You are on page 1of 29

KRITIK TEORI PSIKOLOGI

Ditulis pada 6 Januari 2009 oleh wangmuba

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]-->

Audith M Turmudhi

(Dimuat di majalah ilmiah “Kalam”, Yogyakarta, nomor 5 vol. III tahun 1993;
kemudian dimuat di buku “Membangun Paradigma Psikologi Islami”,

editor: Fuat Nashori, Yogyakarta: penerbit Sipress, 1994)

Kalau kita amati sepintas teori-teori psikologi kontemporer yang tersedia


di dunia akademik kita, boleh jadi akan timbul kesan bahwa semuanya baik-baik
saja. Kesan ini akan membawa sikap lanjutan, yaitu bahwa yang penting untuk
kita lakukan adalah sekedar menerimanya dan mengoperasikannya di lapangan.
Akan tetapi, jika teori-teori itu kita cermati secara kritis, sangat boleh jadi kesan
baik tersebut akan buyar.

Kritisisme – kiranya kita semua sepakat – sangat diperlukan agar suatu


karya budaya apapun, termasuk psikologi, menjadi dinamik: tumbuh dan
berkembang menuju penyehatan dan penyempurnaan. Lebih-lebih lagi bagi kita,
masyarakat akademik negara dunia ketiga, sikap kritis bukan saja akan
mengantarkan kita menjadi konsumen ilmu yang baik, akan tetapi juga menjadi
prasyarat utama bagi tumbuhnya kreativitas penciptaan teori-teori baru
(theoriebuilding) atau bahkan teori-teori psikologi berparadigma baru. Relevansi
dan urgensi untuk hal yang disebut terakhir itu kiranya jelas dengan sendirinya,
yaitu mengingat psikologi adalah ilmu yang sangat sentral dan sarat nilai, yakni
menyangkut pemahaman dan perlakuan terhadap kehidupan kejiwaan manusia.
Sementara kita tahu, bahwa psikologi yang kita hadapi saat ini adalah psikologi
Barat dengan segala muatan nilai-nilai kulturalnya.
Berikut ini kita akan dicoba-kemukakan kritik teori psikologi atau kritik
terhadap teori-teori psikologi, yang akan meliputi kritik empiris, kritik
epistemologis, dan kritik ideologis.

Kritik teori ini diharapkan dapat menyingkap cacat-cacat sistemik yang


melekat pada (beberapa) teori psikologi. Dengan kritisisme ini, dan selanjutnya
dengan tetap memelihara sikap arif, yakni tetap mengapresiasi dan
memanfaatkan (apa yang kita anggap sebagai) kebenaran-kebenaran yang
terkandung dalam psikologi Barat tersebut, diharapkan akan memunculkan sikap
progresif. Yang dimaksud dengan sikap progresif adalah keberanian melakukan
upaya-upaya inisiasi untuk membangun paradigma atau teori-teori psikologi
alternatif yang lebih sesuai dengan keyakinan akal dan jiwa sehat kita, yang
diharapkan dapat memainkan peran besar dalam upaya menyehatkan dan
memanusiawikan peradaban, dan yang integratif dengan pandangan ideologis
kita.

Kritik Empiris

Teori adalah abstraksi yang bersifat umum dan formal dari hasil-hasil
temuan lapangan. Dalam psikologi, teori-teori itu sering merupakan abstraksi dan
generalisasi dari suatu sampel penelitian terhadap perilaku sejumlah manusia di
suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Suatu teori juga dibangun di atas
landasan postulat dan asumsi-asumsi tertentu yang seringkali berbeda antara
satu dan lain teori (Suriasumantri, 1984). Dengan demikian pada gilirannya kita
bisa mempersoalkan apakah suatu teori mampu menjelaskan suatu kenyataan
lapangan tertentu atau dapat berlaku dalam kenyataan lapangan dengan setting
budaya yang berbeda dari budaya asal teori tersebut dirumuskan. Demikian juga
terhadap konsep-konsep yang mendasari teori tersebut, dan metode penerapan
teori tersebut.

Untuk contoh kritik empiris ini dapat dikemukakan temuan antropolog


Margaret Mead (1928) di masyarakat Samoa, yaitu bahwa anak-anak remaja
Samoa ternyata tidak mengalami apa yang dikenal sebagai storm and stress
dalam masa perkembangan mereka. Padahal konsep storm and stress yang
merupakan hasil temuan pada anak-anak remaja di Amerika Serikat waktu itu
dianggap sebagai konsep yang universal, berlaku di mana saja. Kultur di Samoa,
rupanya berbeda dengan di Amerika, memungkinkan masa remaja – yang
merupakan peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa – berlangsung
secara mulus saja, tanpa storm and stress.

Contoh lain adalah temuan antropolog Ruth Benedict, bahwa dorongan


berkompetisi yang oleh para ahli psikologi semula dianggap sebagai insting, dus
bersifat universal, ternyata juga sangat tergantung pada sistem kebudayaan.
Pada masyarakat suku Indian Zuni ternyata tidak ditemukan adanya semangat
kompetisi. Yang ada adalah semangat untuk selalu membantu orang lain yang
mengalami kesulitan. Di sana masyarakat tidak melihat perlunya bersaing untuk
mengalahkan orang lain. Demikian juga pada suku Hopi, Arapesh, dan Pueblo.

Contoh lain lagi adalah kritik empiris terhadap konsep-konsep


psikoanalisa (Sigmund Freud) dan teori-teori yang mendasarkan diri pada
konsep-konsep tersebut. Betapapun kaburnya konsep-konsep psikoanalisa
tersebut, sejumlah ahli telah berhasil melakukan studi empirik yang dalam
keseluruhan hasilnya ternyata menyangkal kebenaran konsep-konsep dan teori-
teori itu. Branislav Malinowski (1927) tidak memperoleh bukti adanya apa yang
dinamakan konflik oedipal di antara penduduk pulau Torbiand. Prothro (1961)
dalam studinya terhadap praktik-praktik pendidikan anak di Libanon memperoleh
bukti bahwa karakter anal sesungguhnya tak berhubungan dengan toilet training
seperti yang diteorikan Freud. Dan, Victor E. Frankl (1964) lewat serangkaian
penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa tak ada hubungan antara citra
ayah positif dangan keyakinan agama seseorang dan sikapnya terhadap Tuhan.

Kritik Epistemologis
Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa
yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia
mendapatkan pengetahuan. Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap
pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-
pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat,
jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang
dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada
tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin,
1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat
ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.

Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang


dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori
mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri
teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap
konsep-konsep yang mendasari suatu teori.

Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan


grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan:
siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis?
Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah
orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh
kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik
yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis,
dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang
emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama
seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat
atau orang-orang neurotik.

Norma lain, dari sudut pandangan kultural, konsep keabnormalan jauh


lebih kabur lagi. Ini disebabkan karena pandangan tersebut memberikan
kewenangan menimbang kenormalan dan keabnormalan seseorang pada
lingkungan sosio-kultural orang tersebut. Karena itu tingkah laku yang dianggap
abnormal pada suatu masyarakat atau suatu kelompok tertentu, bisa saja
dianggap normal jika orang itu pindah ke kelompok lain. Malik B. Badri (1986)
memberi contoh sebuah adat istiadat Sudan (yang non-Islam) di daerah Gezira,
di mana pada upacara-upacara perkawinan, pengatin pria mencambuki
beberapa orang laki-laki, yaitu teman-temannya, yang dengan sangat suka rela
menjadi memar-memar tubuhnya, seolah dalam trance hipnotik. Sementara itu,
para penonton wanita bersorak-sorai memberi semangat dan menikmati
peristiwa yang dipandang sangat “normal” tersebut. Menyaksikan peristiwa itu,
psikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin akan menganggap pengatin
pria atau teman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap kelainan
seksual. Si pengantin pria akan dicap sebagai seorang sadistik yang
mendapatkan kenikmatan erotik dengan menyakiti orang lain, dan yang
dicambuki adalah orang-orang masokhis yang terpuasi nafsu erotiknya dengan
disakiti.

Kritik Ideologis

Kritik ideologis bertujuan menyingkap dan mengungkap segi-segi


ideologis, nilai-nilai, pandangan-pandangan dasar tentang manusia dan semesta
yang mendasari atau menyusup dalam suatu teori atau juga ikut membonceng
dalam penerapan suatu teori.

Anggapan bahwa ilmu tidak memberikan penilaian (evaluation), tapi


hanya mau mengemukakan fakta apa adanya dengan cara objektif sebagaimana
yang bisa disimpulkan dari suatu kumpulan data dan fakta empiris, telah
disangkal keras oleh Gunnar Myrdal (1969). Dalam semua usaha ilmiah tidak
bisa dihindarkan adanya suatu unsur apriori. Oleh sebab itu, unsur-unsur apriori
yang berupa asumsi-asumsi dasar, faham-faham ideologis yang mendasari
suatu teori hendaknya tidak disembunyikan, melainkan harus dirumuskan
dengan jelas agar dapat secara terbuka didiskusikan. Jelaslah bahwa fakta-fakta
tidak mengoganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori hanya karena
diamati. Fakta-fakta dapat diorganisasi menjadi konsep atau teori hanya setelah
diolah dengan menggunakan kerangka konseptual tertentu yang tentunya sudah
ada dalam benak sang teoritisi atau dipilih secara apriori. Bahkan apa yang
dinamakan fakta-fakta ilmiah pun hanya akan tampak jika dilihat dengan
kerangka gagasan atau teori tertentu yang tentunya dipilih secara subjektif, dan
tidak tampak kalau kita memakai kerangka gagasan atau teori yang lain. Bagi
orang yang hanya percaya pada empirisme, misalnya, adalah berarti ia sudah
berpihak kepada empirisme dan tidak pada intuisionalisme. Dus, sudah tidak
netral lagi. Maka bagi seorang empiristik, objektivitas sudah diredusir maknanya
menjadi kepastian empiris belaka (Myrdal,1969).

