You are on page 1of 22

HUKUM ACARA PERDATA

MATERI PERKULIAHAN 3

Kelompok 2: Wulan Yussilya Vera Marina Raisha Kinanti Rizky Adhitya R 1101100900 1101100900 110110090106 110110090

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN


1

Bandung 1. GUGATAN
a. Pengertian Gugatan

Gugatan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengajukan atau menggugat permasalahan karena telah terjadi sengketa, baik secara lisan maupun tertulis kepada Pengadilan. Pihak yang mengajukan gugatan ke Pengadilan disebut sebagai penggugat, sedangkan pihak lain yang digugat dalam suatu perkara dalam pengadilan disebut sebagai tergugat. Dalam menggajukan gugatan, terguggat bisa terdiri dari satu orang atau lebih tergantung pada kondisi perkara, siapa saja orang-orang yang terlibat dakam perkara tersebut. Dapat pula dimasukkan pihak ketiga yang masih ada kaitannya dengan perkara yang sedang digugat yang disebut sebagai turut tergugat. b.Cara Mengajukan Gugatan Gugatan diajukan dengan surat gugat yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya tanpa dibubuhi materai. Dalam hal penggugat buta huruf ia dapat mengajukan gugatan secara lisan, dengan cara datang kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Negeri akan menyuruh mencatat isi dari gugatan lisan tersebut (pasal 120 H.I.R) Surat gugatan mencantumkan tanggal dan menyebutkan nama

penggugat dan tergugat dengan jelas, seta tempat tinggal, dan kalau perlu dapat pula disebutkan kedudukan penggugat dan tergugat. Surat gugat dibuat beberapa rangkap, satu helai yang asli untuk Pengadilan Negeri, satu helai untuk arsip penggugat dan ditambah beberapa salinan untuk tergugat dan turut tergugat. Surat gugatan didaftarkan kebagian kepanitreaan Pengadilan Negeri, penggugat diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 121 (4) HIR) setelah selesai maka surat gugatan akan mendapatkan nomor registrasi dari

perkara tersebut. Ada pula perkara yang diperiksa secara prodeo, yaitu tanpa suatu bayaran. Surat gugat harus mencantumkan alamat gugatan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri ditempat tergugat berdomisili (pasal 118 HIR ayat 1). Apabila tergugat lebih dari satu orang dan mereka berdomisili di kota yang berbeda-beda, maka alamat gugatan ditujukan kepada salah satu Tergugatnya (pasal 118 HIR ayat 2). Jika alamat tergugat tidak diketahui, maka gugatan tersebut

dialamatkan kepada Pengadilan Negeri di mana dia bertempat tinggal terakhir dan dalam surat gugatan harus disebutkan bertempat tinggal terakhir. Bisa juga apabila gugatan tersebut masalah tanah, rumah atau benda tidak bergerak lainya, karena tergugatnya tidak diketahui, maka gugatan dialamatkan pada tanah, rumah atau benda tidak bergerak lainnya yang menjadi objek gugatan/sengketa tersebut berada. Dalam surat gugat harus pula dilengkapi dengan petitum, yaitu hal-hal apa saja yang diinginkan atau diminta oleh penggugat agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan oleh hakim. c. Tujuan Gugatan

d.Isi Gugatan Isi gugatan tidak diatur dalam HIRmaupun RBg. Persyaratan mengenai isi gugatan ditemukan dalam pasal 8 RV yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat:
1) Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan

aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis bertempat tinggal terkahir dan bila perlu dicantumkan kewarganegaraan. Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelas tentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat,
3

tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Dalam praktik dikenal pihak yang disebut turut tergugat dimaksudkan untuk mau tunduk terhadap putusan pengadilan. Sedangkan istilah turut penggugat tidak dikenal. Untuk menentukan tergugat sepenuhnya menjadi otoritas penggugat sendiri.
2) Fundamentum

