You are on page 1of 8

BAB I

1. Latar Belakang Fiqih Muamalah telah mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabiin, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Selanjutnya, mereka menjelaskan hukumhukum permasalahan tersebut, kemudian membukukannya dan mengamalkannya. Bahkan sebagian ahli Fiqih telah membahas permasalahan yang belum terjadi di zamannya dan ternyata dapat dimanfaatkan pada masa-masa setelah mereka, ketika lemahnya negeri-negeri Islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga masalah Fiqih seperti di zaman sekarang ini. Fiqih Muamalah merupakan satu medan ilmu syari yang terpenting dan menjadi buah seluruh ilmu syariat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnul Jauzi, Fiqih memiiliki kedudukan yang mulia. Para ulama pun bersemangat dalam mempelajari Fiqih dan membukukan permasalahan-permasalahannya, hingga akhirnya mereka meletakkan dasar dan kaidah dalam semua bidang ilmu Fiqih, khususnya Fiqih muamalah yang demikian luasnya. Dengan bekal tersebut, kaidah dasar yang ditulis dan dibakukan para ulama ini kita dapat mengetahui dan memahami banyak sekali permasalahan yang bersinggungan langsung dan tidak langsung dalam kehidupan kita. Penulis memohon petunjuk dan bantuan dari Allah dan berharap dapat memberikan manfaat serta faidah untuk diri penulis sendiri khususnya dan para ikhwan yang membaca dan mendengarkan kajian ini. Mudah-mudahan harapan tersebut dapat dikabulkan Allah dan terwujud dalam bentuk yang nyata. Sudah menjadi kewajiban setiap muslim yang akan menjalani amalan untuk memiliki dan mengenal hukum-hukum syariat Islam yang berkaitan dengan amalan tersebut. Kita semua tidak dapat lepas dari pengelolaan dan penggunaan harta dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran barang, uang, dan jasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan ini. Di samping itu, menuntut ilmu syari merupakan satu ibadah besar bila disertai niat yang ikhlas dan pengamalan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang berjalan menempuh satu perjalanan mencari ilmu, niscaya Alah akan membukakan jalan menuju surga baginya. Sungguh, malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha pada penuntut ilmu, dan seorang alim (yang berilmu) akan dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan-ikan di air. Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintangbintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang sempurna. (Hr. Tirmidzi)

2. Rumusan Masalah 1. Apa hukum Ghasab dalam Islam? 2. Bagaimana pendapat para ulama tentang ghasab? 3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Fiqih Muamalah II guna mendapatkan nilai dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti Ujian Akhir Semester 4 tahun ajaran 2012 yang di disyaratkan oleh dosen mata kuliah terkait.

BAB II A. Pengertian Ghasab Secara etimlogis ghasab berasal dari kata - - Yang berarti

mengambil secara paksa dan zalim, Muhammad al khatib al Syarbini


menjelaskan definisi gasab secara etimologis Gasab secara bahasa berarti mengambil sesuatu secara zalim, sebelum mengambilnya secara zalim (ia juga melakukan) secara terang-terangan. sedangkan Al-Jurjani secara etimologis mendefinisikan gasab dengam ( mengambil sesuatu secara zalim baik yang diambil itu harta atau yang lain). Sedangkan secara terminologis gasab didefinisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan / terengterangan. Menurut istilah yang dimaksud al-ghashab didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:

Ulama Mazhab Maliki

mengambil harta orang lain secara paksa dan sengaja (bukan dalam arti merampok)

Ulama Mazhab Syafii dan Hambali

Penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak. Maka dari itu menanami tanah ghasab termasuk haram karena mengambil manfaat dari tanah ghasab dan menghasilkan harta.

Mazhab Hanafi

mengambil harta orang lain yang halal tanpa ijin, sehingga barang tersebut berpindah tangan dari pemiliknya B. Hukum dan Dasar Hukum Ghasab a. Hukum Ghasab

Perbuatan gasab tersebut adalah dosa dan haram tapi tidak membatalkan salatnya(Al-Fiqh al Al-Madzhib Al-Khamsah). Istilahnya adalah harm l ghairih yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, akan tetapi dibarengi oleh suatu yang bersifat mudarat bagi manusia. Sedangkan dalam fikih Ahlulbait, gasab tetap dihukumi sebagai dosa plus perbuatan salatnya sendiri tidak sah. Sedemikian ketatnya hingga jika kita salat tetapi ada sehelai benang pun yang ada ditubuh kita diperoleh dengan cara batil, maka salat pun tidak sah. Sayidina Ali as.
3

Berkata kepada Kumail, Wahai Kumail, lihatlah di mana dan pada apa kamu salat. Jika itu didapatkan bukan dengan cara yang benar maka tidak diterima salatnya. Al-ghasab haram dilakukan dan berdosa bagi yang melakukannya, firman Allah :

