You are on page 1of 18

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah Perbudakan dan perdagangan budak adalah salah satu bentukpelanggaran hak asasi manusia yang pertama, yang diakui merupakan kejahatan internasional, walaupun kejahatan itu baru merupakan subyek dan perjanjian internasional yang komprehensif ketika konvensi perbudakan tahun 1926 diadopsi. Bentuk tradisional dari perbudakan dan perdagangan budak memang hampir tidak ada lagi, namun bentuk lain dari perbudakan tetap ada seperti perhambaan (servitude), kerja paksa (forced labour) dan perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak. Larangan perbudakan juga dapat ditemukan hampir di dalam instrument umum hak asasi manusia misalnya Pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 8 Konvenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 6 (1) Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia. Dalam situasi konflik bersenjata, semua bentuk perbudakan juga merupakan pelanggaran terhadap hukum humaniter.1 Trafficking atau perdagangan manusia terutama terhadap perempuan dan anak telah lama menjadi masalah nasional dan internasional bagi berbagai bangsa di dunia, termasuk di dalamnya negara Indonesia. Perdagangan terhadap manusia meskipun sebagai kasus sudah demikian akrab terjadi di masyarakat. Namun secara terminologis tampaknya belum banyak dipahami orang.2 Pemahaman di

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2006. Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando. Hal. 34. 2 M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta. Hal. 3.

dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat terbatas, hal ini dikarenakan informasi yang diperoleh di dalam masyarakat mengenai trafficking masih rendah. Isu perdagangan anak dan perempuan mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tatkala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lain pada peringkat ketiga atau terendah di dalam merespon isu ini. 3 Secara rinci perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial di Indonesia menurut data Polri mencapai 173 kasus yang dilaporkan dan 134 kasus selesai pada tahun 1999, pada tahun 2000 sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus dan pada tahun 2001 sebanyak 178 kasus dilaporkan dan 128 kasus bisa terselesaikan.4 Masalah kemiskinan mungkin dapat menjadi alasan utama atas pertanyaan mengapa perdagangan manusia terus mengalami peningkatan sadar tidak sadar modus ini sudah menjadi salah satu sumber penghasilan yang menggiurkan. Perdagangan manusia merupakan kejahatan yang keji terhadap HAM, yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragam hak untuk tidak diperbudak dan lainnya. Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan manusia, selain menimbulkan human, social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang vital untuk pembangunan bangsa.
3 4

Ibid. Hal. 21. Ibid. Hal. 103.

Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa praktek legal trafficking dalam berbagai bentuknya menandai terjadinya pergeseran-pergeseran relatif dalam bidang hukum kontemporer. Di dalam masyarakat puritan di negara-negara berkembang misalnya, legalitas praktek trafficking dilakukan justru atas nama sistem sosial yang dikamuflase ke dalam norma-norma relatif kultur masyarakat. Kondisi ini terutama berkembang luas pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan ekonomi sangat kuat kepada kekuatan-kekuatan ekonomi di luar komunitasnya.5 Ketentuan mengenai larangan perdagangan manusia terutama perempuan dan anak pada dasarnya telah diatur pasal 297 KUHP yang berbunyi:6 Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur,diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Konsep pengaturan larangan ini seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur yang menunjukkan bahwa pada masa penjajah pun perdagangan perempuan dan anak sudah dikualifikasi sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana. Namun seiring dengan kemajuan teknologi, informasi, transportasi yang mengakselerasi globalisasi pelaku (Trafficker) perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara yang dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri. Tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak telah
Abdul Haris dan Nyoman Adika. 2002. Gelombang Migrasi ke Perdagangan Manusia. Jakarta: LESFI. Hal. 122. 6 Moeljatno. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara
5

meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan manusia bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggaraan negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan manusia memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara. Ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan manusia secara tegas dan memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan manusia. Selanjutnya pada tanggal 17 April 2007 pemerintah Indonesia akhirnya mengesahkan dan mengundangkan UU RI No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang. Undang-undang ini diharapkan mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan manusia, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Dalam Undang-undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan manusia dalam bentuk hak restitusi yang harus harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban. Undang-undang ini mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang

mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan manusia merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah Negara melainkan juga antar negara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana analisis yuridis kelebihan dan kekurangan pengaturan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?