Petendi

(Posita),

yaitu

penjelsan

tentang

keadaan/peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat. Posita memuat dua bagian, yaitu alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.
3) Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 RBg ialah apa yang

diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum/tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak. Mekanisme petitum (tuntutan) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian pokok, yaitu tuntutan primer (pokok) merupakan tuntutan yang sebenarnya diminta penggugat, dan hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta (dituntut), tuntutan tambahan, merupakan tuntutan pelengkap daripada tuntutan pokok, seperti dalam hal perceraian berupa tuntutan pembayaran nafkah madhiyah, nafkah anak, mutah, nafkah idah, dan pembagian harta bersama, dan tuntutan subsider (pengganti) diajukan untuk mengantisipasi kemungkinan tuntutan pokok dan tuntutan tambahan tidak diterima majelis hakim. Biasanya kalimatnya adalah agar majelis hakim mengadili menurut hukum yang seadil-adilnya atau mohon putusan yang seadil-adilnya bias juga ditulis dengan kata-kata ex aequo et bono.

e. Dasar Alasan Pengajuan Gugatan

2.

PENCABUTAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN

a. Pencabutan Gugatan Mencabut gugatan adalah tindakan ini menarik kembali suatu gugatan yang telah di daftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri. Tindakan ini banyak dilakukan dalam praktik dari berbagai macam alasan. HIR dan RBG tidak ada mengatur masalah pencabutan gugatan, tetapi ada dalam RV. Oleh karena itu dalam praktiknya surat gugatan dapat dicabut kembali, selama pihak tergugat belum mengajukan jawabannya. Apabila tergugat telah mengajukan jawabannya, maka pencabutan itu dapat dibenarkan apabila pihak tergugat menyetujuinya. Dengan dicabutnya gugat, maka keadaan kembali seperti semula sebelum ada gugatan. Apabila sita jaminan telah di letakan maka dengan adanya pencabutan gugatan itu harus diperintahkan untuk diangkat. Menurut RV pencabutan gugatan itu dapat dilakukan :
1) Sebelum gugatan diperiksa di persidangan. 2) Sebelum tergugat memberikan jawabanya. 3) Setelah diberikan jawaban oleh tergugat.

b. Perubahan Gugatan HIR tidak mengatur mengenai menambah atau mengubah surat gugat. Namun dapat diperkenankan asalkan kepentingan-kepentingan kedua pihak, baik penggugat maupun tergugat, terutama kepentingan tergugat sebagai orang yang diserang dan oleh karenanya berhak membela diri, tidak dirugikan dengan perubahan atau penambahan gugat tersebut (Pasal 127 RV).

Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat tergugat setelah tergugat mengajukan maka jawaban, hal itu harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari tergugat, dan apabila pihak menyatakan keberatannya, permohonan mengenai perubahan atau penambahan gugat tersebut dapat ditolak. Sebaliknya mengenai pengurangan gugat senantiasa akan diperkenankan oleh hakim. Batas waktu pengajuan perubahan gugatan: 1) Menurut Pasal 127 RV, batas waktu pengajuan perubahan gugatan sampai saat perkara diputus. 2) Menurut MA, batas waktu pengajuan perubahan gugatan adalah pada hari pertama sidang.
3) Menurut praktek pengadilan, cenderung menerapkan bahwa batas

waktu seorang penggugat mengajukan perubahan gugatan adalah sampai pada tahap replik-duplik. Batasan di dalam merubah surat gugatan, menurut Pasal 127 RV, dilarang atau tidak dibenarkan perubahan atau pengurangan gugatan apabila hal itu mengubah atau menambah pokok gugatan. Berdasarkan praktik peradilan, maka pengubahan surat gugatan tidak boleh mengubah materi pokok perkara, mengubah posita gugatan, dan merugikan tergugat.

