You are on page 1of 41

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Akhir dari rangkaian proses belajar mengajar adalah tes akhir suatu mata pelajaran yang dilakukan melalui tes akhir semester atau tes ujian kenaikan kelas bagi siswa kelas satu sekolah dasar. Di dalam menghadapi tes ujian kenaikan kelas bagi siswa kelas satu sekolah dasar perlu adanya refreshing terhadap materi ajar yang telah diterima oleh siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Bagaimanakah caranya agar siswa tidak melupakan materi pelajaran yang telah diterimanya agar siswa nantinya siap menghadapi ujian kenaikan kelas yang siap atau tidak siap harus mereka hadapi. Bagaimanakah membuat suatu materi ajar agar agar tidak terlupakan oleh anak didik. Dalam hal ini guru harus mencari metode untuk mengingatkan segala memori di benak siswa yang telah mereka terima. Guru harus bisa membangkitkan kembali memori itu. Salah satu metode pengajaran yang bisa membuat anak bisa dan harus mengingat kembali materi pelajaran yang telah mereka terima adalah cara belajar aktif model pembelajaran meninjau ulang kesulitan pada materi pelajaran. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang hanyalah kegiatan belajar aktif. Agar belajar manjadi aktif, siswa harus mengerjakan banyak sekali tugas. Mereka haru menggunakan otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah, dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, bersemangat dan penuh

gairah. Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan berfikir keras (moving about dan thinking aloud). Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan tersebut di atas maka dalam penelitian ini penulis mengambil judul Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Melalui Metode Pembelajaran Model Kontekstual Berbasis Masalah Pada Siswa Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010.

B. Permasalahan Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka masalah yang timbul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah tingkat penguasaan materi pelajaran Matematika siswa Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010? 2. Bagaimanakah tingkat penguasaan materi pelajaran Matematika yang telah diterima siswa dalam menghadapi ujian kenaikan kelas? 3. Bagaimanakah pengaruh metode belajar aktif model meninjau kembali pada materi pelajaran dalam mengingatkan kembali materi pelajaran Matematika yang telah

dipelajari pada siswa Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010?

C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tingkat pengusasaan materi pelajaran Matematika yang telah dipelajari pada siswa Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010.

2. Mengetahui pengaruh metode belajar aktif model meninjau kembali kesulitan pelajaran Matematika pada siswa Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi: 1. Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Matematika . 2. Guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa. C. Penjelasan Istilah Agar tidak terjadi salah persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal sebagai berikut: 1. Metode Kontekstual Berbasis Masalah adalah : Pengajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pandekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran 2. Motivasi belajar adalah: Merupakan daya penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan menambah keterampilan, pengalaman. Motivasi mendorong dan mengarah minat belajar untuk tercapai suatu tujuan. 3. Prestasi belajar adalah: Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran matematika.

D. Batasan Masalah Karena keterbatasan waktu, maka diperlukan pembatasan masalah yang meliputi: 1. Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010. 2. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari-Mei semester genap tahun palajaran 2009/2010. 3. Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Prestasi Belajar 1. Pengertian Belajar Kegiatan belajar adalah salah satu kegiatan yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam kegiatannya sering kali tanpa sadar kita telah melakukan kegiatan belajar baik dilakukan individu maupun dilakukan secara kelompok. Kegiatan belajar ini tanpa dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu karena proses perubahan tersebut tidak pernah berhenti. Banyak definisi dari para ahli tentang belajar, namun dari sekian pendapat tersebut terdapat prinsip kesamaan. Kaitannya adalah belajar menimbulkan perubahan pada diri seseorang maupun kelompok. H. C. Witherington (dalam Aunurrahman, 2009:35) mengemukakan belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari reaksi berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepribadian atau suatu pengertian. Menurut Oemar Hamalik (2004:27) mengemukakan belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Sedangkan menurut Cronbach (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2002:13) belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan perilaku yang ditunjukkan dalam bentuk peningkatan kemampuan baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik peserta didik terhadap diri dan lingkungannya.

