You are on page 1of 12

Anestesi pada Pembedahan Mata

Pembedahan mata merupakan tindakan yang unik dan menantang bagi ahli anestesi, termasuk regulasi tekanan intraokuler, pencegahan reflex okulocardiac dan penanganan akibatnya, mengontrol perluasan gas intraokuler dan dibutuhkan untuk mengerjakan kemungkinan efek sistemik obat-obat mata. Pengetahuan tentang mekanisme dan penanganan masalah tersebut dapat mempengaruhi hasil pembedahan . bagian ini juga mempertimbangkan teknik khusus dari anestesi umum dan regional dalam bedah mata. TEKANAN INTRAOKULER DINAMIS Fisiologi tekanan intraokuler Mata dapat dianggap sebagai bola hampa dengan dinding yang kaku. Jika isi dari bola mata meningkat, tekanan intraokuler (normal 12 20 mmHg) akan naik. Sebagai contoh, glaukoma disebabkan oleh sumbatan aliran humor aquos. Begitu juga tekanan intraokuler akan naik jika volume darah dalam bola mata meningkat. Naiknya tekanan vena akan meningkatkan tekanan intraokuler oleh penurunan aliran aquos dan peningkatan volume darah koroid. Perubahan yang ekstrim dari tekanan darah arteri dan ventilasi dapat meningkatkan tekanan intraokuler (tabel 38-1). Pemberian anestesi merubah parameter ini dan dapat menpengaruhi tekanan intraokuler seperti laryngoscopy, intubasi, sumbatan jalan napas, batuk, posisi trendelenburg)

Hal lain, peningkatan ukuran bola mata yang tidak proporsional mengubah volume isinya akan meningkatkan tekanan intraokuler. Penekanan pada mata dari sungkup yang sempit, posisi prone yang tidak baik, atau perdarahan retrobulber merupakan tanda peningkatan tekanan. Tekanan intraokuler membantu mempertahankan bentuk dan oleh karena itu membangun optik dari mata. Variasi temporer tekanan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh mata normal. Dalam kenyataanya kebutaan menaikkan tekanan intraokuler sebanyak 5 mmHg dan juling 26 mmHg. Episode transien peningkatan tekanan intraokuler pada pasien dengan tekanan arteri optalmikus yang rendah.(hipotensi, arteriosklerotik arteri retina), bagaimanapun dapat membahayakan perfusi retina yang menyebabkan iskemia retina. Pada saat bola mata dibuka selama prosedur pembedahan (tabel 38-2) atau setelah trauma tembus, tekanan intraokuler dapat mendekati tekanan atmosfer. Beberapa faktor yang secara

normal meningkatkan tekanan intraokuler akan menurun bila terjadi pengaliran aqous atau ektruksi vitreus yang menembus luka. Komplikasi lama yang serius menimbulkan kelainan visus yang permanen.

Efek obat obat anestesi pada tekanan intraokuler Umumnya obat obat anestesi lain yang rendah tidak berefek pada tekanan intraokuler (tabel 38-3). Anestesi inhalasi menurunkan tekanan intraokuler yang proporsional sesuai dalamnya anestesi. Penyebab penurunannya multipel antara lain ; penurunan tekanan darah mengurangi volume koroidal, relaksasi otot-otot ekstraokuler menurunkan tekanan dinding bola mata, kontriksi pupil memudahkan aliran aquos. Anestesi intravena juga dapat menurunkan tekanan intraokuler. Mungkin pengecualian adalah ketamin, yang dapat menaikkan tekanan darah arteri dan tidak menyebabkan relaksasi otot ekstraokuler.

Pemberian obat antikolinergik topikal menyebabkan dilatasi pupil (midriasis), yang dapat menyebabkan glaukoma sudut tertutup. Dosis premedikasi atropin sistemik yang dianjurkan tidak berhubungan dengan hipertensi intraokuler, karena bagaimanapun hal ini akan terjadi pada pasien-pasien dengan glaukoma. Besarnya empat struktur amonium glikopirolat dapat memperbesar batas keamanan dan mencegah penularan ke dalam sistem saraf pusat. Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler sebanyak 5-10 mmHg selama 5-10 menit