3. PERIHAL ACARA ISTIMEWA


a. Gugur Pasal 124 HIR mengatur mengenai dapat gugurnya suatu gugatan apabila pihak penggugat tidak datang maupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadap Pengadilan Negeri pada hari yang telah ditentukan meskipun ia telah dipanggil secara patut. Dengan patut di sini maksudnya yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut UU yang dilakukan jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang bersangkutan
6

atau wakilnya yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu. Apabila cara pemanggilan tidak dilakukan dengan sah maka hakim sekali lagi akan menyuruh jurusita untuk memanggil pihak penggugat tersebut dan biaya pemanggilan tersebut menjadi tanggungan jurusita. Pada pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur yang berbunyi sebagai berikut: Jikalau si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi sipenggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya sekali lagi. Dalam hal penggugat, sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para ahliwarisnya untuk meneruskan gugatan atau justru mencabut gugatan tersebut. Putusan pengguguran ini dimaksudkan untuk mewujudkan asas audi et alteram partem yaitu kepentingan kedua pihak harus diperhatikan. Karena gugatannya gugur, penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Apabila sebelum gugurnya gugatan telah dilaksanakan sita jaminan, maka sita jaminan itu harus diperintahkan untuk diangkat. Pihak penggugat yang perkaranya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara dan membayar persekot untuk perkara yang baru. Jika dalam pengajuan perkara yang kedua kalinya ini kemudian digugurkan lagi dalam HIR tidak diatur secara tegas apakah penggugat masih diperkenankan untuk dapat mengajukan perkaranya sekali lagi, namun karena hal ini tidak secara nyata dilarang, hal ini berarti pengajuan gugat tersebut diperkenankan. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. berpendapat bahwa demi kewibawaan pengadilan agar tidak ada perkara yang berlarut-larut tidak berketentuan, maka gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap tidak pernah ada.
7

b. Verstek Verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia telah menurut hukum acara harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan pasal 126 HIR, juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Persoalan verstek diatur dalam pasal 125 HIR. Namun Pasal 126 HIR/150 RBg memberikan keleluasaan bagi hakim untuk memerintahkan jurusita memanggil sekali lagi tergugat supaya hadir dalam persidangan berikutnya. Hal ini terjadi apabila hakim memandang perkaranya sangat penting sehingga tidak layak diputuskan begitu saja tanpa kehadiran tergugat, sebab bisa saja terjadi surat panggilan pengadilan tidak diterima oleh tergugat. Apabila tergugat/para tergugat hadir pada sidang pertama dan tidak hadir dalam sidang-sidang berikutnya lalu hakim mengundurkan sidang, dan pada sidang kedua hadir namun pada sidang-sidang berikutnya tidak hadir, maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir (dengan adanya perlawanan/optegenspraak). Kemungkinan-kemungkinan dalam pengambilan putusan verstek:
1. Bila

pada

sidang

pertama

tergugat

tidak

hadir

dan

hakim

memerintahkan untuk menunda persidangan dan dalam persidangan yang kedua itu tergugat tidak hadir lagi, hakim menjatuhkan putusan verstek 2. Bila tergugat terdiri atas beberapa orang dan dalam sidang pertama di antara mereka ada yang tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai kuasanya, maka pemeriksaan perkara ditunda sampai sidang berikutnya. Jika ternyata tergugat yang bersangkutan gagal hadir lagi, [emeriksaan perkaranya diteruskan dan semua tergugat baik yang hadir maupun yang tidak hadir diputuskan
8