2. Pengertian Prestasi Belajar 5

Sebelum dijelaskan pengertian mengenai prestasi belajar, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang pengertian prestasi. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai. Dengan demikian bahwa prestasi merupakan hasil yang telah dicapai oleh seseorang setelah melakukan sesuatu pekerjaan/aktivitas tertentu. Menurut Sardiman A.M (2001:46) Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar. Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok (Djamarah, 2000:19). Sedangkan menurut Masud Hasan Abdul Dahar dalam Djamarah (2001:21) bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Oleh karena itu prestasi mempunyai arti yang sangat penting, antara lain : 1) Prestasi dapat menjadi indikator ( penanda ) kuantitas dan kualitas yang dicapai dari suatu kegiatan. 2) Prestasi dapat menjadi pengalaman berharga dan bahan informasi untuk masa depan, 3) Prestasi dapat menjadi kebanggaan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. 4) Prestasi dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kepandaian dan kemampuan seseorang atau sebuah kelompok.

Jadi, prestasi belajar adalah hasil yang telah dicapai oleh karena itu semua individu dengan adanya belajar hasilnya dapat dicapai. Setiap individu belajar menginginkan hasil yang yang sebaik mungkin. Oleh karena itu setiap individu harus belajar dengan sebaik-baiknya supaya prestasinya berhasil dengan baik. 6

B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prestasi Belajar 1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Belajar Adapun faktor-faktor itu, dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu: a. Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang kita sebut faktor individu. Yang termasuk ke dalam faktor individu antara lain faktor kematangan atau pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi. b. Faktor yang ada pada luar individu yang kita sebut dengan faktor sosial Sedangkan yang faktor sosial antara lain faktor keluarga, keadaan rumah tangga, guru, dan cara dalam mengajarnya, lingkungan dan kesempatan yang ada atau tersedia dan motivasi sosial. Berdasarkan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar di atas menunjukkan bahwa belajar itu merupaka proses yang cukup kompleks. Artinya pelaksanaan dan hasilnya sangat ditentukan oleh faktor-faktor di atas. Bagi siswa yang berada dalam faktor yang mendukung kegiatan belajar akan dapat dilalui dengan lancar dn pada gilirannya akan memperoleh prestasi atau hasil belajar yang baik. Sebaliknya bagi siswa yang berada dalam kondisi belajar yang tidak menguntungkan, dalam arti tidak ditunjang atau didukung oleh faktor-faktor diatas, maka kegiatan atau proses belajarnya akan terhambat atau menemui kesulitan. C. Hakikat Matematika Matematika didefiniksan sebagai ilmu pasti yang berkaitan dengan perhitungan dan angka-angka. Perkembangan Matematika tidak hanya ditandai dengan adanya fakta, tetapi juga oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Metode ilmiah dan pengamatan ilmiah menekankan pada hakikat Matematika. 7

Secara rinci hakikat Matematika menurut Bridgman (dalam Lestari, 2002: 7) adalah sebagai berikut: 1. Kualitas; pada dasarnya konsep-konsep Matematika selalu dapat dinyatakan dalam bentuk angka-angka. 2. Observasi dan Eksperimen; merupakan salah satu cara untuk dapat memahami konsepkonsep Matematika secara tepat dan dapat diuji kebenarannya. 3. Progresif dan komunikatif; artinya Matematika itu selalu berkembang ke arah yang lebih sempurna dan penemuan-penemuan yang ada merupakan kelanjutan dari penemuan sebelumnya. Proses; tahapan-tahapan yang dilalui dan itu dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah dalam rangkan menemukan suatu kebernaran. 4. Universalitas; kebenaran yang ditemukan senantiasa berlaku secara umum. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat Matematika merupakan bagian dari Matematika, dimana konsep-konsepnya diperoleh melalui suatu proses dengan menggunakan diperoleh hasil (produk). D. Proses Belajar Mengajar Matematika Proses dalam pengertian disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling berhubungan (inter independent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan (Usman, 2000: 5). Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Burton bahwa seseorang setelah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek metode ilmiah dan diawali dengan sikap ilmiah kemudian

sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. (dalam Usman, 2000: 5). Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggungjawab moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Proses belajar mengajar merupakan suatu inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegangn peran utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar (Usman, 2000: 4). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar Matematika meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran Matematika. E. Prestasi Belajar Matematika Belajar dapat membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan ini merupakan pengalaman tingkah laku dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Poerwodarminto (1991: 768), prestasi belajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dekerjakan), dalam hal ini prestasi belajar merupakan hasil pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang yang diperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan pikiran.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dengan melibatkan seluruh potensi yang dimilikinya setelah siswa itu melakukan kegiatan belajar. Pencapaian hasil belajar tersebut dapat diketahui dengan megadakan penilaian tes hasil belajar. Penilaian diadakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah berhasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Di samping itu guru dapat mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sejalan dengan prestasi belajar, maka dapt diartikan bahwa prestasi belajar Matematika adalah nilai yang dipreoleh siswa setelah melibatkan secara langsung/aktif seluruh potensi yang dimilikinya baik aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotor (keterampilan) dalam proses belajar mengajar Matematika. F. Gaya Belajar Kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang lain melakukannya. Biasanya, mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu oleh kebisingan. Perserta didik visual ini berbeda dengan peserta didik auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggurulkan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran, mereka mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tida karuan. Tentu saja, hanya ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar. Grinder (1991) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat 10