Jadi, seorang psikolog yang memandang manusia sebagai seekor


binatang materialistik yang bermotivasi tunggal untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan fisik dan sosialnya “di sini dan saat ini” (here and now), dengan
sendirinya – dalam hal ini, setidak-tidaknya – berpandangan atheis. Manusia
dianggap tidak memiliki jiwa, orientasi dan kerinduan terhadap hal-hal yang tinggi
dan metafisis sifatnya. B.F. Skinner yang dengan tegar tidak mau mengakui
adanya apa yang dimaksud dengan kehendak bebas (free will) dalam perilaku
manusia, dan yang memandang manusia bagai mesin belaka (Hjelle & Ziegler,
1981), maka tentunya di dalam sistem psikologinya berkonsekuensi
menonsenskan tanggung jawab manusia. Kenapa manusia harus bertanggung
jawab jika ia tidak lebih dari mesin yang bertingkah laku semata atas dasar
stimulus-respons? Sama pula dalam psikoanalisa Freud, pertanggungjawaban
mustahil diminta karena manusia hanyalah binatang yang bergerak atas
dorongan insting: eros dan thanatos. Memang, psikoanalisa tidak terlepas dari
pandangan Freud bahwa konsep Tuhan tidak lain adalah sebuah delusi ciptaan
manusia. Dan, Freud menyesali kenapa manusia masih menyembah apa yang
dianggapnya sebagai ilusi palsu yang diciptakan karena kebutuhan-kebutuhan
masa kecil. Begitulah, dalam pandangan psikologi tadi, manusia hanyalah
sekedar makhluk psiko-fisikal-sosial belaka, tak ada jiwa atau ruh yang
menautkan manusia dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA:

Badri, Malik B., Dilema Psikolog Muslim, (Terjemahan Siti Zaenab Luxfiati),

Jakarta: Penerbit Firdaus, 1986

Hjelle, Larry A. & Ziegler, Daniel J., Personality Theories: basic Assumtions,

Research, and Aplications, Auckland: McGraw-Hill International Book

Company, 1981

Myrdal, Gunnar, Objectivity in Social Research, New York: Pantheon Books,

1969

Sahakin, William S. & Sahakin, Mabel L., Realm of Philosophy, Cambridge:

Schenkman, 1965

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984

http://wangmuba.wordpress.com/2009/01/06/kritik-teori-psikologi/

Membangun Psikologi Islami


MEMBANGUN PSIKOLOGI ISLAMI

Oleh:
Rahmat Aziz, M.Si

Dipublikasikan pada jurnal:


Psikoislamika, Jurnal Psikologi dan Keislaman,
Vol 1, No 1, Januari 2004
Abstract.
It is the fact, that the thought of western psychology has expand
speedy, and adopted by many scholars, include us. However, it does
not mean that there is no flawed in western psychology. For instance,
Freud’s psychoanalysis is considered over simplified and cannot explain
some problems such as fitrah in Islam, John Lock’s behaviorist did not
admit human intrinsic potencies which empirically cannot be denied, in
addition, humanistic of Maslow have ignored factor and the role of God
in the human life.
Islamic psychology comes into being to respond for the lack of western
psychology theories. There are two ways in developing Islamic
psychology; praxis and theoretic. Praxis method means developing
Islamic psychology based on what have been developed by western
psychology then we filter it and search the legitimacy for it;
meanwhile, theoretic method means developing Islamic psychology
based on the teaching and resources of Islamic knowledge itself.
Keyword: Psychology, Western, and Islam.

Pengantar
Ada perbedaan cukup tajam antara Ziauddin Sardar dan Ismail Raji al-
Faruqi tentang gerakan Islamisasi ilmu. Menurut Sardar, islamisasi
harus berangkat dari pandangan dunia (world view) yang Islami dan
paradigma keilmuannya, sedang bagi Faruqi gerakan Islamisasi dimulai
dari adanya kritik terhadap ilmu-ilmu modern dengan menggunakan
Islam sebagai analisisnya, setelah itu baru diadakan sintesis. Kedua
pandangan diatas mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Pandangan pertama sangat ideal dalam tatanan teoritis tapi lemah
dalam aplikasi karena memerlukan waktu yang sangat lama,
sedangkan pandangan kedua unggul dalam aplikasi karena bisa
langsung menjawab persoalan-persoalan umat saat ini tapi lemah
dalam dataran teoritis karena bisa terjebak dalam gerakan
westernisasi ilmu.
Menurut Djamaluddin Ancok & Fuad Nashori, dari kedua pandangan
diatas diperkirakan pandangan kedualah yang akan memenangkan
pertarungan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya kalangan ilmuwan
yang sudah melakukan seperti saran Faruqi. Salah satu diantaranya
adalah kalangan ilmuwan psikologi. Para ilmuwan psikologi saat ini
merasakan adanya beberapa kelemahan mendasar dari teori-teori
psikologi modern sehingga perlu mengajukan satu alternatif psikologi.
inilah yang kemudian memuncul alternatif psikologi Islami.

Kritik Terhadap Psikologi Modern


Kritik merupakan bagian dari sikap ilmiah yang melekat pada diri
ilmuwan. Ilmuwan sebagai penemu, penguasa, pengembang,
pengendali, dan peramal sains, tidak boleh tidak harus membuka diri
untuk di kritisi sekaligus mengkritisi. Ilmuwan sebenarnya sudah
kehilangan makna keilmuwannya jika sudah tidak memiliki semangat
mengkritisi atau tidak tahan dikritisi. Begitu juga teori sebuah ilmu,
termasuk teori psikologi modern, akan kehilangan dinamikanya ketika
menutup diri dari kritikan.
Dalam sejarah perkembangan psikologi terlihat bahwa lahirnya teori
psikologi yang kemudian disusul teori psikologi yang lain adalah
karena semangat mengkritik, yaitu mengkritik teori psikologi yang
lama untuk kemudian membangun teori psikologi yang baru. Ini sesuai
dengan pendapat Kuhn bahwa gelombang revolusi ilmu pengetahuan
selalu ditandai oleh pergeseran dan penggantian dominasi paradigma
ilmu yang berlaku. Karena itu, menjadi suatu hal yang sangat urgen
untuk segera melakukan kritik terhadap teori-teori psikologi modern
kemudian memberikan solusi alternatif.
Kerlinger menyatakan bahwa salah satu fungsi sebuah teori adalah
sebagai penjelas. Artinya teori tersebut diharapkan mampu
memberikan penjelasan terhadap suatu fenomena yang ada, baik
berupa hubungan sebab-akibat (kausalitas) atau hubungan yang non
sebab-akibat (nir-kausalitas). Suatu teori akan runtuh ketika ia tidak
mampu lagi memberikan penjelasan terhadap fenomena yang ada.
Demikian juga dalam bidang psikologi. Saat ini banyak fenomena yang
tidak mampu lagi dijelaskan dari sudut pandang teori psikologi
modern. Untuk menjawab kenyataan diatas, keberadaan teori psikologi
yang baru menjadi mutlak diperlukan.
Berbicara tentang psikologi modern, setidaknya ada tiga aliran besar
yang biasa dijadikan rujukan. Semua aliran itu lahir di Barat, sehingga
menurut Nashori, pola pikir (mode of thought) yang digunakannya
juga adalah masyarakat Barat. Jika teori-teori tersebut digunakan
untuk menganalisis masyarakat non-Barat (Islam), adanya bias-bias
menjadi tidak terelakkan. Kritis atas kelemahan psikologi Barat seprti
itu sudah banyak disampaikan, baik oleh kalangan mereka sendiri
seperti Ruth Benedict, atau dari kalangan lain.

Kritik Atas Aliran Psikoanalisis.


Aliran psikoanalisis dipelopori oleh Sigmund Freud. Menurutnya,
kehidupan manusia ditentukan oleh adanya dorongan-dorongan id
(ego) yang bertujuan untuk memuaskan kesenangan (the principle of
pleasure). Ego ini sangat ditentukan oleh masa lalunya, khususnya
ketika masih balita, sedang hati nurani (super ego) muncul karena
adanya interaksi individu dengan lingkungan sosialnya.
Teori Freud tentang dorongan id (libido sexual) termasuk salah satu
teori yang mendapat kritik keras karena dianggap terlalu
menyederhanakan kompleksitas hidup seseorang. Apalagi jika dilihat
dari perspektif Islam, teori ini tidak akan mampu menjelaskan
kebutuhan manusia untuk beragama yang dalam ajaran Islam diyakini
bahwa manusia punya kecenderungan untuk beragama (fithrah)
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi, Setiap manusia yang lahir
ke dunia membawa bekal fithrah (sikap bertauhid), (HR. Bukhari).
Pandangan Freud yang menyatakan bahwa manusia sangat
dipengaruhi masa lalunya juga perlu dikritik. Menurut Freud, untuk
memahami perilaku seseorang pada saat ini, kita harus merujuk
kehidupannya di masa kecil. Pendapat ini mempunyai kelemahan yang
sangat mendasar karena hidup seseorang berarti menjadi determinist
yang akhirnya meyebabkan fatalism. Jika kehidupan masa kecilnya
tidak baik, maka masa depannya tidak akan jauh berbeda, sehingga
seolah-olah tidak ada lagi harapan pada manusia untuk berkembang
kearah yang lebih baik. Islam sangat berbeda dengan pandangan
diatas. Meski Islam menekankan arti pentingnya masa kanak-kanak,
tapi itu bukan segalanya karena masih ada proses yang terus
berlangsung untuk menuju kesempurnaan hidup. Islam adalah suatu
agama yang memberikan kebebasan pada manusia untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya, dengan catatan bahwa semua itu akan
diminta pertanggung jawaban.

Kritik Atas Aliran Behavioristik.


Tokoh aliran behavioris diantaranya adalah Watson, Pavlov, Skinner
dan Thorndike. Aliran ini dipengaruhi oleh filsafat empiris yang
disponsori oleh John Lock. Aliran ini memandang bahwa manusia
dilahirkan bagaikan sebuah kertas putih yang tidak ada tulisan
apapun. lingkunganlah yang mengisi bentuk dan corak dari kertas
tersebut. Berdasarkan pandangan ini kaum behavioris berpendapat
bahwa manusia dalam kehidupannya akan berkembang sesuai dengan
stimulus yang diterima dari lingkungannya.
Kritik yang diajukan atas aliran ini adalah hilangnya potensi manusia
yang ada pada tiap individu. Kenyataanya, manusia lahir dengan
potensi ciri khasnya sendiri yang berbeda antara yang satu dengan
yang lain, dan inilah yang dilupakan oleh kaum behavioris. Kritik lain
adalah kecenderungannya untuk mereduksi nilai-nilai kemanusiaan.
Hal ini terlihat dari cara kaum behavioris memperlakukan seorang
anak. Mereka beranggapan bahwa seorang anak akan berperilaku
(memberikan respon) sesuai dengan stimulus yang diberikan. Ini
berarti manusia dianggap sebagai sebuah mesin sehingga teorinya
bersifat mekanistis.