dengan satu putusan saja, dan perlawanan (verzet) atas putusan ini tidak diperkenanankan (Pasal 151 HIR/127 RBg). 3. Bila tergugat maupun kuasanya tidak hadir pada sidang pertama tetapi mengirimkan jawaban yang memuat tangkisan (exceptie) yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkaranya, maka pengadilan wajib membei putusan atas tangkisan itu setelah mendengar pihak penggugat. Bila tangkisan ditolak, pengadilan memutuskan pokkok perkaranya (Pasal 125 ayat 2 /HIR/149 ayat 2 RBg). 4. Gugatan penggugat akan dikabulkan meskipun tidak hadir kecuali jika itu melawan hokum (onrechtmatige daad) atau tidak berakasan (ongegrond). Bila gugatan melawan hokum, maka dalam putusan verstek gugata itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard) dan apabila guatan tidak beralasan maka dalam putusan verstek gugata itu harus dinyatakan ditolak (iontzegd). Terhadap putusan tidak dapat diterima, penggugat dapat mengajukan gugatannya kembali ke Pengadilan negeri, sedangkan terhadap putusan yang menyatakan gugatannya ditolak, penggugat hanya dapat mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi.
5. Putusan verstek tidak selalu mengabulkan gugatan penggugat,

sehingga meskipun tergugat tidak hadir dalam persidangan, ia tidak selalu dikalahkan. 6. Bila ddalam putusan verstek hakim mengabulkan gugatan

penggugat, maka putusan itu harus diberitahukan kepada tergugat yang bersangkutan. Tergugat juga harus diterangkan bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu kepada Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut. Putusan verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya diterangkan bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusanvperstek tersebut kepada pengadilan negeri

yang sama, dalan tenggang waktu dan dengan cara yang telah ditentukan dalam pasal 129 HIR. Dalam surat putusan perstek tertulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis, didalamnya juga menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi. Seperti halnya berita acara pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang maka surat pemberitahuan putusan verstek dibuat oleh jurusita atas sumpah jabatan dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

4.

PENGIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DALAM PROSES

a.Vrijwaring Perihal vrijwaring diatur dalam Pasal 70-76 RV, yang menyatakan bahwa pada saat pemeriksaan di pengadilan, di luar kedua belah pihak, ada pihak ketiga yang ditarik dalam perkara tersebut secara singkat tidak atas kemauannya sendiri. Vrijwaring diajukan oleh tergugat dengan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada majelis hakim untuk memanggil seseorang sebagai pihak yang turut berperkara dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut. Permohonan ini disebut gugatan insidentil dan dengan suatu putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggap tidak beralasan. Setelah pihak tergugat diberi dalam vrijwaring menghadap, maka

pemeriksaan dilakukan seperti dalam perkara biasa, di mana tergugat dalam vrijwaring kesempatan untuk menjawab gugat dalam vrijwaring yang diajukan terhadapnya. Penggugat di dalam pokok perkara ditanya pendapatnya mengenai jawaban yang diajukan oleh tergugat dalam vrijwaring tersebut. b.Tussenkomst
10

Tussenkomst atau intervensi adalah masuknya pihak ketiga atas kemauan sendiri untuk ikut dalam proses, di mana pihak ketiga ini tidak memihak penggugat maupun tergugat, melainkan ia hanya memperjuangkan kepentingan sendiri. Ciri-ciri tussenkomst : 1. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri. 2. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian kehilangan haknya yang terancam. 3. Melawan kepentingan kedua belahh pihak yang berperkara. 4. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara (penggabungan tuntutan). c. Voeging Voeging diperkenankan adalah lalu penggabungan mengajukan proses pihak tersebut ketiga kepada dan yang merasa agar ingin

berkepentingan,

permohonan

majelis

mencampuri

menyatakan

menggabungkan diri kepada salah satu pihak, penggugat atau tergugat. Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk masuk ke dalam proses harus terlebih dahulu mendengar semua pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim akan mempertimbangkan dalam suatu putusan sela apakah ia menolak atau mengabulkan pencempuran pihak ketiga. Putusan sela tidak dibuat secara terpisah, melainkan merupakan bagian dari berita acara, dan harus memuat terlebih dahulu Tentang duduknya perkara dan Tentang hukumnya lengkap seperti putusan biasa.