belajar dengan efektif selama gurunya mengahadirkan kegaitan belajar yang berkombinasi antara visual, auditori dan kinestik. Namun, 8 siswa siswanya sedemikan menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya. Sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan ara yang mereka sukai. Guna memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh dengan variasi. Kalangan pendidikan juga mencermati adanya perubahan cara belajar siswa. Selama lima belas tahun terakhir, Schroeder dan koleganya (1993) telah menerapkan indikator tipe Myer-Briggs (MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk memahami fungsi perbedaan individu dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa yang masuk memiliki orientasi praktis ketimbang teoritis terhadap pembelajaran, dan persentase itu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat dalam pengalaman langsung dan konkret darMatematika da mempelajari konsep-konsep dasar terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitain MBTI lainnya, jelas Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrak, dengan rasio lima banding satu. Dari semua ini, dia menyimpulkan bahwa cara belajar dan mengajar aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini. Agar bisa efektif, guru harus menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek kelompok kecil, presentasi dan debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan, simulasi, dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa masa kini bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar bersama. Temuan-teman ini dapat dianggap tidak mengejutkan bila kita mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern. Dimasa kini siswa dibesarkan dalam dunia yang segala sesuatunya berjalan dengan cepat dan banyak pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar 11

begitu menghentak merdu, dan warna-warna terlihat begitu semarak dan menarik. Obyek, baik yang nyata maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah segala sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain terbuka sangat luas. G. Pengajaran Berbasis Masalah Pengajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pandekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pengajaran masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nur (200: 2)), Pengajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain seperti Project-Based Teacihg (Pembelajaran Proyek), Experienced-Based Education (Pendidikan berdasarkan pengalaman), Authentic Learning (Pembelajaran Autentik), dan Achoered Instruction (Pembelajaran berakar pada kehidupan nyata). Peran guru dalam pengajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Pengajaran berbasis masalah tidak dapat dilaksanakan tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar pengajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan ikuiri.

1. Ciri-cirinya Berbagai pengembangan pengajaran berbasis masalah telah mencoba

menunjukkan cirri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut. 12

a. Pengajuan pertanyaa atau masalah. Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah

mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduaduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan Matematika nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi itu. b. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (Matematika, Matematika , Ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. c. Penyelidikan autentik. Pengajaran berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari pemecahan masalah nyata. Mereka harus menganalisasi dan mendefinisikan masalah, mengembankan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat iferensi, dan merumuskan kesimpulan. Sudah barang tentu, metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sesdang dipelajari.

d. Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau 13

mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkrip debat, laporan, model fisik, video atau program computer (Ibrahim & Nur, 200:5-7). Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. 2. Tujuan Pembelajaran dan Hasil Belajar Pengajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berbasis masalah

dikembangkan terutama untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadikan pembelajar yang otonom dan mandiri. Uraian rinci terhdap ketiga tujuan itu dijelaskan lebih jauh oleh Ibrahim dan Nur (2000:7-12) berikut ini. a. Keterampilan Berpikir dan Keterampilan Pemecahan Masalah Berbagai macam ide telah digunakan untuk menggambarkan cara seseorang berpikir. Tetapi, apakah sebenarnya yang terlibat dalam proses berpikir? Apakah keterampilan berpikir itu dan terutama apakah keterampilan berpikir itu? Berpikir adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Berpikir adalah proses secara simbolik menyatakan (melalui bahasa) objek nyata dan kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik itu untuk menemuan prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu untuk 14

