk Ulil BARANGKALI tak ada seorang pun pembaca artikel Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam (Kompas, 18/11/2002) yang tak terprovokasi olehnya. Banyak yang menarik perhatian, bahkan terlalu banyak untuk artikel ringkas semacam itu. Meski demikian, lepas dari gaya provokatif dan kesan "entusiasme seorang inovator" dalam diri penulisnya, sebenarnya tak banyak hal baru yang diungkapkan Ulil dalam lontaran mutakhirnya ini. Sejak awal abad 20, para pemikir yang disebut sebagai "pembaru pemikiran Islam"-dengan berbagai variasi gaya dan kecanggihan-telah melontarkan sebagian atau semua unsur yang terangkum dalam tulisan Ulil itu. Ada Ali Abdurraziq, Sayid Ahmad Khan, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, hingga Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad Abid al-Jabiri, untuk menyebut hanya beberapa di antaranya. Di Indonesia pun ada Cak Nur dan Gus Dur. Bedanya, para pendahulu Ulil itu telah menulis banyak buku, setidaknya puluhan makalah serius untuk menyampaikan gagasan-gagasan pembaruannya, Ulil meringkaskannya dalam satu artikel pendek dan popular di sebuah koran. Sekadar contoh, Rahman menulis buku-buku seperti Islamic Methodology in History, Major Themes of the Qur an, Islam and Modernity, dan berbagai buku lainnya. Sementara Abu Zayd dan al-Jabiri menulis ribuan halaman buku -lebih dari seribu halaman di antaranya didedikasikan hanya untuk mempelajari metode ta wil (hermeneutika tradisional) kaum rasionalis Mu tazilah dan teosof model Ibn Arabi. Itu yang pertama. Sementara para analisis Barat menganggap, mayoritas Muslim di Indonesia cukup moderat, terbuka, dan inklusivistik dalam cara pandang keislamannya. Ulil terkesan menggeneralisasi (mayoritas) masyarakat Islam di Indonesia atas dasar pandangan sekelompok umat Islam yang biasa disebut sebagai "literalis". Saya khawatir, sikap Ulil merupakan imbas pertarungan kelompok Islam Liberal yang dikoordinatorinya dengan "Islam Literal." Begitu keras, immediate, dan pressing-nya pertentangan itu bagi Ulil cs, sehingga tampaknya Ulil lupa, "musuh" yang mereka hadapi-meski vokal-tak mewakili pandangan mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia. LEPAS dari gaya penyampaiannya, concern Ulil dalam tulisannya itu sudah merupakan concern, bahkan wacana yang kompleks, canggih, dan rigoris di kalangan para sarjana Islam selama berabad-abad. Tak sulit untuk mencari dasar bagi prinsip-prinsip pemikiran Ulil dalam artikel itu-sebagaimana juga tak sulit untuk mendapat dukungan, yang sama-sama canggih bagi pendapat-pendapat yang menentangnya-dalam wacana-wacana itu.

Termasuk di dalamnya soal nilai penting prinsip-prinsip (moral) universal atau maqashid al-Syari ah versus hukum-hukum yang bersifat partikular, sifat progresif pemikiran dan penafsiran Islam serta keharusan ijtihad tanpa henti, pemberian perhatian pada konteks hermeneutik selain teks tradisi suci, sifat abadi dan temporal doktrin-doktrin keislaman, inklusivisme Islam, sekularisasi, dan sebagainya. Bahkan, peolakannya terhadap apa yang disebutnya sebagai "hukum Tuhan", dan alternatif "Sunnah Tuhan" yang ditawarkannya pun sebenarnya tak sulit dipahami-meski tak berarti harus disetujui-dalam kerangka sifat progresif ajaran Islam dan penekanannya pada prinsip-prinsip universal itu. Saya khawatir, problem artikel Ulil -lagi-lagi- tak diungkapkannya metodologi yang memandunya untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan itu. Sehingga, saya khawatir, bagi sebagian pembaca yang tinggal adalah kesan arbitrer dan kurangnya dasar bagi penarikan kesimpulan-kesimpulan itu. Padahal, kabarnya di waktu belakangan ini Ulil sedang memusatkan perhatiannya pada penyusunan semacam metodologi bagi perumusan pandanganpandangan Jaringan Islam Liberal. Di bawah ini adalah beberapa contoh masalah yang dikemukakan Ulil, yang saya pikir menuntut penjelasan yang bersifat metodologis itu. Ulil menyatakan, "Aspek-aspek Islam yang merupakan cermin kebudayaan Arab, tak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam Arab. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia." Dalam cuplikan itu, Ulil mencampurkan antara isu-isu yang memperoleh dukungan petunjuk Al Quran yang diangap valid dalam hal transmisi (qath iy al-wurud) dan-nyaris juga-valid dalam hal maknanya (qath iy al-dilalah), seperti jilbab dan potong tangan, dengan yang dukungan-tekstualnya bersifat kontroversial seperti memelihara jenggot, memendekkan celana, bahkan hukum rajam (Tak ada salahnya saya ingatkan di sini bahwa hukum rajam sama sekali tak disebut dalam Al Quran). Kenyataannya, keharusan memakai jilbab-dalam makna pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan-dan kerudung (khumur) secara eksplisit diungkap dalam Al Quran. Maka, jika hendak ditafsirkan secara lain, tentu diperlukan argumentasi yang meyakinkan. Demikian juga dengan pernyataan bahwa yang lebih esensial adalah keharusan untuk memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Quraish Shihab pun berpendapat demikian berdasar kualifikasi Al Quran sendiri atas ayat jilbab itu-yakni potongan ayat yang berbunyi "kecuali yang (selayaknya) terlihat dari (aurat) itu (illaa maa zhahara minhaa)." Namun, untuk meyakinkan orang mengenai pendapatnya, Quraish merasa perlu mengerahkan kepiawaiannya dalam tafsir. (In passing, ingin saya tegaskan di sini, penafsiran para ulama tentang hukuman potong tangan pun amat beragam, mulai penerapan secara "boros" pemotongan telapak tangan, hingga secara reluctant menjadikan pemotongan dua jari sebagai hukuman maksimal bagi tindakan pencurian yang tak memiliki alasan sah). SATU contoh lagi. Menurut Ulil, "Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi, tanpa memandang aspek beliau sebagai manusia yang banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah). Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya (Ulil Haidar Bagir) mempunyai perbedaan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul menghadapi banyak keterbatasan. Rasul berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual." Tidak sulit untuk memahami pandangan Ulil mengenai belum selesainya-bahkan mungkin, baru bersifat awalhasil pekerjaan Rasul Muhammad SAW. Selanjutnya merupakan tugas penerus Rasul, termasuk ulama dan intelektual, untuk membawa kehidupan pada tujuan penciptaan dengan upaya-upaya ijtihad mereka. Juga mudah dimengerti, karya Rasul merupakan "hasil maksimal" dari negosiasi antara nilai-nilai ideal Islam yang dibawa dengan kenyataan masyarakat Arab di masanya. Karena itu, bersifat historis dan-setidaknya sampai batas tertentu-bersifat partikular dan kontekstual. Namun, menisbahkannya ketaksempurnaan itu kepada kekurangan-kekurangan sang Rasul saya kira membutuhkan suatu penjelasan. Dalam sejarah pemikiran Islam, sudah merupakan pandangan mainstream ulama Sunni, dalam kesempatan tertentu Rasul ditegur atau diluruskan oleh Allah. Juga, Rasul disebut-sebut

sebagai mengakui kekurangannya sendiri seraya menunjuk orang sebagai lebih tahu darinya dalam hal-hal duniawi (antum a lamuu bi umuuri dunyakum). Tetapi, tak satu pun di antara para ulama itu, sependek pengetahuan saya, yang berpendapat, Rasul bisa salah dalam menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan. Al Quran secara eksplisit menyatakan hal ini dengan menyebutnya sebagai "tak berkata-kata dari hawa-nafsunya" dan bahwa semua yang disampaikannya dalam hal ini "tak lain adalah wahyu yang diturunkan." Bahkan, dalam memastikan makna ini, para penafsir bersusah-payah dalam membedakan peran Rasul sebagai-menggunakan istilah Al Quran sendiri-basyar (manusia secara biologis) yang bisa salah dan perannya sebagai Rasul yang ma shum (infallible). Saya percaya Ulil cukup resourceful melakukan tugas ini. Bila tidak, saya khawatir pikiran-pikiran yang diungkapkan secara provokatif dan off hand seperti ini tak akan mendapat apresiasi selayaknya. Bukan menyuburkan iklim dialog produktif, namun jangan-jangan mengentalkan sikap penolakan a priori atas upaya pembaruan pemikiran Islam, bila tidak malah memancing konfrontasi yang tidak perlu. Haidar Bagir, Direktur Utama Penerbit Mizan dan Kandidat Doktor di bidang Filsafat Islam *** Dari Hudoyo, lewat Apakabar 4 Desember 2002 Kutipan : detikcom - Bandung, Tulisan kolumnis dan aktivis Ulil Abshar > Abdalla di salah satu media nasional bertajuk "Menyegarkan Kembali > Pemahaman Islam" dinilai telah menghina Allah, Islam dan Nabi > Muhammad SAW. Sesuai syariat Islam, oknum yang menghina dan > memutarbalikkan diancam dengan