BAB II PEMBAHASAN

A. Ketentuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan mengenai tindak pidana perdagangan orang tercantum dalam pasal 297 mengenai perdagangan perempuan (vrouwenhandel) Pasal 297 KUHP ini berada dalam Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Sehingga pasal 297 KUHP ini, adalah pasal yang sering digunakan dalam kasus prostitusi. Selain pasal 297 KUHP, perdagangan orang juga tercantum dalam pasal 324 mengenai pemberantasan perdagangan budak belian (Slavenhandel). untuk selanjutnya, pasal-pasal tersebut akan dibahas satu persatu. Pasal 297 KUHP berbunyi lengkap sebagai berikut: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. R. Soesilo menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan

perempuan guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan keluar negeri yang maksudnya tidak lain akan digunakan untuk pelacuran.7 Pasal 297 KUHP memberikan sanksi terlalu ringan dan tidak sepadan (maximal hanya 6 tahun penjara), bila melihat dampak yang diderita korban
7

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Ctk. Ulang Tahun 1996, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 217

akibat kejahatan. Oleh karena itu, diperlukan undangundang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus tersebut untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar negara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Sedangkan pada pasal 324 KUHP, mengenai pemberantasan

perdagangan budak belian (Slavenhandel). berbunyi: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun Pasal 324 KUHP, istilah perniagaan apabila sama artinya dengan perdagangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, berarti: membeli untuk dijual lagi dan kemudian menjual, maka seorang yang membeli saja atau yang menjual saja, tidak masuk istilah berdagang. Dalam hal ini, perniagaan budak belian adalah untuk di gunakan sendiri, di eksploitasi untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Pasal 324 KUHP mengkhususkan pada perniagaan budak juga tidak memungkinkan untuk menjerat perdagangan manusia yang terjadi saat ini. Meskipun dapat diekstensif-analogikan, dengan berlakunya UU No. 21 Tahun 2007 maka pasal 297 dan pasal 324 KUHP dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku lagi. Namun segala perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan pasal-pasal yang terkait dengan perdagangan orang seperti pasal 324, 325, 326 dan 327 KUHP tentang perdagangan budak (slavenhandel), dipandang tidak perlu lagi. Lihat pasal V Undang- undang 1946 No. 1.4 Namun pasal-pasal 328-335 KUHP mengenai soal-soal melarikan orang atau penculikan dinyatakan masih berlaku hingga kini.

B. Ketentuan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian

perdagangan orang sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) adalah Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sedangkan pengertian mengenai Eksploitasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (7) yaitu:

a. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. b. Pasal 1 ayat (8) yang menyatakan Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Jika dibandingkan dengan KUHP, UU No. 21 Tahun 2007 lebih siap dengan ancaman-ancaman pidananya, keunggulannya juga ada pada normanorma yang mengaturnya, sehingga lebih bisa mengcover kelemahankelemahan yang ada pada ketentuan dalam KUHP. Sanksi pidana UU No. 21 Tahun 2007 jauh lebih menjanjikan. Misalnya pada pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 15, dan pasal 17. Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

10

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,(Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (Lima milyar rupiah). Sanksi pidana diatur 3-25 tahun penjara dengan denda ratusan juta rupiah. Bahkan bila tindak pidana orang ini sampai menyebabkan kematian korban, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup dan denda maksimal Rp 5 miliar. Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, pasal 4, pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan Jika kejahatan ini melibatkan unsur penyelenggara negara, sanksinya akan lebih berat lagi. Selain sanksinya ditambah sepertiga, oknum yang

11

bersangkutan juga dikenai sanksi pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- (Empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 240.000.000,- (Dua ratus empat puluh juta rupiah). Tiap orang yang menggerakkan orang untuk melakukan tindak pidana tersebut, meskipun tindak pidana itu tidak terjadi, namun orang tersebut dan orang yang digerakkan, sudah dapat dikenai pidana penjara dan denda yang jumlahnya tidak sedikit, seperti yang sudah tercantum dalam pasal 9 tersebut. Pasal 15 UU No. 21 Tahun 2007 berbunyi: (1) Adalah hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : a. pencabutan izin usaha; b. perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana; c. pencabutan status badan hukum;

12

d. pemecatan pengurus; dan/atau e. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Sementara perusahaan/korporasi yang terlibat akan dikenai sanksi hingga tiga kali lipat. Bahkan ada sanksi tambahan berupa pencabutan bisnis usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan pengurus dan pelarangan pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam usaha yang sama. Sanksi yang berlapis dan berat ini, diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Pasal 17 UU. No. 21 Tahun 2007 berbunyi: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). UU No. 21 Tahun 2007 juga memberikan pengaturan khusus terhadap masalah tindak pidana perdagangan anak. Ini dituangkan dalam bentuk pemberian hukum yang lebih berat dengan menambah bobot sanksi sepertiga. UU No. 21 Tahun 2007 mengatur bahwa terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan pidana penjara dan pidana denda. Untuk pidana penjara, di dalam UU No. 21 Tahun 2007 diatur bahwa minimal selama 3 (tiga) tahun dan maksimal selama 15 (lima belas) tahun. Sedangkan untuk pidana denda, jumlah minimal adalah sebesar Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pengaturan ini terdapat di dalam Pasal 2-6 UU No. 21 Tahun 2007. Jika tindak pidana perdagangan orang tersebut mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau

