You are on page 1of 14

VI.

ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL
Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa

Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya program pemerintah padi yang bekerjasama dengan dengan metode PT SRI MEDCO (System of untuk Rice

mengembangkan

organik

Intensification). Metode ini merupakan teknik budidaya yang intensif dan efisien dengan proses manajemen sistem perakaran yang berbasis pada pengolahan lahan, tanaman dan air. Pengembangan usaha tani padi konvensional di desa Jambenengggang sudah dimulai sejak diberlakukannya revolusi hijau atau di Indonesia dikenal dengan gerakan BIMAS. Sebelum era revolusi hijau dimulai, petani padi di desa Jambenenggang dalam bercocok tanam sudah menggunakan pupuk kandang atau kompos dan pestisida sebagai inputnya. Namun, akibat semakin meningkatnya kebutuhan akan pangan yang terjadi pada waktu itu maka pemerintah menetapkan program revolusi hijau yang menggunakan bahan kimia (pupuk dan pestisida) sebagai input produksi dengan tujuan agar produktivitas padi meningkat dan akhirnya kebutuhan akan pangan dimasyarakat dapat terpenuhi. Hal ini dilakukan agar dihasilkan beras dalam jumlah yang besar namun dalam waktu yang relatif singkat. Analisis sistem usaha tani dilakukan dengan cara membandingkan keragaan usaha tani yang dilakukan oleh petani di desa Jambenenggang, baik petani padi SRI maupun petani padi konvensional. Usaha tani ini dianalisis dengan cara mengidentifikasi penggunaan sumberdaya (input) hingga output yang
46

dihasilkan. Kemudian analisis akan dilanjutkan dengan menghitung tingkat pendapatan masing-masing usaha tani, baik usaha tani padi metode SRI maupun padi metode konvensional. 6.1 Penggunaan Input Produksi

Dalam menghitung biaya usaha tani, terlebih dahulu dianalisis penggunaan

input produksi petani. Pada penelitian ini input produksi yang dianalisis adalah benih,pupuk, pestisida dan tenaga kerja. 6.1.1 Benih Pada usaha tani padi sawah metode SRI ini, benih yang digunakan oleh petani responden adalah varietas Sinta Nur, karena varietas ini memiliki keunggulan dan cocok untuk sistem usaha tani metode SRI. Salah satu keunggulan dari varietas Sinta Nur ini adalah tahan terhadap hama dan penyakit terutama hama wereng coklat dan penyakit hawar daun. Hal ini sangat diperlukan karena dalam sistem usaha tani padi metode SRI ini input yang digunakan merupakan input organik, sehingga hama ataupun penyakit akan mudah untuk menyerang tanaman. Varietas Sinta Nur juga memiliki keunggulan lain yakni dalam produksi anakannya cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan varietas yang lain (Lampiran 5). Hal ini juga sangat diperlukan dalam usaha tani padi sawah metode SRI karena pada saat penanaman bibit yang ditanam hanya satu rumpun, sehingga diperlukan anakan yang produktif untuk menghasilkan malai padi yang banyak. Varietas sinta Nur memiliki umur tanam 115-125 hari dengan potensi hasil