hukuman mati. (Kutipan selesai) Komentar saya : Negara Kesatuan Ripublik Indonesua adalah bukan negara Islam. Syariat Islam (S I) yang pernah diajukan oleh kelompok Islam Fondamentalis dalam sidang MPR dan sudah ditolak oleh mayoritas anggota MPR. Pernyataan dari kelompok Islam fondamentaslis seperti yang di muat dalam detikcom-Bandung seperti kutipan diatas adalah merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab, karena dalam pernyataan itu golongan Islam fondamentalis telah secara sepihak melaksanakan hukum Syariat Islam dalam NKRI yang 100 persen adalah bukan negara Islam, NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis dan berdasarkan Pancasila. Jadi dalam masalah ini saya berpendapat bahwa ancaman pembunuhan yang dikeluarkan oleh golongan Islam fondamentalis terhadap Ulil dapat dikategorikan dalam tidakan teror dan dapat dikenakan undang-undang anti teror yans sekarang ini sudah diberlakukan. Tulisan Ulil yang bertema "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" Menurut pendapat saya justru suatu tulisan yang bertujuan untuk mem bela nama dan agama Islam, setelah nama dan agama Islam dewasa ini telah dirusak oleh golongan Islam fondamentalis. Nama dan Agama Islam dewasa ini telah dilibatkan dalam gerakan TEROR oleh kelompok islam fondamentalis. Ini telah dimanifessasikan dalam gerakan pemboman dimana-mana di Indonesia sampai pada gerkan pemboman di Kuta Bali yang sudah diakui oleh Amrosi dan Imam Samodra. Inilah tidakan yang nyata telah menghina Agama Islam. Oleh karena itu Ulil berusaha menyegarkan kembali Agama Islam, yang sudah dirusak oleh oknum- oknum fondamentalis seperti Amrosi, Imam Samodra dkk. Jadi jangan diputar balikkan, oknum-oknum perusak agama Islam sepert Amrosi, Imam Samodra dkk, malah dinilai sebagai pahlawan Islam. Kalau Indonesia ini seandainya adalah merupakan negara Islam seperti negaranya Taliban (Afganistan) ya itu bisa-bisa saja terjadi. Tapi bangsa Indonesia tidak akan ada yang mau menuju kearah talibanisme. Ini sudah terbukti bahwa Syariat Islam sudah secara mayoritas ditolak oleh MPR dari dulu sampai sekarang. Selamat berjuang..

Hudojo.. *** Dari Gus Ketang, lewat KMNU 2000, 4 Desember 2002 Dear Damas Fiktor Yth, Saya secara pribadi sangat bangga mempunyai teman seperti anda dan juga mas Ulil, saya sangat paham apa yang menjadi gerakan mas ulil, dan teman teman muda NU di seluruh Indonesia. Kalau itdak salah anggota KMNU ini sangat besar sekali dan tidak semua pribadi atau kaum muda yang benar benar memberikan perhatian besar terhadap pengembangan NU dimasa depan. Seperti kasus polemik saya dg Abang saya: Andi Muarly Muawiyah, jangan terjadi lagi dan akan menjadikan polemik sejarah terhadap konsulidasi NU. Anda bisa investigasi di ENGIN YAHOO SEARCH Dan tulis nama saya : Nur Hamid Ketang, disana semua agenda pembicaraan kita menjadi saksi sejarah bagi orang laing yang tidak mau NU besar dan sebagai Organisasi Islam terbesar, dan pluralism, Saya kira apa yang kita bicarakan dan kita diskusikan harus menjadi titian intelektual anak muda NU, kalau saya usul anda lebih baik menulis buku yang kemudian menjadikan anda sebagai pemikir NU tentang Islam masa depan. Apalagi kalau bisa diterjemahkan leh berbagai bahasa asing seperti inggris. Wah kita akan mengkoleksi para pemikir pemikir NU yang mengglobal, saya tunggu bung tulisan anda .... Sekecil apapun peristiwa peristiwa di KMNU ini adalah lintasan sejarah bagi masa depan NU, saya berharap juga bahwa sistem yang harus disiapkan oleh pemikir NU juga menjadi acuan strategi manajemen, saya melihat KMNU ini besar manfaatnya, serta mampu membeikan inspirasi terhadap kebangkitan anak muda NU, Semoga dunia juga tertarik mengembangkan konsep pluralism yang dikembangkan oleh anak muda NU, seperti contohnya mas Ulil, saya kira NU saat ini, juga Islam di Indoensia memerlukan seratus Mas Ulil untuk fasilitator pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Mas Damas,...... Pemikiran Anda sangat luar biasa, dan saya masih ingat bagaimana pengaaruh buku buku cetakan LKIS mampu memberikan inspirasi kepada PMII seluruh Indonesia, adalah salah satu contoh pemberdayaaan yang luar biasa. Yang terakhir, mohon maaf kalau ada kesalahan saya, Hormat saya, Gus Ketang

You might also like