Kritik Atas Aliran Humanistik


Aliran humanistik muncul karena adanya ketidak percayaan terhadap
kaum psikoanalisis dan behavioristik. Tokoh yang dianggap sebagai
figur aliran ini adalah Maslow, Rogers, dan lain-lain. Dalam beberapa
hal, aliran ini tampak sesuai dengan ajaran Islam karena sangat
apresiatif terhadap keunikan pribadi, penghayatan subjektifitas,
adanya rasa tanggung jawab dan yang paling penting adanya
kemampuan pada manusia untuk melakukan aktualisasi diri. Salah
satu aliran humanistik yang dikembangkan Victor Frankl dianggap
sebagai aliran yang sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, itu tidak berarti bahwa aliran ini lepas dari kritik. Kelemahan
utama aliran ini justeru terletak pada pandangannya yang terlalu
optimistik terhadap manusia itu sendiri yang keadaan ini pada
gilirannya akan menyebabkan manusia dianggap menjadi penentu
terhadap kehidupannya. Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang
menyatakan bahwa Tuhanlah yang Maha menentukan, meski manusia
mempunyai kuasa usaha.
Dengan demikian, perbedaan mendasar antara aliran humanistik
dengan Islam terletak pada pandangannya terhadap manusia.
Humanistik beranggapan over optimistik dalam memandang manusia
sedang Islam memandang manusia dengan optimist proportional, yang
berarti bahwa selain mempunyai kemampuan luhur manusia juga
mempunyai keterbatasan sehingga selalu ada tempat kembali dalam
hidupnya.

Psikologi Islami Sebagai Alternatif


Uraian diatas menunjukkan bahwa aliran psikologi dewasa ini
mempunyai kelemahan mendasar sehingga jika digunakan untuk
menjelaskan masalah yang muncul kemungkinan terjadi bias. Keadaan
seperti ini tentu harus dicarikan alternatif yang bisa menggantikan
kedudukannya, yaitu Psikologi Islami. Kenapa psikologi Islami dan
bukan psikologi yang lain? Hal ini sangat tergantung pada siapa
pengguna dari ilmu tersebut. Mungkin akan lahir psikologi-psikologi
yang lain, Psikologi Kristiani, misalnya. Hal ini sah secara keilmuan.
Hanya saja, Psikologi Islami lahir didasarkan atas kenyataan bahwa
Islam mempunyai konsep-konsep tersendiri dan berbeda dari yang
lainnya. Menurut Kuntowijaya, konsep ini bersumber dari al-Quran, al-
Hadits, dan khasanah keilmuan Islam yang lain.
Ada dua pendapat tentang pengertian dari Psikologi Islami itu sendiri.
Pendapat pertama mengatakan bahwa psikologi Islami adalah suatu
corak (aliran) psikologi yang dihasilkan dari filterisasi terhadap teori-
teori psikologi modern, sementara pandangan kedua menyatakan
bahwa psikologi Islami adalah suatu aliran psikologi yang dibangun
atas dasar konsep-konsep yang ada dalam sumber-sumber ajaran
Islam.
Cara pertama, punya keuntungan yang sangat praktis dan bisa
digunakan dalam waktu yang singkat, karena hanya dengan
mengkritisi teori-teori yang ada (menambah, membuang,
mencocokkan) dengan teori-teori yang bersumber dari ajaran Islam,
maka jadilah konsep psikologi Islami. Kelemahannya, kemungkinan
akan terjadi bias dalam proses pembentukan konsep-konsep yang
baru.
Cara kedua, punya keuntungan dalam kematangan suatu konsep
karena memang berawal dari sumber utama dari ajaran Islam.
Caranya adalah dengan menghadirkan suatu konsep baru dari ajaran
Islam kemudian melakukan penelitian ilmiah. Cara ini butuh waktu
untuk segera menemukan konsep baru, padahal konsep tersebut
sudah sangat urgen untuk segera ditampilkan . Karena itu, akhirnya
diambil perpaduan antara keduanya, sehingga yang disebut psikologi
Islami adalah suatu corak psikologi dalam pengertian pertama untuk
jangka pendek, dan pengertian kedua kedua untuk jangka waktu
panjang.
Untuk membangun sebuah Psikologi Islami sebagai sebuah disiplin
keilmuan tentu masih banyak yang harus dilakukan dan
diperjuangkan, karena adanya tantangan eksternal (para ahli psikologi
yang bukan beragama Islam) dan internal (para ahli psikologi yang
beragama Islam) yang belum tentu sepakat dengan faham ini. Namun,
terlepas dari polemik diatas, penulis beranggapan bahwa psikologi
Islami sangat mungkin bisa dimunculkan ke permukaan dengan
catatan ada usaha dan komitmen dari para ahli psikologi dan ahli
agama untuk terus mengembangkannya sehingga psikologi islami
benar-benar lahir sebagai rahamatan lil’alamin.

Pustaka
Ancok, D., & Nashori, F., 1994, Psikologi Islami, Solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Faruqi, I.R., 1982, Islamization of Knowledge, General Principles &
Workplan, Virginia: International Institute of Islamic Thought
Kuhn, T., 1970, The Structure of Scientific Revolution, Chicago: The
University of Chicago Press
Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:
Mizan
Nashori, F., 1994, Membangun Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta:
Sipress
Sardar, Z., 1986, Masa Depan Islam, (terjemahan), Bandung: Pustaka Salman
http://azirahma.blogspot.com/2008/12/membangun-psikologi-islami-oleh-rahmat.html
Psikologi Islam, "Istana" yang Belum
Berdiri
Psikologi Islam, "Istana" yang Belum Berdiri

By Ghozali

Belum genap lima belas tahun usia Psikologi Islam di Indonesia berdiri. Sejak
kelahirannya pada simposium tahun 1994 di Solo yang dibidani oleh Psikolog-
psikolog muslim yang genial dan terampil dengan semangat li i`lai kalimatillah, telah
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Betapa tidak, sekitar 40-an lebih,
buku-buku referensi telah diterbitkan plus membludaknya animo ilmuwan maupun
akademisi yang telah menjadikan material psikologi keislaman sebagai obyek dalam
penelitian mereka, seperti berupa jurnal maupun hasil penelitian untuk internal
kampus (skripsi, tesis bahkan disertasi) dan lain-lain, baik di PTN maupun PTS yang
ada.
Namun, di sisi yang lain, tidak sedikit kalangan yang mencibir kemampuan dan
keilmiahan Psikologi Islam, baik dari kalangan psikologi arus utama (istilah Dennis
Fox --mengacu pada Psikologi Modern) dengan alasan tidak bisa diverifikasi secara
ilmiah. Atau adanya kecurigaan sebagian kalangan bahwa disiplin Psikologi Islam
kelak dapat menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “sengketa lahan”. Benarkah
demikian? Jawabnya, bisa ya dan bisa tidak.
Jika jawabnya “iya” karena banyak intelektual Islam sendiri, ketika mereka
menyoroti dasar-dasar keislaman yang dijadikan landasan teori Psikologi Islam,
masih terkesan rapuh dan cenderung asal comot, bahkan lebih parahnya lagi, ada
sebagian yang menganggap kehadiran tokoh-tokoh Psikologi Islam ini karena “aji
mumpung” atau diuntungkan oleh “peluang”. Bahkan, pada tahap anggapan yang
menyedihkan, ada seorang ilmuan agama yang hanya karena menyusun buku-buku
kejiwaan islam yang nyaris “garing” kajian psikologinya dijadikan sebagai “imam”
Psikologi Islam Indonesia. Bisa jadi, hal tersebut karena faktor sedikitnya ilmuwan
serupa sebagai pesaing yang intens dan mau ambil bagian dalam proyek Islamisasi
psikologi di nusantara ini. Padahal kalau dikritisi secara mendalam, ilmuan yang
“terlanjur” dijadikan kiblat tersebut ternyata belum, atau bahkan tidak mampu
membangun karakter sebuah teori keilmuan dalam Psikologi Islam, seperti bangunan
epistemologi dan metodologinya.
Namun, jika jawabnya “tidak”, langkah bijak untuk menyikapi tuduhan dan
kecurigaan diatas, setidaknya ada dua hal yang perlu kita ambil langkah. Pertama;
defensif-proaktif yaitu sebuah langkah bertahan-berkreasi dengan menciptakan
karya ilmiah, tidak patah semangat dan kalau perlu menganggap “angin lalu” atas
tuduhan dan kecuriagaan tersebut. Tentu saja karya ilmiah yang kita akan bangun
harus memiliki kekokohan teori yang tahan banting dari goncangan dan terjangan
ombak kritik dan tuduhan. Memang, untuk mewujudkan upaya tersebut, tugas
ilmuwan Psikologi Islam dalam menformulasi ajaran agama “yang terserak” yang
bersumber dari Alqur`an, Hadits maupun dari khazanah (turrats) keilmuwan seperti
filsafat maupun tasawuf hingga menjadi sebuah teori yang kokoh bukanlah
pekerjaan mudah. Apalagi kemudian bangunan teori tersebut dituntut tidak hanya
utuh, namun juga bersifat praksis sehingga merangsang adanya tindak lanjut
penelitian bagi pengembangan landasan Psikologi Islam yang bisa dirasakan
manfaatnya oleh peradaban manusia di planet bumi ini. Demikian juga bukan tugas
yang ringan, yaitu upaya mereformulasi teori-teori Psikologi Barat sehingga sesuai,
paling tidak mampu memberikan “suntikan” nilai-nilai idealisme Islam.
Dalam sejarah perkembangan modern Indonesia, sebenarnya langkah-langkah
tersebut telah dilakukan oleh “tokoh-tokoh” Psikologi Islam, seperti Hanna Djumhana
dan Fuad Nashori, yang pernah mencoba mereformulasikan melalui karya-karyanya
yang berjudul “Integrasi Psikologi dengan Islam” dan “Paradigma Psikologi Islam”.
Kemudian diikuti oleh beberapa tokoh lain yang datang kemudian. Namun,
mereformulasikan bangunan “Psikologi Islam” memang membutuhkan kemampuan
ekstra, setidaknya kemampuan ilmu alat seperti ilmu mantiq (logika) dan Bahasa
Arab yang kuat untuk dapat mengakses khazanah Islam klasik seperti yang
dilakukan oleh Abdul Mujib. Langkah kreatif Abdul Mujib tersebut patut diapresiasi
dengan segala kelemahannya. Sebagai contoh, teori kepribadian (personality) coba
ditariknya dari pendulum dasar teori psikologi Barat yang bersifat das sein ke titik
ekstrem yang berlawanan das solen. Meskipun upaya tersebut tidak lepas dari
kelemahan sebagai hal yang tidak realistis yang belum menawarkan sebuah konsep
tentang manusia seutuhnya berlandaskan pada coidentia oppositorum, tetapi sebagai
proses “ijtihad intelektual” yang mencoba mendayung dari bentangan paradigma
Barat dan Islam, perlu kita berikan ruang apresiasi yang layak.
Tanpa bermaksud menggurui para ilmuan muslim yang berupaya keras membangun
Psikologi Islam, analog sederhana antara psikologi modern dan Psikologi Islam
diibaratkan seperti tender sebuah proyek bangunan (rumah) yang memiliki karakter
perbedaan yang besar. Psikologi modern (Barat) seperti bangunan rumah yang
berarsitektur amatiran (tokoh/teoritikus Barat), dan bahan material (teori-teori)
bukan dari bahan yang bermutu, namun mereka memiliki banyak tukang (ilmuwan
konstruktif) yang berpengalaman dan profesional serta beberapa gelintir mandor
(ilmuwan tukang kritik). Sehingga “bangunan rumah” tersebut dalam waktu 1 x 24
jam dapat diselesaikan meski hanya berukuran kecil dan kurang kokoh. Walaupun
kecil, rumah itu sudah mampu memberikan manfaat bagi segelintir orang, yang
melindunginya dari terik matahari dan dinginnya malam ketika hujan tiba.
Sementara Psikologi Islam ibarat rumah yang berarsitektur paling profesional
(konsepsi Alquran dan Hadist seperti tentang hakikat manusia) dengan rancangan
maket (miniatur) sebuah istana yang kokoh yang dapat menampung ribuan orang,
dengan bermodalkan bahan-bahan material pilihan dan berkualitas tinggi. Namun
hingga saat ini, bangunan itu masih belum bisa berdiri, bahkan para Mandor masih
sibuk berwacana tentang fondasi (epistemologi dan metodologinya). Hal ini
disebabkan karena rasio antara mandor (ilmuwan + tukang kritik) dan tukangnya
(ilmuwan konstruktif) lebih banyak mandornya. Sehingga tidak mengherankan
apabila tender-tender yang ada selama ini selalu dimenangkan oleh Psikologi
Modern.
Sebagai orang yang pernah mengenyam studi Psikologi Modern di S-1 dan
menganalisisnya dengan berbagai konsepsi keislaman, saya optimistis bahwa pada
saatnya nanti, ketika “tukang” yang ada mulai berpengalaman, diikuti dengan
munculnya “tukang-tukang” baru yang profesional serta didukung oleh mandor-
mandor yang kooperatif dan realistis, maka tidak lama lagi istana megah nan kokoh
itu akan berdiri tegak dengan taman yang indah, dilengkapi dengan paku bumi anti
gempa, kawat penangkal petir yang kuat dan mampu menampung ribuan orang
serta fasilitas yang mewah dan sarana yang lengkap.
Kedua, menjadikan kritikan tersebut sebagai bahan refleksi untuk mengidentifikasi
kelemahan-kelemahan yang ada sebagai acuan untuk perbaikan dan pengembangan
di masa mendatang.
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya
perkembangan Psikologi Islam sehingga terkesan “jalan ditempat”, dapat diuraikan
sebagai berikut:
Pertama; masih adanya kesenjangan antara teori dan praktek. Sekitar delapan tahun
lalu, Riyono mengidentifikasi kelemahan ini, meski selama itu banyak perkembangan
namun masih belum mencapai taraf cukup, apalagi ideal. Menurutnya, perbincangan
Psikologi Islam selama ini baru menyentuh tataran filosofis dan belum masuk dalam
metodologi ilmiah (sains). Jika wacana ini mandeg dalam kancah perdebatan
filosofis, maka sulit diharapkan manfaat praktisnya. Apalagi metodologi ilmiah adalah
jembatan yang mampu menerjemahkan filosofi ke ajang praktik dan amalan
keseharian. Hanya dengan jalan itulah, ilmu Psikologi Islam bisa dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat banyak (Riyono, 1998).
Kedua, adanya polarisasi kemampuan dan keahlian ilmuwan Psikologi Islam, Di satu
sisi mereka mewakili ilmuwan psikologi murni, umumnya mereka sangat expert
dibidangnya, menguasai teori-teori psikologi dan sangat berpengalaman dalam
wilayah praksisnya, namun kurang memiliki atau bahkan sama sekali tidak memiliki
basis pengetahuan keagamaan yang kuat. Akibatnya, kalangan ini sangat
menggelikan sekali ketika mereka mengomentari atau memberi penilaian tentang
aspek-aspek material dalam keislaman. Disisi lain, ilmuan agama murni seperti
mereka yang memiliki latar belakang pendidikan agama, namun mereka tidak
memiliki pengetahuan psikologi yang memadai. Akibatnya pula, seringkali ide-ide
kajian keislamannya yang dikaitkan dengan kajian psikologi tidak memiliki relevansi
(tidak nyambung), kalupun ada, analisa psikologinya tidak detail dan kurang
menyentuh persoalan yang diangkat. Sehingga distingsi tersebut terkesan sangat
kaku, parsial bahkan jauh dari idealisme Islamsasi sains.
Idealnya, paling tidak menurut pengamatan penulis, ilmuwan yang memiliki basis
pengetahuan psikologi harus diimbangi dengan penguasaan wawasan keagamaan
yang memadai. Sebaliknya, ilmuwan agama yang concern dengan disiplin filsafat dan
tasawuf seharusnya dilengkapi dengan penguasaan pisau analisis psikologi Barat
yang tajam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, mungkinkah hal tersebut bisa diraih?
Jawabannya bisa saya tegaskan: why not gitu loch!!! Paling tidak, kehadiran Program
Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Universitas Indonesia yang membuka jurusan
Kajian Islam dan Psikologi (KIP) menjadi ”sumbu” obor Psikologi Islam yang suatu
saat dapat menyala dan menerangi gelapnya psikologi Barat. Wallah a`lamu bish
-shawab.