5. SITA JAMINAN
a. Sita Conservatoir Sita conservatoir yaitu jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau
11

pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut. Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita , namun hanya disimpan (conserveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barangbarang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana pasal 231dan 232 KUHP. Diatur dalam Pasal 227 HIR:
1) Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan

dijatuhkan atau dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya.
2) Barang yang disita itu merupakan barang kepunyaan orang yang

terkena sita, artinya bukan milik penggugat.


3) Permohonan

diajukan

kepada

Ketua

Pengadilan

Negeri

yang

memeriksa perkara yang bersangkutan.


4) Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis.

5) Sita Conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan baik terhadap barang yang bergerak dan yang tidak bergerak. Menurut ketentuan yang termuat dalam Pasal 127 (1) HIR, sita conservatoir dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, akan tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan. Dalam praktik sita jaminan dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum dimohonkan pernyataan sah dan berharga atau sita jaminan tersebut dengan lain perkataan permohonan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan.
Sesuai Pasal 227 HIR, elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti
12

kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut. Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Disini dapat disimpulkan bahwa permohonan pengajuan sita jaminan lebih diarahkan. Pada proses kepailitan, permohonan sita jaminan hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur, dan untuk itu Pengadilan dapat menentukan penyerahan suatu jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar oleh Pengadilan.

Yang dapat menjadi objek sita conversatoir adalah:


1) Barang bergerak milik debitur. 2) Barang tetap milik debitur. 3) Barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain

(pihak ketiga). Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Perlu dicatat juga bahwa Mahkamah Agung pernah membatalkan sita jaminan karena nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi pokok perkara. b. Sita Revindicatior Sita Revindicatoir diatur dalam pasal 226 HIR. Penyitaan tersebut harus atas barang bergerak tertentu, terperinci, yang berada di tangan tergugat dan diajukan atas permintaan penggugat selaku pemilik dari barang tersebut. Perkataan revindicatoir berasal dari perkataan revindiceer yang artinya mendapatkan. Perkataan revindicatoir beslag mengandung pengertian penyitaan untuk mendapatkan hak kembali. Maksud penyitaan

13

ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Dari pasal 226 HIR, bahwa untuk dapat diletakkan sita revindicatoir itu adalah: 1) Harus berupa barang bergerak. 2) Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat yang berada di tangan tergugat. 3) Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. 4) Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis. 5) Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama dan terperinci. Sesuai dengan Pasal 226 HIR, untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.

c. Sita Marital dan Pandbeslag Sita marital pada dasarnya adalah salah satu jenis dari sita jaminan, akan tetapi jenis sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Dalam konteks ini pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai langsung baik oleh penggugat/pemohon atau tergugat/termohon. Sehingga tujuan dari sita marital sendiri adalah untuk menjamin keutuhan, mengamankan serta serta memelihara keutuhan seluruh harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab yang diambil oleh tergugat/termohon sampai dengan putusan perceraian memperoleh
14

kekuatan hukum tetap, baik yang berada di tangan penggugat atau di tangan tergugat. Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam Pasal 190 BW, Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No 9 Tahun 1975, Pasal 78 huruf c UU No 7 Tahun 1989, Pasal 136 ayat (2) huruf b Kompilasi Hukum Islam, Pasal 823 830 Rv. Suami ataupun istri berdasarkan Pasal 24 PP No9/1975 sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan sita marital. Sita marital diajukan oleh tergugat atau termohon dengan cara mengajukan gugatan rekonvensi. Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan suami/istri telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan kerugian bagi tergugat/termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama.