menemukan prinsip-prinsip esensial tentang objek dan kejadian itu. Pernyataan simbolik (abstrak) seperti itu biasanya berbeda dengan operasi mental yang didasarkan pada tingkat konkret dari fakta dan kasus khusus. Berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama. Tentang berpikir tingkat tinggi, Resnick (1987) memberikan penjelasan sebagai berikut: Berpikir tingkat tinggi adalah nonalgoritmik, yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat diterapan sebelumnya. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Keseluruhan alurnya tidak dapat diamati dari satu sudut pandang. Berpikir tingkat tinggi sering kali menghasilkan banyak solusi, masing-masing dengan keuntungan dan kerugian. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan dan interpretasi. Berpikir tingkat tinggi melibatkan ketidakpastian. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas tidak selamanya diketahui. Berpikir tingkat tinggi melibatkan banyak penerapan banya kriteria, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Berpikir tingkat tinggi melibatkan banyak pengaturan diri tentang proses berpikir. Kita tidak mengakui sebagai berpikir tingkat tinggi pada seseorang jika ada orang lain membantunya pada setiap tahap. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pencarian makna, menemukan struktur pada keadaan yang tampaknya tidak teratur.

15

Berpikir tingkat tinggi adalah kerja keras. Ada pengerahan kerja mental besarbesaran saat melakukan berbagai jenis elaborasi dan pertimbangan yang dibutuhkan. Perlu dicatat bahwa Resnick menggunakan kata-kata dan ungkapan seperti

pertimbangan, pengaturan diri, pencarian makna, dan ketidakpastian. Hal ini berarti bahwa proses berpikir dan keterampilan yang perlu diaktifkan sangatlah kompleks. Resnick juga menekankan pentingnya konteks atau keterkaitan pada saat berpikir tentan berpikir. Meskipun proses memiliki beberapa kesamaan antarsituasi, proses itu juga bervarisai bergantung pada apa yang dipikirkan seseorang. Sebagai contoh, proses yang kita gunakan untuk memikirkan Matematika berbeda dengan proses yang kita gunakan untuk memikirkan puisi. Proses berpikir yang digunakan untuk memikirkan ide abstrak berbeda dengan yang digunakan untuk memikirkan situasi kehidupan nyata. Karena hakikat kekomplekan dan konteks dari keterampilan berpikir tingkat tinggi, maka keterampilan itu tidak dapat diajarkan menggunakan pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan ide dan keterampilan yang lebih konkret. Keterampilan proses dan berpikir tingkat tinggi bagaimanapun juga jelas dapat diajarkan, dan kebanyakan program dan kurikulum dikembangkan untuk tujuan ini sangat mendasarkan diri pada pendekatan yang sama dengan pengajaran berbasis masalah. a. Pemodelan Peran Orang Dewasa Resnick juga memberikan rasional tentang bagaimana pengajaran berbasis masalah membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar tentang pentingnya peran orang dewasa. Dalam banyak hal pengajaran berbasis masalah bersesuaian dengan aktivitas mental di luar sekolah sebagaimana yang diperankan oleh orang dewasa.

16

1. Pengajaran berbasis masalah memiliki unsur-unsur belajar magang. Hal tersebut mendorong pengamatan dan dialog dengan orang lain, sehingga secara bertahap siswa dapat memahami peran penting dari aktivitas mental dan belajar yang terjadi di luar sekolah. 2. Pengajaran berbasis masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dan menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun pemahamannya tentang fenomena tersebut. b. Pembelajaran yang Otonom dan Mandiri Pengajaran berbasis masalah berusaha membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom. Bimbingan guru yang berulang-ulang mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri. Dengan begitu, siswa belajar menyelesaikan tugas-tugas mereka secara mandiri dalam hidupnya. 3. Tahapan Pengajaran Berbasis Masalah Pengajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa.

Tahapan Tahap 1 Orientasi siswa kepada masalah

Tahap 2 Mengorganisasi siswa untuk belajar Tahap 3 Membimbing penyelidikan individual dan kelompok

Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistic yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubugnan dengan masalah tersebut Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informsi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penyelasan dan pemecahan masalahnya.