setelah pemberiannya, menembus terutama ke dalam otot-otot ekstraokuler dan menyebabkan kontraktur. Tidak seperti otot skelet lainnya, otot ekstraokuler terdiri dari sel-sel dengan multipel neuromuskuler junction. Setelah pemulihan depolarisasi sel-sel ini oleh suksinilkolin menyebabkan kontraktur yang berkepanjangan. Hasilnya terjadi peningkatan tekanan intraokuler yang mempunyai beberapa efek. Hal ini akan menyebabkan pengukuran palsu terhadap tekanan intraokuler selama pemeriksaan dalam pengaruh anestesi pada pasienpasien glaukoma, peningkatan ini tidak penting dalam pembedahan, oleh karena itu kenaikan tekanan intraokuler dapat menyebabkan ekstruksi okuler akibat bedah terbuka atau trauma yang tembus. Efek akhir kontraktur yang berkepanjangan dari otot-otot ekstraokuler adalah tes forced duction abnormal selama 20 menit. Manuver ini menilai penyebab ketidakseimbangan otot ekstraokuler dan pengaruh tipe pembedahan strabismus. Kongesti vena-vena koroid juga dapat menaikkan tekanan intraokuler. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak menaikkan tekanan intraokuler. REFLEKS OKULOKARDIAK Tarikan pada otot ektraokuler atau penekanan pada bola mata dapat menimbulkan disritmia jantung berupa bradikardia dan ventricular ectopic beat sampai sinus arrest atau fibrilasi ventrikuler. Refleks ini terdiri dari afferen trigeminus (V1) dan jalur efferen vagal. Refleks okulokardiak paling sering pada pasien pediatrik yang menjaliani pembedahan strabismus. Biarpun demikian hal ini dapat terjadi dalam semua kelompok umur dan beberapa prosedur, termasuk ekstraksi katarak, enukleasi, dan perbaikan retinal terlepas. Pemberian antikolinergik sering membantu mencegah reflek okulokardiak. Atropin intravena atau glikopirolat merupakan prioritas segera pada pembedahan dan lebih efektif dibandingkan dengan premedikasi intramuskuler. Hal ini telah diketahui bahwa pemberian antikolinergik dapat merugikan pada pasien-pasien yang tua, yang sering mempunyai penyakit arteri koronaria. Blok retrobulbar atau anestesi inhalasi yang dalam juga dapat dinilai, tetapi prosedur ini mempunyai resiko baginya. Blok retrobulbar kenyataanya dapat menimbulkan refleks okulokardiak. Kebutuhan profilaksis secara rutin masih merupakan kontroversi Penanganan refleks okulokardiak terdiri dari prosedur berikut : 1. Segera laporkan ke ahli bedah dan menghentikan secara temporer stimulasi pembedahan sampai nadi meningkat; 2. Konfirmasi adekuatnya ventilasi, oksigen dan kedalaman anestesi; 3. Berikan atropin intravena (10 mcg/kg) jika terdapat gangguan konduksi yang persisten; dan; 4. Dalam episode yang tidak bisa ditangani, lakukan infiltrasi pada otot rektus dengan anestesi lokal. Refleks ini dapat lelah sendiri (memusnahkan dirinya sendiri) dengan pulihnya traksi dari otot-otot ekstraokuler.

EKPANSI GAS INTRAOKULER Gelembung gas dapat terjadi setelah injeksi oleh ahli mata didalam chamber posterior selama pembedahan vitreus. Injeksi udara intravireal akan meyebabkan retina terlepas dan dibolehkan koreksi penyembuhan secara anatomis. gelembung gas dapat diserap dalam 5 hari dengan perlahan-lahan menebus jaringan sekitarnya dan masuk kedalam aliran darah. Jika pasien diberikan nitrous oksida, gelembung akan meingkat ukurannya. Hal ini karena nitrous oksida 35 kali lebih larut dari nitrogen dalam darah. Kemudian nitrous oksida akan berdifusi ke dalam gelembung gas lebih cepat dibanding nitrogen (komponen utama udara) diserap oleh aliran darah. Jika gelembung berekspansi setelah mata ditutup, maka tekanan intraokuler