mencapai 7 ton/ha. Anakan produktif sekitar 16-20 batang. Sintanur memiliki

47

tekstur nasi pulen. Varietas ini baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 550 m diatas permukaan laut. Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 9, kebutuhan benih total ratarata yang digunakan petani padi SRI setiap musim tanam sebesar 34,01 kg. Jumlah tersebut jauh berbeda dimana petani padi konvensional total rata-rata menggunakan benih sebesar 95,39 kg. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa usaha tani padi SRI dapat menghemat penggunaan benih total rata-rata sebesar 61,38 kg, atau mengurangi biaya pembelian benih sebesar Rp 368.260,- dengan harga rata-rata Rp 6.000,-/kg. Perbedaan jumlah kebutuhan benih SRI dan konvensional cukup signifikan, hal ini disebabkan karena pada dasarnya usaha tani metode SRI tidak membutuhkan banyak benih, karena pada prinsipnya metode SRI menggunakan satu benih untuk satu lobang tanaman padi. Perhitungan besarnya jumlah benih dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 9.Perbandingan Penggunaan Benih Padi SRI dan Padi Konvensional (Kg/Ha) di Desa Jambenenggang,kabupaten Sukabumi Jawa Barat Penggunaan Benih SRI Luas Lahan (Ha) 0,16 0,5 0,4 0,04 0,5 0,5 0,3 0,15 1,2 0,08 0,07 0,25 1 0,12 1 0,12 Benih (Kg) 2 10 5 2 7 7 30 5 7 3 3 10 6 5 10 5 Penggunaan Benih Konvensional Luas Lahan (Ha) 0,12 0,10 0,15 0,35 0,10 0,3 0,15 0,06 0,22 0,16 0,15 0,10 0,08 0.07 0,08 0,12 Benih (Kg) 24 10 10 10 10 15 15 7 15 10 15 10 10 10 5 15
48

0,1 0,09 0,1 0,07 Rata-Rata Total Benih (Kg) Harga Benih (Rp) Biaya Total RataRata Benih (Rp) Selisih Biaya (Rp)
Sumber :Data primer diolah

5 5 5 3 34,01 6000 204.060 368.260

0,05 0,25 0,10 0,05

6 10 10 5 95,39 6000 572.340

6.1.2 Pupuk Berdasarkan hasil wawancara, petani SRI tidak seluruhnya menggunakan pupuk organik, ada sebagian petani yang menggunakan pupuk kimia, walaupun proporsinya sangat kecil dibandingkan dengan pupuk organik. Pada petani Konvensional hampir semua menggunakan pupuk kimia dan proporsinya sangat besar dibandingkan dengan pupuk organik. Pada usaha tani padi SRI, pupuk yang digunakan oleh petani organik untuk membudidayakan tanamannya adalah dengan menggunakan pupuk kompos atau pupuk kandang. Pupuk kompos ini dibuat dari berbagai campuran bahan organik yang terdapat di alam, seperti pupuk kandang (kotoran hewan), sekam bakar, arang bambu, daun-daunan hijau, sampah dapur, dan bahan lainnya yang berasal dari hasil limbah pengolahan produk ternak yang kemudian didekomposisikan. Definisi pupuk organik dalam International for Standardization (ISO) adalah bahan organik atau bahan karbon yang ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai unsur hara yang mengandung nitrogen dari tumbuhan atau hewan (Sutanto, 2006). Pada umumnya pupuk diberikan dengan cara sebar atau ditabur melalui daun dengan cara disemprot.
49

Pupuk kompos yang digunakan petani padi organik SRI rata-rata adalah 2.127. 407 kg/ha dengan harga rata-rata adalah Rp. 635,00/kg. Petani masih memanfaatkan bahan-bahan organik yang tersedia dilingkungan mereka. Untuk mendapatkan pupuk ini, petani dapat membuatnya sendiri atau membeli di tokotoko sarana tani yang ada di kota Sukabumi. Selain menggunakan pupuk kompos, petani padi SRI pun menggunakan pupuk daun sebagai pupuk pelengkap, yaitu menggunakan mikroorganisme lokal (MOL). Hal ini dilakukan petani untuk menambah jumlah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. MOL ini digunakan dengan cara disemprotkan menggunakan handsprayer. Umumnya MOL dibuat sendiri oleh petani karena menggunakan bahanbahan organik yang mudah ditemukan di lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 10 dapat dikaji, bahwa kebutuhan MOL yang digunakan rata-rata sebesar 15,96 lt/ha. Penggunaan MOL tidak memiliki rekomendasi khusus, apabila petani akan menggunakan MOL lebih banyak dari dosis yang telah ditetapkan itu lebih bagus, karena jumlah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman jadi lebih tercukupi. Selain itu, tidak ada efek samping yang ditimbulkan apabila penggunaan MOL melebihi dosis yang dianjurkan, karena pupuk ini terbuat dari bahan organik. Namun, takaran yang dianjurkan yaitu 50:50, artinya setengah bagian MOL dicampur dengan setengah bagian air. Dari segi biaya, petani padi SRI mengeluarkan rata-rata Rp 4.770,-/Ha. Untuk melihat lebih jelas dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