posted by Psikologi Qurani @ 11:28 AM


http://www.acehforum.or.id/psikologi-islam-istana-
t13247.html?s=acc7e2a8bad8067885c865d9ff94c1fc&amp;

Refleksi Psikologi Islami


Artikel Psikologi Islami | 12/2008 | Psikologi Islami
Penulis

H. Fuad Nashori

Ahli Psikologi Islami,


Sehari-hari sebagai Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami Indonesia dan Dekan
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia, (UII)
Yogyakarta

Biodata Fuad Nashori

Puasa Bicara
Pengantar
Urutan Pengembangan Psikologi Islami
Dibutuhkan Akumulasi Modal: Manusia, Waktu, Usaha
Metode-metode Pengembangan Psikologi Islami
Apa yang Diperjuangkan Psikologi Islami?
Penutup

INTISARI

Tulisan ini bertujuan untuk mengomentari sejumlah isu yang berkembang dalam
pergumulan pengembangan wacana psikologi Islami. Penulis berpandangan bahwa
sekalipun terbuka terhadap urutan kerja pengembangan psikologi Islami, yang paling
direkomendasikannya adalah melakukan perumusan teori dulu, merisetnya dan baru
setelah itu mengaplikasikannya.
Isu berikutnya yang ditanggapinya adalah upaya-upaya mensinkronkan antara ayat-
ayat qauliyah (wahyu, al-Qur’an dan al-Hadits) dengan ayat-ayat kauniyah
(pengalaman empiris). Menurutnya, pengembangan psikologi Islami hendaknya tetap
memprioritaskan pengembangan ilmu yang berdasarkan ayat-ayat qauliyah, tetapi
tetap memberi peluang untuk melakukan pola-pola pengembangan psikologi dengan
bertitik tolak dari isu-isu yang berkembang dalam dunia psikologi.

Kata Kunci: Psikologi Islami, refleksi

Pengantar ^

Penulis memperoleh berbagai pertanyaan dari banyak kalangan berkaitan dengan pengembangan
psikologi Islami. Ada sekian banyak isu, mulai dari yang bersifat teoritis-paradigmatis, alasan
pengembangan psikologi Islami, ciri khas psikologi Islami, teori-teori khusus psikologi Islami,
aplikasi psikologi Islami hingga ke pengembangan kurikulum dan bahkan pengembangan organisasi
yang berkomitmen pada psikologi Islami. Di antara berbagai isu yang sampai ke penulis, ada
beberapa hal yang ingin penulis tanggapi, di antaranya urutan pengembangan psikologi Islami,
perlunya mengakumulasi berbagai modal untuk mengoptimumkan pengembangan psikologi Islami,
langkah-langkah akomodatif untuk pengembangan psikologi Islami. Pertimbangan penulis dalam
menanggapi isu-isu tersebut adalah intensitas isu dan kemampuan penulis untuk menanggapinya.

Urutan Pengembangan Psikologi Islami ^

Salah satu persoalan penting dalam setiap mazhab psikologi adalah temuan apa yang bisa
disumbangkan dalam memahami dan mengembangkan diri manusia. Kemampuan memahami diri
manusia secara baru dapat diperoleh melalui perumusan teori dan penelitian terhadap realitas
empiris. Pengembangan diri manusia dilakukan dengan berbagai upaya aplikasi dari teori-teori yang
telah dirumuskan dan diriset, yang dilakukan dengan training, konseling, terapi, dan seterusnya.

Penulis memahami sepenuhnya bahwa di tengah kehidupan yang sangat pragmatis seperti saat ini,
tuntutan akan adanya aplikasi psikologi Islami sungguh sangat besar. Penulis mendengar ungkapan
semacam itu, baik dari generasi tua dan terutama generasi muda. Ungkapan ini ternyata antara lain
dicermati oleh Hanna Djumaha Bastaman (2005) dalam tulisan yang berjudul “Dari KALAM Sampai
Ke API”. Beliau bermaksud mengangkat kembali keresahan yang terjadi pada sekelompok generasi
muda peminat psikologi Islami. “Mengapa perkembangan psikologi Islami sangat lambat?” Demikian
ungkapan yang disampaikan sejumlah peminat psikologi Islami dari kalangan generasi muda. Lebih
lanjut mereka mempertanyakan: “mengapa lebih banyak berputar pada dataran teoritis dan kurang
menggarap wilayah aplikatif?”

Betul adanya, jangan sampai teori melulu. Arahkan psikologi Islami ke aplikasi! Tuntutan semacam
itu, semestinya kita dukung dan kita perjuangkan bersama-sama. Suatu kajian atau suatu mazhab
memang harus menunjukkan nilai aplikasi dari wacana yang dikembangkannya. Kalau tidak, ia akan
jadi wacana yang tidak membumi.

Dalam pemahaman penulis, gerakan pengembangan psikologi Islami adalah usaha bersama dari
banyak orang yang memiliki komitmen untuk menghadirkan sumbangan Islam bagi kemanusiaan.
Pengembangan psikologi Islami perlu melibatkan banyak orang di mana orang-orang yang berminat
terhadapnya bekerja, berjalin berkelindan, dalam mengembangkan psikologi Islami sesuai dengan
minat dan kemampuannya. Harus ada orang yang bekerja dalam aplikasi, tapi juga harus ada yang
berupaya dalam merumuskan teori-teori, dan menelitinya.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa sebagaimana ilmu-ilmu atau mazhab-mazhab ilmu yang lainnya,
psikologi Islami harus didukung seperangkat teori yang kuat. Teori yang kuat menandakan adanya
fondasi keilmuan yang kuat. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, psikologi Islami harus menguatkan
aspek teoritisnya. Penulis sendiri, dalam beberapa tahun terakhir, berupaya melakukan peran
tersebut. Penulis sendiri juga berupaya melakukan riset, beberapa di antaranya adalah tentang
mimpi dan kreativitas, dengan harapan teori yang dirumuskan lebih kokoh. Sementara orang lain
yang lebih canggih dalam aplikasi, diharapkan memperkuat barisan pengembang psikologi Islami
lewat berbagai jalan praktis seperti training, konseling, terapi, dan sejenisnya.