17

Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan maslah

Guru membantu siwa merekncanakan dan menyiapkan karyayang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagai tugas dengan temannya. Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

4. Lingkungan Belajar dan Sistem Manajemen Tidak seperti lingkungan belajar yang terstruktur secara ketat yang dibutuhkan dalam pembelajaran langsung atau penggunaan yang hati-hati kelompok kecil dalam pembelajaran kooperatif, lingkungan belajar dan system manajemen dalam pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh sifatnya yang terbuka, ada proses demokrasi, dan peranan siswa yang aktif. Meskipun guru dan siswa melakukan tahapan pembelajaran yang terstruktur dan dapat diprediksi dalam pengajaran berbasis masalah, norma di sekitar pelajaran adalah norma inkuiri terbuka dan bebas mengemukakan pendapat. Lingkungan belajar menekankan peranan sentral siswa, bukan guru yang ditekankan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 18

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. Menurut Oja dan Sumarjan (dalai Titik Sugiarti, 1997; 8) mengelompokkan penelitian tindakan menjadi empat macam yaitu (a) guru bertindak sebagai peneliti, (b) penelitian tindakan kolaboratif, (c) Simultan terintegratif, dan (d) administrasi sosial ekperimental. Dalai penelitian tindakan ini menggunakan bentu guru sebagai peneliti, penanggung jawab penuh penelitian tindakan adalah praktisi (guru). Tujuan utapajm dari penelitian tindakan ini adalah meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalai penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan.

A. Tempat, Waktu dan Subyek Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang diinginkan. Penelitian ini bertempat di SDN Gandri 2.

2. Waktu Penelitian

19

Waktu penelitian adalah waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari-Mei semester genap 2009/2010. 3. Subyek Penelitian Subyek penelitian adalah siswa-siswi Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur, Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010.

B. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut Tim Pelatih Proyek PGSM, PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi dimana praktek pembelajaran tersebut dilakukan (dalam Mukhlis, 2000: 3).

Sedangkah menurut Mukhlis (2000: 5) PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat sistematis reflektif oleh pelaku tindakan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Adapun tujuan utama dari PTK adalah untuk memperbaiki/meningkatkan pratek pembelajaran secara berkesinambungan, sedangkan tujuan penyertaannya adalah

menumbuhkan budaya meneliti di kalangan guru (Mukhlis, 2000: 5). Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997: 6), yaitu berbentuk spiral dari sklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perncanaan yang sudah direvisi, 20

tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut.

Putar an 1

Refleksi

Rencana Rencana awal/rancangan awal/rancangan

Putar an 2

Tindakan/ Observasi Refleksi Tindakan/ Observasi Refleksi Tindakan/ Observasi Gambar 3.1 Alur PTK Penjelasan alur di atas adalah: Rencana yang Rencana yang direvisi direvisi Rencana yang Rencana yang direvisi direvisi

1. Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran. 2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model kontekstual berbasis masalah. 3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat. 21

Putar an 3

4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya. Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2 dan 3, dimana masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes formatif di akhir masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaisistem pengajaran yang telah dilaksanakan.

C. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Silabus Yaitu seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolahan kelas, serta penilaian hasil belajar. 2. Rencana Pelaksanaan Pembelajarn (RPP) Yaitu merupakan perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun untuk tiap putaran. Masing-masing RPP berisi kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran dan kegiatan belajar mengajar. 3. Lembar Kegiatan Siswa Lembar kegaian ini yang dipergunakan siswa untuk membantu proses pengumpulan data hasil eksperimen.

4. Tes formatif Tes ini disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman konsep Matematika 22 pada yang telah

dipelajari selama ini. Tes formatif ini diberikan setiap akhir putaran. Bentuk soal yang diberikan adalah pilihan ganda (objektif). Sebelumnya soal-soal ini berjumlah 46 soal yang telah diujicoba, kemudian penulis mengadakan analisis butir soal tes yang telah diuji validitas dan reliabilitas pada tiap soal. Analisis ini digunakan untuk memilih soal yang baik dan memenuhi syarat digunakan untuk mengambil data. Langkah-langkah analisi butir soal adalah sebagai berikut: a. Validitas Tes Validitas butir soal atau validitas item digunakan untuk mengetahui tingkat kevalidan masing-masing butir soal. Sehingga dapat ditentukan butir soal yang gagal dan yang diterima. Tingkat kevalidan ini dapat dihitung dengan korelasi Product Moment: rxy =

{N X
rxy N Y X X2

N XY ( X )( Y )
2

( X )

}{N Y

(Y )

} (Suharsimi Arikunto, 2001: 72)

Dengan:

: Koefisien korelasi product moment : Jumlah peserta tes : Jumlah skor total : Jumlah skor butir soal : Jumlah kuadrat skor butir soal

XY : Jumlah hasil kali skor butir soal

b. Reliabilitas Reliabilitas butir soal dalam penelitian ini menggunakan rumus belah dua sebagai berikut: 23

r11 =

2r1 / 21 / 2 (Suharsimi Arikunto, 20001: 93) (1 + r1 / 21 / 2 ) r11 r1/21/2 : Koefisien reliabilatas yang sudah disesuaikan : Korelasi antara skor-skor setiap belahan tes