akan meningkat. Sulfur hexaflouride (SF6) merupakan gas lemban, dimana gas tersebut kurang larut dalam darah dibanding nitrogen, dan lebih kurang larut dibanding nitrous oxide. Durasi lama kerjanya (lebih dari 10 hari) sebanding dengan gelembung udara yang dapat menguntungkan ahli mata. Ukuran gelembung tersebut menjadi ganda dalam waktu 24 jam setelah diinjeksi karena nitrogen dari udara yang dihirup memasuki gelembung lebih cepat dari difusi sulfur hexafouride ke dalam aliran darah. Walaupun demikian, volume dari sulfur hexaflouride yang murni setelah di injeksi secara lambat akan menggembung biasanya tidak meningkatkan tekanan intraokuler. Jika pasien menghirup nitrous okside, maka ukuran gelembung akan meningkat dengan cepat dan dapat menyebabkan hipertensi intraokuler. Inspirasi nitroxide konsentrasi 70% dapat menambah ukurannya 3x, setiap 1 ml gelembung dapat menaikkan tekanan 2 kali pada mata tertutup dalam waktu 30 menit. Penggunaan nitroxide yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan reabsorpsi dari gelembung, yang menjadi sebuah campuran nitrous okside dan sulfur hexaflouride. Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokuler dapat menyebabkan pelepasan retina yang lain. Komplikasi-komplikasi ekspansi gelembung gas intraokuler ini dapat dihindarkan dengan pemberian nitrous okside paling kecil secara tidak terus menerus + 15 menit sebelum injeksi udara atau sulfur hexaflouride. Kenyataannya, lamanya waktu untuk mengeliminasi nitrous okside dari darah tergantung pada beberapa faktor , termasuk kecepatan aliran gas dan adekuatnya ventilasi alveoli. Kedalaman anestesi harus dipelihara dengan obat-obat anestesi yang lain. Nitroxide seharusnya dihindari sampai gelembung tersebut diserap (5 hari setelah diudara dan 10 hari setelah injeksi hexaflouride sulfur). EFEK SISTEMIK OBAT OBAT MATA Penggunaan tetes mata topical dapat diserap oleh pembuluh darah saccus conjunctival dan mukosa ductus nasolacrimal. Satu tetes (tipe 1/20 ml) dari phenylephrine 10% berisi 5 mg, sebanding dengan phenylephrine intravena (0,05-0,1 mg ) digunakan untuk terapi pasien dewasa dengan hipotensi. penggunaan obat topical dapat diserap pada level intermediat antara penyerapan pemberian intravena dan injeksi subkutan (dosis toksik subkutan dari phenylephrine adalah 10 mg). Anak-anak dan orang dewasa umumnya beresiko toksik pada pemberian topikal dan seharusnya hanya diberikan 2,5 % phenylephrine. (Table 38 4) Secara kebetulan, pasien-pasien tersebut paling hanya sekali menjalani pembedahan mata.

Echothiophate merupakan penghambat kolinesterase irreversible yang digunakan untuk terapi glukoma. Pemberian secara topical yang tinggi dapat menyebabkan absorpsi sistemik dan menurunkan aktivitas kolinesterase dalam plasma. Oleh karena itu, suksinilkolin dimetabolisme oleh enzim ini, echothiophate akan memperpanjang durasi kerja succinylcholin. Paralisis biasanya tidak muncul selama 20 atau 30 menit, dan tidak seperti apnu postoperative. Penghambatan kolinesterase bertahan selama 3-7 minggu setelah pemakaian tetes echothiophate yang tidak terus menerus. Efek samping muskarinik seperti bradikardia selama induksi ---- dapat dicegah dengan obat antikolinergik intravena ( contoh atropin, glikopirolate ). Epinefrin, tetes mata dapat menyebabkan hipertensi, takikardi dan disritmia ventrikuler; efek disrithmogenik berpotensiasi dengan halotan. Instilasi langsung epinefrin ke dalam chamber anterior mata ; tidak berhubungan dengan toksisitas kardiovaskuler. Timolol, -adrenergik antagonis non selektif, dapat mengurangi tekanansebuah intraokuler dengan menurunkan produksi humour aqous. Timolol tetes mata telah umumnya digunakan untuk mengobati glaucoma, beberapa kasus dihubungkang dengan resistensi atropinebradikardi, hipotensi dan bronkospasme selama anestesi umum. ANESTESI UMUM UNTUK PEMBEDAHAN MATA Pilihan antara anestesi lokal dan anestesi umum harus dilakukan bersama dengan pasien, ahli anestesi dan ahli bedah. Beberapa pasien bahkan menolak untuk diberikan anestesi lokal. Hal ini sering karena rasa takut terbangun selama prosedur pembedahan atau akan nyeri nyeri selama tehnik anestesi regional. Walaupun tidak dapat disimpulkan adanya bukti bahwa anestesi yang lain lebih aman dari yang laninya, anestesi lokal tampaknya lebih mengkhawatirkan. Anestesi umum diindikasikan pada pasien yang tidak kooperatif, bahkan gerakan kecil kepala dapat menimbulkan kecelakaan selama pembedahan mikro. Pada pasien lainnya anestesi lokal dikontraindikasikan karena alasan pembedahan. Pada banyak hal, keputusan defenitif harus dibuat. Anestesi lokal-umum-tehnik sedasi dalam dengan mengontrol jalan napas yang dapat dipertanyakan-harus dihindari karena ini dapat memicu kombinasi resiko dari anestesi umum dan anestesi lokal. PREMEDIKASI Pasien yang sedang menjalani pembedahan mata mungkin merasa takut, khususnya jika mereka menjalani banyak prosedur dan ada kemungkinan terjadi buta permanen. Pasien anan-anak kadang dihubungkan dengan gangguan kongenital (sindrom rubella, sindrom goldenhar, dan sindrom down). Pada pasien yang dewasa biasanya pada usia yang lebih tua, dengan penyakit sistemik yang banyak (hipertensi, DM, penyakit a. koronaria). Seluruh faktor-faktor ini harus dipertimbangkan untuk premedikasi. INDUKSI Pilihan tehnik induksi pada pembedahan mata biasanya lebih tergantung pada pasiennya dibanding dengan masalah medik lainnya pada penyakit mata pasien atau jenis pembedahan. Satu pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata. Kunci untuk melakukan induksi anestesi pada pasien dengan cedera mata yang terbuka adalah mengontrol tekanan intraokular dengan induksi yang lemah. Secara spesifik, batuk selama intubasi harus dihindari dengan mencapai level kedalaman dari anestesi dan kedalaman paralisis. Respon Tekanan intraokuler terhadap laringoskopi dan intubasi endotrakeal agak jelek dengan pemberian lidokain intra vena (1,5 mg/kg ) atau fentanil (3-5 ug/kg). Relaksasi otot yang non depolarisasi biasanya digunakan daripada suksinilkolin karena pengaruhnya lebih lama pada tekanan intraokuler. Paling banyak pasien dengan trauma bola mata terbuka mempunyai perut yang penuh dan menghendaki teknik induksi yang cepat.