Urutan kerja yang penulis pernah sampaikan dalam berbagai macam kesempatan adalah
merumuskan teori, menelitinya, dan setelah itu mengaplikasikannya. Bila urutan kerja ini dipakai,
maka pengembang psikologi Islami terlebih dahulu merumuskan toeri, yang ciri-cirinya adalah logis
dan objektif (bisa diukur). Setelah teori dirumuskan sesuai dengan ciri-ciri di atas, maka ia siap
untuk diriset. Di sini peneliti membuat hipotesis. Bila hasil penelitian sesuai dengan teori yang
dibangun, maka jadilah ilmu yang kokoh dan selanjutnya siap untuk diaplikasikan.

Urutan kerja di atas tidaklah bersifat mutlak. Bila ada kesesuaian antara teori dan hasil riset, maka
hasil riset itu membenarkan teori atau mengukuhkan kebenaran teori, dan selanjutnya siap
diaplikasikan. Namun, bila ternyata tidak ada kesinkronan di antara keduanya, yaitu hasil penelitian
berbeda dengan teori/hipotesis yang dirumuskan, maka sebagaimana disarankan oleh Noeng
Muhadjir (1997), yang mestinya kita lakukan adalah gerak mondar-mandir antara perumusan teori
dan riset. Cek lagi teorinya, bila perlu dirumuskan ulang terhadap teori yang sudah dirumuskan, lalu
digunakan untuk memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan. Dari sini pengembang psikologi
Islami melakukan penggalian data empiris hingga ditemukan ilmu yang kokoh bangunannya.
Setelah teori dan hasil riset selaras, saatnya untuk mengaplikasikannya.

Seorang pengembang psikologi Islami bisa juga mengembangkan psikologi Islami dengan berangkat
terlebih dahulu dari penelitian. Dalam hal ini, pengembang psikologi Islami melakukan penelitian
tanpa membuat hipotesis terlebih dahulu. Ia melakukan apa yang biasa dilakukan para peneliti
kualitatif. Ia hadir, bertanya dan mengamati perilaku responden, sampai ke ceruk-ceruknya, tanpa
membuat perkiraan-perkiraan terlebih dahulu. Kalau pilihan ini ditempuh, penulis mengusulkan agar
yang diteliti bukan hanya responden-reponden pada umumnya, tapi perlu juga untuk dicari
responden khusus yang memiliki keimanan yang kuat. Pertimbangan yang utama adalah keimanan
merupakan unsur yang amat penting yang mampu membedakan seseorang dari yang lain.

Tidak kurang dari itu, seorang pengembang psikologi Islami juga bisa memulai pengembangan
psikologi Islami dari aplikasi. Dengan aplikasi yang sudah diterjuninya, seseorang dapat memotret
dan menghayati realitas kehidupan. Dengan berbagai pengalaman mengaplikasikan suatu
pandangan, maka ia akan memperoleh insight apa yang penting dan tidak penting yang
berpengaruh terhadap kehidupan seseorang. Agar aplikasi ini terarah, ada baiknya bila seorang
pengembang psikologi Islami terlebih membuka diri untuk menerima kritik teori atas rancangan-
rancangan/modul-modul aplikatifnya. Hal ini ditempuh agar aplikasi memang memiliki paradigma
psikologi Islami.

Dengan sikap akomodatif sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas, penulis tetap
merekomendasikan langkah berupa pengembangan psikologi Islami dengan terlebih dahulu
melakukan perumusan teori, dilanjutkan riset, dan baru aplikasi. Urutan kerja yang lain
dimungkinkan, dengan tetap berpegangan pada prinsip bahwa setiap langkah didahului atau
dibingkai oleh paradigma psikologi Islami, yaitu meletakkan pandangan dunia Islam tentang
manusia sebagai landasannya.

Dibutuhkan Akumulasi Modal: Manusia, Waktu, Usaha ^

Berkaitan dengan pengembangan psikologi Islami menjadi paradigma keilmuan yang kokoh, penulis
berpendapat bahwa memang dibutuhkan waktu yang cukup, usaha yang keras, dan tetap
mengharap pertolongan Allah ‘Azza wa jalla supaya wacana psikologi Islami terus berkembang
maju. Perlu dipahami bahwa perkembangan suatu konsep atau suatu aliran berpikir mensyaratkan
adanya akumulasi hasil pemikiran, hasil penelitian, dan hasil penerapan yang dilakukan banyak
orang. Aliran-aliran psikologi moderen (psikoanalisis, behaviorisme, humanistik, transpersonal)
membutuhkan waktu lima puluh hingga seratus tahun untuk bisa diterima sebagai aliran utama
dalam psikologi.

Secara alamiah psikologi Islami harus berada dalam jalur sunnatullah (hukum Allah), yaitu ia
tumbuh dan berkembang dengan membutuhkan waktu. Psikologi Islami sendiri memiliki nama
psikologi Islami “baru” sekitar sebelas tahun lalu, saat terbitnya buku Psikologi Islami: Solusi Islam
atas Problem-problem Psikologi (Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, 1994) yang segera disusul oleh
Simposium Nasional Psikologi Islami di Surakarta (1994) atau --sebagaimana dijelaskan oleh
Bastaman (2005-a)—baru tiga belas tahun yang lalu yaitu saat diterbitkan Jurnal Pemikiran
Psikologi Islami KALAM (1992),. Sebelumnya, memang telah dilakukan upaya menghasilkan
psikologi Islami, yaitu dengan dilakukannya International Symposium on Islam and Psychology di
Riyadh (1978) dan terbitnya The Dilemma of Muslim Psychologist karya Malik B. Badri (1979). Itu
pun isunya tidak benar-benar kuat sehingga sebagai gerakan ia belum mampu melibatkan banyak
orang untuk mengkaji dan mengembangkannya lebih lanjut. Itu artinya psikologi Islami lengkap
dengan namanya baru berusia sepuluh tahun lebih sedikit. Menurut kami, dibutuhkan waktu sekitar
10-20 tahun lagi agar aliran psikologi yang diproklamasikan sebagai mazhab kelima di Jombang
(1997) ini benar-benar diakui oleh “masyarakat psikologi di dunia umumnya dan di Indonesia
khususnya.”

Lebih dari sekadar waktu, yang lebih utama adalah usaha dengan sungguh-sungguh. Dengan usaha
yang sungguh-sungguh insya Allah hasilnya akan nyata. Suatu keadaan akan berubah (tepatnya
diubah oleh Tuhan) bila manusia berupaya mengubahnya. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali bila mereka berupaya mengubah keadaan mereka.
Masih menurut-Nya, setiap urusan semestinya ditangani dengan kesungguhan atau dalam bahasa
sekarang secara profesional. Allah berfirman: Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (Alam Nasyroh, 94, ayat 7). Dari sini kami
berpandangan bahwa menjadi tuntutan bagi kita yang selama ini memilih psikologi Islami sebagai
minat kajian untuk secara bersungguh-sungguh melakukan upaya terobosan untuk
mengembangkan terus wacana psikologi Islami.

Langkah yang dapat ditempuh bermacam-macam, seperti mengadakan dan mengikuti kegiatan
ilmiah (seminar, simposium, lokakarya, konferensi, temu ilmiah), terlibat atau menangani lembaga
yang bergerak dalam pengembangan psikologi Islami (misalnya Asosiasi Psikolog Muslim
Internasional, Asosiasi Psikologi Islami Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia),
terlibat dalam penelitian psikologi Islami, ikut serta menulis pemikiran psikologi Islami dalam
bentuk artikel, karya tulis ilmiah, maupun buku. Tentu juga sampai mengaplikasikan ilmu yang
dimiliki dan menyebarkannya ke masyarakat. Penjelasan yang lebih komprehensif tentang apa yang
perlu dilakukan untuk pengembangan psikologi Islami, dapat dibaca dalam buku Agenda Psikologi
Islami (Fuad Nashori, 2002). Bila kesungguhan ini ada di hati kita, insya Allah perkembangan dan
perbaikan berjalan secara lancar.

Siapa yang harus melakukannya? Terhadap pertanyaan ini, sepandapat dengan Bastaman (2005)
penulis berpandangan bahwa generasi muda, dengan rentang masa depannya yang lebih panjang,
diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam pengembangan psikologi Islami, baik pada fase
perumusan teori, penelitian, maupun fase penerapan. Dengan semangat yang lebih berkobar,
dengan tenaga yang lebih penuh, generasi muda peminat psikologi Islami diharapkan terlibat dalam
berbagai fase pengembangan psikologi Islami.

Sekalipun demikian, baik generasi muda, generasi tengah baya, maupun generasi yang lebih tua,
diharapkan melakukan peran yang dapat dimainkan. Penulis percaya bahwa ilmu –dalam hal
psikologi Islami, dapat mencapai bentuknya yang lebih sempurna, dengan mengakumulasi berbagai
pemikiran, penelitian, dan aplikasi.

Metode-metode Pengembangan Psikologi Islami ^

Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami, kita berhadapan dengan tuntutan agar
pengetahuan yang didasarkan pada pandangan dunia Islam (yang berasal dari kitab suci, alam
semesta, maupun diri manusia) dikonstruksi sehingga dapat digolongkan sebagai ilmu yang kokoh.
Contoh realitas yang patut dikonstruksi adalah orang-orang yang dekat dengan baitullah merasa
tentram dan ingin lagi mengunjunginya. Bagaimana meneorikan fakta ini?

Menurut penulis, tantangan pengembangan teori ini sangat berat, karena lemahnya kreativitas di
kalangan akademisi psikologi khususnya dan akademisi dunia ketiga umumnya serta belum adanya
usaha untuk keluar tradisi lemah di atas. Sepemahaman kami, sangat jarang (kalau tidak boleh
dikatakan tidak ada) dosen atau mahasiswa psikologi yang menunjukkan teorinya yang orisinal.
Hampir semuanya mengatakan menurut ini menurut itu. Saatnya telah tiba untuk merumuskan
teori psikologi Islami.

