You are on page 1of 25

MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN dari BAPAK PENDIDIKAN

Disusun oleh: Oka Dwi Irma Febyola

SMA NEGERI 4 KISARAN ASAHAN 2012

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul Konsep Pendidikan dari Bapak Pendidikan ini dapat saya selesaikan. Makalah ini saya buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata Pengantar..... Daftar Isi.. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penulisan.. BAB II PEMBAHASAN. A. Konsep Dasar Pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara 1. Sistem Among, Tutwuri Handayani.. 2. Tringa; Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni. B. Konsep Pendidikan ala Fakuzaawa Yukichi. 1. Sepintas pemikiran pendidikan fukuzawa yuichi.. 2. Jepang merombak masyarakatnya melalui pendidikan. C. Perbandingan Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan Fukuzawa Yukichi (Jepang)..... D. Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang.. BAB III PENUTUP.. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA... 16 18 23 23 24 1 2 3 3 3 4 5 5 5 7 11 11 14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Akhir-akhir ini pemberitaan nasional sedang menyoroti masalah pendidikan yang mengabarkan pemberitaan tentang hasil ujian akhir yang di dapat oleh para pelajar sekolah menengah atas. Mulai dari yang lulus dengan hasil yang sangat memuaskan sampai hasil yang sangat mengecawakan. Mundur beberapa bulan yang lalu, pemberitaan nasional juga menyoroti masalah serupa akan tetepi berbeda tingkatan, kali ini pada tingkat internasional. Indonesia tidak pernah absen dari gelar medali yang diraih pada olimpiade internasional dalam bidang pendidikan. Akan tetapi pendidikan dinegara ini pada ujungnya dianggap sebagai syarat untuk mencapai pekarjaan yang layak. Sepintar apapun seseorang, akan tetap menjadi babu jika pendidikan mereka rendah. Orang-orang Indonesia berlomba-lomba mencari ijazah agar mendapatkan pekerjaan yang layak, padahal itu juga tidak menjamin suatu saat mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak suatu hari nanti. Tak hayal saat ini banyak yang menempuh segala cara agar bisa mendapatkan ijazah. Padahal bapak pendidikan dinegara ini medidik bertujuan untuk memanusiakan manusia bukan memanusiakan yang berijazah. Dan faktanya, pendidikan disuatu bangsa mencerminkan seperti apa karakter bangsa itu sendiri. Berangkat dari asumsi bahwa kegagalan pada system pendidikan yang sekarang, dan semakin memudarnya konsep pendidikan yang digunakan yang terdahulu, maka diperlukan kembali dalam konsep-konsep pendidikan yang terdahulu dan perlu dihidupkan kembali konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa pertanyaan terkait dalam pendidikan, yaitu: 1. Apa isi konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara? 2. Manfaat apa yang diperoleh dari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara?

3. Apa kelebihan dan kekurangan dari konsep pendidikan yang di ajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara? 4. Bagaimana perbandingannya dengan konsep pendidkan yang lain? C. Tujuan Penulisan Berangkat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk: 1. Mengetahui konsep dasar pendidikan Ki Hadjar Dewantara. 2. Mengetahui manfaat dari konsep pendidikan yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara. 3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. 4. Mengetahui konsep pendidikan yang dianut bangsa paling maju se-Asia.

BAB I I PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hadjar Dewatara sebagai Bapak Pendidikan Nasional bangsa Indonesia ini banyak mengajarkan berbagai hal yang sangat terkenal di bidang pendidikan. Konsep pendidikan nasional yang dikemukakan sangat membumi dan berakar pada budaya nusantara, antara lain tutwuri handayani, tripusat pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), tringgo (ngerti, ngroso, nglakoni) (Tauchid, 2004). 1. Sistem Among, Tutwuri Handayani Kata among itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, mempunyai makna seseorang yang bertugas ngemong dan jiwanya penuh pengabdian. Sistem among sudah dikenal cukup lama di lingkungan Tamansiswa. Sistem among merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Cara mendidik yang harus diterapkan adalah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong anak-anak tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri. Sistem among ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Pengajaran bagi Tamansiswa berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama. Tiaptiap guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa anak-anak (Sudarto, 2008). Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru tidak digunakan dan diganti dengan sebutan pamong. Hubungan antara pamong dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek. Ki Hadjar Dewantara menjadikan tutwuri handayani sebagai semboyan metode among. Sudarto (2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tutwuri merupakan perilaku pamong yang sifatnya 6

memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapa pun. Tetapi kalau pelaksanaan kebebasan siswa itu ternyata menyimpang dari ketentuan yang seharusnya, seperti melanggar peraturan atau hukum masyarakat hingga merugikan pihak lain atau diri sendiri, pamong harus bersikap handayani, yakni mempengaruhi dengan daya kekuatannya, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan, apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. Jadi, tutwuri member kebebasan pada siswa untuk berbuat sekehendak hatinya, namun jika kebebasan itu akan menimbulkan kerugian pamong harus memberi peringatan. Handayani merupakan sikap yang harus ditaati oleh siswa hingga menimbulkan ketertundukan. Dengan demikian, sebagai subjek siswa memiliki kebebasan, sebagai objek siswa memiliki ketertundukan sebagai kewajibannya. Ki Hadjar memberi kias sistem among dengan gambaran bahwa guru terhadap murid harus berpikir, berperasaan dan bersikap sebagai Juru Tani terhadap tanaman peliharaannya, bukannya tanaman ditaklukan oleh kemauan dan keinginan Juru Tani. Juru Tani menyerahkan dan mengabdikan dirinya pada kepentingan kesuburan tanamannya itu. Kesuburan tanaman inilah yang menjadi kepentingan Juru Tani. Juru Tani tidak bisa mengubah sifat dan jenis tanaman menjadi tanaman jenis lain yang berbeda dasar sifatnya. Dia hanya bisa memperbaiki dan memperindah jenis dan usaha-usaha yang mendorong perbaikan perkembangan jenis itu. Juru Tani tidak bisa memaksa tanaman padi mempercepat buahnya supaya lekas masak menurut kemauannya karena kepentingan yang mendesak, tapi semua itu harus diikuti dengan kesabaran. Oleh sebab itu, Juru Tani harus tani harus tahu akan sifat dan watak serta jenis tanaman, perbedaan antara padi dan jagung, serta tanaman-tanaman lainnya dalam keperluan masing-masing agar tumbuh berkembang dengan subur dan hasil yang baik. Juru Tani harus faham akan ilmu mengasuh tanaman, untuk dapat bercocok tanam dengan baik, agar dapat menghasilkan tanaman yang subur dan buah yang baik. Menurut Ki Hadjar Dewantara, Juru Tani tidak boleh membeda-bedakan dari mana asalnya pupuk, asal alat kelengkapan atau asalnya ilmu pengetahuan dan sebagainya. Namun, harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alam. Pamong harus punya karakter seperti Juru Tani ini, tidak membeda-bedakan anak didik, tetapi berusaha menciptakan agar anak-anak didiknya itu tumbuh menjadi anak-anak yang pintar, berjiwa merdeka, tidak bergantung dan berharap bantuan orang lain.

Metode atau sistem among ini tampaknya menjadi ciri khas Tamansiswa, kiranya masih relevan untuk masa sekarang ini. Sebab keseimbangan pelaksanaan hak kebebasan dan kewajiban dalam metode tersebut merupakan jaminan adanya ketertiban dan kedamaian, serta jauh dari ketegangan dan anarki. Dalam dunia pendidikan anak didik akan tumbuh dan berkembang, seluruh potensi kodratinya sesuai dengan perkembangan alaminya dan wajar tanpa mengalami hambatan dan rintangan. Ajaran Ki Hadjar Dewantara ini memberi kebebasan anak didik, yang diharapkan anak didik akan tumbuh kemampuannya berinisiatif serta kreatif untuk mewujudkan eksistensi manusia. Ajaran Ki Hadjar Dewantara selain sistem atau metode among, yakni sistem paguron. Sistem paguron ini dinilai mempunyai kecocokan dengan kepribadian di Indonesia. Dalam perkembangannya kita melihat implementasinya melalui system pendidikan pesantren atau pendidikan asrama. Sistem paguron atau pawiyatan yang digagas beliau, mewujudkan rumah guru atau pamong sebagai tempat yang dikunjungi anak didik. Anak didik itulah yang dititipkan orang tuanya agar memperoleh pendidikan lanjutan yang terarah, terprogram, terkonsep, untuk jenjang kedewasaan yang lebih baik. Sistem paguron ini memiliki perbebedaan dengan sistem sekolah. Pada sistem paguron, guru dan anak didik berada pada lokasi yang sama dalam kehidupan sehari-hari, baik saat di sekolah maupun ketika melakukan interaksi setiap harinya, siang, pagi, malam dan berlangsung berbulan-bulan. Sedangkan pada sistem sekolah, guru dan anak didik sama-sama datang ke tempat pendidikan dalam waktu kurun tertentu, kemudian kembali ke tempat mereka masing-masing. Sehingga sistem sekolah sifatnya hanya sesaat. Efek paguron lebih baik, karena antara guru dan anak didik terjadi transformasi kehidupan yang menyentuh, integral, dan sangat efektif. Di dalam paguron dibutuhkan para pendidik yang selain memahami ilmu pengetahuan juga memiliki kepribadian, baik tingkah lakunya, tutur katanya, sehingga menjadi cermin dan panutan. Dengan demikian, anak didik akan mewarisi nilai-nilai kepribadian sang guru. 2. Tringa; Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, menekankan pentingnya diperhatikan tiga komponen karakter yang baik yakni pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan tindakan moral (moral action). Unsur pengertian moral adalah kesadaran moral, pengertian akan nilai, kemampuan untuk mengambil gagasan orang lain, 8

rasionalitas moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu), pengambilan tentang keputusan berdasarkan nilai moral, dan pengertian mendalam tentang dirinya sendiri. Segi pengertian atau kognitif ini cukup jelas dapat dikembangkan dalam pendalaman bersama di kelas maupun masukan orang lain. Dari segi kognitif ini, siswa dibantu untuk mengerti apa isi nilai yang digeluti dan mengapa nilai itu harus dilakukan dalam hidup mereka. Dengan demikian siswa sungguh mengerti apa yang akan dilakukan dan sadar akan apa yang dilakukan. Unsur perasaan moral meliputi suara hati (kesadaran akan yang baik dan tidak baik), harga diri seseorang, sikap empati terhadap orang lain, perasaan mencintai kebaikan, kontrol diri, dan rendah hati. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat; maka perlu mendapat perhatian. Dalam pendidikan nilai, segi perasaan moral ini perlu mendapat tempatnya. Siswa dibantu untuk menjadi lebih tertarik dan merasakan bahwa nilai itu sungguh baik dan perlu dilakukan. Unsur tindakan moral adalah kompetensi (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan moral dalam tindakan konkret), kemauan, dan kebiasaan. Tanpa kemauan kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan baik yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukaknnya. Dalam pendidikan karakter, kemampuan untuk melaksanakan dalam tindakan nyata, disertai kemauan dan kebiasaan melakukan moral harus dimunculkan dan ditingkatkan. Dengan demikian tampak jelas bahwa pendidikan karakter diperlukan ketiga unsur pengertian, perasaan, dan tindakan harus ada. Pendidikan karakter yang terlalu fokus pada pengembangan kognitif tingkat rendah, perlu dilengkapi dengan pengembangan kognitif tingkat tinggi sampai subjek didik memiliki keterampilan membuat keputusan moral yang tepat secara mandiri, memiliki komitmen yang tinggi untuk bertindak selaras dengan keputusan moral tersebut, dan memiliki kebiasaan (habit) untuk melakukan tindakan bermoral. Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. 9