Pengertian dan Penerapan Menyita Milik Tergugat untuk Menjamin Pembayaran Utang Pengertian sita jaminan (conservatoir beslag) diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, Pasal 261 RBG atau Pasal 720 RV : Menyita barang debitur selama belum dijatuhkan putusan dalam perkara perdata Tujuannya, agar barang itu tidak digelapkan atau diasingkan tergugat selama proses persidangan berlangsung, sehingga pada saat putusan dilaksanakan, pelunasan pembayaran utang yang dituntut penggugat dapat dipenuhi, dengan jalan menjual barang sitaan itu Bertitik tolak pada pasal 227 ayat (1) HIR, penerapan sita jaminan pada dasarnya hanya terbatas pada sengketa perkara utang piutang yang
15

ditimbulkan oleh wanprestasi. Dengan diletakannya sita pada barang milik tergugat, barang itu tidak dapat dialihkan tergugat kepada pihak ketiga, sehingga tetap utuh sampai putusan berkekuatan tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela; pelunasan utang atau ganti rugi itu, diambil secara paksa dari barang sitaan melalui penjualan lelang. Dengan demikian, tindakan penyitaan barang milik tergugat sebagai debitur : Bukan untuk diserahkan dan dimiliki penggugat (pemohon sita) Tetapi diperuntukan melunasi pembayaran utang tergugat kepada

pengugat Dapat diterapkan atas Tuntutan Ganti Rugi Dalam arti sempit berdasarkan Pasal 227 (1) HIR, sita jaminan hanya dapat diterapkan dalam perkara utang piutang. Akan tetapi dalam praktik, penerapannya diperluas meliputi sengketa tuntutan ganti rugi baik yang timbul dari : Wanprestasi atau Perbuatan melawan hukum (PMH) berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dalam bentuk ganti rugi materil dan imateriil Untuk menjamin pemenuhan pembayaran tuntutan ganti rugi yang diajukan penggugat berdasarkan wanprestasi atau PMH, dapat meminta kepada pengadilan agar diletakan sita jaminan terhadap barang milik tergugat. Dengan demikian, praktik peradilan telah memperluas penafsiran utang meliputi ganti rugi, sehingga terhadap sengketa yang demikian dapat dibenarkan untuk menerapkan sita jaminan yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR atau pasal 720 Rv. Dapat Diterapkan dalam Sengketa Milik berdasarkan Pasal 1243 Jo Pasal 1247 KUHPerdata dalam

bentuk penggantian biaya, bunga dan keuntungan yang akan diperoleh,

16

Sita jaminan juga meliputi sengketa hak milik atas benda tidak bergerak. Jika sita jaminan yang diatur dalam Pasal 227 ayat (1) HIR tidak boleh diterapkan dalam dalam sengketa milik atas barang tidak bergerak, akan terdapat kekosongan hukum, sehingga tergugat tidak mungkin melindungi atau penggugat atas tindakan tergugat yang beritikad buruk. Selama proses persidangan berlangsung, leluasa menjual memindahtangankan barang itu kepada pihak ketiga tanpa ancaman hukuman jika tidak diletakkan sita jaminan terhadapnya. Sehubungan dengan gambaran kekosongan hukum tersebut, cukup alasan menerima perluasan penerapan sita jaminan meliputi sengketa milik atas barang tidak bergerak. Demikian gambaran pengertian dan tujuan sita jaminan. Menempatkan dan menahan harta kekayaan tergugat yang berkedudukan sebagai debitur dibawah penjagaan pengadilan. Tujuannya, agar keutuhan barang itu tetap terjamin nilai dan keberadaannya sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila tergugat tidak memenuhi pembayaran secara sukarela maka harta kekayaan tergugat yang disita tersebut dijual lelang, dan harga yang diperoleh dipergunakan untuk membayar utang atau ganti rugi yang dibebankan kepada tergugat. Sedangkan, apabila gugatannya tentang sengketa milik atas barang tidak bergerak, sita jaminan yang diletakan bertujuan untuk menjamin keutuhan dan keberadaan barang sehingga terpelihara selama proses pemeriksaan berlangsung. Dengan demikian, pada saat putusan telah berkekuatan hukum tetap, barang tersebut dapat dieksekusi riil dengan jalan mengosongkan atau membongkar bangunan yang ada diatasnya serta sekaligus menyerahkan kepada penguggat. Objek Sita Jaminan Dalam Sengketa Milik, Terbatas atas Barang yang Disengketakan Kebolehan meletakan sita jaminan atas harta kekayaan tergugat dalam sengketa hak milik atas benda tidak bergerak :