MONITORING DAN MAINTENANCE Pada operasi mata biasanya ahli anestesi menyerahkan pengelolaan jalan napas pasien, setelah memasang oksimeter dan seluruh prosedur pada ahli mata. Monitor terus menerus siklus pernapasan tidak berhubungan lagi dengan ahli anestesi atau secara tidak disengaja ahli mata memutuskan untuk melakukan ekstubasi. Kemungkinan hambatan atau obstruksi dari endotracheal tube dapat dikurangi dengan menggunakan penguat atau endotracheal sudut kanan buatan. Kemungkinan disritmia disebabkan oleh refleks okulokardiak yang meningkat, penting dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi. Sangat berbeda dengan operasi pada anak-anak), temperatur tubuh bayi sering kali meningkat selama operasi mata karena dari kepala sampai jari kaki dan permukaan tubuh yang terekspose tidak signifikan. Analisa end- tidal CO2 membantu untuk membedakan hal ini dari hipertermi maligna. Rasa sakit dan stress akan timbul pada operasi mata, dimana hal tersebut kurang diperhatikan selama prosedur intra abdominal yang besar. Level tertinggi dari anestesi dapat dicapai dengan konsekuensi gerakan pasien tidak membahayakan. Kekurangan stimulasi cardiovaskuler yang dipengaruhi oleh kebanyakan kombinasi prosedur mata dengan kebutuhan kedalaman anestesi yang adekuat dapat menyebabkan hipotensi pada usia lanjut. Masalah tersebut biasanya dicegah dengan melakukan hidrasi intravena, pemberian efedrin dosis kecil (2-5 mg), atau paralisis intraoperatif dengan pelumpuh otot nondepolarisasi. Dibolehkan pemeliharaan yang lama pada level anestesi yang tinggi. Muntah yang disebabkan oleh stiumulasi vagal umumnya merupakan masalah postoperative, berikutnya pembedahan strabismus. Efek valsava dan peningkatan tekanan vena sentral yang menyertai muntah dapat merugikan hasil pembedahan dan meningkatkan resiko aspirasi. Pemberian metoklopramid intravena intraoperatif (10 mg pada dewasa) atau dosis kecil droperidol (20 ug/kg) mungkin menguntungkan. Karena biayanya mahal, ondasentron biasanya cadangan pada pasien-pasien dengan riwayat mual dan muntah postoperatif. EKSTUBASI DAN KEDARURATAN Meskipun material penjahit luka telah modern dan teknik penutupan luka menurunkan resiko luka postoperatif, kedaruratan ringan dari anestesi masih patut diperhitungkan. Batuk pada endotracheal tube dapat dicegah dengan mengektubasi pasien selama kedalaman anestesi pada level sedang. Sebagai akhir dari prosedur pembedahan, maka relaksasi otot dan respirasi spontan dikembalikan. Agent-agent anastetik mungkin dapat diteruskan selama pengisapan jalan napas. Nitrous oksida tidak diteruskan, dan lidokain intravena (1,5 mg/kg )dapat diberikan untuk menekan refleks batuk secara teratur. Prosedur ekstubasi 1-2 menit dilakukan setelah pemberian lidokain dan selama pernapasan spontan diberikan 100% oksigen. Pengadaan kontrol jalan napas adalah perlu sampai pasiennya batuk dan refleks menelan kembali, kenyataanya teknik ini tidak sesuai untuk pasien yang beresiko tinggi terhadap aspirasi. Nyeri berat post-operative biasanya muncul setelah pembedahan mata. Prosedur skeleral buckling, enukleasi, dan perbaikan ruptur merupakan yang paling nyeri. Dosis kecil narkotik intravena (15 25 mg meperidine untuk dewasa) biasanya cukup. Nyeri yang hebat merupakan tanda hipertensi intraokular, absrasi kornea atau komplikasi bedah lainnya. ANESTESI REGIONAL UNTUK PEMBEDAHAN OPTALMIKUS. Anestesi regional pada pembedahan mata biasanya terdiri dari blok retrobubar, blok saraf wajah dan sedasi intervena. Hal ini kurang invasif dibanding anestesi umum dengan intubasi endotrakeal, anestesi lokal mungkin tanpa komplikasi, untuk tambahan, blok tidak menjamin akinesia adekuat atau analgesia untuk mata atau pasien mungkin tidak bisa baring dengan sempurna selama waktu pembedahan. Untuk alasan inilah, peralatan dan kebutuhan tenaga