)811 3 (
dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain antara kamu dengan jalan bathil. (Al-Baqarah : 188)[1] b. 1. Dasar Hukum Ghasab Al-Quran Ghashab, merampas hak orang lain adalah perbuatan zhalim, sedangkan perbuatan zhalim termasuk kegelapan-kegelapan pada hari kiamat. Allah swt berfirman:

)92(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu(QS. Al-Nisa [4]:29). Sebab turunnya ayat ini ialah seperti yang diriwayatkan Bahwa Ibnu Asywa Al-Hadrami dan Imriil Qais terlibat dalam sesuatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak dapat memberikan bukti. Maka Rasulullah saw. Menyuruh Imriil Qais (sebagai terdakwa yang ingkar) supaya bersumpah. Tatkala Imriil Qais hendak melaksanakan sumpah itu turunlah ayat ini.[2] Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang agar jangan memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Yang dimaksud dengan memakan disini ialah mempergunakan atau memanfaatkan sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Dan yang dimaksud dengan batil ialah dengan cara yang tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.

[1] Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada 2005, hal. 250.

[2] http://rumahislam.com/hadis/arbain-imam-nawawi/755-tafsir-depag-ri-qs-002-baqarah188.html. tanggal download. 30/02/2012

Para ahli tafsir mengatakan banyak hal-hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkungan bagian pertama dari ayat ini, antara lain : a. Memakan riba

b. Menerima zakat bagi orang yang tidak berhak menerimanya. c. Makelar-makelar penipuan terhadap pembeli atau penjual. Kemudian pada ayat bahagian kedua atau bahagian terakhir dari ayat ini Allah swt. melarang membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebahagian dari harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberi sumpah palsu atau saksi palsu. 2. Hadits ( . ). Artinya : Dari Said bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabada Barangsiapa ambil sejengkal dari bumi dengan kezhaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari Qiyamat dari tujuh bumi[3] C. Hukuman Bagi Orang yang Ghasab

Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain. Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya. Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.

Mazhab Hanafi dan Maliki


Denda dilakukan dengan barang yang sesuai/sama dengan barang yang dighasab. Apabila jenis barang yang sama tidak ada maka dikenakan denda seharga benda tersebut ketika dilakukan ghasab. Mazhab Syafii denda sesuai dengan harga yang tertinggi Mazhab Hanbali denda sesuai dengan harga ketika jenis benda itu tidak ada lagi di pasaran.

Terjadi perbedaan pendapat tentang apakah benda yang telah dibayarkan dendanya itu menjadi milik orang yang menggasabnya
[3] A. Hasan, Bulughul-Maram, Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2002, hal. 395.

Mazhab Hanafi orang yang menggasab berhak atas benda itu sejak ia melakukannya sampai ia membayar denda. Mazhab Syafii dan Hambali orang yang menggasab tidak berhak atas benda yang yang digasabnya walaupun sudah membayar denda. Mazhab Maliki orang yang mengasab tidak boleh memanfaatkan benda tersebut jika masih utuh, tetapi jika telah rusak, maka setelah denda dibayar benda itu menjadi miliknya dan ia bebas untuk memanfaatkannya. Apabila yang dighasabnya berbentuk sebidang tanah, kemudian dibangun rumah diatasnya, atau tanah itu dijadikan lahan pertanian, maka jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa tanah itu harus dikembalikan. Rumah dan tanaman yang ada diatasnya dimusnahkan atau dikembalikan kepada orang yang dighasab. Hal ini berdasarkan kepada sabda Rasulullah. Jerih payah yang dilakukan dengan cara aniaya (lalim) tidak berhak diterima oleh orang yang melakukan (perbuatan aniaya) tersebut (HR Daruqutni dan Abu Daud dari Urwah bin Zubair)

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan Pengharaman ghashab, karena itu merupakan kedzaliman yang juga diharamkan Allah atas diri-Nya dan dijadikan-Nya sebagai sesuatu yang haram di antara kita. Kedzaliman itu haram dalam masalah yang sedikit atau banyak. Inilah faidah disebutkannya satu jengkal. Benda-benda yang tidak bergerak bisa dianggap di ghashab dengan cara menguasainya. Menurut Al-Qurtuby : dari hadits yang disebutkan bahwa dapat disimpulkan tentang kemungkinan masuknya meng-ghashab tanah dalam dosa-dosa besar. Hak milik yang lahir ialah tanah dan hak milik batinnya adalah bagian dalam tanah. Sehingga seseorang tidak boleh melubangi bagian dalam tanah di bawah permukaan tanah, atau membuat lorong dan terowongan kecuali dengan ijinnya. Pemilik tanah atau pemilik apapun yang terpendam dalam tanah itu, seperti batu-batuan dan barang tambang sehingga dia berhak untuk menggali sesukanya. Para ulama juga mengatakan bahwa udara juga mengikuti ketetapan. Siapa yang memiliki sebidang tanah, maka dia juga memiliki apa yang ada diatasnya.

You might also like