Berkaitan dengan pengembangan teori psikologi Islami ini, ada satu hal yang sebenarnya menjadi
sejenis kesepemahaman antar pengkaji psikologi Islami, yaitu meletakkan kitab suci atau wahyu
(al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai sumber pengembangan ilmu. Perbedaan utama antara sains Islam
atau studi Islam dengan sains sekuler adalah posisi kitab suci. Sains Islam jelas-jelas meletakkan
wahyu (al-Qur’an dan al-hadits) sebagai sumber untuk perumusan ilmu. Baik Abdul Mujib (2005)
maupun Hanna Djumhana Bastaman (2005-a) berpandangan sepaham bahwa ayat-ayat kauniyah,
wahyu, atau al-Qur’an dan al-Hadists adalah sumber penting bagi pengembangan psikologi Islami.

Penulis sendiri --walaupun dilihat dari latar belakang keilmuan lebih dekat dengan sudut pandang
Hanna Djumhana Bastaman (2005-a)-- tetap meletakkan wahyu sebagai sumber utama
pengembangan ilmu. Oleh karena dalam berbagai kesempatan penulis mengusulkan agar
dikembangkan pola objektivikasi teori dan rekonstruksi teori dalam pengembangan psikologi Islami.
Penjelasan tentang dua hal ini penulis sampaikan dalam buku Potensi-potensi Manusia (Nashori,
2005). Objektivikasi adalah usaha untuk menjadikan pandangan yang berasal dari al-Qur’an dan al-
hadits sebagai pandangan bersama manusia, yang diwujudkan dalam suatu rumusan teori yang
dapat diukur. Sebagai contoh adalah tafakkur, yaitu berpikir mendalam tentang segala sesuatu yang
ditandai usaha untuk mengkaitkan seluruh keadaan dan kejadian dengan Sang Pencipta.
Rekonstruksi teori adalah usaha untuk menata ulang berbagai pandangan yang berasal dari
pemahaman terhadap wahyu dengan apa yang ditemukan dari berbagai pemikiran dan temuan ilmu
pengetahuan moderen. Sebagai contoh, dalam konsep psikologi Barat, tidur yang berkualitas adalah
tidur yang nyenyak dengan waktu yang cukup. Pandangan ini kalau direkonstruksi akan
menghasilkan pandangan bahwa seseorang akan tidur dengan berkualitas bila ia memperoleh
kesempatan untuk berada dalam naungan Tuhan, yang ditandai oleh diperolehnya mimpi-mimpi
yang benar.

Dalam tulisannya yang berjudul “Pengembangan Psikologi Islami dengan Pendekatan Studi Islam”,
Abdul Mujib (2005) berpandangan bahwa pola-pola yang sejauh ini direkomendasikan Hanna
Djumhana Bastaman (2005-b), di antaranya similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan
komparasi, ditinggalkan. Penulis sendiri berpandangan bahwa pola-pola sebagaimana yang
direkomendasikan oleh Bastaman tetap kita perlukan sebagai proses mengakrabkan para peminat
psikologi Islami dengan wacana integrasi Islam dan psikologi. Dalam pandangan penulis, langkah-
langkah berupa kritik teori terhadap psikologi Barat, ayatisasi (atau similarisasi), pararelisasi,
komplementasi, dan komparasi berguna untuk mengantarkan kita pada terwujudnya psikologi
Islami. Dengan keimanan yang dimilikinya, penulis yakin bahwa hal semacam ini akan
menghadirkan adanya ilham atau insight bagi peminat psikologi Islami untuk bertanya tentang
bagaimana pandangan Islam tentang manusia. Sekalipun demikian, para pengguna pola
similarisasi, paralelisasi, komplementasi dan komparasi, hendaknya menyadari sejak awal bahwa
pola-pola tersebut adalah pola antara, bukan pola ideal.

Apa yang Diperjuangkan Psikologi Islami? ^

Salah satu isu yang sering disampaikan oleh sejumlah orang kepada penulis adalah untuk apa
psikologi Islami dimunculkan? Apa psikologi yang ada selama ini tidak cukup untuk menjadikan
manusia lebih mengenal dan mengembangkan dirinya?

Secara garis besar, psikologi Islami dimaksudkan untuk melakukan pemberda-yaan manusia
sehingga kualitas hidup manusia meningkat. Psikologi Islami akan mengingatkan kepada kita bahwa
manusia harus dipahami sebagai makhluk yang multi dimensi. Hanya dengan mengerti hal inilah
dimungkinkan bagi kita untuk mengembangkan manusia. Dalam perspektif psikologi Islami,
manusia bukan semata makhluk fisik, psikologis (kognitif, afektif), social, tapi juga moral-spiritual.
Sejauh ini alat yang digunakan psikologi moderen untuk memahami kebenaran tentang siapa
sesungguhnya manusia adalah indra, akal budi, dan belum menggunakan alat yang melekat pada
manusia, yaitu qalbu dan yang lurus dengan fitrah manusia dan berada di luar diri manusia, yaitu
wahyu. Resiko dari tidak digunakannya wahyu dan qalbu adalah kegagalan dalam memahami
manusia.

Dalam perspektif psikologi Barat moderen pada umumnya, hal-hal yang bersifat spiritual kurang
mendapat perhatian yang memadai. Padahal dalam perspektif Islam, manusia tidak terlepas dari
hal-hal yang bersifat spiritual (Allah, malaikat, jin, setan/iblis). Jelas bahwa manusia diciptakan
Allah sang penentu hidup manusia. Hal-hal semacam ini diabaikan sehingga ketika muncul gejala-
gejala spiritual, aliran psikologi Barat gagal untuk memahaminya dan karenanya gagal dalam
menanganinya. Sebagai contoh apa yang dikatakan psikologi Barat bila ada seorang pemikir besar
yang sangat populer kemudian memilih jalan sufi dengan hidup di desa yang jauh dari keramaian?
Fenomena ini akan sulit dijelaskan oleh psikologi Barat secara spiritualistik. Dalam pandangan
mereka hal itu dilakukan karena adanya kepuasan dengan hidup secara baru. Dalam perspektif
Islam, semua itu dilakukan untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi dalam hal hubungan
mereka dengan Allah ‘Azza wa jalla. Contoh yang lain lagi adalah fenomena senyum Amrozi.
Bagaimana mungkin seseorang yang menerima vonis dihukum mati bisa tersenyum. Senyum
Amrozi ini sering ditafsirkan sebagai senyum orang yang sudah tidak dapat mengendalikan
kesadarannya. Dalam perspektif psikologi Islami, sebagaimana diungkapkan Achmad Mubarok
(2005), senyum Amrozi berdimensi spiritual, berdimensi vertikal. Ia adalah ungkapan kemenangan
atas perjuangan membela kebenaran melawan terorisme kuat Amerika Selanjutnya, alat yang
melekat pada diri manusia yang perlu diberdayakan adalah qalbu. Dengan qalbu yang bersih, tajam,
dan bercahaya dimungkinkan bagi seseorang untuk memahami kebenaran-kebenaran atau
pengetahuan yang bersifat hakiki maupun yang tak tampak oleh mata. Dengan qalbu yang tajam
dimungkinkan bagi profesional psikologi untuk memahami kondisi psikologis klien atau mitranya
secara efektif. Pertemuan/proses konseling dalam upaya memahami keadaan mereka tidak harus
dilakukan dalam beberapa kali. Dengan menembus dada atau jantung mereka terbentang
pengetahuan tentang mereka melalui satu dua kali pertemuan.

Dengan ketajaman qalbu yang tingkat tinggi berkembang kemampuan-kemam-puan yang lebih
tinggi, di antaranya adalah pengetahuan parapsikologis (prekognisi, retrokognisi, clairvoyance)
maupun kekuatan parapsikologis (psikokinetik, bilocation, dsb). Muhammad SAW dan Khidhir
adalah contoh manusia yang sangat intuitif!

Yang menjadi persoalan adalah peradaban moderen sangat ini tidak kondusif untuk
mengembangkan kemampuan qalbu itu. Lembaga-lembaga pendidikan yang ada di peradaban
milenium ketiga ini selalu mengasah kemampuan akal budi dan melupakan pengasahan intuisi.
Kami yakin bahwa apabila qalbu dihidup-hidupkan dalam diri manusia, maka manusia akan
berkembang lebih baik dan lebih optimal. Dengan cara inilah pemberdayaan manusia dapat lebih
dioptimalkan.

Persoalan yang lain berkaitan dengan tidak berkembangnya hati nurani atau qalbu manusia adalah
adanya penghalang yang sengaja dilakukan manusia sehingga menjadikan hati nurani tidak atau
kurang berfungsi secara optimal. Secara spiritual, hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Ahli tafsir ini
berpandangan bahwa hati nurani tidak berfungsi karena hati kita diselubungi oleh bintik-bintik atau
noda-noda hitam. Noda hitam ini adalah dosa-dosa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya
maupun terhadap Allah. Bila bintik hitam ini terus bertambah, maka hati nurani semakin tidak
berfungsi. Ia seperti barang bening dan bercahaya, namun karena cahayanya dihalangi oleh bintik
hitam, maka ia tidak memancar keluar. Bila seseorang menginginkan cahaya itu menampak keluar,
maka proses pertama adalah menghilangkan bintik hitam; dan selanjutnya mempertajam cahaya
itu dengan perbuatan baik terhadap Allah dan sesama.

Alat di luar diri manusia yang lurus dengan fitrah manusia adalah wahyu Allah. Wahyu berisi potret
tentang siapa manusia. Lebih dari itu, ia pun berisi petunjuk bagaimana kita memperlakukan
manusia. Dengan wahyu kita juga memperoleh pengetahuan tentang rentang perkembangan hidup
manusia, sifat asal manusia, kemungkinan-kemungkinan manusia (fujur dan takwa), hal-hal yang
dapat menja-dikannya melenceng dari sifat aslinya, dan tentu cara-cara untuk tetap berada dalam
jalur yang lurus dan benar.

Penutup ^

Penjelasan-penjelasan di atas adalah beberapa pokok pikiran yang dimaksudkan untuk merespon
sejumlah isu yang berkembang berkaitan dengan pengambangan wacana psikologi Islami. Sebagian
isu-isu yang ditanggapi telah dibicarakan oleh Hanna Djumhana Bastaman dan Abdul Mujib yang
ditulis dalam Jurnal Psikologi Islami edisi 1 (2005).
Demikian.

Bagaimana menurut Anda? [FN]

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuad Nashori. 1994. “Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem
Psikologi”. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

Bastaman, Hanna Djumhana. 2005-a. Dari KALAM Sampai Ke API. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), hal. 5-15.

Bastaman, Hanna Djumhana. 2005-b. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cetakan Keempat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Badri, Malik B. “Dilema Psikolog Muslim”. (Al-Kautsar, Jakarta, 1985).

Mubarok, Achmad. 2005. Pencegahan Terorisme dengan Islamic Indigenous Psychology. Jurnal Psikologi Islami, I,
(i), hal. ……..