untuk merawat komplikasi anastesi lokal dan untuk induksi anastesi umum harus siap sewaktu-waktu. Pada suatu saat istilah local-standby telah diuraikan oleh ahli anastesi pada kasus-kasus ini. Istilah ini sekarang telah letakkan ke monitor anestesi. Sejak ahli anestesi terus menerus memonitor pasien selama pembedahan dan tidak hanya bersiaga. BLOKADE RETROBULBAR Dalam teknik ini, anastesi lokal diinjeksi dibelakang dalam mata berbentuk kerucut pada otot ekstraokular. Jarum tipe 25 ditusukkan pada kelopak mata bawah perbatasan pertengahan dan 1/3 lateral orbita (biasanya 0,5 cm medial ke lateral kantus) pasien diintruksikan agar melihat ke supranasal pada saat jarum ditusukkan 3,5 cm di bagian apex otot conus. Setelah aspirasi untuk menghindari injeksi intravaskuler, 2-5 ml dari anastesi lokal injeksikan dan jarum digerakkan kembali. Pemilihan anastesi lokal bervariasi, tapi lidokain dan bupivakain yang paling banyak dipakai. Hialuronidase, merupakan hidriser dari jaringan penunjang polisakarida, sering ditambahkan untuk penyebaran retrobulbar dari anastesi lokal. Keberhasilan blok retrobulbar dihubungkan dengan adanya anastesi, akinesi dan mencegah refleks okulosefalik (mata tak dapat digerakan selama kepala berputar) Komplikasi injeksi rerobulbar pada anestesi lokal adalah perdarahan retrobulbar, perforasi bola mata, atrofi saraf optik, frank convulsions, refleks okulokardiak dan henti pernapasan. Komplikasi berat bila injeksi anestesi lokal masuk ke dalam a. optalmikus menyebabkan retrograde menuju ke otak dan terjadi stantaneous seizure. Sindrom apneu post retrobulber dapat disebabkan injeksi anestsi lokal masuk ke dalam serabut saraf optik, sampai kedalam cairan serebrospinal. Konsentrasi anestesi lokal yang tinggi dalam sistem saraf pusat, menyebabkan kecemasan dan ketidaksadaran. Apneu terjadi 20 menit dan pulih dalam 1 jam, terapi supportif dengan ventilasi tekanan positif untuk mencegah hipoksia, bradikarddia dan henti jantung. Ventilasi yang adekuat harus tetap dimonitor pada pasien yang diberi anestesi retrobulbar. Injeksi retrobulbar biasanya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan perdarahan (karena resiko perdarahan retrobulbar), miopia yang berat (panjang bola mata meningkat dan beresiko untuk perforasi), atau trauma mata terbuka (tekanan dari injeksi cairan belakang mata menyebabkan ektrusi intraokuler menembus luka)

Gambar 38 1. A : Selama pemberian blok retrobulbar, pasien melihat ke supranasal, selanjutnya injeksi 1,5 cm sepanjang inferotemporal disekeliling orbita. B kemudian jarum diarahakn keatas dan kearah nasal bagian apeks orbita dan selanjutnya sampai menembus ujung otot kerucut.

