You are on page 1of 6

Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu: 1. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut). 2. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di Museum Nasional Prasasti Tugu ditemukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut. Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah: 1. Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi. 2. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April. 3. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.

Prasasti Kelurak merupakan prasasti batu berangka tahun 782 M yang ditemukan di dekat Candi Lumbung Desa Kelurak, di sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan,Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya kurang diketahui. Secara garis besar, isinya adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya. Menurut para ahli, yang dimaksud dengan bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang terletak di Kompleks Percandian Prambanan. Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Canggal (Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.

Prasasti Kalasan adalah prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno yang berangka tahun 700 Saka atau 778 M. Prasasti yang ditemukan di kecamatan Kalasan, Sleman, Yogyakarta, ini ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sanskerta.Prasasti ini menyebutkan, bahwa Guru Sang Raja berhasil membujuk Maharaja Tejahpura Panangkarana (Kariyana Panangkara) yang merupakan mustika keluarga Sailendra (Sailendra Wamsatilaka) atas permintaan keluarga Syailendra, untuk membangun bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta, serta penghadiahan desa Kalasan untuk para sanggha (umat Buddha). Bangunan suci yang dimaksud adalah Candi Kalasan.Prasasti ini kini disimpan dengan No. D.147 di Museum Nasional, Jakarta.

Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (residen Palembang kontemporer) pada tanggal 17 November 1920 di kaki Bukit Seguntang, dan dikenal sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya.Keadaan fisiknya masih baik dengan bidang datar yang ditulisi berukuran 50cm 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuna, dan terdiri dari 14 baris. Sarjana pertama yang berhasil membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut adalah van Ronkel dan Bosch, yang dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak tahun 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dengan nomor D.145.

Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 aka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa. Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali.

Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta. Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno. Prasasti Amoghapasa adalah prasasti yang tertulis pada bagian belakang stela (sandaran) patung batu yang disebut pduka Amoghapa sebagaimana disebutkan dalam prasasti Padang Roco. Pada tahun 1347, Adityawarman menambah pahatan aksara pada bagian belakang patung tersebut untuk menyatakan bahwa patung ini melambangkan dirinya. Prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.1986469 (bagian arca).

Prasasti Plumpungan (juga disebut Prasasti Hampran) adalah prasasti yang tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter. Prasasti ini ditemukan di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, berangka tahun 750 Masehi. Prasasti ini dipercaya sebagai asal mula kota Salatiga.Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Tulisannya ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.Dengan demikian, pemberian tanah perdikan (daerah bebas pajak) merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu maka raja menulis dalam Prasasti Plumpungan Srir Astu Swasti Prajabhyah, yang artinya: "Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian". Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.Perdikan artinya suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena daerah tersebut memiliki kekhususan tertentu, daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu meliputi Salatiga dan sekitarnya. Menurut sejarahnya, di dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini. Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para

pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.

Terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut.


Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida[2], membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka "Panca Pandawa Mengemban Bumi"

TUGAS SEJARAH

Berthy Kusnitha Sari X3 09

SMA Negeri 1 Kotagajah Tp.2012/2013

You might also like