Muhadjir, Noeng. “Metodologi Riset Psikologi Islami”. Dalam Rendra Krestyawan (ed.), Metodologi Penelitian
Psikologi Islami” (Pustaka Pelajar, Yogya, 2000).

Mujib, Abdul. Pengembangan Psikologi Islam Melui Pendekatan Studi Islam. Jurnal Psikologi Islami, I, (i), hal. 16-
30.

Nashori, H. Fuad. “Agenda Psikologi Islami” (Pustaka Pelajar, Yogya, 2002).

Nashori, H. Fuad. “Potensi-potensi Manusia” (Pustaka Pelajar, Yogya, 2003).

Nashori, H. Fuad. “Proses Kreatif Penulis Muslim” (Laporan Penelitian, LP, UII, Yogyakarta, 2004).
Nashori, H. Fuad. “Hubungan antara Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi dengan Prestasi Belajar Mahasiswa”
(Laporan Penelitian, LP & Ditjen Dikti Depdiknas, Yogyakarta, 2004).
http://www.pikirdong.org/psikologi-islami/sos06rpsi.php

Kritik Epistemologis Terhadap Sigmund Freud

By” Pizaro
Mahasiwa Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Ketua Umum Forum Komunikasi MahasiswaBimbngan dan Penyuluhan Islam/ BK Islam Se
Indonesia

Epistemologi atau teori pengetahuanmembahas secara mendalam segenap proses yang


terlihat dalam usaha kita untuk memperolehpengetahuan. Ilmu merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentuyang dinamakan metode keilmuan.
Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buahpemikiran yang lainnya.[1]
Namun kita tidak mengetahuisampai di mana potensi akal dalam mengetahui
kebenaran? Sekalipun mampumencapainya, tentu ada konsekuensi batasan. Dalam
tradisi Islam, problemepistemologi didamaikan dengan menyertakan aspek
transenden sebagai pemilikilmu. Ikhwan al-Safa, misalnya, menyatakan bahwa
sumber ilmu pengetahuan ituada tiga. Pertama, sudah tentu panca indera, akan
tetapi pengetahuan inderawiterbatas pada objek-objek materil. Kedua, akal, tanpa
bantuan pancaindera akaltidak dapat berbuat banyak. Karena itu, lanjut Ikhwan
al-Safa, ilmu pengetahuanbutuh sumber yang membimbing, yakni Allah.[2]
Karena pembahasan filsafatibersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik
epistemologis adalahpengujian apakah teori mengandung kontradiksi tertentu dalam
konstruknya, atauapakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau
tidak.[3]
1. Spekulasi Teori danTaklid
Walaupun Sigmund Freuddibilang bapaknya psikologi, namun, kajian beliau turut
mendapat kritikan dariahli-ahli psikologi lain. Satu kritikan tajam ialah ketika
Freud selalumengumpulkan data kajiannya secara spekulatif. Model riset seperti
ini dinilaitidak objektif dan bagaimanapun suatu teori tidak boleh
digeneralisasikan.Selain itu, pengkaji-pengkaji mendapati rata-rata konsep Freud
seperti id, ego,superego, naluri mati, libido dan kerisauan, tidak dapat
dibuktikan dengankaedah eksperimen.
Sekiranya Freud seperti menelanludah sendiri. Suatu kali Freud mengakui bahwa
okultisme atau ilmu gaibdianggap sebagai klenik. Ironisnya, justru Jung
menangkap sinyal yang samadalam teori seksulitas Freud, karena teori Freud
seperti hipotesis yang belumterbukti dan pandangan-pandangan spekulatif Freud
lainnya. Jung menambahkanbahwa “...Kebenaran ilmiah adalah suatu hipotesis
yang mungkin telah cukupuntuk masa itu namun tidak perlu dilestarikan sebagai
panutan segala zaman....”[4]
Darwin sebagai materialistelah berhasil menyihir Freud untuk mengakui
deterministiknya, di sinilahbanyak kaum muslim berpandangan bahwa Freud tidak
menyaring kembali apa yang dikatakanDarwin. Akhirnya, menurut Purwanto, kaum
Freudian menganggap bahwa perilakumanusia layaknya binatang yang diiisi
insting-insting.[5] Terlebih materialismeDarwin sudah dianggap miring oleh umat
Islam.
Spekulasi teori yang tidakdilandasi oleh dimensi ketuhanan hanya akan membawa
kekeliruan fatal. Padahalmenurut al-Qaradhawi, Allah memuliakan manusia dengan
akal dan kemampuan untukbelajar dan menjadikan ilmu sebagai penunjang
kepemimpinan manusia di bumi.Islam datang dengan anjuran agar manusia berpikir,
melakukan analisis, danmelarang untuk sekedar ikut-ikutan atau taklid.[6]
2. Kriteria Psikopatologis
Badri memberikan contoh sebuahadat istiadat Sudan yang non Islam. Di mana pada
upacara-upacara perkawinan,pengantin pria mencambuki beberapa orang laki-laki,
yaitu teman-temannya, yang dengansangat suka rela menjadi memar-memar tubuhnya,
seolah dalam trance hipnotik.Sementara itu, para penonton wanita bersorak sorai
memberi semangat dan menikmatiperistiwa yang dipandang “normal” tersebut.
Menyaksikan peristiwa itu, seorangpsikolog Amerika penganut Freudianisme mungkin
memandang pengantin pria atauteman-temannya yang dicambuki itu sebagai pengidap
kelainan seksual. Pengantin priaitu akan dicap sebagai seorang sadistik yang
mendapatkan kenikmatan erotik denganmenyakiti orang lain, dan yang dicambuki
adalah orang-orang masokhis yangterpuasi nafsu erotiknya.[7]
Kriteria psikopatologis Freudjuga dibilang absurd ketika menjelaskan motivasi
bom bunuh diri dan majelisdzikir dalam tradisi muslim. Jika dikatakan itu adalah
bentuk neurosis, namunbisa jadi Freud yang psikopatologis dalam hal ini. Freud
dibilang tidak fairjika hanya menjelaskan konsep neurosis dengan mengambil
sample “Barat”untuk menjelaskan “Timur”.
Dalam Asy-Syab, al-Baihaqimeriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah
Saw. bersabda “...Allahberfirman, orang yang menyibukkan diri dengan berdzikir
mengingat-Ku, maka Akuakan memberinya anugerah terbaik yang diminta
manusia....”[8]
Menurut Mubarok, motif matisyahid berbeda dengan insting mati, karena karakter
insting mati itu agresifyang bersifat destruktif. Sementara motif mati syahid,
walaupun sama-samamenekankan agresif tetapi tidak destruktif. Ia berlandasakan
semangat muliayang bertujuan menghancurkan kebatilan di dunia yang menginjak
harkat martabatmanusia. Akan tetapi, insting mati dalam termin Freud,
semata-mata dilakukandengan dasar kebencian.[9] Selain itu, dalam instingmati,
individu menjadi sedih akan perbuatannya ketika orang yang dibencimeninggal
dunia. Sementara dalam konteks mati syahid atau jihad yang ada adalahkebanggaan.
Kemudian jika dibilang tasawufadalah bentuk psikopatologis, Freud sulit
menyangkal ketika tasawuf efektifsebagai jalan terapi mengobati derita manusia.
Seperti terapi tobat terhadappenderita penyakit psikosomatis. Uraian ini
bertolak belakang dari pemikiranbahwa sumber psikosomatik dapat disebabkan oleh
gangguan yang sifatnya psikisatau dapat juga disebabkan oleh gangguan yang
sifatnya organis.[10]
Atau do’a yang dipandang buktiketidakpercayaandiri manusia, justru dijadikan
Charless Shedd sebagai terapi psikologismengatasi marah untuk meredakan
intensitas emotif.[11] Atau Freud yang seriusdengan peradaban, mau mengatakan
bahwa transaksi zakat, infak, dan sedekahdalam tradisi muslim yang dilandasi
kecintaan sesama umat dalam membantu segi kehidupandapat dicap paranoia atau
delusi doktrinal agama, ketika bayangan tentangpahala dari Tuhan memotivasi para
muzakki? Yang ada menurut Djarot Sentosaadalah pemberdayaan kecerdasan melalui
pendekatan amaliah.[12]
3. Metode Penelitian Freud
Cara dari metode asosiasibebas Freud juga diragukan. Pertama dari sisi Freud
sendiri yang tidak langsungmencatat ucapan-ucapan dari mulut pasien, namun hanya
mengingatnya saja, dengandalih akan mengganggu kosentrasi. Kedua pada ingatan
pasien itu sendiri, kitatentu bertanya seberapa kuatkah ingatan pasien tentang
memori masa kecilnya.Sekalipun akan mengingat tentu sulit untuk mengidentifikasi
apakah yang diingatpasien benar-benar merujuk pada kejadian serupa. Padahal
menurut Sumantri, pancainderakita bukan hanya terbatas, tapi dapat menyesatkan.
Karena itu ini tidak hanyamenjadi problem Freud an sich, tapi keilmuan secara
menyeluruh, di manaimbuh Sumantri kekurangan-kekurangan epistemologi ilmu adalah
ketika ingatankurang bisa dipercaya sebagai cara untuk menemukan kebenaran.[13]
Maka itu al-Ghazali pernahapatis kepada monopoli akal dalam epistemologi.
Contohnya ketika bermimpi,orang melihat hal-hal yang sepertinya kebenaran, namun
setelah ia bangun iasadar bahwa apa yang ia lihat benar itu ternyata salah.[14]
Dan keraguan ini jugasekaligus sebagai kritik kepada tafsir mimpi yang
mengabaikan peran serta Zat Suci..Berbeda dengan Ibnu Hazm yang tidak dapat
menampik akan kekuatan di luarmanusia yang membentuk mimpi, yaitu Allah.[15]
Pada sisi yang lain, ilmu memangdibenturkan kepada doktrin selfish sebagai
sumber mendapatkankesimpulan.. Ini terjadi pada konsep analisis diri Freud yang
dapat menimbulkandualisme. Di satu sisi Freud meyakini bahwa analisis diri perlu
bagi penelitianalam bawah sadar. Namun di sisi lain jika analisis diri dipakai
oleh psikologlain, dan hasilnya berbeda, mana yang harus diyakini sebagai suatu
kebenaran?Jika yang dikatakan adalah analisis dirinya Freud, bukankah itu adalah
tindakotoritarian atas nama keilmuan? Dan yang lebih penting lagi adalah apa
tolakukurnya? Sekiranya Freud alpa dalam merumuskan ini.
Sutrisno Hadi menilai pengalaman-pengalamanpribadi tidak dapat berdiri sendiri,
banyak faktor yang mempengaruhi.Faktor-faktor yang sifatnya sangat subyektif
menyebabkan pengalaman manusiamempunyai sifat-sifat terbatas. Pertama-tama
pengalaman yang sangat pribaditidak ada atau sedikit sekali yang mempunyai
derajat generalisasi yang luas.Kedua, keadaan orang yang bersangkutan menentukan
corak dan isi pengamatan danpengalamannya. Sutrisno Hadi kemudian menilai
“keunikan” pengalaman umumnya dapatmembawa problem serius.
1.. Mengabaikan hal-hal yang tidak sesuai denganpendapat pribadi.
2. Kurang tepat atau kurang cermat dalammengamati hal-hal yang penting
tentang sesuatu persoalan.
3. Menggunakan alat-alat pengukuran yangpenilaiannya sangat subyektif.
4. Kurang fakta-fakta sudah menarikkesimpulan.
5. Mengambil suatu kesimpulan yang salahkarena telah mempunyai
prasangka-prasangka.
6. Peranan faktor-faktor yang tidak disadari.Misalnya dalam apa yang
disebut proyeksi, orang merasa mengenal orang lain,tetapi sebenarnya apa yang ia
sangka menjadi sifat-sifat orang lain adalahsifatnya.[16]