BLOK SARAF WAJAH Blok saraf wajah melindungi jatuhnya kelopak mata selama pembedahan dan dibolehkan memasang speculum pada kelopak mata. Ada beberapa teknik blok nervus fasial : van lint, Atkinson, dan OBrien (gbr 38 - 2). Komplikasi utama blok ini adalah perdarahan subkutaneus. Prosedur lain, teknik Nadbath, blok nervus fasial yang dari keluar foramen stylomastoideus di bawah canalis auditorius eksterna, ditutup pada bagian proksimal nervus vagus dan glossopharingeal. Blok ini tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan kelumpuhan pita suara, spasme laring, disfagia dan penekanan pernapasan.

Gambar 38 2. Ada beberapa teknik blok saraf wajah , antara lain (1) van Lint, (2) Atkinson, dan (3) OBrien

SEDASI INTRAVENA Beberapa teknik sedasi intravena dapat digunakan pada pembedahan mata. Sebagian obatobatan yang digunakan kurang penting dibandingkan dosisnya. Sedasi yang dalam harus dihindari karena dapat meningkatkan resiko apnu dan kelainan gerakan pasien selama pembedahan. Pada keadaan yang lain blok nervus fasialis dan retrobulbar dapat menyebabkan kelainan. Sebagai kompromi beberapa ahli anestesi membolehkan dosis kecil barbiturat aksi pendek (methohexital 10 20 mg atau thiopental 25-75 mg) untuk menghasilkan ketidaksadaran selama blok regional. Alternatif lain bolus kecil alfentanil (375-500 ug) diperbolehkan mengatur intensitas analgesia. Ahli anestesi lain percaya bahwa resiko henti napas dan aspirasi tidak dapat diterima, batas dosisnya yang dapat menghasilkan relaksasi minimal dan amnesia. Midazolam (1-3 mg) dengan atau tanpa fentanyl (12,5-25 ug) adalah regimen yang umum. Dosis yang dianjurakan bervariasi antara pasien pasien dan harus diatur penurunannya sedikit demi sedikit. Pengenalan dan pengadaan teknik, ventilasi dan oksigenasi harus terus dimonitor (dengan oximetry), dan peralatan ventilasi untuk menghasilkan tekanan positif harus tersedia. DISKUSI KASUS; PENDEKATAN PADA PASIEN DENGAN MATA TERBUKA DAN PERUT PENUH

Seorang anak 12 tahun dating di UGD setelah matanya terkena peluru senjata angin. Pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli mata ditemukan luka pada intraokuler. Anak ini direncakan untuk memperbaiki kedaruratan ruptur bola mata. Apa yang harus diperhatikan pada evaluasi preoperatif pasien ini ? Pada anamnesa dan pemeriksaan fisis, satu yang harus diketahui seakurat mungkin adalah saat intake oral sebelum atau sesudah trauma. Pasien harus dipertimbangkan pada perut penuh jika trauma terjadi 8 jam setelah makan terakhir, jika terjadi pada pasien yang tidak makan beberapa jam setelah trauma : pengosongan lambung yang lambat oleh karena nyeri dan cemas setelah trauma. Apa tanda penting perut penuh pada pasien dengan trauma bola mata terbuka ? Penanaganan pasien yang mengalami trauma tembus pada mata merupakan tantangan bagi ahli anestesi karena dibutuhkan perencanaan anestesi yang tepat dengan 2 hal yang obyektif. Hal yang pertama adalah pencegahan kerusakan mata oleh karena peningkatan tekanan intraokuler. Hal penting yang kedua adalah pencegahan aspirasi paru paru pada pasien dengan perut penuh.. Banyak kemungkinan strategi yang digunakan untuk menanggulangi masalah langsung dengan yang lainnya, bagaimanapun (tabel 38-5 dan 38-6), sebagai contoh saat anestesi regional (blok retrobulbar)mengurangi resiko pneumonia aspirasi, namun merupakan kontra indikasi relatif pada pasien dengan trauma tembus mata karena injeksi anestesi lokal dibelakang mata meningkatkan tekanan intraokuler dan memacu ekspulsi isi bola mata. Karena itulah pasien ini diberikan anestesi umum di samping peningkatan resiko pneumonia aspirasi.