Dengan:

Kriteria reliabilitas tes jika harga r11 dari perhitungan lebih besar dari harga r pada tabel product moment maka tes tersebut reliable.

c. Taraf Kesukaran Bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal adalah indeks kesukaran. Rumus yang digunakan untuk menentukan taraf kesukaran adalah: P= B Js (Suharsimi Arikunto, 2001: 208) P B Js : Indeks kesukaran : Banyak siswa yang menjawab soal dengan benar : Jumlah seluruh siswa peserta tes

Dengan:

Kriteria untuk menentukan indeks kesukaran soal adalah sebagai berikut: Soal dengan P = 0,000 sampai 0,300 adalah sukar Soal dengan P = 0,301 sampai 0,700 adalah sedang Soal dengan P = 0,701 sampai 1,000 adalah mudah

d. Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda desebut indeks diskriminasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks diskriminasi adalah sebagai berikut:

24

D=

B A BB = PA PB JA JB

(Suharsimi Arikunto, 2001: 211)

Dimana: D : Indeks diskriminasi BA : Banyak peserta kelompok atas yang menjawab dengan benar BB : Banyak peserta kelompok bawah yang menjawab dengan benar JA : Jumlah peserta kelompok atas JB : Jumlah peserta kelompok bawah PA = BA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar. JA BB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar JB Kriteria yang digunakan untuk menentukan daya pembeda butir soal sebagai berikut: Soal dengan D = 0,000 sampai 0,200 adalah jelek Soal dengan D = 0,201 sampai 0,400 adalah cukup Soal dengan D = 0,401 sampai 0,700 adalah baik Soal dengan D = 0,701 sampai 1,000 adalah sangat baik

PB =

D. Metode Pengumpulan Data Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi pengolahan metode pembelajaran aktif mdel meninjau kesulitan pada materi pelajaran, dan tes formatif. E. Teknik Analisis Data

25

Untuk mengetahui keefektivan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Untuk mengalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. Analisis ini dihitung dengan menggunakan statistic sederhana yaitu: 1. Untuk menilai ulangan atau tes formatif Peneliti melakukan penjumlahan nilai yang diperoleh siswa, yang selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut sehingga diperoleh rata-rata tes formatif dapat dirumuskan: X =

X N
: X = Nilai rata-rata X = Jumlah semua nilai siswa N = Jumlah siswa

Dengan

2. Untuk ketuntasan belajar Ada dua kategori ketuntasan belajar yaitu secara perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunju pelaksanaan belajar mengajar kurikulum 1994 (Depdikbud, 1994), yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65% atau nilai 65, dan kelas disebut tuntas belajar bila di kelas tersebut terdapat 85% yang telah mencapai daya 26

serap lebih dari atau sama dengan 65%. Untuk menghitung persentase ketuntasan belajar digunakan rumus sebagai berikut: P=

Siswa. yang.tuntas.belajar x100% Siswa

BAB IV 27

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal, data observasi berupa pengamatan pengelolaan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran, dan data tes formatif siswa pada setiap siklus. Data hasil uji coba item butir soal digunakan untuk mendapatkan tes yang betul-betul mewakili apa yang diinginkan. Data ini selanjutnya dianalisis tingkat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Data lembar observasi diambil dari dua pengamatan yaitu data pengamatan pengelolaan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dan data pengamatan aktivitas siswa dan guru. Data tes formatif untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran.

A. Analisis Item Butir Soal Sebelum melaksanakan pengambilan data melalui instrument penelitian berupa tes dan mendapatkan tes yang baik, maka data tes tersebut diuji dan dianalisis. Uji coba dilakukan pada siswa di luar sasaran penelitian. Analisis tes yang dilakukan meliputi: 1. Validitas Validitas butir soal dimaksudkan untuk mengetahui kelayakan tes sehingga dapat digunakan sebagai instrument dalam penelitian ini. Dari perhitungan 46 soal diperoleh 16 soal tidak valid dan 30 soal valid. Hasil dari validitas soal-soal dirangkum dalam tabel di bawah ini. 28