50

Tabel 10. Kebutuhan akan MOL yang digunakan petani padi SRI di desa Jambenenggang, kec Kebon Pedes, Kab Sukabumi 2011
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah Rata2 penggunaan MOL Luas Lahan (Ha) 0,16 0,50 0,40 0,04 0,50 0,50 0,30 0,15 1,20 0,08 0,07 0,25 1,00 0,12 1,00 0,12 0,10 0,09 0,10 0,07 6,75 206,75/6,75 =30,63 Liter/Ha Jumlah Mol (Liter) 10 5 2 0.25 30 5 4 5 15 12 0.5 1 0 0.5 1 0 0.5 0 0 16 206.75 Nilai (Rp) 100000 50000 20000 0 25000 60000 40000 50000 75000 0 0 10000 0 5000 10000 0 5000 0 0 64000 514000 Pupuk Organik (Kg) 300 150 700 20 350 700 2000 300 1500 50 50 75 7000 15 150 50 100 50 700 700 14360 718 kg/Ha Nilai (Rp) 225000 112500 490000 0 262500 490000 600000 225000 600000 0 0 56250 2800000 11250 105000 35000 70000 35000 70000 490000 6677500

Biaya rata2 yang Rp.25.700 ,dikeluarkan Sumber : Data primer diolah

Rp.502.600,-

Penggunaan pupuk kimia dalam usaha tani padi konvensional biasanya menggunakan pupuk standar yaitu pupuk urea, KCL, NPK dan TSP. Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 11, didapatkan bahwa rata-rata penggunaan pupuk
51

Urea sebesar 26,23 kg/Ha dengan biaya rata-rata yg dikeluarkan Rp 2500/kg, penggunaan Pupuk KCL sebesar 6,83 Kg/Ha dengan Biaya Rata2 yang dikeluarkan Rp 1800/kg, penggunaan pupuk NPK sebesar 3,5 kg/Ha dengan biaya rata-rata yang dikeluarkan Rp 3000/kg. Rata-rata penggunaan pupuk TSP sebesar 16,43 kg/Ha dengan biaya rata-rata Rp 2500/kg. Tabel 11. Rata-rata Penggunaan Pupuk Kimia petani Konvensional di desa Jambenenggang, kec Kebon Pedes, Kab Sukabumi 2011
Pupuk Urea Pupuk KCL Pupuk NPK Pupuk TSP Jumlah

Jumlah (Kg) Harga (Rp/Kg) Biaya (Rp)

185,78 2.500 464.460

55,46 1.800 99.836

34,38 3.000 103.152

94,25 2.500 235.647

369,87 9.800 903.095

Sumber : Data primer diolah

Berdasarkan Tabel 11 di atas, dapat dianalisis bahwa Biaya total dari pupuk Urea yang dikeluarkan petani konvensional di desa Jambenenggang sebesar Rp 65.575/Ha, nilai biaya pupuk KCl sebesar Rp 12.294/Ha, nilai biaya pupuk NPK Rp 10.500/Ha dan pupuk TSP Rp 41.075/Ha. Biaya pupuk merupakan bagian dari biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. 6.1.3 Pestisida Dalam melakukan pengendalian hama dan penyakit pada usaha tani SRI tidak menggunakan pestisida kimia. Hal ini dikarenakan dapat berpengaruh terhadap kualitas beras yang dihasilkan, untuk itu pengendalian hama dan penyakit para petani SRI melakukannya dengan cara pengendalian fisik dan penyemprotan dengan menggunakan handsprayer. Pengendalian fisik dilakukan
52