13

terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, matinya orang, maka jumlah ancaman pidana akan ditambah 1/3 (sepertiga), demikian juga jika tindak pidana perdagangan orang dilakukan terhadap anak. Sedangkan jika mengakibatkan kematian, maka ancaman pidananya menjadi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). UU No. 21 Tahun 2007 banyak mengadopsi ketentuan-ketentuan di dalam Protokol Palermo dan Konvensi-Konvensi Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang. Oleh karena itu, undang-undang ini sudah menjangkau tindak pidana perdagangan orang yang merupakan Transnational Organized Crime. Pasal 3 mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana bagi orang yang memasukkan orang ke wilayah Indonesia untuk dieksploitasi, baik di dalam wilayah Indonesia ataupun di wilayah negara lain. Sedangkan bagi orang yang membawa Warga Negara Indonesia ke Negara lain, untuk dieksplotasi diatur dalam Pasal 4. Unsur utama dari Transnational Organized Crime, selain adanya kegiatan yang melintasi batas Negara, adalah kegiatan tersebut harus dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi. Dalam Pasal 16 UU No. 21 Tahun 2007 diatur bahwa jika tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

14

Undang-undang tidak luput dari kekurangan. Salah satunya adalah kritik yang menyebut bahwa undang-undang tersebut dinilai mengabaikan hak anak. Koordinator Presidium Indonesia Against Child Trafficking (ACT), Emmy Lucy Smith, menilai undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang belum sepenuhnya melindungi dan mengakomodir hak anak. Undang-undang tersebut hanya memuat aturan tentang perdagangan orang dengan korban anak, namun bukan aturan tentang perdagangan anak (Tempo Interaktif, 23/3/2007). Kekurangan seperti itu perlu mendapat perhatian agar pemberantasan terhadap perdagangan orang dapat dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial.8 Yang dimaksud disini adalah bahwa Undang-undang ini tidak secara khusus membahas tentang perdagangan anak. Tapi hanya membahas sedikit tentang perdagangan anak. Sehingga dikhawatirkan Undang-undang ini hanya akan memberantas atau mengungkap perdagangan-perdagangan orang dengan korban orang dewasa.

Happy Susanto, Potret Trafficking di Indonesia, terdapat dalam, happy-susantofiles.blogspot.com/.../potret-trafficking-diindonesia.

15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Kelebihan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana perdagangan orang yang dalam hal ini adalah KUHP dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut: 1. Kelebihan: a. KUHP: Dalam hal ini, KUHP tidak mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun dalam aplikasinya, pasal 297 masih digunakan pada kasus-kasus perdagangan orang yang terjadi sebelum tahun 2007, yakni sesuai asas non-retroaktif. b. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Undang-undang ini, memiliki banyak kelebihan, di antaranya adalah, undang-undang ini tidak hanya menjangkau orang

perseorangan saja, namun juga daya jangkaunya meliputi suatu perusahaan atau korporasi, sampai pada oknum penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, undangundang ini juga memiliki ancaman pidana yang berat pada pelaku

16

tindak pidana perdagangan orang. Sanksi pidananya banyak berupa denda, maupun pidana penjara, yang beratnya pun sangat bervariasi. Misalnya pidana denda yang berkisar antara Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan pidana penjaranya adalah minimal selama 3 (tiga) tahun dan maksimal selama 15 (lima belas) tahun. 2. Kelemahan: a. KUHP: Dalam hal ini, KUHP memiliki kekurangan dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang, di antaranya, sanksi yang dijatuhkan dirasa belum cukup untuk menjerat para pelaku tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, dengan ringannya sanksi, dianggap belum cukup untuk memberikan efek jera bagi para pelaku ataupun calon pelaku tindak pidana perdagangan orang. Selain itu, KUHP hanya menjerat orang perseorangan, belum menjerat perusahaan atau koorporasi dan oknum penyelenggara negara, sehingga tidak relevan dengan perkembangan cara dan modus tindak pidana perdagangan orang. b. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Undang-undang ini tidak satupun pasal yang mengakomodir hak anak. Undang-undang tersebut hanya memuat aturan tentang

17

perdagangan orang dengan korban anak, namun bukan aturan tentang perdagangan anak. Kekurangan seperti itu perlu mendapat perhatian agar pemberantasan terhadap perdagangan orang dapat dilakukan secara menyeluruh, tidak parsial.

B. Saran Apabila KUHP nantinya di revisi, hendaknya pada pasal-pasal perdagangan orang harus memuat sanksi yang berat bagi para pelakunya. Selain itu, tidak hanya menjerat orang perseorangan saja, tapi harus menjerat korporasi atau instansi-instansi swasta atau pemerintah, yang melakukan praktek tindak pidana perdagangan orang.

18

DAFTAR PUSTAKA

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2006. Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando. M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta. Abdul Haris dan Nyoman Adika. 2002. Gelombang Migrasi ke Perdagangan Manusia. Jakarta: LESFI. Moeljatno. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

You might also like