Merasa saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah, Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu. Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu : 1) Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) Kemandirian dan tanggung jawab; 3) Kejujuran/amanah, diplomatis; 4) Hormat dan santun; 5) Dermawan, suka tolong-menolong, dan gotong-royong/kerjasama; 6) Percaya diri dan pekerja keras; 7) Kepemimpinan dan keadilan; 8) Baik dan rendah hati; 9) Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistic dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara 10

kognitif anak mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan. Dalam kurun waktu belakangan ini di Indonesia maraknya peristiwa berbagai tindak kriminalitas, tindak kekerasan, dan beredarnya video porno yang dilakukan oleh beberapa artis merupakan contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral. Pendidikan diharapkan dapat memberikan wahana pembelajaran yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan sikap-sikap seperti religiusitas, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, integritas, kemandirian, daya juang, serta tanggung jawab. Pendidikan karakter, moral dan budaya sebenarnya sudah dirintis oleh Ki Hadjar Dewantara dengan tri pusat pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial. Lingkungan sekolah (guru) saat ini memiliki peran sangat besar pembentukan karakter anak/siswa. Peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini semakin kompleks, tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi siswanya. Konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dengan menerapkan Sistem Among, Tut wuri Handayani dan Tringa. Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan karakter, budaya dan moral, tentulah sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan utama. Bapak Pendidikan Nasional bangsa Indonesia ini telah merintis tentang konsep tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang handal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah; dan (iii) lingkungan masyarakat. Ketika pendidikan di lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial yang semakin kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang cukup besar pada pendidikan seorang individu. Maka lingkungan sekolah dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya dan moral. Sebagai sosok atau peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru adalah model bagi anak, sehingga setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi model atau contoh baginya. Seorang guru harus selalu memikirkan perilakunya, karena segala hal yang dilakukannya akan dijadikan teladan muridmuridnya dan masyarakat. Sebagai guru dan pendidik diharapkan dan selayaknya memberi teladan bagi anak didik baik dalam setiap kegiatan yang dilakukan, baik dalam tutur kata dan

11

tindakan nyata atau perilaku. Untuk membentuk anak didik yang memiliki karakter yang baik, sebagai guru/pendidik perlu memberikan teladan dan contoh yang baik. Dunia pendidikan dewasa ini masih sering ditemui penyimpangan perilaku dari pendidik yang tidak dapat diteladani. Misalnya tentang kasus pelecehan seksual guru terhadap anak didiknya, pemukulan guru terhadap muridnya, dan masih ditemui ada guru atau dosen yang bangga dengan predikatnya sebagai guru atau dosen killer. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengenai sistem among, tut wuri handayani, dan tringa yang seharusnya diterapkan di dunia pendidikan. B. Konsep Pendidikan ala Fakuzaawa Yukichi 1. Sepintas pemikiran pendidikan fukuzawa yuichi Tuhan tidak menciptakan manusia di atas atau di bawah sesama manusia. Adanya perbedaan antara yang bijaksana dan yang bodoh, antara yang kaya dan yang miskin datangnya dari masalah pendidikan. Kutipan di atas adalah salah satu contoh kutipan yang paling popular dari pemikiran yang diambil dari bukunya Gakumon no Susume (Anjuran untuk Pembelajaran), kumpulan essai yang ditulis antara tahun 1872-1876. Masyarakat Jepang selama berabad-abad memiliki pikiran tradisional dan kuno serta mengadaptasi pemikiran filosofi China yang diadaptasi sejak sekitar abad ke-6. Nara ibu kota Jepang di masa itu, dirancang dengan model dan filosofi China. Agama Buddha dan nilai-nilai kehidupan didominasi dengan teguh oleh pemikiran-pemikiran China. Sebelum dilakukan modernisasi dan industrialisasi di masa Meiji (pra-tahun 1868), Jepang adalah negara yang miskin sumber daya alamnya dan masih terbelakang dibandingkan dengan negara Barat. Tidak banyak negara Eropa yang tertarik untuk menjadikannya negara kolonial mereka. Konflik dan skandal berkepanjangan pernah terjadi di Jepang. Peperangan perebutan wilayah menjadi pemandangan umum dan terjadi perpecahan di mana-mana. Selama berabad-abad lamanya negara ini terisolasi sehingga informasi mengenai teknologi maju tersumbat. Oleh bangsa Jepang, bangsa Barat dianggap bangsa bar-bar karena dianggap tidak beradab. Namun, memasuki zaman baru, pada saat restorasi Meiji, Jepang secara mencengangkan mengubah paradigma dan pandangannya terhadap ajaran Barat. Dalam waktu yang sangat cepat masyarakatnya kemudian berlomba-lomba dan memacu dirinya untuk menyamai kemajuan Barat. Meski informasi tentang dunia Barat sangat terbatas, hanya dari sumber-sumber negara Belanda 12

