You are on page 1of 28

REFERAT

Pembimbing : dr. Hj. Hayati Usman, Sp.An

Penyusun : Muhamad Ilham Malik 110.2007.180

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi Rumah Sakit Dr. H. Slamet Garut Periode 04 juli 24 juli 2011

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul MANAJEMEN NYERI POST OPERASI yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan di bagian Anastesi dr. Slamet Garut. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Hj. Hayati Usman Sp.An selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis. 2. Orang tua, keluarga dan orang terdekat yang tidak pernah berhenti memberi kasih sayang, mendoakan dan memberi dukungan kepada penulis. 3. Dina, Rani, Tuti, Cici dan Susi sebagai rekan kepaniteraan yang telah memberikan bantuan, dukungan dan kerja sama yang baik. Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi semua pihak. Wassalamualaikum wr. Wb Garut, julii 2011

Penulis 2

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................................2 Daftar Isi...................................................................................................................................3 Bab I Pendahuluan..............................................................................................................................4 Bab II Nyeri .....................................................................................................................................5 Bab III Manajemen Nyeri Pasca Operasi...........................................................................................15 Bab IV Kesimpulan.............................................................................................................................25 Daftar Pustaka.........................................................................................................................26

Bab I Pendahuluan Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pasca operasi adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit. Efektivitas dari pereda rasa nyeri pascaoperasi adalah sangat penting untuk menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan pascaoperasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome. Referat ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang dapat dipakai untuk manajemen pasca operasi. Akan didiskusikan bagaimana caranya menggunakan obatobat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi Non Steroid), obat-obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat anestesi lokal untuk mencapai tujuan ini. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana cara menangani pasien usia tua dan anak-anak.

Bab II NYERI Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi Nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu : a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory) Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007). Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf
6

pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

Respon fisiologis terhadap nyeri a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial) i. ii. iii. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate Peningkatan heart rate Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
7

iv. v. vi. vii. viii.

Peningkatan nilai gula darah Diaphoresis Peningkatan kekuatan otot Dilatasi pupil Penurunan motilitas GI

b. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam) i. ii. iii. iv. v. vi. Muka pucat Otot mengeras Penurunan HR dan BP Nafas cepat dan irreguler Nausea dan vomitus Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur) c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir) d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
8

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri) Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri. Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa) Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
9

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. dengan

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif. c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti) Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.

Faktor yang mempengaruhi respon nyeri a. Usia

10

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. b. Jenis kelamin Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). c. Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. d. Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya. e. Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri

11

yang menurun. Teknik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
f. Anxietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. g. Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. h. Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. i. Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan Penilaian Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan

12

tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1. Skala intensitas nyeri deskritif

2. Skala identitas nyeri numerik

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut Bourbanis

13

Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.

14

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).

15

Bab III MANAJEMEN NYERI PASCAOPERASI The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan dengan dextropropoxyphene obat obat lain disertai untuk

meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin. Belakangan, World Federation of Societies (WFSA) of Anaesthesiologists Ladder telah

Analgesic

dikembangkan untuk mengobati nyeri


16

akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pasca operasi akan berkurang

seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

Anestesi Lokal Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau sentral. Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pasca operasi memiliki banyak faktor penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri pasca operasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik. Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam. Apabila nyeri berlanjut, dapat
17

diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pasca operasi atau apabila blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi. Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pascaoperasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan. Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

Analgesik Non-Opioid Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang

18

memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya. Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reyes Syndrome dan harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, per oral per hari. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi tulang. Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga
19

mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek samping. Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS lainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac, indometasin dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.

Opioid Lemah
20

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:

Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet. 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30 sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.

Opioid Kuat

21

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan Opioid kuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat terapeutik obat di dalam darah. Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan. Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau besar,maka analgesia kuat tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan melalui suntikan. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia dan hipotensi semua ini akan mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi. Hipotermia dan hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang menyebabkan

peningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

Metode menggunakan obat opioid Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa

22

penyerapan opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus. Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam). Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah. Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal sangat bervariasi di seluruh dunia. Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.

23

Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA) Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan. Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu
24

ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis (kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan. Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk mencapai nyeri yang memadai. Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan

25

anggota

staf

rumah

sakit

dan

harapan

setelah

operasi.

26

BAB IV KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing
27

individu adalah berbeda-beda, maka penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation of Societies

of Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm 2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68 3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4. 4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill Livingstone. 2006

28

You might also like