17

Hanya terbatas atas objek barang yang diperkarakan, dan Tidak boleh melebihi objek tersebut. Pelanggaran atas prinsip itu, dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang (abuse of authority), dan sekaligus merupakan pelanggaran atas tata tertib beracara, sehingga penyitaan itu dikategorikan sebagai undue process atau tidak sesuai dengan hukum acara. Terhadap objek dalam Sengketa Utang atau Ganti Rugi Meliputi Seluruh Harta Kekayaan Tergugat Sepanjang utang atau tuntutan ganti rugi tidak dijamin dengan agunan tertentu, sita jaminan dapat diletakan di atas seluruh harta kekayaan tergugat. Penerapan yang demikian bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1131 KUHP Perdata jo pasal 227 ayat (1) HIR yang menegaskan : Segala kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan (Pasal 1131 KUHPerdata) Barang debitur (tergugat) baik yang bergerak maupun tidak bergerak dapat diletakan sita jaminan untuk pembayaran utangnya atas permintaan kreditor (penggugat) Akan tetapi, kebolehan menyita seluruh harta milik tergugat dalam sengketa utang atau ganti rugi harus memperhatikan prinsip yang digariskan Pasal 197 ayat (8) HIR, Pasal 211 RBG : Dahulukan penyitaan barang bergerak Jadi yang pertama disita, barang bergerak. Apabila nilai barang bergerak yang disita mencukupi untuk melunasi jumlah gugatan, penyitaan dihentikan sampai disitu saja Kalau barang yang bergerak tidak mencukupi jumlah tuntutan, baru dibolehkan meletakan sita jaminan terhadap barang tidak bergerak

18

Terbatas pada Barang Agunan Jika perjanjian utang piutang dijamin dengan agunan barang tertentu : Sita jaminan dapat langsung diletakkan di atasnya meskipun bentuknya barang tidak bergerak; Dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan barang tertentu, pada barang itu melekat sifat spesialistis yang member hak separatis kepada kreditor, oleh karena prinsip itu mendahulukan penyitaan barang bergerak disingkirkan oleh perjanjian kredit yang dijamin dengan agunan. Pada dasarnya, penyitaan dalam perjanjian kredit dengan agunan barang tertentu, hanya meliputi barang itu saja, tanpa mempersoalkan apakah nilainya cukup memenuhi jumlah tuntutan. Sekiranya setelah di eksekusi ternyata nilainya tidak cukup membayar jumlah tuntutan, pengugat dapat meminta penyempurnaannya dengan jalan menyita eksekusi (executoir beslag) harta tergugat yang lain sesuai dengan asas yang digariskan Pasal 1131 KUHPerdata. Dari penjelasan tersebut, sita jaminan dapat diletakan di atas segala bentuk harta kekayaan tergugat, tanpa mengurangi prinsip mendahulukan barang bergerak dan variabel penyitaan barang tertentu dalam sengketa milik dan dalam perjanjian kredit yang dijamin dengan barang agunan terterntu seperti yang dijelaskan diatas. Tata Cara Pelaksanaan Sita Jaminan Mengenai tata cara pelaksanaan sita jaminan diatur dalam Pasal 227 ayat (3) HIR. Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan Dituangkan dalam bentuk surat penetapan yang diterbitkan oleh Ketua PN atau majelis bersangkutan Berisi perintah kepada panitera atau juru sita untuk melaksanakan sita jaminan terhadap harta kekayaan tergugat
19

Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita Memberitahukan penyitaan kepada tergugat yang berisi : Hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam serta tempat penyitaan; Agar tergugat menghadiri penyitaan Kehadiran tergugat tidak menjado syarat keabsahan pelaksanaan sita. Juru sita dibantu oleh dua orang saksi Dijelaskan nama, pekerjaan, dan tempat tinggal saksi dalam berita acara sita; Saksi harus penduduk Indonesia Paling rendah berumur 21 tahun Orang yang dapat dipercaya Pelaksanaan sita dilakukan ditempat barang terletak Juru sita dan saksi datang ditempat barang yang hendak disita, dan Tidak sah penyitaan yang tidak dilakukan di tempat barang terletak. Membuat berita acara sita Hal-hal pokok yang harus dimuat dalam berita acara sita jaminan : Tanggal dan nomor surat penetapan Jam, tanggal, hari, bulan, dan tahun penyitaan Nama, pekerjaan, dan tempat tinggal saksi Rincian satu persatu jenis barang yang disita Penjelasan pembuatan berita acara dihadapan tersita (jika hadir) Penjelasan penjagaan barang sitaan diserahkan kepada tersita Ditandatangani juru sita dan saksi
20

Meletakkan barang sitaan di tempat semula Menyatakan sita sah dan beharga

Sita Jaminan atas Barang Bergerak Sita jaminan atas barang bergerak dapat terjadi apabila perjanjian kredit tidak dijamin dengan agunan barang tertentu atau jaminannya tidak berbentuk fidusia. Barang sitaan tetap diletakkan pada tempat semula: Boleh dipindahkan ke tempat lain, Dengan syarat, apabila hal itu perlu untuk keamanan dan keselamatan barang Penjagaan dan penguasaan diserahkan kepada tergugat (tersita) Tidak boleh diserahkan penjagaan dan penguasaannya kepada penggugat, Juga dilarang menyerahkan penjagaan dan penguasaannya kepada pihak ketiga atau kepala desa Tidak boleh diletakkan sita jaminan atas permintaan pengugat lain Terhadap penyitaan barang bergerak berlaku asas : Saisie sur saisie ne vaut yang digariskan Pasal 463 RV, yaitu pada saat yang bersamaan tidak boleh diletakkan sita terhadap barang yang sama Yang dapat dilakukan atas permintaan sita yang belakangan adalah sita penyesuaian dengan jalan membuat berita acara penyesuaian (process verbal van vergelijkende beslag) Secara kasuistis dapat dibebankan jaminan kepada penggugat Diterapkan ketentuan Pasal 722 Rv dalam sita jaminan :

21

Pengabulan sita jaminan yang diminta penggugat dibarengi dengan perintah atau persyaratan, sita jaminan baru dilaksanakan apabila penggugat membayar Biaya, serta Kerugian dan bunga yang mungkin timbul akibat penyitaan tersebut Dalam hal yang demikian penyerahan uang jaminan, harus diberikan bersamaan dengan perintah penyitaan; Mengenai berapa besarnya uang jaminan yang harus diberikan pengugat atas penyitaan itu, dapat ditetapkan pengadilan melalui sidang insidentil Ketentuan ini dapat diterapkan secara kasuistis. Oleh karena itu ketentuan Pasal 722 Rv, tidak boleh dijadikan sebagai syarat yan bersifat generalisasi terhadap setiap penyitaan barang bergerak. Tersita Berhak Mengajukan Bantahan Pasal 724 Rv memberi hak kepada tergugat (tersita) untuk segera mengajukan bantahan terhadap sita jaminan yang diletakkan terhadap barang bergerak. Bantahan dapat diajukan di luar sidang atau dalam sidang insidentil Dapat juga diajukan dalam proses pemeriksaan pokok perkara Bantahan berisi alasan dan tuntutann agar sita jaminan diangkat, karena tidak sah atau tidak memenuhi syarat, maupun atas alasan penyitaan bertitik tolak dari dalil gugatan yang tidak mempunyai dasar hukum.

22

You might also like