dengan cara mencabut gulma yang berada dilahan dan pematang sawah, sedangkan penyemprotan hama dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang biasanya dibuat sendiri. Seringkali petani melakukan tindakan pengendalian bersamaan dengan saat penyemprotan MOL dilakukan (pupuk daun), karena dalam komposisi MOL terkadang dicampurkan bahan-bahan organik seperti gadung, daun nimba, dan lain-lain yang dapat mengendalikan hama. Hal ini dilakukan agar kondisi lahan bersih dari gulma yang biasanya dijadikan oleh hama dan penyakit sebagai tempat bersemayam. Petani padi konvensional dalam melakukan pengendalian hama dan penyakitnya menggunakan pestisida kima. Pestisida yang digunakan oleh petani konvensional terdiri dari dua jenis yakni berdasarkan cara aplikasinya yaitu pestisida padat dan pestisida cair. Pada pestisida padat yang digunakan antara lain, yaitu pestisida dengan merek dagang Furadam. Sedangkan pestisida cair yang digunakan petani padi konvensional seluruhnya dalam bentuk formula cair dengan seperti Pirtako,Obat eceng, Allika spontan, Pilia,Skor. Petani biasanya melakukan penyemprotan pestisida bila terdapat serangan hama atau penyakit pada tanaman, namun pada beberapa petani tetap melakukan penyemprotan meskipun tidak terdapat serangan hama sebagai tindakan pencegahan. Hal serupa juga dilakukan dengan cara menaburkan furadam. Rata-rata penggunaan furadam yang dilakukan petani adalah sebesar 1.82 kg/ha. Berdasarkan data yang diperoleh, penggunaan pestisida cair yang digunakan petani yaitu Allika 11,67 %, Skor 5.83%, Pillia 40.87 %, Pirtakol 40.87 %, Obat eceng 0.58 %,Spontan 0.14 %. Pada Tabel bawah ini dapat dilihat beberapa jenis obat-obatan yang digunakan petani Konvensional.
53

Tabel 12. Jenis Obat-Obatan Pada Usaha tani Padi Konvensional di Desa Jambenenngang, Kec. Kebon Pedes, Kab. Sukabumi untuk Musim Tanam (MT) Periode Januari-Maret 2011 Per Hektar
No Jenis Obatan Pestisida Cair 1 2 3 4 5 6 Allika Skor Pilia Pirtako Obat Eceng Spontan Pestisida Padat 1 Furadam Kg 1,82 100 ml ml ml ml ml ml 9,13 4,56 31,96 31,96 0,45 0,11 11,67 5,83 40,87 40,87 0,58 0,14 Satuan Penggunaan per Ha Persentase (%)

Sumber : Data primer (diolah)

6.1.4 Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki pengaruh besar terhadap biaya usaha tani. Oleh karena itu dalam penggunaannya petani harus memperhitungkannya. Kebutuhan tenaga kerja yang digunakan petani berasal dari tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Kebutuhan tenaga kerja dalam satu musim tanam yang digunakan petani baik usaha tani padi SRI maupun padi konvensional di desa Jambenenggang pada umumnya relatif sama. Namun kebutuhan tenaga kerja pada beberapa kegiatan dalam usaha tani padi SRI dengan padi konvensional berbeda. Penggunaan tenaga kerja pada kedua jenis usaha tani di desa Jambenenggang dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