atau rangaku (ilmu Belanda), namun berbagai keputusan dan kebijakan pemerintah dibuat sedemikian rupa untuk mengejar ketertinggalan ini. Berbagai misi resmi dikirim ke seluruh dunia, khususnya Eropa dan Amerika untuk belajar berbagai kemajuan yang telah dilakukan oleh bangsabangsa itu. Fukuzawa Yukichi (1835-1901) percaya bahwa perubahan paradigma pikiran baru adalah kata kunci untuk berubah dan mengubah suatu bangsa. Untuk menjadi bangsa maju, besar, dan lebih modern harus berani membuka wawasan berpikir, dan juga siap menerima ide-ide baru. Itulah yang terjadi dalam bahasa Jepang. Pikiran-pikiran untuk mengubah peradaban Jepang yang lebih maju tertuang dalam karya Fukuzawa yang berjudul Bunmeiryoku no Gairyaku (Sebuah Teori Peradaban) yang diciptakannya tahun 1875. Karya fenomenal di samping Gakumon no Susume (Anjuran untuk Pembelajaran) yang merupakan kumpulan esai dari pemikiranpemikirannya. Prinsipnya, Fukuzawa secara simultan mengenalkan bangsa Jepang bahwa pemikiran Barat yang dahulunya dianggap budaya yang tak beradab bagi masyarakat Jepang. Ia juga mampu meyakinkan bahwa ilmu dari Barat penting untuk dipelajari dan tidak perlu ditakuti. Sebagian masyarakat Jepang takut mempelajari ilmu ini dikarenakan sejarah dalam negeri Jepang yang paranoid dengan orang Eropa. Pada saat ia mengembangkan dan menyosialisasikan ilmu ini, jiwanya dalam bahaya karena ancaman-ancaman kelompok Samurai yang menentang ajaran ini. Bahkan, seorang koleganya kehilangan nyawa. Ia teguh dengan pendiriannya untuk terus mengajar meski di tengah desingan peluru sekalipun. Tapi, ia juga tidak mengajarkan untuk ditiru secara membabi buta. Ilmu Barat hanyalah sebuah model yang patut dicontoh oleh bangsa Jepang yang masih memegang erat tradisi kuno pada masa itu. Buku-buku Fukuzawa ini secara kuantitas memang banyak dan menjadi best seller di Jepang pada masa itu. Namun, yang lebih hebatnya lagi adalah bahasa yang dipakai adalah bahasa sederhana dan bukannya bahasa ilmiah atau tingkat tinggi. Tujuannya adalah agar ajaran atau pemikirannya dapat dicerna oleh masyarakat di tingkat mana pun juga. Menurut kabar, sebelum ia menerbitkan karya-karyanya, tulisannya ia berikan kepada pembantu atau asisten di rumahnya. Apabila para pembantunya sudah memahami apa yang ia sampaikan, maka karya tulisnya itu akan ia terbitkan. Fukuzawa sangat yakin dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh berbagai golongan memudahkan ide-idenya dipahami oleh siapa pun juga. Salah satunya adalah Seiyou Jiji (Situasi Barat), salah satu karya tulis awal untuk memahami kondisi dan 13

situasi Barat. Tulisan ini dilengkapi dengan ilustrasi sederhana sebuah ilmu yang belum banyak dikenal oleh kebanyakan masyarakat Jepang pada masa itu. Fukuzawa juga banyak berkarya dengan menulis buku-buku dan artikel untuk para cendikiawan. Kebanyakan tulisan ini dipublikasi oleh universitas atau surat kabar. Salah satu tulisannya yang klasik dan terkenal adalah Jiji-Shimpo (Surat Kabar Perjalanan Masa) yang diterbitkannnya pada tahun 1882. Ini merupakan surat kabar partikelir pertama di Jepang. Semenjak itu, Fukuzawa menulis berbagai artikel dan satir mengenai isu-isu terhangat di masanya, termasuk politik, hubungan internasional, ekonomi, dan masalah-masalah keuangan, kebijakan pendidikan, hak-hak perempuan, dan nilai-nilai moral. Tema besar dari ide-ide atau pemikirannya adalah independence atau kemerdekaan. Ia sadar betul bahwa jiwa yang merdeka dan bangsa yang merdeka adalah fondasi yang sesungguhnya dari peradaban modern di Barat. Untuk mencapai kemerdekaan diri ini, Fukuzawa lebih memilih menganjurkan pemikiran Barat, pembelajaran yang lebih praktis dan ilmiah, dibandingkan dengan nilai-nilai tradisional China yang tertanam dalam masyarakat Jepang di masa itu. Prinsipnya adalah semakin terdidik masyarakat, maka kemerdekaan nasional dapat dicapai masyarakat yang beradab dan memiliki nilai sikap yang adiluhung. Tidak hanya kemerdekaan bangsa. Kemerdekaan diri dan keluarga juga dasar dari kemerdekaan secara utuh. Hal ini menunjukkan Fukuzawa yang memiliki empat anak laki-laki dan lima anak perempuan ini juga sangat peduli dengan kebahagiaan dan keutuhan satu keluarga. Mari simak pemikirannya akan arti kemerdekaan: Kemerdekaan diri akan menghasilkan kemerdekaan (dalam suatu) rumah tangga. Rumah tangga menghasilkan kemerdekaan negara. Kemerdekaan diri akan menghasilkan kemerdekaan dunia. (Pidato yang disampaikan di pesta perpisahan di Nakatsu) Lahir dari keturunan Samurai tingkat rendah di kota Nakatsu (sekarang provinsi Oita). Fukuzawa dianggap salah satu pahlawan dan Bapak Reformasi Modern Jepang. Karena dialah yang dianggap sebagai peletak dasar fondasi dan tiang modernisasi Jepang. Dialah yang dengan semangat luar biasa melakukan pencerahan, khususnya membantu masyarakat Jepang mencerna dan memanfaatkan ilmu Barat sebagai dasar fondasi dari modernisasi Jepang. Minatnya kuat untuk mempelajari dunia Barat mendorongnya untuk belajar bahasa Inggris. Fukuzawalah penulis pertama kamus bahasa Inggris-Jepang.