Tabel 1. Soal Valid dan Tidak Valid Tes Formatif Siswa Soal Valid Soal Tidak Valid 5, 6, 7, 9, 12, 13, 14, 17, 19, 21, 23, 25, 27, 28, 1, 2, 3, 4, 8, 10, 11, 15, 16, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 18, 20, 22, 24, 38, 39, 46 42, 43, 44, 2. Reliabilitas Soal-soal yang telah memenuhi syarat validitas diuji reliabilitasnya. Dari hasil perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas r11 sebesar 0, 754. Harga ini lebih besar dari harga r product moment. Untuk jumlah siswa (N = 35) dengan r (95%) = 0,334. Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah memenuhi syarat reliabilitas. 3. Taraf Kesukaran (P) Taraf kesukaran digunakan untuk mengetahui tingkat kesukaran soal. Hasil analisis menunjukkan dari 46 soal yang diuji terdapat: 20 soal mudah 16 soal sedang 10 soal sukar

4. Daya Pembeda Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui kemampuan soal dalam membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Dari hasil analisis daya pembeda diperoleh soal yang berkteriteria jelek sebanyak 14 soal, berkriteria cukup 22 soal, berkriteria baik 8 soal, dan yang berkriteria tidak baik 2 soal. Dengan demikian soal-soal tes yang digunakan telah memenuhi syarat-syarat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. B. Analisis Data Penelitian Persiklus 29

1. Siklus I a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 2 Pebruari 2010 di Kelas I (satu) dengan jumlah siswa 21 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksaaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada siklus I adalah sebagai berikut: Table 2. Nilai Tes Formatif Pada Siklus I No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 NAMA SISWA Aditya Yoga Pratama Fajar Margo P Suwanto Agus Mahfud Amelinda Diyah Ayu Ariana Tayoga Berliana Zaskia P Enggar Arya Wijaya Erik Widiani Farendik Eka F Ines Inaya P Muhammad Nurul M Maghfiroh M.J Nimatus sholihah Satrio Mustiko Aji Santi Kurniawati Sefitri Furi R 30 Nilai 70 60 70 80 80 40 70 50 80 40 70 50 70 60 70 80 60 Keterangan T TT

18 19 20 21 Jumlah Keterangan:

Srianida Serlina Septian Novi A Taufik Hidayah Jati

60 50 50 60 1320

11

10

T TT Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal

: Tuntas : Tidak Tuntas : 11 : 10 : Belum tuntas

Tabel 3. Distribusi Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus I No 1 2 3 Uraian Nilai rata-rata tes formatif Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar Hasil Siklus I 62,9 23 65,71

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 62,9 dan ketuntasan belajar mencapai 64,00% atau ada 10 siswa dari 21 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai 65 hanya sebesar 65,71% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa banyak yang lupa dengan materi pelajaran yang telah diajarkan selama hampir satu semester ini. 2. Siklus II a. Tahap perencanaan

31

Pada tahap inipeneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 2, soal tes formatif II dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap kegiatan dan pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 9 Februari 2010 di Kelas I (satu) dengan jumlah siswa 21 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga keslah atau kekurangan pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif II. Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai berikut. Table 4. Nilai Tes Formatif Pada Siklus II No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 NAMA SISWA Aditya Yoga Pratama Fajar Margo P Suwanto Agus Mahfud Amelinda Diyah Ayu Ariana Tayoga Berliana Zaskia P Enggar Arya Wijaya Erik Widiani Farendik Eka F Ines Inaya P Muhammad Nurul M Maghfiroh M.J Nimatus sholihah Satrio Mustiko Aji Santi Kurniawati Sefitri Furi R 32 Nilai 70 70 70 80 80 50 70 60 80 50 80 60 80 70 70 80 80 Keterangan T TT

18 19 20 21 Jumlah Keterangan:

Srianida Serlina Septian Novi A Taufik Hidayah Jati

60 60 50 70 1440

15 6

T TT Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal

: Tuntas : Tidak Tuntas : 15 :8 : Belum tuntas

Tabel 5. Distribusi Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus II No Uraian Hasil Siklus II 1 Nilai rata-rata tes formatif 68,6 2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 15 3 Persentase ketuntasan belajar 77,14 Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 68,6 dan ketuntasan belajar mencapai 77,14% atau ada 6 siswa dari 21 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena siswa-siswa telah mulai mengulang pelajaran yang sudah diterimanya selama ini sehingga para siswa sebagian sudah mengingat meteri yang telah diajarkan oleh guru. 3. Siklus III a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. 33

b. Tahap kegiatan dan pengamatan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan pada tanggal 23 Pebruari 2012 di Kelas I (satu) dengan jumlah siswa 21 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus II tidak terulang laig pada siklus III. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif III. Adapun data hasil penelitian pada siklus III adalah sebagai berikut.