54

Tabel 13. Perbandingan Kebutuhan Tenaga Kerja pada Usaha tani Padi Metode SRI dan Usaha tani Padi Konvensional di Desa Jambenenggang, Kec. Kebon Pedes, Kab. Sukabumi Tahun 2011 (HOK/Ha)
Metode SRI No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kegiatan Pengolahan Tanah Penyiapan Media Menaplak Menanam tandur Penyiangan Penyulaman Pemupukan Penyemprotan Pembersihan Pematang Panen Total Kebutuhan (HOK) 153 25 32 138 90 39 30 45 41 139 732 (%) 20.90 3.41 4.37 18.80 12.20 5.32 4.09 6.14 5.60 18.90 100.00 Metode Konvensional Kebutuhan (HOK) 117 30 15 78 58 0 16 10 30 68 422 (%) 27,70 7,10 3,55 18,48 13,70 0 3,79 2,36 7,10 16,11 100.00

KK = TKSri TKKonvensional = 732 - 422 = 310 HOK Sumber : Data primer (diolah) Berdasarkan Tabel 13 di atas memperlihatkan perbandingan kebutuhan tenaga kerja metode SRI lebih banyak dibandingkan dengan usaha tani metode konvensional. Proporsi kebutuhan tenaga kerja untuk kedua jenis usaha tani tersebut paling besar dialokasikan pada kegiatan pengolahan tanah, menanam tandur, penyiangan, dan panen. Pada usaha tani SRI, sebanyak 20.9 % dialokasikan untuk pengolahan tanah, kemudian diikuti oleh kegiatan menanam tandur sebesar 18.8 %, kegiatan penyiangan sebesar 12.2 % dan kegiatan panen sebesar 18.9 %. Pada usaha tani padi konvensional membutuhkan tenaga kerja jauh lebih sedikit dibandingkan dengan usaha tani metode SRI. Penggunaan jumlah tenaga
55

kerja dimasing-masing usaha tani terlihat perbedaan yang cukup besar, yakni pada kegiatan pengolahan tanah, menanam tandur, penyiangan, dan penyemprotan. Pada kegiatan pengolahan tanah kebutuhan tenaga kerja usaha tani SRI lebih banyak dibandingkan usaha tani konvensional, hal ini disebabkan karena pada proses pengolahan tanah sawah yang diusahakan dengan metode SRI membutuhkan tahapan pengolahan yang lebih banyak dibandingkan dengan konvensional, karena pada prinsipnya usaha tani metode SRI tidak menggunakan pupuk kimia sehingga dibutuhkan pembajakan tanah yang lebih banyak yang bertujuan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan pada dua proses lainnya yaitu penyiangan dan penyemprotan lebih banyak digunakan pada usaha tani padi sawah metode SRI, hal ini disebabkan karena tanaman padi dengan menggunakan SRI merupakan tanaman organik sehingga sangat mudah untuk terserang hama tanaman, hal ini menyebabkan proses penyiangan pada usaha tani SRI lebih banyak dibandingkan dengan konvensional. Kedua kegiatan tersebut memerlukan tambahan tenaga kerja lebih banyak karena proses penyemprotan MOL pada usaha tani padi metode SRI dilakukan sebanyak empat kali jika dibandingkan dengan proses penyemprotan yang dilakukan pada usaha tani padi konvensional yang dilakukan sebanyak dua kali pada setiap musim tanam. Pada kegiatan penyemprotan membutuhkan 45 HOK dan penyiangan membutuhkan tenaga kerja sebesar 90 HOK jika dibandingkan dengan usaha tani konvensional yang membutuhkan tenaga kerja untuk penyemprotan sebanyak 7 HOK dan tenaga kerja untuk penyiangan sebanyak 58 HOK.