Dari butir-butir di atas,benar adanya dalam teori seksualitas Freud, sekaligus


menjadi rumusan pentinguntuk menyibak pribadi Freud yang selalu bertahan dalam
komitmen teorinya.Freud tidak open-minded dalam menerima opini lain yang membuat
koleganyamenjadi tidak betah. Jangankan dengan kritik dari para pemuka agama,
denganorang yang telah dianggap bak anak sendiri, seperti Jung saja, Freud
engganmendengarkannya. Friksi anatara Jung dengan Freud berawal kepada
monopoliseksualitas yang sudah dianggap tuhan oleh Freud. Namun perlawanan gigih
Freudkepada Jung juga kuat.[17]
Sekiranya ini pernah terbuktikanketika Jung benar-benar mengalami ketakutan atas
pandangan orisinalnya tentanginses, hingga ia selama dua bulan tidak menyentuh
pena. Ia tahu betul Freudtidak mau menerima opininya. Dan apa yang dicemaskan
Jung menjadi nyata,hubungan antara mereka merenggang dan tak lama kemudian
terputus.[18]
Ingatan-ingatan daripengalaman dari abad 19 sebenarnya membawa kita pada suatu
pelajaran bahwakerendahan hati adalah kunci menuju keagungan ilmu. Mekanika
klasika, misalnya,mengalami kejayaan hebat yang tidak disangaka para ilmuwan,
sayangnya kejadianini sontak membuat kaum ilmuwan mengeluarkan sikap sombongnya,
seolah-olahmereka memegang kunci khazanah seluruh rahasisa alam. Padahal seperti
dikatakanRabonowitch bahwa “...Hal itu merupakan kesan keliru tentang
kemegahan, yangsegera lenyap....”[19]
Wilardjo kemudian merincisejak 1900 tonggak-tonggak keilmuan seperti teori
kenisbian, teori kuantum,asas ketidakpastian, dan lainnya, telah mengajarkan
ilmuwan untuk bersikaprendah hati, terbuka, kritis, dan toleran. Michael Polanyi
malah dengan optimismelihat harapan yang mekar dengan subur karena para ilmuwan
belajar salingmempercayai dan mencampakkkan sinisme yang lahir dari
kesyakwasangkaan antarasatu sama lain.[20]
Wacana klasik menegaskan bahwaanalisis diri dapat dijadikan muara keyakinan,
sekaligus terapi, tentunyadengan subordinasi ketuhanan dan kerendahan hati. Ibnu
Hazm suatu waktu memakaibentuk analisis diri untuk merangkum wacana di atas. Dia
menyebutkan pengalamanpribadi yang dialaminya sendiri untuk mengatasi rasa
bangga diri (ujub). Dia menyarankandengan cara individu harus mau melihat aib
sendiri dengan akal sehat,menugaskan diri sendiri untuk menghina kemampuannya
secara total, sertamemanfaatkan sikap rendah hati sehingga terbebas dari
penyakit ujub.
Ibnu Hazm melakukan terapiujub dengan menggunakan lawan ujub, yaitu rendah hati.
Di satu sisi, diamencari dan mengungkapkan aib sendiri, tapi di sisi lain, dia
mengharuskanuntuk menghina diri sendiri dan bersikap rendah hati yang
merupakankontraproduksi dengan sikap berbangga diri. Model Ibnu Hazm ini
berlawanan asasdengan teori seksualitas Freud, ketika yang terjadi pada Ibnu
Hazm adalah sikaptidak tinggi hati untuk menggeneralisir analisis dirinya
sebagai kebenaranmutlak.[21]
[1] Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Ilmu:Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam
Jujun S. Suriasumanteri, ed., Ilmu dalam
Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: YayasanObor
Inodnesia dan LEKNAS-LIPI, 1985), Cet. ke-6, h. 9.

[2] C.AQadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Penerjemah Hasan Basari
(Jakarta: Obor, 2002), h.
60.

[3] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h.


53.

[4] Jung, Memories,


Dreams, Reflections, h. 207.

[5] Purwanto, Epistemologi psikologi Islami,h. 82.

[6] Yusuf al-Qaradhawi, Konsep Islam:


Solusi utama bagi Umat. Penerjemah M. Wahib Azis, Lc (Jakarta: SenayanAbadi,
2004), h. 31-32,

[7] Turmudhi, “Kritik Teori Psikologi”, h.


54.

[8] Abdul Halim Mahmud, Terapi


dengan Zikir: Mengusir Kegelisahan dan Merengkuh Ketenangan Jiwa.
PenerjemahLuqman Djunaidi (Jakarta: Misykat, 2004), h. 70. Amin an-Najr ketika
mengutip al-Muhasibiberpendapat pikiran was-was atau obsesif dalam terminologi
modern dapat dipalingkandengan zikir. Namun jika individu membiarkannya dengan
kelalaian, maka ia akanmenjadi musuh yang paling membahayakan. al-Muhasibi
selanjutnya menegaskanapapun yang diciptakan oleh Allah pasti memiliki antonim
dan sinonim. Sebagaicontoh, persamaan jiwa adalah setan dan lawan keduanya ruh.
Amin an-Najr, Mengobati
Gangguan Jiwa. Penerjemah Ija Suntana (Jakarta: Hikmah, 2004), h. 148.

[9] Achmad Mubarok, Solusi Krisis


Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al Qur’an (Jakarta: Paramadina,2000), h.
191.

[10] Pembahasan terapi tobat bagi penderitapenyakit psikosomatis ini diilhami


oleh penelitian Ani Andayani dari jurusan Tasawufdan Psikoterapi UIN Sunan
Gunung Djati Bandung tahun 2002. M. Solihin, Terapi
Sufistik: Penyembuhan Penyakit Kejiwaan Perspektif Tasawuf, (Bandung:Pustaka
Setia, 2004), h. 123.
[11] Rahmat Mulyono, Terapi Marah:
Mengendalikan Amarah dengan Pendekatan Psikoterapi Islami (Jakarta: Studia
Press, 2005), h. 85.

[12] Muhammad Djarot Sentosa, Quranic


Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan al-Qur’an (Jakarta: Hikmah,
2004),Cet. ke-2, h. 301. Sebelumnya Djarot sentosa mengurai bahwa kecerdasan
dapatdiberdayakan dalam dua bentuk, yaitu ruhani dan amaliah. Pendekatan
melaluiruhani meliputi peningkatan keimanan, bertakwa dengan sebenarnya, berdoa
tanpahenti, dan berzikir tanpa batas. Sedangkan pendekatan amaliah
meliputipengkajian terhadap al-Qur’an dan menyampaikan kandungannya, salat,
puasa,zakat, infak, sedekah, dan haji. Terakhir melalui tafakur terhadap
alamsemesta.

[13] Suriasumanteri, “Hakikat Ilmu: Sebuah


Pengantar Redaksi” h. 17.

[14] Dr Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),


h. 80.

[15] Ibnu Hazm yang berbicara tentangmimpi dengan filsafat Islam menjelaskan
jenis-jenis mimpi yangterklasifikasikan menjadi tiga jenis. Pertama, ada yang
berasal dari setan,yaitu sesuatu yang berasal kerancuan dan kebingungan yang
tidak sewajarnya.Kedua, ada yang mimpi berasal dari kata jiwa, yaitu mimpi yang
menyibukkanseseorang pada saat terjaga sehingga ia melihatnya dalam mimpi, baik
karenatakut terhadap musuh atau bertemu sang kekasih atau bebas dari ketakutan,
atauyang sejenisnya. Ketiga mimpi yang terjadi karena dominasi
karakteristiktertentu, semisal mimpi berlumuran darah karena dominasi warna
merah. Dan terakhir,mimpi yang langsung datangnya dari Allah yang jiwanya bersih
dari noda badandan bebas pikiran-pikiran yang kotor, sehingga Allah memberikan
petunjuk atasberbagai misteri yang belum terjadi. Muhammad Utsman Najati, Jiwa
dalam
Pandangan Para Filosof Muslim. Penerjemah Gazi Shaloom S.Psi (Bandung:Pustaka
Hidayah, 2002), h. 186.

[16] Hadi, Metodologi


Research, h. 36.

[17] Jungpernah menceritakan tentang mayat-mayat berlumpur pada suatu makan


malambersama di Bremen.Tentu saja Freud menjadi jijik mendengar itu semua, dan
tiba-tiba dia pingsan.Dalam hal ini Freud “seakan-akan” menunjukkan bahwa
insting mati memang ada.Selanjutnya, setelah Freud sadar, ia mengatakan kepada
Jung bahwa obrolannyatentang mayat-mayat itu, adalah sebentuk harapan kematian
kepada Freud. Mendengarhal itu, Jung sangat terkejut pada kuatnya intensitas
fantasi Freud padaprinsip seksualitas.
Freudmemang mempunyai riwayat gangguang pingsan mendadak. Temuan mengutarakan,
gangguan ini hampir menghiasidirinya selama penyelenggraan Kongres Psikoanalitik
di Munich pada tahun 1912. Jung,Memories, h. 215.

[18] Ibid.,
h. 229-230.

[19] L. Wilardjo, “Ilmu dan Humaniora”, dalamJujun S. Suriasumanteri, ed.,


Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia danLEKNAS-LIPI,
1985), Cet. ke-6, h. 240-241.

[20] Ibid.,h. 241.

[21] Najati,Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,h. 197. Bandingkan juga
dengan intensitas paradoksal Frankl. Suatu bentukterapi yang menertawai diri
sendiri untuk memecahkan gangguan jiwa. Koeswara, Logoterapi, h. 129-132.
http://health.groups.yahoo.com/group/psikologiislami_uin/message/1292

You might also like