14

Fukuzawa menerbitkan banyak sekali selebaran dan buku pelajaran yang digunakan untuk sekolah-sekolah yang bermunculan di era itu. Buku-buku semacam ini juga disambut sebagai buku gaya baru bagi kalangan pembaca Jepang. Daya tarik dari tulisan-tulisan ini, selain model dan gaya baru dalam dunia penulisan di Jepang, juga karena merupakan revolusi dalam sebuah kesederhanaan. Kemampuan akademisnya yang luar biasa membuatnya mampu mempelajari berbagai ilmu dari berbagai bidang. Tidak sekadar menerjemahkan dan ahli dalam bahasa. Ketertarikannya pada bidang ilmu eksakta mengantarkannya untuk mempelajari bidang ilmu lainnya termasuk ilmu kedokteran dan juga ilmu di bidang-bidang teknik. Di Jepang foto wajah Fukuzawa Yukichi terpampang di uang bernilai tertinggi, 10.000 yen sejak tahun 1993. Meski pada tahun 2004 uang kertas ini telah berubah gambar di sebaliknya, tapi foto tokoh ini tetap terpampang. Dalam fotonya, Fukuzawa Yukichi menggunakan baju tradisional Jepang dan bukan mengenakan pakaian Barat. Padahal, ia penganjur ajaran Barat di negeri ini. Hal ini menunjukkan meski pemikirannya sangat moderen, namun di lain sisi ia sangat tradisional dan juga menjaga serta menghormati tradisi bangsanya. 2. Jepang merombak masyarakatnya melalui pendidikan Menurut Wiliam K. Cummings, ada beberapa faktor yang mendukung adalah sebagai berikut. 1) Perhatian pada pendidikan datang dari berbagai macam pihak. 2) Sekolah Jepang tidak mahal. 3) Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah. 4) Kurikulum sekolah Jepang amat berat. 5) Sekolah sebagai unit pendidikan. 6) Guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. 7) Guru Jepang penuh dedikasi. 8) Guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. 9) Guru Jepang bersikap adil. Di samping hal di atas, pengaruh pendidikan terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal. Misalnya, (i) Minat 15

masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (ii) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (iii) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi; (iv) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (v) perubahan sosial yang egalitarian; (vi) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf, Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah!). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria). Dari beberapa karakteristik yang disebutkan di atas, Jepang mampu menjaga martabat dan kualitas hidup bangsanya lewat pendidikan. Pendidikan pada hakikatnya adalah sesuatu yang luhur karena di dalamnya mengandung misi kebajikan dan mencerdaskan. Pendidikan tidaklah sekadar proses kegiatan belajar-mengajar saja, melainkan juga sebagai proses penyadaran untuk menjadikan manusia sebagai manusia, bukan seolah-olah manusia dijadikan jagung atau padi yang setiap tiga atau enam bulan sekali mengganti metode penanamannya, apabila bagus dilanjutkan dan sebaliknya bila jelek ditinggalkan. Membutuhkan satu generasi untuk melihat hasil pendidikan bagi manusia. Artinya, pendidikan merupakan sarana untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang sadar diri dalam generasi itu, menjadikan manusia itu mengerti apa yang seharusnya diperbuat dan apa yang tidak, memahami yang baik dilakukan dan yang jelek ditinggalkan, serta mengetahui mana yang merupakan hak dan mana kewajiban. Menurut William Oneil, pakar pendidikan dari University of Southern California dalam Ideologi Pendidikan (2001), menyatakan bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan memang seperti seorang musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan. Jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Demikian juga dengan pendidikan, memilih jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan. Akan tetapi, dalam pendidikan yang menjadi persoalan adalah pendidikan mau melegitimasi sistem dan struktur sosial yang ada ataukah berperan kritis dalam 16

usaha melakukan perubahan sosial dan transformasi menuju dunia yang lebih adil. Dari adanya dua pilihan dilematis itulah, melahirkan berbagai ideologi dalam pendidikan. Ideologi pendidikan menurut Oneil (Ibid), dipetakan ke dalam dua paradigma utama, yaitu pendekatan konservatif dan liberal. Kedua paradigma tersebut sebagai berikut. Pertama, paradigma konservatif memang melihat adanya ketidaksejajaran dalam masyarakat, namun hal itu dianggap wajar dan merupakan hukum alamiah (sunatullah), tidak bisa dihindari karena sudah digariskan Tuhan. Kedua, paradigma liberal, meyakini bahwa ada masalah dalam masyarakat. Menurut kaum liberal, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi. Pendidikan merupakan sokoguru (penyanggga) kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa tidak akan lepas dari hidup dan mati-nya mutu pendidikan negara yang bersangkutan. Kalimat ini menambah banyak statement yang telah ada sebelumnya. Akhirakhir ini muncul pula sebuah slogan Pendidikan Adalah Masa Depan Bangsa.