* strategi ini tidak direkomendasikan untuk pasien dengan perut penuh

* strategi ini tidak dianjurkan pasien dengan trauma tembus pada mata

Apa persiapan preoperasi yang harus dipertimbangkan pada pasien ini ? Tujuan dari persiapan preoperasi adalah meminimalkan resiko pneumonia aspirasi dengan penurunan volume lambung dan keasaman. Aspirasi pada pasien dengan trauma mata dicegah dengan pemberian agent farmakologi dan teknik anestesi. Evakuasi isi lambung dengan nasogastrik tube dapat menyebabkan batuk, bersin dan respon lain yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara dramatis. Metoklopramid meningkatkan kekuatan spingter esofageal distal, mempercepat pengosongan lambung, mengurangi volume cairan lambung dan berefek sebagai anti emetik. Ini diberikan secara intravena (10-20 mg) sesegera mungkin dan diulang setiap 2-4 jam sampai pembedahan. Ranitidine (50 mg IV), Cimetidine (300 mg IV), Famotidine (20 mgIV) adalah antagonis reseptor H2 histamin yang menghambat sekresi asam lambung. Karena tidak mempengaruhi pada pH sekresi lambung maka obat obat ini dianjurkan, obat ini mempunyai keterbatasan pada kedaruratan bedah. Tidak seperti antagonis reseptor H2, antasida mempunyai efek langsung. Meskipun demikian antasida dapat meningkatkan volume dalam lambung. Antasida kerja lama (seperti natrium sitrat, kalium sitrat dan asam sitrat) efektifitasnya akan hilang dalam 30-60 menit dan harus diberikan segera diberikan obat induksi (15-30 ml peroral) Agen agen induksi mana yang dianjurkan pada pasien trauma tembus mata ? Agen induksi yang ideal pada pasien dengan perut penuh adalah mempercepat onset dan meminimalkan resiko regurgitasi. ketamin, thiopental, profopol dan etomidate secara alami mempunyai onset aksi yang cepat (ie, one-arm-to-brain circulation time). Selain itu agen induksi yang ideal tidak akan meningkatkan resiko ekpulsi okuler oleh naiknya tekanan intraokuler (kenyataannya, kebanyakan agen agen induksi intravena menurunkan tekanan intraokuler). Pengamatan efek ketamin pada tekanan intraokuler hasilnya masih dipermasalahkan, ketamin tidak dianjurkan pada trauma tembus pada mata

karena meningkatkan angka kejadian bleparospasme dan nistagmus. Walaupun etomidate dapat diberikan pada beberapa pasien dengan penyakit jantung, hal ini berhubungan dengan insiden mioklonus dari 10% sampai 60%. Episode mioklonus yang berat dapat menyebabkan retinal detachment yang komplet dan prolaps vitreus pada pasien dengan trauma bola mata terbuka dan keterbatasan pemulihan kardiovaskuler. Profopol dan thiopental mempunyai onset aksi yang cepat dan menurunkan tekanan intraokuler: bagaimanapun, tidak ada yang dapat mencegah respon hipersensitf pada laringoskopy dan intubasi. Seperti juga tidak ada yang dapat mencegah peningkatan tekanan intraokuler yang disebabkan oleh laryngoscopy dan intubasi. Pengobatan utama dengan fentanyl (3-5 ug/kg) alfentanyl (20 ug/kg) esmolol (0,5-1 mg/kg), atau lidokain (1,5 mg/kg) dapat mengurangi respon ini dengan derajat kesuksesan yang bervariasi. Bagaimana memilih pelumpuh otot yang berbeda pada pasien ini dari pasien pasien lain yang beresiko terjadi aspirasi ? Pilihan pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan trauma tembus pada mata masih merupakan kontroversi lebih dari tiga dekade. Suksinilkolin tetap meningkatkan tekanan intraokuler. Walaupun ada perbedaan penelitian, kemungkinan paling aman yang menaikkan tekanan adalah tidak tetap dan dapat dicegah oleh preterapi dengan agen nondepolarisasi self-taming dosis suksinilkolin, lidokain, atau diazepam. Penemuan kontradiksi oleh beberapa peneliti dengan menggunakan regimen yang berbeda adalah mungkin berbeda dalam dosis dan waktu pemberian obat-obat preterapi. Beberapa ahli anestesi beralasan bahwa peningkatan tekanan intraokuler relatif kecil dan tersebunyi yang disebabkan oleh suksinilkolin adalah tidak signifikan bila dihubungkan dengan perubahan yang disebabkan oleh larygoscopy dan intubasi. Mereka mengklaim bahwa peningkatan sedikit tekanan intraokuler dibayar oleh dua keuntungan dari suksinilkolin; onset aksi yang cepat dapat menurunkan resiko aspirasi dan profound relaksasi otot yang menurunkan chance dari respon valsava selama intubasi, lebih dari itu pemberian suksinilkolin umumnya mengacu pada penilaian laporan kasus dokumen pada trauma mata yang telah menggunakan suksinilkolin. Pelumpuh otot nondepolarisasi tidak meningkatkan tekanan intraokuler. Sampai penemuan rocuronium, walaupun agen nondepolarisasi tidak cukup cepat onset aksinya. Rocuronium (0,9-1,2 mg/kg) telah diperdebatkan karena onset aksi cepat, berefek jelek pada tekanan intraokuler, dan durasi aksi yang cepat. Pilihan pelumpuh otot, saat intubasi harus dilakukan sampai pada tingkat paralisis adalah untuk mencegah batuk pada pemasangan endotracheal tube. Bagaimana variasi strategi induksi pada pasien pediatri tanpa jalur intravena ? Anak-anak histeris dengan trauma tembus pada mata dan perut terisi memberikan tantangan anestesi yang tidak ada penyelesaiannya secara sempurna. Sekali lagi dilema dalam menghindari peningkatan tekanan intraokuler belum dapat meminimalkan resiko aspirasi. Sebagai contoh teriakan dan tangisan dapat meningkatkan tekanan intraokuler yang menakutkan. Mencoba pemberian sedasi pada anak dengan suppositoria rektal dan injeksi intramuskuler, walaupun sering meningaktkan status agitasi dan meperburuk trauma mata. Begitupun tanpa sedasi preoperatif dapat juga meningkatkan resiko aspirasi oleh karena refleks penutupan aliran. Hal ini sering harus dilakukan dengan jalur intavena akibat induksi yangcepat. Strategi yang ideal yang dianjurkan sedasi yang cukup untuk menghilangkan nyeri dengan jalur intravena sebelum sampai pada level kesadaran yang adekuat untuk melindungi refleks aliran. Kini penyelesaiannya dicapai dengan obat obat baru dan sinstem yang inovatif seperti opiod dengan rasa permen dapat digunakan sebagai alternatif. Sementara itu srategi yang aman dilakukan sedapat mungkin untuk menghindari aspirasi