Table 6. Nilai Tes Formatif Pada Siklus III No. Urut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 NAMA SISWA Aditya Yoga Pratama Fajar Margo P Suwanto Agus Mahfud Amelinda Diyah Ayu Ariana Tayoga Berliana Zaskia P Enggar Arya Wijaya Erik Widiani Farendik Eka F Ines Inaya P Muhammad Nurul M Maghfiroh M.J Nimatus sholihah Satrio Mustiko Aji Santi Kurniawati Sefitri Furi R Srianida Serlina Septian Novi A Taufik Hidayah Jati 34 Nilai 80 70 70 80 80 50 80 80 90 60 80 50 80 80 70 90 80 80 60 80 70 Keterangan T TT

Jumlah Keterangan: T TT

1560

18 : Tuntas

: Tidak Tuntas : 18 :3 : Tuntas

Jumlah siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum tuntas Klasikal

Tabel 7. Distribusi Hasil Tes Formatif Siswa pada Siklus III No Uraian 1 Nilai rata-rata tes formatif 2 Jumlah siswa yang tuntas belajar 3 Persentase ketuntasan belajar Hasil Siklus III 74,3 31 88,57

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 74,3 dari 21 siswa yang telah tuntas sebanyak 18 siswa dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 88,57% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus III ini dipengaruhi oleh adanya usaha siswa untuk mempelajari kembali materi ajar yang telah disampaikan oleh guru. Disamping itu siswa juga merasa belajar mengulang ini adalah juga sebagai persiapan untuk menghadapi ujian kenaikan kelas yang sudah dekat waktunya. c. Refleksi Pada tahap ini akah dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan penerapan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran. Dari data-data yang telah diperoleh dapat duraikan sebagai berikut: 35

1) Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup besar. 2) Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar berlangsung. 3) Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik. 4) Hasil belajar siswsa pada siklus III mencapai ketuntasan. d. Revisi Pelaksanaan Pada siklus III guru telah menerapkan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakah selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. C. Pembahasan 1. Ketuntasan Hasil belajar Siswa Melalui hasil peneilitian ini menunjukkan bahwa metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru untuk menghadapi ujian kenaikan kelas (ketuntasan belajar meningkat dari sklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 65,71%, 71,14%, dan 88,57%. Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai. 36

2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan.

3. Aktivitas Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Matematika dengan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran yang paling dominan adalah bekerja dengan menggunakan alat/media,

mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas isiwa dapat dikategorikan aktif. Sedangkan untuk aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul di antaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan pembelajaran, menjelaskan materi yang sulit, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase untuk aktivitas di atas cukup besar.

37

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai 38

dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (65,71%), siklus II (77,14%), siklus III (88,57%). 2. Penerapan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa yang ditunjukan dengan rata-rata jawaban siswa yang menyatakan bahwa siswa tertarik dan berminat dengan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar. 3. Penerapan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran efektif untuk mengingatkan kembali materi ajar yang telah diterima siswa selama ini, sehingga mereka merasa siap untuk menghadapi ujian kenaikan kelas yang segera akan dilaksanakan.

B. Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar Matematika lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, makan disampaikan saran sebagai berikut: 1. Untuk melaksanakan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mempu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan metode kontekstual berbasis masalah pada materi pelajaran proses belajar mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal. 2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagi metode, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa

nantinya dapat menemuan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. 39

3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil penelitian ini hanya dilakukan di Kelas I (satu) SDN Gandri 2 Kec. Pangkur, Kab. Ngawi Tahun Pelajaran 2009/2010.

40

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineksa Cipta Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindon. Aunurrahaman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research, Jilid 1. Yogyakarta: YP. Fak. Psikologi UGM. Lee, W.R. 1985. Language Teaching Games and Contests. London: Oxfortd University Press. Melvin, L. Siberman. 2004. Aktif Learning, 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung: Nusamedia dan Nuansa. Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Sukmadinata, Nana Syaodih. 2004. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Surakhmad, Winarno. 1990. Metode Pengajaran Nasional. Bandung: Jemmars. Wijaya Kusuma, Dedi Dwiguna, 2009.Mengenal Penilaian Tindakan Kelas, Indeks. Jakarta

41

You might also like