C. Perbandingan Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan Fukuzawa Yukichi (Jepang) Dari Ki Hadjar Dewantoro 1. Pendidikan harus di titik beratkan pada jati diri manusia sendiri dan penilaian keberhasilan terhadap pendidikannya bukan dari dari konsep atau hasil yang telah dicapai, tetapi keberhasilan pengembangan jati diri dan sampai di mana dia berhasil menguasai hasil jerih payahnya bukan hasil jerih payahnya yang menguasai manusia itu sendiri. 2. Bagi Ki Hadjar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dari fukuzawa Yukichi (Jepang) 1. Tingginya standar pendidikan Jepang adalah adanya ciri utama bangsa Jepang yaitu kehausan yang tak pernah puas akan pengetahuan. Sebagai bangsa literal dan minat baca yang tinggi, wajar dan mengamini bila bangsa Jepang maju dalam bidang pendidikan. Bukan hanya bacaan berupa buku ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra 17

saja yang menjadi bahan bacaan mereka, tetapi koran pun masih menjadi bacaan wajib setiap hari. Sebagaimana dikatakan Tanaka dalam Dahidi, Even today, Japanese still expect to act as the national consciencenewspapers are still the trusted medium in Japan. Membaca bagi kebanyakan orang Jepang bukan merupakan kegiatan yang dipaksakan, tetapi karena dalam diri mereka telah tertanam suatu sifat kebutuhan akan bacaan. 2. Fakto-faktor yang dapat memajukan pendidikan di Jepang: pertama, perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak. Kedua, sekolah Jepang tidak mahal. Ketiga, di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah. Keempat, kurikulum sekolah Jepang amat berat. Kelima, sekolah sebagai unit pendidikan. Keenam, guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan. Ketujuh, guru Jepang penuh dedikasi. Kedelapan, guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan manusia seutuhnya. Terakhir, guru Jepang bersikap adil. 3. Pengaruh pendidikan jepang terhadap anak dan masyarakat telah membuat pendidikan Jepang mempunyai potensi yang luar biasa dalam berbagai hal. Misalnya, (1) Minat masyarakat yang besar sekali pada pendidikan; (2) prestasi kognitif dan motivasi siswa relatif setaraf; (3) prestasi kognitif siswa rata-rata tinggi; (4) munculnya pelajaran ide egalitarianisme; (5) perubahan sosial yang egalitarian; (6) timbulnya kesamaan yang sama bagi semua lapisan masyarakat. Menurut Danasasmita, ada beberapa karakteristik lain dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa ini maju. Pertama, orang Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan ringannya mereka dalam mengatakan arigatoo (terima kasih) ketika mendapat bantuan orang lain dan tidak menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan itu tidak seberapa. Kedua, orang Jepang menghargai hasil pekerjaan orang lain, dilambangkan dengan ucapan otsukaresamadeshita (maaf, Anda telah bersusah payah). Ketiga, perlunya setiap orang harus berusaha, dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai (berusahalah!). Keempat, orang Jepang punya semangat yang tidak pernah luntur, tahan banting, dan tidak mau menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido (semangat kesatria). 4. Dan di antara pendukung keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pendidikan di Jepang banyak menggarisbawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan yang 18

sudah terbukti keberhasilannya, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang. D. Bercermin pada Sistem Pendidikan di Jepang Pesatnya perkembangan teknologi dan industri di negeri matahari terbit, sudah tak bisa disangkal lagi. Berbagai negara berdatangan hendak mencontoh kesuksesan sistem pendidikan yang selama ini dikembangkan di negeri ini. Catatan performa para siswa Jepang terutama dalam bidang matematika dan ilmu alam selama dua dekade terakhir senantiasa menjadi tolok ukur kesuksesan itu. Namun sebetulnya dibalik kesuksesan itu, Jepang sendiri sempat mengalami kekurangpuasan dengan sistem pendidikan yang mereka miliki, khususnya antara tahun 1980an sampai sekitar tahun 1990an. Akibatnya, kementrian pendidikan berupaya melakukan serangkaian reformasi yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkembang saat ini. Meski begitu, kebijakan-kebijakan atas reformasi itu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan di kalangan para stakeholder dan pemerhati pendidikan. Menurut catatan Christopher Bjork dan Ryoko Tsuneyoshi, berbagai penelitian yang dipublikasi selama periode dua dekade dari abad ke 20 banyak mengetengahkan isu komparatif guna mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem pendidikan di Jepang dibanding dengan negaranegara yang lain. Hasilnya secara umum hanya menggaris bawahi aspek-aspek yang unggul dari sistem pendidikan tersebut, misalnya dasar yang kuat yang ditanam pada para siswa untuk bidang studi matematika dan ilmu pasti, komitmen masyarakat yang kuat pada keunggulan akademik, keselarasan hubungan antara pengajar dan peserta didik, serta budaya pengajaran yang sarat perencanaan dan implementasi yang matang. Seiring dengan melimpahnya kekaguman berbagai bangsa luar, termasuk Indonesia atas sistem yang dikembangkan tersebut berbagai perdebatan seputar hakikat dan tujuan sistem itu beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya mewarnai dinamika pendidikan di negara ini. Perdebatan ini banyak terjadi antara mereka yang tamat dari sekolah-sekolah dalam negeri dan mereka yang tamat dari luar negara. Selain itu, selama bertahun-tahun sistem pendidikan di negeri sakura ini dinilai terlalu kaku dalam mengaplikasikan ujian masuk bagi para calon siswa baru serta semata-mata menekankan kemampuan ingatan terhadap fakta-fakta yang ada. 19