yang

memperbanyak

biaya

dan

kerusakan

mata.

Apakah ada pertimbangan khusus selama ekstubasi dan keadaan darurat ?Pasien yang berisiko terjadi aspirasi selama intubasi juga resiko selama ekstubasi dan keadaan darurat. Oleh karena itu ektubasi harus lebih lambat sampai pasien bangun dan refleks jalan napas utuh (seperti menelan spontan dan batuk dengan endotracheal tube. Ektubasi yang dalam beresiko mual dan aspirasi. Dianjurkan pemberian antiemetik intraoperatif dan pengisapan nasogastric tube dapat menurunkan insiden muntah selama keadaan darurat, tetapi mereka tidak menjamin pengosongan lambung. REFERENSI 1. Dell R, Williams B: Anaesthesia for strabismus surgery: A regional survey. Br J Anaesth 1999;82:761. This paper deals with the effect of succinylcholine on the forced duction test. 2. Gomez RS, Andrade LOF, Costa JRR: Brainstem anesthesia after peribulbar anesthesia. Can J Anaesth 1997;44:732. Peribulbar anesthesia may be safer than retrobulbar block, but serious complications can still occur. 3. Johnson RW: Anatomy for ophthalmic anaesthesia. Br J Anaesth 1995;75:80. A comprehensive review of the orbit and its contents. 4. Kumar C, Dodds C, Fanning G: Ophthalmic Anesthesia. Netherlands: Swetts and Zeitlinger, 2002. 5. McGoldrick KE (editor): Anesthesia for Ophthalmic and Otolaryngologic Surgery. W.B. Saunders, 1992. 6. Rosenfeld SI, Litinsky SM, Snyder DA, et al: Effectiveness of monitored anesthesia care in cataract surgery. Ophthalmology 1999;106:1256. The presence of anesthesia personnel during monitored anesthesia care for cataract surgery appeared warranted in this study. 7. Schein OD, Katz J, Bass EB, et al: The value of routine preoperative medical testing before cataract surgery. N Engl J Med 2000;342:168. A review of almost 20,000 cataract surgeries revealed no effect of routine preoperative medical testing on perioperative morbidity or mortality. 8. Smith GB: Ophthalmic Anaesthesia: A Practical Handbook, 2nd ed. Oxford University Press, 1996. An overview from the British perspective.

Diterjemahkan dari : Morgan. E G, Mikhail. M S (editor), Clinical Anesthesiology, second edition. a Lange medical book. Appleton & Lange 1996, P. 656 - 664

You might also like