56

Upah yang diterima buruh tani di desa Jembenenggang, baik pada usaha tani padi SRI maupun padi konvensional pada umumnya adalah sama. Kisaran upah yang berlaku sekitar Rp 15.000,00 Rp 25.000,00 untuk hari kerja pria dan Rp 10.000,00 Rp 15.000,00 untuk hari kerja wanita. Berdasarkan Tabel di atas dapat dianalisis perubahan kesempatan kerja secara keseluruhan yang terjadi sebanyak 310 HOK, yang berarti bahwa penggunaan tenaga kerja sistem usahatani metode SRI lebih banyak 310 HOK dibandingkan dengan sistem usahatani konvensional. 6.2 Output Usaha tani Output dalam usaha tani padi yakni berupa gabah. Gabah adalah bulir padi yang telah dirontokkan melalui kegiatan panen. Gabah yang diterima petani di lahan atau gabah yang belum mendapat perlakuan pengeringan disebut gabah kering panen (GKP). Sementara gabah yang telah dikeringkan disebut gabah kering giling (GKG). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani, terjadi kehilangan bobot GKP yang disebabkan oleh proses penjemuran adalah sekitar 15 %, dengan kata lain bobot GKG lebih rendah 15 % dari bobot GKP. Adapun jenis gabah yang sering dijual oleh petani di desa Jambenenggang biasanya adalah GKP. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa total gabah kering panen (GKP) yang dihasilkan petani SRI dengan luas lahan rata-rata 0,3375 Ha sebesar 39.785 kg, sedangkan total gabah kering panen (GKP) yang dihasilkan petani konvensional dengan luas lahan rata-rata 0,146 Ha sebesar 21.350 kg. Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui dan dikaji perbandingan produksi (GKP) rata-rata yang dihasilkan petani SRI dengan petani kg, sedangkan
57

Konvensional. Produksi rata-rata petani SRI sebesar 1989,25

produksi rata-rata yang dihasilkan petani konvensional sebesar Berdasarkan informasi dianalisis bahwa hasil produksi

1.067,5 kg. dengan

petani

menggunakan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan hasil produksi yang diusahaakan petani konvensional. Selain dari segi produksi, harga jual GKP padi SRI lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual GKP padi konvensional. Untuk harga jual GKP padi SRI sebesar Rp 2.800,00 /Kg, sedangkan harga jual GKP padi konvensional sebesar Rp 2.500,00 /Kg. Data produksi di atas dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 14 .Perbandingan Produktivitas Padi Metode SRI dan Padi Konvensional di Desa Jambenenggang, Kec. Kebon Pedes, Kab. Sukabumi Periode Januari-April 2011
Luas Ratarata (Ha) 0,33 0,13 GKP Total (Kg) 39.785 21.350 GKP RataRata (Kg) 1.989,25 1.067.50 Produktivitas GKP (Kg/Ha) 5.894,07 4.402,17

Jenis Usahatani

Metode SRI Konvensional Sumber : Data primer (diolah)

6.3 Penggunaan Air untuk Produksi Kondisi desa Jambenennggang, sumber air pertanian yang dimanfaatkan oleh warga berasal dari sungai disekitar desa yang dibuat menjadi irigasi sederhana. Namun ada beberapa kelompok tani yang hanya memanfaatkan air hujan untuk mengairi sawahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dapat dianalisis perbandingan penggunaan air yang digunakan antara petani yang menggunakan metode SRI dengan petani yang menggunakan metode konvensional. Jumlah kebutuhan air untuk sawah yang menggunakan metode SRI dengan metode konvensional sangat berbeda. Kebutuhan air untuk metode SRI membutuhkan
58

1500 m3 per musim tanam untuk pengolahan tanah dan untuk pertumbuhan tanaman membutuhkan air 6000 m3 per musim tanam. Kebutuhan air untuk sawah yang menggunakan metode konvensional membutuhkan 1500 m3 per musim tanam untuk pengolahan tanah dan 1000 m3 untuk pertumbuhan tanaman. Tabel 15. Perbandingan Kebutuhan air Padi Sawah Metode SRI dengan Konvensional
Metode Padi SRI Padi Konvensional Sumber : Balitbang Pertanian Pengolahan (m3) 1500 1500 Pertumbuhan (m3) 6000 10000 Kebutuhan Total (m3) 7500 11500

59

You might also like