Fenomena inilah yang kemudian menggugah kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan serta teknologi (MEXT) untuk memelopori Yutori Kyoiku, suatu reformasi pendidikan guna meredam intensitas tersebut. Namun demikian, aplikasi pada reformasi ini bukannya membuat perdebatan reda, tetapi justru menyulut berbagai percikan kritikan baru. Di satu pihak, ada yang berupaya mengembalikan sistem pendidikan Jepang pada agenda awal dengan mengembalikan fungsi kurikulum secara penuh. Di lain pihak ada yang bersikukuh mendorong Jepang makin meningkatkan standar akademik, seiring dengan pengembangan program Super Science untuk siswa-siswi sekolah lanjutan atas, yang notebene untuk mereka dengan kemampuan di atas rata-rata. Kecenderungan sosial akademik ini tidak bisa dibendung dan sejumlah sekolah lokal mengembangkan kebijakan orientasi pada pasar (market-oriented policies) seperti misalnya berlomba-lomba untuk menjadi sekolah pilihan. Berbagai perdebatan yang muncul tersebut seakan-akan mempertanyakan sistem pendidikan yang sedang berkembang di Jepang saat itu, bahkan ada beberapa dari mereka berpendapat bahwa sistem pendidikan Jepang saat itu ada dalam suatu titik genting. Di tengah-tengah tantangan untuk mengurangi beban tekanan akademis bagi para siswa, pengembangan motivasi belajar, kemampuan berpikir kritis ada sejalan dengan upaya untuk membekali para siswa pada kemampuan-kemampuan akademik dasar. Para pendidik pun disibukkan untuk menggali berbagai pendekatan yang sekiranya tidak hanya bisa menjawab pertanyaan para stakeholder tersebut, namun juga bisa tetap berada pada jalur kurikulum yang telah mereka sepakati. Perkembangan dalam sistem pendidikan Jepang modern, yang sebetulnya sudah dimulai semenjak akhir Perang Dunia II membawa berbagai dampak dalam kehidupan masyarakatnya. Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi negara ini, memungkinkan hampir seratus persen warganya bisa mengenyam pendidikan dasar dan tercatat 90 persen dari orang muda Jepang berkesempatan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan menengah atas. Disinilah fenomena ujian masuk menjadi suatu mekanisme utama guna menyalurkan para siswa muda tersebut. Namun karena tidak semua siswa berhasil, baik itu berhasil menjadi siswa dari sekolah yang mereka impikan atau bahkan berhasil untuk lulus ujian masuk sekalipun, maka Yutori Kyoiku mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran yang selama ini mereka alami. Kemudian kurikulum 2002 disahkan menjadi kurikulum nasional yang telah direvisi dari kurikulum sebelumnya serta disesuaikan dengan 20

semangat Yutori Kyoiku. Muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Ini berpengaruh pada jumlah jam tatap muka guru dan siswa, termasuk untuk bidang studi matematika dan IPA dari 175 jam di tahun 1977 menjadi 150 jam di tahun 1998. Kebijakan ini selanjutnya mempengaruhi juga hari efektif sekolah yang berkurang dari 6 hari menjadi 5 hari. Yutori Kyouiku juga memberi kesempatan bagi siswa kelas 3 sekolah dasar sampai dengan kelas 12 sekolah lanjutan untuk mengalami proses belajar di luar kelas, melalui program yang dikenal sebagai program terpadu (sogotekina gakushu). Tujuan utama program ini memberi kesempatan para siswa untuk belajar mandiri serta berpikir kritis. Nilai hasil belajar tinggi yang mereka peroleh di kelas akan menjadi mubazir apabila mereka tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Oleh sebab itu, atas kerjasama dengan pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat, anak-anak sekolah dalam waktu-waktu tertentu dilibatkan dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis. Hasil penelitian itu selanjutnya akan mereka catat dan presentasikan sebagai kesimpulan dari proses belajar. Poin yang ingin digarisbawahi melalui program ini, bahwa proses belajar tidak hanya terbatas dalam lingkup sekolah saja. Memang sekolah diakui sebagai tempat pertama pengembangan aspek kognitif siswa, namun lingkungan di luar sekolah pun sama pentingnya, terutama sebagai ajang pembelajaran dan pengembangan aspek psikomotorik serta afektif mereka. Kesinambungan antar semua proses belajar ini akan membawa para siswa untuk memiliki kemampuan baru dan hal ini oleh kementrian pendidikan dijadikan batu pijakan reformasinya menuju suatu visi pendidikan ke depan. Prinsip ini berusaha menjawab permasalahan yang dikritik sebelumnya tentang superioritas sekolah yang terlalu besar serta kaku. Sebelumnya pendekatan tradisional sekolah inilah yang disinyalir membuat para siswa pasif dengan lebih menekankan kemampuan siswa untuk mengingat fakta daripada membimbing mereka untuk berpikir serta berkreasi. Apakah reformasi pendidikan di negeri asal Mushashi ini bisa berlangsung dengan lancar? Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa berbagai perdebatan sengit muncul seiring dengan diterapkannya kebijakan baru ini. Beberapa pihak mengkritik hasil ujian Matematika dan Ilmu Alam menurun sejak dibuatnya program yang membuat siswa lebih rileks dalam menjalani proses pendidikannya dan ini dinilai sebagai suatu kemunduran. Namun MEXT sendiri menanggapi bahwa fenomena hasil itu bukanlah suatu kemunduran tapi refleksi terhadap suatu proses. Lebih lanjut beberapa ahli yang 21

mendukung ide pendidikan liberal, berpendapat bahwa perdebatan terhadap krisis pendidikan adalah suatu reaksi kegelisahan sementara, yang secara kebetulan disulut oleh munculnya berbagai kesulitan dan stagnasi ekonomi global saat ini. Selain itu munculnya rasa kurang percaya diri mereka pada sistem politik national dan kekawatiran terhadap moral anak muda Jepang juga menjadi tren berbagai masalah sosial belakangan ini. Oleh karena itu, sekolah sangat diharapkan mampu mengembangkan pola berpikir kritis ini, yang dalam prakteknya tidak dipisahkan dari proses belajar secara keseluruhan itu sendiri. Para pengajar dan orang tua pun mengalami dampak langsung dari aplikasi Yutori Kyoiku ini. Banyak staf pengajar juga awalnya cukup kelimpungan dengan sistem baru ini. Selain karena sistem ini seakan memutarbalikkan haluan yang selama ini sudah mereka telusuri secara nyaman, tuntutan pengembangan pola berpikir kritis menjadi tugas baru yang besar, di luar tugas utama mereka untuk tetap menjadikan para siswanya mahir dalam kemampuan pendidikan dasar. Namun sebagian besar dari para pengajar ini mensyukuri kehadiran sistem baru ini beserta metode terpadunya karena mereka melihat para murid menjadi lebih termotivasi dengan apa yang ingin mereka tekuni. Lebih lanjut, para pengajar pun punya kesempatan lebih luas untuk mendalami konsep-konsep mengajar dengan adanya pengurangan waktu tatap muka tersebut. Lalu bagaimana dengan pandangan orang tua? Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan MEXT pada tahun 2003, diketahui bahwa hanya sebagian dari orang tua yang menyadari keberadaan sistem yang baru ini, namun kebanyakan dari mereka belum mengenal baik spesifikasi pada reformasi sistem ini. Mungkin hanya sekitar 20 persen dari mereka yang sudah mencermati dan mengerti sampai pada tujuan diterapkannya sistem ini. Akan tetapi bagi para orang tua yang memiliki tingkat mobilitas tinggi, keberadaan sistem ini akan membuat mereka lebih nyaman untuk membawa serta anak-anak ke tempat mereka bertugas, karena tuntuntan sekolah setempat tidak lagi seketat dan sekaku sebelumnya. Sistem pendidikan Jepang modern yang dimulai setelah perang dunia II ini memang dirancang untuk sebuah negara dengan perkembangan modernisme yang tinggi. Selama ini sistem pendidikan di Jepang dianggap sukses dan efesien dalam mengajarkan para siswanya dan menjadikan mereka berprestasi, namun semua itu ternyata belum cukup. MEXT dan para ahli pendidikan jaman ini menegaskan apabila pendidikan hanya ditekankan guna menyiapkan siswanya untuk duduk pada ujian masuk, ditambah dengan beban sejumlah besar muatan kurikulumnya akan menumpulkan minat belajar mereka. Untuk menjawab 22

tantangan ini, berbagai upaya guna penerapan pola berpikir kritis, aplikasi pengetahuan pada kehidupan nyata serta metode hands-on learning menjadi tren yang baru di negeri ini. .Memang sistem pendidikan di negara ini mungkin tidak sekaku apa yang terjadi di Jepang, tapi bagaimana dengan konsistensi, efisiensi dan efektifitas dari proses itu sendiri? Ini tidak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis kebijakan, tapi juga semua aspek termasuk guru dan orang tua siswa. Walau lain lubuk memang lain belalangnya, namun semoga informasi ini bisa menggugah semua pihak yang berkecimpung atau tertarik dengan sistem pendidikan nasional Indonesia

23

BAB III PENUTUP Kesimpulan


Sebenarnya konsep yang diajarkan oleh kedua tokoh diatas tidak jauh berbeda antara satu dan yang lainnya. Inti dari konsep keduanya adalah pendididikan itu bertujuan untuk mamanusiakan manusia, hanya saja konsep pada Ki Hadjar Dewantara diperolah dari pendididan yang diajarkan oleh pendahulunya, yang kemudian diadopsi pada jenjang pendidikan. Sedangkan Fukuzawa Yukichi menperolehnya dengan cara mempelajari bangsa barat, diadopsi dan kemudian disesuaikan sehingga cocok untuk diterapkan pada jenjang pendidikan bangsanya. Yang membedakannya lagi, sistem pendidikan yang diterapkan di jepang mampu terapkan dan dikembangkan lebih baik sehingga menciptakan karakter yang kuat dan bertahan hingga saat ini. Sedangkan sistem pendidikan yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara semakin lama semakin luntur dan tidak mampu dikembangkan dengan baik oleh Negara Indonesia, sehingga sistem ini perlu dimunculkan kembali agar dapat membentuk karakter bangsa Indonesia seperti yang di citacitakan Ki Hadjar Dewantara. Dan selanjutnya tut wuri handayani tidak sekedar simbol kata-kata yang ada pada setiap baju para pelajar Indonesia, akan tetapi sebagai karakter bangsa yang mampu diterapkan dengan baik setiap pelajar yang ada di negeri ini.

24

DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka.Yogyakarta : Leutika. Dewantara, Ki Hadjar.1997. Karya Ki Hadjar Dewantara Pendidikan. Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/konsep-pendidikan-ki-hadjar-dewantara-cobadimunculkan-kembali http://www.andaluarbiasa.com/fukuzawa-yukichi-bapak-inovasi-jepang http://id.wikipedia.org/wiki/Fukuzawa_Yukichi http://id.wikipedia.org/wiki/Dasar_Pendidikan http://rokimgd.wordpress.com/berhasil-menaa/konsep-pendidikan-ki-hajar-dewantoro-danfukuzawa-yukichi/ http://bruderfic.or.id/h-59/pemikiran-ki-hajar-dewantara-tentang-pendidikan.html http://kabar-pendidikan.blogspot.com

25

You might also like